BAB 1 PENDAHULUAN -...

26
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 2995 K/Pdt/2012 1 terdapat dugaan wanprestasi (breach of contract) yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Sellular selanjutnya Penulis singkat dengan PT. Telkomsel sajaterhadap satu dari jutaan pelanggan perusahaan telekomunikasi tersebut. Pelanggan tersebut adalah Prof. Dr. Farauk Muhhamad. Hampir dapat dipastikan bahwa dugaan wanprestasi atau dugaan adanya breach of contract yang mungkin sudah dilakukan PT. Telkomsel terhadap Perjanjiannya dengan Prof. Dr. Farauk Muhhamad dimaksud muncul mengingat di mata si pihak penggugat, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad itu sendiri atau bisa jadi menurut kuasa hukumnya; tidak dilaksanakannya suatu hal tertentu di pihak operator telekomunikasi PT. Telkomsel itu. Bisa jadi, ingkar janji (breach of contract) itu mungkin dituduhkan karena ada hubungan hukum perjanjian bernama (nominate contract) antara si pihak operator telepon (PT. Telkomsel) dan pelanggannya (Prof. Dr. Farauk Muhhamad). Bukan kah di dalam hukum 1 Untuk selanjutnya dalam Skripsi ini Penulis singkat dengan PutusanMARI 2995.

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 2995 K/Pdt/20121 terdapat

dugaan wanprestasi (breach of contract) yang dilakukan oleh PT.

Telekomunikasi Sellular –selanjutnya Penulis singkat dengan PT. Telkomsel

saja— terhadap satu dari jutaan pelanggan perusahaan telekomunikasi tersebut.

Pelanggan tersebut adalah Prof. Dr. Farauk Muhhamad. Hampir dapat

dipastikan bahwa dugaan wanprestasi atau dugaan adanya breach of contract

yang mungkin sudah dilakukan PT. Telkomsel terhadap Perjanjiannya dengan

Prof. Dr. Farauk Muhhamad dimaksud muncul mengingat di mata si pihak

penggugat, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad itu sendiri atau bisa jadi

menurut kuasa hukumnya; tidak dilaksanakannya suatu hal tertentu di pihak

operator telekomunikasi PT. Telkomsel itu. Bisa jadi, ingkar janji (breach of

contract) itu mungkin dituduhkan karena ada hubungan hukum perjanjian

bernama (nominate contract) antara si pihak operator telepon (PT. Telkomsel)

dan pelanggannya (Prof. Dr. Farauk Muhhamad). Bukan kah di dalam hukum

1Untuk selanjutnya dalam Skripsi ini Penulis singkat dengan PutusanMARI 2995.

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

2

itu tidak mungkin ada ingkar janji apabila tidak ada hubungan hukum

(perikatan)? Perlu dikemukakan di sini bahwa hubungan hukum yang disebut di

dalam Ilmu Hukum sebagai perjanjian bernama (nominate contract) dimaksud

adalah hubungan hukum keperdataan sewa-menyewa. Hubungan hukum yang

termasuk dalam kategori hubungan hukum atau perjanjian bernama sewa-

menyewa itu dalam kategori klasifikasi menurut ilmu hukum; berdasarkan

kepentingan yang diatur disebut dengan hukum perdata (hukum privat2 Sebagai

hubungan hukum perdata, maka kepentingan yang diurusi oleh hukum di sana,

di dalam hubungan hukum antara PT. Telkom dan pelanggannya tersebut

adalah kepentingan perseorangan. Hukum mengatur hak dan kewajiban

perorangan, mengatur hak dan kewajiban kedua pihak itu saja. Dalam hal ini

kepentingan yang diatur adalah kepentingan pihak yang satu terhadap

kepentingan pihak yang lainnya secara timbal-balik (bilateral). Hubungan

hukum yang bertimbal-balik itu terjadi baik di dalam hubungan keluarga dan di

dalam pergaulan masyarakat dan Negara. Pelaksanaan atas hak-hak dan

kewajiban yang tercipta dalam hubungan hukum seperti itu diserahkan kepada

kehendak (consent) masing-masing pihak atau merupakan urusan privat; alias

hubungan hukum keperdataan; Negara tidak berkepentingan untuk masuk

mencampuri urusan itu, kecuali Negara juga merupakan pihak di dalam

Perikatan tersebut.

2Mengenai cara menentukan klasifikasi hukum, ada yang menempuh cara penentuan klasifikasi

hukum berdasarkan kategori-kategori, mulai dari kategori sistem hukum, klasifikasi berdasarkan

kriteria fungsi, dan seterusnya. Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo SH, Mengenal Hukum Suatu

Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal., 119 – 126.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

3

Untuk lebih mempertajam pengertian hubungan hukum privat tersebut,

ada kalanya orang yang mempelajari dan mendalami hukum; akan membedakan

antara hukum privat dengan hukum publik. Tujuan hukum publik adalah

melindungi kepentingan umum sedangkan tujuan hukum perdata adalah

melindungi kepentingan perseorangan atau individu.3 Dalam kategori klasifikasi

hubungan hukum seperti itu, maka hubungan hukum yang bersifat bilateral yaitu

dalam konteks penulisan Skripsi ini hubungan hukum yang dilakukan antara

pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamadsebagaimana

dikemukakan di atas menjadi ―trigger point‖ di balik permasalahan hukum yang

diangkat ke dalam karya tulis ini haruslah dipahami sebagai hubungan hukum

yang tunduk kepada kaedah-kaedah hukum privat. Tujuan yang dilindungi

hukum di dalam hubungan hukum antara pihak PT. Telkomseldengan pihak

Prof. Dr. Farauk Muhhamad adalah tujuan-tujuan perseorangan. Maksud

tujuan perseorangan yang dilindungi itu adalah tujuan yang murni merupakan

tujuan yang telah disepakati bersama (mutual consent). Hal seperti itu

dimungkinkan, sebab dalam hubungan hukum privat, segala sesuatu diserahkan

kepada kehendak antara kedua pihak tersebut (consensus in idem); dalam hal ini

segala sesuatu yang telah disepakati oleh pihak atau subyek hukum berbentuk

badan PT. Telkomseldengan pihak atau subyek hukum manusia biologis, dalam

hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad berlaku sebagai undang-undang yang

mengikat mereka itu (pacta sunt servanda), sama seperti mengikatnya Undang-

3Sudikno Mertokusumo, Ibid., hlm., 123.

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

4

undang yang dibuat oleh Legislator atau Parliament yang tidak boleh diganggu

gugat.

Hanya saja, disamping pacta sunt servanda yang bersifat privat di atas,

Hukum, dalam hal ini Undang-undang juga mengatur dan memberikan pedoman

yang dapat dirujuk dalam pembuatan kesepakatan di antara para pihak,

pembatasan-pembatasan yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan

kesepakatan itu disertai dengan ancaman sanksi yang diberikan oleh hakim atas

ketidakpatuhan pihak-pihak. Penulis mendalilkan bahwa di Indonesia, hubungan

hukum seperti yang terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr

Farauk Muhhamad memedomani dan mematuhi batasan-batasan yang sudah

ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan

beberapa ketentuan khusus mengenai perjanjian bernama yang disebut dengan

sewa-menyewa telekomunikasi dapat ditransposisikan dengan hubungan hukum

Landlord and Tenant. Berbagai macam ketentuan yang menjadi pedoman

hubungan hukum swa-menyewa di Indonesia diatur di dalam Buku Ke-III Bab

Ketujuh, dimulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600. Pengaturan di

dalam undang-undang hasil Kodifikasi sebagaimana diatur dalam Buku III

KUHPerdatayang pernah berlaku di Kerajaan Belanda tempo duluitu meskipun

sudah banyak perkembangan di negara asalnya namun masih menjadi rujukan di

Indonesia sebagai Buku Hukum. Bahkan ada masih banyak kalangan yang

memandang Buku hukum (BW) itu sebagai Undang-undang dengan sistem

terbuka.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

5

Tidak terlalu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, di Inggris,

terutama di Skotlandia yang tidak pernah dijajah Roma, asas-asas dan kaedah

hukum yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa sebagaimana yang

terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk

Muhhamad itu sudah jauh berkembang meskipun nama aslinya masih tetap

dipakai untuk menandai pola hubungan hukum seperti itu. Nama asli yang masih

dipertahankan itu adalah nama (nomenclature) tradisional ketika institusi hukum

itu dipakai dalam zaman feodal.Institusi Landlord and Tenantmemang harus

diakui sebagai pola hubungan hukum feodal tidak feodalistis namun tidak

tertinggal oleh tuntutan zaman. Sekali lagi perlu dikemukakan di sini bahwa

hubungan hukum sewa-menyewa yang sudah mengalami perkembangan dan

yang menurut Penulis dapat dijadikan rujukan dalam memahami persoalan

apakah ada wanprestasi yang murni bersifat keperdataan atau privat ataukah

justru hal dan sifat hukum yang lain di balik hubungan hukum para pihak yaitu

PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad dikenal dengan

hubungan hukum antara Landlord dan Tenant.4

Itulah sebabnya, atau itulah alasan mengapa, dalam Skripsi ini, pola

hubungan hukum sewa-menyewa dalam bidang Telekomunikasi, semisal yang

kebetulan menjadi fokus analisis penelitian dan penulisan karya tulis ini yaitu

pola hubungan hukum antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr.

4Studi yang mendetail mengenai hal ini dapat dilihat dalam suatu apa yang di Indonesia disebut

dengan Disertasi Doktor, namun di Inggris dikenal dengan Thesis PhD, dengan judul: A

Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to the Scottish Law of Leases

as a Model for Reform of Its Indonesian Counterpart, ditulis oleh Jeferson Kameo untuk the

Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland, Juni 2005. Thesis

dimaksud tidak dipublikasikan.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

6

Farauk Muhhamad itu dipotret dalam ―terang‖ (perspektif) pola hubungan

hukum Landlord dan Tenant. Pola hubungan hukum seperti itu, terutama

pertanggungjawabannya, seperti telah dikemukakan di atas, untuk hal-hal

tertentu harus tunduk kepada hukum positif Indonesia yaitu Buku III

KUHPerdata Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun, dalam

perpektif Ilmu Hukum, tidak ada salahnya apabila metoda perbandingan hukum

(comparative law) dipergunakan, dan pola hubungan hukum Landlord dan

Tenant itu kemudian dipakai oleh Penulis sebagai model.Atas dasar bangunan

argumentasi dan perspektif perbandingan hukum yang dikonstruksikan Penulis

di atas tersebut, tindakan yang dilakukan PT. Telkomseldapat dilihat atau

ditransposisikan sebagai tindakan Landlord.Tindakan atau perbuatan hukum itu

bisa jaditelah menyebabkan pelanggaran atas hak-hak penyewa sebagai

tenant.Sebagai penyewa (Tenant),Prof. Dr. Farauk Muhhamad, merasa bahwa

dia mengalami kerugian sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si

Landlord.5Perasaan seperti itu adalah suatu persoalan hukum wanprestasi karena

dalam hubungan hukum antara para pihak tersebut telah terdapat hak dan

kewajiban atau prestasi masing-masing yang sudah disepakati masing-masing

pihak dan telah diatur dan dilindungi oleh perjanjian sewa-menyewa. Dari sisi

atau pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad, seharusnya operator sellular

memperhatikan dan menghargai apa yang sudah menjadi hak dari dirinya

sebagai pelanggan. Sebaliknya, dari sisi pihak Landlord (PT. Telkomsel)

5Diskripsi yang mendetail mengenai kecurigaan atau dugaan Penggugat seperti itu dapat dilihat

dalam Bab II Skripsi ini, ketika Penulis menggambarkan kasus-kasus yang telah diputus

Pengadilan.

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

7

seharusnya pihak pelanggan juga memperhatikan dan menghargai apa yang

sudah menjadi hak pihaknya sebagai operator telekomunikasi.

Apabila suatu gambaran awal tentang persoalan di balik Putusan MARI

2995itu harus dikemukakan di sini, menurut pelanggan, dalam hubungan hukum

itu sepertinya tidak ada pertanggungjawaban atas hak-hak pelanggan yang harus

dilakukan oleh pihak operator sellular. Pelanggan Prof. Dr. Farauk

Muhhamad merasa bahwa ada ketidak-terbukaan informasi mengenai biaya

roaming internasional yang dikenakan PT. Telkomsel kepada dirinya oleh si

operator selluar tersebut. Pelanggan juga merasa bahwa tindakan pemblokiran

kartu hallo milik pelanggan yang dilakukan secara sepihak oleh operator sellular

menyebabkan pelanggan menduga Landlord menyimpangi formulir layanan

pelanggan yang menjadi perjanjian mengangsur (instalments) biaya roaming

yang dikenakan kepada diri si pelanggan dan mengakibatkan kerugian harus

dialami oleh pelanggan. Adapun kerugian tersebut, menurut pelanggan,

berbentuk kerugian materiil maupun kerugian immaterial6 Padahal, menurut

pihak Tenant, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan

memberikan jaminan yang jelas atas hak-hak konsumen. Hanya saja, di pihak

lain, Landlord, dalam hal ini PT. Telkomsel tidak sependapat dengan apa yang

dikemukakan oleh si pihak Tenant tersebut. Terjadilah sengketa yang berujung

kepada Putusan MARI 2995.

6Loc. Cit.,Putusan MARI 2995.

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

8

Perselisihan atau sengketa di antara kedua belah pihak sebagaimana

mengenai aspek-aspek telah dikemukakan di atas adalah merupakan suatu bukti

bahwa ada perkembangan dalam hubungan hukum sewa-menyewa yang dalam

Skripsi ini obyeknya adalah suatu kenikmatan atas benda atau hak untuk

menikmati layanan bernama jasa atas penyelenggaraan jaringan telekomunikasi.

Dengan perkataan lain, di balik aspek-aspek perselisihan yang dapat dilihat di

dalam Putusan MARI 2995 di atas, ada perkembangan hubungan hukum sewa-

menyewa. Perkembangan hubungan hukum dimaksud adalah mulai dimasukkan

ke dalam obyek sewa-menyewa makna baru atas suatu kenikmatan. Obyek yang

bernama kenikmatan itu sudah mencakup pula jasa dalam bidang telekomunikasi

(baca: bisa juga perkembangan dalam bidang teknologi informasi) telah

berdampak besar bagi perekonomian nasional.

Khusus perkembangan hubungan hukum dalam bidang penyelenggaraan

jasa telekomunikasi ini (baca: perkembangan hubungan hukum sewa-

menyewa dengan obyek telekomunikasi ini), jasa telekomunikasi selluler di

Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Orang tidak lagi melihat jasa

telekomunikasi sebagai semata-mata kacang goreng atau kacang rebus yang

―dijual‖ di pasar tradisional, namun orang melihat jasa telekomunikasi sudah

menjadi ibarat kacang dengan merek Garuda yang dipajang untuk ―dijual‖ di

etalase supermarket. Kenyataan normatif yang ada, dalam perspektif hubungan

hukum PT. Telkom dengan Pelanggan sebagaimana telah digambarkan selintas

di atas, jasa telekomunikasi atau kenikmatan terhadap manfaat telekomunikasi

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

9

yang semula memanifestasikan diri dalam perdagangan sehari-jari sebagai suatu

jual-beli itu ternyata hakikatnya adalah sewa-menyewa.

Di Indonesia, pasar jasa telekomunikasi yang sangat besar dalam industri

jasa telekomunikasi tentu wajib juga diikuti dengan sistem perlindungan hukum.

Tujuan perlindungan hukum itu adalah untuk melindungi jutaan warga

masyarakat, dalam hal ini idividu per individu yang menggunakan jasa jaringan

telekomunikasi. Singkat kata perlindungan hukum wajib diberikan kepada

individu-individu yang menggunakan atau yang mempunyai hak kenikmatan

atas jasa telekomunikasi. Seperti dikatakan Undang-undang, telekomunikasi

Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, adil, merata, kepastian

hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.7Undang-

undang yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa antara operator

telekomunikasi sebagai Landlord dengan pengguna atau pelanggan jasa

telekomunikasi sebagai Tenant dalam penetapan kebijakan, pengaturan,

pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan secara

menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang

berkembang dalam masyarakat.8

Perlindungan hukum bagi pelanggan jasa

telekomunikasi selluler diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku

usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha.

7Lihat Pasal 2 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

8 Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hal.,180.

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

10

Apabila dilihat dalam perspektif Undang-undang atau hukum

perlindungan konsumen, maka dalam mengkonsumsi produk (barang/jasa), atau

di dalam menikmati manfaat jasa telekomunikasi yang diberikan oleh Landlord

maka konsumen sebagai Tenant di satu sisi selalu menginginkan adanya

kepuasan terhadap produk (baca: jasa telekomunikasi yang diberikan pihak

Landlord dalam bentuk kenikmatan atas penggunaan telekomunikasi oleh

si Tenant) tersebut. Sedangkan pelaku usaha sebagai Landlord di sisi yang lain

cenderung menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang

sebesar-besarnya dari hubungan tersebut. Kenyataan yang muncul adalah, dalam

perspektif hubungan hukum antara produsen dan konsumen, seringkali

konsumen merasa bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang mereka

harapkanya secara maksimal, akibatnya para konsumen atau dalam konteks ini

yaitu para tenants dari hubungan hukum Landlord-Tenant Telekomunikasi

merasa dirugikan.9

Dalam penelitian ini, Penulis hendak menyampaikan bahwa hubungan

hukum yang terjadi antara penyelenggara operator telekomunikasi dan

pelanggan10

nya merupakan hubungan hukum sewa-menyewa yang sama dengan

9 Dikdik&Elisatris, Cyber Law “Aspek Hukum Teknologi Informasi”, PT Refika Aditama,

Bandung, 2005, hal., 155.

10

Undang-undang Telekomunikasi Pasal 1 Angka (9) terdapat rumusan pengertian pelanggan

adalah perseorangan seperti Prof. Dr. Farauk Muhhamad, badan hukum seperti Yayasan

Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, instransi pemerintah seperti Pengadilan Negeri

Salatiga yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan

kontrak. Sedangkan Angka (11) Pasal 1 UU yang sama menjelaskan bahwa pelanggan adalah

unsur dari pengguna telekomunikasi. Unsur lainnya adalah pemakai. Ayat (10) menjelaskan

bahwa pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerinah yang menggunakan

jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak. Itu berarti

bahwa apabila diperhatikan dengan seksama, tikda ada di dalam bagian-bagian Undang-undang

itu apa yang disebut dengan penyewa telekomunikasi. Hanya saja, dalam hukum, obyek

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

11

hubungan hukum Landlord dan Tenant.Penyelenggara operator seluler sebagai

landlord yang menyewakan jasa telekomunikasinya kepada pelangggan yang

kemudian dalam hal ini sebagai penyewa (tenant) sehingga dalam hubungan

hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

Dalam KUHPerdata sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas telah

dijelaskan dan diartikan bahwa sewa-menyewa adalah: ―Suatu perjanjian,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada

pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan

pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tesebut belakangan itu disanggupi

pembayarannya‖.11

Dari pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut

KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik empat (4) unsur dari perjanjian sewa

menyewa, yaitu: pertama, sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian atau suatu

kontrak (a contract). Kedua, dalam sewa-menyewa ada unsur kenikmatan dari

suatu barang sebagai obyek perjanjian sewa-menyewa tersebut.Ketiga,terdapat

unsur jangka waktu sewa dan keempat,ada unsur harga sewa dalam perjanjian

bernama sewa-menyewa.12

perjanjian sewa-menyewa itu adalah kegunaan atau manfaat, yang oleh KUHPerdata disebut

dengan kenikmatan. Itulah sebabnya Penulis berpendapatbahwa pelanggan dapat juga disebut

dengan penyewa. Selanjutnya, tidak ada dalam UU itu istilah tenant. Istilah tenant itu hanya

dapat ditemukan apabila hubungan hukum sewa-menyewa itu ditransposisikan terhadap

hubungan hukum Landlord and Tenant.

11

Lihat Pasal 1548 KUHPerdata.

12

Caesar Fortunus Wauran SH, Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara Penyelenggara

Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa Telekomunikas”, Fakultas Hukum,

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hal.,17.

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

12

Sementara itu, dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

ditentukan bahwa penyelenggara telekomunikasi13

bertanggung jawab

memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan

kerugian kepada pelanggannya.14

Sebaliknya, apabila penyelenggara jasa

telekomuniksai dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian yang terjadi itu

justru diakibatkan oleh kelalain pelanggan dan bukan karena kesalahan

penyelenggara telekomunikasi maka penyelenggara telekomunikasi dapat

dikecualikan dari pertanggungjawaban yang langsung (strict liability) tersebut.

Selain UU Telekomunikasi sebagaimana baru saja Penulis kemukakan di atas,

telah diatur pula dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) mengenai tanggungjawab penyelenggara elektronik.15

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 15 UU ITE yang dapat dibaca: ―setiap

penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik

secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem

Elektronik sebagaimana mestinya16

dan bertanggung jawab terhadap

13

Dalam Pasal 1 huruf (c), Jasa Telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi

kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunasi. Kemudian huruf d,

didefinisikan penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMD), badan usaha swasta, instansi

pemerintah, dan instansi pertahanan dan keamanan negara.

14

Dalam Pasal 1 huruf (e), Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah

yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak.

15

Dalam UU ITE, definisi dari Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem

elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. Perbedaan

istilah yang digunakan dalam UU Telekonikasi dan UU ITE namun tetap memberikan pengertian

yang sama antara Penyelenggara Telekomunikasi dan Penyelenggala Sistem Elektronik yakni

sama-sama merupakan pihak yang menyelenggarakan / menyediakan sistem sehingga

memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

16

Lihat Pasal 15 ayat (1) UU ITE.

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

13

Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.17

Ketentuan sebagaimana dimaksud

diatas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,

kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.18

Menyusul UU Telekomunikasi dan UU ITE, ada pula pengaruran dalam

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pasal 7) bahwa pelaku

usaha memiliki kewajiban untuk bertindak secara beritikad baik (in good faith)

dalam melakukan kegiatan usahanya.19

Perincian iktikad baik itu adalah bahwa

pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.20

Memperlakukan atau melayani konsumen secara

benar dan jujur serta tidak diskriminatif.21

Pelaku usaha, dalam hal ini Landlord,

juga wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang

berlaku.22

Selaku pelaku usaha, penyelenggara telekomunikasi sebagai Landlord

juga wajib untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.23

Pelaku usaha

17

Lihat pasal 15 ayat (2) UU ITE.

18

Lihat pasal 15 ayat (3) UU ITE. 19

Lihat pasal 7 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen.

20

Lihat pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen.

21

Lihat pasal 7 huruf (c) UU Perlindungan Konsumen.

22

Lihat pasal 7 huruf (d) UU Perlindungan Konsumen.

23

Lihat Pasal 7 huruf (e) UU Perlindungan Konsumen.

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

14

wajib pula beriktikat baik dengan memanifestasikan hal itu melalui pemberian

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.24

Undang-undang mencantumkan penegasan yang dikehendaki hukum bahwa

dalam beriktikad baik itu, pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau

dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.25

Selain mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, UU Perlindungan

Konsumen juga mengatur mengenai tanggungjawab pelaku usaha dalam Pasal

19. Dikatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi

atas kerusakan,pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.26

Ganti rugi

sebagaimana dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian

barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

24

Lihat Pasal 7 huruf (e) UU Perlindungan Konsumen.

25

Lihat Pasal 7huruf (g) UU Perlindungan Konsumen. Dalam Ketentuan sebagaimana

dikemukakan di atas itu, orang kemudian menghadapi kesulitan dalam memahami perjanjian

sewa-menyewa konvensional yang dalam banyak hal membedakan secara tegas antara

wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Dalam ketentuan di atas seolah-olah sudah tidak

dapat dibedakan lagi antara apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan perbuaan melawan

hukum. Padahal, dalam sistem hukum acara di Indonesia, kesalahan untuk membedakan antara

wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dapat berakibat fatal bagi suatu gugatan yang

diajukan ke pengadilan. Hakim dapat mengatakan bahwa gugatan obscure libel. Inilah

nampaknya, satu soal yang menjadi isu dalam skripsi ini, yang dapat dilihat dari uraian-uraian

awal yang diberikan oleh Penulis di atas, bahwa sepertinya pihak pelanggan merasa ada

wanprestasi tetapi pihak penyelenggara telekomunikasi justru memandang bukan wanprestasi

tetapi perbuatan melawan hukum.

26

Lihat pasal 19 angka (1) UU Perlindungan Konsumen.

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

15

perundangundangan yang berlaku.27

Pemberian ganti rugi tersebut dilaksanakan

dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.28

Pemberian ganti

rugi sebagaimana dimaksud tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan

pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.29

Dan ketentuan sebagaimana dimaksud mengenai ganti kerugian tersebut tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

terjadi bukan akibat kesalahannya.30

Berkaitan dengan pasal-pasal yang

telahdisampaikan di atas, Penulis hendak mengatakan bahwa perlindungan

terhadap hak-hak konsumen maupun tanggungjawab pelaku usaha dalam

menjalankan usahanya menjadi hal-hal yang sangat substansi sehingga telah

diakomodir dan diatur secara jelas dalam ketentuan-ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.Hanya saja, bagaimana secara keilmuan hal itu

dikategorisasikan?Skripsi ini berusaha untuk menjelaskan mengenai hal itu

dalam perspektif hubungan hukum Landlord and Tenant.

Telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan

strategis dalam kehidupan nasional, maka pengawasannya dilakukan oleh negara

yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi

kepentingan dan kemakmuran rakyat.Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU

27

Lihat pasal 19 angka (2) UU Perlindungan Konsumen.

28

Lihat pasal 19 angka (3) UU Perlindungan Konsumen.

29

Lihat pasal 19 angka (4) UU Perlindungan Konsumen.

30

Lihat pasal 19 angka (4) UU Perlindungan Konsumen.

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

16

Telekomunikasi yang menyatakan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara

dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.

Salah satu bentuk perlindungan Negara yang dipersonifikasi oleh

Pemerintah melalui Menteri terhadap hak-hak konsumen adalah dengan

merumuskan aturan-aturan hukum yang berlaku (regulator) dalam bentuk

Peraturan perundang-undangan.Di sinilah muncul lagi aspek lain dalam

hubungan hukum sewa-menyewa yang konvensional, yaitu tidak semata-mata

urusan privat atau perseorangan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas,

namun justru menjadi urusan Negara dan Pemerintah pula atau berdimensi

hukum publik. Dalam hal ini, lahir undang-undang perlindungan konsumen

sebagai bentuk campur tangan negara dalam melindungi hak-hak konsumen.

Dalam Pasal 1 Angka (1) UU Perlindungan Konsumen disebutkan:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen.Sementara itu Az Nasution menyebutkan pengertian

hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam

kehidupan bermasyarakat”.31

Selanjutnya Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen di dalamnya

mengandung perintah hukum bahwa apa yang disebut dengan hak-hak

31

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002,

hal.,10.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

17

konsumen itu diartikan sebagai hak konsumen, dalam hal ini harus dibaca dalam

konteks Skripsi ini yaitu termasuk para Tenants dalam hubungan hukum

Telekomunikasi dengan Landlord-nya untuk mendapatkan jaminan kenyamanan

dan keamanan mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 32

Kemudian hak atas

informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau

jasa.33

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan34

dan hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.35

Bahkan PBB

dalam Resolusinya No. 39/248 tahun 1985 memberikan rumusan tentang hak-

hak konsumen yang harus dilindungi oleh produsen/pengusaha. Hak-hak

tersebut dirumuskan sebagai berikut: (1) Perlindungan konsumen dari bahaya-

bahaya kesehatan dan keamanan; (2) Promosi dan perlindungan dari

kepentingan sosial, ekonomi konsumen; (3) Tersedianya informasi yang

memadai bagi konsumen; (4) Pendidikan Konsumen; (5) Tersedianya upaya

ganti rugi yang efektif.36

Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, tidak hanya

pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai

kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri

32

Lihat pasal 4 angka (1) UU Perlindungan Konsumen.

33

Lihat pasal 4 angka (2) UU Perlindungan Konsumen.

34

Lihat pasal 4 angka (3) UU Perlindungan Konsumen.

35

Lihat Pasal 4 angka (4) UU Perlindungan Konsumen.

36

Dikdik&Elisatris, Op.Cit.,hal.,156.

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

18

tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa

mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang

dan/atau jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar

baku yang berlaku, serta harga yang sesuai (reasonable).

Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum termasuk perbuatan

melawan hukum tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang

dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan perlanggaran hukum tersebut mungkin

saja dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum

(Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: ―Tiap perbuatan melanggar

hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.‖

Berdasarkan definisi tersebut di atas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan

melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur yaitu:37

(1) Ada perbuatan

melawan hukumnya; (2) Ada kesalahannya; (3) Ada kerugiannya; (4) Ada

hubungan sebab akibat/kausalitas.

Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat

berupa kerugian materiil dan dapat berupa kerugian immaterial.38

Kerugian

materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata diderita keuntungan yang

37

Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1967, hal.,16.

38

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006,

hal.,266.

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

19

diharapkan, sementara kerugian immaterial adalah kerugian berupa pengurangan

kesenangan hidup.39

Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen

dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre

purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post

purchase).40

Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan

pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dapat

dilakukan dengan cara antara lain: legislation yang dimaksud adalah

perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum

terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui

peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya

peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan

sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan

yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.Voluntary Self

Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada

saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha

diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih

berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.41

Sedangkan untuk

perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi

(conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN)

39

Ibid.,hal.,266-267.

40

Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung, 1999, hal.,3.

41

Ibid.,hal, 3.

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

20

atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, dan setelah itu menempuh

jalur pengadilan lagi manakala para pihak tidak mendapatkan kepuasan.

Edmon Makarim dalam bukunya pengantar Hukum Telematika

mengemukakan beberapa prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum

yang dibedakan sebagai berikut: Pertama adalah prinsip tanggung jawab

berdasarkan unsur kesalahan (fault liablity/liability based on fault). Prinsip ini

menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai pertanggung jawabannya

secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini

tergambar dalam ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. Pasal

1365 KUH Perdata mengharuskan adanya 4 (empat) unsur pokok untuk dapat

dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu

adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan

kausalita antara kesalahan dan kerugian. Kedua, prinsip praduga untuk selalu

bertanggung jawab (presumptionof liability principle). Prinsip ini menyatakan

bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat

membuktikan ia tidak bersalah (pembuktian terbalik). Pasal 22 UU Perlindungan

Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan)

berada pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat (4),

Pasal 20, dan Pasal 21 UU Perlindungan Konsumen. Dalam UU Telekomunikasi

maupun UU ITE juga menganut beban pembuktian yang sama, dimana pelaku

usaha yang harus membuktikan jika terjadi kerugian. Ketiga, prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab.Prinsip ini merupakan kebalikan dari

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

21

prinsip kedua dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas

yang secara common sense dapat dibenarkan.Misalnya seseorang yang minum

air di kali tanpa dimasak terlebih dahulu, apabila sakit tidak dapat menuntut

pabrik yang terletak disekitar sungai tersebut. Seharusnya ia memasak air itu

terlebih dahulu.

Keempat adalah prinsip tanggung jawab mutlak (strict liablity).Prinsip

ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku

berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa mempersoalkan ada

tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence).Prinsip ini negaskan

hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahan

dibuatnya, dengan memperhatikan adanya force majeur sebagai faktor yang

dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.Prinsip tanggung jawab mutlak

dalam hukum perlidungan konsumen diterapkan pada produsen yang

memasarkan produk cacat sehingga dapat merugikan konsumen (product

liability).Dan yang kelima adalah prinsip tanggung jawab dengan

pembatasan.Prinsip ini sering dipakai pelaku usaha untuk membatasi beban

tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka, yang umumnya

dikenal dengan pencantuman klausla ekonerasi dalam perjanjian standar yang

dibuatnya.42

Dengan demikian, dapat disimpulkan bentuk-bentuk tanggung jawab dari

pelaku usaha yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai

42

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Badan Penerbit FH UI, Rajawali Pers,

hal.,368.

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

22

berikut: Pertama, contractual liability yaitu tanggung jawab perdata atas dasar

perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen

akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan

jasa yang diberikannya. Kedua Product liabilityyaitu tanggung jawab perdata

secara langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkannya. Pertanggung

jawaban ini diterapkan dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity

of contract) antara pelaku usaha dan konsumen. Dan yang ketiga adalah

Professional liability yang dimaksud dalam hal hubungan perjanjian merupakan

prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab

pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang

menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak.43

Mengenai aspek orisinalitas Skripsi ini, dapat dijelaskan dengan jalan

memeriksa studi dan penelitian ini diperbadingkan dengan studi dan penelitian

yang pernah dilakukan sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Kristen

Satya Wacana Salatiga. Berbeda dengan apa yang sebelumnya telah dilakukan

oleh Firmin Wijaya, SH dalam skripsinya yang berjudul ”Penyelesaian

Sengketa Telekomunikasi Dalam Kasus Hilangnya Pulsa Telepon Seluler”.

Perbedaan dimaksud adalah bahw Firmin Wijaya lebih banyak menitikberatkan

pada aspek penyelesaian sengketa sedangkan. Sedangkan Penulis dalam

penelitian ini, lebih fokus kepada mencari hakikat dari tanggungjawab dalam

43

Ibid.,hal., 378.

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

23

hubungan hukum Landlord-Tenant operator seluler dengan pelanggannya.Di

samping itu berbeda pula dengan penelitian Caesar Fortunus Wauran, SH dalam

skripsinya yang berjudul “Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara

Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa

Telekomunikasi”.Caesar dalam skripsinya itu lebih banyak membahas

mengenai hubungan hukum yang lebih abstrak, sedangkan dalam penelitian ini,

Penulis hendak melihat apakah abstraksi tersebut diuji oleh lembaga peradilan

melalui kasus-kasus yang menjadi satuan amatan penelitian ini.Berbeda pula

dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Arinatasya Siahaan, SH dalam

skripsinya yang berjudul “Beban Pembuktian Dalam Sengketa

Telekomunikasi”.

Arinatasya lebih menitikberatkan pada aspek formal dari hubungan

hukum sedangkan Penulis berfokus pada cara mempertahankan hak dan

kewajiban oleh operator seluler dengan lembaga peradilan. Selain itu berbeda

juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Novita Putri, SH dalam

skripsinya yang berjudul “Unjust Enrich Interkoneksi Jaringan

Telekomunikasi Di Indonesia” Dalam skripsinya, Novita Putri lebih

memfokuskan pada dimensi unjust enrichment aspek unsur esensialia dalam

hubungan hukum operator telpon dan pelanggan, yakni aspek

sewa/royalty.Sedangkan dalam penelitian Penulis ini lebih fokus kepada aspek

tanggungjawab dalam hubungan hukum tersebut.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

24

Berdasarkan latarbelakang yang telah penulis jelaskan di atas, penulis

tertarik untuk membuat penelitian dengan judul: TANGGUNGJAWAB

OPERATOR SELULER SEBAGAI LANDLORD TERHADAP

KERUGIAN PELANGGAN SEBAGAI PENYEWA (TENANT).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah Penulis paparkan diatas, maka

rumusan masalah yang hendak Penulis jawab dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana tanggungjawab hukum operator sellular sebagai Landlord, pihak

penyelenggara44

telekomunikasi dalam hubungan hukum dengan pelanggan

sebagai penyewa (tenant)?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menegetahui (1) dapatkan operator telepon

sellular disebut sebagai pihak (the party to contract) dalam hubungan hukum

sewa-menyewa atau hubungan hukum Landlord and Tenant?; (2) apakah

rasionalisasi atau alasan pembenar yuridis bahwa operator telepon sellular itu

sejatinya adalah pihak Landlord dalam hubungan hukum Landlord and Tenant

(3) Apa sajakah kewajiban atau tanggung jawab yang harus si operator telepon

selluar sebagai Landlord itu pikul dalam suatu hubungan hukum sewa-menyewa

telekomunikasi?; (4) kapankah tanggung jawab operator telepon sellular sebagai

pihak Landlord itu dimulai dan kapankah tanggung jawab seperti itu berakhir?

44

UU Telekomunikasi, Pasal 1 Ayat (7) mendefinisikan penyelenggara telekomunikasi sebagai

perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD), Badan Usaha Milik Negara

(BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.

Pasal tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi itu

merupakan Landlord atau pemberi sewa telekomunikasi kepada pihak pelanggan (tenant).

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

25

(5) bagaimanakah cara hukum menyediakan jalan penyelesaian kepada pihak

Tenant untuk meminta pertanggungjawaban si pihak Landlord manakala si

pihak Landlord itu diduga merugikan kepentingan atau hak-hak si pihak

Tenant?; (6) apakah sifat dari pertanggungjawaban pihak Landlordkepada pihak

tenant.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat secara substansi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

memahami secara hukum bagaimana tanggungjawab penyelenggara operator

seluler jika terjadi kerugian yang dialami oleh pelanggannya sebagai

tenant.Sedangkan manfaat lainnya adalah dapat menambah dan melengkapi

kritik atas tulisan-tulisan/kajian-kajian masalah hukum yang sudah ada

sebelumnya mengenai masalah atau isu hukum ini sebagai bahan referensi.

1.5. Metodologi Penelitian

Metode Penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian

hukum (legal research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach). Bahan hukum primer dari penelitian ini adalah Putusan MA

RI2995,UU No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, UU No. 11 tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Bahan hukum sekunder yang akan penulis

gunakan dalam penelitian ini adalah KUHperdata.

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8347/1/T1_312010022_BAB I.pdfBAB 1 . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang . Dalam Putusan Mahkamah Agung

26

Unit amatan dalam penelitian ini adalah Putusan MARI 2995, UU No. 36

tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik serta UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Sedangkan unit analisis dalam penelitian ini adalah

pertanggungjawaban operator sellular sebagai penyelenggara telekomunikasi

kepada pelanggannya yang mengalami kerugian.

Dalam Penilitian ini, langkah-langkah yang akan penulis lakukan

adalah.Pertama,Penulis akanmendeskripsikan mengenai prinsip-prinsip hukum

umum hubungan antara penyewa dan penerima sewa selajutnya hubungan sewa-

menyewa itu Penulis transposisisebagai hubungan hukum landlord dan tenant

dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Setelah itu,Penulis akanmenganalisis

bagaimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha penyelenggara jasa

telekomunikasi sebagai landlord terhadap pelanggan dalam hal ini sebagai

tenant dalam hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi yang sudah

ditransposisikan sebagai hubungan hukum landlord and tenant, tentu saja

dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.