bab 1, 2 , 3 dafpus
-
Upload
faris-rahman-alfarissi -
Category
Documents
-
view
237 -
download
2
description
Transcript of bab 1, 2 , 3 dafpus
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G., 2001) atau setiap
retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J., Roux G & Lockhart R,
2001). Fraktur tulang panjang adalah terputusnya kontinuitas atau diskontinuitas
jaringan tulang akibat adanya suatu trauma pada tulang-tulang panjang seperti
femur, tibia, fibula, ulna, humerus, dan radius. Fraktur merupakan masalah yang
seringkali terjadi dan banyak menyita perhatian masyarakat. Kasus-kasus patah
tulang seringkali dijumpai pada kecelakaan lalu lintas, misalnya pada saat arus
mudik, dan arus balik hari-hari besar keagamaan. Selain itu juga seringkali terjadi
pada kecelakaan olahraga, pada manula, dan pada orang-orang dengan penyakit
yang dapat merusak tulang.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh beban yang tiba-tiba dan
berlebihan, misalnya dapat berupa penekukan, pemuntiran, patah miring atau
penarikan. Sebagai proses untuk mengembalikan bentuk tulang ke kondisi awal
perlu dilakukan operasi dengan memasangkan pen pada bagian tulang yang patah.
Pemasangan pen dimaksudkan untuk mempertahankan kedudukan tulang dalam
posisi yang benar (anatomis) sampai proses penulangan terjadi. Tujuan
pemasangan pen agar penderita lebih cepat melakukan aktifitas sehabis operasi
dengan bantuan atau tanpa bantuan alat bantu. Namun, dalam melakukan
pemasangan pen, perlu diperhatikan tata cara (kriteria) dalam pemasangannya
karena bila dilakukan dengan tidak benar dapat menimbulkan berbagai macam
masalah dan komplikasi pasca pemasangan pen pada kasus-kasus fraktur.
Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan pencitraan
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi
komplikasi yang terjadi dalam rangka menunjang pengambilan keputusan terapi
pada pasien.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fraktur Tulang Panjang
2.1.1. Anatomi
Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis
sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang
pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah
pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.
Tulang panjang terdiri dari: epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis
merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian
yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus
epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk
dari pusat osifikasi primer.
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang
mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses
pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai
arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan
berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
2.1.2. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur tulang
panjang adalah terputusnya kontinuitas atau diskontinuitas jaringan tulang akibat
adanya suatu trauma pada tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, fibula, ulna,
humerus, dan radius. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa
trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah
tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal
patah.
2
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut
patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
2.1.3. Klasifikasi
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan
dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit
diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi
menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta
ringannya patah tulang.
Deraja
t
Luka Fraktur
I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen
minimal
II Laserasi >2 cm, kontusi otot
disekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III Luka lebar, rusak hebat, atau hilangnya
jaringan di sekitarnya
Kominutif, segmental,
fragmen tulang ada yang
hilang
Tabel 1. Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson
(1976).
Tipe Batasan
I Robekan kulit dengan kerusakan kulit otot, luka bersih, kurang dari 1
3
cm panjangnya
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat. Seperti
grade I namun disertai memar kulit dan otot, luka lebih luas tanpa
kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental
terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur
terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang
lebih dari 8 jam setelah kejadian.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh
Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal
striping atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.
Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat, trauma yang
ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya sendiri sudah terkena
penyakit tertentu. Oleh karena itu dikenal juga berbagai jenis fraktur:
1. Fraktur disebabkan trauma yang berat
2. Fraktur patologik: Fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya
telah mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang primer atau
sekunder, mieloma multipel, kista tulang, dan osteomielitis sehingga
trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan fraktur.
4
3. Fraktur stress: Fraktur ringan yang terus menerus, misalnya fraktur
march pada metatarsal, fraktur tibia pada penari balet, dan fraktur
fibula pada pelari jarak jauh.
Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplet atau
inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa, oblik, spiral,
kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu-kupu, dan impaksi (termasuk
impresi dan inklavasi.
Gambar 1. Mekanisme Patah Tulang. (a) Spiral (berputar); (b) Oblik/serong
(kompresi); (c) Triangular butterfly fragment/kupu-kupu (membengkok);
(d) Transversal/lintang (mengencang)
Gambar 2. Jenis Patah tulang. Fraktur komplet : (a) Transversal; (b) Segmental;
(c) Spiral. Fraktur inkomplete : (d) Buckle/torus/melengkung; (e,f) greenstick.
5
o Location Menjelaskan mengenai lokasi tulang dimana terjadinya
fraktur
o Displacement
Translation Angulation Shortenin
6
American Orthopedic classification
Type A fracture are extra-artucular
1 - Avulsion fracture
2 - Complete fracture
3 - Comminuted fracture
Type B fracture are intra-artucular single condyle fractures
1 - Simple
2 - Crush/depression
3 - Comminuted - split depression
7
Type C fractures are intra-artucular both condyle fractures 6
1 - Simple
2 - Crush/depression
3 - Comminuted - split depression
Fraktur diklasifikasikan menjadi :
1. Berdasarkan garis patah tulang
a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya
bengkok.
b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang
8
2. Berdasarkan bentuk patah tulang
a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan
fragmen tulang biasanya tergeser.
b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah
permukaan tulang lain.
d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi
beberapa bagian.
f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan
dari tempat yang patah.
h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya
yang normal.
i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang
terlihat.
9
Salter-Harris classification Berhubungan pada kasus fraktur pada anak-anak
I. Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih
utuh.
II. Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama
sekali dari metafisis.
10
III. Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
IV. fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis
V. Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian
dari sebagian cakram tersebut.
Berdasarkan lokasinya, fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau),
diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang
panjang terdiri dari bagian diafisis (corpus/shaft) yang berasal dari pusat
penulangan sekunder. Epifisis ini terletak di kedua ujung tulang panjang. Bagian
dari diaphysis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu
bagian dari korpus tulang yang melebar. Fraktur dapat terjadi di 3 bagian ini.
11
Berpindahnya fragmen tulang dari tempatnya semula disebut
displacement. Displacement ini dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Aposisi
Aposisi merupakan suatu keadaan dimana fragmen tulang mengalami
perubahan letak sehingga terjadi perubahan dalam kontak antara fragmen
tulang proksimal dan distal. Pada pemeriksaan radiologik, aposisi dinyatakan
dalam persentase kontak antara fragmen proksimal dan distal. Jadi, misalnya
dari hasil pemeriksaan rontgen terlihat bahwa tidak ada kontak sama sekali
antara permukaan fragmen proksimal dengan distal maka dinyatakan aposisi
0%, disebut juga aposisi komplet. Kalau kontak masih terjadi disebut aposisi
parsial, misalnya aposisi 80%, berarti 80% permukaan fragmen proksimal
masih kontak dengan fragmen distal.
2. Alignment
Alignment merupakan suatu kondisi miringnya fragmen tulang panjang
sehingga arah aksis longitudinalnya berubah. Apabila antara aksis
longitudinal fragmen proksimal dan distal membentuk sudut maka disebut
angulasi. Pada pemeriksaan radiologi, angulasi ini dinyatakan dalam derajat.
3. Rotasi
Rotasi adalah berputarnya fragmen tulang pada aksis longitudinalnya,
misalnya fragmen distal mengalami perputaran terhadap fragmen proksimal.
4. Length (panjang)
Length dapat dibagi menjadi 2, yaitu overlapping (tumpang tindihnya tulang)
yang menyebabkan pemendekan (shortening) tulang serta distraksi yang
menyebabkan tulang memanjang.
12
Ada jenis fraktur yang patahnya tidak disebabkan oleh trauma, tetapi
disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang, dan
disebut fraktur patologis.
Ada juga fraktur, yang biasanya berbentuk fisura, yang disebabkan oleh
beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur kelelahan.
Hal ini misalnya terjadi pada tungkai bawah di tibia atau tulang metatarsus pada
tentara, penari, atau olahragawan yang sering berbaris atau berlari. Akan tetapi,
fisura tulang lebih sering disebabkan cedera.
Sehubungan dengan patofisiologi dan perjalanan penyakitnya, fraktur juga
dibagi atas dasar usia pasien, yaitu fraktur pada anak-anak, fraktur pada orang
dewasa, dan fraktur pada orang tua. Pola anatomis kejadian fraktur dan
penanganannya pada ketiga golongan umur tersebut berbeda. Orang tua lebih
sering menderita fraktur pada tulang yang osteoporotic, seperti vertebra atau
kolum femur; orang dewasa lebih banyak menderita fraktur tulang panjang,
sedangkan anak jarang menderita robekan ligament. Penanganan fraktur pada
anak membutuhkan pertimbangan bahwa anak masih tumbuh. Selain itu,
kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan karena itulah pemendekan serta
perubahan bentuk akibat patah lebih dapat ditoleransi pada anak. Pemendekan
dapat ditoleransi karena pada anak terdapat percepatan pertumbuhan tulang
13
panjang yang patah. Perubahan bentuk dapat ditoleransi karena anak mempunyai
daya penyesuaian bentuk yang lebih besar.
Satu bentuk fraktur yang khusus pada anak adalah fraktur yang mengenai
cakram pertumbuhan. Fraktur yang mengenai cakram epifisis ini perlu mendapat
perhatian khusus karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Fraktur
cakram epifisis ini dibagi menjadi lima tipe.
Tipe 1 Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi
periosteumnya masih utuh
Tipe 2 Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis
lepas sama sekali dari metafisis
Tipe 3 Fraktur cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 Terdapat fragmen fraktur yang garis patahannya tegak lurus
cakram epifisis
Tipe 5 Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang
menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut
2.1.4. Tanda dan Gejala
1. Look ( Inspeksi )
Adanya pembengkakan, memar, dan deformitas (penonjolan abnormal,
angulasi, rotasi, dan diskrepensi). Jika ada kulit robek atau terluka dan
berhubungan dengan fraktur fraktur terbuka.
2. Feel ( Palpasi )
Nyeri tekan setempat, krepitasi, dan jika fraktur pada tulang mengenai
pembuluh darah mungkin bisa menyebabkan pulsasi arteri dibagian distalnya
berkurang.
3. Move ( Pergerakan)
Menilai adanya krepitasi saat bergerak, nyeri saat bergerak, dan berkurangnya
ROM.
14
2.1.5. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Sinar X untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau
luasnya trauma. Diperiksa harus dengan menggunakan minimal dua posisi
yaitu antero-posterior dan lateral.
2. Pemeriksaan darah rutin
Hb untuk melihat ada dan tidaknya penurunan dan untuk keperluan transfusi
darah. Leukosit untuk melihat infeksi atau tidak.
2.1.6. Tatalaksana
1. Penilaian awal
a. Airway
Membuka jalan nafas dengan menggunakan manuver head tilt, chin lift,
dan jaw thrust atau tripple airway manuver.
Jika ada sesuatu yang menyebabkan sumbatan maka dikeluarkan bisa
dengan menggunakan suction (darah atau lendir) atau secara manual
dengan menggunakan tangan. Selain itu posisikan pasien miring.
Pasang guedel atau lakukan intubasi.
b. Breathing
Pemberian oksigenasi dengan menggunakan kanul atau masker sesuai
dengan kebutuhan oksigen pasien.
c. Circulation
Pemberian cairan infus terutama jika ada perdarahan (gunakan larutan
kristaloid contohnya RL dan RA).
Pemasangan Dauer kateter.
Kontrol perdarahan pemasangan balut cincin dan penstabilan fraktur
dengan menggunakan bidai.
2. Penatalaksanaan fraktur
a. Terbuka
Penanganan dini
Penutupan luka hingga sampai ke kamar bedah. Pemberian antibiotik 6
– 48 jam pertama biasanya digunakan kombinasi benzilpenisilin dan
15
fluklosasilin, jika kontaminasi parah maka ditambah dengan gentamisin
atau metronidazol dan pemberian diperpanjang hingga 4 atau 5 hari.
Debridemen
Melakukan eksisi pada bagian kulit disekitar luka, otot yang
kemungkinan telah mati atau mati, dan permukaan fraktur ditempatkan
kembali pada posisi yang benar, fragmen tulang boleh dibuang jika
tulang kecil dan terpisah.
Penutupan luka
Jika fraktur terbuka derajat I - II dan kontaminasi sangat minimal bisa
langsung dilakukan penjahitan atau pencangkokan kulit. Jika luka
derajat III, luka dibiarkan terbuka dulu hingga bahaya infeksi telah
lewat. Luka tadi cukup ditutup dengan menggunakan kassa steril dan
setelah masa bahaya infeksi lewat maka dapat dilakukan penjahitan dan
pencangkokan kulit.
Stabilisasi fraktur
Jika derajat I dan II dengan fraktur yang stabil bisa dengan
menggunakan gips, atau untuk femur dapat digunakan traksi pada
bebat. Derajat III harus menggunakan fiksasi eksternal contohnya
pemasangan pen intramedula (untuk femur dan tibia).
b. Tertutup
Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah
reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di
pilih bergantung sifat fraktur.
- Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi
dan traksi manual.
- Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.
16
- Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Immobilisasi
Setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi atau di
pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi
penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau
inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal
dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai inerna untuk
mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan
sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-
12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
Rehabilitasi
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
- Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
- Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
- Memantau status neurologi.
- Mengontrol kecemasan dan nyeri
- Latihan isometrik dan setting otot
- Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
- Kembali keaktivitas secara bertahap.
17
2.2. Pemasangan Pen
Pen merupakan
http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/
teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-book/orthopedic-hardware
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1897080
http://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?img=2919461_1749-799X-5-
48-3&req=4
http://veterinarynews.dvm360.com/surgery-stat-tailor-your-bone-fracture-
repair-technique?pageID=2
18
BAB III
KESIMPULAN
Nekrosis avaskular adalah kematian jaringan tulang karena kekurangan
suplai darah. Nama lain dari nekrosis avasular adalah osteonekrosis, nekrosis
aseptik dan nekrosis iskemik. Nekrosis avaskular dapat menyebabkan tulang
menjadi rapuh sehingga menjadi kolaps. Pemeriksaan pencitraan radiaografi yang
dapat dilakukan ialah foto polos, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
radionuklir. Pemeriksaan tersebut dapat memudahkan dokter dalam menegakkan
diagnosis AVN. Pada foto polos AVN pada fase awal tidak ditemukan kelainan.
Pada AVN fase ringan sampai sedang. Pada foto polos menunjukkan adanya
sklerosis dan perubahan densitas tulang. Pada fase lanjut deformitas tulang terlihat
merata, radiolusen subkondral (tanda bulan sabit) dan kepala femur yang kollaps.
Pada MRI Perubahan tulang iskemik menjadi jelas dalam jaringan
hematopoietik dalam waktu 6-12 jam. Iskemia terdeteksi dalam osteofit,
osteoblas, dan osteoklas dalam waktu kurang lebih 2 hari. Respon inflamasi yang
mengelilingi tulang devaskular, yang dihasilkan dari peningkatan vaskularisasi
dan jaringan granulasi.
Pada scanning menggunakan radionuklida, ditemukan pada radionuklida
panggul menunjukkan berkurangnya penyerapan tulang, zona dikepala femur
terjadi peningkatan, radionuklida knee joint menunjukkan peningkatan akumulasi
19
isotop pada tibia, radionuklida pada humrus menunjukkan hot-lesion hasil
revaskularisasi yang merupakan proses reparatif.
Radionuclide mendeteksi lebih dini dari radiologi konvensional (foto
polos) tapi kurang sensitiv dibanding MRI. Hanya ketika MRI tidak dapat di
lakukan atau ketika MRI hasilnya tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit dalam Gangguan Sistem Muskuloskletal dan
Jaringan Ikat. Jakarta. EGC. 2005
2. Sjahriar Rasad. Radiologi Diagnostik. Edisi II. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
3. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta. Yarsif Watampone.
2007. Hal. 275-315.
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta.
EGC. 2004.
5. Lawson-Ayayi S, Bonnet F, Bernardin E, et al. Avascular necrosis in HIV-
infected patients: a case-control study from the Aquitaine Cohort, 1997-
2002, France. Clin Infect Dis. Apr 15 2005;40(8):1188-93.
6. Aaron RK, Voisinet A, Racine J, Ali Y, Feller ER, Avascular necrosis:
case control study from the aquitane cohort, 1997-2002, france. Clin infect
Dis. Apr 15 2005 ; 40 (8) :1189-93
7. Wang GJ, Sweet DE, Reger SI, et al. Fat-cell changes as a mechanism of
avascular necrosis of the femoral head in cortisone-treated rabbits. J Bone
Joint Surg Am. Sep 1977;59(6):729-35.
20
8. Bagan JV, Murillo J, Jimenez Y, et al. Avascular jaw osteonecrosis in
association with cancer chemotherapy: series of 10 cases. J Oral Pathol
Med. Feb 2005;34(2):120-3.
9. Lawson-Ayayi S, Bonnet F, Bernardin E, et al. Avascular necrosis in HIV-
infected patients: a case-control study from the Aquitaine Cohort, 1997-
2002, France. Clin Infect Dis. Apr 15 2005;40(8):1188-93.
10. Aaron RK, Voisinet A, Racine J, Ali Y, Feller ER. Corticosteroid-
associated avascular necrosis: dose relationships and early diagnosis. Ann
N Y Acad Sci. Dec 2011;1240(1):38-46.
11. Marti-Carvajal A, Dunlop R, Agreda-Perez L. Treatment for avascular
necrosis of bone in people with sickle cell disease. Cochrane Database
Syst Rev. Oct 18 2004;CD004344.
12. Assouline-Dayan Y, Chang C, Greenspan A, et al. Pathogenesis and
natural history of osteonecrosis. Semin Arthritis Rheum. Oct
2002;32(2):94-124.
13. Imhof H, Breitenseher M, Trattnig S, et al. Imaging of avascular necrosis
of bone. Eur Radiol. 1997;7(2):180-6.
21
22