BAB 2-1 baru
-
Upload
adi-adriansyah -
Category
Documents
-
view
31 -
download
3
description
Transcript of BAB 2-1 baru
6
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah
sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar
yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan
rumah sakit ditunjukkan untuk pasien/penderita dan keluarganya, orang sehat,
masyarakat luas, dan institusi (asuransi, pendidikan, dunia usaha, kepolisian dan
kejaksaan). Pelayanan terhadap pasien meliputi pemeriksaan, penegakan
diagnosis, tindakan terapeutik (pengobatan), tindakan pembedahan, penyinaran
dan lain-lain.
Bentuk pelayanan rumah sakit dibagi atas pelayanan dasar, pelayanan spesialistik
dan sub spesialistik, serta pelayanan penunjang. Bentuk pelayanan ini akan sangat
ditentukan juga oleh tipe rumah sakit. Pelayanan dasar rumah sakit meliputi rawat
jalan (politeknik/ambulatory), rawat inap (inpatient care), dan rawat darurat
(emergency care). Rawat jalan merupakan pertolongan kepada penderita yang
masih cukup sehat untuk pulang ke rumah. Rawat inap merupakan pertolongan
kepada penderita yang memerlukan asuhan keperawatan terus-menerus
(continuous nursing care) hingga sembuh. Rawat darurat merupakan pemberian
pertolongan kepada penderita yang dilaksanakan dengan segera.
Rumah Sakit sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan yang
merupakan tempat dan tumpuan harapan masyarakat untuk memperoleh
pelayanan kesehatan, pertolongan kegawat daruratan dan perawatan yang
memadai harus dapat memberikan pelayanan yang nyaman cepat, tepat,
bermanfaat dan profesional. Untuk itu Rumah Sakit dituntut memberikan
pelayanan dengan mutu yang baik serta menyediakan berbagai tawaran dan
7
fasilitas, akomodasi yang dilengkapi dengan peralatan medis yang canggih dan
modern.
2.2. Pelayanan Kamar Operasi
Pelayanan kamar operasi merupakan salah satu standar minimal layanan
kesehatan yang harus disediakan rumah sakit. Pelayanan pembedahan dapat
dilakukan secara terencana pada pasien yang sudah dipersiapkan maupun pada
pasien dalam keadaan gawat darurat. Sebagai institusi layanan kesehatan, maka
harus siap untuk menghadapi berbagai kondisi penyakit yang membutuhkan
pembedahan seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan pembedahan
dewasa ini.
Instalasi Kamar Operasi merupakan bagian integral yang penting dari pelayanan
suatu rumah sakit. Instalasi ini berbentuk suatu unit yang terorganisir dan sangat
terintegrasi, di mana di dalamnya tersedia sarana dan prasarana penunjang untuk
melakukan tindakan pembedahan. Kamar Operasi adalah salah satu fasilitas yang
ada di rumah sakit dan termasuk sebagai fasilitas yang mempunyai banyak
persyaratan. Fasilitas ini dipergunakan untuk pasien yang membutuhkan tindakan
operasi, terutama untuk tindakan operasi besar.
Proses operasi merupakan sebuah tindakan yang komplek dan terbagi menjadi 3
periode, yaitu prior surgery, during surgery dan after surgery. Kegiatan pada
periode prior surgery dapat dilakukan di ruang perawatan atau di ruang persiapan
operasi untuk kasus one day care surgery. Kegiatan pada periode during surgery
tentu saja berada di Kamar Operasi. Sedangkan kegiatan pada periode after
surgery, pasien yang telah selesai dilakukan tindakan operasi akan dipindahkan ke
ruang pemulihan tahap 1 selama 1 - 2 jam. Setelah pasien siuman dapat
dipindahkan ke ruang perawatan yang tentunya tergantung dari kondisi pasien itu
sendiri. Jika pasien dalam keadaan baik, maka akan dipindahkan ke bangsal
perawatan biasa dan apabila pasien perlu mendapatkan perawatan intensive maka
akan direlokasi ke ICU. Sedangkan pasien yang dilakukan tindakan operasi
8
dengan system one day care, maka akan dipindahkan ke ruang pemulihan tahap 2
sebelum pasien ini pulang ke rumah.
2.3. Pelayanan Anestesiologi
Pembedahan atau operasi merupakan tindakan kolaboratif yang dilakukan antara
tim dokter, perawat, dan ahli anestesi. Untuk menjamin kualitas pelayanan
pembedahan yang baik, maka ahli anestesi memilki peran penting dalam
menyiapkan pasien sebelum, selama dan setelah menjalani proses pembedahan.
Untuk dapat memberikan pelayanan pembedahan yang berkualitas, maka
dibutuhkan pengertahuan dan kemampuan melakukan tindakan yang professional.
Tindakan anestesi merupakan tindakan memberikan obat yang menekan fungsi
saraf agar pasien dapat melewati proses operasi tanpa merasakan nyeri. Walaupun
tindakan ini sangat bermanfaat dalam proses operasi, tindakan ini juga
mengakibatkan efek samping pada pasien setelah menjalani operasi. Di anatara
efek yang disebabkan setelah tindakan operasi adalah efek pada sistem saraf pusat
yang memunculkan gejala dari ringan hingga berat, efek pada sistem
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah berlebihan,
hingga efek mual, muntah, pusing, dan gangguan regulasi suhu.
Monitoring post operasi merupakan salah satu tindakan yang harus dilakukan
untuk menjamin keselamatan pasien setelah pembedahan. Monitoring ini
dilakukan untuk memastikan apakah efek anestesi masih mempengaruhi
kesehatan pasien atau sudah tidak mempengaruhi lagi, mencegah terjadinya
komplikasi akibat penggunaan obat anestesi, maupun mencegah ketidaknyamanan
pada klien setelah dilakukan tindakan pembedahan.
Pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit merupakan salah satu
bagian dari pelayanan kesehatan yang berkembang dengan cepat seiring dengan
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang anestesia. Peningkatan
kebutuhan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif ini tidak diimbangi dengan
jumlah dan distribusi dokter spesialis anestesiologi secara merata. Keadaan
9
tersebut menyebabkan tindakan anestesia di rumah sakit dilakukan oleh perawat
anestesi sehingga tanggung jawab terhadap pelayanan ini menjadi tidak jelas
khususnya untuk rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis anestesiologi
Pelayanan anestesia di rumah sakit antara lain meliputi pelayanan
anestesia/analgesia di kamar bedah dan di luar kamar bedah, pelayanan
kedokteran perioperatif, penanggulangan nyeri akut dan kronis, resusitasi jantung
paru dan otak, pelayanan kegawatdaruratan dan terapi intensif.
Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversibel (Bobson,
1994). Tindakan anestesi diberikan untuk membatu menekan sistem saraf agar
tindakan operasi dapat dilakukan. Sehubungan dengan perannya sebagai media
dalam proses operasi maka anestesi tidak digolongkan sebagai obat terapi
melainkan hanya obat yang membantu memediasi proses operasi.
Berdasarkan cara kerjanya dalam memanipulasi sistem saraf, anestesi dibagi atas:
2. 3. 1. Anestesi lokal (general anesthetics)
Anastesi lokal merupakan anestesi yang menghasilkan blockade konduksi
pada dinding saraf secara sementara pada area yang dilakukan tindakan
operasi. Anestesi lokal bersifat sementara dan akan pulih segera setelah
tindakan selesai tanpa menyebabkan kerusakan struktur saraf. Sistem
saraf pada tindakan anastesi lokal akan segera bekerja kembali setelah
tindakan selesai tanpa mempengaruhi kondisi saraf dan efek yang
berkepanjangan pada pasien.
10
Rahardjo (2009) mengemukakan banyak sifat anestesi dapat
mempengaruhi struktur saraf setelah tindakan operasi dilakukan.
Walaupun demikian, anestesi lokal cenderung lebih aman untuk struktur
dan fungsi saraf. Di antara sifat-sifat anestesi lokal adalah:
a. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan secara menetap.
b. Batas keamanan pemberian harus lebar, hal ini disebabkan obat
anestesi lokal diabsrobsi dari tempat suntikan.
c. Masa kerja harus diperhitungkan cukup lama untuk mempersiapkan
waktu yang cukup untuk tindakan operasi.
d. Masa pemulihan tidak terlalu lama.
e. Harus larut dalam air.
f. Stabil dalam larutan.
g. Dapat disentuh tanpa mengalami perubahan.
Pasca anestesi, dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan oleh operasi atau pengaruh
anestesinya.
Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional, pasien akan secara rutin
dikelola di kamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi (RR, recovery room
atau PACU - Post Anesthesia Care Unit). Idealnya, pasien akan terbangun dari
anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Namun kenyataannya sering
dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca
anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah,
kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan. Recovery
room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, di mana pasien
dirawat setelah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang
11
baru saja dioperasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat
penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, di mana keadaan vital sign pasien
(nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek
dari obat anestesi menghilang. Pasien biasanya akan mengalami disorientasi
setelah mereka sadar kembali, dan di ruang pemulihan ini pasien ditenangkan
apabila terjadi anxietas dan dipastikan bahwa fisik dan emosional pasien
terkendali.
2. 3. 1. Efek Samping
Penggunaan obat anestesi akan menimbulkan beberapa efek samping pada sistem
tubuh. Walaupun demikian efek yang dtimbulkan tidak terlalu berbahaya jika
dilakukan dengan dosis yang ditentukan. Beberapa efek samping yang akan
ditimbulkan setelah penggunaan anestesi lokal di antaranya akan berdampak pada
sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem saraf pusat, sistem imun, dan
sistem muskulus skeletal. Walaupun demikian pada dasarnya penggunaan anestesi
lokal tidak berdampak terlalu buruk terhadap kondisi klien, namun hanya
diperlukan monitoring agar kondisi pasien dapat dipertahankan dalam kondisi
optimal.
Pada dasarnya efek anestesi lokal yang ditimbulkan merupakan efek dari
akumulasi anestesi dalam darah dalam waktu yang dapat diperoleh dari
penggunaan dosis anestesi berlebihan, penyuntikan anestesi intravaskular atau
penurunan kemampuan absorpsi obat anestesi, penurunan transformasi biologis
tubuh, serta proses ekresi obat yang lama. Penggunaan obat anestesi akan
mempengaruhi sistem tubuh berdasarkan pertimbangan usia, berat badan, kondisi
liver, ginjal, serta tipe dan jumlah anetesi yang digunakan. Jika obat-obatan ini
digunakan dalam batas yang wajar maka sanksi ini tidak dikenakan.
Penggunaan anestesi lokal dapat mempengaruhi kondisi sistem kardiovaskuler
dan sistem saraf pusat. Walaupun demikian, sistem saraf pusat sangat mudah
terpengaruh efek samping penggunaan anetesi selama dan sesudah pembedahan.
12
Di antara tanda-tanda efek samping ringan anestesi pada sistem ini adalah
penurunan kesadaran (sedasi), bicara tidak jelas, menggigil, tremor wajah dan
kening berkedip, hilang sensori pengecap pada lidah, mengeluh perasaan panas,
mengantuk sepanjang hari, disorientasi visual dan gangguan sistem pendengaran.
Efek samping sedang pada sistem saraf pusat akibat penggunaan anestesi sedang
akan menimbulkan kejang konfulsif. Di antara tanda-tanda awal sebelum
terjadinya terjadinya kejang konfulsif di antaranya letargi, coma, dipsnea, apnoe,
hipotensi, syok, dan henti jantung serta henti napas.
Efek samping anestesi terhadap sistem kardiovaskuler tidak terlihat hingga
terjadinya peningkatan tekanan darah secara signifikan. Penggunaan anestesi lokal
akan mengakibatkan depresi miokardium. Penggunaan dalam konsentrasi dosis
rendah akan bermanfaat untuk mengkoreksi keadaan disritmia. Namun
penggunaan dalam batas berlebihan akan menyebabkan depresi miokardium.
Selain itu, efek primer dari penggunaan anestesi akan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Penggunaan berlebihan akan menyebabkan penurunan tekanan darah
secara drastis.
2. 4. Post Anesthesia Care Unit
Unit Perawatan post anesthesia care unit harus berada dalam satu lantai dan
dekat dengan kamar bedah dengan tujuan apabila timbul kegawatan dan perlu
segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan.
Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan,
pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat
sama halnya seperti ketika masih berada di kamar bedah. Besar ruangan dan
fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang
membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna
kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya
kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar
bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah
kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia,
13
misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal, laringoskop, dan alat
trakeostomi dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% -
100%.
Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau PACU harus seperti sewaktu berada di
kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, oleh karena itu peralatan monitor
yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,
peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri dan
terpisah dari kamar bedah. Personil dalam PACU sebaiknya sudah terlatih dalam
penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten, dan tanggap
terhadap perubahan dini tanda vital yang membahayakan pasien. Setelah
dilakukan pembedahan, pasien dirawat di ruang pulih sadar. Pasien yang dikelola
adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih
sadar, pasien akan dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya
cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik atau tidak. Pasien dengan gangguan
jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas
karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini juga
kemungkinan akan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi
yang masih berpengaruh, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat
penurunan ventilasi.
Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau
masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat
anestesi akan sadar kembali. Kartu observasi selama di ruang pulih sadar harus
ditulis dengan jelas, sehingga dapat dibaca bila pasien sudah kembali ke bangsal.
Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
14
Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung
pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat
dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti:
Kelainan organ.
Syok yang lama.
Dehidrasi berat.
Sepsis.
Trauma multiple.
Trauma kapitis.
Gangguan organ penting, misalnya otak.
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih
mudah dapat dilakukan monitoring B6, yaitu :
a. Breath (nafas) - sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi pola nafas, berupa:
Tanda-tanda obstruksi.
Pernafasan cuping hidung.
Frekuensi nafas.
Pergerakan rongga dada: simetris/tidak.
Suara nafas tambahan: tidak ada pada obstruksi total.
Udara nafas yang keluar dari hidung.
Sianosis pada ekstremitas.
Auskultasi : wheezing, ronki.
15
Jika pasien sadar, tanyakan adakah keluhan pernafasan. Jika tidak ada keluhan
nafas, cukup berikan O2. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi, berikan terapi sesuai
kondisi (aminofilin, kortikosteroid, dan tindakan triple manuver airway).
a. Blood (darah) - sistem kardiovaskuler, meliputi:
Tekanan darah.
Nadi.
Perfusi perifer.
Status hidrasi (hipotermi ± syok).
Kadar Hb.
b. Brain (otak) - sistem SSP, meliputi:
Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale).
Perhatikan gejala kenaikan TIK 4.
c. Bladder (kandung kencing) - sistem urogenitalis, meliputi:
Periksa kualitas, kuantitas, warna, dan kepekatan urine.
Untuk menilai apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada kerusakan ginjal
saat operasi, dan acute renal failure.
d. Bowel (usus) - sistem gastrointestinalis, meliputi pemeriksaan:
Dilatasi lambung.
Tanda-tanda cairan bebas.
Distensi abdomen.
Perdarahan lambung post operasi.
Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain semisal hepar, lien, dan
pancreas.
Dilatasi usus halus.
Hati-hati dengan pasien operasi mayor, akan sering mengalami kembung
yang mengganggu pernafasan karena pasien bernafas dengan diafragma.
e. Bone (tulang) - sistem musculoskeletal, meliputi pemeriksaan:
Tanda-tanda sianosis.
Warna kuku.
Perdarahan post operasi.
16
Kriteria yang digunakan dan umumnya dinilai pada saat observasi di ruang pulih
adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti
skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor
total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 , pasien boleh keluar ruang
pemulihan.
Namun bila pasien tersebut adalah anak-anak, maka kriteria pemulihan yang
digunakan adalah skor Steward, di mana yang dinilai antara lain pergerakan,
pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang
pemulihan.
Untuk pasien dengan spinal anestesi, akan digunakan kriteria skor Bromage, di
mana yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di
atas 2, pasien boleh di pindahkan ke ruang rawat.
Tabel skor pemulihan pasca anestesi
Aldrete Score (dewasa)
Penilaian Skor
Nilai Warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernafasan
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnoea atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Kesadaran
17
Sadar, siaga dan orientasi 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Penilaian Skor
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlahnya > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel skor pemulihan pasca anestesi
Bromage Score (spinal anestesi)
18
Penilaian Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Jika jumlahnya 2, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
2. 4. 1. Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
2. 4. 1. 1. Komplikasi Respirasi
a. Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalah
dengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan
mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik
lebih sering terjadi dan mungkin dapat menjadi total, di mana wheezing dapat
terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata terjadi dan keadaan ini dapat diatasi dengan
meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan
terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus
utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai sampai terjadi tanda-tanda
hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa
setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi
dada, sementara secara manual paru-paru dikembangkan Jika suara pernafasan
tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka
harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi
toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai
sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.
19
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan
mekanik yang tidak dapat dijelaskan segera setelah intubasi, maka anjuran
terbaik adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi.
Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas
dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang
jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan
mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara
anestetik peroral atau nasal.
Sumbatan mekanik pada penderita yang diintubasi mungkin bersifat samar.
Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran
pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung
dapat terhalang pada dinding trakea atau dapat terlalu menjorok jauh dan
memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi
bagian ujung.
b. Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting
adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara
anatomis, akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak
diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg atau 30 mg
intramuscular, sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi
dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, lakukan penyuntikan
lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
20
c. Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, perangsangan hipoksia dan hiperkarbia dapat
mempertahankan penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik
sampai >90 mmHg, sehingga menimbulkan koma. Dengan pemberian O2,
hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada hipoventilasi
ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal
apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang
benar pada hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
d. Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium
ekstraselular mengalir ke intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia
berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada hipokalemia.
2. 4. 1. 2. Komplikasi Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea,
cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena
hipoksia, hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema
paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan
kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 ± 1,0
µg/kg/ menit.
21
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan
pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang
kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk
mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia
dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Berikan O2 100% dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml. Distritmia
yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,
hiperkapnia atau penyakit jantung.
Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah
dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik
seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat
untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi
dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain
topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobati
dengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V
dengan memperhatikan pernafasan (depresi).
Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama
anestesia :
Tindakan bedah: Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus.
Pengaruh metabolisme: hipertiroid, hiperkalemi.
Penyakit tertentu: penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia, hipokelmia,
jantung coroner.
Pengaruh obat tertentu: atropine, halotan, adrenalin dll.
22
2. 4. 1. 3. Komplikasi Lain-lain
a. Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang
timbul mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini
mungkin terjadi karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi
akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan
irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi
pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu
tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.
Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat
dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
b. Gelisah Setelah Anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,
dan kesakitan. Hal ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan
sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum
sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada
anak dan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut,
pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB atau terapi dengan
analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
c. Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau
hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38
derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat.
Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius
dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.
23
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama.
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius).
Penutup kain operasi yang terlalu tebal.
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar.
Infeksi.
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada
komplikasihipertermia maligna).
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik di mana suhu tubuh
naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka
kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000 pada penderita dewasa dan 1:
25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka kematiannya cukup tinggi
yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak
dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan
kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan
masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,
penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan
oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas. Kebanyakan obat
anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia
maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering
dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat
lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu
mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal
dan gagal jantung.
24
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%.
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas
dengan larutan NaCl fisiologis dingin.
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan.
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat.
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin.
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan
maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat
spesifik untuk hipertermia maligna.
d. Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karenaterbentuknya
mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi
dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang
digunakandalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi
intravena danobat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria.
Muka menjadi sembab.
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme.
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare.
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika.
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti
jantung.
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal.
25
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan
tertentu.
Percepat cairan infus kristaloid.
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
e. Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk
meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,
sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke
ruang sub-araknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat
baik karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah
itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan
tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan
NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau
epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid
intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi
depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat
dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan
pada manula kecuali dengan pengawasan ketat. Kalau terjadi nyeri pasca
bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya
dengan titrasi perinfus.
f. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah:
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m
atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg.
26
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v.
Cyclizine 25-50 mg.
2. 4. 2. Perawatan post anestesi
2. 4. 2. 1. Evaluasi awal
Pemantauan setelah menjalani operasi merupakan hal yang paling
penting dilakukan untuk memastikan kondisi pasien. Pemantauan
pasien setelah mengalami pembedahan dilakukan di ruang recovery
atau post anesthesia care unit. Di ruang ini perawatan paska anesthesia
dan pemantauan tanda vital dilakukan. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan serum elektrolit, kadar hemoglobin, dan analisa gas darah.
Penilaian neurologis dasar termasuk tingkat kesadaran, motorik, pupil
(ukuran, kualitas, releks cahaya).
Evaluasi pupil sangat penting terutama pada pasien yang tidak sadar,
sebagaimana refleks cahaya penting untuk menilai integritas
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial secara regional dan
herniasi di sekitar uncus atau menyebabkan dilatasi bilateral. Lesi pada
midbrain menyebabkan pupil miosis. Atropine, trimethapane, dan
epinefrin menyebabkan pupil midriasis. Pasien dengan narkotik terjadi
miosis dapat diberikan nalokson. Anisokor dan strabismus, yang dapat
dilihat sebagai efek sisa obat anestesi inhalasi akan menghilang
bersamaan dengan pulihnya kesadaran.
Tanda neurologis lokal akibat disfungsi supratentorial dan batang otak
dapat terjadi pada preoperative atau terjadi segera setelah operasi, hal
ini menunjukkan adanya hematom, vasospasme, atau edema regional.
Evaluasi segera sangat penting, bila ada kelemahan otot lokal
menunjukkan lesi supratentorial.
27
2. 4. 2. 2. Dinamika Intrakranial
Pemantau dinamika intrakranial dilakukan untuk menilai kondisi pasien
setelah menjalani pembedahan. Di antara pemantauan yang dilakukan
antara lain:
a. Hipotensi
Komplikasi yang jarang terjadi setelah pembedahan syaraf dan
biasa disebabkan oleh kurangnya penggantian volume cairan atau
penyulit durante operasi. TIK normalnya kurang dari 15 mmHg.
TIK dapat meningkat selama 12 jam setelah pembedahan dan akan
terjadi lagi 24 sampai 48 jam. Hebatnya edema otak tergantung
dari reseksi, diseksi, dan retraksi jaringan otak.
b. Hematoma
Terbentuk pada tempat operasi atau berkaitan dengan aspirin,
dilantin, dekstran.
c. Tension pneumocephalus
Terbentuk karena efek gravitasi oleh karena posisi duduk,
iatrogenik karena pengurangan ukuran otak, intracranial hipertensi.
Dapat diketahui dari CT-scan kepala.
d. Vasospasme arteri
Komplikasi serius setelah obliterasi malformasi aneurisma atau
arteriovena dapat menyebabkan iskemi, edema, dan infark. Spasm
dapat menyebar dari arteri utama sampai ke cabang-cabang dalam
waktu jam sampai dengan hari. Serotonin juga memicu terjadinya
spasme. Spasme arteri terjadi pada saat pengangkatan adenoma
hipofisis. Diagnosisnya dapat ditegakkan secara klinis melalui
adanya lateralisasi otot atau penururnan kesadaran. Angiografi
dapat membantu konfirmasi diagnostic. Terapi akut dapat
dilakukan dengan cara pemberian sodium niropuside atau
nimodipin.
28
Walaupun perubahan hemodinamik otak dapat diketahui dari perubahan
klinis, namun hubungan langsungnya jarang dapat dikenali. Trias klasik
peningkatan TIK, hipertensi sistemik dan bradikardi sebagaimana
digambarkan oleh Harvey Cushing pada 1901.
Terapi peningkatan TIK di ruang pulih sadar dapat diketahui dengan
segera dan diagnosa yang akurat dengan foto skul, perubahan analisa
gas darah, dan CT scan. Bila terjadi hematom diperlukan evakuasi
bedah dan pemeriksaan faal hemostasis. Pneumocephalus tergantung
dari ukuran, dapat dievaluasi dengan burr hole craniotomy, dan
penggantian cairan. Edema otak diterapi dengan hiperventilasi, diuresis,
steroid, anti kejang dan barbiturate.
2. 4. 2. 3. Sistem Kardiovaskular
Ketidakseimbangan kardiovaskuler paska operasi adalah komplikasi
yang paling sering terjadi, baik hipertensi atau hipotensi. Hipotensi
paling sering disebabkan oleh hipovolemi, hipotermi, sisa efek
anastesi, hipoventilasi,, kerusakan otot jantung, gangguan elektrolit, dan
kegagalan adrenal. Hipertensi paling sering disebabkan oleh kelainan
non neurologik paska operasi yang diperberat oleh kelebihan cairan,
hipertemi, vasokonstriktor, emergensi dari anastesi dengan nyeri dan
menggigil, hipoventilasi, dan hiperkapnea, cushing refleks, peningkatan
tekanan intrakranial, rebound hipertensi akut atau kronis, obat-obatan,
dan perubahan dinamika intrakranial.
Tekanan darah yang meningkat lebih dari 20-25% dari preoperatif
membutuhkan terapi, penyebabnya mungkin adalah cushing response
sebagai menkanisme protektif untuk meningkatkan perfusi otak,
sehingga diperlukan diagnosis yang adekuat. Terapi yang tepat adalah
adekuat ventilasi, hidralazine (5-10 mg), propanolol (1-2 mg),
29
diazoxide (50 mg). Labetalol, injeksi bolus sampai dengan 2.5 mg/kg
selama 40 menit dapat dikombinasi dengan sodium nitropruside.
Kelainan ECG yang sering terjadi adalah bradikardi dan supra
ventrikuler aritmia, yang terkait penyakit intracranial, hipokalemi yang
diperberat oleh diuresis dan alkalosis atau keberadaan penyakit jantung.
Tingginya kadar epinefrin dapat menyebabkan iskemi miokard,
nekrosis miokard.
2. 4. 2. 4. Sistem Respirasi
Penyebab paling sering dari gangguan respirasi adalah sisa obat
anestesi, intervensi bedah, obstruksi jalan nafas, patologi paru akut atau
kronis, neurogenik pulmonary edema, kelebihan cairan. Menggigil akan
meningkatkan kebutuhan oksigen sampai dengan 400% dan ini terjadi
pada 20% kasus dan berlangsung hanya beberapa menit saja membaik
dengan pemberian methylphenidate (Ritalin). Perubahan iregularitas
pada respirasi adalah tanda lambat dari disfungsi batang otak, walaupun
hiperventilasi sebagai satu tanda perdarahan fosa posterior atau
pembentukan edema.
2. 4. 2. 5. Sistem Termoregulasi
Hipotermia yang tidak disengaja disebabkan oleh hilangnya panas
tubuh dari konveksi, konduksi, dan radiasi selama prosedur operasi
yang lama dan diperberat dengan pemberian cairan intravena dingin.
Sedangkan teknik hipotermia yang disengaja memperlambat kardiak
siklus dan proteksi serebral selama tindakan kliping dari aneurisma.
Hipotermi akan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri dan
meningkatkan potensiasi general anestesi dan relaksan. Hipertermi oleh
karena neurogenik terkait dengan kerusakan batang otak dan
hipotalamus dan biasanya sebagai konsekuensi dari cedera otak berat,
atau setelah pengangkatan tumor hipofisis atau kraniofaringioma. Dan
30
biasanya terkait dengan adanya darah pada ventrikel atau ruang
subarakhnoid.
2. 4. 2. 6. Sistem Gastrointestinal
Penurunan motilitas usus terkait dengan peningkatan TIK. Oleh karena
itu diperlukan pengosongan lambung sebelum dilakukan ekstubasi
dengan menggunakan nasogastrik. Perdarahan saluran cerna terjadi
sekitar 2% dari pasien bedah syaraf dan komplikasi ini paling sering
oleh karena kerusakan lobus frontal dan permukaan orbita, hipotalamus,
atau area tegmental pons daripada oleh karena penggunaan steroid.
2. 5. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yang meliputi indera penglihatan, pendengaran, penciuman, indera
perasa dan indera peraba (Notoadmodjo, 2003). Di antara penginderaan tersebut
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera yang
dilakukan untuk dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Bakhtiar,
2005). Menurut Perry & Potter (2005) dan Notoatdmojo (2003), membagi
pengetahuan ke dalam 6 (enam) tingkatan, yaitu:
2. 5. 1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai kemapuan sesorang untuk mengingat kembali
ketika mendapatkan materi yang baru (recall). Dalam hal ini contoh
seorang perawat yang pernah mendapatkan pembelajar kelas tentang
perawatan pasien yang mengalami pembedahan, ketika saat dilakukan
pengulangan (recall) terhadap materi tersebut, perawat masih mampu
mengingatnya. Hal ini diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui
sesuatu informasi yang sudah didapatkan.
31
2. 5. 2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengintepretasikan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan kembali
materi tersebut secara benar. Seseorang dikatakan memahami Sesutu
konsep atau informasi jika mampu mengulang kembali materi yang
disampaikan dan mampu memberikan penjelasan yang benar atas materi
yang disampaikan tersebut dengan bahasa yang berbeda dari yang diterima
sbelumnya.
2. 5. 3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan individu untuk menggunakan
pengetahuan yang dimilki untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan aplikasi dapat dilihat dari penerapan seorang individu tentang
ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.
2. 5. 4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan informasi yang
diperoleh secara mendalam baik makna tersurat maupun tersirat sehingga
mudah untuk dipahami.
2. 5. 5. Sintesis (Synthesis)
Analisis merupakan kemampuan individu untuk menjabarkan hasil
analisis yang dilakukan terhadap suatu pengetahuan yang dimiliki.
Kemampuan analisis yang dimilki seseorang akan tergambar dari
bagaimana ia menyampaikan ilmu yang dimiliki kepada orang lain
melalui gambaran apliaksi yang jelas yang dicontohkan sehingga orang
lain mampu memahami lebih baik dari yang dipahaminya saat informasi
pertama didapatkan.
2. 5. 6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi yang diperoleh. Penilaian ini didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteri-kriteria yang
telah ada.
32
Banyak penulis telah menyebutkan bahwa profesionalisme perawat anestesi
sangat berkaitan dengan pengetahuan dan sikap perawat anestesi tersebut selama
bekerja (Rejeh et al 2009;. Gordon et al 2008; Twycross 2007; Jastrzab et al
2003;. Aslan , Badir dan Selimen 2003; Schafeutle, Cantrill dan Noyce 2001,
Howell et al, 2000;. Salantera et al, 1999;. Clarke et al 1996).. Dalam rangka
mewujudkan perawat anestesi yang berkompeten dan berkualitas dalam
pelayanan, maka perawat harus berpengetahuan dalam semua aspek dari
manajemen nyeri dan strategi berbasis pelayanan yang mendukung praktek-
praktek. Manajemen nyeri yang memadai sangat bergantung pada sikap
pengetahuan, dan keterampilan serta profesionalme tenaga kesehatan (Lewthwaite
et al. 2011). Plaisance dan Logan (2006) menegaskan bahwa profesionalisme
tenaga perawat kesehatan berpengetahuan dan mahir adalah kunci untuk hasil
pelayanan yang optimal terhadap pasien. Mengingat peran perawat anestesi
sangatlah penting dalam pengelolaan nyeri, penelitian yang luas telah dilakukan
untuk mengidentifikasi basis pengetahuan perawat dan sikap yang berkaitan
dengan manajemen layanan anestesi. Perawat bekerja dalam berbagai pengaturan
klinis yaitu perawatan kritis, bedah, onkologi, pediatrik, masyarakat dan
perawatan paliatif. Temuan dari banyak studi telah secara timbal balik menyoroti
defisit pengetahuan yang mungkin melibatkan pasien.
Hal ini terbukti dari penelitian empiris sebelumnya bahwa defisit pengetahuan
umum dan sikap tetap terlihat dalam studi yang lebih baru. Pengembangan dan
pemanfaatan instrumen yang populer disebut Survey Pengetahuan dan Sikap
Perawat Anestesi telah banyak dilakukan dalam penelitian dan didokumentasikan
sebagai penelitian pembanding antar penelitian dari waktu ke waktu. Alat ini telah
digunakan secara luas sejak pengembangan dan validasi pada tahun 1987 oleh
Ferrell dan McCaffery. Alat metodologis lebih lanjut telah dikembangkan dan
digunakan untuk memastikan dan membangun pengetahuan perawat di area
anestesi. Studi-studi eksplorasi dan deskriptif telah dilengkapi dengan temuan dari
studi Survey Pengetahuan dan Sikap Perawat Anestesi. Temuan dari semua studi
33
ini menyoroti pengetahuan dan sikap yang memadai dari perawat anestesi
terhadap manajemen pelayanan anestesi. Misalnya, berdasarkan pada kriteria nilai
persentase minimal dapat diterima pada Survey Pengetahuan dan Sikap Perawat
Anestesi adalah 80%, dan sebagian besar studi melaporkan nilai rata-rata jauh
lebih rendah. Laporan berbagai literature, mendapati skor pada Survey
Pengetahuan dan Sikap Perawat Anestesi adalah antara 35% sampai 79%. Temuan
ini menggambarkan defisit pengetahuan yang jelas dari perawat anestesi dalam
kaitannya dengan pelayanan anestesi. Biasanya, studi yang telah meneliti
pengetahuan perawat anestesi menetapkan bahwa manajemen farmakologis adalah
domain dari kinerja pengetahuan terlemah. Secara khusus, hal ini termasuk: rute
pilihan dan dosis yang tepat dari analgesik, kemungkinan pengembangan efek tak
diinginkan dari analgesik narkotik seperti depresi pernafasan dan kecanduan
sebagai akibat dari penggunaan opioid.
Banyak penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa pengetahuan dan
sikap perawat anestesi sangat berkaitan dengan analgesik opioid. Ketakutan
berlebihan pada kemungkinan perkembangan efek tak diinginkan terkait dengan
penggunaan opioid telah dikutip secara konsisten dalam literatur. Kedua
penelitian tradisional dan kontemporer telah menunjukkan kesalahan persepsi
yang meluas di berbagai daerah. Dalam studi sebelumnya, McCaffery dan Ferrell
(1995) menetapkan bahwa pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan
kecanduan yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari penggunaan opioid adalah
item yang menerima persentase terendah dari respon yang benar dalam lima
negara di mana penelitian ini dilakukan . Mereka menegaskan bahwa kepercayaan
yang keliru perawat miliki mengenai kemungkinan kecanduan dapat
menyebabkan penderitaan yang tidak perlu dari pasien sebagai akibat dari
ketakutan perawat dan keengganan untuk mengelola analgesik opioid (McCaffery
dan Ferrell 1995).
34
Broekmans et al. (2004) menyelidiki sikap perawat terhadap analgesik opioid dan
menyebutkan bahwa hampir setengah sampel (49,9%) dari 350 responden perawat
percaya kecanduan adalah efek samping dari terapi substansial opioid untuk nyeri
kronis. Demikian pula dalam penelitian mereka terhadap 313 siswa perawat,
Plaisance dan Logan (2006) menetapkan bahwa hanya 30% dari responden
diidentifikasi dengan benar mengenai risiko kecanduan sebagai akibat dari
penggunaan narkotika pada pasien yang menerima analgesik opioid untuk nyeri
kurang dari 1%. Tahun berikutnya, Yu dan Petrini (2007) juga menegaskan bahwa
perawat banyak mengalami over-estimasi terhadap kejadian kecanduan pada
pasien dengan nyeri di mana hanya 11% dari 616 perawat yang secara benar
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan risiko perkiraan kecanduan opioid
pada pasien. Temuan ini dikonfirmasi dalam penelitian lebih lanjut yang
menggambarkan persepsi perawat yang secara luas dalam kaitannya dengan
pengetahuan kecanduan (Wang dan Tsai 2010; Bernardi, Catania dan Tridello
2007; Lai et al 2003;. Zanolin et al 2007;. Coulling 2005; Allcock dan Toft 2003,
Puls-McColl, Holden dan Buschmann 2001; Mackrodt dan White 2001; Clarke et
al 1996).. Hal ini jelas bahwa perawat lebih percaya bahwa kecanduan opioid
yang lebih menonjol. Sebuah harapan kecil terhadap perawat yang mengelola
analgesik narkotika kepada pasien untuk mengendalikan nyeri adalah bahwa ada
kekhawatiran berkaitan dengan kecanduan menyebabkan tidak adanya kompromi
mereka dan tanggung jawab untuk mengelola dosis yang tepat dari analgesik
opioid (McCaffery dan Ferrell 1997).
Kepercayaan yang salah dan ketakutan berlebihan terkait dengan kemungkinan
perkembangan depresi pernafasan pada pasien yang menerima opioid juga banyak
didokumentasikan dalam literatur. Coulling (2005) melakukan survei yang
menyelidiki pengetahuan 82 profesional kesehatan mengenai nyeri di Inggris.
Disebutkan bahwa 52% dari responden percaya bahwa depresi pernafasan adalah
efek samping yang paling umum dari morfin. Selain itu, 26% dari perawat dalam
penelitian ini menyebutkan bahwa opioid 'fobia' sebagai hambatan yang signifikan
terhadap manajemen nyeri akut. Keyakinan yang salah selanjutnya disebutkan
35
ketika hampir 87,1% dari 621 perawat berpikir bahwa opioid harus dihindari pada
pasien tua yang lemah karena risiko depresi pernapasan.
Matthews dan Malcolm (2007) menyelidiki pengetahuan dan sikap dari 101
perawat di Irlandia Utara. Disebutkan bahwa lebih dari 50% perawat telah salah
menjawab dua item dalam kaitannya dengan depresi pernafasan pada pasien yang
menerima terapi opioid. Ketika diminta untuk memperkirakan kemungkinan
perkembangan depresi pernafasan klinis yang signifikan terjadi pada pasien yang
menerima terapi opioid kronis yang stabil, hanya 49,5% dari perawat yang dapat
menjawab dengan benar. Demikian pula, hanya 46% dari perawat dalam
penelitian ini dengan benar menyatakan bahwa depresi pernafasan jarang terjadi
pada pasien yang menerima opioid selama periode 1 bulan. Baru-baru ini, dalam
sebuah penyelidikan terhadap 370 perawat di unit perawatan intensif
menyebutkan bahwa 85,1% menjawab salah terhadap item yang berkaitan dengan
risiko perkiraan depresi pernafasan yang terjadi pada pasien (Wang dan Tsai
2010). Temuan ini berkorelasi dengan penelitian serupa yang telah menegaskan
kesalahpahaman tentang kejadian depresi pernafasan pada pasien yang menerima
dosis stabil opioid (Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Reiman dan
Gordon 2007; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Vincent dan Denyes 2004;
Tse dan Chan 2004; Lai et al 2003; Van Niekerk dan Martin 2001).
Kesalahpahaman dan ketakutan perawat terkait dengan dampak negatif efek
analgesik narkotika pada pasien dan manajemen nyeri sangatlah tidak efektif
(Glynn dan Ahern 2000).
Defisit pengetahuan lebih lanjut dalam kaitannya dengan farmakologi analgesik
yang jelas tersedia dengan sangat luas dari berbagai literatur. Perawat memainkan
peran sentral dalam mengelola obat penghilang rasa sakit dan mereka harus
mampu menafsirkan dosis, tindakan, rute administrasi dan menjadi akrab dengan
efek samping obat ini. Namun demikian, defisit pengetahuan secara luas dicatat
dalam literatur dalam kaitannya dengan pengetahuan farmakologi perawat. Defisit
pengetahuan berkaitan dengan rute yang paling tepat secara administrasi analgesia
36
untuk pasien dengan nyeri kanker selalu dilaporkan dalam literatur. Rute yang
disarankan administrasi adalah rute oral karena paling tidak invasif dan biaya
yang paling efektif. Namun, banyak penelitian telah menyoroti bahwa sejumlah
besar perawat memiliki kesalahpahaman, di mana mereka memilih rute alternatif
administrasi yang mereka percaya adalah rute disukai (Wang dan Tsai 2010,
Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Yildrim, Cicek dan Uyar 2.008 ,
Lui, Jadi dan Fong 2008, Reiman dan Gordon 2007; Matthews dan Malcolm
2007; Lai et al 2003;. Clarke et al 1996;. McCaffery dan Ferrell 1995). Dari studi
ini, tingkat respons yang tepat untuk item ini bervariasi dari yang terendah sebesar
5,9% di Turki dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Yildrim, Cicek dan Uyar
(2008) dan tertinggi 67,6% di Cina dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lui,
Jadi dan Fong (2008) .
Lewthwaite et al. (2011) melakukan penelitian untuk menyelidiki pengetahuan
perawat dan sikap mengenai rasa sakit dari sampel 324 perawat. Meskipun skor
keseluruhan rata-rata dari mereka adalah 79%, disebutkan bahwa lima pertanyaan
yang mencetak skor terendah secara keseluruhan adalah pertanyaan farmakologi.
Temuan ini berkorelasi dengan studi penelitian lebih lanjut yang telah menetapkan
bahwa pertanyaan farmakologi telah menerima sebagian besar tanggapan yang
benar denga proporsi terendah (Wang dan Tsai 2010; Rahimi-Madiseh, Tavakol
dan Dennick 2010; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Reiman dan Gordon
2007; Lai et al 2003).. Item ini ditujukan pada pengetahuan perawat dalam
kaitannya dengan penggunaan obat-obatan, tindakan, dan dasar perhitungan equi-
analgesik. Pengetahuan pharmacotherapeutics menjadi sangat penting bagi
pelayanan yang aman dan efektif analgesik untuk pasien yang mengalami rasa
sakit dan hal itu menjadi mengkhawatirkan karena tingkat defisit pengetahuan
yang dilaporkan dalam literatur. Sebagai contoh dalam penelitian Reiman dan
Gordan (2007) menetapkan bahwa hanya 18,3% dari 295 perawat secara benar
menjawab item dalam kaitannya dengan dosis equi-analgesik. Demikian pula,
hanya 19,7% dari 66 perawat dalam studi lebih lanjut menjawab pertanyaan
serupa (Bernardi, Catania dan Tridello 2007). Defisit pengetahuan yang cukup
37
dalam sehubungan dengan equi-analgesik dosis analgesik telah diidentifikasi
dalam banyak studi penelitian terbaru empiris (Lewthwaite et al 2011;. Wang dan
Tsai 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008, Lai et al
2003).. Data juga mengungkapkan bahwa perawat memiliki kesalahpahaman
tentang efek 'langit- langit' analgesik. Efek langit-langit analgesic mengacu pada
dosis luar yang tidak ada efek analgesik tambahan. Morfin tidak memiliki dosis
langit-langit. Namun demikian, penelitian telah menunjukkan bahwa perawat
banyak yang tidak menyadari prinsip dasar ini (Wang dan Tsai 2010, Yildirim,
Cicek dan Uyar 2008; Reiman dan Gordon 2007; Coulling 2005; Lai et al 2003;.
Van Niekerk dan Martin 2001).
Pengetahuan yang memadai mengenai penggunaan dan mekanisme dari obat
tertentu juga telah dilaporkan dalam banyak studi. Salah satu item yang sering
dijawab salah dalam banyak studi penelitian berkaitan dengan penggunaan non-
steriodal anti-inflammatory drugs (NSAID) yang berguna dalam menghilangkan
nyeri kanker, terutama metastasis tulang. Dalam sebuah studi awal, Brown,
Bowman dan Eason (1999) menetapkan bahwa 53,9% dari 260 perawat gagal
untuk menjawab secara benar item ini. Item lain yang menerima respon benar
dengan persentase rendah adalah hal yang berkaitan dengan efek dari obat
antihistamin yang disebut phenergan (promethazine) pada opioid. Hanya 17,5%
dari perawat benar mengidentifikasi bahwa phenergan bukan potentiator opioid.
Dengan membandingkan temuan studi yang lebih baru, ia mengkhawatirkan
bahwa defisit pengetahuan yang cukup di daerah ini masih terlihat (Lewthwaite et
al 2011;. Wang dan Tsai 2010, Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010;
Yildirim, Cicek dan Uyar 2008; Reiman dan Gordon 2007; Bernardi, Catania dan
Tridello 2007; Lai et al 2003;. Erkes et al 2001).. Kurangnya pengetahuan perawat
tentang manajemen nyeri tidak terbatas pada pengetahuan farmakologi, tetapi
meluas non-farmakologis terapi juga. Salah satu item yang terkait dengan
efektivitas intervensi non-obat untuk menghilangkan rasa sakit. Banyak studi
empiris telah menyoroti bahwa perawat tidak mengetahui bahwa terapi non-
farmakologis berguna dalam pengobatan sakit parah, serta nyeri ringan sampai
38
sedang (Wang dan Tsai 2010; Yildrim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong
2.008 , Matthews dan Malcolm 2007; Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Tse
dan Chan 2004; Lai et al 2003;. Erkes et al 2001).. Data juga mengungkapkan
bahwa perawat tidak percaya bahwa pasien dapat tidur meskipun sakit parah
(Wang dan Tsai 2010; Yildririm, Cicek dan Uyar 2008, Bernardi, Catania dan
Tridello 2007; Tse dan Chan 2004;. Lai et al 2003). Beberapa pertanyaan survei
yang berhubungan dengan pengetahuan penilaian nyeri. Sikap ini berkaitan
dengan penilaian nyeri juga telah dilaporkan secara konsisten dalam literature
(Wang dan Tsai 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008,
Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Matthews dan Malcolm 2007;. Lai et al
2003; Brown, Bowman dan Eason 1999). Pada dasarnya, hal ini dapat
menyebabkan perawat melewatkan laporan rasa sakit dari pasien yang akibatnya
dapat mengakibatkan pengobatan di bawah rasa sakit. Salah satu prinsip paling
dasar dari penilaian nyeri adalah dengan sadar menilai sifat subjektif dari rasa
sakit dan menerima laporan nyeri pasien secara diri (McCaffery dan Ferrell 1995).
Mayoritas perawat dalam satu studi (84%) setuju bahwa pasien adalah hakim yang
paling akurat dari intensitas nyeri (Lai et al. 2003). Temuan ini konsisten dengan
studi yang lebih baru yang telah menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang
disurvei percaya bahwa evaluasi nyeri pasien adalah yang paling akurat (Wang
dan Tsai 2010; Lui, Jadi dan Fong 2008; Reiman dan Gordon 2007). Inkonsistensi
ditemukan dalam literatur yang berkaitan dengan item lain dari penilaian nyeri.
Mayoritas perawat dalam beberapa penelitian dengan benar setuju bahwa
pengamatan perubahan tanda-tanda vital tidak boleh diandalkan untuk
memverifikasi laporan nyeri pasien (Wang dan Tsai 2010; Lui, Jadi dan Fong
2008; Plaisance dan Logan 2006; Lai et al 2003. , Van Niekerk dan Martin 2001;
Erkes et al 2001). Namun demikian, beberapa studi penelitian lain menetapkan
bahwa sejumlah besar perawat yang disurvei menjawab secara benar item ini di
mana mereka keliru percaya bahwa perubahan dalam tanda-tanda vital harus
diandalkan untuk memverifikasi adanya nyeri (Huth, Gregg dan Lin 2010;
Yildirim, Cicek dan Uyar 2008, Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Tse dan
Chan 2004).
39
Menurut McCaffery dan Ferrell (1997), perawat tidak selalu mematuhi dan
menerima prinsip dasar eliciting laporan pasien dari rasa sakit. Meskipun banyak
perawat melihat laporan rasa sakit pasien untuk menjadi acuan yang paling dapat
diandalkan, banyak bukti menunjukkan bahwa dasar penilaian perawat adalah
berdasarkan intuisi. Hal ini terlihat dari upaya berbagai penelitian yang telah
dieksplorasi mengenai pengetahuan perawat dan sikap mengenai pengambilan
keputusan sehubungan dengan penilaian nyeri dan intervensi lanjutan dengan
menghadirkan skenario kasus pasien. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh
Matthews dan Malcolm (2007) di Irlandia Utara, responden diminta untuk
mencatat penilaian mereka dari dua pasien yang keduanya melaporkan intensitas
nyeri yang dialami. Dua pasien yang disajikan dalam sketsa berbeda secara
perilaku, di mana satu pasien tersenyum dan pasien lainnya sedang meringis.
Meskipun kedua pasien dinilai skor nyeri mereka sebagai sama, jelas bahwa
perawat secara konsisten menilai skor nyeri dari pasien tersenyum adalah kurang
dari pasien meringis. Dalam penelitian ini, hanya 51,3% dari perawat melakukan
penilaian rasa nyeri pasien tersenyum sebagai tingkat yang dilaporkan oleh pasien
yang dibandingkan dengan 77% dari perawat yang mencatat nyeri pasien meringis
sebagai tingkat di mana ia melaporkan hal itu terjadi. Hal ini jelas bahwa perawat
dalam penelitian ini dipengaruhi oleh manifestasi perilaku pasien.
Temuan ini konsisten dengan studi lain yang juga telah menetapkan bahwa
perawat dipengaruhi oleh perilaku pasien sebagai laporan pasien di mana
sejumlah besar perawat yang disurvei mencatat nyeri pasien tersenyum sebagai
lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang meringis (Wang dan Tsai 2010;
Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dennick 2010; Yildirim, Cicek dan Uyar 2008,
Lui, To dan Fong 2008, Bernardi, Catania dan Tridello 2007; Vincent dan Denyes
2004, Lai et al 2003).. Schafheutle, Cantrill dan Noyce (2001) menegaskan bahwa
ketergantungan perawat pada saat penilaian nyeri yang bertentangan dengan
laporan subyektif pasien merupakan hambatan yang signifikan untuk manajemen
nyeri yang efektif. Item pada kedua sketsa kasus pasien meminta perawat untuk
membuat keputusan yang berkaitan dengan dosis analgesia yang akan diberikan
40
pada kedua pasien. Defisit pengetahuan substansial yang terlihat di kedua skenario
kasus pasien di mana hanya 29,2% dari perawat 113 akan mengelola dosis yang
tepat dari morfin untuk pasien tersenyum. Analisis lebih lanjut mengungkapkan
bahwa hanya 45,1% dari sampel perawat yang disurvei akan mengelola dosis
yang tepat dari morfin untuk pasien meringis (Matthews dan Malcolm 2007).
Studi penelitian lebih lanjut juga telah diverifikasi bahwa pengetahuan perawat
dan pengambilan keputusan yang rendah yang berkaitan dengan pemilihan dosis
opioid dan tidak berkorelasi dengan laporan tingkat intensitas nyeri pasien
(Rahimi-Madiseh, Tavakol dan Dinnick 2010; Wang dan Tsai 2010; Yildirim,
Cicek dan Uyar 2008, Lui, Jadi dan Fong 2008, Bernardi, Catania dan Tridello
2007; McCaffery, Pasero dan Ferrell 2007; Vincent dan Denyes 2004, Lai et al
2003;. McCaffery, Ferrell dan Pasero 2000).
Kegagalan dalam hal pemberian dosis analgesia yang memadai untuk pasien
kemungkinan besar disebabkan oleh lemahnya pengetahuan perawat tentang cara
memilih dosis analgesia yang aman dan efektif (McCaffery, Pasero dan Ferrell
2007). Kegagalan perawat untuk memberikan dosis efektif dan tepat opioid
dimungkinkan sebagai akibat dari pendidikan yang tidak memadai dan pelatihan
dalam farmakologi opioid atau ketakutan perawat yang berhubungan dengan efek
tak diinginkan terkait dengan analgesik opioid (Rahimi-Madiseh, Tavakol dan
Dinnick 2010).