Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

45
Bab I/Teorema Mekanika Kuantum BAB I TEOREMA MEKANIKA KUANTUM 1.1 Pengantar Persamaan Schrődinger untuk atom yang hanya mempunyai satu elektron dapat kita selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron dengan elektron lain. Untuk itu, kita butuh metode lain untuk menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita bicarakan pada Bab II dan Bab III, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum. Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan. Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi yaitu f m dan f n biasanya ditulis: d = = = (1-1) Notasi (1-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas juga sering ditulis: d = A m n (1-2) Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis: 1

description

csw

Transcript of Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Page 1: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

BAB I

TEOREMA MEKANIKA KUANTUM

1.1 Pengantar

Persamaan Schrődinger untuk atom yang hanya mempunyai satu elektron dapat kita

selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan

juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron

dengan elektron lain. Untuk itu, kita butuh metode lain untuk menyelesaikan persamaan

Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita

bicarakan pada Bab II dan Bab III, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat

memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita

terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini

adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.

Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan

dipergunakan. Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara

dua buah fungsi yaitu fm dan fn biasanya ditulis:

d = = = (1-1)

Notasi (1-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di

atas juga sering ditulis:

d = Am n (1-2)

Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:

d = = = m n (1-3)

Karena = d, maka:

m n * = m n (1-4)

dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (1-4) dapat ditulis : m m * = m m .

Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:

1) d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. (1-5)

d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut ortogonal (1-6)

Catatan:

d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm fn dan

berharga 1 jika fm = fn

1

d

Page 2: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

2) Jika : = a dengan a bilangan konstan, maka disebut fungsi eigen sedang a

disebut nilai eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap operator , maka berlaku

hubungan: = a dengan a adalah nilai eigen. (1-7)

1.2 Operator Hermit

Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator

linear dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran

fisik, misal operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-

lain. Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika adalah operator linear yang mewakili

besaran fisik A, maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:

A = d (1-8)

dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan

real, maka: A = A *

atau: d= d (1-9)

Persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi yang mewakili keadaan tertentu suatu

sistem atau persamaan (1-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well

behaved function). Operator linear yang memenuhi persamaan (1-9) itulah yang disebut

operator Hermit.

Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:

d = d (1-10)

untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri

persamaan (1-10), operator bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja

pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (1-10) akan tereduksi menjadi

bentuk (1-9).

2

Page 3: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit

Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu:

Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.

Teorema 2: Dua buah fungsi 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit dan baik 1

maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator dengan nilai eigen yang

berbeda, maka 1 dan 2 adalah ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut

mempunyai nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka

selalu ada cara agar dijadikan ortogonal.

Pembuktian Teorema 1:

Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema 1 yaitu bahwa operator

yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (1-9) dan ada pernyataan

eigen value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (1-

7) berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena adalah operator hermit,

maka menurut (1-9): d = d

atau: d = d (1-11)

Menurut (1-7) : = a dengan a adalah nilai eigen untuk

= a* dengan a* adalah nilai eigen untuk

sehingga (1-11) dapat ditulis: a * d = a* d

*

Menurut (1-5) nilai * d = d

* = 1, jadi: a = a*

Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.

Pembuktian Teorema 2:

Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator , maka berlaku:

1 = a1 1 dan 2 = a2 2 (1-12)

Karena adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (1-10) berlaku:

d = d

atau: d = d (1-13)

Substitusikan (1-12) ke dalam (1-13), menghasilkan:

a2 1 2* d = a1

* 2 1* d

Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:

3

Page 4: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

a2 1 2* d = a1 2 1

* d (1-14)

Menurut (1-4), 1 2* d = 2 1

* d , jadi persamaan (1-14) boleh ditulis:

a2 1 2* d = a1 1 2

* d

atau: a2 1 2* d a1 1 2

* d = 0

atau: (a2 a1 ) 1 2* d = 0 (1-15)

Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (1-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:

1 2* d = 0 (1-16)

Karena 1 2* d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.

Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap

operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang

adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang

sama? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi

eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang

degenerate atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal.

Dengan demikian, maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang

berhubungan dengan operator Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak

degenerate.

Apakah Degenerate itu ?

Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen

mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih

memahami masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel

dalam kotak yang telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi

dinyatakan sebagai:

= x y z dengan :

x = 2 21 2

Lx

n

Lxx

/

sin

x ; y = 2 21 2

Ly

n

Lyy

/

sin

y dan y = 2 21 2

Ly

n

Lyy

/

sin

y

jadi:

= 8 21 2

Lx Ly Lz

n

Lxx

. .sin

/

x sin

2n

Lyy

y sin2n

Lyy

y (1-17)

4

Page 5: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut

maka nilai eigennya adalah energi yang besarnya:

E = Ex + Ey + Ez

dengan :

Ex = h n

mL

x

x

2 2

28

; Ey = h n

mL

y

y

2 2

28

dan Ez = h n

mL

z

z

2 2

28

(1-18)

sehingga:

E = h

m

n

L

n

L

n

L

x

x

y

y

z

z

2 2

2

2

2

2

28 + +

Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:

E = h

m

n

L

x y z2 2 2 2

28

+ n + n

(1-19)

Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (1-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =

h

m L

2

28

6

meskipun eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh

kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad

degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu

1-1-2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang tentu masih tak terhingga banyaknya kasus degenerate

untuk fungsi gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1

dan 3-1-1 dan masih banyak lagi.

Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi

eigen yang degenerate itu dikombinasilinearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang

baru.

Contoh: Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan

dalam bentuk: = c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (1-20)

Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka pasti merupakan fungsi eigen yang

nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.

Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1

sehingga dapat ditulis: = c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (1-21)

maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.

5

Page 6: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Relasi (1-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (1-21)

bukan degenerasi. Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (1-20) maka jawabnya

adalah E = h

m L

2

28

6

.

Ortogonalisasi

Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya

sama maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah

dapatkah kita membuatnya menjadi ortogonal? Jawabnya adalah, dapat.

Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-

fungsinya tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai

operator Hermit dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang

mempunyai nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:

f = s f ; G = s G

Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua

fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:

Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G

sehingga membentuk misalnya:

g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.

Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus

dipenuhi syarat:

d = 0 atau:

d= 0 atau :

d + d = 0 atau :

d + c d = 0

Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:

c =

Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu:

g1 = f dan g2 = G + c f dengan c =

6

d

d

d

d

Page 7: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.

1.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen

Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang

akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk

mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi-fungsi eigen. Jika

kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih

singkat kita tulis saja dengan bentuk an n1

~ , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:

F(x) = an n1

~ (1-22)

dengan : an = n xall x

*( ) F dx (1-23)

Bagaimana mendapat (1-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut:

Kedua ruas (1-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh:

m* F(x) = an n m *~

1 (1-24)

Jika kedua ruas (1-24) diintegralkan maka diperoleh:

m* F(x) dx = an n m *~

1

dx (1-25)

Telah kita ketahui bahwa :

m* dxn = m n (1-26)

sehingga (1-25) dapat ditulis:

m* F(x) dx = an . m n

1

~

(1-27)

Ruas kanan (1-27) adalah:

an . m n1

~

= a1. m 1 + a2 m 2 + ....a m m m + a m +1 m (m+1) +...

= a1. + a2 + ....a m + a m +1 . +...

= am

Sehingga (1-27) dapat ditulis:

m* F(x) dx = am atau am = m

* F(x) dx (1-28)

7

Page 8: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Jika indek m pada (1-28) diganti n maka persamaan (1-23) yang dicari diperoleh yaitu:

an = n xall x

*( ) F dx

Contoh:

Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2

F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a

Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang

panjang kotaknya = a.

Jawab:

Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:

n = 2 1 2

a

n

a

/

sin

x (1-29)

Jadi bentuk ekspansinya menurut (1-22):

F(x) = an n1

~ =

2 1 2

1a

an

/ ~ sin

n

a x

(1-30)

Menurut (1-23) :

an = n xall x

*( ) F dx

= 2 1 2

a

n

ax F x

/

( )sin

dx

= 2 1 2

a

n

ax F x

/

( )sin

dx

= 2 1 2

0

2

ax .

a

/ /

sinn

ax dx

+

21

1 2

2a

a

a

/

/

( ) x . sinn

ax dx

= 2

2

3 2

2 2

a

n

n/

sin

(1-31)

Jadi:

a1 = 2 3 2

2

a /

; a2 = 0 ; a3 = 2

3

3 2

2 2

a /

; a4 = 0 ; a5 =

2

5

3 2

2 2

a /

; a6 = 0 dan

seterusnya.

Kita masukkan (1-31) ke dalam (1-30), maka:

F(x) = 2 1 2

1a

an

/ ~ sin

n

a x

8

Page 9: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

= 2

3

3

5

51 2 3 2

2

3 2

2 2

3 2

2 2ax x x

/ ' ' '

2a

sin a

2a

sin a

2a

sin a

. . . .

= 2 3 51 2 3 2

2ax x x

/ '2a

1

1 sin

a

1

3 sin

a

1

5 sin

a . . . .

2 2 2

= 4 3 5

2

ax x x

1

1 sin

a

1

3 sin

a

1

5 sin

a . . . .

2 2 2

Pengertian Complete Set

Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk

kombinasi linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan

fungsi disebut himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan

untuk mengekspansi fungsi F? Jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang

merupakan himpunan lengkap saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F.

Selanjutnya mengenai himpunan lengkap, dibuat definisi sebagai berikut:

Himpunan fungsi dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti

persamaan F(x) = an n1

~ dengan an adalah tetapan sembarang.

Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi

gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu

bahwa fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun

jika seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat

diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa hidrogen hanya

berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu

ketika elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n

atom hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita

mengekspansi F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru

disebut himpunan fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang

berkorelasi dengan energi kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang

hidrogen sudah dinyatakan secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspansi,

yaitu menjadi kombinasi linear fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.

Teorema 3:

9

Page 10: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator dan jika fungsi F

juga fungsi eigen dari operator dengan nilai eigen k (jadi F = k F) sedang F diekspansi

dalam bentuk F = , maka gi yang a i nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga. Jadi

ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai eigen yang

sama dengan nilai eigen F. Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 1.2 dan 1.3 dapat

dinyatakan bahwa Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan

lengkap ortonormal dan nilai eigennya adalah real.

1.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute

Jika fungsi secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator dan

dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B

menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika merupakan

fungsi eigen baik terhadap maupun .

Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen

terhadap dan jika kedua operator tersebut commute atau:

= ai dan = bi Jika : (1-32)

[ , ] = 0 (1-33)

Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan

adalah: [ , ] = 0

Kita tahu: [ , ] = (1-34)

Jika dioperasikan pada i :

[ , ]i = i i

= ( i ) ( i )

= bi ai i

= bi ai i

= bi ai ai bi i

[ , ] = bi ai ai bi = 0 (terbukti) (1-35)

Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya:

Teorema 4: Jika Operator linear dan mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama

maka dan adalah commute.

10

Page 11: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Perlu diingat dan yang dimaksud oleh teorema 4 hanya dan yang masing-

masing merupakan operator linear. Jika dan bukan operator linear maka keduanya bisa

tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai

contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator dan operator

tetapi kedua operator tersebut non commute.

Teorema 5 : Jika operator Hermite dan adalah commute, maka kita dapat memilih

himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.

Pembuktiannya adalah sebagai berikut:

Anggap saja fungsi g i adalah fungsi eigen dari operator dengan nilai eigen a i maka

kita dapat menulis:

gi = ai gi (1-36)

Jika operator dioperasikan pada kedua ruas (1-36) di atas, maka:

( gi ) = (ai gi ) (1-37)

Karena dan commute dan karena linear maka:

( g i) = ai ( g i) (1-38)

Persamaan (1-38) di atas menyatakan bahwa fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap

operator dengan nilai eigen a i , persis sama dengan fungsi g i yang juga fungsi eigen

terhadap operator dengan nilai eigen a i . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa

nilai eigen dari operator tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai

eigen a i yang diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly

independent. Jika ini benar, maka kedua fungsi eigen g i dan g i yang mempunyai nilai eigen

sama yaitu a i harus linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan

sederhana dari yang lain,

g i = k i g i (1-39)

dengan k i adalah konstan. Persamaan (1-39) itu menyatakan bahwa fungsi g i merupakan

fungsi eigen dari operator sebagaimana yang hendak kita buktikan.

Jadi, jika dan commute dan fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap maka g i

juga merupakan fungsi eigen dari (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)

Teorema 6: Jika g i dan g j adalah fungsi eigen dari operator Hermite dengan nilai eigen

berbeda (misal g i = a i g i dan g j = a jg j dengan a i a j), dan jika adalah

operator linear yang commute terhadap , maka:

11

Page 12: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

< g j g i > = 0 atau d = 0 (1-40)

dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:

Karena dan commute, maka fungsi eigen terhadap adalah juga fungsi eigen

terhadap , meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap , yang jika

nilai eigennya dimisalkan ki maka:

gi = ki gi (1-41)

dengan demikian (1-40) boleh ditulis:

d = = . 0 = 0 (terbukti)

1.5 Paritas

Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik,

contohnya adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis,

kita mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan

dengan operator paritas.

Operator paritas, dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang

fungsi. Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh

mendefinisikan: f ( x, y, z ) = f (x, y, z)

Contohnya: ( x2 2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }

= x2 + 2 x e2y 3z3

Jika seandainya g i adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen a i

maka kita dapat menulis: g i = a i g i (1-42)

Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:

f ( x, y, z ) = f ( x, y, z ) = f (x, y, z) = f ( x, y, z )

Karena f nya fungsi sembarang maka adalah operator satuan (unit Operator), jadi:

= (1-43)

Sekarang, bagaimana jika kita gunakan untuk (1-42) ? Hasilnya adalah:

g i = g i = a i g i = a i g i = g i (1-44)

12

Page 13: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Karena adalah unit operator, maka (1-44) menjadi:

g i = g i (1-45)

atau: ai = + 1 (1-46)

Karena ai adalah nilai eigen untuk , maka nilai eigen untuk adalah 1 dan 1.

Perlu dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan

operator satuan.

Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (1-42)

g i = a i g i

Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:

g i = + 1 g i (1-47)

Jika gi adalah g(x, y, z), maka:

g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (1-48)

g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) (1-49)

Jika nilai eigennya +1, maka:

g (x, y, z) = g(x, y, z ) (1-50)

jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka:

g ( x , y , z ) = g ( x , y , z ) (1-51)

jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

fungsi eigen dari operator paritas adalah semua fungsi well behaved yang mungkin

baik genap maupun ganjil.

Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ?

Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi

yang eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil

saja himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator . Kemudian, jika operator

paritas dan Hamilton commute, kita boleh menulis:

[ , ] = 0 (1-52)

dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli

fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,

13

Page 14: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

[ , ] = [ ( ), ] = [ , ] + [ V, ]

= [ , ] + [ V, ] (1-53)

Harga [ , ] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:

[ , ] F(x) = F(x) F(x)

= F(x) F(x)

= F(x) F(x) = 0

Dengan demikian (1-53) dapat ditulis:

[ , ] = [ V, ] (1-54)

Sekarang kita evaluasi ruas kanan (1-54):

[ V(x), ] F(x) = V(x) F(x) V(x)F(x)

= V(x) F(x) V(x)F(x) (1-55)

Nilai (1-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi

genap, maka V(x) = V(x), maka (1-55) menjadi:

[ V(x), ] = 0 sehingga (1-54) menjadi:

[ , ] = 0 (1-56)

Ini berarti:

Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka dan adalah commute,

sehingga kita dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap

maupun ganjil sebagai fungsi eigen dari kedua operator tersebut.

Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton

dan paritas itu disebut fungsi definit paritas.

Jika semua energi levelnya adalah nondegenerate (umumnya memang benar untuk

sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang

berhubungan dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus nondegenerate, maka

fungsi gelombang stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit

14

Page 15: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

paritas. Sebagai contoh fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena

fungsi energi potensialnya ½ kx2 (fungsi energi potensial genap).

Jika energi level degenerate, berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen

yang memiliki nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita memiliki banyak sekali pilihan

fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.

1.6 Pengukuran dan Keadaan Superposisi

Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas

dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi

(x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x +

dx dinyatakan oleh (x,t)2 dx

Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran

A. Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan untuk menghitung

probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas

informasi apa saja yang dikandung oleh yang merupakan jantungnya mekanika kuantum.

Subyek pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari

koordinat 3n. Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang

merupakan kemungkinan hasil pengukuran besaran A.

Dengan menggunakan g i sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis:

 g i ( q ) = a i g i ( q ) (1-57)

Telah kita postulatkan pada sub bab 1.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite

yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena g i adalah

himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi dalam suatu deret yang suku-sukunya

adalah g i jadi:

(q,t) = (1-58a)

Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus

merupakan fungsi waktu sehingga (1-58a) lebih baik ditulis:

(q,t) = (1-58b)

Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:

∫* d = 1 (1-59)

Substitusi (1-58a) ke dalam (1-59) menghasilkan:

15

Page 16: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

d = d = 1 (1-60)

Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:

d = 1 (1-61)

Jika i = j, maka:

= 1 atau:

= 1 (1-62)

Kita akan menguji signifikansi (1-62) secara singkat:

Ingat bahwa jika fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah:

< A > = ∫ * Â d

Dengan menggunakan (1-58), maka:

< A > = Â d = d

atau:

< A > = d a i d

< A > = a i (1-63)

Bagaimana menginterpretasi (1-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah

kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran

terhadap besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran

terhadap besaran A, kita akan memperoleh salah satu harga a i . Kemudian marilah kita ingat

kembali teori mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n

buah data X dengan rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X

adalah :

< X > = = + .....

= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:

< X > = (1-64)

Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka

rata-rata A adalah:

< A > = (1-65)

16

Page 17: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya

ada sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (nondegenerate) maka

banyaknya eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan

membandingkan (1-65) terhadap (1-63) maka dapat dipastikan bahwa

c i2 = Pi (1-66)

yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.

Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan g i adalah fungsi

eigen ternormalisasi (Â g i = a i g i) maka, manakala besaran A diukur dalam

sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan

pengukuran adalah , probabilitas mendapatkan hasil a i adalah c i2, dengan ci

adalah koefisien g i pada ekspansi = i c i g i . Jika nilai eigen a i degenerate,

probabilitas mendapatkan a i pada saat A diukur adalah jumlah dari c i2 fungsi-

fungsi eigen yang nilai eigennya a i .

Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat? Kita dapat

melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi =ic ig i adalah nol kecuali satu koefisien

saja yaitu misalnya ck . Untuk kasus ini maka (1-66) menjadi ck2 = Pk = 1. Artinya peluang

untuk mendapatkan nilai eigen seharga ak = 1, artinya, nilai eigennya pasti ak .

Selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret =ic ig i sebagai ekspresi bentuk

umum fungsi yang merupakan superposisi dari fungsi eigen g i dari operator Â. Masing-

masing fungsi eigen g i berhubungan dengan nilai eigen a i milik besaran A.

Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita

dapat menghitung ci2 ? Caranya kita kalikan = i c i g i dengan g*j kemudian integralkan

ke seluruh ruang, sehingga diperoleh:

∫ g*j d = ∫g*

j i c i g i d = i c i∫g*j g i .d c ii ∫g*

j g id

Jika ortonormal:

∫g*j d = c i

atau:

c i = ∫ . g*j d g*

j (1-67)

Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan

nilai eigen non degenerate a i pada pengukuran A adalah [lihat (1-66)]:

Pi = c i2 = ∫ . g*j d g*

j (1-68)

17

Page 18: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi maka kita dapat

menggunakan (1-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil

pengukuran besaran A.

Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya

pada saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen a j

dari operator  adalah <g j, dengan gj adalah fungsi eigen ternormalisasi

yang mempunyai nilai eigen aj.

Integral <g j∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi

ternormalisasi g j dan berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian

harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa

terjadi g j terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali

g j .selalu terlalu kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga

probabilitas untuk mendapatkan nilai eigen a i juga sangat kecil.

Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat

diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang

mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.

Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin

adalah dan karena Lz adalah m .

b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi

penyusunnya:2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1).

Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas 2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 =

c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya adalah: P1 = 21/22 = ½ = P2. P1 adalah

probabilitas mendapatkan Lz = sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan Lz =

Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang

panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non

stasioner = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang

mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran

Jawab: Untuk partikel dalam box:

E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang

fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka

kita ekspansi saat itu atas n, jadi:

18

Page 19: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

= n cn n

Menurut (1-67) : c i = ∫ . g*j d

jadi: cn = ∫ . n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx

= [ 1 (1)n ] (Buktikan) (1-69)

Pn = cn2 = [ 1 (1)n ]2.

Catatan: Jika anda akan membuktikan (1-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n

1.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum

Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal postulat-

postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:

Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi yang merupakan fungsi

koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi

gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga

dipostulatkan bahwa harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan

quadratically integrable.

Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.

Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik

dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum

linearnya, kemudian gantilah setiap koordinat x dengan dan setiap

komponen px dengan

Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah

nilai eigen a i dalam persamaan  g i = a i g i dengan  adalah operator yang

berhubungan besaran fisik A dan g i adalah fungsi eigen yang well behaved.

Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati

tertentu, maka fungsi g i dari operator  membentuk himpunan lengkap.

19

Page 20: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Catatan:

Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat

postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini.

Karena tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus

berasumsi terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi

gelombang untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal

dari sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:

c g 7

Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada

saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:

< A > = ∫* d (1-71)

Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan

dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:

= (1-72)

dengan adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu

1.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum

Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem terjadi melalui dua macam cara.

Yang pertama perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu

(reversibel). Perubahan jenis ini ditunjukkan oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu

(1-72). Cara kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan (irreversibel), diskontinyu

(tidak terus menerus) dan probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan ditentukan oleh

sistem itu sendiri. Jenis perubahan spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena hasil

pengukurannya juga tidak dapat diprediksi secara pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja

yang dapat diprediksi. Perubahan spontan dalam disebabkan oleh pengukuran yang disebut

reduksi fungsi gelombang. Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan ak berakibat

mengubah fungsi menjadi gk yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya ak . Untuk

lebih jelasnya adalah sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz

elektron dalam atom hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 . Pada saat ini

20

Page 21: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

fungsi gelombangnya tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi

gelombangnya adalah ( n, , 2) dengan > 2 dan n > +1. Selanjutnya misal pada pengukuran

kedua diperoleh Lz = . Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari

fungsi gelombang hidrogen yang m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n, ,1)

dengan > 1 dan n > +1. Jadi tampak adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak

akibat adalah pengulangan pengukuran. Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.

Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa

dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.

Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi

pengukuran sungguh sesuatu yang sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat

reduksi merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain

menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para

ahli saling berbeda pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004). Balentine

mendukung interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh

Einstein, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem

tunggal (sebagaimana dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal

terhadap sekelompok sistem (dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini

maka silang pendapat mengenai reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.

"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika

kuantum yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang

belum ada penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran

kuantum... dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam

menginterpretasi mekanika kuantum secara global" (M. Jammer, 2003)

Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,

termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka

menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi

realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat

dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub

mekanika kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah

analogi bagi kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu

di udara. Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan

21

Page 22: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

geraknya tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis

pula, gerak elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub

mekanika kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang

dikembangkan oleh Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan

menyatakan bahwa hukum mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas

fisik.

Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang

melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama

dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi

untuk memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum.

Dalam teori lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa

eksperimen sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan

mekanika kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.

Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa

hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel

dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut

obyektivitas) adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat

definitnya adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang

lokalitas adalah ke-instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh

terhadap yang lain ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi

kecepatan cahaya.

Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala

pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian

dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu

dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel

yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.

Greenberger, 2004).

Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi

ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik

bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.

1.9 Matrik dan Mekanika Kuantum

22

Page 23: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika

kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa

teori mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan

hubungannya dengan mekanika kuantum.

Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan

yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n

kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan

untuk elemen baris i kolom j, maka:

A =

A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus

bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya

terdiri atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang

jika sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik

kolom.

Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta

elemen-elemen yang seletak nilainya sama.

Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.

Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B

maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:

Jika C = A + B maka cij = aij + bij (1-73)

Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik

baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:

C = kA maka cij = kaij (1-74)

Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m

x p

Sebagai contoh:

A = B =

23

Page 24: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu:

C =

Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan

untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.

Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur

sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama,

nilai elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut

matrik satuan. Contoh matrik satuan orde 3:

Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum

Pada sub bab 1.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis <

fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh

karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:

A =

maka elemen-elemen:

A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1

*Âf2>

A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2

*Â f 2> dan seterusnya

Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis { f i}.

Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka

matrik order A adalah tak terhingga.

Jika = Â + maka integral sebagai elemen matrik C adalah:

Cij = < fi* f j> = < fi

*Â + fj> = ∫ fi* (Â+ ) fj d

∫ fi* Â fj d∫ fi

* fj dij + Gij (1-75)

Jadi:

Jika = Â + maka Cij = Aij + Gij (1-76)

24

Page 25: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

Dengan menggunakan logika dari (1-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan

matrik C = A + B, sehingga:

Jika = Â + maka C = A + G (1-77)

dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear , Â dan .

Hal yang sama, yaitu :

jika = k maka Cij = k Aij (1-78)

Selanjutnya jika: Â = maka:

Aij = ∫ fi* Â fj d∫ fi

* fj d (1-79)

Fungsi fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut

persamaan :

fj = k ck fk dengan ck = ∫ fk fj d jadi:

fj = k∫ fk fj d. fk = k fk fj> fk = k Gkj fk (1-80)

dan Aij menjadi:

` Aij =∫ fi* fj d∫ fi

* k Gkj fk dk ∫ fi* fk d Gkj

= k Cij Gij (1-81)

Jadi:

Jika  = maka Aij = k Cij Gij (1-82)

Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:

Jika  = maka A = C. G (1-83)

Selanjutnya kombinasi (1-79) dengan (1-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat

bermanfaat, yaitu:

k Cij Gij = ∫ fi* fj datau:

k < fi* fj> < fi

* fj> = < fi* fj> (1-84)

Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:

Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi

* Â fj d

Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:

Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi

* fj d aj < fi* fj> (1-85)

Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika

kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal

operator Â

25

Page 26: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

1. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi

Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum

angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?

Operator posisi ditulis yang operasinya adalah x kali atau

= x.

Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:

g(x) = a g(x) atau:

x g(x) = a g(x) atau (1-86)

(x a) g(x) = 0 (1-87)

Dari (1-87) dapat disimpulkan bahwa :

untuk x = a g(x) 0 (1-88)

untuk x a g(x) = 0 (1-89)

Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa

seandainya fungsi state = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka

kemungkinan hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol

untuk x a agar memenuhi (1-89).

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi

Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 1-1)

Gambar 1.1: Fungsi Heaviside step

Dari gambar itu tampak bahwa:

H(x) = 1 untuk x > 0

26

1/2

1

H(x)

x

Page 27: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

H(x) = ½ untuk x = 0 (1-90)

H(x) = 0 untuk x < 0

Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi

Heaviside step.

(x) = d H(x) / dx (1-91)

Dari (1-90) dan (1-91) diperoleh:

(x) = 0 untuk x 0 (1-92)

Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga,

jadi:

(x) = ~ untuk x = 0 (1-93)

Sekarang kita perhatikan (1-90). Jika x diganti x a, maka (1-90) akan menjadi lebih umum,

yaitu dalam bentuk:

H(x a) = 1 untuk (x – a) > 0

H(x a) = ½ untuk (x - a) = 0 (1-94)

H(x a) = 0 untuk (x – a )< 0

atau:

H(x a) = 1 untuk x > a

H(x a) = ½ untuk x = a (1-95)

H(x a) = 0 untuk x < a

Dengan demikian maka:

(xa) = 0 untuk x a ; (xa) = ~ untuk x = a (1-96)

Sekarang perhatikan integral berikut:

f(x) (x-a) dx

Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV ∫V dU

dengan U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (1-91), maka V =

H(xa)

Jadi:

f(x) (x-a) dx = H(xa) f '(x) dx

27

Page 28: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

f(x) (x-a) dx = f (~) H(xa) f '(x) dx (1-97)

Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (1-97) menjadi:

f(x) (x-a) dx = f (~) H(xa) f '(x) dx (1-97)

Suku H(xa) f '(x) dx pada (1-97) adalah ∫V dU jadi (1-97) menjadi:

f(x) (x-a) dx = f(a) (1-98)

Jika kita bandingkan (1-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran

fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau

sigma.

Jadi dapat dipastikan:

(x-a) dx = 1 (1-99)

Sifat (1-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (1-88) dan (1-89), dari fungsi eigen

posisi g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi

adalah:

g(x) = (x-a) (1-100)

Soal-soal Bab 1

1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?

2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?

3. Diketahui operator  dan adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.

a) buktikan bahwa c adalah Hermitian

b) Buktikan

bahwa Â+ adalah Hermitian

28

Page 29: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2

adalah operator Hermitian.

5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?

a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)

6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:

a) < 2 Âb) < 3 c) < 3

 adalah operator Lz, adalah operator momentum angular L2 dan adalah operator

Hamilton.

7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan

n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:

a) ekspansi F(x) = n an n

b) E1, E2 dan E3

c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3

8. Jika adalah operator paritas, tentukan jika n bilangan ganjil positif ?

Bagaimana pula jika n genap positif ? (Note: Terapkan pada sembarang f(x, y, z)

9. Diketahui adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator

harmonik ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik adalah:

= d

buktikan bahwa elemen matrik = 0 untuk i j dan = + 1

10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.

11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas

adalah hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)

12. Karena operator adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap yang

mempunyai nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan !

13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen

. Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan

probabilitasnya masing-masing.

29

Page 30: Bab 1 Teorema Mekanika Kuantum FIN (1)

Bab I/Teorema Mekanika Kuantum

14. Tentukan:

a) (x) dx b) (x) dx c) (x) dx

15. ) Tentukan:

a) f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b) f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5

16. Untuk matrik:

A = B =

Tentukan:

a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B

===000===

30