BAB 2-1 baru

55
6 BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Rumah Sakit Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan rumah sakit ditunjukkan untuk pasien/penderita dan keluarganya, orang sehat, masyarakat luas, dan institusi (asuransi, pendidikan, dunia usaha, kepolisian dan kejaksaan). Pelayanan terhadap pasien meliputi pemeriksaan, penegakan diagnosis, tindakan terapeutik (pengobatan), tindakan pembedahan, penyinaran dan lain-lain. Bentuk pelayanan rumah sakit dibagi atas pelayanan dasar, pelayanan spesialistik dan sub spesialistik, serta pelayanan penunjang. Bentuk pelayanan ini akan sangat ditentukan juga oleh tipe rumah sakit. Pelayanan dasar rumah sakit meliputi rawat jalan (politeknik/ambulatory), rawat inap (inpatient care), dan rawat darurat (emergency care). Rawat jalan merupakan

description

baru

Transcript of BAB 2-1 baru

Page 1: BAB 2-1 baru

6

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1. Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam

mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah

sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar

yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan

rumah sakit ditunjukkan untuk pasien/penderita dan keluarganya, orang sehat,

masyarakat luas, dan institusi (asuransi, pendidikan, dunia usaha, kepolisian dan

kejaksaan). Pelayanan terhadap pasien meliputi pemeriksaan, penegakan

diagnosis, tindakan terapeutik (pengobatan), tindakan pembedahan, penyinaran

dan lain-lain.

Bentuk pelayanan rumah sakit dibagi atas pelayanan dasar, pelayanan spesialistik

dan sub spesialistik, serta pelayanan penunjang. Bentuk pelayanan ini akan sangat

ditentukan juga oleh tipe rumah sakit. Pelayanan dasar rumah sakit meliputi rawat

jalan (politeknik/ambulatory), rawat inap (inpatient care), dan rawat darurat

(emergency care). Rawat jalan merupakan pertolongan kepada penderita yang

masih cukup sehat untuk pulang ke rumah. Rawat inap merupakan pertolongan

kepada penderita yang memerlukan asuhan keperawatan terus-menerus

(continuous nursing care) hingga sembuh. Rawat darurat merupakan pemberian

pertolongan kepada penderita yang dilaksanakan dengan segera.

Rumah Sakit sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan yang

merupakan tempat dan tumpuan harapan masyarakat untuk memperoleh

pelayanan kesehatan, pertolongan kegawat daruratan dan perawatan yang

memadai harus dapat memberikan pelayanan yang nyaman cepat, tepat,

bermanfaat dan profesional. Untuk itu Rumah Sakit dituntut memberikan

pelayanan dengan mutu yang baik serta menyediakan berbagai tawaran dan

Page 2: BAB 2-1 baru

7

fasilitas, akomodasi yang dilengkapi dengan peralatan medis yang canggih dan

modern.

2.2. Pelayanan Kamar Operasi

Pelayanan kamar operasi merupakan salah satu standar minimal layanan

kesehatan yang harus disediakan rumah sakit. Pelayanan pembedahan dapat

dilakukan secara terencana pada pasien yang sudah dipersiapkan maupun pada

pasien dalam keadaan gawat darurat. Sebagai institusi layanan kesehatan, maka

harus siap untuk menghadapi berbagai kondisi penyakit yang membutuhkan

pembedahan seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan pembedahan

dewasa ini.

Instalasi Kamar Operasi merupakan bagian integral yang penting dari pelayanan

suatu rumah sakit. Instalasi ini berbentuk suatu unit yang terorganisir dan sangat

terintegrasi, di mana di dalamnya tersedia sarana dan prasarana penunjang untuk

melakukan tindakan pembedahan. Kamar Operasi adalah salah satu fasilitas yang

ada di rumah sakit dan termasuk sebagai fasilitas yang mempunyai banyak

persyaratan. Fasilitas ini dipergunakan untuk pasien yang membutuhkan tindakan

operasi, terutama untuk tindakan operasi besar.

Proses operasi merupakan sebuah tindakan yang komplek dan terbagi menjadi 3

periode, yaitu prior surgery, during surgery dan after surgery. Kegiatan pada

periode prior surgery dapat dilakukan di ruang perawatan atau di ruang persiapan

operasi untuk kasus one day care surgery. Kegiatan pada periode during surgery

tentu saja berada di Kamar Operasi. Sedangkan kegiatan pada periode after

surgery, pasien yang telah selesai dilakukan tindakan operasi akan dipindahkan ke

ruang pemulihan tahap 1 selama 1 - 2 jam. Setelah pasien siuman dapat

dipindahkan ke ruang perawatan yang tentunya tergantung dari kondisi pasien itu

sendiri. Jika pasien dalam keadaan baik, maka akan dipindahkan ke bangsal

perawatan biasa dan apabila pasien perlu mendapatkan perawatan intensive maka

akan direlokasi ke ICU. Sedangkan pasien yang dilakukan tindakan operasi

Page 3: BAB 2-1 baru

8

dengan system one day care, maka akan dipindahkan ke ruang pemulihan tahap 2

sebelum pasien ini pulang ke rumah.

2.3. Pelayanan Anestesiologi

Pembedahan atau operasi merupakan tindakan kolaboratif yang dilakukan antara

tim dokter, perawat, dan ahli anestesi. Untuk menjamin kualitas pelayanan

pembedahan yang baik, maka ahli anestesi memilki peran penting dalam

menyiapkan pasien sebelum, selama dan setelah menjalani proses pembedahan.

Untuk dapat memberikan pelayanan pembedahan yang berkualitas, maka

dibutuhkan pengertahuan dan kemampuan melakukan tindakan yang professional.

Tindakan anestesi merupakan tindakan memberikan obat yang menekan fungsi

saraf agar pasien dapat melewati proses operasi tanpa merasakan nyeri. Walaupun

tindakan ini sangat bermanfaat dalam proses operasi, tindakan ini juga

mengakibatkan efek samping pada pasien setelah menjalani operasi. Di anatara

efek yang disebabkan setelah tindakan operasi adalah efek pada sistem saraf pusat

yang memunculkan gejala dari ringan hingga berat, efek pada sistem

kardiovaskuler yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah berlebihan,

hingga efek mual, muntah, pusing, dan gangguan regulasi suhu.

Monitoring post operasi merupakan salah satu tindakan yang harus dilakukan

untuk menjamin keselamatan pasien setelah pembedahan. Monitoring ini

dilakukan untuk memastikan apakah efek anestesi masih mempengaruhi

kesehatan pasien atau sudah tidak mempengaruhi lagi, mencegah terjadinya

komplikasi akibat penggunaan obat anestesi, maupun mencegah ketidaknyamanan

pada klien setelah dilakukan tindakan pembedahan.

Pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit merupakan salah satu

bagian dari pelayanan kesehatan yang berkembang dengan cepat seiring dengan

peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang anestesia. Peningkatan

kebutuhan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif ini tidak diimbangi dengan

jumlah dan distribusi dokter spesialis anestesiologi secara merata. Keadaan

Page 4: BAB 2-1 baru

9

tersebut menyebabkan tindakan anestesia di rumah sakit dilakukan oleh perawat

anestesi sehingga tanggung jawab terhadap pelayanan ini menjadi tidak jelas

khususnya untuk rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis anestesiologi

Pelayanan anestesia di rumah sakit antara lain meliputi pelayanan

anestesia/analgesia di kamar bedah dan di luar kamar bedah, pelayanan

kedokteran perioperatif, penanggulangan nyeri akut dan kronis, resusitasi jantung

paru dan otak, pelayanan kegawatdaruratan dan terapi intensif.

Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai

dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel (Bobson,

1994). Tindakan anestesi diberikan untuk membatu menekan sistem saraf agar

tindakan operasi dapat dilakukan. Sehubungan dengan perannya sebagai media

dalam proses operasi maka anestesi tidak digolongkan sebagai obat terapi

melainkan hanya obat yang membantu memediasi proses operasi.

Berdasarkan cara kerjanya dalam memanipulasi sistem saraf, anestesi dibagi atas:

2. 3. 1. Anestesi lokal (general anesthetics)

Anastesi lokal merupakan anestesi yang menghasilkan blockade konduksi

pada dinding saraf secara sementara pada area yang dilakukan tindakan

operasi. Anestesi lokal bersifat sementara dan akan pulih segera setelah

tindakan selesai tanpa menyebabkan kerusakan struktur saraf. Sistem

saraf pada tindakan anastesi lokal akan segera bekerja kembali setelah

tindakan selesai tanpa mempengaruhi kondisi saraf dan efek yang

berkepanjangan pada pasien.

Page 5: BAB 2-1 baru

10

Rahardjo (2009) mengemukakan banyak sifat anestesi dapat

mempengaruhi struktur saraf setelah tindakan operasi dilakukan.

Walaupun demikian, anestesi lokal cenderung lebih aman untuk struktur

dan fungsi saraf. Di antara sifat-sifat anestesi lokal adalah:

a. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan secara menetap.

b. Batas keamanan pemberian harus lebar, hal ini disebabkan obat

anestesi lokal diabsrobsi dari tempat suntikan.

c. Masa kerja harus diperhitungkan cukup lama untuk mempersiapkan

waktu yang cukup untuk tindakan operasi.

d. Masa pemulihan tidak terlalu lama.

e. Harus larut dalam air.

f. Stabil dalam larutan.

g. Dapat disentuh tanpa mengalami perubahan.

Pasca anestesi, dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan

untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu

loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan

perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi

dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan oleh operasi atau pengaruh

anestesinya.

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional, pasien akan secara rutin

dikelola di kamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, recovery room

atau PACU - Post Anesthesia Care Unit). Idealnya, pasien akan terbangun dari

anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Namun kenyataannya sering

dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca

anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah,

kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan. Recovery

room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, di mana pasien

dirawat setelah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang

Page 6: BAB 2-1 baru

11

baru saja dioperasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat

penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, di mana keadaan vital sign pasien

(nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek

dari obat anestesi menghilang. Pasien biasanya akan mengalami disorientasi

setelah mereka sadar kembali, dan di ruang pemulihan ini pasien ditenangkan

apabila terjadi anxietas dan dipastikan bahwa fisik dan emosional pasien

terkendali.

2. 3. 1. Efek Samping

Penggunaan obat anestesi akan menimbulkan beberapa efek samping pada sistem

tubuh. Walaupun demikian efek yang dtimbulkan tidak terlalu berbahaya jika

dilakukan dengan dosis yang ditentukan. Beberapa efek samping yang akan

ditimbulkan setelah penggunaan anestesi lokal di antaranya akan berdampak pada

sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem saraf pusat, sistem imun, dan

sistem muskulus skeletal. Walaupun demikian pada dasarnya penggunaan anestesi

lokal tidak berdampak terlalu buruk terhadap kondisi klien, namun hanya

diperlukan monitoring agar kondisi pasien dapat dipertahankan dalam kondisi

optimal.

Pada dasarnya efek anestesi lokal yang ditimbulkan merupakan efek dari

akumulasi anestesi dalam darah dalam waktu yang dapat diperoleh dari

penggunaan dosis anestesi berlebihan, penyuntikan anestesi intravaskular atau

penurunan kemampuan absorpsi obat anestesi, penurunan transformasi biologis

tubuh, serta proses ekresi obat yang lama. Penggunaan obat anestesi akan

mempengaruhi sistem tubuh berdasarkan pertimbangan usia, berat badan, kondisi

liver, ginjal, serta tipe dan jumlah anetesi yang digunakan. Jika obat-obatan ini

digunakan dalam batas yang wajar maka sanksi ini tidak dikenakan.

Penggunaan anestesi lokal dapat mempengaruhi kondisi sistem kardiovaskuler

dan sistem saraf pusat. Walaupun demikian, sistem saraf pusat sangat mudah

terpengaruh efek samping penggunaan anetesi selama dan sesudah pembedahan.

Page 7: BAB 2-1 baru

12

Di antara tanda-tanda efek samping ringan anestesi pada sistem ini adalah

penurunan kesadaran (sedasi), bicara tidak jelas, menggigil, tremor wajah dan

kening berkedip, hilang sensori pengecap pada lidah, mengeluh perasaan panas,

mengantuk sepanjang hari, disorientasi visual dan gangguan sistem pendengaran.

Efek samping sedang pada sistem saraf pusat akibat penggunaan anestesi sedang

akan menimbulkan kejang konfulsif. Di antara tanda-tanda awal sebelum

terjadinya terjadinya kejang konfulsif di antaranya letargi, coma, dipsnea, apnoe,

hipotensi, syok, dan henti jantung serta henti napas.

Efek samping anestesi terhadap sistem kardiovaskuler tidak terlihat hingga

terjadinya peningkatan tekanan darah secara signifikan. Penggunaan anestesi lokal

akan mengakibatkan depresi miokardium. Penggunaan dalam konsentrasi dosis

rendah akan bermanfaat untuk mengkoreksi keadaan disritmia. Namun

penggunaan dalam batas berlebihan akan menyebabkan depresi miokardium.

Selain itu, efek primer dari penggunaan anestesi akan menyebabkan vasodilatasi

perifer. Penggunaan berlebihan akan menyebabkan penurunan tekanan darah

secara drastis.

2. 4. Post Anesthesia Care Unit

Unit Perawatan post anesthesia care unit harus berada dalam satu lantai  dan

dekat dengan kamar bedah dengan tujuan apabila timbul kegawatan dan perlu

segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan.

Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan,

pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat

sama halnya seperti ketika masih berada di kamar bedah. Besar ruangan dan

fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang

membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna

kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya

kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar

bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah

kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia,

Page 8: BAB 2-1 baru

13

misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop, dan alat

trakeostomi dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% -

100%.

Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau PACU harus seperti sewaktu berada di

kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, oleh karena itu peralatan monitor

yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,

peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri dan

terpisah dari kamar bedah. Personil dalam PACU sebaiknya sudah terlatih dalam

penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, dan tanggap

terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien. Setelah

dilakukan pembedahan, pasien dirawat di ruang pulih sadar. Pasien yang dikelola

adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih

sadar, pasien akan dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya

cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik atau tidak. Pasien dengan gangguan

jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas

karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini juga

kemungkinan akan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi

yang masih berpengaruh, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat

penurunan ventilasi.

Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau

masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat

anestesi akan sadar kembali. Kartu observasi selama di ruang pulih sadar harus

ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal.

Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien

dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.

Page 9: BAB 2-1 baru

14

Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung

pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat

dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti:

Kelainan organ. 

Syok yang lama. 

Dehidrasi berat.

Sepsis.

Trauma multiple.

Trauma kapitis.

Gangguan organ penting, misalnya otak. 

Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih

mudah dapat dilakukan monitoring B6, yaitu :

a. Breath (nafas) - sistem respirasi

Pasien belum sadar dilakukan evaluasi pola nafas, berupa:

Tanda-tanda obstruksi.

Pernafasan cuping hidung.

Frekuensi nafas.

Pergerakan rongga dada: simetris/tidak.

Suara nafas tambahan: tidak ada pada obstruksi total.

Udara nafas yang keluar dari hidung.

Sianosis pada ekstremitas. 

Auskultasi : wheezing, ronki. 

Page 10: BAB 2-1 baru

15

Jika pasien sadar, tanyakan adakah keluhan pernafasan. Jika tidak ada keluhan

nafas, cukup berikan O2. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi, berikan terapi sesuai

kondisi (aminofilin, kortikosteroid, dan tindakan triple manuver airway).

a. Blood (darah) - sistem kardiovaskuler, meliputi:

Tekanan darah.

Nadi. 

Perfusi perifer.  

Status hidrasi (hipotermi ± syok).  

Kadar Hb.

b. Brain (otak) - sistem SSP, meliputi:

Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale).

Perhatikan gejala kenaikan TIK  4.

c. Bladder (kandung kencing) - sistem urogenitalis, meliputi:

Periksa kualitas, kuantitas, warna, dan kepekatan urine.

Untuk menilai apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada kerusakan ginjal

saat operasi, dan acute renal failure.

d. Bowel (usus) - sistem gastrointestinalis, meliputi pemeriksaan:

Dilatasi lambung. 

Tanda-tanda cairan bebas.

Distensi abdomen. 

Perdarahan lambung post operasi. 

Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain semisal hepar, lien, dan

pancreas. 

Dilatasi usus halus.

Hati-hati dengan pasien operasi mayor, akan sering mengalami kembung

yang mengganggu pernafasan karena pasien bernafas dengan diafragma.

e. Bone (tulang) - sistem musculoskeletal, meliputi pemeriksaan:

Tanda-tanda sianosis.

Warna kuku.

Perdarahan post operasi.

Page 11: BAB 2-1 baru

16

Kriteria yang digunakan dan umumnya dinilai pada saat observasi di ruang pulih

adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti

skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor

total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang

pemulihan.

Namun bila pasien tersebut adalah anak-anak, maka kriteria pemulihan yang

digunakan adalah skor Steward, di mana yang dinilai antara lain pergerakan,

pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang

pemulihan.

Untuk pasien dengan spinal anestesi, akan digunakan kriteria skor Bromage, di

mana yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di

atas 2, pasien boleh di pindahkan ke ruang rawat.

Tabel skor pemulihan pasca anestesi

Aldrete Score (dewasa)

Penilaian Skor

Nilai Warna

Merah muda 2

Pucat 1

Sianosis 0

Pernafasan

Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1

Apnoea atau obstruksi 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal 2

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1

Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0

Kesadaran

Page 12: BAB 2-1 baru

17

Sadar, siaga dan orientasi 2

Bangun namun cepat kembali tertidur 1

Tidak berespons 0

Aktivitas

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan 1

Tidak bergerak 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Tabel skor pemulihan pasca anestesi

Steward Score (anak-anak)

Penilaian Skor

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernafasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan nafas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlahnya > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Tabel skor pemulihan pasca anestesi

Bromage Score (spinal anestesi)

Page 13: BAB 2-1 baru

18

Penilaian Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Jika jumlahnya 2, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

2. 4. 1. Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya

2. 4. 1. 1. Komplikasi Respirasi

a. Obstruksi jalan nafas

Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah

dengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan

mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik

lebih sering terjadi dan mungkin dapat menjadi total, di mana wheezing dapat

terdengar tanpa atau dengan stetoskop.

 

Penyebab sumbatan bisa nyata terjadi dan keadaan ini dapat diatasi dengan

meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan

terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus

utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai sampai terjadi tanda-tanda

hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.

Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa

setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi

dada, sementara secara manual paru-paru dikembangkan Jika suara pernafasan

tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka

harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi

toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai

sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.

 

Page 14: BAB 2-1 baru

19

Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan

mekanik yang tidak dapat dijelaskan segera setelah intubasi, maka anjuran

terbaik adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi.

Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas

dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang

jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan

mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara

anestetik peroral atau nasal.

Sumbatan mekanik pada penderita yang diintubasi mungkin bersifat samar.

Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran

pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung

dapat terhalang pada dinding trakea atau dapat terlalu menjorok jauh dan

memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi

bagian ujung.

b. Bronkospasme

Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting

adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara

anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak

diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg atau 30 mg

intramuscular, sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi

dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, lakukan penyuntikan

lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.

Page 15: BAB 2-1 baru

20

c. Hipoventilasi

Pada hipoventilasi, perangsangan hipoksia dan hiperkarbia dapat

mempertahankan penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik

sampai >90 mmHg, sehingga menimbulkan koma. Dengan pemberian O2,

hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada hipoventilasi

ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal

apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang

benar pada hipoventilasi adalah :

Membebaskan jalan nafas 

Memberikan oksigen 

Menyiapkan nafas buatan 

Terapi sesuai penyebabnya

d. Hiperventilasi

Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium

ekstraselular mengalir ke intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia

berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada hipokalemia.

2. 4. 1. 2. Komplikasi  Kardiovaskular

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea,

cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena

hipoksia, hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung

lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema

paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan

kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 ± 1,0

µg/kg/ menit.

Page 16: BAB 2-1 baru

21

Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan

pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang

kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk

mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia

dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.

Berikan O2 100% dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml. Distritmia

yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,

hiperkapnia atau penyakit jantung.

Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah

dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik

seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat

untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi

dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain

topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.

Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati 

dengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V

dengan memperhatikan pernafasan (depresi).

Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama

anestesia :

Tindakan bedah: Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.

Pengaruh metabolisme: hipertiroid, hiperkalemi.

Penyakit tertentu: penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia, hipokelmia,

jantung coroner.

Pengaruh obat tertentu: atropine, halotan, adrenalin dll.

Page 17: BAB 2-1 baru

22

 2. 4. 1. 3. Komplikasi Lain-lain

a. Mengigil

Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang

timbul mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini

mungkin terjadi karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi

akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan

irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi

pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu

tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.

Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat

dengan infusion  warmer,  lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.

b. Gelisah Setelah Anestesi

Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,

dan kesakitan. Hal ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan

sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum

sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada

anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut,

pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB atau terapi dengan

analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).

c. Kenaikan Suhu

Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau

hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38

derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat.

Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius

dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.

Page 18: BAB 2-1 baru

23

Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:

Puasa terlalu lama.

Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius).

Penutup kain operasi yang terlalu tebal.

Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar. 

Infeksi.

Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada

komplikasihipertermia maligna).

Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik di mana suhu tubuh

naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka

kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000 pada penderita dewasa dan 1:

25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka kematiannya cukup tinggi

yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak

dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan

kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.

Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan

masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,

penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan

oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas. Kebanyakan obat

anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia

maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering

dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat

lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu

mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal

dan gagal jantung.

Page 19: BAB 2-1 baru

24

Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:

Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%.

Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas

dengan larutan NaCl fisiologis dingin. 

Pemeriksaan gas darah segera dilakukan. 

Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat. 

Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin. 

Oradekson dosis tinggi diberikan i.v. 

Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan

maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat

spesifik untuk hipertermia maligna.

d. Reaksi Hipersensitif 

Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya

mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi

dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang

digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi

intravena danobat pelumpuh otot.

Gejala klinis hipersensitif :

Kulit kemerahan dan timbul urtikaria. 

Muka menjadi sembab.

Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.

Bronkospasme. 

Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare.

Pengobatan:

Hentikan pemberian obat anestetika. 

Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti

jantung. 

Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal. 

Page 20: BAB 2-1 baru

25

Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan

tertentu. 

Percepat cairan infus kristaloid. 

Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.

e. Nyeri

Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk

meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,

sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke

ruang sub-araknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat

baik karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah

itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan

tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan

NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.

Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau

epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid

intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi

depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat

dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan

pada manula kecuali dengan pengawasan ketat. Kalau terjadi nyeri pasca

bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya

dengan titrasi perinfus.

f. Mual-Muntah

Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama

pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia

regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah:

Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m

atau i.v. 

Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg. 

Page 21: BAB 2-1 baru

26

Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v. 

Cyclizine 25-50 mg.

2. 4. 2. Perawatan post anestesi

2. 4. 2. 1. Evaluasi awal

Pemantauan setelah menjalani operasi merupakan hal yang paling

penting dilakukan untuk memastikan kondisi pasien. Pemantauan

pasien setelah mengalami pembedahan dilakukan di ruang recovery

atau post anesthesia care unit. Di ruang ini perawatan paska anesthesia

dan pemantauan tanda vital dilakukan. Selain itu juga dilakukan

pemeriksaan serum elektrolit, kadar hemoglobin, dan analisa gas darah.

Penilaian neurologis dasar termasuk tingkat kesadaran, motorik, pupil

(ukuran, kualitas, releks cahaya).

Evaluasi pupil sangat penting terutama pada pasien yang tidak sadar,

sebagaimana refleks cahaya penting untuk menilai integritas

intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial secara regional dan

herniasi di sekitar uncus atau menyebabkan dilatasi bilateral. Lesi pada

midbrain menyebabkan pupil miosis. Atropine, trimethapane, dan

epinefrin menyebabkan pupil midriasis. Pasien dengan narkotik terjadi

miosis dapat diberikan nalokson. Anisokor dan strabismus, yang dapat

dilihat sebagai efek sisa obat anestesi inhalasi akan menghilang

bersamaan dengan pulihnya kesadaran.

Tanda neurologis lokal akibat disfungsi supratentorial dan batang otak

dapat terjadi pada preoperative atau terjadi segera setelah operasi, hal

ini menunjukkan adanya hematom, vasospasme, atau edema regional.

Evaluasi segera sangat penting, bila ada kelemahan otot lokal

menunjukkan lesi supratentorial.

Page 22: BAB 2-1 baru

27

2. 4. 2. 2. Dinamika Intrakranial

Pemantau dinamika intrakranial dilakukan untuk menilai kondisi pasien

setelah menjalani pembedahan. Di antara pemantauan yang dilakukan

antara lain:

a. Hipotensi

Komplikasi yang jarang terjadi setelah pembedahan syaraf dan

biasa disebabkan oleh kurangnya penggantian volume cairan atau

penyulit durante operasi. TIK normalnya kurang dari 15 mmHg.

TIK dapat meningkat selama 12 jam setelah pembedahan dan akan

terjadi lagi 24 sampai 48 jam. Hebatnya edema otak tergantung

dari reseksi, diseksi, dan retraksi jaringan otak.

b. Hematoma

Terbentuk pada tempat operasi atau berkaitan dengan aspirin,

dilantin, dekstran.

c. Tension pneumocephalus

Terbentuk karena efek gravitasi oleh karena posisi duduk,

iatrogenik karena pengurangan ukuran otak, intracranial hipertensi.

Dapat diketahui dari CT-scan kepala.

d. Vasospasme arteri

Komplikasi serius setelah obliterasi malformasi aneurisma atau

arteriovena dapat menyebabkan iskemi, edema, dan infark. Spasm

dapat menyebar dari arteri utama sampai ke cabang-cabang dalam

waktu jam sampai dengan hari. Serotonin juga memicu terjadinya

spasme. Spasme arteri terjadi pada saat pengangkatan adenoma

hipofisis. Diagnosisnya dapat ditegakkan secara klinis melalui

adanya lateralisasi otot atau penururnan kesadaran. Angiografi

dapat membantu konfirmasi diagnostic. Terapi akut dapat

dilakukan dengan cara pemberian sodium niropuside atau

nimodipin.

Page 23: BAB 2-1 baru

28

Walaupun perubahan hemodinamik otak dapat diketahui dari perubahan

klinis, namun hubungan langsungnya jarang dapat dikenali. Trias klasik

peningkatan TIK, hipertensi sistemik dan bradikardi sebagaimana

digambarkan oleh Harvey Cushing pada 1901.

Terapi peningkatan TIK di ruang pulih sadar dapat diketahui dengan

segera dan diagnosa yang akurat dengan foto skul, perubahan analisa

gas darah, dan CT scan. Bila terjadi hematom diperlukan evakuasi

bedah dan pemeriksaan faal hemostasis. Pneumocephalus tergantung

dari ukuran, dapat dievaluasi dengan burr hole craniotomy, dan

penggantian cairan. Edema otak diterapi dengan hiperventilasi, diuresis,

steroid, anti kejang dan barbiturate.

2. 4. 2. 3. Sistem Kardiovaskular

Ketidakseimbangan kardiovaskuler paska operasi adalah komplikasi

yang paling sering terjadi, baik hipertensi atau hipotensi. Hipotensi

paling sering disebabkan oleh hipovolemi, hipotermi, sisa efek

anastesi, hipoventilasi,, kerusakan otot jantung, gangguan elektrolit, dan

kegagalan adrenal. Hipertensi paling sering disebabkan oleh kelainan

non neurologik paska operasi yang diperberat oleh kelebihan cairan,

hipertemi, vasokonstriktor, emergensi dari anastesi dengan nyeri dan

menggigil, hipoventilasi, dan hiperkapnea, cushing refleks, peningkatan

tekanan intrakranial, rebound hipertensi akut atau kronis, obat-obatan,

dan perubahan dinamika intrakranial.

Tekanan darah yang meningkat lebih dari 20-25% dari preoperatif

membutuhkan terapi, penyebabnya mungkin adalah cushing response

sebagai menkanisme protektif untuk meningkatkan perfusi otak,

sehingga diperlukan diagnosis yang adekuat. Terapi yang tepat adalah

adekuat ventilasi, hidralazine (5-10 mg), propanolol (1-2 mg),

Page 24: BAB 2-1 baru

29

diazoxide (50 mg). Labetalol, injeksi bolus sampai dengan 2.5 mg/kg

selama 40 menit dapat dikombinasi dengan sodium nitropruside.

Kelainan ECG yang sering terjadi adalah bradikardi dan supra

ventrikuler aritmia, yang terkait penyakit intracranial, hipokalemi yang

diperberat oleh diuresis dan alkalosis atau keberadaan penyakit jantung.

Tingginya kadar epinefrin dapat menyebabkan iskemi miokard,

nekrosis miokard.

2. 4. 2. 4. Sistem Respirasi

Penyebab paling sering dari gangguan respirasi adalah sisa obat

anestesi, intervensi bedah, obstruksi jalan nafas, patologi paru akut atau

kronis, neurogenik pulmonary edema, kelebihan cairan. Menggigil akan

meningkatkan kebutuhan oksigen sampai dengan 400% dan ini terjadi

pada 20% kasus dan berlangsung hanya beberapa menit saja membaik

dengan pemberian methylphenidate (Ritalin). Perubahan iregularitas

pada respirasi adalah tanda lambat dari disfungsi batang otak, walaupun

hiperventilasi sebagai satu tanda perdarahan fosa posterior atau

pembentukan edema.

2. 4. 2. 5. Sistem Termoregulasi

Hipotermia yang tidak disengaja disebabkan oleh hilangnya panas

tubuh dari konveksi, konduksi, dan radiasi selama prosedur operasi

yang lama dan diperberat dengan pemberian cairan intravena dingin.

Sedangkan teknik hipotermia yang disengaja memperlambat kardiak

siklus dan proteksi serebral selama tindakan kliping dari aneurisma.

Hipotermi akan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri dan

meningkatkan potensiasi general anestesi dan relaksan. Hipertermi oleh

karena neurogenik terkait dengan kerusakan batang otak dan

hipotalamus dan biasanya sebagai konsekuensi dari cedera otak berat,

atau setelah pengangkatan tumor hipofisis atau kraniofaringioma. Dan

Page 25: BAB 2-1 baru

30

biasanya terkait dengan adanya darah pada ventrikel atau ruang

subarakhnoid.

2. 4. 2. 6. Sistem Gastrointestinal

Penurunan motilitas usus terkait dengan peningkatan TIK. Oleh karena

itu diperlukan pengosongan lambung sebelum dilakukan ekstubasi

dengan menggunakan nasogastrik. Perdarahan saluran cerna terjadi

sekitar 2% dari pasien bedah syaraf dan komplikasi ini paling sering

oleh karena kerusakan lobus frontal dan permukaan orbita, hipotalamus,

atau area tegmental pons daripada oleh karena penggunaan steroid.

2. 5. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia yang meliputi indera penglihatan, pendengaran, penciuman, indera

perasa dan indera peraba (Notoadmodjo, 2003). Di antara penginderaan tersebut

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera yang

dilakukan untuk dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Bakhtiar,

2005). Menurut Perry & Potter (2005) dan Notoatdmojo (2003), membagi

pengetahuan ke dalam 6 (enam) tingkatan, yaitu:

2. 5. 1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai kemapuan sesorang untuk mengingat kembali

ketika mendapatkan materi yang baru (recall). Dalam hal ini contoh

seorang perawat yang pernah mendapatkan pembelajar kelas tentang

perawatan pasien yang mengalami pembedahan, ketika saat dilakukan

pengulangan (recall) terhadap materi tersebut, perawat masih mampu

mengingatnya. Hal ini diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui

sesuatu informasi yang sudah didapatkan.

Page 26: BAB 2-1 baru

31

2. 5. 2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengintepretasikan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan kembali

materi tersebut secara benar. Seseorang dikatakan memahami Sesutu

konsep atau informasi jika mampu mengulang kembali materi yang

disampaikan dan mampu memberikan penjelasan yang benar atas materi

yang disampaikan tersebut dengan bahasa yang berbeda dari yang diterima

sbelumnya.

2. 5. 3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan

pengetahuan yang dimilki untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan aplikasi dapat dilihat dari penerapan seorang individu tentang

ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.

2. 5. 4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan informasi yang

diperoleh secara mendalam baik makna tersurat maupun tersirat sehingga

mudah untuk dipahami.

2. 5. 5. Sintesis (Synthesis)

Analisis merupakan kemampuan individu untuk menjabarkan hasil

analisis yang dilakukan terhadap suatu pengetahuan yang dimiliki.

Kemampuan analisis yang dimilki seseorang akan tergambar dari

bagaimana ia menyampaikan ilmu yang dimiliki kepada orang lain

melalui gambaran apliaksi yang jelas yang dicontohkan sehingga orang

lain mampu memahami lebih baik dari yang dipahaminya saat informasi

pertama didapatkan.

2. 5. 6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi yang diperoleh. Penilaian ini didasarkan pada suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteri-kriteria yang

telah ada.

Page 27: BAB 2-1 baru

32

Banyak penulis telah menyebutkan bahwa profesionalisme perawat anestesi

sangat berkaitan dengan pengetahuan dan sikap perawat anestesi tersebut selama

bekerja (Rejeh et al 2009;. Gordon et al 2008; Twycross 2007; Jastrzab et al

2003;. Aslan , Badir dan Selimen 2003; Schafeutle, Cantrill dan Noyce 2001,

Howell et al, 2000;. Salantera et al, 1999;. Clarke et al 1996).. Dalam rangka

mewujudkan perawat anestesi yang berkompeten dan berkualitas dalam

pelayanan, maka perawat harus berpengetahuan dalam semua aspek dari

manajemen nyeri dan strategi berbasis pelayanan yang mendukung praktek-

praktek. Manajemen nyeri yang memadai sangat bergantung pada sikap

pengetahuan, dan keterampilan serta profesionalme tenaga kesehatan (Lewthwaite

et al. 2011). Plaisance dan Logan (2006) menegaskan bahwa profesionalisme

tenaga perawat kesehatan berpengetahuan dan mahir adalah kunci untuk hasil

pelayanan yang optimal terhadap pasien. Mengingat peran perawat anestesi

sangatlah penting dalam pengelolaan nyeri, penelitian yang luas telah dilakukan

untuk mengidentifikasi basis pengetahuan perawat dan sikap yang berkaitan

dengan manajemen layanan anestesi. Perawat bekerja dalam berbagai pengaturan

klinis yaitu perawatan kritis, bedah, onkologi, pediatrik, masyarakat dan

perawatan paliatif. Temuan dari banyak studi telah secara timbal balik menyoroti

defisit pengetahuan yang mungkin melibatkan pasien.

Hal ini terbukti dari penelitian empiris sebelumnya bahwa defisit pengetahuan

umum dan sikap tetap terlihat dalam studi yang lebih baru. Pengembangan dan

pemanfaatan instrumen yang populer disebut Survey Pengetahuan dan Sikap

Perawat Anestesi telah banyak dilakukan dalam penelitian dan didokumentasikan

sebagai penelitian pembanding antar penelitian dari waktu ke waktu. Alat ini telah

digunakan secara luas sejak pengembangan dan validasi pada tahun 1987 oleh

Ferrell dan McCaffery. Alat metodologis lebih lanjut telah dikembangkan dan

digunakan untuk memastikan dan membangun pengetahuan perawat di area

anestesi. Studi-studi eksplorasi dan deskriptif telah dilengkapi dengan temuan dari

studi Survey Pengetahuan dan Sikap Perawat Anestesi. Temuan dari semua studi

Page 28: BAB 2-1 baru

33

ini menyoroti pengetahuan dan sikap yang memadai dari perawat anestesi

terhadap manajemen pelayanan anestesi. Misalnya, berdasarkan pada kriteria nilai

persentase minimal dapat diterima pada Survey Pengetahuan dan Sikap Perawat

Anestesi adalah 80%, dan sebagian besar studi melaporkan nilai rata-rata jauh

lebih rendah. Laporan berbagai literature, mendapati skor pada Survey

Pengetahuan dan Sikap Perawat Anestesi adalah antara 35% sampai 79%. Temuan

ini menggambarkan defisit pengetahuan yang jelas dari perawat anestesi dalam

kaitannya dengan pelayanan anestesi. Biasanya, studi yang telah meneliti

pengetahuan perawat anestesi menetapkan bahwa manajemen farmakologis adalah

domain dari kinerja pengetahuan terlemah. Secara khusus, hal ini termasuk: rute

pilihan dan dosis yang tepat dari analgesik, kemungkinan pengembangan efek tak

diinginkan dari analgesik narkotik seperti depresi pernafasan dan kecanduan

sebagai akibat dari penggunaan opioid.

Banyak penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa pengetahuan dan

sikap perawat anestesi sangat berkaitan dengan analgesik opioid. Ketakutan

berlebihan pada kemungkinan perkembangan efek tak diinginkan terkait dengan

penggunaan opioid telah dikutip secara konsisten dalam literatur. Kedua

penelitian tradisional dan kontemporer telah menunjukkan kesalahan persepsi

yang meluas di berbagai daerah. Dalam studi sebelumnya, McCaffery dan Ferrell

(1995) menetapkan bahwa pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan

kecanduan yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari penggunaan opioid adalah

item yang menerima persentase terendah dari respon yang benar dalam lima

negara di mana penelitian ini dilakukan . Mereka menegaskan bahwa kepercayaan

yang keliru perawat miliki mengenai kemungkinan kecanduan dapat

menyebabkan penderitaan yang tidak perlu dari pasien sebagai akibat dari

ketakutan perawat dan keengganan untuk mengelola analgesik opioid (McCaffery

dan Ferrell 1995).

Page 29: BAB 2-1 baru

34

Broekmans et al. (2004) menyelidiki sikap perawat terhadap analgesik opioid dan

menyebutkan bahwa hampir setengah sampel (49,9%) dari 350 responden perawat

percaya kecanduan adalah efek samping dari terapi substansial opioid untuk nyeri

kronis. Demikian pula dalam penelitian mereka terhadap 313 siswa perawat,

Plaisance dan Logan (2006) menetapkan bahwa hanya 30% dari responden

diidentifikasi dengan benar mengenai risiko kecanduan sebagai akibat dari

penggunaan narkotika pada pasien yang menerima analgesik opioid untuk nyeri

kurang dari 1%. Tahun berikutnya, Yu dan Petrini (2007) juga menegaskan bahwa

perawat banyak mengalami over-estimasi terhadap kejadian kecanduan pada

pasien dengan nyeri di mana hanya 11% dari 616 perawat yang secara benar

menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan risiko perkiraan kecanduan opioid

pada pasien. Temuan ini dikonfirmasi dalam penelitian lebih lanjut yang

menggambarkan persepsi perawat yang secara luas dalam kaitannya dengan

pengetahuan kecanduan (Wang dan Tsai 2010; Bernardi, Catania dan Tridello

2007; Lai et al 2003;. Zanolin et al 2007;. Coulling 2005; Allcock dan Toft 2003,

Puls-McColl, Holden dan Buschmann 2001; Mackrodt dan White 2001; Clarke et

al 1996).. Hal ini jelas bahwa perawat lebih percaya bahwa kecanduan opioid

yang lebih menonjol. Sebuah harapan kecil terhadap perawat yang mengelola

analgesik narkotika kepada pasien untuk mengendalikan nyeri adalah bahwa ada

kekhawatiran berkaitan dengan kecanduan menyebabkan tidak adanya kompromi

mereka dan tanggung jawab untuk mengelola dosis yang tepat dari analgesik

opioid (McCaffery dan Ferrell 1997).

Kepercayaan yang salah dan ketakutan berlebihan terkait dengan kemungkinan

perkembangan depresi pernafasan pada pasien yang menerima opioid juga banyak

didokumentasikan dalam literatur. Coulling (2005) melakukan survei yang

menyelidiki pengetahuan 82 profesional kesehatan mengenai nyeri di Inggris.

Disebutkan bahwa 52% dari responden percaya bahwa depresi pernafasan adalah

efek samping yang paling umum dari morfin. Selain itu, 26% dari perawat dalam

penelitian ini menyebutkan bahwa opioid 'fobia' sebagai hambatan yang signifikan

terhadap manajemen nyeri akut. Keyakinan yang salah selanjutnya disebutkan

Page 30: BAB 2-1 baru

35

ketika hampir 87,1% dari 621 perawat berpikir bahwa opioid harus dihindari pada

pasien tua yang lemah karena risiko depresi pernapasan.

Matthews dan Malcolm (2007) menyelidiki pengetahuan dan sikap dari 101

perawat di Irlandia Utara. Disebutkan bahwa lebih dari 50% perawat telah salah

menjawab dua item dalam kaitannya dengan depresi pernafasan pada pasien yang

menerima terapi opioid. Ketika diminta untuk memperkirakan kemungkinan

perkembangan depresi pernafasan klinis yang signifikan terjadi pada pasien yang

menerima terapi opioid kronis yang stabil, hanya 49,5% dari perawat yang dapat

menjawab dengan benar. Demikian pula, hanya 46% dari perawat dalam

penelitian ini dengan benar menyatakan bahwa depresi pernafasan jarang terjadi

pada pasien yang menerima opioid selama periode 1 bulan. Baru-baru ini, dalam

sebuah penyelidikan terhadap 370 perawat di unit perawatan intensif

menyebutkan bahwa 85,1% menjawab salah terhadap item yang berkaitan dengan

risiko perkiraan depresi pernafasan yang terjadi pada pasien (Wang dan Tsai

2010). Temuan ini berkorelasi dengan penelitian serupa yang telah menegaskan

kesalahpahaman tentang kejadian depresi pernafasan pada pasien yang menerima

dosis stabil opioid (Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Reiman dan

Gordon 2007; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Vincent dan Denyes 2004;

Tse dan Chan 2004; Lai et al 2003; Van Niekerk dan Martin 2001).

Kesalahpahaman dan ketakutan perawat terkait dengan dampak negatif efek

analgesik narkotika pada pasien dan manajemen nyeri sangatlah tidak efektif

(Glynn dan Ahern 2000).

 Defisit pengetahuan lebih lanjut dalam kaitannya dengan farmakologi analgesik

yang jelas tersedia dengan sangat luas dari berbagai literatur. Perawat memainkan

peran sentral dalam mengelola obat penghilang rasa sakit dan mereka harus

mampu menafsirkan dosis, tindakan, rute administrasi dan menjadi akrab dengan

efek samping obat ini. Namun demikian, defisit pengetahuan secara luas dicatat

dalam literatur dalam kaitannya dengan pengetahuan farmakologi perawat. Defisit

pengetahuan berkaitan dengan rute yang paling tepat secara administrasi analgesia

Page 31: BAB 2-1 baru

36

untuk pasien dengan nyeri kanker selalu dilaporkan dalam literatur. Rute yang

disarankan administrasi adalah rute oral karena paling tidak invasif dan biaya

yang paling efektif. Namun, banyak penelitian telah menyoroti bahwa sejumlah

besar perawat memiliki kesalahpahaman, di mana mereka memilih rute alternatif

administrasi yang mereka percaya adalah rute disukai (Wang dan Tsai 2010,

Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Yildrim, Cicek dan Uyar 2.008 ,

Lui, Jadi dan Fong 2008, Reiman dan Gordon 2007; Matthews dan Malcolm

2007; Lai et al 2003;. Clarke et al 1996;. McCaffery dan Ferrell 1995). Dari studi

ini, tingkat respons yang tepat untuk item ini bervariasi dari yang terendah sebesar

5,9% di Turki dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Yildrim, Cicek dan Uyar

(2008) dan tertinggi 67,6% di Cina dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lui,

Jadi dan Fong (2008) .

Lewthwaite et al. (2011) melakukan penelitian untuk menyelidiki pengetahuan

perawat dan sikap mengenai rasa sakit dari sampel 324 perawat. Meskipun skor

keseluruhan rata-rata dari mereka adalah 79%, disebutkan bahwa lima pertanyaan

yang mencetak skor terendah secara keseluruhan adalah pertanyaan farmakologi.

Temuan ini berkorelasi dengan studi penelitian lebih lanjut yang telah menetapkan

bahwa pertanyaan farmakologi telah menerima sebagian besar tanggapan yang

benar denga proporsi terendah (Wang dan Tsai 2010; Rahimi-Madiseh, Tavakol

dan Dennick 2010; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Reiman dan Gordon

2007; Lai et al 2003).. Item ini ditujukan pada pengetahuan perawat dalam

kaitannya dengan penggunaan obat-obatan, tindakan, dan dasar perhitungan equi-

analgesik. Pengetahuan pharmacotherapeutics menjadi sangat penting bagi

pelayanan yang aman dan efektif analgesik untuk pasien yang mengalami rasa

sakit dan hal itu menjadi mengkhawatirkan karena tingkat defisit pengetahuan

yang dilaporkan dalam literatur. Sebagai contoh dalam penelitian Reiman dan

Gordan (2007) menetapkan bahwa hanya 18,3% dari 295 perawat secara benar

menjawab item dalam kaitannya dengan dosis equi-analgesik. Demikian pula,

hanya 19,7% dari 66 perawat dalam studi lebih lanjut menjawab pertanyaan

serupa (Bernardi, Catania dan Tridello 2007). Defisit pengetahuan yang cukup

Page 32: BAB 2-1 baru

37

dalam sehubungan dengan equi-analgesik dosis analgesik telah diidentifikasi

dalam banyak studi penelitian terbaru empiris (Lewthwaite et al 2011;. Wang dan

Tsai 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008, Lai et al

2003).. Data juga mengungkapkan bahwa perawat memiliki kesalahpahaman

tentang efek 'langit- langit' analgesik. Efek langit-langit analgesic mengacu pada

dosis luar yang tidak ada efek analgesik tambahan. Morfin tidak memiliki dosis

langit-langit. Namun demikian, penelitian telah menunjukkan bahwa perawat

banyak yang tidak menyadari prinsip dasar ini (Wang dan Tsai 2010, Yildirim,

Cicek dan Uyar 2008; Reiman dan Gordon 2007; Coulling 2005; Lai et al 2003;.

Van Niekerk dan Martin 2001).

Pengetahuan yang memadai mengenai penggunaan dan mekanisme dari obat

tertentu juga telah dilaporkan dalam banyak studi. Salah satu item yang sering

dijawab salah dalam banyak studi penelitian berkaitan dengan penggunaan non-

steriodal anti-inflammatory drugs (NSAID) yang berguna dalam menghilangkan

nyeri kanker, terutama metastasis tulang. Dalam sebuah studi awal, Brown,

Bowman dan Eason (1999) menetapkan bahwa 53,9% dari 260 perawat gagal

untuk menjawab secara benar item ini. Item lain yang menerima respon benar

dengan persentase rendah adalah hal yang berkaitan dengan efek dari obat

antihistamin yang disebut phenergan (promethazine) pada opioid. Hanya 17,5%

dari perawat benar mengidentifikasi bahwa phenergan bukan potentiator opioid.

Dengan membandingkan temuan studi yang lebih baru, ia mengkhawatirkan

bahwa defisit pengetahuan yang cukup di daerah ini masih terlihat (Lewthwaite et

al 2011;. Wang dan Tsai 2010, Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010;

Yildirim, Cicek dan Uyar 2008; Reiman dan Gordon 2007; Bernardi, Catania dan

Tridello 2007; Lai et al 2003;. Erkes et al 2001).. Kurangnya pengetahuan perawat

tentang manajemen nyeri tidak terbatas pada pengetahuan farmakologi, tetapi

meluas non-farmakologis terapi juga. Salah satu item yang terkait dengan

efektivitas intervensi non-obat untuk menghilangkan rasa sakit. Banyak studi

empiris telah menyoroti bahwa perawat tidak mengetahui bahwa terapi non-

farmakologis berguna dalam pengobatan sakit parah, serta nyeri ringan sampai

Page 33: BAB 2-1 baru

38

sedang (Wang dan Tsai 2010; Yildrim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong

2.008 , Matthews dan Malcolm 2007; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Tse

dan Chan 2004; Lai et al 2003;. Erkes et al 2001).. Data juga mengungkapkan

bahwa perawat tidak percaya bahwa pasien dapat tidur meskipun sakit parah

(Wang dan Tsai 2010; Yildririm, Cicek dan Uyar 2008, Bernardi, Catania dan

Tridello 2007; Tse dan Chan 2004;. Lai et al 2003). Beberapa pertanyaan survei

yang berhubungan dengan pengetahuan penilaian nyeri. Sikap ini berkaitan

dengan penilaian nyeri juga telah dilaporkan secara konsisten dalam literature

(Wang dan Tsai 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008,

Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Matthews dan Malcolm 2007;. Lai et al

2003; Brown, Bowman dan Eason 1999). Pada dasarnya, hal ini dapat

menyebabkan perawat melewatkan laporan rasa sakit dari pasien yang akibatnya

dapat mengakibatkan pengobatan di bawah rasa sakit. Salah satu prinsip paling

dasar dari penilaian nyeri adalah dengan sadar menilai sifat subjektif dari rasa

sakit dan menerima laporan nyeri pasien secara diri (McCaffery dan Ferrell 1995).

Mayoritas perawat dalam satu studi (84%) setuju bahwa pasien adalah hakim yang

paling akurat dari intensitas nyeri (Lai et al. 2003). Temuan ini konsisten dengan

studi yang lebih baru yang telah menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang

disurvei percaya bahwa evaluasi nyeri pasien adalah yang paling akurat (Wang

dan Tsai 2010; Lui, Jadi dan Fong 2008; Reiman dan Gordon 2007). Inkonsistensi

ditemukan dalam literatur yang berkaitan dengan item lain dari penilaian nyeri.

Mayoritas perawat dalam beberapa penelitian dengan benar setuju bahwa

pengamatan perubahan tanda-tanda vital tidak boleh diandalkan untuk

memverifikasi laporan nyeri pasien (Wang dan Tsai 2010; Lui, Jadi dan Fong

2008; Plaisance dan Logan 2006; Lai et al 2003. , Van Niekerk dan Martin 2001;

Erkes et al 2001). Namun demikian, beberapa studi penelitian lain menetapkan

bahwa sejumlah besar perawat yang disurvei menjawab secara benar item ini di

mana mereka keliru percaya bahwa perubahan dalam tanda-tanda vital harus

diandalkan untuk memverifikasi adanya nyeri (Huth, Gregg dan Lin 2010;

Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Tse dan

Chan 2004).

Page 34: BAB 2-1 baru

39

Menurut McCaffery dan Ferrell (1997), perawat tidak selalu mematuhi dan

menerima prinsip dasar eliciting laporan pasien dari rasa sakit. Meskipun banyak

perawat melihat laporan rasa sakit pasien untuk menjadi acuan yang paling dapat

diandalkan, banyak bukti menunjukkan bahwa dasar penilaian perawat adalah

berdasarkan intuisi. Hal ini terlihat dari upaya berbagai penelitian yang telah

dieksplorasi mengenai pengetahuan perawat dan sikap mengenai pengambilan

keputusan sehubungan dengan penilaian nyeri dan intervensi lanjutan dengan

menghadirkan skenario kasus pasien. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh

Matthews dan Malcolm (2007) di Irlandia Utara, responden diminta untuk

mencatat penilaian mereka dari dua pasien yang keduanya melaporkan intensitas

nyeri yang dialami. Dua pasien yang disajikan dalam sketsa berbeda secara

perilaku, di mana satu pasien tersenyum dan pasien lainnya sedang meringis.

Meskipun kedua pasien dinilai skor nyeri mereka sebagai sama, jelas bahwa

perawat secara konsisten menilai skor nyeri dari pasien tersenyum adalah kurang

dari pasien meringis. Dalam penelitian ini, hanya 51,3% dari perawat melakukan

penilaian rasa nyeri pasien tersenyum sebagai tingkat yang dilaporkan oleh pasien

yang dibandingkan dengan 77% dari perawat yang mencatat nyeri pasien meringis

sebagai tingkat di mana ia melaporkan hal itu terjadi. Hal ini jelas bahwa perawat

dalam penelitian ini dipengaruhi oleh manifestasi perilaku pasien.

Temuan ini konsisten dengan studi lain yang juga telah menetapkan bahwa

perawat dipengaruhi oleh perilaku pasien sebagai laporan pasien di mana

sejumlah besar perawat yang disurvei mencatat nyeri pasien tersenyum sebagai

lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang meringis (Wang dan Tsai 2010;

Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008,

Lui, To dan Fong 2008, Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Vincent dan Denyes

2004, Lai et al 2003).. Schafheutle, Cantrill dan Noyce (2001) menegaskan bahwa

ketergantungan perawat pada saat penilaian nyeri yang bertentangan dengan

laporan subyektif pasien merupakan hambatan yang signifikan untuk manajemen

nyeri yang efektif. Item pada kedua sketsa kasus pasien meminta perawat untuk

membuat keputusan yang berkaitan dengan dosis analgesia yang akan diberikan

Page 35: BAB 2-1 baru

40

pada kedua pasien. Defisit pengetahuan substansial yang terlihat di kedua skenario

kasus pasien di mana hanya 29,2% dari perawat 113 akan mengelola dosis yang

tepat dari morfin untuk pasien tersenyum. Analisis lebih lanjut mengungkapkan

bahwa hanya 45,1% dari sampel perawat yang disurvei akan mengelola dosis

yang tepat dari morfin untuk pasien meringis (Matthews dan Malcolm 2007).

Studi penelitian lebih lanjut juga telah diverifikasi bahwa pengetahuan perawat

dan pengambilan keputusan yang rendah yang berkaitan dengan pemilihan dosis

opioid dan tidak berkorelasi dengan laporan tingkat intensitas nyeri pasien

(Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dinnick 2010; Wang dan Tsai 2010; Yildirim,

Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008, Bernardi, Catania dan Tridello

2007; McCaffery, Pasero dan Ferrell 2007; Vincent dan Denyes 2004, Lai et al

2003;. McCaffery, Ferrell dan Pasero 2000).

Kegagalan dalam hal pemberian dosis analgesia yang memadai untuk pasien

kemungkinan besar disebabkan oleh lemahnya pengetahuan perawat tentang cara

memilih dosis analgesia yang aman dan efektif (McCaffery, Pasero dan Ferrell

2007). Kegagalan perawat untuk memberikan dosis efektif dan tepat opioid

dimungkinkan sebagai akibat dari pendidikan yang tidak memadai dan pelatihan

dalam farmakologi opioid atau ketakutan perawat yang berhubungan dengan efek

tak diinginkan terkait dengan analgesik opioid (Rahimi-Madiseh, Tavakol dan

Dinnick 2010).