Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu...
Transcript of Bab 1 pendahuluaneprints.unram.ac.id/7574/1/Bab I-II-III.doc · Web viewCiri-ciri pengenal itu...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obyek kajian karya sastra dapat berupa karya sastra tulis maupun sastra
lisan. Sastra tulis adalah sastra yang teksnya berisi cerita yang sudah ditulis atau
dibukukan, sedangkan sastra lisan adalah cerita yang bersifat kelisanan, dan
diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan yang
cukup terkenal dalam masyarakat adalah cerita rakyat.
Cerita rakyat adalah bagian dari hasil kebudayaan yang selalu berkaitan
dengan persoalan kehidupan manusia, karena cerita rakyat, selalu membicarakan
prilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Cerita rakyat dapat
dipandang sebagai evaluasi dari kehidupan manusia dan juga dapat
menggambarkan tingkat keinginan kebudayaan, gambaran tradisi yang berlaku,
dan tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat pada suatu masa
serta harapan yang dicita-citakan.
Sastra lisan di Indonesia dapat dijumpai dalam karya sastra yang
diekspresikan oleh berbagai suku bangsa dalam bentuk folklor lisan dan
digolongkan pada sastra daerah. Sastra daerah merupakan hasil atau sumber
kebudayaaan daerah yang memiliki nilai-nilai luhur mengenai tatanan kehidupan
suatu masyarakat pada waktu tertentu untuk dijadikan cerminan kebudayaan dan
komunikasi antar generasi. Sastra daerah juga merupakan manifestasi dari
kehidupan masyarakat kini dan yang akan datang.
11
Cerita rakyat La Hila juga termasuk ke dalam karya sastra lisan. Karya
sastra lisan berupa cerita rakyat merupakan kreatifitas para punjangga zaman dulu
yang secara substansi selalu mengacu pada ajaran-ajaran dharma sehingga dapat
dipakai sebagai landasan bertingkah laku oleh generasi pewarisnya. Cerita rakyat
secara umum selalu menyimpan nilai-nilai kearifan yang terselubung dan perlu
penyikapan bagi para pendengar sastra lisan, sehingga makna yang ada di
dalamnya dapat dicerna atau ditangkap mendekati kebenarannya. Biasanya nilai
yang tertuang tersebut berupa norma-norma kehidupan dalam bentuk etika sopan
santun yang perlu dipedomani sebagai wahana kehidupan di masyarakat.
Konstruksi kebudayaan sastra lisan daerah Bima sangat beragam jenis dan
isinya. Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral,
gagasan, cita-cita dan pedoman hidup masyarakat Bima pada umumnya, dan
khsususnya masyarakat Donggo kala pada masa lampau, sehingga menjadi
cerminan untuk masa sekarang maupun yang akan datang, baik tentang manusia
sebagai pribadi, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan tuhan dalam
hubungan dengan alam dan lingkungan hidupnya.
Cerita rakyat La Hila terdapat pada masyarakat Desa Kala, Kecamatan
Donggo, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB). Cerita tersebut terkait
dengan adanya sebuah tatanan peradaban manusia, tentang sosial budaya, politik,
serta nilai-nilai yang terjadi pada zamannya. La Hila merupakan tokoh
monumental bagi masyarakat Donggo dan Bima umumnya.
Dalam perkembangannya, cerita rakyat tersebut mulai hilang dalam
masyarakat, hal itu menjadi catatan, mengingat cerita rakyat La Hila dahulu
2
dipercaya oleh masyarakat Donggo karena benar-benar terjadi. Hal ini dibuktikan
dengan adanya komplek La Hila di atas tanah babuju (dataran tinggi) di desa
Kala, kecamatan Donggo. Peninggalan yang ada dalam komplek itu berupa
makam, kolam di pinggir sungai tempat La Hila mandi, batu berlubang tempat La
Hila menumbuk bahan keramasnya, bambu yang dipercayai sebagai jelmaan La
Hila. Dulu di tanah babuju itu dijadikan tempat dilantik dan disumpahnya para
ncuhi (kepala wilayah atau raja-raja) di daerah Bima. Bukti lain dari cerita La
Hila adalah nyanyian kalero. Kalero merupakan nyanyian tertua di Bima, yang
berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah. Cikal
bakal kalero ini ketika ibu La Hila meratapi anaknya yang menghilang. Budaya
kalero sekarang sudah mulai menghilang di tengah-tengah masyarakat Donggo.
Berdasarkan pengamatan penulis sampai saat ini, cerita rakyat La Hila
merupakan cerita rakyat yang sangat hidup di derah Bima tetapi tidak memiliki
bukti nyata atas keberadaannya. Cerita rakyat La Hila ini diduga mengkiaskan
tentang pergulatan politik pada jamannya. Pada dasarnya Cerita rakyat La Hila
sebagai bagian dari kebudayaan Bima dapat diteliti dari berbagai segi. Namun dari
berbagai keterbatasan, maka peneliti hanya menganalisis struktur dan nilai moral,
kemudian melihat kemungkinan cerita rakyat La Hila dapat dijadikan sebagai
bahan pembelajaran sastra di SMP.
Pengambilan cerita rakyat La Hila untuk dijadikan obyek penelitian ini
dikarenakan cerita La Hila termasuk folklore lisan yang diduga sarat dengan nilai-
nilai yang berkaitan dengan nilai yang berlaku pada masyarakat. Faktor lain yang
menjadi alasan pengambilan cerita rakyat La Hila sebagai obyek penelitian adalah
3
karena cerita ini tidak pernah dikaji oleh peneliti khususnya oleh peniliti sastra
dan budaya. Cerita rakyat ini juga masih kurang dikenal oleh masyarakat,
sehingga ada kekhawatiran cerita rakyat ini akan hilang dan tidak dikenal lagi
oleh generasi berikutnya. Selain itu, selama ini pandangan orang luar terhadap
masyarakat Donggo sangatlah negatif, misalnya orang Donggo bodoh,
terbelakang, tidak beradab. Pandangan negatif tersebut tentu merugikan
masyarakat Donggo, untuk itu perlu penelitian untuk merekonstruksikan identitas
masyarakat Donggo lewat cerita rakyat La Hila.
Kekhawatiran akan hilang atau punahnya cerita ini ada beberapa bukti
yang mendukung, yaitu masyarakat pemilik cerita yang mengetahui cerita rakyat
ini tinggal sedikit jumlahnya. Pergeseran kebudayaan dan arus globalisasi yang
menghalalkan masuknya budaya asing mempercepat proses kepunahan tersebut.
Oleh sebab itu, penelitian tentang cerita rakyat La Hila mengenai struktur, perlu
dilakukan yang selanjutnya dari struktur tersebut makna atau pesan yang
terkandung di dalamnya dapat diketahui. Sebab bukan tidak mungkin pesan yang
tersimpan dalam teks masih relevan atau dapat digunakan sebagai alternatif
penyelesaian masalah-masalah pada masa sekarang. Dari latar belakang yang
penulis paparkan tersebut tepatlah kiranya penulis berusaha melakukan sebuah
penelitian berkaitan dengan cerita rakyat berjudul La Hila, berkaitan dengan
struktur, nilai moral serta model pembelajarannya.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah dikemukakan di
atas, masalah difokuskan pada aspek struktur, nilai-nilai moral yang terkandung
dalam cerita rakyat La Hila dan Model pembelajarannya di SMP..
Berdasarkan fokus penelitian maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
muncul adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah struktur cerita rakyat La Hila?
2) Bagaimanakah nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat La
Hila?
3) Bagaimanakah model pembelajaran cerita rakyat La Hila dalam
pembelajaran sastra di SMP?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan nilai-
nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat La Hila dan mengetahui
bagaimana pembelajaran cerita rakyat tersebut.
Secara lebih khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan struktur cerita rakyat La Hila
2) Mendeskripsikan bagaimana nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita
rakyat La Hila
3) Mendeskripsikan bagaimana model pembelajaran cerita rakyat La Hila di
SMP.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan
praktis. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu
sastra, khususnya sastra lisan dan perkembangan bahan ajar pada mata pelajaran
bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan referensi
penelitian sastra atau penelitian tradisi lainnya.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi upaya untuk pemahaman dan pengembangan tradisi lisan. Terhadap
pengembangan tradisi lisan meliputi; (1) mendapatkan pengetahuan tentang
struktur cerita rakyat La Hila, (2) memperoleh nilai-nilai moral yang terkandung
dalam cerita rakyat La Hila, dan (3) mengetahui model pembelajaran cerita rakyat
La Hila sebagai sarana untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya
lokal.
Manfaat yang lebih luas yaitu memberikan pemahaman kepada masyarakat
bahwa tradisi lisan lebih khusus cerita rakyat mengandung nilai-nilai kehidupan
yang jika dikaji dapat digunakan untuk pedoman hidup yang lebih baik. Hal ini
juga untuk menunjukkan bahwa kita memiliki karakter yang membedakan dengan
bangsa-bangsa lain, sehingga diharapkan timbul empati dan kebanggaan pada diri
sendiri serta tidak mudah tergelincir oleh budaya-budaya yang belum tentu sesuai
dengan karakter bangsa.
6
BAB II
PENELITIAN RELEVAN, DEFINISI OPERASIONAL
DAN LANDASAN TEORI
Pada bab ini berturut-turut disajikan beberapa hal seperti penelitian
relevan, definisi operasional dan landasan teori.
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian mengenai sastra lisan pada umumnya dan cerita rakyat pada
khususnya bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Para mahasiswa jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia telah banyak melakukan penelitian seperti itu.
Pustaka-pustaka yang mendasari penelitian ini adalah tulisan hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang
mengangkat tentang cerita rakyat, antara lain, dilakukan oleh Badrun (2003),
Ahimsa Putra (2006), A.Totok Priyadi (2010), Maman Rukmana (2011).
Penelitian-penelitian ini akan di bahas di bawah ini:
Badrun (2003), meneliti tentang Patu Mbojo dari daerah Bima. Penelitian
tersebut berorientasi pada pertunjukkan dan konteksnya karena dianggap
memungkinkan melihat objek penelitian sebagai produk tradisi lisan secara
kooprehensif dan melihat objek penelitian sebagai bagian integral dari Budaya
Bima. Kaitannya dengan penelitian yang peneliti lakukan ada persamaan pada
telaah struktur dan nilai. Namun, sangat berbeda dalam hal konteks pertunjukkan
dan proses penciptaan yang tidak ada dalam penelitian yang dilakukan dalam
7
9
penelitian ini dan berbeda dalam hal pemanfaatan dalam pembelajaran yang
dilakukan dalam penelitian ini.
Putra ( 2006) melakukan penelitian tentang cerita rakyat yang berjudul Sri
Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi karya Umar Kayam. Dalam penelitianya Putra
menggabungkan Struktur Levi Strauss dan Hermeneutik. Hasil analisis dari ketiga
cerita tersebut menghasilkan ceriteme-ceriteme yang kemudian membentuk
episode-episode. Episode-episode ini merupakan relasi-relasi dari ketiga cerita
tersebut. Episode-episodenya sebagai berikut; a. Episode latar belakang tokoh; b.
Episode kehidupan remaja; c. Episode kehidupan keluarga dan politik; d. Episode
pelarian; dan e. Episode akhir kisah. Selanjutnya berbagai episode yang dialami
ditempatkan secara singkronis ( paradigmatis ) dan diakronis ( sintagmatis ).
Analisis berlanjut pada analisis nilai. Kaitannya dengan penelitian yang akan
dilakukan ada persamaan pada telaah struktur dan nilai namun berbeda dalam hal
pemanfaatan dalam pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini.
Penelitian sejenis tentang cerita rakyat pernah dilakukan oleh Priyadi
(2010) yang berjudul Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanaytn.
Priyadi dalam disertasinya ini menganalisis hampir 90 cerita Rakyat Kanaytn,
yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara terhadap 30 informan, dari 90
cerita rakyat ini Priyadi mengambil 9 cerita yang mendapat fokus lebih, dalam
penelitianya. Cerita-cerita tersebut dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut. Pertama cerita-cerita tersebut dibuat ringkasan ceritanya, kemudian
dianalisis pada tingkat lingkungan penceritaan yang meliputi daerah pakai dan
situasi pakai. Langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan cerita-cerita tersebut
8
pada genre dongeng, mitos ataupun legenda. Setelah diketahui genre dari cerita
tersebut kemudian analisis struktur cerita dengan menggunakan tehnik analisis
struktur model Maranda. Penelitian tersebut hanya mengkaji pengklasifikasian
cerita-cerita rakyat yang ada di daerah Dayak Kanaytn dan mengkaji makna saja,
tidak ada kajian yang mengaitkan dengan nilai yang ada dalam cerita rakyat
tersebut dan proses pembelajaranya. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan
peneliti berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian tersebutpun tidak
memperlihatkan adanya kaitan nilai budaya yang sangat penting kontribusinya
untuk dijadikan bahan ajar yang mengandung nilai-nilai moral yang bersumber
dari keunggulan lokal cerita rakyat dan tidak terlihat usaha proses
pembelajarannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rukmana (2006) dengan judul Studi
Deskriptif Terhadap Struktur, Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten
Selatan: Penyusunan Bahan ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Untuk Siswa SD di Kabupaten Pandeglang. Analisis yang dilakukan dalam cerita
Banten Selatan ini, dilakukan dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik
cerita yang meliputi alur, penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan
motif menurut genre cerita rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data menggunakan teknik tes, angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan
untuk mengetahui apakah cerita-cerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat
digunakan sebagai bahan ajar di sekolah Dasar, sehingga penelitian yang
dilakukan dikaitkan dengan pembuatan bahan ajar dari cerita rakyat.Cerita Rakyat
Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini berjumlah tiga buah.
9
Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung Kulon, Asal
Mula Orang Badui, dan Pangerang Pande Gelang dan Putri Cadasari.
Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan tanggapan
dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru bahasa
Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita. Rukmana
menggunakan teknik wawancara yang dapat diterapkan kepada para praktisi
pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan pada guru-guru sekolah
dasar di lingkungan Dinas pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis
variabel penyususunan bahan ajar.
Persamaan penelitian diatas dengan penelitian ini terletak pada pada
kriteria mendasar yaitu; pertama sama-sama menggunakan kajian resepsi sastra;
kedua penelitian diatas juga mengkon-kretkan dan merekonstruksikannya dengan
imajinasi pembaca yang dimungkinkan oleh; keakrabatan dengan tradisi,
kesanggupan memahami keadaan pada masanya, juga masa sebelumnya melalui
pesan.
Adapun letak perbedaannya yaitu; pertama penelitian ini menganalisis
struktur dan nilai cerita rakyat La Hila pada masyarakat Donggo; kedua
mengidentifikasi resepsi masyarakat terhadap cerita rakyat La Hila pada
masyarakat lebih cendrung pada resepsi sosial religi dan kepercayaan; ketiga
penelitian mempunyai ceriteme-ceriteme yang mistik seperti perubahan wujud La
Hila menjadi bambu yang mengeluarkan darah; keempat penelitian ini
menganalisis sastra lisan yang di peroleh langsung dari informan; kelima,
10
penelitian ini hasil dari analisis cerita La Hila akan dijadikan sebagai bahan ajar
dalam pembelajaran sastra di SMP.
11
2.2 Definisi Operasional
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa konsep
yang memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut antara lain cerita rakyat,
La Hila, Struktur, Nilai moral, pembelajaran sastra.
1. Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang pernah
hidup dan menjadi milik masyarakat diwariskan secara lisan dan turun
temurun yaitu dari generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat sebagai
bagian dari sastra lisan mengandung berbagai gagasan dan penuh nilai yang
bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
2. La Hila
La Hila adalah tokoh cerita yang ada dalam cerita rakyat. Mbojo Desa
Kala Kecamatan Donggo Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. La
Hila merupakan nama tokoh sekaligus sebagai judul cerita rakyat di daerah
Donggo. La Hila diceritakan sebagai seorang gadis keturunan bangsawan
yang tentunya memiliki tempat tersendiri di mata masyarakat. La Hila dinilai
sebagai perempuan yang cantik yang berambut panjang, perempuan yang kuat,
berkepribadian tangguh, berbudi baik dan kesempurnaan lain yang dimiliki
perempuan Bima pada saat itu.
3. Struktur
Berkaitan dengan struktur dalam legenda ini Endraswara (2009:112)
mengatakan bahwa Legenda atau cerita rakyat dapat dipotong-potong
menjadi beberapa bagian dan dapat dibenarkan dalam analisis struktural.
12
Setiap bagian disebut motivem. Jadi, setiap legenda atau cerita rakyat terdiri
dari sederet motivem. Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur
motivem itu terpisah-pisah melainkan merujuk pada keutuhan makna.
Struktur cerita rakyat La Hila adalah unsur-unsur yang membangun
cerita La Hila, yaitu struktur lahir (surface structure) dan struktur batin (deep
structure). Untuk analisis struktur ini penulis menggunakan teori
strukturalisme levi- Strauss.
4. Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan
berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik (Sumantri, 2008:4)
yang dimaksud nilai dalam penelitian ini adalah penilaian atau penelaahan
tentang nilai baik dan buruk yang ada dalam cerita rakyat yang dikaji.
5. Moral
Moral menurut Lillie (Budiningsih, 2004:24) berasal dari kata mores
(bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat.
Moral yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sopan santun, tata kerama,
adat istiadat yang terdapat pada cerita rakyat La Hila.
6. Mbojo
Mbojo adalah nama kuno Daerah Bima yang terletak di pulau
Sumbawa bagian timur Nusa Tenggara Barat. Nama Mbojo menurut pendapat
para tetua adat (Ensiklopedia Bima, 236), berasal dari istilah bahasa Bima
yaitu Babuju. Babuju ialah tanah ketinggian, tanah semacam itu dalam bahasa
Bima disebut Dana Ma Babuju. Sedangkan nama Bima dipergunakan untuk
13
mengabadikan Sang Bima. Sang Bima – di yakini banyak orang Bima –
merupakan tokoh sejarah yang menurunkan raja-raja di tanah Bima. Semula
timbulnya kerajaan Bima pengangkatannya melalui kesepakatan para Ncuhi.
Ncuhi (pemimpin wilayah pada zaman prasejarah). Ncuhi-ncuhi tersebut
meminta sang Bima untuk menjadi raja di Bima. Tetapi sang Bima berjanji
akan mengirim seseorang untuk memenuhi keinginan para Ncuhi, yaitu dari
keluarga sang Bima. Nama Mbojo sekarang dipakai sebagai nama salah satu
suku yang ada di daerah Bima. Suku yang mendiami daerah Bima adalah
Suku Donggo Ele, Donggo Di, Melayu dan Mbojo.
7. Model
Model pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
memasukkan cerita rakyat La Hila sebagai bahan ajar dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia di SMP yang akan digunakan sebagai acuan belajar siswa
yang telah disusun secara sistematis dengan pola tertentu.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Hakikat Folklor
a. Pengertian Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris
folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar
folk dan lore. Dandles ( dalam Danandjaj, 19997:1) menyatakan bahwa,
folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial
dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
14
lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang
sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa
yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang tradisi yaitu
kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya ada dua
generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu,
yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka
sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu kebudayaan yang
diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric
device).
Darson, (Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun
folklife dapat diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-
kadang disebut juga seni verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah
bagian folklor yang menjadi ruh folklor. Sastra lisan pula yang
menguatkan folklor hingga lekat di hati pendukungnya; (2) budaya
material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan sastra lisan.
Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan
karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folklok
costum, artinya kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi
rakyat. Hal-hal yang berhubungan dengan rites de passage, seperti
kelahiran, inisuasi, ekmatin dan ritual lainnya adalah folklor ; (4)
performaing forlk arts, artinya seni pertunjukan rakyat seperti jatilan,
ketoprak, srandul dan sebagainya.
15
Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Darson,
(Endraswara, 2009:108) ini, maka cerita La Hila termasuk di dalam
kategori yang pertama yaitu oral literature. Kategori yang dikatakan
sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita La
Hila ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial
bagi perkembangan folklor.
Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand yang
membagi folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaya, 2007:21)
mengatakan bahwa berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok besar : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor
sebagian lisan (partiy verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non
verbal folklore) atau masing-masing dengan istilah mentifacts, sociofacts,
artifacts.
Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas
sebagai berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya
memang murni. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk dalam
kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat (folk speach) seperti
logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, (b) ungkapan
tradisional, sepert pribahasa, pepatah, dan pemeo, (c) pertanyaan
tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan
syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan (f)
nyanyian rakyat.
16
Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor
yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
Kepercayaan rakyat misalnya, yang oleh orang moderen sering sekali
disebut tahayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah
dengan gerak isyarat yang dianggap dapat melindungi seseorang dari
gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap
berhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezki, seperti batu-
batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat,
teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Ketiga, folklor bukan lisan, folklor bukan lisan adalah folklor yang
bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara
lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni
yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang
tergolong material antara lain; arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah,
bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian
dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan
tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material; gerak isyarat
tradisional (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik
rakyat. Berdasar pada pengelompokan pada Brunvand ini maka cerita La
Hila dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita prosa rakyat.
Folklor dapat digunakan sebagai alat untuk mewariskan adat
istiadat, norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra
17
lisan. Hal ini tercermin dari pernyataan Yanagita, (Endraswara, 2009: 109)
yang menyatakan folklor merupakan “ajaran hari esok”, yang berarti
sebuah disiplin ilmu yang dapat membantu orang Jepang untuk mengerti
jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka secara lebih mendalam.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
cerita rakyat La Hila merupakan karya cerita rakyat, yang merupakan hasil
tuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan merupakan warisan
kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat Donggo Kabupaten
Bima, serta dikategorikan sebagai bagian dari folklor lisan.
b. Ciri-Ciri Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan gendre dan folklor yang hidup tersebar
dalam bentuk lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada
ruang dan waktu serta nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh
karena itu, cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor menurut
Danandjaya (2007:3) memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
tuturkata yang disebarkan melalui tuturkata dari mulut ke mulut (atau
dengan suatu contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu
pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini
penyebaran folklor dapat kita temukan dengan bantuan mesin cetak dan
elektronik.
18
(2) Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau
dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu
yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
(3) Ada (exist) dalam fersi-fersi bahkan farian-farian yang berbeda, karena
cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui
cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses
interpolasi muncul farian-farian tersebut.
(4) Bersifat anonim,yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
(5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.
(6) Mempunyai kegunaan (fungstion) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat
pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan
terpendam.
(7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor
lisan dan sebagian lisan.
(8) Menjadi milik lisan bersama dari kolektif tertentu.
(9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya
kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa
banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur
manifestasinya.
Berdasarkan ciri-ciri folklor tersebut, ada sebagian orang yang
berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau
19
dongeng hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini
menurut penulis tidak dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat
disalahkan begitu saja. Jika mencermati ciri folklor yang ketujuh yang di
sampaikan Danandjaya di atas, yaitu bahwa ciri folklor lisan dan sebagian
lisan adalah bersifat logis maka anggapan masyarakat tersebut dapat
dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke enam yaitu folklor
juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat dikatakan
benar.
Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang mengatakan
kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa:
Bagi sementara orang paling tidak ada tiga hal yang di cela atau di khawatirkan oleh cerita rakyat,yaitu yang berkaitan dengan masalah moral,kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadian-kejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi,misalnya pencungkilan mata (ibu panji laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya ia tidak dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang ada dalam cerita.
Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa
permasalahan yang bercela dengan cerita rakyat terkait dengan masalah
moral, kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam.
Perlu sikap arif untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian
orang yang diungkap oleh Bunanta ini juga berkaitan dengan ciri kesembilan
yang disampaikan Danandjaya di atas sehingga diperlukan adanya analisis
yang dapat memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa cerita rakyat
20
tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis saja, tetapi lebih dari itu
menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu di ungkap. Ratna (2008:3)
mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah makna-makna
yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levis
strauss.
c. Fungsi cerita rakyat
Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama
dengan karya sastra lainnya. Kosasi (2003:222) menyatakan bahwa fungsi
sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi
rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2)
fungsi didaktif, yaitu mendidik para pembaca karna nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan yang ada di dalamnya, (3) fungsi ekstetis, yaitu memberikan
nilai-nilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai moral
yang tinggi sehingga para pendengar dapat mengetahui moral yang baik
dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran dapat
dijadikan teladan bagi para pendengarnya.
Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya
sastra di atas, Bahcong, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih
spesifik. Menurut Bahcong (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga
di dalamnya cerita rakyat memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem
proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan kolektif, (2) sebagai
alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3)
21
sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Melalui ciri-ciri yang disampaikan baik secara umum maupun
lebih spesifik di atas maka cerita La Hila sebagai sebuah cerita rakyat
sangat besar kemungkinannya mengandung fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-
fungsi yang akan penulis kaji dari cerita rakyat La Hila ini adalah
memfokuskan pada fungsi moralitasnya.
d. Macam-macam cerita rakyat
Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita
prosa rakyat dapat dibagi kedalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite
(myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita
rakyat tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut.
(1) Mite
Mite (mitos) berasal dari bahasa yunani yang berarti cerita tentang
dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang
mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya
merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang di
anggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita.
Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya
terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang
ini, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan
terjadinya alam semesta, dunia manusia pertama, bentuk fotografi, gejala
alam, bentuk khas binatang, terjadinya maut, dan sebagainya. Mite
22
mengisahkan petualangan percintaan, hubungan kekerabatan, dan kisah
perang para dewa (Danandjaya, 2007:51).
Pengertian mitos dalam kamus bahasa indonesia dibedakan dari
mite. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman
dulu, yang mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam,
manusia dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang
diungkapkan dengan cara gaib. Mite adalah cerita yang mempunyai latar
belakang sejarah, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai cerita yang
benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal ajaib,
umumnya ditokohi oleh dewa. Sudjiman (lantini, 1996:224) mengartikan
kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita rakyat legendaris atau
tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa dan mengisahkan
peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional, seperti terjadinya
sesuatu ; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti tetapi
diterima mentah-mentah.
Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng
mite adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural
dengan latar suci dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu
genre cerita rakyat yang di anggap suci dan diyakini betul-betul terjadi
oleh masyarakat pendukungnya, bersifat religius karna memberi rasio pada
kepercayaan. Selain itu, Mitos berfungsi untuk menyatakan, memperteguh
dan mengkondifikasi kepercayaan, melindungi dan melaksanakan
23
moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma serta
pengendali masyarakat. (2).Legenda
Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya
mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi,
tetapi tidak di anggap terjadi. Namun, legenda berlainan dengan mite.
Legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat
luarbiasa dan seringkali dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat
terjadinya adalah di dunia seperti yang kita tinggal ini, karena waktu
terjadinya belum terlalu lampau. Legenda dianggap oleh yang punya cerita
sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan
mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda bersifat
migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya
dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam
peristiwanya terdapat juga hal-hal yang luarbiasa. Dengan demikan, pada
dasarnya legenda merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan
biasanya ditokohi oleh manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh
makhluk gaib.
Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang
mencangkup hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda
dipandang sebagai sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenaranya.
Legenda berfungsi mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari
ancaman marabahaya.
24
Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita
jaman dahulu yang bertarian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman
(laniti, 1996226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang
tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis
dan mitos. Darusuprata (lantini, 1996:227) menunjukkan adanya unsur
legenda yang terdapat dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya
merupakan cerita yang bertalian dengan unsur-unsur air, unsur tanah,
termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api, dan udara. Unsur legenda inilah
yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau kosmologis.
(2)Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar
terjadi oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat.
Bila legenda dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka
dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita
prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan
terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan
kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran (Danandjaya, 2007: 50-
86).
Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh
cerita rakyat yang disebutkan di atas ( legenda dan mite). Tetapi, menurut
beberapa ahli, dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia
atau binatang. Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara
konsep-konsep cerita rakyat , mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu
25
penting untuk diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya
istilah mitos, legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian.
Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra ( 2006: 77) yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mitos dalam pandangan
strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng
merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi
manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut
berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi
Putra memperlakukan cerita-cerita rakyat yang ditulis oleh Umar Kayam
sebagai dongeng atau mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss
bahwa legenda atau cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar,
konflik, dan penyelesaian cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada
dalam kolektifnya pada masa itu.
Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil
kesimpulan bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya
merupakan hasil dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang
mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian
tertuang dalam sebuah karya sastra lisan dan penulis memposisikan ketiga
jenis cerita rakyat itu sebagai legenda.
2.3.2 Teori Struktur
a. Strukturalisme dalam Karya Sastra
Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya.
Unsur-unsur tersebut bersinerji menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan
26
unsur-unsur tersebut biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah
yang akhirnya membentuk sebuah benda. Dengan demikian unsur-unsur
tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau hubungan dengan unsur-unsur
lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari satu unsur saja tetapi
dilihat dari jalinan unsu-unsur tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan
oleh Foley ( Siswantoro, 2010:13) bahwa struktur berarti bentuk
keseluruhan yang kompleks (comlex whole). Setiap objek atau peristiwa
adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsur yang setiap
unsur tersebut menjalin hubungan. Doktrin pokok strukturalisme adalah
bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada benda itu sendiri, tetapi
terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak ada unsur
yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait
dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan.
Berkaitan dengan struktur kariya sastra, A Teeuw (1988:135)
mengemukakan bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin
keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra lisan
yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Makna menyeluruh seperti yang disampaikan A Teeuw di atas
karena kariya sastra tersusun atas unsur-unsur dalam sebuah sistem. Hal
ini sesuai dengan pendapat Pradopo (2009:188-119) bahwa karya sastra itu
merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-
27
unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi,
kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau
tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan hal-
hal itu saling terikat, dan saling bergantung.
Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antara unsur
pembangunan karya yang bersangkutan (Nurgiantoro,2002: 36 ). Analisis
struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendiskripsikan fungsi dan hubungan
antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurdiantoro, 2002:37).
Konsep fungsi dalam strukturalisme memegang peranan penting.
Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara
maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam menunjukkan
antar hubungan unsur-unsur yang terlibat (Ratna, 2008:76). Strukturalisme
sebagai aliran sastra yang tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukkan
adanya berbagai keragaman meskipun prinsip dasarnya sama, yakni
“Sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom dan dapat
dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya” (Aminuddin,
2009:52).
Paradigma strukturalisme membatasi analisis dan pemahaman
terhadap karya sastra semata-mata pada tataran intrinsik (Ratna,
2010:74).Pendapat ini didasarkan atas argumentasi yang dikemukakan
oleh Tynjanov, dan dipertegas oleh Mukarovsky, yang menyatakan bahwa
28
karya sastra memiliki dua ciri yang selalu hadir bersama-sama, yaitu: ciri
otonom dan komunikatif. Ciri otonom diperoleh melalui hubungan unsur-
unsur dengan totalitas, sedangkan ciri komunikatif diperoleh melalui
hubungan karya dengan sistem kultural.
Strukturalisme, dengan menolak relefansi penulis, pada gilirannya
secara keseluruhan memusatkan perhatiannya pada kekayaan unsur-unsur
karya, yang pada umumnya disebut sebagai unsur-unsur instrinsik. Cara
pemahaman yang dianjurkan adalah model mikroskopis, pusat perhatian
yang semata-mata didasarkan atas unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya (Ratna, 2010 :77).
Permasalahan penting dalam memahami karya sastra dalam
kaitannya dengan kebudayaan adalah sudut pandang, paradigma terhadap
hakikat objek. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan dua sudut pandang
yang berbeda, yaitu: (1) sebagai aktifitas kreatif karya sastra penuh dengan
makna, (2) karya sastra merupakan entitas kosong, karya sastra sebagai
manifestasi bahasa biasa, bahkan disusun secara gramatikal. Pendapat
pertama cendrung menganggap karya sastra penuh dengan makna,
diwujudkan melalui bentuk dan isi. Jadi untuk menganalisis sebuah karya
sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu
yang diperlukan sudah terkandung di dalamnya.
b. Teori Struktural Levis-Strauss
Tujuan utama teori strukturalisme levis-Strauss adalah
mengungkapkan struktur Humand mind melalui relasi antar elemen
29
penyusunnya. Humand mind ini erat kaitannya dengan sistem proyeksi
yang membangkitkan berbagai macam pesan.
Titik tolak dari teori strukturalisme Levi-Strauss adalah konsep-
konsep dalam linguistik. Terdapat kesamaan antara legenda dengan
bahasa. Legenda La Hila dalam konteks penelitian ini sejalan dengan
pemikiran Levi-Strauss yang tak lebih dari sebuah dongeng (Endraswara,
2003:110).
Dongeng dalam kerangka pemikiran Levi-Strauss adalah kisah atau
cerita yang lahir dari cerita manusia, walaupun unsur-unsur khayalan
tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Putra,
2006:77). Berdasarkan definisi demikian, jelas kiranya penulis
memperlakukan legenda La Hila sebagai sebuah cerita rakyat, yang di
dalamnya mengandung aspek legenda.
Analisis struktural pada legenda La Hila adalah dengan
memperlakukan legenda La Hila dengan dua hal berikut. Pertama, seperti
halnya bahasa, legenda merupakan sebuah cerita (sistem simbol) yang
menyampaikan pesan tertentu (Paz, 1997:xxxii). Kedua, mengadopsi
konsep linguistik, legenda tersusun atas oposisi binair sebagai langue dan
parole; serta sinkronis dan diakronis (Endraswara, 2005:231).
Leach (Putra, 2006:79) mengatakan bahwa pendekatan
strukturalisme Levi- Strauss berfokus pada narasi teks, sebuah teks
legenda diyakini sebagai ekspresi atau perwujudan dari keinginan-
30
keinginan yang tidak disadari, yang terkekang atau sedikit banyak tidak
konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.
Sejalan dengan pemikiran demikian, teks cerita rakyat La Hila
dianggap mempunyai analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan
secara internal dan sistem oposisi binair. Fokus perhatian strukturalisme
adalah sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu.
Struktur-struktur semacam inilah yang oleh Levi-Strauss dianggap
melatarbelakangi keanekaragaman fenomena kenyataan pada kehidupan
sehari-hari. (Putra, 2006:79-86)
Cerita rakyat sebagai produk dari kebudayaan adalah hasil dari
aktivitas nalar manusia dimana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa
yang juga merupakan produk dari nalar manusia. Kesejajaran tersebut
terletak sumber yang sama yaitu relasi, oposisi, dan korelasi (Syam,
2007:68-69). Semetara itu Putra (2007:23-25) mengatakan bahwa ada tiga
macam pandangan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Tiga
pandangan tersebut adalah, pertama, bahasa dianggap sebagai refleksi dari
kebudayaan, kedua, bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan, dan
ketiga, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga pandangan
tersebut Levi-Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu bahasa
merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari
material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
material yang sama dan secara diagronis bahasa mendahului kebudayaan
karna melalui bahasalah manusia mengetahui kebudayaan.
31
Levi- Strauss, menganggap bahwa oposisi binair adalah the essence
of sense making : struktur yang mengatur sistem pemaknaan terhadap
budaya dan kehidupan. Oposisi binair adalah produk dari budaya dari
sistem penandaan yang berfungsi menstrukturkan persepsi terhadap alam
natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan. Konsep
dasar dari oposisi binair yaitu the secondstage of the sense making
process: penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia
alamiah untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang
abstrak.
Levi-Strauss beranggapan bahwa berbagai aktifitas dan hasil
kebudayaan seperti makanan, perkawinan, sistem kekerabatan, dan
utamanya legenda merupakan perwujudan dari logika dasar atau nalar
manusia. Bagaimana kondisi nalar tersebut bekerja, perlu dilakukan
analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun di dalam sebuah
legenda (Putra, 2006:75-78).
Seperti untuk memahami bahasa, legendapun harus dituturkan,
tidak hanya dalam proses penceritaan, tetapi pada proses
pengkomunikasian. Sistem pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam
hal ini dapat dijelaskan, cerita rakyat La Hila yang pada hakikatnya adalah
karya sastra. Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Cerita rakyat La Hila sebagai
karya sastra lama yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya
menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai sistem komunikasi.
32
Hakikatnya fungsi karya sastra adalah Dulce et utile (indah dan berguna).
Poe (Wellek dan warren, 1993:25) menyatakan bahwa suatu cerita rakyat
hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Sistem komunikasi yang ditunjukkan, tidak hanya proses
penyampaian pesan secara linear dari masyarakat pendahulu kepada
masyarakat sekarang. Namun, lebih tepatnya sistem komunikasi sebagai
proses pembangkitan atau proses penciptaan makna. Proses penciptaan dan
pengkomunikasian karya sastra diadaptasikan dan dikembangkan dari
model komunikasi Gerbner (Fiske, 2004), dan (Ratri, 2008 : 12). Karya
sastra sebagai proses komunikasi dapat di lihat dari gambar berikut ini:
GAMBAR 1Proses penciptaan dan pengkomunikasian karia sastra di adaptasi dari Model komunikasi Gerbner (Fiske, 2004) dan terdapar pada A Teeuw dalam buku sastra dan ilmu sastra (1984 : 66)
Keterangan :
P : peristiwa I : Isi
33
p E1P M K
S I
(Ps)E2
M2
E1 : persepsi E2 : Persepsi atas karya sastra
M : Masyarakat M2 : Masyarakat pendengar(tujuan)
K : Karya Sastra lisan Ps : pesan
S : Bentuk
34
Dimensi Horizontal
Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas
eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau
persepsi masyarakat atau peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi
antar P dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin
menyerap keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari
proses seleksi, masyarakat kemudian menciptakan karya sastra. Didalam
karya sastra terjadi proses pemahaman dan penghayatan atas peristiwa yang
pernah terjadi.
Dimensi Vertikal
Karya sastra yang telah diciptakan melahirkan pesan (Ps). Pesan
tersebut dibagi menjadi dua bagian, S mengacu pada bentuk, dan I mengacu
pada isi pesan. Garis putus-putus di dalam pesan (Ps) menunjukan bahwa
meskipun dibagi menjadi dua, pesan adalah konsep utuh bukan bidang yang
terpisah.
Masyarakat pendengar (M2) menerima E2, yakni pesan yang terekam
dalam karya sastra, yang terlebih dahulu telah mengalami serangkaian seleksi
dan pemahaman atas sebuah peristiwa. Pada kondisi inilah terjadi proses
interprestasi karya sastra, proses interprestasi membawa masyarakat pembaca
kepada sekumpulan konsep yang bersumber pada budaya. Konsep budaya
tersebut berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Akhirnya dapat dikatakan
masyarakat pembaca makna dalam pesan (yang terkandung dalam karya
sastra). Pesan sendiri hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang berpotensi
35
memiliki banyak makna. Potensi ini tidak pernah terwujudkan secara utuh
dan isi pesan tersebut belum bisa ditentukan sampai terjadi interaksi, yaitu
proses interprestasi masyarakat pembaca atas karya sastra yang telah di
hasilkan (dari suatu peristiwa).
Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis legenda dengan
memanfaatkan model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara
legenda dengan bahasa. Persamaannya, yakni, Pertama, Bahasa adalah sarana
komunikasi untuk menyampaikan pesan dari suatu indifidu ke indifidu yang
lain, atau kelompok satu ke kelompok lain. Demikian halnya dengan legenda,
ia di sampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan
yang ada didalamnya dapat tersampaikan (Putra,2006:80-81). Kedua, seperti
halnya bahasa legenda mengandung aspek langue dan parole, singkronis dan
diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah yang
memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena
langue dimiliki bersama. Langue merupakan sebuah fenomena kolektif, ia
adalah sistem, fakta sosial atau aturan norma-norma yang tidak di sadari.
Pada tataran langue struktur tertentu dalam sebuah legenda dapat ditunjukan.
Sedangkan parole adalah tuturan yang bersifat indifidual, ia merupakan
cerminan kebebasan seseorang. Penceritaan legenda yang berbeda-beda
merupakan implikasi dari parole (Putra, 2006:44-45).
Selanjutnya, seperti dalam linguistik, diakronik adalah dimensi waktu
(bersifat historis, menyangkut perkembangan masa lalu, masa kini, dan yang
akan datang). Sedangkan sinkronik adalah aspek yang merepresentasikan
36
bahasa pada setiap kejadian pada waktu tertentu. Dimesi sinkronik yang ada
dalam legenda adalah rangkaian mytheme-mytheme yang secara struktural
terkait (Badcock, 2008:77).
Selain persamaan-persamaan legenda dan bahasa, juga terdapat
perbedaan antara keduanya. Hal yang membedakan legenda dengan bahasa
adalah legenda mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini
membuat legenda dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan
sifat-sifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak dapat
di ubah semena-mena (Putra, 2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak
hati-hati dapat mengubah makna.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan di atas Levi-Strauss
mengemukakan implikasi analisis legenda. Jika bahasa tersusun atas unit
terkecil seperti fonem dan morfem, maka legenda tersusun atas gross
constituent unit atau mythemes. Mythemes merupakan bagian atau unsur
terkecil dari legenda yang biasanya berbentuk satu kalimat singkat, yaitu
kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono, 2001:25). Mytheme
inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah
mitos. Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi-Strauss adalah kajian
tentang interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar legenda.
Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural,
yaitu konsep struktur dan transformasi, struktur adalah suatu model yang di
buat untuk memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi-Strauss
membedakannya menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar
37
(Surface Structure) dan struktur dalam sebagai struktur batin(deep structure).
Strutur luar adalah relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar
atau empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah
susunan tertentu yang dibangun berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu
tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dianalisis. Struktur dalam
seringkali merupakan struktur tetap yang sangat jarang (tidak) mengalami
perubahan (Ratna, 2008:11-16).
Berdasarkan konsep-konsep teoritis sebagaimana yang dijelaskan di
atas Levi-Strauss telah menganalisis berbagai dongeng hampir di seluruh
dunia. Salah satunya adalah dongeng tentang seorang Indian bernama
Asdiwal. Menurutnya, dongeng ini merupakan simbolisasi kegagalan dari
upaya nalar dan Thimshian (kolektifnya) untuk mendamaikan, menyatukan,
paradoks-paradoks yang ada pada kehidupan mereka, termasuk diantaranya
tentang kehidupan sosial, yang muncul karena adanya pola matrinilinear
yang berlawanan dengan pola tempat tinggal patrilokal. Paradoks ini berusaha
diselesaikan lewat perkawinan matrilinear cross-coussin, tetapi ternyata tetap
gagal. Kegagalan ini sulit diakui dalam kenyataan, tetapi lewat mitos-mitos
mereka, orang Thimsian memberikan pengakuan atas kegagalan tersebut
(Putra, 2006:135).
2.3.3 Teori Belajar
Teori belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu
teori sebelum abad ke-20 dan teori belajar abad ke-20. Yang termasuk teori
belajar sebelum abad ke-20, yaitu teori disiplin mental, teori pengembangan
38
alamiah, dan teori apersepsi. Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan
berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen.
Sedangkan teori belajar abad ke-20, dibagi menjadi dua macam, yaitu teori
belajar perilaku (behavioristik) dan teori belajar Gestalt-field. Teori belajar
perilaku (behavioristik), berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan
teori belajar Gestalt-field, berlandaskan kepada segi kognitif (Ali, 2000: 20).
Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical
Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law
Of Effect oleh Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta
Teori Operant Conditioning oleh Skiner (Dahar, 1989: 39). Sedangkan teori
belajar Gestalt-field (teori belajar kognitif), meliputi teori belajar bermakna
oleh Ausubel, teori belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori
Webteaching oleh Norman, teori Hirarki belajar oleh Gagne, dan teori
perkembangan oleh Piaget. Teori Piaget biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar
Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori Piaget
sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam
Hamzah, 2001). Pernyataan ini didukung oleh Sadia (2006), yang
mengemukakan bahwa pandangan konstruktivisme berakar pada teori struktur
39
genetik Piaget. Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang
dikembangkannya, Piaget juga dikenal sebagai konstruktivis pertama.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, teori yang menjadi pijakan
dalam pembelajaran cerita rakyat La Hila adalah teori konstruktifisme yang
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget.
Dasar teori belajarnya termasuk dalam rumpun belajar information-processing
models dan teori belajar Gotsky yang termasuk ke dalam social interaction
models yang menekankan keaktifan seseorang dalam belajar.
2.3.4 Model Pembelajaran Cerita Rakyat La Hila di SMP
Model adalah sesuatu yang mengambarkan adanya pola berpikir.
Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling
berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk
mengkongkritkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan
representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut.
Morisson, Ross, dan Kemp (pribadi,2009:86) mengatakan bahwa
model atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau
kegiatan pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik
dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktifitas pembelajaran yang
lebih efektif dan efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan
sebagai alat konseptual pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis,
merancang, menciptakan mengevaluasi proram pembelajaran, dan program
pelatihan.
40
Pada umumnya, setiap desain atau model pembelajaran memiliki
keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang
digunakan. Begitu juga perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah
yang digunakan. Namun demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip
yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas.
Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran,
tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu mengatasi segala
kesulitan.
Model pembelajaran menurut Joice dan Weil (2000:13) adalah suatu
deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan
kurikulum, kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran,
perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program
multimedia dan bantuan belajar melalui alat-alat elektronik berupa komputer.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model
pembelajaran cerita rakyat La Hila di SMP adalah membuat sebuah model
atau desain pembelajaran dengan cerita La Hila sebagai bahan ajarnya. Model
pembelajaran yang akan diterapkan adalah model pembelajaran kontekstual.
(contextual teaching and learning – CTL).
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan model
pembelajaran kontekstual pada cerita rakyat La Hila di SMP dapat dijelaskan
sebagai berikut.
41
a. Tinjauan Kurikulum mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.
Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 mengenai standar
Nasional Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah
tersebut memberikan gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan
dilaksanakan delapan standar Nasional Pendidikan dan Tenaga kependidikan.
Standar Nasional Pendidikan juga digunakan sebagai acuan pengembangan
kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan
pembiayaan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu
produk pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut
dengan silabus. Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada satu
dan/kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencangkup standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian kopetensi untuk penilaian, alokasi waktu,
dan sumber belajar.
Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP masuk dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam
empat keterampilan bahasa yaitu : mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis.
Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang
memisahkan pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam
materi bahasa indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi
42
pembelajaran bahasa indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis dan apresiasi sastra.
Pada pengembangan silabus Bahasa Indonesia untuk tingkat SLTP
terdapat materi yang berkaitan dengan cerita rakyat yang tercantum dalam
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). SK kelas VII
semester satu, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan
pada KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang
diperdengarkan dan menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan
dengan situasi sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan
KD kelas X semester dua yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang
di tuturkan) (SK) dan menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita
rakyat yang disampaikan langsung atau melalui rekaman (KD).
Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat La Hila
mempunyai kesempatan yang baik untuk dijadikan salah satu materi
pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Cerita La Hila sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia di SMP
memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh pengalaman
melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri
sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para
budayawan atau seniman mengenai keberadaaan sekolah sebagai bagian
terpenting dalam mengestafetkan tradisi daerah kepada generasi sekarang dan
generasi mendatang.
43
Kemungkinan cerita La Hila sebagai bahan ajar materi mata pelajaran
Bahasa Indonesia di SMP tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus
memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.
Untuk mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan
uraian berkaitan dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.
b. Pemilihan Bahan Ajar Dalam Pendidikan
Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru
ketika memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus)
hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini
diserahkan kepada guru dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan
mengenal pada subjek pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan
sehingga lebih mengetahui persoalan yang dihadapi. Namun demikian,
kelonggaran pemilihan bahan ajar ini bagi sebagian guru menjadi sebuah
beban karena harus dipusingkan atau direpotkan untuk mencari bahan ajar.
Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian
terhadap cerita La Hila sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat
membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat.
Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam
rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci,
jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep,
prinsip, prosedur) ketrampilan, sikap atau nilai.
44
Pembelajaran prosa fiksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
( KTSP ) termasuk dalam standar kompetensi yang harus diajarkan oleh guru
dalam materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukkan bahwa materi prosa
fiksi merupakan materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran
sastra di sekolah.
Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis
dan kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk
memilih objek bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi
siswa. Prinsip dasar dalam pemilihan bahan-bahan pembelajaran yang
disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu
tahapan pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26).
Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa
aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993:27-31) ada tiga
aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan
pembelajaran sastra, yaitu: 1) bahan; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar
belakang kebudayaan siswa.
1) Aspek Bahasa
Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan
berkembang melalui tahap-tahap yang mudah di identifikasi. Sebaliknya,
bahasa dalam sastra sering tampak rumit karena permasalahan yang
diungkapkan, teknik penulisan, serta bahasa dalam karya sastra yang
memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini, maka guru diharapkan
45
dapat memilih karya sastra yang di dalamnya menggunakan kosa kata dan
ungkapan-unkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata yang
tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan
penjelasan.
2) Aspek Psikologi
Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai
dewasa melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8-9 tahun),
pada tahap ini imaji anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih
penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik
(10-12 tahun) pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan
mengarah kerealitas. Meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat
sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita kepahlawanan,
petualangan, dan bahkan kejahatan. Ketiga, tahap relistik (13-16 tahun),
sampai tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan
sangat berminat realitas atau hal yang benar-benar nyata. Mereka terus
berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk
memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Keempat, tahap
realistik (16 tahun ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya berminat
pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk
menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.
Mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena
tersebut yang kadang-kadang mengarah kepada pemikiran filsafat untuk
menentukkan keputusan-keputusan moral.
46
3) Aspek Latar Belakang Budaya
Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor
kehidupan manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi,
iklim, mitologo,legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir nilai-nlai
masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral dan lain sebagainya.
Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra
berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka.
Mungkin mereka tertarik dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau
kelompok masyarakat tertentu. Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih
menarik perhatian mereka karena ada kecendrungan pada mereka untuk
mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh tersebut. Terlebih lagi jika tokoh
tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengan mereka
atau orang-orang di sekitar mereka.
c. Model Pembelajaran Kontekstual
Andriana (Sudarmono, 2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran
dengan metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru
menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan
pembelajaran yang memotifasi bahwa agar menghubungkan pengetahuan
dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual
merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi
47
pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam
konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi
belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses
berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh,
yang tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif
dan juga psikomotor.
Sanjaya (2010:255) menyampaikan bahwa Cotestual Teaching and
Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan
pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.
Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu;
kostruktifisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan,
refleksi, dan penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu
pembelajaran dikatakan pembelajaran kontekstual jika dalam
pembelajarannya menerapkan tujuh komponen tersebut.
a. Konstruktifisme
Konstruktifisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan
kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa
pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).
48
Teori konstruktifisme dapat diartikan bahwa siswa harus
mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar
lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan
mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus di
milikinya.
b. Menemukan
Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan
pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa diharapkan dari hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat
seperangkat fakta. Guru dituntut agar dalam merancang kegiatan
pembelajaran, sejauh mungkin agar bersifat inquiri untuk semua topik yang
diajarkan.
c. Bertanya
Nurwanti (Sudarmono,2009:41) mengemukakan bahwa kegiatan
bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi;
1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek
pemahaman siswa; 3) membangkitkan respon siswa; 4) mengetahui sejauh
mana keinginan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang sudah di ketahui siswa;
6) mengfokuskan perhatian siswa; 7) membangkitkan pertanyaan yang
lebih banyak dari siswa; 8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d. Masyarakat Belajar
Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh
hasil pembelajaran melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini
49
guru berupaya menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan
kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. Melalui kegiatan
berkelompok terjadi kerjasama antar siswa dan kerjasama siswa dengan
guru, yang bersifat terbuka.
e. Pemodelan
Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang
konkrit, agar pembelajaran dapat cepat di kuasai siswa. Untuk
memunculkan suasana yang konkrit ini, guru dapat memunculkan model
sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, atau bahkan melalui
media yang sebenarnya.
f. Refleksi
Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa
merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya.
Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir
kebelakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak
untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan. Hal ini dapat memberikan umpan balik bagi guru,tentang
pembelajaran yang telah di laksanakan. Sehingga guru dapat menilai,
memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.
g. Penilaian yang sebenarnya
Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa
memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus
50
memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
d. Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat La Hila
Rancangan model pembelajaran cerita La Hila yang akan diterapkan
mengadopsi dari model-model mengajar dan komponennya yang disampaikan
oleh Joyce dan Weill. Joyce dan Weill (19980:9) membagi model mengajar
kedalam empat rumpun,yaitu; 1) The second Interaction Sources (model
interaksi sosial); 2) The Information Processing Sourcess( model pemprosesan
informasi); 3) The Personal Sourcess (model personal/pribadi); 4) Behaviour
Modification as a Sourcess (model prilaku). Setiap rumpun terdiri atas
beberapa model mengajar berdasarkan teori yang disusun para ahli sehingga
nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori para ahli dan tujuan
yang hendak di capai.
Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat La Hila yang akan di
susun berdasarkan pada rumpun The Information Processing Sourcess (model
pemprosesan informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara indifidu
memberikan respon yang datang dari lingkungannya dengan cara
mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan
rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan
nonverbal. Selain itu, model ini juga memberikan kepada siswa sejumlah
konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan
pembangunan kreatif.
51
Joyce dan Weill (1980) mengemukakan bahwa sebuah model
mengajar memiliki empat komponen. Keempat komponen yang ahrus ada
dalam setiap model mengajar itu adalah: 1) Orientation the model (orientasi
model), 2) The model of teaching (model mengajar), 3) application
(penerapan), 4) Instructional and Nurturant effect (dampak pengajaran dan
penyerta). Pada komponen The model of teaching (model mengajar), terbagi
atas syntax (urutan kegiatan), Social System (sistem sosial), Prinsipall of
raction (prinsip reaksi), dan Suport system (sistem penunjang).
Penerapan model pembelajaran cerita La Hila berdasarkan komponen-
komponen tersebut.
52
50
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena bahan yang akan diteliti berupa cerita
rakyat La Hila sebagai sebuah material.
Fraenkel & Wallen (2007:430), menyatakan bahwa penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang mengharuskan peneliti mengkaji fenomena yang
terjadi secara alamiah dengan segala kompleksitasnya. Pengkajian terhadap
fenomena ini, juga sesuai dengan dengan apa yang diungkap oleh Sukmadinata
(2009:60) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok. Penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau
kalimat yang dibedakan menurut unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu untuk
memperoleh simpulan.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif merupakan suatu metode untuk menggambarkan keadaan obyek
yang diteliti yang sekaligus menguraikan aspek-aspek yang dijadikan pusat
perhatian dalam penelitian. Metode deskriptif digunakan untuk membantu upaya
identifikasi dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian.
Menurut Ratna (2007:39), metode analisis deskriptif adalah metode yang
digunakan dengan cara menganalisis dan menguraikan data untuk mengganbarkan
53
keadaan objek yang diteliti dan menjadi pusat perhatian peneliti. Metode
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian,yang
terjadi pada saat penelitian berlangsung. Penelitian yang menggunakan metode
deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisis dan interpretasi dari data tersebut. Dengan kata lain, metode
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti dengan
menguraikan hal-hal yang menjadi pusat perhatian dan mendukung objek
penelitian.
Metode deskriptif yang diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan
kegiatan analisis sebagai upaya memahami, memberi tafsiran dan memberikan
penjelasan sedalam-dalamnya terhadap cerita rakyat La Hila, dengan fokus
analisis pada struktur, nilai moral, serta model pembelajarannya.
3.2 Instrumen Penelitian
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Hal ini mengacu
pada pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif. Borg and Gall (Sugoyono,
2010:296) mengatakan bahwa “ qualitative research is much more difficult to do
well than quantitative research because the data collected are usually subjective
and then main measurement tool for collecting data is the investigator himself”.
Penelitian kualitatif lebih sulit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, karena
data yang terkumpul bersifat subjektif dan instrumen sebagai alat pengumpulan
data adalah peneliti itu sendiri.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Bogdan and Biklen (Frankel & Wallen,
2007:430) yang menyebut salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah “ the
54
natural setting is the direct source of data, and the researches is the key
instrument in qualitative research”.
Peneliti sebagai instrument kunci dalam penelitian ini, menganalisis data-
data sesuai dengan fakta-fakta yang dijumpai di lapangan dengan metode yang
digunakan dalam penelitian. Penganalisisan struktur cerita La Hila menggunakan
teori strukturalisme Levi Strauss. Alat untuk mengumpulkan data yang digunakan,
berupa pedoman wawancara, untuk wawancara terarah, tape recoder, kamera dan
catatan lapangan.
3.3 Data dan Sumber Data
Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh dari lapangan langsung, baik dalam bentuk observasi
atas sejumlah peninggalan maupun wawancara kepada sejumlah informan yang
sebelumnya telah diseleksi berdasarkan usia, pendidikan, kedudukan di
masyarakat, dan pengetahuan tentang obyek penelitian. Sedangkan data sekunder
adalah data diperoleh dari buku, jurnal, website, foto-foto, peta wilayah,
monografi dan sumber lain yang berkaitan dengan obyek penelitian. Sumber data
yaitu masyarakat pemilik cerita rakyat La Hila yaitu masyarakat desa Kala,
Kecamatan Donggo. Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dan akurat penulis menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut.
55
1) Tehnik observasi
Teknik observasi mengharuskan peneliti langsung terjun ke tempat atau
daerah yang menjadi obyek penelitian. Tempat penelitian yang menjadi
obyek penelitian yaitu Desa Kala, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima.
Teknik ini digunakan penulis dengan tujuan mendapatkan informasi
mengenai data yang dibutuhkan dan merupakan tindakan nonverbal. Data
yang diinginkan dari teknik ini adalah informasi mengenai kondisi fisik dan
sosial budaya masyarakat Desa Donggo seperti batas wilayah. Desa, kondisi
sosial budaya seperti interaksi masyarakat.
2) Teknik wawancara
Teknik wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data
menggunakan teknik yang disampaikan oleh Danandjaya (2007:195-198)
yang menyebutkan bahwa untuk keperluan penelitian folklor pada umumnya
ada dua macam yaitu wawancara terarah dan tidak terarah agar tidak ada
jarak dan menghindari kekakuan antara responden dan penulis sendiri
sehingga tercipta suasana akrab dan kekeluargaan. Data teks lisan cerita La
Hila yang masih berada ditengah masyarakat diperoleh dengan menempuh
langkah-langkah sebagai berikut. 1) Perekaman (wawancara); 2) Transkripsi
hasil rekaman dan translasi; 3) Perbandingan hasil rekaman dari beberapa
narasumber sehingga dihasilkan teks yang lengkap; 4) Penetapan teks dan
penyuntingan.
Teknik wawancara juga dipergunakan untuk memperoleh informasi
tentang penyebaran cerita La Hila di Kabupaten Bima. Dalam hal ini
56
wawancara dilakukan dengan informan dari tokoh masyarakat, perangkat
desa, dan dinas-dinas terkait seperti dinas pendidikan dan kebudayaan, Dinas
Pariwisata, dan Museum Kabupaten Bima.
Penelitian cerita La Hila sebagai bahan pembelajaran sastra di SMP
diperoleh dengan jalan wawancara sejumlah guru Bahasa Indonesia di SMP 1
Negeri Donggo Kabupaten Bima. Informasi dari guru bahasa Indonesia ini
untuk mengetahuhi kemungkinan cerita La Hila ini digunakan sebagai
alternatif pembelajaran sastra di SMP.
Penggunaan teknik wawancara baik yang terarah maupun yang tidak
terarah digunakan untuk memperoleh data teks lisan cerita La Hila ,
informasi mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Desa Donggo, dan
informasi mengenai keberadaan teks cetak cerita La Hila.
3) Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi ini penulis gunakan sebagai langkah untuk
mendokumentasikan berbagai fakta atau keterangan seperti profil daerah
maupun sumber data berupa bukti-bukti peninggalan-peninggalan sejarah
yang ada hubungannya dengan data penelitian.
4) Teknik Rekaman
Teknik rekaman yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara melakukan rekaman terhadap data yang diceritakan oleh
informan. Teknik rekaman digunakan karena yang menjadi objek penelitian
adalahberupa cerita lisan. Cerita ini direkam dari beberapa informan, rekaman
57
tersebut berisi data yang berupa cerita legenda La Hila dalam masyarakat
desa kala, kecamatan Donggo, kabupaten Bima.
3.5 Validitas Data
Validitas data merupakan jaminan bagi kemapanan kesimpulan dan tafsir
makna sebagai hasil penelitian untuk menjamin validitas/keabsahan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara Triangulasi data, yaitu Cross Check antara
data yang satu dengan data yang lain.
Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat
menggambungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang
telah ada (Sugiyono, 2005:83). Bila penelitian melakukan pengumpulan data
dengan Triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus
menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kreadibilitas data dan berbagai sumber
data.
Patton (dalam Sutopo, 2002:78), mengatakan bahwa ada empat macam
teknik Triangulasi, yaitu (1) Triangulasi data (data triangulation), (2) Triangulasi
peneliti (Investigatos Triangulation), (3) Triangulasi Metodelogis
(Methodological Triangulation), (4) Triangulasi Teoritis (Teoritical
triangulation).
Adapun fokus triangulasi pada penelitian ini yaitu triangulasi data dengan
cara mengarahkan penelitian agar didalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan beragam sumber data yang tersedia, artinya data yang sama atau
sejenis, akan lebih valid kebenarannya bila digali dari sumber data yang berbeda.
58
3.6 Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis data
dengan metode deskriptif. Langkah analisis ini meliputi lima tahapan. Pertama,
menyangkut kondisi social geografis yang berkaitan dengan cerita La Hila.
Kedua, analisis menyangkut identifikasi dan deskripsi teks. Ketiga, analisis yang
berkenaan dengan struktur cerita La Hila dilakukan dengan pendekatan Levi-
Strauss. Keempat, analisis terhadap nilai moral yang terkandung dalam cerita La
Hila dengan latar belakang budaya Donggo. Kelima, analisis terhadap model
pembelajaran cerita rakyat La Hila sebagai bahan ajar di SMP Negeri Donggo.
Analisis tahap kedua adalah identifikasi dan deskripsi teks lisan. Analisis
ini penting dilakukan berkenaan dengan cara kerja filolog, yakni mencari
(mendeskripsikan) teks lisan yang berada di masyarakat. Deskripsi teks lisan
dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan. Metode ini dilakukan
dengan membandingkan beberapa hasil wawancara dengan sejumlah informan.
Setelah dibandingkan kemudian diperoleh suntingan teks lisan yang lengkap.
Analisis tahap ketiga menggunakan pendekatan strukturalisme Levi-
Strauss. Secara khusus langkah-langkah analisis penelitian mengadopsi langkah
analisis strukturalisme Levi-Strauss yang dilakukan Heddy Shri Ahimsa Putra.
Langkah-langkahnya sebagai berikut.
1) Data hasil suntingan yang lengkap dibaca secara keseluruhan, dari proses
pembacaan diperoleh pengetahuan mengenai tema, isi cerita, tokoh-tokoh,
dan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh tersebut.
59
2) Teks cerita La Hila dibagi menjadi episode-episode, penentuan episode ini
untuk memudahkan pencarian ceriteme dan membentuk skema-skemanya .
3) Menentukan sistem oposisi binair dan membentuk struktur-struktur
permukaan. Sruktur permukaan tersebut selanjutnya dihubungkan dengan
latar belakang kebudayaan di mana teks tersebut lahir, sehingga dihasilkan
struktur dalam. Latar belakang kebudayaan yang digunakan pada cerita La
Hila adalah budaya Donggo, mengingat cerita ini lahir dan berkembang di
Daerah Donggo. Berdasar pada struktur dalam inilah, dapat dilihat makna-
makna apa saja yang tersirat dalam cerita La Hila. Makna-makna itulah yang
merupakan pesan yang ingin disampaikan masyarakat pendahulu kepada
masyarakat penerusnya.
Analisis tahap keempat, yaitu analisis terhadap nilai-nilai moral yang
terkandung dalam cerita La Hila dilakukan dengan menganalisis pesan-pesan
yang diperoleh kepada tahap ketiga dengan latar belakang budaya Bima. Hal ini
dilakukan karena cerita La Hila ada dan berkembang di masyarakat Bima.
Sehingga para pendahulu akan menyampaikan ajaran-ajaran sesuai dengan tata
kehidupan yang dimilikinya.
Analisis mengenai nilai moral dalam cerita La Hila ini menggunakan
model analisis konten yang di lakukan Endraswara (2006:83) dalam kaitannya
dengan nilai moral atau budi pekerti: 1) budi pekerti yang berhubungan antara
manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slamatan dan lain
sebagainya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, 3)
budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam sekitar, 4) budi
60
pekerti yang berhubungan antara manusia dengan mahluk lain, misalnya jin, setan,
hewan,tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia
dengan dirinya sendiri. Teknik analisisnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Analisis Nilai
Struktur cerita La Hila yang telah ditentukan dari proses analisis struktur,
yakni struktur dalam dan luar selanjutnya dihubungkan dengan kebudayaan
Donggo sebagai budaya masyarakat pemiliknya. Dari hubungan ini diambil nilai-
nilai moral menurut pandangan orang Bima bagaimana cerita La Hila
menggambarkan bagaimana sebaiknya manusia dalam kehidupannya.
Analisis yang terakhir, adalah analisis terhadap cerita La Hila sebagai
bahan pembelajaran sastra di SMP. Analisis terkait dengan model pembelajaran
ini dititikberatkan pada penggunaan cerita La Hila sebagai bahan ajar di SMP.
Penggunaan cerita La Hila sebagai bahan ajar ini memperhatikan beberapa hal
yang terkait dengan upaya memasukkan cerita La Hila sebagai bahan ajar. Hal-hal
61
Cerita La Hila
Struktur luar
Oposisi benair
Struktur dalam
Nilai moral manusia
Tuhan manusia Alam Diri sendiriMahluk lain
tersebut adalah tinjauan kurikulum di SMP, model pembelajaran kontekstual, dan
kriteria pemilihan bahan ajar.
62