Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu...

95
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obyek kajian karya sastra dapat berupa karya sastra tulis maupun sastra lisan. Sastra tulis adalah sastra yang teksnya berisi cerita yang sudah ditulis atau dibukukan, sedangkan sastra lisan adalah cerita yang bersifat kelisanan, dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan yang cukup terkenal dalam masyarakat adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah bagian dari hasil kebudayaan yang selalu berkaitan dengan persoalan kehidupan manusia, karena cerita rakyat, selalu membicarakan prilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Cerita rakyat dapat dipandang sebagai evaluasi dari kehidupan manusia dan juga dapat menggambarkan tingkat keinginan kebudayaan, gambaran tradisi yang berlaku, dan tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat pada suatu masa serta harapan yang dicita- citakan. 1

Transcript of Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu...

Page 1: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obyek kajian karya sastra dapat berupa karya sastra tulis maupun sastra

lisan. Sastra tulis adalah sastra yang teksnya berisi cerita yang sudah ditulis atau

dibukukan, sedangkan sastra lisan adalah cerita yang bersifat kelisanan, dan

diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan yang

cukup terkenal dalam masyarakat adalah cerita rakyat.

Cerita rakyat adalah bagian dari hasil kebudayaan yang selalu berkaitan

dengan persoalan kehidupan manusia, karena cerita rakyat, selalu membicarakan

prilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Cerita rakyat dapat

dipandang sebagai evaluasi dari kehidupan manusia dan juga dapat

menggambarkan tingkat keinginan kebudayaan, gambaran tradisi yang berlaku,

dan tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat pada suatu masa

serta harapan yang dicita-citakan.

Sastra lisan di Indonesia dapat dijumpai dalam karya sastra yang

diekspresikan oleh berbagai suku bangsa dalam bentuk folklor lisan dan

digolongkan pada sastra daerah. Sastra daerah merupakan hasil atau sumber

kebudayaaan daerah yang memiliki nilai-nilai luhur mengenai tatanan kehidupan

suatu masyarakat pada waktu tertentu untuk dijadikan cerminan kebudayaan dan

komunikasi antar generasi. Sastra daerah juga merupakan manifestasi dari

kehidupan masyarakat kini dan yang akan datang.

11

Page 2: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Cerita rakyat La Hila juga termasuk ke dalam karya sastra lisan. Karya

sastra lisan berupa cerita rakyat merupakan kreatifitas para punjangga zaman dulu

yang secara substansi selalu mengacu pada ajaran-ajaran dharma sehingga dapat

dipakai sebagai landasan bertingkah laku oleh generasi pewarisnya. Cerita rakyat

secara umum selalu menyimpan nilai-nilai kearifan yang terselubung dan perlu

penyikapan bagi para pendengar sastra lisan, sehingga makna yang ada di

dalamnya dapat dicerna atau ditangkap mendekati kebenarannya. Biasanya nilai

yang tertuang tersebut berupa norma-norma kehidupan dalam bentuk etika sopan

santun yang perlu dipedomani sebagai wahana kehidupan di masyarakat.

Konstruksi kebudayaan sastra lisan daerah Bima sangat beragam jenis dan

isinya. Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral,

gagasan, cita-cita dan pedoman hidup masyarakat Bima pada umumnya, dan

khsususnya masyarakat Donggo kala pada masa lampau, sehingga menjadi

cerminan untuk masa sekarang maupun yang akan datang, baik tentang manusia

sebagai pribadi, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan tuhan dalam

hubungan dengan alam dan lingkungan hidupnya.

Cerita rakyat La Hila terdapat pada masyarakat Desa Kala, Kecamatan

Donggo, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB). Cerita tersebut terkait

dengan adanya sebuah tatanan peradaban manusia, tentang sosial budaya, politik,

serta nilai-nilai yang terjadi pada zamannya. La Hila merupakan tokoh

monumental bagi masyarakat Donggo dan Bima umumnya.

Dalam perkembangannya, cerita rakyat tersebut mulai hilang dalam

masyarakat, hal itu menjadi catatan, mengingat cerita rakyat La Hila dahulu

2

Page 3: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

dipercaya oleh masyarakat Donggo karena benar-benar terjadi. Hal ini dibuktikan

dengan adanya komplek La Hila di atas tanah babuju (dataran tinggi) di desa

Kala, kecamatan Donggo. Peninggalan yang ada dalam komplek itu berupa

makam, kolam di pinggir sungai tempat La Hila mandi, batu berlubang tempat La

Hila menumbuk bahan keramasnya, bambu yang dipercayai sebagai jelmaan La

Hila. Dulu di tanah babuju itu dijadikan tempat dilantik dan disumpahnya para

ncuhi (kepala wilayah atau raja-raja) di daerah Bima. Bukti lain dari cerita La

Hila adalah nyanyian kalero. Kalero merupakan nyanyian tertua di Bima, yang

berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah. Cikal

bakal kalero ini ketika ibu La Hila meratapi anaknya yang menghilang. Budaya

kalero sekarang sudah mulai menghilang di tengah-tengah masyarakat Donggo.

Berdasarkan pengamatan penulis sampai saat ini, cerita rakyat La Hila

merupakan cerita rakyat yang sangat hidup di derah Bima tetapi tidak memiliki

bukti nyata atas keberadaannya. Cerita rakyat La Hila ini diduga mengkiaskan

tentang pergulatan politik pada jamannya. Pada dasarnya Cerita rakyat La Hila

sebagai bagian dari kebudayaan Bima dapat diteliti dari berbagai segi. Namun dari

berbagai keterbatasan, maka peneliti hanya menganalisis struktur dan nilai moral,

kemudian melihat kemungkinan cerita rakyat La Hila dapat dijadikan sebagai

bahan pembelajaran sastra di SMP.

Pengambilan cerita rakyat La Hila untuk dijadikan obyek penelitian ini

dikarenakan cerita La Hila termasuk folklore lisan yang diduga sarat dengan nilai-

nilai yang berkaitan dengan nilai yang berlaku pada masyarakat. Faktor lain yang

menjadi alasan pengambilan cerita rakyat La Hila sebagai obyek penelitian adalah

3

Page 4: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

karena cerita ini tidak pernah dikaji oleh peneliti khususnya oleh peniliti sastra

dan budaya. Cerita rakyat ini juga masih kurang dikenal oleh masyarakat,

sehingga ada kekhawatiran cerita rakyat ini akan hilang dan tidak dikenal lagi

oleh generasi berikutnya. Selain itu, selama ini pandangan orang luar terhadap

masyarakat Donggo sangatlah negatif, misalnya orang Donggo bodoh,

terbelakang, tidak beradab. Pandangan negatif tersebut tentu merugikan

masyarakat Donggo, untuk itu perlu penelitian untuk merekonstruksikan identitas

masyarakat Donggo lewat cerita rakyat La Hila.

Kekhawatiran akan hilang atau punahnya cerita ini ada beberapa bukti

yang mendukung, yaitu masyarakat pemilik cerita yang mengetahui cerita rakyat

ini tinggal sedikit jumlahnya. Pergeseran kebudayaan dan arus globalisasi yang

menghalalkan masuknya budaya asing mempercepat proses kepunahan tersebut.

Oleh sebab itu, penelitian tentang cerita rakyat La Hila mengenai struktur, perlu

dilakukan yang selanjutnya dari struktur tersebut makna atau pesan yang

terkandung di dalamnya dapat diketahui. Sebab bukan tidak mungkin pesan yang

tersimpan dalam teks masih relevan atau dapat digunakan sebagai alternatif

penyelesaian masalah-masalah pada masa sekarang. Dari latar belakang yang

penulis paparkan tersebut tepatlah kiranya penulis berusaha melakukan sebuah

penelitian berkaitan dengan cerita rakyat berjudul La Hila, berkaitan dengan

struktur, nilai moral serta model pembelajarannya.

4

Page 5: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah dikemukakan di

atas, masalah difokuskan pada aspek struktur, nilai-nilai moral yang terkandung

dalam cerita rakyat La Hila dan Model pembelajarannya di SMP..

Berdasarkan fokus penelitian maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

muncul adalah sebagai berikut.

1) Bagaimanakah struktur cerita rakyat La Hila?

2) Bagaimanakah nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat La

Hila?

3) Bagaimanakah model pembelajaran cerita rakyat La Hila dalam

pembelajaran sastra di SMP?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan nilai-

nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat La Hila dan mengetahui

bagaimana pembelajaran cerita rakyat tersebut.

Secara lebih khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan struktur cerita rakyat La Hila

2) Mendeskripsikan bagaimana nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita

rakyat La Hila

3) Mendeskripsikan bagaimana model pembelajaran cerita rakyat La Hila di

SMP.

5

Page 6: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan

praktis. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu

sastra, khususnya sastra lisan dan perkembangan bahan ajar pada mata pelajaran

bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan referensi

penelitian sastra atau penelitian tradisi lainnya.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi upaya untuk pemahaman dan pengembangan tradisi lisan. Terhadap

pengembangan tradisi lisan meliputi; (1) mendapatkan pengetahuan tentang

struktur cerita rakyat La Hila, (2) memperoleh nilai-nilai moral yang terkandung

dalam cerita rakyat La Hila, dan (3) mengetahui model pembelajaran cerita rakyat

La Hila sebagai sarana untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya

lokal.

Manfaat yang lebih luas yaitu memberikan pemahaman kepada masyarakat

bahwa tradisi lisan lebih khusus cerita rakyat mengandung nilai-nilai kehidupan

yang jika dikaji dapat digunakan untuk pedoman hidup yang lebih baik. Hal ini

juga untuk menunjukkan bahwa kita memiliki karakter yang membedakan dengan

bangsa-bangsa lain, sehingga diharapkan timbul empati dan kebanggaan pada diri

sendiri serta tidak mudah tergelincir oleh budaya-budaya yang belum tentu sesuai

dengan karakter bangsa.

6

Page 7: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

BAB II

PENELITIAN RELEVAN, DEFINISI OPERASIONAL

DAN LANDASAN TEORI

Pada bab ini berturut-turut disajikan beberapa hal seperti penelitian

relevan, definisi operasional dan landasan teori.

2.1 Penelitian Relevan

Penelitian mengenai sastra lisan pada umumnya dan cerita rakyat pada

khususnya bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Para mahasiswa jurusan Bahasa

dan Sastra Indonesia telah banyak melakukan penelitian seperti itu.

Pustaka-pustaka yang mendasari penelitian ini adalah tulisan hasil

penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang

mengangkat tentang cerita rakyat, antara lain, dilakukan oleh Badrun (2003),

Ahimsa Putra (2006), A.Totok Priyadi (2010), Maman Rukmana (2011).

Penelitian-penelitian ini akan di bahas di bawah ini:

Badrun (2003), meneliti tentang Patu Mbojo dari daerah Bima. Penelitian

tersebut berorientasi pada pertunjukkan dan konteksnya karena dianggap

memungkinkan melihat objek penelitian sebagai produk tradisi lisan secara

kooprehensif dan melihat objek penelitian sebagai bagian integral dari Budaya

Bima. Kaitannya dengan penelitian yang peneliti lakukan ada persamaan pada

telaah struktur dan nilai. Namun, sangat berbeda dalam hal konteks pertunjukkan

dan proses penciptaan yang tidak ada dalam penelitian yang dilakukan dalam

7

9

Page 8: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

penelitian ini dan berbeda dalam hal pemanfaatan dalam pembelajaran yang

dilakukan dalam penelitian ini.

Putra ( 2006) melakukan penelitian tentang cerita rakyat yang berjudul Sri

Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi karya Umar Kayam. Dalam penelitianya Putra

menggabungkan Struktur Levi Strauss dan Hermeneutik. Hasil analisis dari ketiga

cerita tersebut menghasilkan ceriteme-ceriteme yang kemudian membentuk

episode-episode. Episode-episode ini merupakan relasi-relasi dari ketiga cerita

tersebut. Episode-episodenya sebagai berikut; a. Episode latar belakang tokoh; b.

Episode kehidupan remaja; c. Episode kehidupan keluarga dan politik; d. Episode

pelarian; dan e. Episode akhir kisah. Selanjutnya berbagai episode yang dialami

ditempatkan secara singkronis ( paradigmatis ) dan diakronis ( sintagmatis ).

Analisis berlanjut pada analisis nilai. Kaitannya dengan penelitian yang akan

dilakukan ada persamaan pada telaah struktur dan nilai namun berbeda dalam hal

pemanfaatan dalam pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini.

Penelitian sejenis tentang cerita rakyat pernah dilakukan oleh Priyadi

(2010) yang berjudul Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanaytn.

Priyadi dalam disertasinya ini menganalisis hampir 90 cerita Rakyat Kanaytn,

yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara terhadap 30 informan, dari 90

cerita rakyat ini Priyadi mengambil 9 cerita yang mendapat fokus lebih, dalam

penelitianya. Cerita-cerita tersebut dianalisis dengan langkah-langkah sebagai

berikut. Pertama cerita-cerita tersebut dibuat ringkasan ceritanya, kemudian

dianalisis pada tingkat lingkungan penceritaan yang meliputi daerah pakai dan

situasi pakai. Langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan cerita-cerita tersebut

8

Page 9: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

pada genre dongeng, mitos ataupun legenda. Setelah diketahui genre dari cerita

tersebut kemudian analisis struktur cerita dengan menggunakan tehnik analisis

struktur model Maranda. Penelitian tersebut hanya mengkaji pengklasifikasian

cerita-cerita rakyat yang ada di daerah Dayak Kanaytn dan mengkaji makna saja,

tidak ada kajian yang mengaitkan dengan nilai yang ada dalam cerita rakyat

tersebut dan proses pembelajaranya. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan

peneliti berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian tersebutpun tidak

memperlihatkan adanya kaitan nilai budaya yang sangat penting kontribusinya

untuk dijadikan bahan ajar yang mengandung nilai-nilai moral yang bersumber

dari keunggulan lokal cerita rakyat dan tidak terlihat usaha proses

pembelajarannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Rukmana (2006) dengan judul Studi

Deskriptif Terhadap Struktur, Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten

Selatan: Penyusunan Bahan ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Untuk Siswa SD di Kabupaten Pandeglang. Analisis yang dilakukan dalam cerita

Banten Selatan ini, dilakukan dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik

cerita yang meliputi alur, penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan

motif menurut genre cerita rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan

data menggunakan teknik tes, angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan

untuk mengetahui apakah cerita-cerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat

digunakan sebagai bahan ajar di sekolah Dasar, sehingga penelitian yang

dilakukan dikaitkan dengan pembuatan bahan ajar dari cerita rakyat.Cerita Rakyat

Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini berjumlah tiga buah.

9

Page 10: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung Kulon, Asal

Mula Orang Badui, dan Pangerang Pande Gelang dan Putri Cadasari.

Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan tanggapan

dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru bahasa

Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita. Rukmana

menggunakan teknik wawancara yang dapat diterapkan kepada para praktisi

pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan pada guru-guru sekolah

dasar di lingkungan Dinas pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis

variabel penyususunan bahan ajar.

Persamaan penelitian diatas dengan penelitian ini terletak pada pada

kriteria mendasar yaitu; pertama sama-sama menggunakan kajian resepsi sastra;

kedua penelitian diatas juga mengkon-kretkan dan merekonstruksikannya dengan

imajinasi pembaca yang dimungkinkan oleh; keakrabatan dengan tradisi,

kesanggupan memahami keadaan pada masanya, juga masa sebelumnya melalui

pesan.

Adapun letak perbedaannya yaitu; pertama penelitian ini menganalisis

struktur dan nilai cerita rakyat La Hila pada masyarakat Donggo; kedua

mengidentifikasi resepsi masyarakat terhadap cerita rakyat La Hila pada

masyarakat lebih cendrung pada resepsi sosial religi dan kepercayaan; ketiga

penelitian mempunyai ceriteme-ceriteme yang mistik seperti perubahan wujud La

Hila menjadi bambu yang mengeluarkan darah; keempat penelitian ini

menganalisis sastra lisan yang di peroleh langsung dari informan; kelima,

10

Page 11: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

penelitian ini hasil dari analisis cerita La Hila akan dijadikan sebagai bahan ajar

dalam pembelajaran sastra di SMP.

11

Page 12: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

2.2 Definisi Operasional

Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa konsep

yang memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut antara lain cerita rakyat,

La Hila, Struktur, Nilai moral, pembelajaran sastra.

1. Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang pernah

hidup dan menjadi milik masyarakat diwariskan secara lisan dan turun

temurun yaitu dari generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat sebagai

bagian dari sastra lisan mengandung berbagai gagasan dan penuh nilai yang

bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

2. La Hila

La Hila adalah tokoh cerita yang ada dalam cerita rakyat. Mbojo Desa

Kala Kecamatan Donggo Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. La

Hila merupakan nama tokoh sekaligus sebagai judul cerita rakyat di daerah

Donggo. La Hila diceritakan sebagai seorang gadis keturunan bangsawan

yang tentunya memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat. La Hila dinilai

sebagai perempuan yang cantik yang berambut panjang, perempuan yang kuat,

berkepribadian tangguh, berbudi baik dan kesempurnaan lain yang dimiliki

perempuan Bima pada saat itu.

3. Struktur

Berkaitan dengan struktur dalam legenda ini Endraswara (2009:112)

mengatakan bahwa Legenda atau cerita rakyat dapat dipotong-potong

menjadi beberapa bagian dan dapat dibenarkan dalam analisis struktural.

12

Page 13: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Setiap bagian disebut motivem. Jadi, setiap legenda atau cerita rakyat terdiri

dari sederet motivem. Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur

motivem itu terpisah-pisah melainkan merujuk pada keutuhan makna.

Struktur cerita rakyat La Hila adalah unsur-unsur yang membangun

cerita La Hila, yaitu struktur lahir (surface structure) dan struktur batin (deep

structure). Untuk analisis struktur ini penulis menggunakan teori

strukturalisme levi- Strauss.

4. Nilai

Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan

berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik (Sumantri, 2008:4)

yang dimaksud nilai dalam penelitian ini adalah penilaian atau penelaahan

tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam cerita rakyat yang dikaji.

5. Moral

Moral menurut Lillie (Budiningsih, 2004:24) berasal dari kata mores

(bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat.

Moral yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sopan santun, tata kerama,

adat istiadat yang terdapat pada cerita rakyat La Hila.

6. Mbojo

Mbojo adalah nama kuno Daerah Bima yang terletak di pulau

Sumbawa bagian timur Nusa Tenggara Barat. Nama Mbojo menurut pendapat

para tetua adat (Ensiklopedia Bima, 236), berasal dari istilah bahasa Bima

yaitu Babuju. Babuju ialah tanah ketinggian, tanah semacam itu dalam bahasa

Bima disebut Dana Ma Babuju. Sedangkan nama Bima dipergunakan untuk

13

Page 14: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

mengabadikan Sang Bima. Sang Bima – di yakini banyak orang Bima –

merupakan tokoh sejarah yang menurunkan raja-raja di tanah Bima. Semula

timbulnya kerajaan Bima pengangkatannya melalui kesepakatan para Ncuhi.

Ncuhi (pemimpin wilayah pada zaman prasejarah). Ncuhi-ncuhi tersebut

meminta sang Bima untuk menjadi raja di Bima. Tetapi sang Bima berjanji

akan mengirim seseorang untuk memenuhi keinginan para Ncuhi, yaitu dari

keluarga sang Bima. Nama Mbojo sekarang dipakai sebagai nama salah satu

suku yang ada di daerah Bima. Suku yang mendiami daerah Bima adalah

Suku Donggo Ele, Donggo Di, Melayu dan Mbojo.

7. Model

Model pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

memasukkan cerita rakyat La Hila sebagai bahan ajar dalam mata pelajaran

Bahasa Indonesia di SMP yang akan digunakan sebagai acuan belajar siswa

yang telah disusun secara sistematis dengan pola tertentu.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Hakikat Folklor

a. Pengertian Folklor

Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris

folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar

folk dan lore. Dandles ( dalam Danandjaj, 19997:1) menyatakan bahwa,

folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial

dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok

14

Page 15: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang

sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa

yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang tradisi yaitu

kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya ada dua

generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu,

yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka

sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu kebudayaan yang

diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric

device).

Darson, (Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun

folklife dapat diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-

kadang disebut juga seni verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah

bagian folklor yang menjadi ruh folklor. Sastra lisan pula yang

menguatkan folklor hingga lekat di hati pendukungnya; (2) budaya

material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan sastra lisan.

Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan

karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folklok

costum, artinya kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi

rakyat. Hal-hal yang berhubungan dengan rites de passage, seperti

kelahiran, inisuasi, ekmatin dan ritual lainnya adalah folklor ; (4)

performaing forlk arts, artinya seni pertunjukan rakyat seperti jatilan,

ketoprak, srandul dan sebagainya.

15

Page 16: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Darson,

(Endraswara, 2009:108) ini, maka cerita La Hila termasuk di dalam

kategori yang pertama yaitu oral literature. Kategori yang dikatakan

sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita La

Hila ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial

bagi perkembangan folklor.

Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand yang

membagi folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaya, 2007:21)

mengatakan bahwa berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke

dalam tiga kelompok besar : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor

sebagian lisan (partiy verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non

verbal folklore) atau masing-masing dengan istilah mentifacts, sociofacts,

artifacts.

Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas

sebagai berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya

memang murni. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk dalam

kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat (folk speach) seperti

logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, (b) ungkapan

tradisional, sepert pribahasa, pepatah, dan pemeo, (c) pertanyaan

tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan

syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan (f)

nyanyian rakyat.

16

Page 17: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor

yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.

Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang moderen sering sekali

disebut tahayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah

dengan gerak isyarat yang dianggap dapat melindungi seseorang dari

gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap

berhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezki, seperti batu-

batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam

kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat,

teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Ketiga, folklor bukan lisan, folklor bukan lisan adalah folklor yang

bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara

lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni

yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang

tergolong material antara lain; arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah,

bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian

dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan

tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material; gerak isyarat

tradisional (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik

rakyat. Berdasar pada pengelompokan pada Brunvand ini maka cerita La

Hila dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita prosa rakyat.

Folklor dapat digunakan sebagai alat untuk mewariskan adat

istiadat, norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra

17

Page 18: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

lisan. Hal ini tercermin dari pernyataan Yanagita, (Endraswara, 2009: 109)

yang menyatakan folklor merupakan “ajaran hari esok”, yang berarti

sebuah disiplin ilmu yang dapat membantu orang Jepang untuk mengerti

jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka secara lebih mendalam.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

cerita rakyat La Hila merupakan karya cerita rakyat, yang merupakan hasil

tuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan merupakan warisan

kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat Donggo Kabupaten

Bima, serta dikategorikan sebagai bagian dari folklor lisan.

b. Ciri-Ciri Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan gendre dan folklor yang hidup tersebar

dalam bentuk lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada

ruang dan waktu serta nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh

karena itu, cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor menurut

Danandjaya (2007:3) memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

(1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni

tuturkata yang disebarkan melalui tuturkata dari mulut ke mulut (atau

dengan suatu contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu

pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini

penyebaran folklor dapat kita temukan dengan bantuan mesin cetak dan

elektronik.

18

Page 19: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

(2) Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau

dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu

yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).

(3) Ada (exist) dalam fersi-fersi bahkan farian-farian yang berbeda, karena

cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui

cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses

interpolasi muncul farian-farian tersebut.

(4) Bersifat anonim,yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.

(5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.

(6) Mempunyai kegunaan (fungstion) dalam kehidupan bersama suatu

kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat

pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan

terpendam.

(7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai

dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor

lisan dan sebagian lisan.

(8) Menjadi milik lisan bersama dari kolektif tertentu.

(9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya

kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa

banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur

manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri folklor tersebut, ada sebagian orang yang

berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau

19

Page 20: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

dongeng hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini

menurut penulis tidak dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat

disalahkan begitu saja. Jika mencermati ciri folklor yang ketujuh yang di

sampaikan Danandjaya di atas, yaitu bahwa ciri folklor lisan dan sebagian

lisan adalah bersifat logis maka anggapan masyarakat tersebut dapat

dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke enam yaitu folklor

juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat dikatakan

benar.

Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai

dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang mengatakan

kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa:

Bagi sementara orang paling tidak ada tiga hal yang di cela atau di khawatirkan oleh cerita rakyat,yaitu yang berkaitan dengan masalah moral,kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadian-kejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi,misalnya pencungkilan mata (ibu panji laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya ia tidak dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang ada dalam cerita.

Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa

permasalahan yang bercela dengan cerita rakyat terkait dengan masalah

moral, kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam.

Perlu sikap arif untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian

orang yang diungkap oleh Bunanta ini juga berkaitan dengan ciri kesembilan

yang disampaikan Danandjaya di atas sehingga diperlukan adanya analisis

yang dapat memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa cerita rakyat

20

Page 21: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis saja, tetapi lebih dari itu

menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu di ungkap. Ratna (2008:3)

mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah makna-makna

yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levis

strauss.

c. Fungsi cerita rakyat

Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama

dengan karya sastra lainnya. Kosasi (2003:222) menyatakan bahwa fungsi

sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi

rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2)

fungsi didaktif, yaitu mendidik para pembaca karna nilai-nilai kebenaran

dan kebaikan yang ada di dalamnya, (3) fungsi ekstetis, yaitu memberikan

nilai-nilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai moral

yang tinggi sehingga para pendengar dapat mengetahui moral yang baik

dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran dapat

dijadikan teladan bagi para pendengarnya.

Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya

sastra di atas, Bahcong, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih

spesifik. Menurut Bahcong (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga

di dalamnya cerita rakyat memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem

proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan kolektif, (2) sebagai

alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3)

21

Page 22: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar

norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Melalui ciri-ciri yang disampaikan baik secara umum maupun

lebih spesifik di atas maka cerita La Hila sebagai sebuah cerita rakyat

sangat besar kemungkinannya mengandung fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-

fungsi yang akan penulis kaji dari cerita rakyat La Hila ini adalah

memfokuskan pada fungsi moralitasnya.

d. Macam-macam cerita rakyat

Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita

prosa rakyat dapat dibagi kedalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite

(myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita

rakyat tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut.

(1) Mite

Mite (mitos) berasal dari bahasa yunani yang berarti cerita tentang

dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang

mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya

merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang di

anggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita.

Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya

terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang

ini, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan

terjadinya alam semesta, dunia manusia pertama, bentuk fotografi, gejala

alam, bentuk khas binatang, terjadinya maut, dan sebagainya. Mite

22

Page 23: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

mengisahkan petualangan percintaan, hubungan kekerabatan, dan kisah

perang para dewa (Danandjaya, 2007:51).

Pengertian mitos dalam kamus bahasa indonesia dibedakan dari

mite. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman

dulu, yang mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam,

manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang

diungkapkan dengan cara gaib. Mite adalah cerita yang mempunyai latar

belakang sejarah, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai cerita yang

benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal ajaib,

umumnya ditokohi oleh dewa. Sudjiman (lantini, 1996:224) mengartikan

kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita rakyat legendaris atau

tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa dan mengisahkan

peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional, seperti terjadinya

sesuatu ; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti tetapi

diterima mentah-mentah.

Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng

mite adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural

dengan latar suci dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu

genre cerita rakyat yang di anggap suci dan diyakini betul-betul terjadi

oleh masyarakat pendukungnya, bersifat religius karna memberi rasio pada

kepercayaan. Selain itu, Mitos berfungsi untuk menyatakan, memperteguh

dan mengkondifikasi kepercayaan, melindungi dan melaksanakan

23

Page 24: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma serta

pengendali masyarakat. (2).Legenda

Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya

mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi,

tetapi tidak di anggap terjadi. Namun, legenda berlainan dengan mite.

Legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat

luarbiasa dan seringkali dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat

terjadinya adalah di dunia seperti yang kita tinggal ini, karena waktu

terjadinya belum terlalu lampau. Legenda dianggap oleh yang punya cerita

sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan

mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda bersifat

migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya

dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam

peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luarbiasa. Dengan demikan, pada

dasarnya legenda merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan

biasanya ditokohi oleh manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh

makhluk gaib.

Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang

mencangkup hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda

dipandang sebagai sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenaranya.

Legenda berfungsi mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari

ancaman marabahaya.

24

Page 25: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita

jaman dahulu yang bertarian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman

(laniti, 1996226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang

tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis

dan mitos. Darusuprata (lantini, 1996:227) menunjukkan adanya unsur

legenda yang terdapat dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya

merupakan cerita yang bertalian dengan unsur-unsur air, unsur tanah,

termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api, dan udara. Unsur legenda inilah

yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau kosmologis.

(2)Dongeng

Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar

terjadi oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat.

Bila legenda dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka

dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita

prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan

terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan

kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran (Danandjaya, 2007: 50-

86).

Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh

cerita rakyat yang disebutkan di atas ( legenda dan mite). Tetapi, menurut

beberapa ahli, dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia

atau binatang. Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara

konsep-konsep cerita rakyat , mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu

25

Page 26: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

penting untuk diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya

istilah mitos, legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian.

Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra ( 2006: 77) yang

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mitos dalam pandangan

strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng

merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi

manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut

berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi

Putra memperlakukan cerita-cerita rakyat yang ditulis oleh Umar Kayam

sebagai dongeng atau mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss

bahwa legenda atau cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar,

konflik, dan penyelesaian cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada

dalam kolektifnya pada masa itu.

Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil

kesimpulan bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya

merupakan hasil dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang

mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian

tertuang dalam sebuah karya sastra lisan dan penulis memposisikan ketiga

jenis cerita rakyat itu sebagai legenda.

2.3.2 Teori Struktur

a. Strukturalisme dalam Karya Sastra

Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya.

Unsur-unsur tersebut bersinerji menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan

26

Page 27: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

unsur-unsur tersebut biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah

yang akhirnya membentuk sebuah benda. Dengan demikian unsur-unsur

tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau hubungan dengan unsur-unsur

lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari satu unsur saja tetapi

dilihat dari jalinan unsu-unsur tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan

oleh Foley ( Siswantoro, 2010:13) bahwa struktur berarti bentuk

keseluruhan yang kompleks (comlex whole). Setiap objek atau peristiwa

adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsur yang setiap

unsur tersebut menjalin hubungan. Doktrin pokok strukturalisme adalah

bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada benda itu sendiri, tetapi

terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak ada unsur

yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait

dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan.

Berkaitan dengan struktur kariya sastra, A Teeuw (1988:135)

mengemukakan bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan

memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin

keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra lisan

yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Makna menyeluruh seperti yang disampaikan A Teeuw di atas

karena kariya sastra tersusun atas unsur-unsur dalam sebuah sistem. Hal

ini sesuai dengan pendapat Pradopo (2009:188-119) bahwa karya sastra itu

merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-

27

Page 28: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi,

kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau

tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan hal-

hal itu saling terikat, dan saling bergantung.

Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan

kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antara unsur

pembangunan karya yang bersangkutan (Nurgiantoro,2002: 36 ). Analisis

struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji dan mendiskripsikan fungsi dan hubungan

antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurdiantoro, 2002:37).

Konsep fungsi dalam strukturalisme memegang peranan penting.

Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara

maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam menunjukkan

antar hubungan unsur-unsur yang terlibat (Ratna, 2008:76). Strukturalisme

sebagai aliran sastra yang tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukkan

adanya berbagai keragaman meskipun prinsip dasarnya sama, yakni

“Sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom dan dapat

dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya” (Aminuddin,

2009:52).

Paradigma strukturalisme membatasi analisis dan pemahaman

terhadap karya sastra semata-mata pada tataran intrinsik (Ratna,

2010:74).Pendapat ini didasarkan atas argumentasi yang dikemukakan

oleh Tynjanov, dan dipertegas oleh Mukarovsky, yang menyatakan bahwa

28

Page 29: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

karya sastra memiliki dua ciri yang selalu hadir bersama-sama, yaitu: ciri

otonom dan komunikatif. Ciri otonom diperoleh melalui hubungan unsur-

unsur dengan totalitas, sedangkan ciri komunikatif diperoleh melalui

hubungan karya dengan sistem kultural.

Strukturalisme, dengan menolak relefansi penulis, pada gilirannya

secara keseluruhan memusatkan perhatiannya pada kekayaan unsur-unsur

karya, yang pada umumnya disebut sebagai unsur-unsur instrinsik. Cara

pemahaman yang dianjurkan adalah model mikroskopis, pusat perhatian

yang semata-mata didasarkan atas unsur-unsur yang terkandung di

dalamnya (Ratna, 2010 :77).

Permasalahan penting dalam memahami karya sastra dalam

kaitannya dengan kebudayaan adalah sudut pandang, paradigma terhadap

hakikat objek. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan dua sudut pandang

yang berbeda, yaitu: (1) sebagai aktifitas kreatif karya sastra penuh dengan

makna, (2) karya sastra merupakan entitas kosong, karya sastra sebagai

manifestasi bahasa biasa, bahkan disusun secara gramatikal. Pendapat

pertama cendrung menganggap karya sastra penuh dengan makna,

diwujudkan melalui bentuk dan isi. Jadi untuk menganalisis sebuah karya

sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu

yang diperlukan sudah terkandung di dalamnya.

b. Teori Struktural Levis-Strauss

Tujuan utama teori strukturalisme levis-Strauss adalah

mengungkapkan struktur Humand mind melalui relasi antar elemen

29

Page 30: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

penyusunnya. Humand mind ini erat kaitannya dengan sistem proyeksi

yang membangkitkan berbagai macam pesan.

Titik tolak dari teori strukturalisme Levi-Strauss adalah konsep-

konsep dalam linguistik. Terdapat kesamaan antara legenda dengan

bahasa. Legenda La Hila dalam konteks penelitian ini sejalan dengan

pemikiran Levi-Strauss yang tak lebih dari sebuah dongeng (Endraswara,

2003:110).

Dongeng dalam kerangka pemikiran Levi-Strauss adalah kisah atau

cerita yang lahir dari cerita manusia, walaupun unsur-unsur khayalan

tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Putra,

2006:77). Berdasarkan definisi demikian, jelas kiranya penulis

memperlakukan legenda La Hila sebagai sebuah cerita rakyat, yang di

dalamnya mengandung aspek legenda.

Analisis struktural pada legenda La Hila adalah dengan

memperlakukan legenda La Hila dengan dua hal berikut. Pertama, seperti

halnya bahasa, legenda merupakan sebuah cerita (sistem simbol) yang

menyampaikan pesan tertentu (Paz, 1997:xxxii). Kedua, mengadopsi

konsep linguistik, legenda tersusun atas oposisi binair sebagai langue dan

parole; serta sinkronis dan diakronis (Endraswara, 2005:231).

Leach (Putra, 2006:79) mengatakan bahwa pendekatan

strukturalisme Levi- Strauss berfokus pada narasi teks, sebuah teks

legenda diyakini sebagai ekspresi atau perwujudan dari keinginan-

30

Page 31: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

keinginan yang tidak disadari, yang terkekang atau sedikit banyak tidak

konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.

Sejalan dengan pemikiran demikian, teks cerita rakyat La Hila

dianggap mempunyai analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan

secara internal dan sistem oposisi binair. Fokus perhatian strukturalisme

adalah sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu.

Struktur-struktur semacam inilah yang oleh Levi-Strauss dianggap

melatarbelakangi keanekaragaman fenomena kenyataan pada kehidupan

sehari-hari. (Putra, 2006:79-86)

Cerita rakyat sebagai produk dari kebudayaan adalah hasil dari

aktivitas nalar manusia dimana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa

yang juga merupakan produk dari nalar manusia. Kesejajaran tersebut

terletak sumber yang sama yaitu relasi, oposisi, dan korelasi (Syam,

2007:68-69). Semetara itu Putra (2007:23-25) mengatakan bahwa ada tiga

macam pandangan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Tiga

pandangan tersebut adalah, pertama, bahasa dianggap sebagai refleksi dari

kebudayaan, kedua, bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan, dan

ketiga, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga pandangan

tersebut Levi-Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu bahasa

merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari

material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai

material yang sama dan secara diagronis bahasa mendahului kebudayaan

karna melalui bahasalah manusia mengetahui kebudayaan.

31

Page 32: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Levi- Strauss, menganggap bahwa oposisi binair adalah the essence

of sense making : struktur yang mengatur sistem pemaknaan terhadap

budaya dan kehidupan. Oposisi binair adalah produk dari budaya dari

sistem penandaan yang berfungsi menstrukturkan persepsi terhadap alam

natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan. Konsep

dasar dari oposisi binair yaitu the secondstage of the sense making

process: penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia

alamiah untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang

abstrak.

Levi-Strauss beranggapan bahwa berbagai aktifitas dan hasil

kebudayaan seperti makanan, perkawinan, sistem kekerabatan, dan

utamanya legenda merupakan perwujudan dari logika dasar atau nalar

manusia. Bagaimana kondisi nalar tersebut bekerja, perlu dilakukan

analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun di dalam sebuah

legenda (Putra, 2006:75-78).

Seperti untuk memahami bahasa, legendapun harus dituturkan,

tidak hanya dalam proses penceritaan, tetapi pada proses

pengkomunikasian. Sistem pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam

hal ini dapat dijelaskan, cerita rakyat La Hila yang pada hakikatnya adalah

karya sastra. Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan

hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Cerita rakyat La Hila sebagai

karya sastra lama yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya

menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai sistem komunikasi.

32

Page 33: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Hakikatnya fungsi karya sastra adalah Dulce et utile (indah dan berguna).

Poe (Wellek dan warren, 1993:25) menyatakan bahwa suatu cerita rakyat

hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.

Sistem komunikasi yang ditunjukkan, tidak hanya proses

penyampaian pesan secara linear dari masyarakat pendahulu kepada

masyarakat sekarang. Namun, lebih tepatnya sistem komunikasi sebagai

proses pembangkitan atau proses penciptaan makna. Proses penciptaan dan

pengkomunikasian karya sastra diadaptasikan dan dikembangkan dari

model komunikasi Gerbner (Fiske, 2004), dan (Ratri, 2008 : 12). Karya

sastra sebagai proses komunikasi dapat di lihat dari gambar berikut ini:

GAMBAR 1Proses penciptaan dan pengkomunikasian karia sastra di adaptasi dari Model komunikasi Gerbner (Fiske, 2004) dan terdapar pada A Teeuw dalam buku sastra dan ilmu sastra (1984 : 66)

Keterangan :

P : peristiwa I : Isi

33

p E1P M K

S I

(Ps)E2

M2

Page 34: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

E1 : persepsi E2 : Persepsi atas karya sastra

M : Masyarakat M2 : Masyarakat pendengar(tujuan)

K : Karya Sastra lisan Ps : pesan

S : Bentuk

34

Page 35: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Dimensi Horizontal

Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas

eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau

persepsi masyarakat atau peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi

antar P dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin

menyerap keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari

proses seleksi, masyarakat kemudian menciptakan karya sastra. Didalam

karya sastra terjadi proses pemahaman dan penghayatan atas peristiwa yang

pernah terjadi.

Dimensi Vertikal

Karya sastra yang telah diciptakan melahirkan pesan (Ps). Pesan

tersebut dibagi menjadi dua bagian, S mengacu pada bentuk, dan I mengacu

pada isi pesan. Garis putus-putus di dalam pesan (Ps) menunjukan bahwa

meskipun dibagi menjadi dua, pesan adalah konsep utuh bukan bidang yang

terpisah.

Masyarakat pendengar (M2) menerima E2, yakni pesan yang terekam

dalam karya sastra, yang terlebih dahulu telah mengalami serangkaian seleksi

dan pemahaman atas sebuah peristiwa. Pada kondisi inilah terjadi proses

interprestasi karya sastra, proses interprestasi membawa masyarakat pembaca

kepada sekumpulan konsep yang bersumber pada budaya. Konsep budaya

tersebut berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Akhirnya dapat dikatakan

masyarakat pembaca makna dalam pesan (yang terkandung dalam karya

sastra). Pesan sendiri hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang berpotensi

35

Page 36: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

memiliki banyak makna. Potensi ini tidak pernah terwujudkan secara utuh

dan isi pesan tersebut belum bisa ditentukan sampai terjadi interaksi, yaitu

proses interprestasi masyarakat pembaca atas karya sastra yang telah di

hasilkan (dari suatu peristiwa).

Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis legenda dengan

memanfaatkan model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara

legenda dengan bahasa. Persamaannya, yakni, Pertama, Bahasa adalah sarana

komunikasi untuk menyampaikan pesan dari suatu indifidu ke indifidu yang

lain, atau kelompok satu ke kelompok lain. Demikian halnya dengan legenda,

ia di sampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan

yang ada didalamnya dapat tersampaikan (Putra,2006:80-81). Kedua, seperti

halnya bahasa legenda mengandung aspek langue dan parole, singkronis dan

diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah yang

memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena

langue dimiliki bersama. Langue merupakan sebuah fenomena kolektif, ia

adalah sistem, fakta sosial atau aturan norma-norma yang tidak di sadari.

Pada tataran langue struktur tertentu dalam sebuah legenda dapat ditunjukan.

Sedangkan parole adalah tuturan yang bersifat indifidual, ia merupakan

cerminan kebebasan seseorang. Penceritaan legenda yang berbeda-beda

merupakan implikasi dari parole (Putra, 2006:44-45).

Selanjutnya, seperti dalam linguistik, diakronik adalah dimensi waktu

(bersifat historis, menyangkut perkembangan masa lalu, masa kini, dan yang

akan datang). Sedangkan sinkronik adalah aspek yang merepresentasikan

36

Page 37: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

bahasa pada setiap kejadian pada waktu tertentu. Dimesi sinkronik yang ada

dalam legenda adalah rangkaian mytheme-mytheme yang secara struktural

terkait (Badcock, 2008:77).

Selain persamaan-persamaan legenda dan bahasa, juga terdapat

perbedaan antara keduanya. Hal yang membedakan legenda dengan bahasa

adalah legenda mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini

membuat legenda dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan

sifat-sifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak dapat

di ubah semena-mena (Putra, 2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak

hati-hati dapat mengubah makna.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan di atas Levi-Strauss

mengemukakan implikasi analisis legenda. Jika bahasa tersusun atas unit

terkecil seperti fonem dan morfem, maka legenda tersusun atas gross

constituent unit atau mythemes. Mythemes merupakan bagian atau unsur

terkecil dari legenda yang biasanya berbentuk satu kalimat singkat, yaitu

kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono, 2001:25). Mytheme

inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah

mitos. Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi-Strauss adalah kajian

tentang interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar legenda.

Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural,

yaitu konsep struktur dan transformasi, struktur adalah suatu model yang di

buat untuk memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi-Strauss

membedakannya menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar

37

Page 38: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

(Surface Structure) dan struktur dalam sebagai struktur batin(deep structure).

Strutur luar adalah relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar

atau empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah

susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu

tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dianalisis. Struktur dalam

seringkali merupakan struktur tetap yang sangat jarang (tidak) mengalami

perubahan (Ratna, 2008:11-16).

Berdasarkan konsep-konsep teoritis sebagaimana yang dijelaskan di

atas Levi-Strauss telah menganalisis berbagai dongeng hampir di seluruh

dunia. Salah satunya adalah dongeng tentang seorang Indian bernama

Asdiwal. Menurutnya, dongeng ini merupakan simbolisasi kegagalan dari

upaya nalar dan Thimshian (kolektifnya) untuk mendamaikan, menyatukan,

paradoks-paradoks yang ada pada kehidupan mereka, termasuk diantaranya

tentang kehidupan sosial, yang muncul karena adanya pola matrinilinear

yang berlawanan dengan pola tempat tinggal patrilokal. Paradoks ini berusaha

diselesaikan lewat perkawinan matrilinear cross-coussin, tetapi ternyata tetap

gagal. Kegagalan ini sulit diakui dalam kenyataan, tetapi lewat mitos-mitos

mereka, orang Thimsian memberikan pengakuan atas kegagalan tersebut

(Putra, 2006:135).

2.3.3 Teori Belajar

Teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu

teori sebelum abad ke-20 dan teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori

belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan

38

Page 39: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan

berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen.

Sedangkan teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori

belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar

perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan

teori belajar Gestalt-field, berlandaskan kepada segi kognitif (Ali, 2000: 20).

Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical

Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law

Of Effect oleh Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta

Teori Operant Conditioning oleh Skiner (Dahar, 1989: 39). Sedangkan teori

belajar Gestalt-field (teori belajar kognitif), meliputi teori belajar bermakna

oleh Ausubel, teori belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori

Webteaching oleh Norman, teori Hirarki belajar oleh Gagne, dan teori

perkembangan oleh Piaget. Teori Piaget biasa juga disebut teori

perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar

Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam

tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap

perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu

dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget

sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam

Hamzah, 2001). Pernyataan ini didukung oleh Sadia (2006), yang

mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme berakar pada teori struktur

39

Page 40: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

genetik Piaget. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang

dikembangkannya, Piaget juga dikenal sebagai konstruktivis pertama.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, teori yang menjadi pijakan

dalam pembelajaran cerita rakyat La Hila adalah teori konstruktifisme yang

digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget.

Dasar teori belajarnya termasuk dalam rumpun belajar information-processing

models dan teori belajar Gotsky yang termasuk ke dalam social interaction

models yang menekankan keaktifan seseorang dalam belajar.

2.3.4 Model Pembelajaran Cerita Rakyat La Hila di SMP

Model adalah sesuatu yang mengambarkan adanya pola berpikir.

Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling

berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk

mengkongkritkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan

representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut.

Morisson, Ross, dan Kemp (pribadi,2009:86) mengatakan bahwa

model atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau

kegiatan pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik

dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktifitas pembelajaran yang

lebih efektif dan efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan

sebagai alat konseptual pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis,

merancang, menciptakan mengevaluasi proram pembelajaran, dan program

pelatihan.

40

Page 41: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Pada umumnya, setiap desain atau model pembelajaran memiliki

keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang

digunakan. Begitu juga perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah

yang digunakan. Namun demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip

yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas.

Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran,

tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu mengatasi segala

kesulitan.

Model pembelajaran menurut Joice dan Weil (2000:13) adalah suatu

deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan

kurikulum, kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran,

perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program

multimedia dan bantuan belajar melalui alat-alat elektronik berupa komputer.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model

pembelajaran cerita rakyat La Hila di SMP adalah membuat sebuah model

atau desain pembelajaran dengan cerita La Hila sebagai bahan ajarnya. Model

pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran kontekstual.

(contextual teaching and learning – CTL).

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan model

pembelajaran kontekstual pada cerita rakyat La Hila di SMP dapat dijelaskan

sebagai berikut.

41

Page 42: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

a. Tinjauan Kurikulum mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 mengenai standar

Nasional Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari undang-undang

nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah

tersebut memberikan gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan

dilaksanakan delapan standar Nasional Pendidikan dan Tenaga kependidikan.

Standar Nasional Pendidikan juga digunakan sebagai acuan pengembangan

kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan

pembiayaan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu

produk pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut

dengan silabus. Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada satu

dan/kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencangkup standar

kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan

pembelajaran, indikator pencapaian kopetensi untuk penilaian, alokasi waktu,

dan sumber belajar.

Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP masuk dalam

mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam

empat keterampilan bahasa yaitu : mendengarkan, berbicara, membaca, dan

menulis.

Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang

memisahkan pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam

materi bahasa indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi

42

Page 43: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

pembelajaran bahasa indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara,

membaca, menulis dan apresiasi sastra.

Pada pengembangan silabus Bahasa Indonesia untuk tingkat SLTP

terdapat materi yang berkaitan dengan cerita rakyat yang tercantum dalam

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). SK kelas VII

semester satu, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan

pada KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang

diperdengarkan dan menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan

dengan situasi sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan

KD kelas X semester dua yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang

di tuturkan) (SK) dan menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita

rakyat yang disampaikan langsung atau melalui rekaman (KD).

Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat La Hila

mempunyai kesempatan yang baik untuk dijadikan salah satu materi

pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Cerita La Hila sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia di SMP

memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh pengalaman

melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri

sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para

budayawan atau seniman mengenai keberadaaan sekolah sebagai bagian

terpenting dalam mengestafetkan tradisi daerah kepada generasi sekarang dan

generasi mendatang.

43

Page 44: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Kemungkinan cerita La Hila sebagai bahan ajar materi mata pelajaran

Bahasa Indonesia di SMP tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus

memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.

Untuk mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan

uraian berkaitan dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.

b. Pemilihan Bahan Ajar Dalam Pendidikan

Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru

ketika memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus)

hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini

diserahkan kepada guru dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan

mengenal pada subjek pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan

sehingga lebih mengetahui persoalan yang dihadapi. Namun demikian,

kelonggaran pemilihan bahan ajar ini bagi sebagian guru menjadi sebuah

beban karena harus dipusingkan atau direpotkan untuk mencari bahan ajar.

Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian

terhadap cerita La Hila sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam mata

pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat

membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat.

Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam

rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci,

jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep,

prinsip, prosedur) ketrampilan, sikap atau nilai.

44

Page 45: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Pembelajaran prosa fiksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

( KTSP ) termasuk dalam standar kompetensi yang harus diajarkan oleh guru

dalam materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukkan bahwa materi prosa

fiksi merupakan materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran

sastra di sekolah.

Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis

dan kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian,

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk

memilih objek bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi

siswa. Prinsip dasar dalam pemilihan bahan-bahan pembelajaran yang

disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu

tahapan pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26).

Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa

aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993:27-31) ada tiga

aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan

pembelajaran sastra, yaitu: 1) bahan; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar

belakang kebudayaan siswa.

1) Aspek Bahasa

Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan

berkembang melalui tahap-tahap yang mudah di identifikasi. Sebaliknya,

bahasa dalam sastra sering tampak rumit karena permasalahan yang

diungkapkan, teknik penulisan, serta bahasa dalam karya sastra yang

memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini, maka guru diharapkan

45

Page 46: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

dapat memilih karya sastra yang di dalamnya menggunakan kosa kata dan

ungkapan-unkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata yang

tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan

penjelasan.

2) Aspek Psikologi

Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai

dewasa melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8-9 tahun),

pada tahap ini imaji anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih

penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik

(10-12 tahun) pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan

mengarah kerealitas. Meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat

sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita kepahlawanan,

petualangan, dan bahkan kejahatan. Ketiga, tahap relistik (13-16 tahun),

sampai tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan

sangat berminat realitas atau hal yang benar-benar nyata. Mereka terus

berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk

memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Keempat, tahap

realistik (16 tahun ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya berminat

pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk

menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.

Mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena

tersebut yang kadang-kadang mengarah kepada pemikiran filsafat untuk

menentukkan keputusan-keputusan moral.

46

Page 47: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

3) Aspek Latar Belakang Budaya

Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor

kehidupan manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi,

iklim, mitologo,legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir nilai-nlai

masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral dan lain sebagainya.

Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra

berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka.

Mungkin mereka tertarik dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau

kelompok masyarakat tertentu. Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih

menarik perhatian mereka karena ada kecendrungan pada mereka untuk

mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh tersebut. Terlebih lagi jika tokoh

tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengan mereka

atau orang-orang di sekitar mereka.

c. Model Pembelajaran Kontekstual

Andriana (Sudarmono, 2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran

dengan metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru

menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan

pembelajaran yang memotifasi bahwa agar menghubungkan pengetahuan

dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota

keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual

merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses

pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi

47

Page 48: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam

konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi

belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses

berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh,

yang tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif

dan juga psikomotor.

Sanjaya (2010:255) menyampaikan bahwa Cotestual Teaching and

Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan

pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan

materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan

nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka.

Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu;

kostruktifisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan,

refleksi, dan penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu

pembelajaran dikatakan pembelajaran kontekstual jika dalam

pembelajarannya menerapkan tujuh komponen tersebut.

a. Konstruktifisme

Konstruktifisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan

kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa

pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui

konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).

48

Page 49: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Teori konstruktifisme dapat diartikan bahwa siswa harus

mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar

lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan

mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus di

milikinya.

b. Menemukan

Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan

pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh

siswa diharapkan dari hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat

seperangkat fakta. Guru dituntut agar dalam merancang kegiatan

pembelajaran, sejauh mungkin agar bersifat inquiri untuk semua topik yang

diajarkan.

c. Bertanya

Nurwanti (Sudarmono,2009:41) mengemukakan bahwa kegiatan

bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi;

1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek

pemahaman siswa; 3) membangkitkan respon siswa; 4) mengetahui sejauh

mana keinginan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang sudah di ketahui siswa;

6) mengfokuskan perhatian siswa; 7) membangkitkan pertanyaan yang

lebih banyak dari siswa; 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d. Masyarakat Belajar

Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh

hasil pembelajaran melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini

49

Page 50: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

guru berupaya menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan

kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. Melalui kegiatan

berkelompok terjadi kerjasama antar siswa dan kerjasama siswa dengan

guru, yang bersifat terbuka.

e. Pemodelan

Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang

konkrit, agar pembelajaran dapat cepat di kuasai siswa. Untuk

memunculkan suasana yang konkrit ini, guru dapat memunculkan model

sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, atau bahkan melalui

media yang sebenarnya.

f. Refleksi

Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa

merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya.

Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir

kebelakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak

untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah

dilakukan. Hal ini dapat memberikan umpan balik bagi guru,tentang

pembelajaran yang telah di laksanakan. Sehingga guru dapat menilai,

memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.

g. Penilaian yang sebenarnya

Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa

memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus

50

Page 51: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah

dilaksanakan.

d. Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat La Hila

Rancangan model pembelajaran cerita La Hila yang akan diterapkan

mengadopsi dari model-model mengajar dan komponennya yang disampaikan

oleh Joyce dan Weill. Joyce dan Weill (19980:9) membagi model mengajar

kedalam empat rumpun,yaitu; 1) The second Interaction Sources (model

interaksi sosial); 2) The Information Processing Sourcess( model pemprosesan

informasi); 3) The Personal Sourcess (model personal/pribadi); 4) Behaviour

Modification as a Sourcess (model prilaku). Setiap rumpun terdiri atas

beberapa model mengajar berdasarkan teori yang disusun para ahli sehingga

nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori para ahli dan tujuan

yang hendak di capai.

Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat La Hila yang akan di

susun berdasarkan pada rumpun The Information Processing Sourcess (model

pemprosesan informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara indifidu

memberikan respon yang datang dari lingkungannya dengan cara

mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan

rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan

nonverbal. Selain itu, model ini juga memberikan kepada siswa sejumlah

konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan

pembangunan kreatif.

51

Page 52: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

Joyce dan Weill (1980) mengemukakan bahwa sebuah model

mengajar memiliki empat komponen. Keempat komponen yang ahrus ada

dalam setiap model mengajar itu adalah: 1) Orientation the model (orientasi

model), 2) The model of teaching (model mengajar), 3) application

(penerapan), 4) Instructional and Nurturant effect (dampak pengajaran dan

penyerta). Pada komponen The model of teaching (model mengajar), terbagi

atas syntax (urutan kegiatan), Social System (sistem sosial), Prinsipall of

raction (prinsip reaksi), dan Suport system (sistem penunjang).

Penerapan model pembelajaran cerita La Hila berdasarkan komponen-

komponen tersebut.

52

Page 53: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

50

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena bahan yang akan diteliti berupa cerita

rakyat La Hila sebagai sebuah material.

Fraenkel & Wallen (2007:430), menyatakan bahwa penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang mengharuskan peneliti mengkaji fenomena yang

terjadi secara alamiah dengan segala kompleksitasnya. Pengkajian terhadap

fenomena ini, juga sesuai dengan dengan apa yang diungkap oleh Sukmadinata

(2009:60) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial,

sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun

kelompok. Penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau

kalimat yang dibedakan menurut unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu untuk

memperoleh simpulan.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif merupakan suatu metode untuk menggambarkan keadaan obyek

yang diteliti yang sekaligus menguraikan aspek-aspek yang dijadikan pusat

perhatian dalam penelitian. Metode deskriptif digunakan untuk membantu upaya

identifikasi dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian.

Menurut Ratna (2007:39), metode analisis deskriptif adalah metode yang

digunakan dengan cara menganalisis dan menguraikan data untuk mengganbarkan

53

Page 54: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

keadaan objek yang diteliti dan menjadi pusat perhatian peneliti. Metode

deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian,yang

terjadi pada saat penelitian berlangsung. Penelitian yang menggunakan metode

deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi

meliputi analisis dan interpretasi dari data tersebut. Dengan kata lain, metode

deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti dengan

menguraikan hal-hal yang menjadi pusat perhatian dan mendukung objek

penelitian.

Metode deskriptif yang diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan

kegiatan analisis sebagai upaya memahami, memberi tafsiran dan memberikan

penjelasan sedalam-dalamnya terhadap cerita rakyat La Hila, dengan fokus

analisis pada struktur, nilai moral, serta model pembelajarannya.

3.2 Instrumen Penelitian

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Hal ini mengacu

pada pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif. Borg and Gall (Sugoyono,

2010:296) mengatakan bahwa “ qualitative research is much more difficult to do

well than quantitative research because the data collected are usually subjective

and then main measurement tool for collecting data is the investigator himself”.

Penelitian kualitatif lebih sulit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, karena

data yang terkumpul bersifat subjektif dan instrumen sebagai alat pengumpulan

data adalah peneliti itu sendiri.

Pendapat ini juga diperkuat oleh Bogdan and Biklen (Frankel & Wallen,

2007:430) yang menyebut salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah “ the

54

Page 55: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

natural setting is the direct source of data, and the researches is the key

instrument in qualitative research”.

Peneliti sebagai instrument kunci dalam penelitian ini, menganalisis data-

data sesuai dengan fakta-fakta yang dijumpai di lapangan dengan metode yang

digunakan dalam penelitian. Penganalisisan struktur cerita La Hila menggunakan

teori strukturalisme Levi Strauss. Alat untuk mengumpulkan data yang digunakan,

berupa pedoman wawancara, untuk wawancara terarah, tape recoder, kamera dan

catatan lapangan.

3.3 Data dan Sumber Data

Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang diperoleh dari lapangan langsung, baik dalam bentuk observasi

atas sejumlah peninggalan maupun wawancara kepada sejumlah informan yang

sebelumnya telah diseleksi berdasarkan usia, pendidikan, kedudukan di

masyarakat, dan pengetahuan tentang obyek penelitian. Sedangkan data sekunder

adalah data diperoleh dari buku, jurnal, website, foto-foto, peta wilayah,

monografi dan sumber lain yang berkaitan dengan obyek penelitian. Sumber data

yaitu masyarakat pemilik cerita rakyat La Hila yaitu masyarakat desa Kala,

Kecamatan Donggo. Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dan akurat penulis menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut.

55

Page 56: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

1) Tehnik observasi

Teknik observasi mengharuskan peneliti langsung terjun ke tempat atau

daerah yang menjadi obyek penelitian. Tempat penelitian yang menjadi

obyek penelitian yaitu Desa Kala, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.

Teknik ini digunakan penulis dengan tujuan mendapatkan informasi

mengenai data yang dibutuhkan dan merupakan tindakan nonverbal. Data

yang diinginkan dari teknik ini adalah informasi mengenai kondisi fisik dan

sosial budaya masyarakat Desa Donggo seperti batas wilayah. Desa, kondisi

sosial budaya seperti interaksi masyarakat.

2) Teknik wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data

menggunakan teknik yang disampaikan oleh Danandjaya (2007:195-198)

yang menyebutkan bahwa untuk keperluan penelitian folklor pada umumnya

ada dua macam yaitu wawancara terarah dan tidak terarah agar tidak ada

jarak dan menghindari kekakuan antara responden dan penulis sendiri

sehingga tercipta suasana akrab dan kekeluargaan. Data teks lisan cerita La

Hila yang masih berada ditengah masyarakat diperoleh dengan menempuh

langkah-langkah sebagai berikut. 1) Perekaman (wawancara); 2) Transkripsi

hasil rekaman dan translasi; 3) Perbandingan hasil rekaman dari beberapa

narasumber sehingga dihasilkan teks yang lengkap; 4) Penetapan teks dan

penyuntingan.

Teknik wawancara juga dipergunakan untuk memperoleh informasi

tentang penyebaran cerita La Hila di Kabupaten Bima. Dalam hal ini

56

Page 57: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

wawancara dilakukan dengan informan dari tokoh masyarakat, perangkat

desa, dan dinas-dinas terkait seperti dinas pendidikan dan kebudayaan, Dinas

Pariwisata, dan Museum Kabupaten Bima.

Penelitian cerita La Hila sebagai bahan pembelajaran sastra di SMP

diperoleh dengan jalan wawancara sejumlah guru Bahasa Indonesia di SMP 1

Negeri Donggo Kabupaten Bima. Informasi dari guru bahasa Indonesia ini

untuk mengetahuhi kemungkinan cerita La Hila ini digunakan sebagai

alternatif pembelajaran sastra di SMP.

Penggunaan teknik wawancara baik yang terarah maupun yang tidak

terarah digunakan untuk memperoleh data teks lisan cerita La Hila ,

informasi mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Desa Donggo, dan

informasi mengenai keberadaan teks cetak cerita La Hila.

3) Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini penulis gunakan sebagai langkah untuk

mendokumentasikan berbagai fakta atau keterangan seperti profil daerah

maupun sumber data berupa bukti-bukti peninggalan-peninggalan sejarah

yang ada hubungannya dengan data penelitian.

4) Teknik Rekaman

Teknik rekaman yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara melakukan rekaman terhadap data yang diceritakan oleh

informan. Teknik rekaman digunakan karena yang menjadi objek penelitian

adalahberupa cerita lisan. Cerita ini direkam dari beberapa informan, rekaman

57

Page 58: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

tersebut berisi data yang berupa cerita legenda La Hila dalam masyarakat

desa kala, kecamatan Donggo, kabupaten Bima.

3.5 Validitas Data

Validitas data merupakan jaminan bagi kemapanan kesimpulan dan tafsir

makna sebagai hasil penelitian untuk menjamin validitas/keabsahan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara Triangulasi data, yaitu Cross Check antara

data yang satu dengan data yang lain.

Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat

menggambungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang

telah ada (Sugiyono, 2005:83). Bila penelitian melakukan pengumpulan data

dengan Triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus

menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kreadibilitas data dan berbagai sumber

data.

Patton (dalam Sutopo, 2002:78), mengatakan bahwa ada empat macam

teknik Triangulasi, yaitu (1) Triangulasi data (data triangulation), (2) Triangulasi

peneliti (Investigatos Triangulation), (3) Triangulasi Metodelogis

(Methodological Triangulation), (4) Triangulasi Teoritis (Teoritical

triangulation).

Adapun fokus triangulasi pada penelitian ini yaitu triangulasi data dengan

cara mengarahkan penelitian agar didalam pengumpulan data, peneliti

menggunakan beragam sumber data yang tersedia, artinya data yang sama atau

sejenis, akan lebih valid kebenarannya bila digali dari sumber data yang berbeda.

58

Page 59: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

3.6 Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis data

dengan metode deskriptif. Langkah analisis ini meliputi lima tahapan. Pertama,

menyangkut kondisi social geografis yang berkaitan dengan cerita La Hila.

Kedua, analisis menyangkut identifikasi dan deskripsi teks. Ketiga, analisis yang

berkenaan dengan struktur cerita La Hila dilakukan dengan pendekatan Levi-

Strauss. Keempat, analisis terhadap nilai moral yang terkandung dalam cerita La

Hila dengan latar belakang budaya Donggo. Kelima, analisis terhadap model

pembelajaran cerita rakyat La Hila sebagai bahan ajar di SMP Negeri Donggo.

Analisis tahap kedua adalah identifikasi dan deskripsi teks lisan. Analisis

ini penting dilakukan berkenaan dengan cara kerja filolog, yakni mencari

(mendeskripsikan) teks lisan yang berada di masyarakat. Deskripsi teks lisan

dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan. Metode ini dilakukan

dengan membandingkan beberapa hasil wawancara dengan sejumlah informan.

Setelah dibandingkan kemudian diperoleh suntingan teks lisan yang lengkap.

Analisis tahap ketiga menggunakan pendekatan strukturalisme Levi-

Strauss. Secara khusus langkah-langkah analisis penelitian mengadopsi langkah

analisis strukturalisme Levi-Strauss yang dilakukan Heddy Shri Ahimsa Putra.

Langkah-langkahnya sebagai berikut.

1) Data hasil suntingan yang lengkap dibaca secara keseluruhan, dari proses

pembacaan diperoleh pengetahuan mengenai tema, isi cerita, tokoh-tokoh,

dan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh tersebut.

59

Page 60: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

2) Teks cerita La Hila dibagi menjadi episode-episode, penentuan episode ini

untuk memudahkan pencarian ceriteme dan membentuk skema-skemanya .

3) Menentukan sistem oposisi binair dan membentuk struktur-struktur

permukaan. Sruktur permukaan tersebut selanjutnya dihubungkan dengan

latar belakang kebudayaan di mana teks tersebut lahir, sehingga dihasilkan

struktur dalam. Latar belakang kebudayaan yang digunakan pada cerita La

Hila adalah budaya Donggo, mengingat cerita ini lahir dan berkembang di

Daerah Donggo. Berdasar pada struktur dalam inilah, dapat dilihat makna-

makna apa saja yang tersirat dalam cerita La Hila. Makna-makna itulah yang

merupakan pesan yang ingin disampaikan masyarakat pendahulu kepada

masyarakat penerusnya.

Analisis tahap keempat, yaitu analisis terhadap nilai-nilai moral yang

terkandung dalam cerita La Hila dilakukan dengan menganalisis pesan-pesan

yang diperoleh kepada tahap ketiga dengan latar belakang budaya Bima. Hal ini

dilakukan karena cerita La Hila ada dan berkembang di masyarakat Bima.

Sehingga para pendahulu akan menyampaikan ajaran-ajaran sesuai dengan tata

kehidupan yang dimilikinya.

Analisis mengenai nilai moral dalam cerita La Hila ini menggunakan

model analisis konten yang di lakukan Endraswara (2006:83) dalam kaitannya

dengan nilai moral atau budi pekerti: 1) budi pekerti yang berhubungan antara

manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slamatan dan lain

sebagainya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, 3)

budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam sekitar, 4) budi

60

Page 61: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

pekerti yang berhubungan antara manusia dengan mahluk lain, misalnya jin, setan,

hewan,tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia

dengan dirinya sendiri. Teknik analisisnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Analisis Nilai

Struktur cerita La Hila yang telah ditentukan dari proses analisis struktur,

yakni struktur dalam dan luar selanjutnya dihubungkan dengan kebudayaan

Donggo sebagai budaya masyarakat pemiliknya. Dari hubungan ini diambil nilai-

nilai moral menurut pandangan orang Bima bagaimana cerita La Hila

menggambarkan bagaimana sebaiknya manusia dalam kehidupannya.

Analisis yang terakhir, adalah analisis terhadap cerita La Hila sebagai

bahan pembelajaran sastra di SMP. Analisis terkait dengan model pembelajaran

ini dititikberatkan pada penggunaan cerita La Hila sebagai bahan ajar di SMP.

Penggunaan cerita La Hila sebagai bahan ajar ini memperhatikan beberapa hal

yang terkait dengan upaya memasukkan cerita La Hila sebagai bahan ajar. Hal-hal

61

Cerita La Hila

Struktur luar

Oposisi benair

Struktur dalam

Nilai moral manusia

Tuhan manusia Alam Diri sendiriMahluk lain

Page 62: Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian

tersebut adalah tinjauan kurikulum di SMP, model pembelajaran kontekstual, dan

kriteria pemilihan bahan ajar.

62