bab 1
description
Transcript of bab 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa, budaya hukum iklim pikiran
masyarakat dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu
hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah gunakan. Adapun inti budaya
hukum sebagai budaya non-material ataupun spiritual adalah nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehigga harus
dianuti) dan apa yang buruk (sehigga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut
merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang benar dan yang salah), norma
atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola
perilaku manusia.1
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, sehingga tidak asing
lagi di telinga kita mengenai perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun
mengenai keyakinan. Di Indonesia, kehidupan spiritual tampakya juga tidak
pernah redup. Memang agama, bagi masyarakat Indonesia, selain merupakan
bagian dari tradisi itu sendiri, tampaknya adalah suatu identitas sekaligus
sumber moral dan spiritual yang tidak mungkin ditinggalkan.2 Kebudayaan
adalah kompleks yang mengungkap pengetahuan, kepercayaan, keseniaan
dan moral. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang harus dihadapi
1 Soejono Dirjosusworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 90.2 Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006), Ed. 1, h. vii
1
seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya, selain itu manusia dan
masyarakat juga memerlukan kepuasan dibidang spiritual maupun materil.
Selain yang kompleks di atas, adapun kaidah-kaidah yang dinamakan
peraturan biasanya sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas. Peraturan
bertujuan membawa suatu kerahasiaan dan memperhatikan hal-hal yang
bersangkutan dengan keadaan lahiriah maupun batiniah.3 Di negara kita
sudah lama dengan adanya kejahatan yang dipandang bersumber dari dunia
lain (otherworldly power) yang senantiasa menarik perhatian, seperti santet,
dan sihir.4
Kejahatan pertama-tama adalah suatu konsep yuridis berarti tingkah
laku manusia yang dapat dihukum, berdasarkan hukum pidana, karena
kejahatan bukan hanya gejala hukum. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
kejahatan pada dewasa ini merupakan tantangan terhadap keadilan, hal mana
akan tidak dapat ditolerir hanya dengan memperlakukan setiap kejahatan
tersebut hanya dengan peraturan yang berada. Sedangkan dilihat dari pelaku
kejahatan pidana setiap perubahan dari pada ukuran pertanggung jawaban
pidana akan dianggap menjauhkan keadilan.5
Istilah mistisisme atau mistik sering digunakan untuk merujuk kepada
kepercayaan yang murni atau praktik aspek metafisis dan dimensi internal
agama, sementara masih berkaitan dengan doktrin keagamaan arus utama.
3 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: rajawali pers, 1990), h. 45.4 http://www.mail-archive.com/forum-pembaca
[email protected]/msg39706.html (Artikel ini diakses pada 12 Juli 2011).5 Romli Amasasmi, Bunga Rampai Kriminologi, (Jakarta: rajawali pres, 1984), h. 65.
2
Sebagai contoh, kabbalah adalah gerakan mistik yang signifikan dalam
Yudaisme, dan tasawuf adalah gerakan mistik yang signifikan dalam Islam.6
Sudah dipahami bahwa dalam kata mistik itu terkandung sesuatu yang
misterius, yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha
intelektual.7 Prof. Kuntowijoyo telah membagi tingkat evolusi pemikiran
manusia yaitu mitos, ideologi dan ilmu. Beliau menjelaskan bahwa periode
mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke 20.
Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik ternyata masih
terus mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia. Bahwa, dapat
diasumsikan sebetulnya mistik tersebut mempengaruhi pemikiran manusia
Indonesia, sehingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada akhirnya
mempengaruhi aturan hidup manusia Indonesia.
Santet pada dasarnya merupakan kejahatan spiritual (metafisika), yang
merupakan kejahatan baru berdimensi lama. Masyarakat kita masih percaya
kepada hal tersebut di atas. Dan secara sosiologis memang hal ini ada di
dalam masyarakat, tetapi dalam praktek penegakan hukum jarang pernah
untuk digunakan atau diterapkan. Santet merupakan fenomena yang cukup
sensitif dalam masyarakat, sementara hukum kurang memberi ruang baginya,
jadi mudah dipolitisir. Dalam penerapan pembuktian kejahatannya pun
dilakukan dengan sumpah pocong, yang dianggap sebagai pemecah
kebuntuan dan juga meredam sentimen isu santet di tengah kekosongan
6 http://tech.groups.yahoo.com/group/teori_ruqyah/massage/2908 (Artikel ini diakses pada 14 Juli 2011).
7 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam; Diterjemahkan oleh; Supardi Djoko Damono, dll, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), Cet. Ke-1, h. 3.
3
hukum ini. Yang menurut aggapan di tengah masyarakat terdapat
kepercayaan, bahwa dengan sumpah pocong dapat menunjukkan apakah
seseorang terlibat atau tidak dengan persoalan santet, seperti yang dilakukan
di Dusun Jambuan Kelurahan Antirogo Kecamatan Sumbersari Jember. Di
bawah pimpinan KH. Lutfi Ahmad, disumpah pocong 1000 warga, hanya
empat saja yang terbukti alamiah. Dari empat orang itu, semuanya meninggal
dunia dengan berbagai sebab, hanya satu yang meninggal karena dibunuh
orang.8
Di dalam hukum Belanda istilah santet tidak dikenal, namun dikenal
dalam hukum adat. Bahkan, dalam hukum adat ilmu santet masih mengakar
kuat sampai saat ini. Dalam Islam dikenal dengan istilah tenung yang serupa
dengan santet, namun sanksinya berupa tidak diterimanya sholatnya, jadi
sanksi akhirat. Meskipun dalam KUHP masalah di atas telah diatur, namun
dalam kasus yang terjadi penerapan sanski pun tidak pernah terlaksana. Untuk
itu dibuatlah Rancangan Undang-undang (yang nantinya disebut RUU)
KUHP Tahun 2012 yang di dalamnya mencantumkan perbuatan tindak
pidana dengan santet (magis) yang tertuang dalam Pasal 545 RUU KUHP
ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai
kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan
perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak kategori IV (Rp. 7.500.000,00).
8 http://www.scribed.com/doc/57387342/Santet-Dalam-Ranah-Hukum-Positif (Artikel ini diakses Pada 11 Agustus 2011).
4
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas dari pengertian hingga
dibuatnya RUU KUHP untuk memberikan sanksi hukuman terhadap tindak
pidana kejahatan mistik pada pasal 545 ayat (1). Atau dengan kata lain
perbuatan pidana yang berhubungan dengan kejahatan terhadap nyawa, tidak
memandang penting dengan sarana apa perbuata pidana itu dilakukan, yang
penting perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian baik materil maupun
moril bagi orang lain. Dari paparan di atas, perlulah dilakukan suatu
penelitian mengenai perihal masalah tersebut secara menyeluruh. Dengan itu
saya termotifasi untuk menulis judul skripsi yaitu “KEJAHATAN MISTIK
DAN SUPRANATURAL DALAM PANDANGAN RUU KUHP SUATU
KAJIAN HUKUM ISLAM.
Perspektif ini perlu dilakukan, karena dalam banyak kasus
penyelesaian santet dan sejenisnya dalam hal penyelesaiannya selalu
menggunakan tata cara keagamaan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka timbullah beberapa objek
pembahasan dalam membatas penulisan skripsi tersebut yaitu:
1. Mistik yang penulis maksud adalah subsistem yang ada dalam hampir
semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia
menjalani dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Tasawuf, suhuk
adalah dua hal yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
5
2. Supranatural yang penulis maksud adalah sesuatu yang tidak biasa
dijangkau oleh ilmu pengetahuan.
3. Hukum Islam yang penulis maksud adalah fiqh atau ayat Al-Qur’an
yang membahas tentang mistik atau gaib.
4. Hukum positif yang penulis maksud adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan
yang berkaitan dengan skripsi yang penulis maksud.
Fokus masalah dalam skripsi ini berkisar tentang kejahatan mistik
yang terjadi pada masyarakat. Dengan demikian, dalam penulisan skripsi ini
yang dijadikan masalah pokok adalah adakah sanksi hukum yang dapat
diterapkan dalam kejahatan mistik dan supranatural, apa perbedaan antara
mistik, dan bagaimana pembuktian kejahatan mistik tersebut. Dari
pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan mistik dan supranatural?
2. Bagaimana pemidanaan terhadap kejahatan mistik dan supranatural
dalam RUU KUHP?
3. Bagaimana perbandingan pemidanaan kejahatan mistik dan supranatural
dalam RUU KUHP dan Hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Untuk menjelaskan secara pasti mengenai kejahatan mistik dalam
kehidupan masyarakat modern di Indonesia.
2. Untuk mengetahui arti sesungguhnya dari supranatural dan bagaimana
melakukan kejahatan supranatural tersebut, serta bagaimana sanksi
hukumnya menurut hukum Islam dan RUU KUHP.
3. Untuk mengetahui sistem pemidanaan dalam hukum Islam dan dalam
RUU KUHP.
4. Untuk membandingkan persamaan dan perbedaan antara kedua hukum,
yaitu hukum Islam dan RUU KUHP terhadap kejahatan mistik dan
supranatural.
D. Tinjauan Pustaka
Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan beberapa karya
lmiah baik berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kejahatan
mistik dan supranatural. Dari telaah tersebut dari pembahasan sebelumnya
dari pelacakan karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di FSH terdapat skripsi yang
ditulis oleh Acep Saipudin, yang berjudul: “Tayangan Supranatural diMedia
Massa Ditinjau Dari Etika Pariwara Dan Hukum Positif (Studi Pada
Majalah Misteri)”. Dalam skripsi tersebut mengutarakan mengenai iklan-
iklan yang bergenre supranatural dan tinjauan-tinjauan hukum yang dapat
membatasi bahkan cenderung memberikan sanksi kepada media massa yang
menayangkan iklan-iklan tersebut, baik ditinjau dari hukum positif yang juga
melingkupi kode etika pariwara.
7
Dari uraian di atas sudah ada literaturnya yang membahas tentang
spiritual secara khusus daam ruang lingkup periklanan. Untuk di sini penulis
membedakan serta lebih memperluas penulisan mengenai mistik dan
supranatural.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian skripsi ini karena, metode penelitian dapat menentukan langkah-
langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai
dasar penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji
sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder
yang relevan dengan pembahasan ini.
2. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah
data kualitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data umumnya dalam
bentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam pengumpulan data kualitatif, da
data yang berupa bahan hukum yng terdiri dari:
8
a. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.9
Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu: Majalah
Misteri.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang
bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis
gunakan yaitu buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang membahas
masalah ini.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.10 Bahan hukum tersier adalah semua bahan yang menunjang
bahan primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
ini adalah penelitian pustaka, maka metode pegumpulan data
dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang ada dan kemudian
dikaji dan ditelaah dari berbagai literatur, yang ada dan berkaitan dengan
skripsi ini. Dalam hal ini penelitian menggunakan teknik studi dokumen
atau bahan pustaka yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis yang bisa ditemukan dalam bahan pustaka yang
terdiri dari buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan
pembahasan.
9 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILL-CO, 2001), Cet. V, h. 13.
10 Ibid
9
4. Analisa Data
Analisa data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan
menggunakan metode induktif atau deduktif. Metode induktif adalah
metode berpikir yang berangkat dari fakta khusus, peristiwa yang
kongkrit yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum. Sedangkan
metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang
bersifat umum, kemudian disesuaikan dengan faktor-faktor yang bersifat
umum. Metode induktif digunakan untuk mengkaji asas-asas yang
terkandung dalam KUHP, sedangkan metode deduktif dipakai untuk
melihat pandangan Islam terhadap kejahatan mistik dan supranatural.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian skripsi ini di bagi menjadi 5 (lima) bab. Bab
pertama bertajuk “pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok
pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6
(enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan
perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka,
(5) metode penelitian, dan (6) sistematika penulisan.
Bab kedua bejudul “Pengertian hukum pidana, dan tindak pidana
menurut hukum islam dan hukum positif Bab ini terdiri atas 3(tiga) sub- bab
utama, yaitu (1) Pengertian hukum pidana dan tujuan hukum pidana; (2)
Pengertian hukum pidana islam dan tujuanya; (3) Pengertian hukum pidana fo
rmil dan tujuanya.
10
Bab ketiga berjudul “ kejahatan mistik dan supranatural. Dalam bab
ini menyajikan 3(tiga) sub utama, yaitu (1) pengertian kejahatan, (2)
pengertian Mistik, (3) dan pengertian supranatural.
Bab keempat berjudul “Analisa Hukum Islam atas RUU KUHP
Tentang Kejahatan Mistik Dan Supranatural”. Dalam bab ini juga diuraikan
analisis antara kedua hukum yang berkaitan, yakni hukum Islam dan RUU
KUHP Terhadap Kejahatan Mistik Dan Supranatural. Bab ini menyajikan
3(tiga) sub-bab utama, yaitu (1) Sejarah RUU KUHP, (2) Indikasi kejahatan
mistik dan supranatural (3)Analisa perbandingan hukum islam atas RUU
KUHP.
Bab kelima merupakan penutup. Yang terdiri dari kesimpulan sebagai
jawaban dari pokok permasalahan dalam penyusunan ini. Selain itu juga,
beberapa saran yang berkaitan dengan kejahatan mistik dan supranatural.
11