bab 1-3

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh yang meliputi antigen, antibodi, dan sistem pertahanan. Sistem pertahanan tubuh dapat diperoleh dengan cara alami dan dengan cara didapat. Sistem pertahanan tubuh alami ada yang bersifat fisik, humoral, biokimia, dan seluler. Sementara itu sistem pertahanan tubuh yang didapat ada yang bersifat spesifik dan non-spesifik. Membicarakan sistem pertahanan tubuh yang didapat tidak lepas dari imunisasi karena imunisasi merupakan suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya menderita sakit ringan (Depkes RI, 2005). Imunisasi adalah suatu usaha untuk meningkatkan kekebalan aktif seseorang terhadap suatu penyakit dengan memasukkan vaksin dalam tubuh bayi atau anak. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan (Depkes, 2005). Yang dimaksud dengan imunisasi dasar lengkap menurut Ranuh dkk (2001), adalah pemberian imunisasi BCG, hepatitis B, DPT, polio dan campak sebelum bayi berusia 1 tahun. Sedangkan berdasarkan Depkes RI (2005)

description

latar belakang tentang imunologi dan infeksi virus

Transcript of bab 1-3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Imunologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh yang meliputi antigen, antibodi, dan sistem pertahanan. Sistem pertahanan tubuh dapat diperoleh dengan cara alami dan dengan cara didapat. Sistem pertahanan tubuh alami ada yang bersifat fisik, humoral, biokimia, dan seluler. Sementara itu sistem pertahanan tubuh yang didapat ada yang bersifat spesifik dan non-spesifik. Membicarakan sistem pertahanan tubuh yang didapat tidak lepas dari imunisasi karena imunisasi merupakan suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya menderita sakit ringan (Depkes RI, 2005).Imunisasi adalah suatu usaha untuk meningkatkan kekebalan aktif seseorang terhadap suatu penyakit dengan memasukkan vaksin dalam tubuh bayi atau anak. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan (Depkes, 2005). Yang dimaksud dengan imunisasi dasar lengkap menurut Ranuh dkk (2001), adalah pemberian imunisasi BCG, hepatitis B, DPT, polio dan campak sebelum bayi berusia 1 tahun. Sedangkan berdasarkan Depkes RI (2005) Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan.Imunisasi merupakan hal terpenting dalam usaha melindungi kesehatan anak. Imunisasi merupakan suatu cara efektif untuk memberikan kekebalan khususnya terhadap seseorang yang sehat,dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena ada berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Widodo , 2007).

Sebagai mahasiswa kedokteran, sudah seharusnya dapat memahami bagaimana respon imun, sistem pertahanan tubuh alami dan sistem pertahanan tubuh didapat khususnya didapat melalui imunisasi. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan kegiatan tugas pengenalan profesi (TPP) dengan tema Pengamatan/Observasi Program Imunisasi Dasar di Posyandu Puskesmas. 1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada tema tugas pengenalan profesi Pengamatan/ Observasi Program Imunisasi Dasar di Posyandu Puskesmas adalah:

1. Apa jenis-jenis imunisasi dasar ?

2. Apa manfaat pemberian imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas ?

3. Bagaimana prosedur imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas?4. Bagaimana tatalaksana KIPI (Kejadian Pasca Ikutan Imunisasi) imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas?

5. Bagaimana teknik penyimpanan vaksin di Posyandu Puskesmas?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dengan tema Pengamatan/Observasi Program Imunisasi Dasar di Posyandu Puskesmas.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui jenis-jenis imunisasi dasar.

2. Mengetahui manfaat pemberian imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas.

3. Mengetahui prosedur imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas.4. Mengetahui tatalaksana KIPI (Kejadian Pasca Ikutan Imunisasi) imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas.

5. Mengetahui teknik penyimpanan vaksin di Posyandu Puskesmas.

1.4 Manfaat

1. Agar mahasiswa mampu mengetahui bahwa imunisasi merupakan salah satu program dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi.

2. Agar mahasiswa mampu mengetahui subjek-subjek yang diberikan imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas. BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunisasi 2.1.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terkena antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh,2008).Imunisasi adalah suatu prosedur rutin yang akan menjaga kesehatan anak. Kebanyakan dari imunisasi ini adalah untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya dan sering terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak (Hanum, 2010),

2.1.2 Sejarah ImunisasiLady Mary Wortly Montagu, seorang bangsawan inggris terjangkit cacar yang sembuh namun menyisakan pock dikulit dan alopesia dikepala. Say suaminya ditunjuk sebagai duta besar inggris di turki, Lady Montagu mempelajari teknik inokulasi yang pada tahun 1700 sudah dipraktekkan oleh dokter-dokter turki. Ia mencoba pada anak laki lakinya yang tetap sehat meskipun sering terpajan dengan wabah cacar. Hal ini diikuti pula oleh Edward Jenner 1796 ia mengumpulan nanah dari luka pok sapi dari tangan pemerah susu dan menginokulasinya ke seorang anak dan hanya menimbulkan panas tetapi anak tersebut tidak sakit. Selanjutnya anak tersebut diberi inokulasi nanah dan cacar aktif yang ternyata tidak menimbulkan reaksi yang berarti. Setelah ini vaksinasi dengan nanah pok sapi diterima sebagai cara pencegahan dan jenner diangkat sebagai pendiri imunologi (Atikah, 2010).

Pada tahun 1880-1890 imunisasi dengan vaksin yang diatenuasikan berkembang dan dibawa keseluruh eropa dan amerika Emin Von Behring (Jerman), Paul Erlich (Jerman) dan Shibasoburo Kitasato (Jepang) mengembangkan anti toksin asal serum kuda terhadap difteri yang digunakan sekarang dalam imunisasi pasif (Atikah, 2010).

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten, anak di imunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Atikah, 2010).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak (Atikah, 2010).

2.1.3 Tujuan ImunisasiTujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. (Ranuh,2008). Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara umum tujuan imunisasi, antara lain: a) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular. b) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.c) Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada balita. (Ranuh,2008).

2.1.4 Syarat Pemberian Imunisasi

Ada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya bagi anak, yang pencegahannya dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi dalam bentuk vaksin. Dapat dipahami bahwa imunisasi hanya dilakukan pada tubuh yang sehat. Berikut ini keadaaan yang tidak boleh memperoleh imunisasi yaitu : anak sakit keras, keadaan fisik lemah, dalam masa tunas suatu penyakit, sedang mendapatpengobatan dengan sediaan kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya (terutama vaksin hidup) karena tubuh mampu membentuk zat anti yang cukup banyak (Hidayat, 2008).Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus diperhatikan yaitu: diberikan pada bayi atau anak yang sehat, vaksin yang diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat masa berlakunya, pemberian imunisasi dengan teknikyang tepat, mengetahui jadwal imunisasi dengan melihat umur dan jenis imunisasi yang telah diterima, meneliti jenis vaksin yang diberikan, memberikan dosis yang akan diberikan,mencatat nomor batch pada buku anak atau kartu imunisasi serta memberikan informed concentkepada orang tua atau keluarga sebelum melakukan tindakan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.

Paling utama adalah anak yang akan mendapat imunisasi harus dalam kondisi sehat. Sebab pada prinsipnya imunisasi itu merupakan pemberian virus dengan memasukkan virus, bakteri, atau bagian dari bakteri ke dalam tubuh dan kemudian menimbulkan antibodi (Hanum, 2010).Imunisasi tidak boleh diberikan hanya pada kondisi tertentu misalnya anak mengalami kelainan atau penurunan daya tahan tubuh misalkan gizi buruk atau penyakit HIV/AIDS (Hanum, 2010).

2.1.5 Jenis Jenis Imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan. A. Imunisasi berdasarkan proses atau mekanisme pertahanan tubuh, yaitu:

a. Imunisasi aktif

Merupakan pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan, sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan menghasilkan respons seluler dan humoral serta dihasilkannya cell memory. Dalam imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan dalam setiap vaksinnya, yang dijelaskan sebagai berikut.

Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan (berupa polisakarida, toksoid, virus yang dilemahkan, atau bakteri yang dimatikan).

Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan.

Preservative, stabilizer, dan antibiotic yang berguna untuk mencegah timbulnya mikroba sekaligus untuk stabilisasi antigen.

Adjuvans yang terdiri atas garam alumunium yang berfungsi untuk meningkatkan imunogenitas antigen.

(Hidayat, 2008).

b. Imunisasi pasif

Merupakan pemberian zat (immunoglobulin) yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Hidayat, 2008).

B. Imunisasi dasarAda 5 jenis imunisasi dasar yang diwajibkan oleh pemerintah. Imunisasi dasar atau PPI (Program Pengembangan Imunisasi) antara lain :

1) Imunisasi BCG

Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) pada anak. Vaksin TBC mengandung kuman bacillus calmette Guerin yang dibuat dari bibit penyakit atau virus hidup yang sudah dilemahkan. BCG diberikan pada umur < 3 bulan. Pemberian imunisasi ini dilakukan secara Intra Cutan (IC) di lengan kanan atau paha kanan atas dengan dosis 0,1 ml untuk anak diatas 1 tahun, pada bayi baru lahir 0,05 ml. (Atikah, 2010)

2) Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi Hepatitis B bertujuan untuk mendapatkan kekebalan aktif terhadap penyakit Hepatitis B. Vaksin ini terbuat dari bagian virus Hepatitis B yang dinamakan HbsAg, yang dapat menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit. Imunisasi Hepatitis B diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah bayi lahir. Khusus bagi bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap virus hepatitis B, harus dilakukan imunisasi pasif memakai imunoglobulin khusus anti hepatitis B dalam waktu 24 jam kelahiran. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1 bulan antara suntikan Hb 1 dengan Hb 2, serta selang waktu 5 bulan antara suntikan Hb 2 dengan Hb 3. Hepatitis B disuntikkan secara Intra Muscular (IM) di daerah paha luar dengan dosis 0,5 ml (Atikah, 2010).

3) Imunisasi DPT

Imunisasi DPT bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap serangan penyakit difteri, pertusis, tetanus. Vaksin ini mengandung kuman difteri dan tetanus yang dilemahkan serta kuman Bordetella pertusi yang dimatikan. Imunisasi DPT diberikan 3 kali usia kurang dari 7 bulan, DPT 1 diberikan pada usia 2 bulan, DPT 2 diberikan pada usia 3 bulan, DPT 3 diberikan pada usia 4 bulan selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Ulangan booster diberikan 1 tahun setelah DPT 3. Cara pemberian imunisasi ini DPT adalah melalui injeksi IM. Suntikan diberikan di paha tengah luar atau subcutan dalam dengan dosis 0,5 cc (Atikah, 2010).

4) Imunisasi Polio

Imunisasi polio bertujuan untuk mencegah penyakit Poliomyelitis. Vaksin polio ada dua jenis yaitu :

a) Inactivated polio vaccine (IPV= vaksin salk) mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan.

b) Oral polio vaccine (OPV= vaksin sabin) mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Imunisasi Polio dasar diberiakan 4 kali dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio 4. Di Indonesia umumnya diberikan vaksin sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung ke dalam mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula (Atikah, 2010).

5) Imunisasi Campak

Imunisasi campak bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Vaksin dari virus hidup (CAM 70-chick chorioallantonik membrane) yang dilemahkan ditambah kanamisin sulfat dan eritromisin berbentuk kering. Imunisasi campak diberikan pada usia 9 bulan oleh karena masih ada antibodi yang diperoleh dari ibu. Jika ada wabah, imunisasi bisa diberikan pada usia 6 bulan, diulang 6 bulan kemudian. Cara pemberian imunisasi campak adalah melalui injeksi di lengan kiri atas secara subcutan (SC) dengan dosis 0,5 ml. Sebelum disuntikkan, vaksin campak terlebih dahulu dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia berisi 5 ml pelarut aquades (Atikah, 2010).

C. Imunisasi Anjuran

1) Imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella)

Imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) merupakan imunisasi yang digunakan dalam memberikan kekebalan terhadap penyakit campak (Measles), antigen yang dipakai adalah virus campak strain edmonson yag dilemahkan, virus Rubella strain RA 27/3, dan virus gondong. Vaksin ini tidak dianjurkan untuk bayi usia dibawah 1 tahun karena dikhawatirkan terjadi interverensi dengan antibodi maternal yang masih ada. Khusus pada daerah endemik, sebaiknya diberikan imunisasi campak yang monovalen dahulu pada usia 4-6 bulan atau 9-11 bulan dan booster (ulangan) dapat dilakukan MML pada usia 15-18 bulan (ismoedijanto, 2002).

2) Imunisasi Typus Abdominalis

Imunisasi Typus Abdominalis merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit typus abdominalis. Dalam persediaan khususnya di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin typus abdominalis, diantaranya kuman yang dimatikan, kuman yang dilemahkan (vivotif, berna), dan antigen Capsular Vi Polysaccharida (Typhim Vi, Pasteur Meriux). Vaksin kuman yang dimatikan dapat diberikan untuk bayi 6-12 bulan adalah 0,1 ml, 1-2 tahun 0,2 ml, dan 2-12 tahun adalah 0,5 ml. Pada imunisasi awal dapat diberikan sebanyak 2 kali dengan interval 4 minggu. Kemudian penguat setelah satu tahun kemudian. Vaksin kuman yang dilemahkan dapat diberikan dalam bentuk capsul enterice coated sebelum makan pada hari ke-1, 2, dan 5 untuk anak diatas usia 6 tahun. Antigen kapsular diberikan untuk usia diatas 2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun (ismoedijanto, 2002).3) Imunisasi Varicella

Imunisasi Varicella merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit cacar air (Varicella). Vaksin Varicella merupakan virus hidup varicella zoozter strain OKA yang dilemahkan. Pemberian vaksin Varicella dapat diberikan suntikan tunggal pada usia 12 tahun di daerah tropis dan bila di atas usia 13 tahun dapat diberikan dua kali suntikan dengan interval 4-8 minggu (ismoedijanto, 2002).

4) Imunisasi Hepatitis A

Imunisasi Hepatitis A merupakan yang digunakan untuk mencegah terjadi penyakit hepatitis A. Pemberian imunisasi ini dapat diberikan untuk usia diatas 2 tahun. Imunisasi awal menggunakan vaksin Havrix (berisi virus hepatitis A strain HM 175 yang dinonaktifkan) dengan 2 suntikan dan interval 4 minggu, booster pada 6 bulan setelahnya. Jika menggunakan vaksin MSD dapat dilakukan tiga kali suntikan pada usia 6 dan 12 bulan (ismoedijanto, 2002).5) Imunisasi HiB

Imunisasi HiB (Haemophilus influenzae tipe B) merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit influenza tipe B. Vaksin ini adalah bentuk polisakarida murni (PRP: purified capsular polysacharida) kuman H. Influenzae tipe B. Antigen dalam vaksin tersebut dapat dikonjugasi dengan protein-protein lain, seperti toksoid tetanus (PRP-T), toksoid difteri (PRP-D atau PRPCR50), atau dengan kuman menongokokus (PRP-OMPC). Pada pemberian imunisasi awal dengan PRP-T dilakukn 3 suntikan dengan interval 2 bulan, sedangkan vaksin PRP-OMPC dilakukan 2 suntikan dengan interval 2 bulan, kemudian booster-nya dapat diberikan usia 18 bulan (ismoedijanto, 2002).2.1.6 Jadwal Imunisasi di IndonesiaTabel 1 Jadwal Pemberian Imunisasi di Indonesia

(Depkes RI, 2005)2.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Dasar

1. Usia Ibu Usia adalah lamanya seseorang hidup dihitung dari tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir. Usia merupakan konsep yang masih abstrak bahkan cenderung menimbulkan variasi dalam pengukurannya. Seseorang mungkin menghitung umur dengan tepat tahun dan kelahirannya, sementara yang lain menghitungnya dalam ukuran tahun saja (Atikah, 2010).

Ibu yang berusia lebih muda dan baru memiliki anak biasanya cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih akan kesehatan anaknya, termasuk pemberian imunisasi. Merujuk hal tersebut, diketahui bahwa usia yang paling aman seorang ibu untuk melahirkan anak adalah 20 sampai 30 tahun. Ibu yang berusia 30 tahun cenderung untuk tidak melakukan imunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia < 30 tahun cenderung untuk melakukan imunisasi lengkap 2,03 kali dibandingkan dengan usia ibu 30 tahun. Namun secara statistik hubungan antara usia ibu dan status kelengkapan imunisasi tidak bermakna (p-value=0,16). Status imunisasi semakin baik seiring dengan peningkatan usia ibu. Kelengkapan status imunisasi anak terdapat pada ibu yang berusia 20-29 tahun. Sedangkan proporsi yang hampir sama pada usia ibu 15-19 tahun sebesar 48,4% dan usia ibu 30 tahun lebih sebesar 48,5%. Hubungan bermakna secara statistik yang ditunjukkan oleh nilai p-value=0,000. Ibu yang berusia 30 tahun 2,78 kali lebih besar status imunisasi dasar anaknya untuk tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia < 30 tahun (Atikah, 2010).

2. Jenjang Pendidikan

Pendidikan tinggi berkaitan erat dengan pemberian imunisasi pada anak. Tingkat pendidikan seseorang ibu yang telah tinggi akan berpeluang besar untuk mengimunisasikan anaknya. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan disekolah. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang telah tinggi akan memberikan imunisasi lebih lengkap kepada anaknya dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah, ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan status kelengkapan imunisasi dasar anak dengan p-value=0,000 (Atikah, 2010).

Tingkat pendidikan ibu, mempunyai hubungan dengan status imunisasi dasar pada anak. Penelitian terhadap 519 responden, didapat hasil bahwa persentase anak dengan imunisasi lengkap lebih tinggi pada ibu dengan tingkat pendidikan SLTA keatas. Ibu dengan pendidikan rendah mempunyai resiko 2,04 kali lebih besar status imunisasi anaknya untuk tidak lengkap dibandingkan dengan ibu pendidikan tinggi dengan p-value=0,000 (Atikah, 2010).

3. Pekerjaan Pekerjaan dapat memberikan kesempatan suatu individu untuk sering kontak dengan individu lainnya, bertukar informasi dan berbagi pengalaman pada ibu yang bekerja akan memiliki pergaulan yang luas dan dapat saling bertukar informasi dengan teman sekerjanya, sehingga lebih terpapar dengan program-program kesehatan khususnya imunisasi. Ibu yang bekerja mempunyai peluang 1,1 kali untuk mengimunisasikan anaknya dengan lengkap dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Proporsi ibu yang bekerja terhadap anak dengan imunisasi lengkap lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak bekerja (Atikah, 2010).

4. Jumlah anak Kunjungan ke pos pelayanan imunisasi terkait dengan ketersediaan waktu bagi ibu untuk mencari pelayanan imunisasi terhadap anaknya. Oleh karena itu jumlah anak yang dapat mempengaruhi ada tidaknya waktu bagi ibu meninggalkan rumah untuk mendapatkan pelayanan imunisasi kepada anaknya. Semakin banyak jumlah anak terutama ibu yang masih mempunyai bayi yang merupakan anak ketiga atau lebih akan membutuhkan banyak waktu untuk mengurus anak-anaknya tersebut. Sehingga semakin sedikit ketersediaan waktu bagi ibu untuk mendatangi tempat pelayanan imunisasi. Jumlah anak memiliki hubungan yang terbalik dengan status imunisasi anak artinya adalah ibu yang memiliki jumlah anak yang banyak akan tidak lengkap untuk mengimunisasi anaknya. Jumlah anak hidup 2 orang mempunyai 1,19 kali anaknya diimunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang memiliki jumlah anak hidup > 2 orang. Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak. Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan (Atikah, 2010).

Besarnya anggota keluarga diukur dengan jumlah anak dalam keluarga. Makin banyak jumlah anak makin besar kemungkinan ketidaktepatan pemberian imunisasi pada anak. Keluarga yang mempunyai banyak anak menyebabkan perhatian ibu akan terpecah, sementara sumber daya dan waktu ibu terbatas sehingga perawatan untuk setiap anak tidak dapat maksimal (Atikah, 2010).

5. Pengetahuan Pengetahuan adalah dari hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan-tingkatan (Atikah, 2010).

Hubungan antara status imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan lengkap dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi, pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, dan jumlah anak. Di antara beberapa faktor tersebut pengetahuan ibu tentang imunisasi merupakan suatu faktor yang sangat erat hubungannya dengan status imunisasi anak (Atikah, 2010).

Imunisasi merupakam program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular. Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya diimunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan dan logistik, urutan anak dalam keluarga dan jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas, keluarga, ketidak stabilan politik, sikap petugas kesehatan, pembiayaan, dan pertimbangan hukum (Atikah, 2010).

Pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi. Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orangtua untuk mengimunisasikan bayi jika mempunyai bayi lagi (sikap). Ketidakyakinan orangtua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan) dan pernah menolak bayinya untuk diimunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi (Atikah, 2010).2.3 Penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi

a. Difteri Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Daya tular penyakit ini tinggi. Gejala awal penyakit adalah : gelisah, aktifitas menurun, radang tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. terjadi antara lain laringospasme, infeksi nosokomial dan pneumonia ostostatik. Komplikasi difteri berupa gangguan pernafasan yang berakibat kematian (Depkes, 2005).

Penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh Hyppocrates pada abad ke-5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Seorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria (Markum, 2002).b. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah. Penyakit ini menyebar melalui pernafasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal penyakit adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus-menerus, nyeri dada dan mungkin batuk darah. Gejala lain tergantung pada organ yang diserang. Komplikasi tuberkulosis dapat menyebabkan kelemahan dan kematian (Depkes RI, 2005).c. Campak Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Myxovirus viridae measles. Disebarkan melalui udara (percikan ludah) sewaktu bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjunctivitis (mata merah) selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi campak adalah diare hebat, peradangan pada telinga, dan infeksi saluran nafas (pneumonia). Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan program imunisasi lebih efektif (Depkes RI, 2005).

d. Poliomielitis Poliomielitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio tipe 1, 2 atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis=AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Komplikasi poliomielitis adalah kematian bisa terjadi karena kelumpuhan otot-otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera ditangani (Depkes, 2005). Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa Latin yang berarti medulla spinalis. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antar-rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90% (Markum, 2002).

e. Hepatitis B Hepatitis B adalah penyakit kuning yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penularan penyakit secara horizontal yaitu dari darah dan produknya melalui suntikan yang tidak aman melalui tranfusi darah dan melalui hubungan seksual. Sedangkan penularan secara vertikal yaitu dari ibu ke bayi selama proses persalinan. Gejalanya adalah merasa lemah, gangguan perut, dan gejala lain seperti flu. Warna urin menjadi kuning, tinja menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata ataupun kulit. Komplikasi hepatitis B adalah bisa menjadi hepatitis kronis dan menimbulkan pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato Cellular Carsinoma), dan menimbulkan kematian (Depkes RI, 2005).Infeksi virus hepatitis B menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan atau karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, kebijakan utama tata laksana virus hepatitis B adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang paling efektif dalam menurunkan prevalens virus hepatitis B dan karsinoma hepatoseluler (Markum, 2002). Tahun 1992 Hepatitis B dimasukkan kedalam program imunisasi. Tahun 1995 imunisasi hepatitis B diberikan kepada semua bayi di negara endemis tinggi. Tahun 1997 imunisasi hepatitis B diberikan kepada semua bayi disemua negara diseluruh dunia. Imunisasi Hepatitis B harus diberikan pada bayi 0-7 hari karena : 3-8 % ibu hamil merupakan pengidap (carrier), 45,9 % bayi tertular saat lahir dari ibu pengidap, penularan pada saat lahir hampir seluruhnya berlanjut jadi hepatitis menahun. Pemberian imunisasi HB sedini mungkin akan melindungi 75 % dari yang tertular (Depkes RI, 2005).

f. Tetanus

Tetanus adalah penyakit disebabkan oleh Clostridium tetani dengan terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian timbul gejala sulit menyusui disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan (Markum, 2002).

2.4 Teknik Penyimpanan Vaksin

Tujuan penyimpanan vaksin adalah agar mutu dapat dipertahankan atau tidak kehilangan potensi , aman atau tidak hilang, dan terhindar dari kerusakan fisik. Sarana dan prasarana yang harus disediakan dalam penyimpanan vaksin :

1. Cool room

2. Freezer

3. Lemari es

4. Cool box

5. Vaccine carier

6. Generator

Untuk menyimpan vaksin dibutuhkan peralatan rantai vaksin. Yang dimaksud dengan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan, dari mulai vaksin yang diproduksi di pabrik pembuat vaksin sampai dengan pemberian vaksinasi pada sasaran ibu dan anak. Fungsi dari peralatan rantai vaksin adalah untuk menyimpan atau membawa vaksin pada suhu yang telah ditetapkan sehingga potensi vaksin dapat terjamin sampai masa kadaluarsanya ( Depkes RI, 2009).

Hal-Hal yang perlu diperhatikan:

1. Pengaruh Suhu: Dapat menurunkan potensi dan efikasi vaksin, jika disimpan pada suhu yang tidak sesuai.

2. Pengaruh Sinar Matahari: Usahakan agar vaksin tidak terkena sinar Matahari langsung, khususnya untuk vaksin BCG.

3. Pengaruh Kelembaban: Apabila kemasannya sudah baik, maka pengaruh kelembaban sangat kecil, misalnya menggunakan botol atau ampul yang tertutup kedap.

( Depkes RI, 2009).

Penyimpanan vaksin :

1. Cold Room: suhu 2 s/d 8untuk vaksin BCG, Campak, DPT, TT, dan lain-lain.Suhu -20 untuk vaksin Polio

2. Pemantauan Suhu secara berkala

3. Pengaturan Stok (Inventory Control)

4. Diterapkan aturan system First In First Out (FIFO System), Expire Date, dan VVM System

5. Sebagai control pengeluaran digunakan formulir Batch Delivery Record 6. Pengeluaran barang berdasarkan permintaan pengiriman dan Kapasitas gudang penerima.

( Depkes RI, 2009).

2.5 Pemberian Suntikan ImunisasiPemberian imunisasi dapat dilakukan melalui suntikan vaksin. Adapun dalam pemberian suntikan vaksin harus memperhatikan beberapa cara berikut, yaitu :

a) Tata cara pemberian vaksinSebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut :

Memberitahukan secara rinci tentang resiko imunisasi dan resiko apabila tidak divaksinasi.

Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua.

Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan.

Periksa identitas penerima vaksin.

Periksa jenis vaksin.

Periksa tanggal kadaluarsa.

Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal.

Berikan vaksin dengan teknik yang benar.

(Hanum, 2010).

b) PenyimpananVaksin harus didinginkan pada temperature 2-8c dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku (Hanum, 2010).c) PengenceranVaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 dengan panjang 25mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin (Hanum, 2010).d) Pembersihan kulitTempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan dengan antiseptic (Hanum, 2010).e) Pemberian suntikanSebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuscular kecuali pada 2 jenis vaksin yaitu OPV (polio) diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit)/ subkutan (Hanum, 2010).f) Teknik dan ukuran jarumPada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaian ulang. Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25mm, tetapi pada bayi kurang bulan, umur 2 bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16mm. Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16mm, untuk bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12mm. Untuk suntikan intramuscular pada orang dewasa yang sangat gemuk (obesitas) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38mm. Untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10mm (Hanum, 2010).g) Tempat suntikan yang dianjurkanPada akhir tahun 1980, WHO memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari resiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit diatas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan diatas puncak pundak memberi resiko terjadinya keloid (Hanum, 2010).h) Posisi anak dan lokasi suntikanPenting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan otot. Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah :

Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat.

Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal.

Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan di tempat suntikan yang menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior(Hanum, 2010).

i) Vastus Lateralis, posisi anak dan lokasi suntikanVastus latealis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan kedalam batas antara 1/3 otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.

Anak atau bayi diletakkan diatas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/ pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayi harus dibuka bila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian, vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari (Hanum, 2010).j) Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikanUntuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromnion dari insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromnion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep. Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk disuntikkan di daerah deltoid ialah duduk diatas pangkuan ibu atau pengasuhnya (Hanum, 2010).k) Pengambilan vaksin dari botol (vial)Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena resiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternative lain (Hanum, 2010).l) Penyuntikan subkutan

Penyuntikan vaksin pada subkutan harus memperhatikan umur bayi/balita, tempat atau daerah suntikan dan ukuran jarum yang akan digunakan.Tabel 2. Penyuntikan subkutanUMURTEMPATUKURAN JARUM

Bayi (0-12 bulan)Paha daerah anterolateralUkuran 23-25

Panjang 16-19mm

1-3 tahunPaha daerah anterolateral atau daerah lateral lengan atasUkuran 23-25

Panjang 16-19mm

> 3 tahunDaerah lateral lengan atasUkuran 16-19

Panjang 16-19mm

(Hanum, 2010).

m) Penyuntikan intramuscularPenyuntikan vaksin pada intramuscular harus memperhatikan umur bayi/balita, tempat atau daerah suntikan dan ukuran jarum yang akan digunakan.Tabel 3. Penyuntikan intramuscularUMURTEMPATUKURAN JARUM

Bayi (0-12 bulan)Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateralUkuran 22-25

Panjang 22-25mm

1-3 tahunOtot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral sampai masa otot deltoid cukup besar (pada umumnya umur 3th)Ukuran 22-25

Panjang 16-32mm (panjang 16mm untuk di deltoid umur 12-15 bulan)

> 3 tahunOtot deltoid, dibawah akromionUkuran 22-25

Panjang 25-32mm

(Hanum, 2010).n) Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama

Pemberian vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio.Lebih dari 1 macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi apabila hanya 1 macam yang diberikan. Vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh diberikan kurang dari 2minggu dari vaksin yang 1, sebab respon terhadap vaksin kedua mungkin telah banyak berkurang (Hanum, 2010).2.6 Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

2.6.1. Definisi Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif (Hadinegoro, 2000). 2.6.2 Klasifikasi KIPI

Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik; bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian, apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan pemberian. Berdasarkan data yang diperoleh, maka KIPI dapat diklasifikasikan dalam:

1. Induksi vaksin (vaccine induced ).

Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral (Hadinegoro, 2000).2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated).

Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang (Hadinegoro, 2000).

3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors)

Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuscular diberikan secara subkutan (Hadinegoro, 2000).

4. Koinsidensi (coincidental)

KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi (Hadinegoro, 2000).

WHO pada tahun 1991, melalui Expanded Programme of Immunisation (EPI) telah menganjurkan pelaporan KIPI oleh tiap negara. Untuk Negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengkontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors , termasuk cara penggunaan alat suntik dengan baik, alat sekali pakai atau alat suntik auto-distruct, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI, harus senantiasa diupayakan peningkatan ketelitian, pada pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan (Hadinegoro, 2000).2.6.3 Gejala Klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat dibagi menjadi gejala local dan sistemik serta reaksi lainnya, dapat timbul secara cepat maupun lambat. Pada umumnya, makin cepat KIPI terjadi makin berat gejalanya. Gejala klinis KIPI yaitu :1. Reaksi local Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-itis 2. Reaksi SSP

Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang3. Reaksi lain

Reaksi alergi: urtikaria,dermatitis, edem

Reaksi anafilaksis(hipersensitivitas)

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam

Episod hipotensif hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus menerus

Sindrom syok toksik(Hadinegoro, 2000).2.6.4 Tatalaksana KIPI

Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi, seperti tertera pada Gambar 2. Dalam waktu 24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh orang tua (masyarakat) ataupun petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan. Pelacakan perlu dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan tersebut benar. Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut (Hadinegoro, 2000).2.7 Posyandu

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Kemenkes RI, 2011).Pengintegrasian layanan sosial dasar di Posyandu adalah suatu upaya mensinergikan berbagai layanan yang dibutuhkan masyarakat meliputi perbaikan kesehatan dan gizi, pendidikan dan perkembangan anak, peningkatan ekonomi keluarga, ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan sosial. UKBM adalah wahana pemberdayaan masyarakat, yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat, dengan bimbingan dari petugas Puskesmas, lintas sektor dan lembaga terkait lainnya (Kemenkes RI, 2011).Sasaran Posyandu adalah seluruh masyarakat, utamanya:

1. Bayi

2. Anak balita

3. Ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui

4. Pasangan Usia Subur (PUS)

(Kemenkes RI, 2011)

Posyandu memiliki fungsi yaitu:

1. Sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dalam alih informasi dan keterampilan dari petugas kepada masyarakat dan antar sesama masyarakat dalam rangka mempercepat penurunan AKI, AKB dan AKABA.

2. Sebagai wadah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan.

(Kemenkes RI, 2011)BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Lokasi Pelaksanaan

Tugas Pengenalan profesi akan dilaksanakan di 3.2 Waktu Pelaksanaan

Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada:

Tanggal:

Pukul: 3.3 Subjek Tugas Mandiri

Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan TPP ini adalah Petugas Imunisasi dan anak-anak yang diberikan imunisasi di Puskesmas Merdeka Palembang.3.4 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada Tugas Pengenalan profesi kali ini adalah daftar tilik, alat tulis, dan alat perekam (jika diperlukan).3.5 Langkah-Langkah Kerja

Langkah kerja yang dilakukan adalah:

1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.

2. Menyiapkan daftar tilik dalam melakukan observasi teknik imunisasi di posyandu puskesmas.

3. Konsultasi kepada pembimbing.

4. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi ke Posyandu Puskesmas.

5. Membuat janji dengan pihak Posyandu Puskesmas.

6. Melakukan observasi teknik imunisasi di Posyandu Puskesmas.

7. Mencatat kembali hasil observasi.

8. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi.

9. Membuat kesimpulan hasil observasi.DAFTAR TILIK WAWANCARADaftar pertanyaan wawancara yang akan diajukan kepada narasumber di Posyandu Puskesmas.

1. Apa jenis-jenis imunisasi dasar?

2. Apa saja bentuk sediaan vaksin imunisasi di Puskesmas?

3. Apa manfaat pemberian vaksin-vaksin imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas ?

4. Bagaimana prosedur imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas?5. Bagaimana tatalaksana KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas?

6. Bagaimana teknik penyimpanan vaksin di Posyandu Puskesmas?

7. Apa saja kontra-indikasi dalam pemberian vaksin imunisasi yang sering terjadi di Posyandu Puskesmas?

8. Apa efek samping dari pemberian vaksin imunisasi yang sering terjadi di Posyandu Puskesmas?

9. Kapan jadwal pemberian imunisasi di Posyandu Puskesmas?

10. Apa saja jenis penyakit infeksi terbanyak yang terjadi di Posyandu Puskesmas?

11. Siapa saja yang menjadi subjek dalam pemberian imunisasi dasar di Posyandu Puskesmas?

DAFTAR PUSTAKA

Atikah.2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Jakarta: Nuha Offset

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Operasional Pelayanan Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penyimpanan Vaksin . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Hadinegoro,Sri Rezeki S.2000. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Website : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-1-2.pdf ( Diakses pada tanggal 5 Juni 2015)Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yogyakarta : Nuha Medika

Hidayat, A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Ismoedijanto. 2002. Pedoman imunisasi di indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Markum, AH. 2002. Imunisasi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ranuh,Hariyono Suyitno,Sri Rejeki S, dkk. 2008. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Jakarta : Satgas Imunisasi IDAI.Widodo. 2007. Analisa Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media Publishing.