Bab 1 Fraksionasi

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Percobaan Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa mampu: a. Menjelaskan pengaruh variabel terhadap produk fraksionasi biomassa b. Menghitung neraca massa pada sistem fraksionasi biomassa c. Menghitung d. Menghitung yield pada sistem fraksionasi biomassa e. Menghitung persentase recovery komponen- komponen utama biomassa f. Bekerjasama dalam tim secara profesional 1.2 Pengenalan Biomassa Perkembangan peradaban masyarakat yang mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan disertai dengan perusakan lingkungan yang serius bukanlah sebuah fenomena baru. Untuk mengatasi risiko tersebut, masyarakat harus mulai mempersiapkan transisi dari pembangunan yang didasarkan pada sumber daya alam non-terbarukan, menuju sumber daya alam yang terbarukan agar tidak lagi bergantung pada sumber fosil. Biomassa merupakan solusi yang paling tepat untuk produksi energi yang berkelanjutan (Villaverde et al.,2010).

description

cxv

Transcript of Bab 1 Fraksionasi

Page 1: Bab 1 Fraksionasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan

Setelah mengikuti praktikum ini, mahasiswa mampu:

a. Menjelaskan pengaruh variabel terhadap produk fraksionasi

biomassa

b. Menghitung neraca massa pada sistem fraksionasi biomassa

c. Menghitung

d. Menghitung yield pada sistem fraksionasi biomassa

e. Menghitung persentase recovery komponen-komponen utama

biomassa

f. Bekerjasama dalam tim secara profesional

1.2 Pengenalan Biomassa

Perkembangan peradaban masyarakat yang mengeksploitasi sumber daya

alam secara berlebihan dan disertai dengan perusakan lingkungan yang serius

bukanlah sebuah fenomena baru. Untuk mengatasi risiko tersebut, masyarakat

harus mulai mempersiapkan transisi dari pembangunan yang didasarkan pada

sumber daya alam non-terbarukan, menuju sumber daya alam yang terbarukan

agar tidak lagi bergantung pada sumber fosil. Biomassa merupakan solusi yang

paling tepat untuk produksi energi yang berkelanjutan (Villaverde et al.,2010).

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis,

baik berupa produk maupun buangan. Diantara sumber-sumber biomassa

terbarukan seperti kayu, non-kayu, rumput, pelepah sawit, pepohonan, umbi-

umbian, limbah pertanian, jerami gandum, ampas tebu, batang dan tongkol jagung

adalah contoh biomassa yang dapat diolah menjadi energi dan dapat menjadi

objek dari penelitian yang penting agar dapat memenuhi kebutuhan manusia.

Energi tersebut tergolong energi ramah lingkungan yang bahan dasarnya

disediakan alam. Namun, penggunaan energi dari biomassa kadang membawa

dampak sampingan yang tidak diinginkan. Dalam sektor energi, biomassa

merujuk pada bahan biologis yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar.

Page 2: Bab 1 Fraksionasi

Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan

biomassa sebagai sumber energi. Misalnya dengan memakai kayu untuk

menyalakan api unggun. Sejak manusia beralih pada  minyak, gas bumi atau batu

bara untuk menghasilkan tenaga, penggunaan biomassa tergeser dari kehidupan

manusia. Namun, persediaan bahan bakar fossil sangat terbatas. Para ilmuwan

memperkirakan dalam hitungan tahun persediaan minyak dunia akan terkuras

habis. Karena itu penggunaan sumber energi alternatif kini digiatkan, termasuk di

antaranya penggunaan biomassa.

Biomassa dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam

penggunaan tidak langsung, biomassa diolah menjadi bahan bakar. Umumnya

yang digunakan sebagai bahan bakar adalah biomassa yang nilai ekonomisnya

rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya. Contohnya,

kelapa sawit yang diolah terlebih dahulu menjadi biodiesel untuk kemudian

digunakan sebagai bahan bakar (Dimas, 2008).

Komponen utama penyusun biomassa adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

a. Selulosa

Selulosa merupakan komponen kimia biomassa yang terbesar, yang

jumlahnya mencapai hampir setengah bagian biomassa. Selulosa adalah

komponen dasar pada dinding sel dan serat. Selulosa terdapat pada semua

tanaman tingkat tinggi hingga organisme tumbuhan yang primitif. Selulosa juga

terdapat pada binatang yakni jenis tunicin, zat kutikula tunicat dalam jumlah yang

sedikit (Fengel dan Wegener, 1985).

Selulosa adalah polimer glukosa yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini

memungkinkan selulosa saling menumpuk atau terikat menjadi bentuk serat yang

sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit glucan di

dalam polimer, disebut dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerisasi

selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 200– 27000

unit glucan (Sa’adah, 2010).

Page 3: Bab 1 Fraksionasi

Gambar 1.1 Struktur Selulosa (Hu, 2008)

Sellulosa adalah polimer yang tidak bercabang yang terdiri dari 100-

14.000 monosakarida atau lebih (Beguin and Aubert, 1994 : Lehninger, 1982).

Ikatan β(1→4) tidak dapat diputuskan oleh enzim α-amilase (Lehninger, 1982).

Molekul-molekul sellulosa seluruhnya berbentuk linier, dimana setiap molekul

glukosa sebagai penyusun polimer dapat berotasi hingga 180° (Brown, 1996) dan

mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hydrogen intra dan

intermolekul. Ikatan antar fibril ini yang kemudian membentuk selulosa

crystalline (Brown et al., 1996). Jadi berkas-berkas molekul sellulosa membentuk

agregat bersama-sama dalam bentuk mikrofibril. Mikrofibril mimiliki dimensi

antara 3-4 nm pada tanaman tingkat tinggi hingga 20 nm pada Valonia

macrophysa, dimana setiap mikrofibril terdiri dari beberapa rantai selulosa.

Mikrofibril ini memiliki oritentasi yang sangat besar untuk tersusun secara pararel

(Beguin and Aubert, 1994). Mikrofibril ini pada tempat-tempat tertentu memiliki

struktur yang teratur (crystalline) dan pada tempat-tempat tertentu memiliki

struktur yang kurang teratur (amorphous). Struktur amorphous terjadi karena

prose kristalisasi yang tidak berlangsung sempurna pada semua mikrofibril yang

terbentuk (Linder dan Teeri, 1997). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan

akhirnya serat-serat sellulosa. Struktur sellulosa yang berserat dan terdapat ikatan-

Page 4: Bab 1 Fraksionasi

ikatan hidrogen yang kuat mengakibatkan dapat tahan terhadap tarikan tinggi

(Sjostrom, 1995 ; Beguin and Aubert, 1994). Jumlah selulosa amorphous dan

crystalline di alam sama banyak. Selulosa terakumulasi di alam karena relatif

resisten di dalam proses degradasi (proses degrdasi di alam berjalan lambat).

Dimensi serat selulosa dan proporsi dari bagian kristalin dan amorphous sangat

tergantung kepada keadaannya alami (jenis tanaman dan umur tanaman) (Linder

dan Teeri, 1997). Diperkirakan bahwa jumlah karbon terbanyak terdapat dalam

bentuk selulosa dan mayoritas terdapat di lingkungan teresrial (Levin et al., 2009).

Karena itu material selulosa berbeda menunjukkan sifat yang berbeda tergantung

kepada sumber yang digunakan dan metode ekstrasi yang dilakukan, dan jumlah

substrat berbeda yang digunakan dan jenis enzim selulosa yang digunakan (Linder

dan Teeri,1997).

Selulosa dapat larut dalam asam pekat (seperti asam sulfat 72%) yang

mengakibatkan terjadinya pemecahan rantai selulosa secara hidrolisis. Hidrolisis

selulosa ini dapat terhalang oleh lignin dan hemiselulosa yang ada di sekitar

selulosa. Namun laju hidrolisis selulosa akan meningkat seiring kenaikan

temperatur dan tekanan (Fengel dan Wegener, 1985).

Selulosa digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan

kertas. Selulosa juga digunakan dalam pengolahan kopi dan kadang-kadang

digunakan dalam industri farmasi sebagai zat untuk membantu sistem pencernaan.

Selulosa juga dimanfaatkan dalam proses fermentasi dari biomassa menjadi

biofuel, seperti bioetanol. Saat ini, enzim selulosa juga digunakan sebagai

pengganti bahan kimia pada proses pembuatan alkohol dari bahan yang

mengandung selulosa (Sa’adah, 2010).

b. Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah bagian dari kelompok polisakarida yang memiliki

rantai pendek dan bercabang. Pada tumbuhan, hemiselulosa berfungsi sebagai

bahan pendukung dinding sel. Hemiselulosa juga merupakan senyawa polimer

yang terdapat pada biomasa. Pada berbagai jenis tanaman, jumah dan jenis

monomer penyusun hemiselulosa berbeda-beda.

Page 5: Bab 1 Fraksionasi

Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula.

Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa, hemiselulosa

tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa

terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6 (C-6), misalnya: xylosa,

mannose, glukosa, galaktosa, arabinosa, dan sejumlah kecil rhamnosa, asam

glukoroat, asam metal glukoronat, dan asam galaturonat (Sa’adah, 2010). Xylosa

adalah salah satu gula C-5 dan merupakan gula terbanyak kedua di biosfer setelah

glukosa. Struktur penyusun dari hemiseluloda dapat dilihat pada gambar 2.Jumlah

hemiselulosa di dalam biomassa lignoselulosa sebesar 11% hingga 37 % (berat

kering biomassa). Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa, tetapi

gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada gula C-6.

Gambar 1.2 Struktur Hemiselulosa (Isroi, 2008)

c. Lignin

Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit phenylphropane

yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin berfungsi sebagai pengikat

matrik selulosa. Unit-unit pembentuk lignin terdiri dari p-koumaril alkohol,

koniferil alkohol, dan sinapil alkohol yang merupakan senyawa induk pembentuk

makromolekul lignin. Lignin sangat resisten terhadap degradasi, baik secara

biologi, enzimatis, maupun kimia. Karena kandungan karbon yang relatif tinggi

dibandingkan dengan selulosa dan hemiselulosa, lignin memiliki kandungan

energi yang tinggi (Sa’adah, 2010). Pada gambar 3 dapat dilihat stuktur dari

lignin.

Page 6: Bab 1 Fraksionasi

Tabel 1.1 Kandungan Lignoselulosa Berbagai Biomassa

Biomassa Lignin

(%)

Selulosa

(%)

Hemiselulosa (%)

Rice straw 21 38 25

Oil palm empty fruit

bunches

10 50,4 21,9

Hardwoods stems 18 40 24

Softwoods stems 25 45 25

Nut Shells 30 25 25

Corn cobs 15 45 35

Grasses 10 25 35

Paper 0 85 0

Wheat straw 15 30 50

Sorted refuse 20 60 20

Leaves 0 15 80

Cotton seed hairs 0 80 5

Solid cattle manure 2,7 1,6 1,4

Coastal Bermuda Grass 6,4 25 35,7

Switch grass 12 45 31,4

Baggase 24,05 42,64 25,4

(Sumber : Isroi, 2008)

Untuk itu, lignoselulosa, terutama yang timbul dari residu pertanian, limbah

kehutanan, limbah kertas dan tanaman energi, dapat dijadikan sebagai sumber

daya energi potensial terbarukan. Lignoselulosa yang terdiri dari tiga komponen

yang dominan yakni, selulosa, hemiselulosa dan lignin, dapat digunakan untuk

tujuan lain selain produksi energi. Pada saat ini biomassa yaitu lignoselulosa dan

komponen fraksi merupakan sumber ekonomis bahan bakar cair, makanan, bahan

baku, dan serat. Proses pembuatan pulp secara komersial (kraft dan teknologi

sulfit) menghasilkan pulp berkualitas tinggi, tetapi fraksi seperti lignin dan

Page 7: Bab 1 Fraksionasi

hemiselulosa ( berat sekitar 50% dari berat kering kayu) sering terbuang atau

pemanfaatannya belum optimal seperti sebagai sumber energi. Untuk itu

pembuatan pulp dengan organosolv (berdasarkan pemanfaatan pelarut organik

sebagai media delignifikasi) dapat dianggap sebagai teknologi pemurnian

biomassa , karena produk mengarah ke fase padat yang terdiri dari selulosa serta

liquor yang terdiri dari hemiselulosa dan lignin yang bebas dari belerang. Asam

hidrolisis dapat digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi monomer

pembentuk hemiselulosa.

1.3 Proses Organosolv

Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan menggunakan

bahan kimia organik seperti metanol, etanol, aseton, asam asetat, dan lain-lain.

Proses ini telah terbukti memberikan dampak yang baik bagi lingkungan dan

sangat efisien dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Dengan menggunakan

proses organosolv diharapkan permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh

industri pulp dan kertas akan dapat diatasi. Hal ini karena proses organosolv

memberikan beberapa keuntungan, antara lain yaitu rendemen pulp yang

dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, tidak

menggunakan unsur sulfur sehingga lebih aman terhadap lingkungan, dapat

menghasilkan by-products (hasil sampingan) berupa lignin dan hemiselulosa

dengan tingkat kemurnian tinggi. Ini secara ekonomis dapat mengurangi biaya

produksi, dan dapat dioperasikan secara ekonomis pada kapasitas terpasang yang

relatif kecil yaitu sekitar 200 ton pulp per hari.

Penelitian mengenai penggunaan bahan kimia organik sebagai bahan

pemasak dalam proses pulping sebenarnya telah lama dilakukan. Ada berbagai

macam jenis proses organosolv, namun yang telah berkembang pesat pada saat ini

adalah proses alcell (alcohol cellulose) yaitu proses pulping dengan menggunakan

bahan kimia pemasak alkohol, proses acetocell (menggunakan asam asetat), dan

proses organocell (menggunakan metanol).

Proses alcell telah memasuki tahap pabrik percontohan di beberapa negara

misalnya di Kanada dan Amerika Serikat, sedangkan proses acetocell mulai

diterapkan dalam beberapa pabrik di Jerman pada tahun 1990-an. Proses alcell

Page 8: Bab 1 Fraksionasi

yang telah beroperasi dalam skala pabrik di New Brunswick (Kanada) terbukti

mampu manghasilkan pulp dengan kekuatan setara pulp kraft, rendemen tinggi,

dan sifat pendauran bahan kimia yang sangat baik. (Isroi, 2008)

Gambar 1.3 Prosedur Fraksionasi Lignoselulosa oleh Asam Formiat dengan

Recycle Pelarut (Isroi, 2008)

Organosolv ekstraksi diakui sebagai metode alternatif yang efektif untuk

delignifikasi. Sebagai proses yang murah dan mudah tersedia pelarut organik,

asam formiat menunjukkan potensi sebagai agen kimia untuk fraksionasi

biomassa. Proses fraksionasi biomassa dengan pelarut asam formiat ditunjukkan

pada Gambar 1.3. Selama terjadi proses pembentukan pulp dengan pelarut asam

formiat, lignin larut ke dalam cairan hitam karena terjadi pembelahan lignin o-4

obligasi, sementara hemiselulosa terdegradasi menjadi mono- dan oligosakarida,

meninggalkan padatan selulosa dalam residu. Ketika air ditambahkan ke cairan,

lignin mengendap dan memisahkan dari cairan hitam. Setelah menghasilkan pulp,

asam formiat dapat di-recycle dengan proses distilasi untuk digunakan kembali.

Dalam sebuah proses organosolv, penghilangan lignin dari matriks padat dapat

dicapai dengan menggantikan senyawa sulfur oleh pelarut organik. Senyawa

organik ini menghasilkan delignifikasi dari bahan baku yang lebih baik dari pada

proses kraft. Dengan kata lain, organosolv proses dapat dirancang sebagai metode

fraksionasi lebih dari metode pulping. Artinya, proses fraksionasi ini dapat

dioperasikan pada hampir semua bahan baku untuk menghasilkan komponen

utama dari jaringan tumbuhan (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dalam bentuk

yang lebih baik. Pada Tabel 2 ditampilkan hasil farksionasi biomassa dengan

berbagai macam umpan biomassa dan kondisi operasi tertentu.

Page 9: Bab 1 Fraksionasi

Tabel 2. Hasil Percobaan Fraksionasi Biomassa dengan Berbagai Umpan dan

Kondisi Proses

(Sumber : Zhang et al.,2008)

1.3.1 Proses Acetosolv

Penggunaan asam asetat sebagai pelarut organik disebut dengan proses

acetosolv.Proses inimenggunakanpelarututamayaituasamasetat (93%) dan 0.5 -

3.0% HCI sebagaikatalisnya (Wistara, 2007). Proses acetosolv dalam pengolahan

pulp memiliki beberapa keunggulan, antara lain: bebas senyawa sulfur, daur ulang

limbah dapat dilakukan hanya dengan metode penguapan dengan tingkat

kemurnian yang cukup tinggi, dan nilai hasil daur ulangnya jauh lebih mahal

dibanding dengan hasil daur ulang limbah kraft (Simanjutak, 1994). Keuntungan

dari proses acetosolv adalah bahan pemasak yang digunakan dapat diambil

kembali tanpa adanya proses pembakaran bahan bekas pemasak. Selain itu proses

tersebut dapat dilakukan tanpa menggunakan bahan-bahan organik.(Isroi,

2008).Proses ini menghasilkan by-product berupa furfuraI, levulinic acid,

hydroxyl methyl furfural, metanol, dan methyl acetat (Wistara, 2007).

1.3.2 Ester Pulping

Kayu dimasak pada suhu tinggi (sampai dengan 200 oC) dengan pelarut

berupa air, ethyl acetate, dan asam asetat dengan komposisi yang sama. Ester

pulping ini dianggap memiliki keunggulan dalam recovery bahan kimianya.

Tetapi sampai saat ini proses ester pulping ini belum dikernbangkan lebih lanjut

(Wistara, 2007).

1.3.3 Proses Milox

Proses milox merupakan proses pemasakan tiga tahap yang terdiri dari

pemasakan dengan asam formiat - asam performiat - asam formiat. Proses ini

Page 10: Bab 1 Fraksionasi

menghasilkan pulp dengan bilangan kappa sangat rendah, yaitu 7 - 11 yang

memungkinkan proses pemutihan pulp hanya dengan proksida dan atau ozon.

1.3.4 Process Alcell

Proses Alcell merupakan sebuah proses organosolv berpelarut etanol-air

yang ramah lingkungan. Adapun kelebihan dari proses ini adalah :

a) Dengan media pemasak berupa alcohol dan air, proses ini akan bebas dari

masalah bau akibat senyawa sulfur yang di alami proses kraft dan sulfit.

Emisi senyawa turunan sulfur yang berhubungan dengan hujan asam tidak

akan terjadi.

b) By-products Alcell bersifat renewable. Lignin Alcell dapat mengganti km

resin PF yang dibuat dari petrokimia yang bersumber pada bahan

nonrenewable. Asam asetat yang dihasil kan juga bias mengganti asam

asetat yang diproduksi dari methanol dan CO.

c) Limbah cair yang mengandung klor dapat dikurangi atau bahkan

dihilangkan. Penelitian menunjukkan bahwa derajat purih standar dapat

diperoleh tanpa menggunakan senyawa berklor.

Page 11: Bab 1 Fraksionasi

DAFTAR PUSTAKA

Beguin, P. and Aubert, J. P. 1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiology Reviews, 13, 25-58.

Brown, M. R. Jr. 1996. The biosynthesis of cellulose. Journal macromol science-pure applied chemistry. A33:1345-1373.

Brunow, G., Karhunen, P., Lundquist, K., Olson, S., dan Stomberg, R, 1995, Investigation of Lignin Models of the Biphenyl Type by X-Ray Crystallographydan NMR Spectroscopy. J. Chem. Crystallogr, 25: 1-10.

Fadillah. 2008.Biodelignifikasi Batang Jagung dengan Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium.Surakarta

Fengel, D dan Wegener, G, 1985, Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi, Translated from the English by H. Sastrohamidjojo, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

Hu, G, 2008, Feedstock Pretreatment Strategies for Producing Ethanol from Wood, Bark, And Forest Residu, Bioresources 3(1): 270-294.

Isroi. 2008. “Karakteristik Lignoselulosa sebagai Bahan Baku Bioetanol”, http://isroi.wordpress.com/2008/05/01/karakteristik-lignoselulosa-sebagai-bahan-baku-bioetanol/, diakses pada 25 November 2014

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar biokimia jilid 1. Jakarta: Erlangga.Levin, D. B., Carere C. R., Cicek R., and Sparling R. 2009. Challenges

forbiohydrogen production via direct lignocellulose fermentation. International journal of hydrogen energy, 34:7390–7403.

Linder, M., and Teeri, T. 1997. The role and fungtion of cellulosebinding domains. Journal Biotechnology, 57:15-28.

Sa’adah. 2010.”Produksi Enzim Selulosa oleh Aspergillus niger”, http://eprints.undip.ac.id/13064/1/BAB_I_-_V.pdf,diakses pada 25 November 2014.

Sjostrom, E. 1995. Kimia kayu, dasar-dasar dan penggunaan. Edisi kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Villaverde J J, Ligero P, de Vega A. 2009. Formic and Acetic Acid As Agents for A Cleaner Fractionation of Miscanthus x giganteus. Department of Physical Chemistry and Chemical Engineering, University of A Corun˜a, A Corun˜a 15071, Spain.

Wistara, N J, “KemampuanTeknologiPulp danKertasMutakhirDalamMewujudkanSuatuGreen Lndustri”, http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/24929/prosiding_prospekdantantangan_pengembangan_pulp-7.pdf?sequence=1, diaksespada 25 November 2014.

Zhang M, Qi W, Liu R, Su R, Wu, He Z. 2008. Fractionating lignocellulose by formic acid: Characterization of major components, School of Chemical Engineering and Technology, Tianjin University.