BAB 1 PENDAHULUAN - UKSW...Konflik merupakan bentuk perselisihan antara dua atau beberapa individu,...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN - UKSW...Konflik merupakan bentuk perselisihan antara dua atau beberapa individu,...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Research gap dan fenomena manajemen dibahas pada bagian
pendahuluan sesuai dengan ruang lingkup dan latar belakang masalah
penelitian. Bagian pendahuluan juga menjelaskan tentang masalah
penelitian, dan dilanjutkan penjabaran dari permasalahan dalam bentuk
pertanyaan penelitian yang akan mendasari penelitian. Akhir dari bagian
pendahuan membahas tentang tujuan dan manfaat penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dapat dikatakan bahwa keberhasilan organisasi atau perusahaan
dipengaruhi oleh kinerja organisai dan kinerja individu dalam melaksanakan
tugas kerjanya secara efektif dan efisien. Persoalan tentang efektifitas
organisasi tidak dapat dipisahkan dengan kinerja individu dan kelompok
(Robbins dalam Martono, 2012). Efektifitas atau Effectiveness adalah
“doing the right things” yaitu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
menjamin tercapainya tujuan organisasi. Jadi apabila pemimpin dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka ia dikatakan efektif Ihalauw
(dalam Dwiatmadja, 2001). adalah pencapaian tujuan atau hasil yang
dikehendaki tanpa menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, pikiran
dan segala peralatan yang telah dikeluarkan atau digunakan. Organisasi
terdiri dari kelompok, karena itu efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas
individu dan efektivitas kelompok. Dengan demikian, jumlah efektivitas
organisasi lebih banyak dari jumlah efektivitas individu dan kelompok
(Robbins, 2008; De Drau, 2005). Sesungguhnya, alasan organisasi sebagai
alat untuk melaksanakan pekerjaan adalah bahwa organisasi mampu
melakukan pekerjaan lebih banyak dari pada yang mungkin dilakukan oleh
individu. Efektivitas organisasi mengutamakan proses pencapian tujuan yang
2
secara relatif mengesampingkan aspek sumberdaya yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut ( Nelson, 2007;De Drau, 2005).
Di lingkungan organisasi toko modern atau peritel, khususnya
pramuniaga salah satu ukuran efektivitas adalah standarisasi pelayanan.
Suatu unit pelayanan dari storenya masing-masing telah mencapai suatu
tingkat pelayanan yang standart dapat diartikan mampu mencapai tujuannya
karena perolehan omset. Omset yang diharapkan tidak terlepas adanya
promosi dari pramuniaga. Kriteria yang diperlukan oleh seorang karyawan
peritel sebagai berikut (1) menjaga kelengkapan barang jaminan barang dan
garansi dari tiap kelompok barang dan memajang barang yang baru datang
dengan cepat, (2) kemampuan dalam melayani (customer service ability), (3)
kemampuan melakukan penjualan (sales ability), (4)memiliki pengetahuan
tentang barang (product merchandise knowledge), (5) kebijakan toko (store
policy) (Dunne, Luscch, Griffith dalam Foster, 2008).
Pengukuran efektivitas organisasi perusahaan toko modern yang
berbasis servis mengembangkan kemampuan penjualan mencapai
kelengkapan produk yang dijual dalam rangka mencapai kepuasan
pelanggan, menuntut kekuatan dan komitmen di semua unsur yang ada
didalam unit satuan pelayanan dari lantai satu supermarket, lantai satu
department store, dan lantai dua fashion. Berbagai persaratan yang harus
dipenuhi untuk memperoleh omset/hasil penjualan yang memadai tersebut.
Tuntutan pengelolahan sumberdaya organisasi yang mendukung
ketercapaian organisasi menjadi penting karena faktor keterbatasan dan
ketersediaan. Artinya dalam mencapai omset penjualan tertinggi dari
berbagai unit penjualan harus membutuhkan sumber daya yang memadai.
Namun sebaliknya sumberdaya sebagai pendukung sangatlah terbatas. Hal
ini memunculkan berbagai permasalahan, diantaranya adalah konflik dalam
organisasi, komitmen dan kepuasan kerja mengingat tidak semua sumber
3
daya termasuk sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam
mempertahankan omset penjualan berbasis servis tersebut membutuhkan
untuk memenuhinya harus bekerja sama dengan store yang lain.
Konflik terjadi karena adanya pertentangan atau perbedaan dalam
organisasi. Konflik merupakan bentuk perselisihan antara dua atau beberapa
individu, kelompok dan organisasi (Griffin, 2006). Konflik dapat terjadi
dalam organisasi karena tidak ada kesesuaian diantara anggota-anggota atau
kelompok–kelompok organisasi karena keterbatasan sumber daya yang harus
dibagi, perbedaan status tujuan, nilai dan persepsi. Konflik tidak selamanya
negatif dan mempunyai citra buruk bagi karyawan dan kinerja organisasi
(Karadal,2008; Lambert, 2006; Luthans, 2006). Penyebab konflik dapat
bersumber dari dalam diri karyawan itu sendiri (individu) dan dari luar
individu (antar individu). Namun sebagian besar organisasi menghindari
konflik. Sebagian besar orang yang sampai ke posisi puncak adalah orang
yang menghindari konflik (Robbins, 2008; Luthans, 2006; Ivancevich,
2005). Mereka tidak suka mendengarkan hal-hal negatif. Kultur anti konflik
itu mungkin dapat ditoleransi pada masa lalu, tetapi tidak dalam ekonomi
global yang sangat kompetitif dewasa ini (Robbins, 2008). Kenyataan saat
ini, konflik tidak dapat dihindari bahkan harus diciptakan agar terdapat
dinamika di dalam organisasi (Karadal, 2008; Luthans, 2006).
Konflik positif atau fungsional berarti mampu meningkatkan kinerja
individu dan organisasi (Robbins, 2008). Dengan adanya konflik, setiap
anggota organisasi akan berusaha menjadi yang terbaik dalam kompetisi
secara baik dengan anggota organisasi lainnya. Konflik yang positif
membuat suasana dilingkungan kerja menjadi lebih hidup, bervariasi dan
produktif (Luthans, 2006; Robbins, 2008). Dampak positif adanya konflik
akan mampu menstimulasi untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif. Disisi
lain konflik juga memiliki dampak negatif atau disfungsional bagi individu
4
dan organisasi. Konflik yang disfungsional sangat tidak dikehendaki, karena
akan meningkatkan biaya, dan pemborosan dalam mengelola atau
memanfaatkan sumberdaya organisasi untuk hal-hal yang tidak produktif.
Selain itu, konflik yang tinggi dapat merusak hubungan dan komunikasi di
antara pihak-pihak yang terlibat konflik, mengembangkan perasaan negatif,
permusuhan, ketidakpuasan, menurunkan motivasi kerja, komitmen,
loyalitas, dan kedisiplinan (Robbins, 2008). Dilihat dari penyebab konflik
mencakup aspek substantif dan afektif (Rahim, 2002).
Konflik substantif merupakan konflik yang berkaitan dengan
keputusan, ide dan arah tindakan, serta ketidak sepakatan tentang isu-isu
tugas (Rahim,2002; Jehn 2001), termasuk sifat dan pentingnya tujuan tugas
dan keputusan penting seperti prosedur untuk menyelesaikan tugas, dan
pilihan yang sesuai dalam melaksanakan kegiatan (Pelled 1996). Konflik
Substantif disebut juga konflik tugas (Pelled, 1996; Jehn 2001), konflik
kognitif (Amason, 1996). Konflik substantif berkaitan dengan masalah tugas
dan delegasi sumber daya, seperti siapa yang harus melakukan dan
mendapatkan apa, serta berapa banyak tanggungjawab orang yang berbeda
(Jehn,2001).
Konflik afektif berkaitan dengan ketidaksesuaian pribadi, benturan,
emosi yang ditandai dengan ketidakpercayaan, kemarahan, frustasi, dan
bentuk lainnya yang berdampak negatif (Davis, 2001; Jehn, 2001). Kajian
dalam penelitian pada konflik substantif yang menggambarkan adanya
pertentangan dalam melaksanakan tugas.
Pengelolaan sumberdaya pramuniaga di toserba Laris Ambarawa
baik dari lantai satu supermarket, departement store dan lantai dua fashion,
dapat memunculkan konflik substantantif, karena adanya perbedaan
kepentingan dan tujuan jangka pendek. Beberapa sumber daya berpotensi
munculnya konflik substantif seperti kebutuhan tenaga karyawan baru
5
maupun supervisor sebagai tenaga pengawasan, penyusunan jadual liburan,
pemberian kompensasi yang tidak seimbang antara karyawan baru dengan
yang lama, dan fasilitas lainnya seperti meja kerja dan komputer yang
digunakan dalam rangka pengecekan persediaan, stock, kondisi, program
dengan suplier. Konflik substantif muncul pada saat para supevisor dan
merchandiser diberi tugas untuk melakukan pekerjaan lain yang bukan tugas
mereka semestinya dikala yang bersangkutan sebagai penanggungjawab di
counter tersebut tidak hadir dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam kaitannya dengan fasilitas yang harus dimanfaatkan di
berbagai divisi misalnya komputer digunakan oleh beberapa merchandiser
untuk melakukan aktivitas order. Kondisi ini akan memunculkan konlik
substantif jika pemesanan barang-barang yang tidak saling berkoordinasi
sehingga berpotensi kekurangan barang (stock out ) dan kelebihan barang
masuk (over stock). Demikian pula berhubungan dengan salesman atau
pemasok. Untuk itulah peran perusahaan dalam mengatur pemanfaatan
management space sangat di perlukan sehingga pembagian sumber daya
yang terbatas tidak menjadi sumber konflik sehingga salah satu pihak (store)
merasa dibedakan dengan yang lainnya.
Jika penanganan konflik substantif di tingkat supervisor, merchadiser
yang tidak berdampak pada pramuniaga tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik, diharapkan mampu meningkatkan komitmen organisasi dan pada
akhirnya akan meningkatkan efektivitas organisasi pula (Robbins, 2008;
Luthans, 2006; Ivancevich, 2005; Karadal, 2008). Resolusi konflik substantif
dapat dilakukan oleh peran seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk
selalu berinteraksi dengan anggota melalui penyesuaian aktivitas dan
komunikasi dalam organisasi.
Konflik substantif juga dapat menyebabkan tekanan dalam kaitannya
dengan kebebasan dalam penyelesaian pekerjaan. Tingkat konflik terutama
6
yang berkaitan dengan kepentingan antar fungsi/unit diharapkan akan
berkurang jika seseorang karyawan diberi otonomi dalam menyelesaikan
pekerjaan. Selain itu, otonomi pekerjaan diharapkan mampu meningkatkan
kepuasan kerja karyawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas
organisasi (Ussahawanichakit, 2008).
Komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang
memihak pada suatu organisasi tetentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat
memelihara keanggotaan dalam suatu organisasi tersebut (Robbins, 2008).
Komitmen organisasi yang tinggi berarti terdapat kepemihakan kepada
organisasi yang tinggi pula. Komitmen sebagai penentu kinerja seseorang
secara universal, dan bertahan dalam organisasi sebagai suatu keseluruhan
dari pada hanya mencapai kepuasan kerja. Seseorang dapat tidak puas
dengan pekerjaan tertentu dan menganggapnya sebagai kondisi sementara,
akan tetapai ketidakpuasan terhadap organisasi adalah sebagai suatu
keseluruhan, dan ketidakpuasan tersebut menjalar ke organisasi, dapat
mendorong seseorang mempertimbangkan diri untuk keluar dari organisasi.
Komitmen organisasi di pandang sebagai (1) keinginan yang kuat
untuk tetap menjadi anggota organisasi (Luthans, 2006; Karadal 2008;
Kreitner, 2000), (2) keinginan berusaha keras sesuai dengan keinginan
organisasi (Luthans, 2006; Karadal 2008, Landry, 2009) dan (3) keyakinan
tertentu, serta penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Luthans, 2006;
Landry, 2009). Dengan demikian kepuasan kerja sangat berkaitan dengan
komitmen organisasi (Luthans, 2006). Logika konseptual antara komitmen
dan kepuasan kerja menunjukan arah positif. Artinya semakin tinggi tingkat
komitmen seseorang terhadap organisasi maka akan semakin tinggi pula
tingkat komitmen seseorang (Martono, 2012).
Terdapat tiga dimensi komitmen organisasional yaitu affective, continuance
dan normative commitment (Meyer & Allen, 1993) (1) Affective commitment
7
(komitmen afektif), menunjukan kuatnya keinginan emosional ( Leung at al,
2008; Meyer & Allen, 1993), (2) Continuance Commitmen (komitmen
kontinuan), merupakan komitmen yang didasari atas kekhawatiran anggota
organisasi terhadap hilangnya sesuatu yang telah di peroleh dari organisasi
selama ini seperti gaji, fasilitas dan lainnya. Individu yang memutuskan
untuk tetap berada dalam organisasi karena menganggapnya sebagai
kebutuhan, (3) normative commitment (komitmen normatif), menunjukan
adanya tanggungjawab moral pegawai untuk tetap tinggal dalam organisasi
tersebut. Individu tetap tinggal dalam organisasi karena merasa wajib untuk
loyal pada organisasi tersebut. Komitmen normatif dapat berkembang dalam
organisasi jika organisasi menyediakan kualitas kehidupan kerja yang lebih
baik, misalnya dengan mengangkat pramuniaga yang sudah senior belajar
dipusat dan kemudian menjadi supervisor diperusahaan cabang.
Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan
mencintai pekerjaannya. Sikap ini mencerminkan oleh moral kerja,
kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja menurut Luthans (2006)
merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari
penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Terdapat tiga dimensi yang berkaitan dengan kepuasan (Luthans,
2006). Pertama, kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap
situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat
diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil
yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. Ketiga, kepuasan kerja
mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Jika anggota organisasi merasa
bahwa mereka bekerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Jika
anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja lebih keras dibanding
yang lainnya, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka
mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan,dan atau
8
rekan kerja. Sebaliknya jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan
dengan baik dan menerima penghargaan yang pantas, maka mereka akan
memiliki sikap positif terhadap pekerjaan.
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja diantaranya
gaya kepemimpinan, karakteristik pekerjaan (Yulk, 2000; Robbins,2008;
Mathis &Jackson, 2000), supervisi (Luthans, 2006; Mathis & Jackson,
2000), tuntutan tugas (Robbins, 2008; Luthans, 2006), dan kerja sama
didalam organisasi (Gibson, 1996; Mathis &jackson, 2000). Seorang
pemimpin dalam organisasi sangat dibutuhkan keberadaannya untuk
membawa organisasi dan semua anggota kearah pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan. Jadi tujuan organisasi, tidak terlepas adanya fenomena
menejemen yang terjadi diantaranya konflik, peran tugas, kepuasan pekerja,
otonomi tugas, karyawan selayaknya bekerja secara efektif dan efisien
tergantung kepemimpinan dari organisasi tersebut.
Kepemimpinan merupakan proses penggunaan pengaruh tanpa
paksaan untuk membentuk tujuan-tujuan kelompok atau organisasi. Tugas
utama seorang pemimpin adalah memotivasi perilaku kearah pencapaian
tujuan dan membantu mendefinisikan budaya organisasi (Griffin, 2001).
Pemimpin bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi yang utama
adalah mengembangkan organisasi agar menjadi lebih baik dan semakin
maju. Peran pemimpin tidak hanya aspek personal akan tetapi komunikasi
dan pengambilan keputusan. untuk melaksanakan peran tersebut seorang
pemimpin didukung dengan gaya dalam memimpin dan mengelola sumber
daya organisasi.
Kepemimpinan merupakan hubungan dinamis yang didasarkan pada
pengaruh timbal balik antara pemimpin dan pengikut yang menghasilkan
tingkat motivasi yang lebih tinggi dan pengembangan teknis adanya
perubahan (McLaurin & Al Amri, 2008). Teori-teori kepemimpinan telah
9
berevolusi dari pendekatan sifat, perilaku dan situasi yang lebih berorientasi
pada perubahan (Mc Laurin & Al Amri, 2008; Ivancevich, 2005). Terdapat
dua gaya kepemimpinan yang paling populer yaitu pendekatan karismatik
dan tranfomasional.
Pemimpin karismatik dapat didefinisikan sebagai mereka yang
memiliki kepercayaan diri tinggi, visi yang jelas (Griffin, 2005), terlibat
dalam perilaku yang tidak konvensional, dan bertindak sebagai agen
perubahan, namun tetap realistis terhadap kendala lingkungan (McLaurin &
Al Amri, 2008). Perilaku kunci pemimpin karismatik termasuk pemodelan
peran, membangun citra, artikulasi tujuan, menunjukan kepercayaan diri dan
membangkitkan motivasi pengikut. Pemimpin transformasional adalah
mereka yang merangsang minat diantara aggota organisasi untuk melihat
pekerjaan mereka dari perspektif baru, menghasilkan kesadaran akan visi
organisasi, mengembangkan kemampuan dan potensi dan anggota organisasi
ketingkat yang lebih tinggi, dan memotivasi rekan serta anggota organisasi
untuk berusaha melebihi kebutuhan mereka sendiri. Tugas dan peran
pemimpin secara umum meliputi pemberdayaan (empowerment), model
peran, menciptakan visi, bertindak sebagai agen perubahan, dan membuat
norma-norma dan nilai yang jelas untuk semua anggota organisasi.
Kepemimpinan seseorang dapat mencerminkan karakter pribadinya,
disamping itu dampak kepemimpinan akan berpengaruh terhadap suasana
kerja, konflik dan komitmen anggota terhadap organisasi.
Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh intensitas konflik (Dunegan et
al, 2002). Dan otonomi tugas (Mauno 1999), serta mempengaruhi kepuasan
kerja (Castro et.al, 2008). Seorang pemimpin yang mampu mengembangkan
pola kepemimpinan yang sesuai dengan keinginan dan tuntutan anggota
organisasi akan mampu meningkatkan kinerja individu dan organisasi.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak didukung dengan kompetensi
10
sebagai seorang pemimpin yang baik maka kinerja individu akan rendah dan
pada akhirnya kinerja organisasipun akan rendah.
Patilo (2009) menjelaskan bahwa otonomi tugas merupakan
kebebasan mengembangkan pola dan strategi dalam menyelesaikan tugas
atau pekerjaan. Kebebasan dalam menyelesaikan tugas berarti seseorang
karyawan diberikan keleluasaan sesuai dengan kreativitas dan inovasinya.
Namun demikian, otonomi tersebut harus tetap mengacu pada rambu-rambu
dalam rangka penyelesaian tugas secara efektif dan efisien. Otonomi tugas
yang tinggi bagi seorang karyawan dapat menimbulkan dan meningkatkan
kemauan keras untuk melaksanakan suatu kegiatan yang menjadi
tanggungjawabnya dan bahkan tidak segan-segan karyawan tersebut
melaksanakan tugas diluar peran formalnya. Implementasi tuntutan tugas
yang keras dan berat cendrung membutuhkan kemandirian dari para
karyawan. Kemandirian ini diarahkan pada kebebasan mengembangkan
kemampuan dan cara-cara yang paling sesuai dengan karakteristiknya.
Kesesuaian cara dan strategi dalam melaksanakan tugas dengan karakteristik
karyawan yang diharapkan akan mampu mengembangkan pola pencapaian
tujuan organisasi yang baik. Setiap karyawan harus mampu
mempertanggungjawabkan kinerja yang dicapai dengan cara-cara mereka
tersebut. Namun, fakta dilingkungan pasar modern dan departemen store,
tidak memiliki otonomi yang diharapkan.
Beberapa counter, pramuniaga boleh dikatakan pasif dan sangat
bergantung pada pimpinan operational. Misalnya penetuan jumlah barang
yang harus didatangkan, kapan melakukan stok opname, menentukan
karyawan membantu cuonter lain, serta performance-nya yang menurun dan
bagaimana meng-enggag mereka. Dengan demikian, koordinasi dan kerja
sama antar divisi, senioritas dan para pengawas sangat diperlukan.
11
Kerja sama dalam melaksanakan tugas dari setiap unit organisasi
merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan. Kerja sama dalam
organisasi mencakup semua aspek sumber daya yang dimiliki organisasi,
termasuk sumber daya manusia. Karakteristik sumber daya manusia menjadi
bagian terpenting karena sebagai penggerak aktivitas dalam suatu organisasi.
Dengan kerja sama yang baik, diharapkan masing-masing unit organisasi
dapat saling melengkapi dan mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Tidak semua sumber daya yang dimiliki secara penuh di masing-masing
store. Faktor keterbatasan sumber daya inilah yang mendorong pentingnya
kerja sama sehingga masing-masing unit dapat saling memanfaatkan secara
optimal aktifitas ditingkat supervisor, senior dan merchandise (MD).
Pemanfaatan sumber daya antar store akan berdampak pada kebutuhan
saling bekerja sama. Meskipun beberapa pramuniaga dari counter lain,
tentunya harus mengikuti cara pelayanan. Misalnya cara pelayan penjualan
ada yang memakai nota, secara langsung, dan mencabut tag sensor matic
sebelum melakukan transaksi di kassa. Setiap pemimpin harus
mengembangkan kerja sama dilingkungan store sebagai suatu sistem. Setiap
komponen yang bergabung dalam setiap unit harus saling membantu dan
berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian, faktanya
tidak semua divisi mampu bekerja sama dengan baik. beberapa diantaranya
justru tidak mampu menunjukan kekompakan dalam sebuah tim.
Objek penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah pramuniaga pasar
modern Laris Ambarawa yang di perdayakan oleh para atasannya. Sebagai
atasan ataupun pemimpin dituntut memiliki kemauan dan kemampuan untuk
mengembangkan kompetensi, ketrampilan dan pengetahuannya dalam upaya
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan dan atasan.
Begitupun sebaliknya, seorang pemimpin dituntut mampu memberikan
12
pelayanan yang ramah, sopan, serta trampil sehingga dapat menyenangkan
orang lain.
Tuntutan efektivitas dan komitmen yang tinggi sangat diperlukan
sebagai konsekuensi pengembangan program pelayanan prima menuju
keberhasilan organisasi dan mampu untuk mempertahankannya di situasi
yang penuh dengan persaingan dagang yang semakin ketat.
1.2 Research Gap
Pandangan tetang konflik masih terdapat kontriversi, di satu sisi konflik
antar anggota organisasi dianggap merugikan, bentuk perlawanan, dan
ancaman bagi organisasi sehingga harus dihindari atau dihilangkan (Robbins,
2008). Disisi lain konflik tidak dapat dihindari, dan jika perlu diciptakan
untuk meningkatkan produktivitas kerja (Ivancevich, 2005). Terdapat dua
jenis konflik yaitu konflik yang berkaitan dengan hubungan atau relasi,
disebut konflik afektif.
Konflik substantif berkaitan dengan perbedaan ide, pandangan,
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas. Sedangkan konflik
afektif berkaitan dengan ketidakcocokan antar individu. Kedua jenis konflik
dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap performa organisasi (Jehn &
Chatman, 2000). Pengaruh positif atau negatif, baik atau buruk, pada
organisasi tergantung pada persepsi seseorang terhadap konflik itu sendiri
(Amason, 1995; Jehn, 1995; Guera et al, 2005).
Penelitian tentang dampak konflik substantif atau tugas menjadi
perdebatan, konflik tugas biasanya dikaitkan dengan pengaruh positif pada
kelompok dan pengelolaan organisasi (Guerra et al (2005). Konflik tugas
berkaitan dengan kualitas ide dan inovasi (Amason, 1996), dapat
meningkatkan perdebatan konstruktif (Jehn et al, 1999), dan memfasilitasi
efektivitas pemanfaatan sumber daya organisasi. Namun penelitian lain
menunjukan bahwa konliflik tugas kemungkinan juga memiliki dampak
13
yang membahayakan organisasi (Guerra et all, 2005). Konflik dalam bentuk
apapun dapat membuat lingkungan kerja kurang nyaman, mengurangi
persepsi individu tentang kerja tim dan kepuasan kerja (Jehn et all, 1997),
meningkatkan kecemasan dan dampak yang lebih besar adalah membuat
karyawan meningggalkan kelompok (Jehn, 1995). Untuk itu, diperlukan
penyelesaian konflik (Ivancevich, 2005; Robbins, 2008). Istilah penanganan
konflik dinamakan resolusi konflik (Ivancevich, 2005), yaitu penanganan
konflik kerja sama.
Tugas dan tanggungjawab pemimpin sangat besar dalam kehidupan
organisasi yang semakin kompleks. Pemimpin adalah mereka yang bekerja
lebih efektif dalam lingkungan yang berubah dengan cepat dengan
membantu untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh pemimpin dan
pengikut dan kemudian tepat menanggapi tantangan-tantangan untuk
menghasilkan solusi kreatif pada masalah-masalah yang kompleks (Bennis,
2001). Peran pemimpin dalam organisasi sangat strategis karena melalui
seorang pemimpin segala aktivitas organisasi dapat dilaksanakan secara
harmonis sesuai tugas dan fungsinya. Melalui pemimpin konflik dapat segera
diatasi, di pecahkan dan dicarikan jalan keluar. Seorang pemimpin yang
mampu menyelesaikan konflik, mengoptimalkan kerja sama tim dan
meningkatkan komitmen organisasi adalah yang memiliki jiwa dan semangat
yang adaptif.
Research gap 1, isu konlik dan kepuasan kerja
Hasil penelitian tentang hubungan konflik dan kepuasan kerja
tampaknya terdapat perbedaan. Hasil review dari beberapa penelitian tentang
kepuasan kerja berbanding terbalik dengan konflik, baik konflik personal,
interorganisasi maupun antar organisasi. Jehn (1995) meneliti karyawan, tim
menejemen dan kelompok kerja di perusahaan transportasi yang berkaitan
dengan manfaat konflik. Menurut Jehn (1995), konflik tidak dapat dihindari
14
dalm kelompok dan organisasi karena kompleksitas dan saling
ketergantungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik tugas
berpengaruh negatif terhadap kepuasan (-0.16, p <0.01).
kelompok yang melaksanakan tugas rutin, ketidaksepakatan tentang tugas
dapat merugikan tugas kelompok. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian Guera et al (2005) yang meniliti tentang konsekuensi jenis
konflik, substantif relasional, pada organisasi swasta dan pemerintah. Hasil
penelitian menunjukan bahwa konflik tugas pada organisasi swasta
berpengaruh negatif (-0.23) terhadap kepuasan kerja, sedangkan konflik
tugas pada organisasi pemerintah tidak berpengaruh(-0.10)terhadap kepuasan
kerja. Hal ini menandakan pola hubungan yang bertolak belakang. Jika ingin
kepuasan meningkat maka harus menekan tingkat konflik, dan sebaliknya
semakin tinggi tingkat konflik akan menurunkan tingkat kepuasan kerja
karyawan.
Perbedaan hasil penelitian tersebut merupakan bahan kajian penting
untuk mengembangkan pola hubungan antar konflik dan kepuasan kerja.
Diduga perbedaan hasil penelitian tersebut selain perbedaan latar belakang
objek, juga pandangan tentang konflik. Dan penlitian ini konflik di padang
sebagai fenomena yang pasti terjadi sehingga diupayakan bagaimana
menyelesaikannya. Dengan demikian, konlflik yang terjadi dalam organisasi
berkaitan dengan pelaksanaan tugas diharapkan mampu membentuk dan
meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Secara empiris, belum ditemukan
penelitian memfokuskan pada hubungan resolusi konflik dan kepuasan kerja.
Dalam penelitian ini diajukan konsep yang mampu membentuk hubungan
positif antara resolusi konflik dan kepuasan kerja dengan mediasi gaya
kepemimpinan. Untuk itu, penelitian ini diharapkan mampu mengisi celah
tersebut dengan kajian pada resolusi konflik dan hubungannya dengan
kepuasan kerja.
15
Research Gap 2, Isu Konflik dan kerja sama tim
Dari hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan pendapat
terhadap hubungan konflik dengan kerja sama tim. Tjosvold (2006)
melakukan penelitian pada tim yang bertanggungjawab pada tugas produksi
ditiga kota industri yaitu di Guangzhou, Jinhua, dan Shenyang di wilayah
Cina. Penelitian ini ingin menguji hubungan antar tipe konflik (relasional,
dan tugas), pendekatan menejemen konflik (kerja sama, dan kompetisi) dan
efektivitas kerja sama tim. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik tugas
tidak dapat berpengaruh terhadap efektivitas kerja sama tim (0.07)
pendekatan kompetisi berpengaruh negatif (-0,18) terhadap efektivitas
kerja tim.
Research Gap 3, isu otonomi tugas dan kepuasan kerja
Otonomi tugas menjadi bagian yang penting dalam pelaksanaan
pekerjaan karena berkaitan dengan tanggugjawab hasil kerja. Hal ini berarti
bahwa setiap karyawan atau anggota organisasi mengembangkan otonomi
tugas yang harus dapat dipertanggungjawabkan (Piccolo & Colquitt, 2006).
Otonomi tugas dilakukan oleh karyawan dalam melaksanakan tugas jika
tidak menghambat pencapaian tujuan dan tidak mengurangi kualitas tugas
yang menjadi tanggujawabnya. Kebebasan melakukan kreasi dan inovasi di
tempat kerja yang berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya harus didukung
oleh kesediaan karyawan menerima kritik dan masukan dari pihak lain,
terutama pimpinan, agar tetap dalam batas-batas kewenangannya.
Sesorang dapat tidak puas dengan pekerjaan tertentu dan
menganggapnya sebagai kondisi sementara, tetapi tidak puas terhadap
organisasi adalah sebagai suatu keseluruhan bersifat jangka panjang.
Memiliki otonomi berarti mendapat kebebasan mengembangkan pola dan
strategi dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang didasarkan pada
kreativitas, pengalaman dan dari anggota organisasi.
16
Penelitian dahulu tentang hubungan antar otonomi tugas dan
kepuasan kerja juga terdapat pebedaan. Chan et al (2004) memiliki tentang
kepuasan kerja dan otonomi tugas dari jurnalis di Shanghai China. Latar
belakang penelitian Chan et all (2004) ini adalah bahwa kepuasan kerja
karyawan menjadi bagian yang terpenting dan berpengaruh terhadap efisiensi
dan produktivitas organisasi.
Beberapa penelitian menunjukan pengaruh negatif kepuasan kerja
terhadap otonomi tugas, namun disisi lain kepuasan kerja berhubungan
positif terhadap otonomi tugas. Hasil penelitian Chan et all (2004)
menunjukan bahwa otonomi tugas berhubungan positif terhadap kepuasan
kerja ( 0,356)
Penelitian lain dilakukan oleh Ali & Baloch (2010) pada perusahaan di
pakistan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi faktor–faktor
yang signifikan berpenagruh terhadap kepuasan kerja dan tingkat turnover
karyawan. Hasil penelitian menunjukan otonomi tugas berhubungan dengan
positif (0,43) dengan kepuasan kerja. Sementara itu, Morris & Venkatesh
(2010) meneliti pegawai di perusahaan industri telekomunikasi tentang
kharakteristik tentang pekerjaan dan kepuasan kerja. Kerakteristik pekerjaan
meliputi signifikansi tugas, identitas tugas, variasi ketrampilan, otonomi, dan
umpan balik. Hasil penelitian otonomi tugas tidak berpengaruh (0,09)
terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian dari Morris dan Venkatesh (2010)
ini identik penelitian Galup et al (2008) tentang pengaruh otonomi tugas dan
kepuasan kerja pegawai tetap dan pegawai tidak tetap di Amerika Serikat.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hubungan antara otonomi tugas
dan kepuasan kerja masih menjadi pertentangan sehingga perlu dilakukan
penelitian lanjutan. Pembuktian hasil penelitian tentang hubungan kedua
variabel ini menjadi pelengkap dan pendukung penelitian-penelitian
sebelumnya.
17
Temuan hasil penelitian tentang hubungan resolusi konflik dan
otonomi tugas terhadap kerja sama tim serta kepuasan kerja. Dengan
demikian, hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi empiris tentang
pola hubunagn kedua variable tersebut dilingkungan organisasi khususnya di
pasar ritel modern.
Table 1.1
Research Gap terhadap Isu yang berhubungan dengan hubungan
substantif, kerja sama tim, otonomi tugas, dan kepuasan kerja
No Peneliti Temuan
1 Jehn (1995); dan Guerra et
all (2005)
Lambert et all (2007)
Konflik substantif berpengaruh negatif
terhadap kepusana kerja, dengan kata
lain, konflik substantif akan menurunkan
kepuasan kerja.
Konflik substantif berpengaruh positif
terhadap kepuasan kerja, atau konflik
substantaif akan meningkatkan kepuasan
kerja
2 Tjosvold et all (2006); dan
aritzeta et all (2005)
Firumo (2009)
Konflik substantif atau konflik tugas
tidak berperngaruh terhadap kerja sama
tim
Konflik substantif berpengaruh positif
terhadap kerja sama tim, atau konflik
substantif akan meningkatkan kerja sama
tim.
3 Chan et all (2004); dan Ali
dan Baloch (2010);
Morris & Venkatech
(2010); Galup et all (2008)
Otonomi tugas berpengaruh terhadap
kepuasan kerja, atau otonomi tugas akan
meningkatkan kepuasan kerja.
Otonomi tugas tidak berpengaruh
terhadap kepuasan kerja.
Sumber: beberapa hasil penelitian
1.3 Fenomena Manajemen
Kehidupan dalam organisasi baik di bidang bisnis maupun di non-
bisnis pasti terdapat dinamika dari orang-orang yang ada didalamnya, dan
18
bentuk dinamika itu salah satunya dapat berupa konflik. Menurut Robbins
(2008) sebuah konflik dimulai ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa
pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi
secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak
tertentu.
Hal ini menggambarkan suatu titik dalam kegiatan yang sedang
berlangsung ketika sebuah interaksi berubah menjadi konflik antar pihak.
Konflik yang terjadi didalam organisasi dapat disebabkan adanya ketidak
selarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta, dan ketidaksepahaman yang di
sebabkan oleh espektasi perilaku. Aktualisasi konflik bisa dimulai dari
penolakan dan ketidak sepahaman yang tidak terlihat sampai pada bentuk
yang nyata (terang-terangan), sedangkan konflik dapat bersifat disfungsional
dan fungsional. Konflik yang disfungsional yaitu adanyan pertentangan
kelompok yang dapat mengurangi dan merugikan kinerja organisasi
(Luthans,2006), dan berdampak pada lemahnya aktivitas organisasi. Jika hal
ini dibiarkan, berakibat rendahnya tingkat komitmen karyawan terhadap
organisasi. Komitmen yang rendah pada akhirnya berakibat pada aktivitas
organisasi yang kurang efektif. Dalam jangka panjang, lemahnya komitmen
dan efektivitas organisasi dapat menyebabkan pemanfaatan sumber daya
menjadi tidak efisien dan pada akhirnya merugikan organisasi. Harapannya,
konflik antar-fungsi dalam organisasi dapat dikelola dengan baik oleh
pimpinan sehingga dapat meningkatkan kepuasan, komitmen dan efektivitas
organisasi.
Konflik fungsional merupakan konfrontasi kelompok yang dapat
meningkatkan dan menguntungkan kinerja organisasi (Luthans,2006), akan
tercipta pola hubungan antar-fungsi jika konflik tersebut mampu diurai dan
dikelola oleh pimpinan melalui strategi kepemimpinan adaptif, yaitu
pemimpin yang mampu menyesuaikan keinginan-keinginan individu agar
19
menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan organisasi. Cara penanganan
konflik dapat dikatakan dengan istilah resolusi konflik.
Potensi konflik substantif di pasar modern Laris Ambarawa dapat
terjadi pada supervisor, merchandise (MD), pramuniaga, sampai pada
helper. Konflik substantif dapat disebabkan oleh ketidaksepahaman dalam
pengambilan keputusan.
1.4 Masalah penelitian
Berdasarkan research gap dan fenomena managemen dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Dari research gap ditemukan adanya berbagai kontradiksi teoritis
hasil penelitian mengenai konflik dalam hubungannya dengan kerja
sama tim dan kepuasan kerja dan otonomi tugas
2. Berdasarkan fenomena menejemen bahwa peluang terjadinya konlik
substantif semakin besar yang disebabkan adanya keterbatasan
sumber daya organisasi. Selain itu, kriteria untuk mencapai
perusahaan yang berkualitas baik dibutuhkan peran seorang
pemimpin yang berkomitmen tinggi serta kerjasama tim dalam
melaksanakan tugas produktivitasnya.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya,
karena penelitian ini akan menjelaskan pentingnya resolusi konflik
substantif, komitmen dan efektivitas organisasi terhadap kepuasan kerja
karyawan dengan otonomi tugas sebagai variable moderating pada
karyawan Laris Ambarawa. Oleh karena itu, permasalahan penelitian yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
“ Bagaimana peran organisasi dan pemimpinnya dalam penanganan konflik
substantif komitmen dan efektifitas organisasi dengan otonomi tugas sebagai
variable moderating serta implikasinya terhadap kepuasan kerja?”
20
1.5 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertitik tolak adanya masalah kontroversi konflik dalam
organisasi. Berdasarkan masalah penelitian yang diajukan diatas, dalam
penelitian terdapat beberapa pertanyaan:
1. Apakah resolusi konflik yang baik memiliki pengaruh yang positif
terhadap kepuasan kerja?
2. Apakah dengan adanya otonomi tugas sebagai variable moderat dapat
memperkuat pengaruh resolusi konflik yang baik terhadap kepuasan
kerja?
3. Apakah komitmen organisasi yang tinggi memiliki pengaruh yang
positif terhadap kepuasan kerja?
4. Apakah dengan adanya otonomi tugas sebagai variable moderat dapat
memperkuat pengaruh komitmen organisasi yang tinggi terhadap
kepuasan kerja?
1.6 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji:
1) Mengetahui seberapa besar resolusi konflik substantif yang baik dapat
memengaruhi kepuasan kerja melalui otonomi tugas sebagi variable
moderating.
2) Untuk mengetahui seberapa besar komitmen organisasi yang tinggi
dengan otonomi tugas sebagai variabel moderating memengaruhi
kepuasan kerja karyawan bagian pramuniaga Laris Ambarawa.
21
1.7 Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Hasil penlitian ini dapat diperguankan sebagai kontribusi literatur
mengenai menejemen khususnya peningkatan kinerja karyawan, dari
hasil studimenejemen sumberdaya manusia.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi perusahaan untuk meningkatkan
kemampuan karyawan bagian pelayan toko modern Laris Ambarawa
berkaitan dengan faktor-faktor yang dijadikan variable penelitian