B20

53
BAB I STATUS PASIEN BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI Nama Mahasiswa : Adrian Ridski Harsono NIM : 030.07.011 Dokter Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardana, Sp.A I. IDENTITAS Data Pasien Ayah Ibu Nama An. K Tn. E Ny. MR Tanggal Lahir / Umur 22 Februari 2008 / 4 tahun 38 tahun 32 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan Alamat Taman Kota Blok K2 No. 2, Bekasi Jaya Agama Katolik Katolik Katolik Suku Bangsa Sunda Skotlandia Ambon Pendidikan Belum Sekolah S2 S1 Pekerjaan - Pegawai Swasta Penari Penghasilan - - - 1

description

status pasien

Transcript of B20

Page 1: B20

BAB I

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

Nama Mahasiswa : Adrian Ridski Harsono

NIM : 030.07.011

Dokter Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardana, Sp.A

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. K Tn. E Ny. MR

Tanggal Lahir /

Umur

22 Februari 2008 /

4 tahun38 tahun 32 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Taman Kota Blok K2 No. 2, Bekasi Jaya

Agama Katolik Katolik Katolik

Suku Bangsa Sunda Skotlandia Ambon

Pendidikan Belum Sekolah S2 S1

Pekerjaan - Pegawai Swasta Penari

Penghasilan - - -

Tanggal Masuk -

Keterangan Hubungan dgn orangtua anak kandung.

1

Page 2: B20

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan nenek pasien pada hari

Sabtu, tanggal 28 Juli 2012, pukul 11.30 WIB

A. Keluhan Utama

Rujukan klinik VCT dengan indikasi ibu HIV (+)

B. Keluhan Tambahan

-

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak dikirim dari Poliklinik VCT diantar oleh neneknya ke Poliklinik

Anak RSUD BEKASI dengan indikasi B20. Saat ini pasien dalam keadaan baik, dan

tidak ada keluhan. Keluhan seperti diare yang lama dan menetap, demam, kemerahan

ditubuh.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak memiliki riwayat demam yang lama, mencret yang terus menerus

serta riwayat penyakit paru. Pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya,

dan riwayat penyuntikan obat-obatan disangkal.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien saat ini sudah meninggal pada tahun 2010 akibat kanker paru

yang dideritanya sejak tahun 2007. Setelah meninggal baru diketahui bahwa ayah

pasien juga menderita B20. Ibu pasien baru saja mengetahui bahwa dirinya menderita

penyakit B20. Sejak awal tahun 2012 ibu pasien sering mengeluhkan demam, lemas,

batuk dan pilek berulang, dan pada awal Juli keluhan ini dirasakan sangan berat

sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi dan diharuskan dirawat di ruang ICU.

Setelah dilakukan perawatan tersebut baru diketahuibahwa ibu pasien menderita B20.

Riwayat seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang pada ibu pasien disangkal

oleh nenk pasien.

III. RIWAYAT PASIEN

Pasien adalah anak 1 dari 1 bersaudara.

A. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Kehamilan

2

Page 3: B20

Perawatan Antenatal : Rutin periksa ke rumah sakit

Penyakit Kehamilan : Tidak ada

Kelahiran

Tempat kelahiran : Rumah Sakit

Penolong persalinan : Dokter

Cara persalinan : Spontan pervaginam

Masa gestasi : Cukup bulan (9 bulan)

Keadaan bayi

Berat badan lahir : 3500 gram

Panjang badan lahir : 45 cm

Lingkar kepala : -

Langsung menangis : ya

Nilai APGAR : -

Kelainan bawaan : -

Kesan : riwayat kelahiran dan kehamilan baik

B. Riwayat Tumbuh Kembang

Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan

Psikomotor

Tengkurap dan berbalik sendiri : 6 bulan

Duduk : 7 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 10 bulan

Berbicara : 12 bulan

Membaca : 5 tahun

Gangguan perkembangan : -

Kesan : Baik ( Perkembangan sesuai dengan usia)

C. Riwayat Makanan

Umur

(bulan )

ASI

PASI

BUAH

BISKUIT

BUBUR

SUSU

NASI

TIM

0-2 ASI - - -

3

Page 4: B20

2-4 ASI - - -

4-6 ASI - - -

6-8 PASI

8-10 PASI

10-12 PASI

Kesan : Pasien mendapatkan ASI sesuai dengan usianya dan diganti dengan PASI setelah

usia 6 bulan. Pasien mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan usianya

Umur lebih dari 1 tahun

JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA

Nasi / pengganti 3 x sehari

Sayur 2 x sehari

Daging 2 x sebulan

Telur 2 x seminggu

Tempe dan tahu 4x seminggu

Susu ( merk/ takaran ) Indomilk susu cair 4 x seminggu

Kesulitan makan : Tidak ada

Kesimpulan Riwayat Makanan : Baik

D. Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG 0 bulan - - - - - -

DPT/ DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - 18 bulan - -

POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan - -

CAMPAK 9 bulan - - - - - -

HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - - -

MMR - - - - - - -

TIPA - - - - - - -

Kesan : Imunisasi dasar lengkap, booster untuk DPT belum dilakukan 4

Page 5: B20

E. Riwayat Keluarga

Corak Reproduksi

No Tanggal Lahir Jenis

Kelamin

Hidup Lahir

Mati

Abortus Mati Keterangan

1. 19 Februari 1998 ♂ Hidup - - - Sakit

Riwayat Pernikahan

AYAH/ WALI IBU/WALI

Nama Tn.E Ny. MR

Pernikahan ke- 1 1

Umur saat menikah 32 27

Pendidikan terakhir S2 S1

Agama Katolik Katolik

Suku Bangsa Skotlandia Ambon

Keadaan kesehatan Meninggal Sakit

Riwayat anggota keluarga lain yang serumah

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan sama seperti pasien.

F. Riwayat Lingkungan Perumahan

Kepemilikan Rumah : Rumah sendiri

Keadaan Rumah :

Rumah terdiri dari dua lantai yang terdiri dari 4 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1

dapur, 2 kamar mandi dan mempunyai halaman yang cukup luas.

Rumah beratapkan genteng yang terbuat dari batu bata, mempunyai tembok

yang terbuat dari bata, kapur dan semen yang dicat dan lantai dari keramik.

Jendela ada (sirkulasi udara baik).

Sumber Air : PAM

Keadaan Lingkungan :

Daerah rumah tidak padat penduduk

Keadaan disekeliling rumah bersih.

G. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita

5

Page 6: B20

PENYAKIT UMUR PENYAKIT UMUR PENYAKIT UMUR

Diare 3 tahun Morbili - Darah -

Otitis - Parotitis - Jantung -

Radang paru - Demam berdarah - Cacar -

Tuberkulosis - Demam tifoid - Difteri -

Kejang - Cacingan - Kecelakaan -

Ginjal - Alergi - Operasi -

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 28 Juli 2012

Waktu : 11.30 WIB

PEMERIKASAAN UMUM

Status generalis

a. Keadaan Umum : tampak sakit ringan

b. Kesadaran : compos mentis

c. Tanda Vital :

o Frekuensi Nadi : 88x/menit

o Tekanan Darah : -

o Frekuensi Pernafasan : 24 x/menit

o Suhu Tubuh : 36,2°C

d. Data Antropometri :

o Berat Badan : 13,5 kg

o Tinggi Badan : 112 cm

Status gizi

Menurut kurva CDC

TB/U = p25

BB/U = p20

Kesimpulan : gizi baik

6

Page 7: B20

PEMERIKSAAN SISTEMATIS

Kepala :

o Bentuk : Normocephali

o Rambut : Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata.

o Mata : Palpebra tidak cekung, pupil bulat isokor, diameter

3mm/3mm, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif pada

kedua mata, konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik

o Telinga : Normotia, liang telinga lapang/lapang, serumen -/-.

o Hidung : Bentuk biasa, lapang/lapang, sekret(-).

o Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), lidah

tidak kotor dan tidak kering, candidiasis (-),

tonsil T1-T1.

Leher : Trakea lurus ditengah, tiroid tidak membesar, KGB

tidak membesar

Thoraks :

o Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tampak pada 1 cm medial dari linea

midclavicularis sinistra pada ICS V

Palpasi : Ictus cordis teraba pada 1 cm medial dari linea

midclavicularis sinistra pada ICS V

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

o Pulmo

Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis

Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax

Perkusi : Sonor di kedua hemithorax

Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

o Inspeksi : Perut tampak datar, tidak tampak benjolan

o Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.

o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),

hepar dan lien tidak teraba membesar.

7

Page 8: B20

o Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-).

Anus : Tidak ada kelainan pada anus dan sekitarnya

Genitalia : Jenis kelamin laki-laki, tidak tampak fimosis, edema

atau kelainan disekitar penis.

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), capillary refill < 2 detik,

turgor cukup

Kulit : Warna kulit sawo matang,

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 21 Juni 2012

Pemeriksaan Hasil Lab Normal

Anti HIV Reaktif Non Reaktif

VI. RESUME

Anak K, laki-laki, 4 tahun dengan BB : 13,5 kg datang atas rujukan dari poliklinik

VCT RSUD Bekasi dengan indikasi ibu HIV (+). keluhan seperti demam lama, bercak

kemerahan di kulit dan diare yang terus menerus disangkal oleh pasien.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, compos mentis, TD

90/60 mmHg, frekuensi nadi 88x/mnt, RR 24x/mnt, suhu 36,2oC. Hasil pemeriksaan fisik

tubuh tidak ditemukan adanya kelainan, Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anti HIV

yang reaktif.

VII. DIAGNOSIS KERJA

HIV stadium 1 (asimptomatik)

VIII. DIAGNOSIS BANDING

-

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN

CD4

8

Page 9: B20

X. PENATALAKSANAAN

A. Nonfarmakologis

- Kontrol ke poliklinik anat setiap bulan

- Diet Biasa

- Asupan cairan peroral yang cukup.

- Aktivitas biasa

B. Farmakologis

- D4TFDL Junior 1-0-1

- Kotrimoxsazole 1 x 1 Cth

XI. PROGNOSIS

o Ad vitam : Dubia ad Malam

o Ad fungsionam : Dubia ad Malam

o Ad sanationam : Dubia ad Malam

XII. TINDAK LANJUT (FOLLOW UP)

-

ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan rujukan dari poliklinik VCT atas indikasi ibu HIV (+) dan

ayah suspek HIV (+). Anak dengan Orangtua HIV (+) memiliki kemungkinan transmisi

secara transplasental sebesar 50%. Maka dari itu pasien perlu dilakukan pemeriksaan untuk

memastikan apakah terjadi penularan atau tidak. Telah dilakukan pemeriksaan Anti HIV, dan

hasilnya adalah reaktif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderit HIV.

Menurut WHO, stadium klinis dari HIV dibagi menjadi 4 yaitu :

Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan BB 5-10%

9

Page 10: B20

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal

TB Extraparu*

Sarkoma kaposi

Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis*

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Pada pasien tidak ditemukan adanya penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir

dan gejala dari HIV, maka, pasien ini dapat dimasukan sebagai HIV stadium I

(asimptomatik).

10

Page 11: B20

Baku pengobatan pada pasien dengan HIV adalah Triple Therapy. WHO merekomendasikan

bahwa regimen lini pertama adalah 2 NRTI dan 1 NNRTI. Sedangkan penggunaan 3 NRTI merupakan

lini kedua. Dan pada pasien yang sudah terkonfirmasi terkena HIV maka indikasi pengobatannya

adalah :

Stadium Klinis Pemeriksaan CD4Rekomendasi Pemberian ART menurut Umur

<12 bulan >12 bulan

4 +/- Semua Diobati

3

+

Semua diobati Semua diobati kecuali apabila terdapat TB, LIP, OHL dan trombositopenia, tergantung dari CD4

- Semua diobati

1 & 2 + Bergantung CD4

1 & 2 - Tergantung TLC

Pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan CD4 dan tergantung hasil dari CD4

tersebut. Apabila CD4 < 25% maka membutuhkan ART. ART yang digunakan pada pasien, 4

tahun, dengan berat badan antara 12 kg -13,9 kg adalah d4T FDC Junior 1-0-1. D4T FDC

Junior ini diberikan pagi dan sore masing-masing satu tablet. Tablet pagi berisi

Stavudin/Lamivudine/Nevirapin dengan dosis 12/60/100. sedangkan tablet sore berisi

Stavudine dan Lamivudine dengan dosis 12/60. Kemudian perlu juga ditambahkan

kotrimoksazole sebagai pencegahan terhadap infeksi lain seperti pneumonia berat. Dosis

yang diberikan adalah 6-8 mg/KgBB/hari. Pada pasien ini terapi yang diberikan sudah sesuai.

BAB II

HIV AIDS

11

Page 12: B20

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan

tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih

yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4

sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya

nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang

seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan

sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan

sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama

akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol(1))

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan

gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh

manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan

penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya

berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media

hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa

pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,

bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik

Epidemiologi

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang

terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per

hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah

sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat

4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya

pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di

Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya

ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.

12

Page 13: B20

Etiologi

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan

terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung

glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan

monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk

oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse

transcriptase enzyme)(1,2).

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi

berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara

kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia

adalah grup HIV-1(2)

Struktur HIV :

Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam terdapat

sebuah inti (CORE).

1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.

Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang

disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru

terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.

Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-

rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut

env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan

sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope

virus. (3)

13

Page 14: B20

2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk

peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24.

Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari

virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk

membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein

gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang

merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif,

vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang

mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau

menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat

melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu

berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga

mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah

enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu :

REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah

P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope(4)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Cara penularan

14

Page 15: B20

Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini

berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap

pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering

berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko

tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita

AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi

penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari

seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan

mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun

wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenral

2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah

terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum

suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum

suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko

tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat

sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat

15

Page 16: B20

jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular

infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar

50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan

melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan

faktor resiko dilapor s/d Desember 2010

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui

ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur

terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik

Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara

yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.

Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan

menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja

penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

16

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

Page 17: B20

Patofisiologi

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan

transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda

tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan

mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam

sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama

dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti

panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,

dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan

peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,

kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load

secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4

secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada

kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).

Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV

adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV

perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,

makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV

memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran

adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel

target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV

termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk

dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan

menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh

ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran

DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom

host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif

untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai

keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host

teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor

sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen

tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi

replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme

17

Page 18: B20

lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling

cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.

Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi

sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi

menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti

beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian

polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru

dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang

lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam

satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.

Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari

waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui

beberapa mekanisme(4) :

1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya

penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan

nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.

2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit

T-CD4 yang tidak terinfeksi

3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan

disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.

4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi

sel yang terinfeksi(4).

5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4

Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui

apoptosis.

Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4

secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah

lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan

individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya

infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan

munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai

18

Page 19: B20

jenis infeksi sekundernya.

19

Page 20: B20

Patogenesis infeksi HIV

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel

B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi

netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi

adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di

dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi

seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang

infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV

dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV

dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan

perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel

penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang

membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi  menjadi sel plasma. Sel-sel plasma

ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin

IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun

selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus

diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-

12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang

terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel

inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan

perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.

20

Page 21: B20

Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan

perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi

HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti

bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan

perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya

penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai

hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini(5) :

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Limfosit

CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi

imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan

oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi

normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan

reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka

produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel

plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit

CD4+.

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat

diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan

sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC,

sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek

imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi

terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian

bertindak untuk  mematikan sel yang terinfeksi.

Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan

berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV.

Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif

atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993).  Limfosit CD4+ juga

mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut  anergi. Teori lain

menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada  pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi

dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss,  1993) sehingga

mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+

mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-

virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel

tersebut.21

Page 22: B20

Perkembangan klinis

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang

dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan

pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen

CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.

Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun,

pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini

disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat

timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.

Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang

berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam

makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan

pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar

limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien

yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada

awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar

limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus

maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus

berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten

walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten(5).

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun

di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut

sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-

penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

22

Page 23: B20

23

Page 24: B20

Manifestasi klinis

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan

infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya;

a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-

50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual

serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang

lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya

2.1. Manifestasi pada Paru-paru

2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru

PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat

menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%

penderita AIDS.

2.1.3. Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke

organ lain diluar paru.

2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

3. Manifestasi Neurologis

24

Page 25: B20

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir

penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan

neuropari perifer.

Diagnosis HIV

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana

kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai

pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk

menentukan tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat

penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan

- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)

- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial

- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)

- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah

- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Daftar tilik riwayat pasien

25

Page 26: B20

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan

strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang

berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-

keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau

pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang(5).

Gejala Mayor :

1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan

2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

5. Demensia / ensefalopati HIV

Gejala Minor :

1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

2. Dermatitis generalisata yang gatal

3. Herpes Zooster berulang

26

Page 27: B20

4. Kandidiosis Orofaring

5. Herpes Simpleks kronis progresif

6. Limfadenopati generalisata

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan khusus untuk HIV :

1. Tes Antibodi HIV

27

Page 28: B20

Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan dengan

menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot

blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga liur. Metode yang paling

sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila menggunakan

tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau window period. Masa jendela adalah

keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah,

padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif,

Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat

kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi. (5)

2. Deteksi Antigen

Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :

Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )

Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar

terhadap HIV

Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :

28

Page 29: B20

Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini

: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.

Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan

stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu,

mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,

mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan

lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),

stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), dalam

tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan

sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah

terapi ARV.

Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas

odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes

CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa

meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau

menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.

Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai

indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai

respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik

Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

29

Page 30: B20

Penurunan BB 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%

Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

TB limfadenopati

Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

Kandidosis esophageal

TB Extraparu*

Sarkoma kaposi

Retinitis CMV*

Abses otak Toksoplasmosis*

Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus*

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

\

PENATALAKSANAAN

30

Page 31: B20

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data

selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan

menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi

HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,

limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga

tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap

tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,

stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

No Nama Golongan Fungsi

1 NRTI (nucleoside reverse-

transcriptase inhibitor )

penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari

RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum

penggabungan DNA virus dengan kromosom sel

inang.

2 NNRTI (non-nucleoside

reverse-transcriptase inhibitor

(NNRTI)

menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase

dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif

pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.

31

Page 32: B20

3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan

untuk memecah prekursor poliprotein virus dan

membangkitkan fungsi protein virus.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral

akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap

kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya

(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,

dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat

keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi

ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan

sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang

baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium

KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4

Jika tidak tersedia

pemeriksaan CD4

1

Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit

<1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi

sebelum CD4 <200/mm3.

Pada kehamilan atau TB:

Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan

CD4 350

Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan

CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial

berat

Terapi ARV dimulai tanpa

memandang jumlah limfosit

total

4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat

muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang

bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).

32

Page 33: B20

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat

ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak

dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini

tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4,

ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain

yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah

sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat

apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di

atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum

CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat

CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu

pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB

paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun

dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja

didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian

klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral

load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.

Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi

kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).

Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal

pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB

dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau

meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh

WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini

dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi

dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera

diikuti oleh resistensi.

33

Page 34: B20

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan

1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC)

dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).

Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP.

Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada

kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih

disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis

laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat

digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan

Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan

masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:

34

Page 35: B20

Pilihan obat ARV golongan NR

35

Page 36: B20

Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal terapi

akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya masih

sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2

NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan

tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi ARV.

Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien yang baru

memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi

merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi

36

Page 37: B20

ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman

tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

37

Page 38: B20

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

38