BAB 1-3

download BAB 1-3

of 17

description

Skripsi

Transcript of BAB 1-3

BAB IPENDAHULUANJudul : AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA DARI PERCERAIAN BEDA AGAMA (STUDI DI PENGADILAN AGAMA MATARAM)A. Latar Belakang MasalahDi dalam agama islam perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di dalam islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.Di dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan bahwa: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [footnoteRef:2] [2: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan]

Dalam rumusan pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tercantum tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.Hukum perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan beda agama atau keyakinan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan :Perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu[footnoteRef:3] [3: Ibid.]

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama adalah perkwinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, yaitu agama calon suami atau agama calon isteri.Ketegasan larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (non muslim); sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf (c) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam (non muslim). Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.Sejalan dengan derasnya arus globalisasi dan mobilitas penduduk yang tinggi, peristiwa perkawinan tidak hanya dilakukan di dalam negri, tetapi juga dilakukan di luar negri baik dengan sesama warga Negara maupun dengan warga Negara yang berbeda, bahkan berbeda agama.Meskipun perkawinan beda agama dilarang di Indonesia, namun kenyataannya dalam masyarakat ada saja cara menyiasatinya , diantaranya adalah :1. Salah satu pihak melakukan perpindahan agama secara permanen, ini merupakan jalan keluar yang disarankan,2. Salah satu pihak melakukan perpindahan Agama (yang beararti penyelundupan hukum ), namun setelah perkawianan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.3. Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan, atau melaksanakan pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke catatan sipil / KUA dengan menuliskan kolom Agama dalam akta nikah sesuai dengan agamanya pasangannya ( yang berarti penyelundupan hukum ) , cara ini sangat tidak disarankan.Penilaian generasi muda dewasa ini lebih mengutamakan kasih cinta. Di kota-kota besar atau di daerah-daerah yang sudah maju dengan percampuran penduduk yang bermacam ragam, dengan peralatan teknologi modern dimana masuknya pengaruh budaya barat berlebihan, Nampak kecenderungan generasi muda yang kurang berbekal iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulai banyak yang menganggap perbedaan agama tidak merupakan masalah yang berat dalam pembentukan rumah tangga. Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum Islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani perkawinan salah satu mempelai memeluk agama non muslim. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116 Huruf k KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian terhadap anak-anak dan harta bersama.B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :1. Bagaimana penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia?2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta dari perceraian beda agama tersebut?

C. Tujuan PenelitianBedarsarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:1. Untuk mengetahui penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia.2. Untuk mengetahui akibat hukum tehadap anak dan harta dari perceraian beda agama tersebut.

D. Manfaat PenelitianSuatu penelitian yang dilaksanakan harus dapat memberikan manfaat yang jelas. Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan dari sisi:1. Manfaat PraktisBermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan mengenai perceraian beda agama.2. Manfaat Teoritisa. Bagi perkembangan hukum positif mengenai perceraian beda agama.b. Menambah referensi dan literature kepustakaan, khusunya dalam bidang Hukum Perdata dalam hal akibat hukum terhadap anak dan harta dari perceraian beda agama.

E. Ruang LingkupRuang lingkup penulis ini adalah hukum perdataa sebagai bagian dari studi umum hukum yang merupakan slah satu disiplin ilmu pengetahuan. Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan adanya pembatasan yang tegas dan jelas terhadap objek maupun pokok permasalahannya sehingga penelitian lebih terarah.Pembatasan masalah dalam skripsi yang berjudul Akibat Hukum Terhadap Anak dan Harta Dari Perceraian Beda Agama (Studi di Mataram) dirumuskan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia, serta akibat hukum terhadap anak dan harta dari perceraian beda agama.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian PerkawinanKetentuan tentang perkawinan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal 26 sampai 102. Dalam pasal 26 KUHPdt, menyebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataannya. Hal ini berarti suatu perkawinan hanya sah apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam KUHPdt, sementara itu persyaratan serta peraturan agama dikesampingkan.Rumusan dalam pasal 1 Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut agama Islam, ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksual, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.[footnoteRef:4] [4: Arididit, http//arididit.blogspot.co.id, Perkawinan Antar Agama.]

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis mengartikan perkawinan adalah Persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal (dalam R Soetojo Prawirohamidjojo, 1988:35).[footnoteRef:5] [5: Salim HS, SH., MS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 61.]

Di Indonesia dikenal istilah perkawinan campuran. Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua insane yang akan melakukan perkawinan.Perkawinan campuran antar agama terjadi apabila seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.[footnoteRef:6] [6: Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH., Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 13.]

B. Tujuan PerkawinanDalam pasal 1 Undang-undang perkawinan (UUP) menyatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti perkawinan itu:1) Berlangsung seumur hidup,2) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan3) Suami isteri membantu mengembangkan diri.Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Yang termasuk kebutuhan jasmani, seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohani, seperti adanya seorang anak yang berasal dari darah daging.Dalam pasal 3 KHI menyatakan bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Mawadah artinya memiliki keluarga yang didalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Rahmah artinya memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.

C. Syarat-syarat dan Sahnya PerkawinanPada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka yang telah meemenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-undang Perkawinan. Di dalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern.Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi:1) Persetujuan kedua belah pihak2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun3) Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dank arena kematian 130 hari.Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu meliputi:1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, memuat:a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulub. Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.Sahnya perkawinan menurut perundangan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa:(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut pearturan perundang-undangan yang berlaku.Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama masing-masing.Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi lebih jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat bukti bagi anak-anaknya dikelak kemudian apabila timbul sengketa, baik di antara anak kandung maupun saudara tiri, dan (3) sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil.[footnoteRef:7] [7: Salim HS,]

D. Kedudukan AnakMenurut Undang-undang perkawinan dikatakan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (pasal 42). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 42 ayat (1)).Didalam hukum agama islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk meemnuhi perintah Allah agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah.

E. Harta PerkawinanPengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut. Sedangkan menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya. Dengan demikian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka (suami isteri), atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.[footnoteRef:8] [8: http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/300-harta-bersama-menurut-kompliasi-hukum-islam]

KUHPerdata menyatakan bahwa, sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri (pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas (pasal 120). Harta bersama bubar demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada, perceraian pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta (pasal 126).Menurut Undang-undang perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (pasal 35 ayat (1) dan (2)).Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat (1) dan (2)).Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukmu8nya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

F. Pengertian PerceraianPerceraian menurut Subekti adalah Penghapusan perkawinan dengan putusan haki atau tuntuan salah satu pihak dala perkawinan itu.[footnoteRef:9] [9: Dr. Muhammad Syaifuddin, SH., M.Hum., Sri Turatmiyah, SH.,M.Hum. dan Annalisa Yahanan, SH., M.Hum., Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 20.]

Dalam pasal 38 Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat di lakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan isteri tersebut. Walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami (karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan. Dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan siding, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang beragama islam.Dalam pasal 114 sampai 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Perceraian yang terjadi karena keputusan Pengadilan Agama dapat terjadi karena talak atau gugatan perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-isteri tersebut.

G. Alasan-alasan PerceraianDalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan pasal 110 Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang diajukan oleh suami atau isteri untuk dijatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilian. Alasan-alasan itu adalah sebagai beriku:1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.7. Suami melanggar Talik Talak.8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.BAB IIIMETODE PENELITIANMetode penelittian adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam suatu kegiatan ilmiah. Dengan suatu metode penelitian, diharapkan mampu untuk menemukan, menganalisis maupun memecahkan masalah dalam penelitian ini diperlukan metode yang tepat, maka penulis melakukan metode sebagai berikut:A. Jenis PendekatanBerdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

B. Metode PendekatanAdapun metode pendekatan yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah:a. Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.b. Pendekatan kasus (case approach), dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi puusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

C. Jenis dan Sumber DataSumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Data PrimerData primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber hukum pertama. Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden. Tipe wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan, tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai dengan tujuan wawancara. Wawancara tidak terstruktur ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban spontan dan gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti.2. Data sekunderData sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang merupakan hasil penelitian orang lain dalam bentuk buku atau dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan berasal dari beberapa bahan hukum yang relevan, meliputi:a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undnagan:1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)2) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan3) Peraturan Pemerintah Nomr 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari buku, makalah, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian.c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari kamus hukum dan kamus lainnya.

D. Teknik Pengumpulan DataDalam rangka melakukan penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah :a. WawancaraWawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu. Wwancara dilakukan dengan pegawai Pengadilan Agama (PA) Mataram.b. Studi DokumentasiDokumentasi dapat diartikan sebagai arah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan maslaah penelitian.

E. Analisa DataDalam penelitian ini, metode analisa data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif, artinya data yang sudah dikumpulkan dipilih berdasarkan mutu atau kualitas dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas sehingga menghasilkan uaraian yang bersifat deskriptif kualitatif, artinya menggambarkan kenyataan yang berlaku dan berkaitan dengan proses penyelesaian perceraian beda agama dan akibat hukum terhadap anak dan hata dari perceraian beda agama.

F. Jadwal PenelitianPenelitian ini rencananya akan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dan mempunyai kegiatan sebagai berikut:No.KegiatanBulan

AgsSepOktNovDesJan

1.

2.

3.4.5.Persiapana. Penulisan Proposalb. Pembimbingan Proposalc. Ujian ProposalPelaksanaana. Pengunrusan ijin penelitianb. Pengumpulan datac. Klasifikasi datad. Analisa data pelaporanSeminar hasil penelitianPerbaikanPenyusunan laporan penelitian dan penggandaan

X

X

X

XXX

X

XX

X