BAB 1

34
BAB 1 STATUS PASIEN 1. PASIEN 1. Identitas Pasien a. Nama/Kelamin/Umur : ny. S / Perempuan/ 39 tahun b. Pekerjaan/Pendidikan : Petani/ SMP c. Alamat : RT 2 Olak Kemang 2. Latar belakang social ekonomi-demografi-lingkungan keluarga a. Jumlah anak : 3 b. Status ekonomi keluarga : Menengah c. Kondisi Rumah : Baik d. Kondisi Lingkungan keluarga : Baik 3. Aspek psikologis di keluarga : Cukup Baik 4. Riwayat penyakit dahulu : a. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sudah menderita penyakit Asma sejak 2 tahun yang lalu 1

description

asma

Transcript of BAB 1

Page 1: BAB 1

BAB 1

STATUS PASIEN

1. PASIEN

1. Identitas Pasien

a. Nama/Kelamin/Umur : ny. S / Perempuan/ 39 tahun

b. Pekerjaan/Pendidikan : Petani/ SMP

c. Alamat : RT 2 Olak Kemang

2. Latar belakang social ekonomi-demografi-lingkungan keluarga

a. Jumlah anak : 3

b. Status ekonomi keluarga : Menengah

c. Kondisi Rumah : Baik

d. Kondisi Lingkungan keluarga: Baik

3. Aspek psikologis di keluarga : Cukup Baik

4. Riwayat penyakit dahulu :

a. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sudah menderita penyakit Asma sejak 2 tahun yang lalu

Riwayat alergi terhadap cuaca dingin dan hujan yang disertai

dengan aktivitas fisik.

Pasien juga memilki riwayat alergi terhadap makanan, khusus

nya makanan laut.

Hipertensi dan diabetes melitus disangkal.

b. Riwayat penyakit Keluarga :

Riwayat batuk lama disangkal

Ibu pasien juga menderita penyakit Asma

1

Page 2: BAB 1

Kondisi Rumah : Pasien tinggal di rumah pribadi berlantai

papan dan beratap seng, berdinding dan beralas kayu. Bagian depan rumah

pasien terdapat jalan yang tidak terlalu besar tapi bisa dilewati oleh motor.

Memiliki 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 2 kamar tidur, 1 ruang TV, 1 dapur

dan 1 kamar mandi di belakang. Sumber air dari sumur. Kamar mandi

menggunakan wc jongkok. Kondisi rumah cukup pencahayaan karena

ventilasi cukup.

c. Kondisi Lingkungan Keluarga: pasien tinggal bersama suami dan

ketiga anak nya, suami pasien merupakan perokok aktif

5. Riwayat penyakit sekarang

a. Anamnesis

Keluhan utama : Sesak napas sejak 2 hari yang lalu

Perjalanan penyakit sekarang

Pasien datang ke Puskesmas Olak Kemang dengan keluhan

Sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Sesak timbul secara tiba-

tiba, Pasien mengaku sesak selalu datang apabila pasien

mengalami batuk, terpapar oleh asap , debu, dan cuaca yang

dingin. Sesak nafas karena beraktifitas disangkal. Sesak nafas

disertai bunyi mengi. Sesak napas tersebut hilang timbul,

sesak terasa lebih berat pada dini hari sehingga menganggu

tidur. Dada tidak terasa nyeri saat bernapas. Pasien lebih

nyaman dengan posisi duduk. Sejak 2 hari yang lalu pasien

juga mengeluh batuk berdahak dengan warna dahak bening

kental. Pasien mengaku kalau serangan terakhir kurang lebih 1

bulan yang lalu.

2

Page 3: BAB 1

6. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Tanda vital : Td:110/80 mmHg T:36,5 ºC

nadi : 100x/I RR 28x/I,

Tinggi Badan : 155 cm

Berat badan : 56 kg

IMT : 50 kg / (1,55)2 = 20,83

( berat badan normal)

Kepala : Normocepal

Mata : ca -/-, si -/-, reflek cahaya (+)

reflek kornea (+/+)

Telinga : Tidak nyeri dan tidak bengkak

Hidung : Simetris, Napas cuping hidung (-), lendir (-/-)

Mulut : Bibir kering(-), sianosi (-)

Tenggorok : T1-T1 Hiperemis(-), faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

Thorak

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,

retraksi (-)

Palpasi : Stemfremitus sama antara kiri dan kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing +/+, rhonki -/-

Cor

3

Page 4: BAB 1

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I/II Reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar, sikatriks (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ektremitas : Akral hangat, edema (-)

7. usulan pemeriksaan

Rongten thorak

8. Diagnosis Banding

Asma Bronkial Eksaserbasi akut

Bronkitis Kronis

9. Diagnosis kerja

Asma Bronkial Eksaserbasi akut

4

Page 5: BAB 1

10. Manajemen

a. Promotif

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit asma, hal-hal apa

saja yang bisa menyebakan terjadinya kekambuhan penyakit

asma.

b. Preventif

Menganjurkan ibu unttuk meningkatkan daya tahan tubuh

dengan makan yang bergizi

Menghindar dari faktor yang dapat mencentus serangan asma

Menganjurkan ibu untuk menjaga kebersihan rumah dan

lingkungan

c. Kuratif

Non farmakologis

Istirahat yang cukup

Minum obat secara teratur

Farmakologis

R/ OBH syr

R/ Salbutamol tab 2mg

R/Amoxicillin tab 500mg

d. Rehabilitatif

Memperbaiki status gizi pasien guna meningkatkan daya tahan tubuh

Minum obat secara teratur dan menghindar dari faktor-faktor yang

dapat mencentus serangan asma.

5

Page 6: BAB 1

DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI

PUSKESMAS OLAK KEMANG

KELURAHAN OLAK KEMANG KECAMATAN DANAU TELUK

Dokter :dr. Merin

SIP : No. 266/SIK/2015

6 agustus 2015

R/ OBH syr no. I

S3dd cth I

R/ Amoxicillin tab 500 mg no.XV

S3dd tab 1 ac

R/ Salbutamol no XV

S3dd tab 1

Pro : ny. S, 39 tahun

Alamat : Olak Kemang, RT 2

6

Page 7: BAB 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Asma Bronkial

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri

klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang

sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah

mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang

ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis

yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan

struktur saluran napas.

2.2 Epidemiologi dan Etiologi ASMA

Asma bronkial terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal

kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun

dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak,

terdapat perbandingan 2:1 untuk anak laki-laki di banding wanita, namun

perbandingan ini menjadi sama untuk usia 30 tahun.

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma

alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga.

2.3 Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat

terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis

didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),

terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

7

Page 8: BAB 1

kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah

besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat

pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan

dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.

Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi

mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,

sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,

obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.

Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama

histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi

terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan

kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel

mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis

asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih

permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada

keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,

neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah

yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,

8

Page 9: BAB 1

hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan

ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak

langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus.

Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara

lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun

inhalasi zat nonspesifik.

2.4 Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

1. Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor

pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.

Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa

menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

9

Page 10: BAB 1

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,

penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala

fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah

Tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti

anjing, kucing, dan lain-lain.

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,

jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,

tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga

dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang

timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi

perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya

belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

10

Page 11: BAB 1

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,

sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat

diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga

tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan

aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan

serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai

aktivitas tersebut.

h. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.

Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.

Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim

kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

2.5 Klasifikasi Asma

a. Intermiten

Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2

kali / bulan

b. Persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali perminggu tapi kurang dari 1 kali perhari, serangan

dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur, gejala nokturnal > dari 2 kali

perbulan.

c. Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat menganggu aktifitas dan tidur, gejala

nokturnal > 1 kali perminggu, menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap

hari.

11

Page 12: BAB 1

d. Persisten berat

Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering

terjadi.

2.6 Diagnosis Asma

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini

dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk

kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis

asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik,

mengi, batuk dan dada sakit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai

berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu

diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko.

Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran

respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat

berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.

Gambaran klinis ASMA klasik adalah serangan episodik batuk, mengi,

dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa

berat didada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin.

Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada

perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang

mukkoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien ASMA

yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough

variant asma.

Pada asma alergi, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan

gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan

gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, infeksi saluran

napas ataupun perubahan cuaca.

12

Page 13: BAB 1

Lain halnya asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada

awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang

gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan

membaik jjika pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya.

2.6.1 Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:

riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,

merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering

kambuh (kronik) disertai mengi, flu erulang, sakit akibat perubahan musim

atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah

pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat

keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga),

memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang

lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah,

tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk,

banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti

parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang

merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah

ada beta blocker, aspirin atau steroid.

·

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani

dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan

adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat

normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat

penyempitan jalan napas, edema, dan hipersekresi dapat menyumbat saluran

napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang

lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal ini meningkatkan

13

Page 14: BAB 1

kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi

dan hiperinflamasi.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometer.

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis

juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis

asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan

spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup

golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP 1 atau KVP sebanyak 20%

menunjukkan asma. Tetapi respon yang kurang dari 20 % tidak berarti bukan

asma . hal tersebut dapat dilihat pada pasien yang sudah normal atau

mendekati normal. Demikian pula respon terhadap bronkodilator tidak

dijumpai pada obstruksi saluran napas berat, oleh karena obat tunggal

bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk

melihat reversibilitas mungkin diperlukan terapi kombinasi obat golongan

adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu

pengobatan 2-3 minggu.

2. Peak Flow Meter/PFM.

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat

tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh

karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma

diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer

lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif

dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur

terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat

14

Page 15: BAB 1

diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak

dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax.

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

4. Pemeriksaan IgE.

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi

IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari

faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab

asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara

radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat

dilakukan (pada dermographism).

5. Petanda inflamasi.

Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak

berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-

kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,

pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang

dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan

hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)

dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan

transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit

dilakukan di luar riset.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat

dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan

menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan

obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan

dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu,

ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa

15

Page 16: BAB 1

partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk

nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis

dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB

dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,

histamin, dan metakolin.

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan Asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan

Asma yaitu :

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup

meningkat

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas

lainnya

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa dan

pengobatan medikamentosa :

2.7.1 Pengobatan non medikamentosa

Pengobatan non medika mentosa terdiri dari :

Penyuluhan

Menghindari faktor pencetus

Pemakaian oksigen

2.7.2 Pengobatan medikamentosa

16

Page 17: BAB 1

Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu

antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yan g bertujuan mengontrol

penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol dan

bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan untuk mencegah

serangan dikenal dengan pelega.

Antiinflamasi (pengontrol)

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan

merupakan anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini.

Efeknya secara umum adalah untuk mengurangi inflamasi akut maupun

kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki aliran udara, mengurangi

hiperresponsivitas saluran napas, mencegah eksarsebasi asama, dan

mengurangi remodelling saluran napas.

Kromolin

Mekanisme yang paling kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi

diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan

mediator dari sel mast.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmonar

seperti antiinflamasi

Agonis beta 2 kerja lama

Termasuk didalam agonis beta 2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Pada pemberian

jangka lama mempunyai efek anti inflamasi walaupun kecil.

Leukotriene modifers

17

Page 18: BAB 1

Obat ini merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui

oral. Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi

Bronkodilator (pelega)

Agonis beta 2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol yang telah

beredar di indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral. Pemberian

secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping yang

minimal.

Antikolinergik

Pemberian secara inhalasi mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan

bronkodilatasi dengan menurunkan tonus vagal intrinsik, selain itu juga

menghambat reflek bronkokontriksi yang disebabkan iritan.

2.8 Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikkit nilainya. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang

berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid secara umum angka

kematoian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Kalau serangan

asma diketahui dari masa kanak-kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-

kira setalah 20 tahun hanya 1 % yang tidak sembuh dan didalam pengawasan tersebut

kalau sering mengalami commond cold akan mangalami serangan ulang. Pada pasien

yang mengalami serangan intermiten angka kematiannya 2%, sedangkan angka

kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya

9%.

BAB III

18

Page 19: BAB 1

ANALISIS KASUS

Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar

Penyakit ini mempunyai hubungan dengan keadaan rumah , keadaan

rumah pasien yang masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan

bakar mengakibatkan terjadinya polusi udara di rumah.

Selain itu kurangnya ventilasi dirumah menyebabkan tidak bagus nya

sirkulasi dirumah.

Keadaan rumah yang terbuat dari kayu menyebabkan keadaan rumah

menjadi lembab.

Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga

Penyakit ini ada hubungannya dengan keadaan keluarga

Ada hubungan antara keadaan keluarga dengan penyakit yang diderita

pasien. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai

keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini

penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan dengan

faktor pencetus.

Hubungan diagnosa dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan

lingkungan sekitar

Penyakit ini mempunyai hubungan dengan perilaku kesehatan dan

lingkungan sekitar seperti adanya anggota keluarga yang merokok

menyebabkan timbulnya inflamasi pada saluran pernapasan.

Analisis kemungkinan faktor resiko atau etiologi penyakit pada pasien

19

Page 20: BAB 1

Pada pasien ini dari anamnesa yang dilakukan terhadap berbagai faktor

yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit ini didapatkan kesimpulan

kemungkinan faktor yang menjadi pencetus terjadinya serangan asma

adalah kebiasaan dari keluarga yang merokok dan keadaan rumah

yang lembab serta riwayat penyakit yang diderita oleh ibu pasien.

Analisis untuk mengurangi paparan

Pasien di edukasi untuk menjaga pola hidup sehat dengan

meningkatkan kebugaran fisik melalui olah raga,

Keluarga pasien yang perokok diharapkan untuk tidak merokok

didalam rumah, karena sirkulasi udara yang tidak bagus diruangan rumah.

20

Page 21: BAB 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Iris Rengganis.Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial Departemen Ilmu Penyakit Dalam, F KUI. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

2. Sundaru heru, sukamto. Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

3. Surjanto E. Derajat Asma dan kontrol Asma. Jurnal Respirologi Indonesia. 2008

4. Marleen FS, Yunus. Asma Pada usiia lanjut. Jurnal Respiratologi Indonesia. 2008

21

Page 22: BAB 1

22

Page 23: BAB 1

23