B20
-
Upload
adrian-ridski-harsono -
Category
Documents
-
view
919 -
download
0
description
Transcript of B20
BAB I
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Nama Mahasiswa : Adrian Ridski Harsono
NIM : 030.07.011
Dokter Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardana, Sp.A
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. K Tn. E Ny. MR
Tanggal Lahir /
Umur
22 Februari 2008 /
4 tahun38 tahun 32 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Taman Kota Blok K2 No. 2, Bekasi Jaya
Agama Katolik Katolik Katolik
Suku Bangsa Sunda Skotlandia Ambon
Pendidikan Belum Sekolah S2 S1
Pekerjaan - Pegawai Swasta Penari
Penghasilan - - -
Tanggal Masuk -
Keterangan Hubungan dgn orangtua anak kandung.
1
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan nenek pasien pada hari
Sabtu, tanggal 28 Juli 2012, pukul 11.30 WIB
A. Keluhan Utama
Rujukan klinik VCT dengan indikasi ibu HIV (+)
B. Keluhan Tambahan
-
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak dikirim dari Poliklinik VCT diantar oleh neneknya ke Poliklinik
Anak RSUD BEKASI dengan indikasi B20. Saat ini pasien dalam keadaan baik, dan
tidak ada keluhan. Keluhan seperti diare yang lama dan menetap, demam, kemerahan
ditubuh.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat demam yang lama, mencret yang terus menerus
serta riwayat penyakit paru. Pasien tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya,
dan riwayat penyuntikan obat-obatan disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien saat ini sudah meninggal pada tahun 2010 akibat kanker paru
yang dideritanya sejak tahun 2007. Setelah meninggal baru diketahui bahwa ayah
pasien juga menderita B20. Ibu pasien baru saja mengetahui bahwa dirinya menderita
penyakit B20. Sejak awal tahun 2012 ibu pasien sering mengeluhkan demam, lemas,
batuk dan pilek berulang, dan pada awal Juli keluhan ini dirasakan sangan berat
sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD Bekasi dan diharuskan dirawat di ruang ICU.
Setelah dilakukan perawatan tersebut baru diketahuibahwa ibu pasien menderita B20.
Riwayat seks bebas, dan penggunaan obat-obatan terlarang pada ibu pasien disangkal
oleh nenk pasien.
III. RIWAYAT PASIEN
Pasien adalah anak 1 dari 1 bersaudara.
A. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kehamilan
2
Perawatan Antenatal : Rutin periksa ke rumah sakit
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah Sakit
Penolong persalinan : Dokter
Cara persalinan : Spontan pervaginam
Masa gestasi : Cukup bulan (9 bulan)
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
Lingkar kepala : -
Langsung menangis : ya
Nilai APGAR : -
Kelainan bawaan : -
Kesan : riwayat kelahiran dan kehamilan baik
B. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Psikomotor
Tengkurap dan berbalik sendiri : 6 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10 bulan
Berbicara : 12 bulan
Membaca : 5 tahun
Gangguan perkembangan : -
Kesan : Baik ( Perkembangan sesuai dengan usia)
C. Riwayat Makanan
Umur
(bulan )
ASI
PASI
BUAH
BISKUIT
BUBUR
SUSU
NASI
TIM
0-2 ASI - - -
3
2-4 ASI - - -
4-6 ASI - - -
6-8 PASI
8-10 PASI
10-12 PASI
Kesan : Pasien mendapatkan ASI sesuai dengan usianya dan diganti dengan PASI setelah
usia 6 bulan. Pasien mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan usianya
Umur lebih dari 1 tahun
JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA
Nasi / pengganti 3 x sehari
Sayur 2 x sehari
Daging 2 x sebulan
Telur 2 x seminggu
Tempe dan tahu 4x seminggu
Susu ( merk/ takaran ) Indomilk susu cair 4 x seminggu
Kesulitan makan : Tidak ada
Kesimpulan Riwayat Makanan : Baik
D. Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DPT/ DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - 18 bulan - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan - -
CAMPAK 9 bulan - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - - -
MMR - - - - - - -
TIPA - - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, booster untuk DPT belum dilakukan 4
E. Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
No Tanggal Lahir Jenis
Kelamin
Hidup Lahir
Mati
Abortus Mati Keterangan
1. 19 Februari 1998 ♂ Hidup - - - Sakit
Riwayat Pernikahan
AYAH/ WALI IBU/WALI
Nama Tn.E Ny. MR
Pernikahan ke- 1 1
Umur saat menikah 32 27
Pendidikan terakhir S2 S1
Agama Katolik Katolik
Suku Bangsa Skotlandia Ambon
Keadaan kesehatan Meninggal Sakit
Riwayat anggota keluarga lain yang serumah
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan sama seperti pasien.
F. Riwayat Lingkungan Perumahan
Kepemilikan Rumah : Rumah sendiri
Keadaan Rumah :
Rumah terdiri dari dua lantai yang terdiri dari 4 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1
dapur, 2 kamar mandi dan mempunyai halaman yang cukup luas.
Rumah beratapkan genteng yang terbuat dari batu bata, mempunyai tembok
yang terbuat dari bata, kapur dan semen yang dicat dan lantai dari keramik.
Jendela ada (sirkulasi udara baik).
Sumber Air : PAM
Keadaan Lingkungan :
Daerah rumah tidak padat penduduk
Keadaan disekeliling rumah bersih.
G. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
5
PENYAKIT UMUR PENYAKIT UMUR PENYAKIT UMUR
Diare 3 tahun Morbili - Darah -
Otitis - Parotitis - Jantung -
Radang paru - Demam berdarah - Cacar -
Tuberkulosis - Demam tifoid - Difteri -
Kejang - Cacingan - Kecelakaan -
Ginjal - Alergi - Operasi -
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 28 Juli 2012
Waktu : 11.30 WIB
PEMERIKASAAN UMUM
Status generalis
a. Keadaan Umum : tampak sakit ringan
b. Kesadaran : compos mentis
c. Tanda Vital :
o Frekuensi Nadi : 88x/menit
o Tekanan Darah : -
o Frekuensi Pernafasan : 24 x/menit
o Suhu Tubuh : 36,2°C
d. Data Antropometri :
o Berat Badan : 13,5 kg
o Tinggi Badan : 112 cm
Status gizi
Menurut kurva CDC
TB/U = p25
BB/U = p20
Kesimpulan : gizi baik
6
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala :
o Bentuk : Normocephali
o Rambut : Rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata.
o Mata : Palpebra tidak cekung, pupil bulat isokor, diameter
3mm/3mm, reflek cahaya langsung dan tidak langsung positif pada
kedua mata, konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik
o Telinga : Normotia, liang telinga lapang/lapang, serumen -/-.
o Hidung : Bentuk biasa, lapang/lapang, sekret(-).
o Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), lidah
tidak kotor dan tidak kering, candidiasis (-),
tonsil T1-T1.
Leher : Trakea lurus ditengah, tiroid tidak membesar, KGB
tidak membesar
Thoraks :
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak pada 1 cm medial dari linea
midclavicularis sinistra pada ICS V
Palpasi : Ictus cordis teraba pada 1 cm medial dari linea
midclavicularis sinistra pada ICS V
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis
Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax
Perkusi : Sonor di kedua hemithorax
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
o Inspeksi : Perut tampak datar, tidak tampak benjolan
o Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba membesar.
7
o Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-).
Anus : Tidak ada kelainan pada anus dan sekitarnya
Genitalia : Jenis kelamin laki-laki, tidak tampak fimosis, edema
atau kelainan disekitar penis.
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), capillary refill < 2 detik,
turgor cukup
Kulit : Warna kulit sawo matang,
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 21 Juni 2012
Pemeriksaan Hasil Lab Normal
Anti HIV Reaktif Non Reaktif
VI. RESUME
Anak K, laki-laki, 4 tahun dengan BB : 13,5 kg datang atas rujukan dari poliklinik
VCT RSUD Bekasi dengan indikasi ibu HIV (+). keluhan seperti demam lama, bercak
kemerahan di kulit dan diare yang terus menerus disangkal oleh pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, compos mentis, TD
90/60 mmHg, frekuensi nadi 88x/mnt, RR 24x/mnt, suhu 36,2oC. Hasil pemeriksaan fisik
tubuh tidak ditemukan adanya kelainan, Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anti HIV
yang reaktif.
VII. DIAGNOSIS KERJA
HIV stadium 1 (asimptomatik)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
-
IX. PEMERIKSAAN ANJURAN
CD4
8
X. PENATALAKSANAAN
A. Nonfarmakologis
- Kontrol ke poliklinik anat setiap bulan
- Diet Biasa
- Asupan cairan peroral yang cukup.
- Aktivitas biasa
B. Farmakologis
- D4TFDL Junior 1-0-1
- Kotrimoxsazole 1 x 1 Cth
XI. PROGNOSIS
o Ad vitam : Dubia ad Malam
o Ad fungsionam : Dubia ad Malam
o Ad sanationam : Dubia ad Malam
XII. TINDAK LANJUT (FOLLOW UP)
-
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan rujukan dari poliklinik VCT atas indikasi ibu HIV (+) dan
ayah suspek HIV (+). Anak dengan Orangtua HIV (+) memiliki kemungkinan transmisi
secara transplasental sebesar 50%. Maka dari itu pasien perlu dilakukan pemeriksaan untuk
memastikan apakah terjadi penularan atau tidak. Telah dilakukan pemeriksaan Anti HIV, dan
hasilnya adalah reaktif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderit HIV.
Menurut WHO, stadium klinis dari HIV dibagi menjadi 4 yaitu :
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
9
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Pada pasien tidak ditemukan adanya penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir
dan gejala dari HIV, maka, pasien ini dapat dimasukan sebagai HIV stadium I
(asimptomatik).
10
Baku pengobatan pada pasien dengan HIV adalah Triple Therapy. WHO merekomendasikan
bahwa regimen lini pertama adalah 2 NRTI dan 1 NNRTI. Sedangkan penggunaan 3 NRTI merupakan
lini kedua. Dan pada pasien yang sudah terkonfirmasi terkena HIV maka indikasi pengobatannya
adalah :
Stadium Klinis Pemeriksaan CD4Rekomendasi Pemberian ART menurut Umur
<12 bulan >12 bulan
4 +/- Semua Diobati
3
+
Semua diobati Semua diobati kecuali apabila terdapat TB, LIP, OHL dan trombositopenia, tergantung dari CD4
- Semua diobati
1 & 2 + Bergantung CD4
1 & 2 - Tergantung TLC
Pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan CD4 dan tergantung hasil dari CD4
tersebut. Apabila CD4 < 25% maka membutuhkan ART. ART yang digunakan pada pasien, 4
tahun, dengan berat badan antara 12 kg -13,9 kg adalah d4T FDC Junior 1-0-1. D4T FDC
Junior ini diberikan pagi dan sore masing-masing satu tablet. Tablet pagi berisi
Stavudin/Lamivudine/Nevirapin dengan dosis 12/60/100. sedangkan tablet sore berisi
Stavudine dan Lamivudine dengan dosis 12/60. Kemudian perlu juga ditambahkan
kotrimoksazole sebagai pencegahan terhadap infeksi lain seperti pneumonia berat. Dosis
yang diberikan adalah 6-8 mg/KgBB/hari. Pada pasien ini terapi yang diberikan sudah sesuai.
BAB II
HIV AIDS
11
Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih
yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4
sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya
nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol(1))
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan
gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,
bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang
terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per
hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat
4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.
12
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan
monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk
oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme)(1,2).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1(2)
Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam terdapat
sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti bola.
Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak yang
disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang baru
terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-
rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan
sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam envelope
virus. (3)
13
2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk
peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24.
Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari
virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk
membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya mengkode protein
gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan gp 41, yang
merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif,
vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein yang
mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat turunan virus baru atau
menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat
melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu
berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga
mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah
enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu :
REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE. Protein HIV lainnya adalah
P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope(4)
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Cara penularan
14
Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
1.2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
2.1 Transmisi Parenral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko
tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2.1.2. Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat
15
jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan
faktor resiko dilapor s/d Desember 2010
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui
ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur
terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara
yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
16
Faktor Resiko AIDS
Heteroseksual/HeterosexuaL 12717
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724
Transfusi Darah/Blood Transfusion 48
Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628
Tak Diketahui/Unknown 772
Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal dan
transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda
tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan
mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam
sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti
panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk,
dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan
peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load
secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4
secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada
kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS(4).
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV
adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV
perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,
makrofag, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV
memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran
adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel
target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV
termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk
dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan
menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran
DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom
host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif
untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai
keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host
teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor
sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen
tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme
17
lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling
cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi
sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian
polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru
dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang
lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam
satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4 melalui
beberapa mekanisme(4) :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi dengan
nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit
T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk mengeliminasi
sel yang terinfeksi(4).
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4
Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui
apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan
munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai
18
jenis infeksi sekundernya.
19
Patogenesis infeksi HIV
Respon Imun Terhadap Infeksi HIV
Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel
B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi
netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi
adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di
dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi
seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV
dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan
perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel
penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang
membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel plasma
ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin
IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun
selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus
diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-
12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang
terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel
inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan
perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
20
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan
perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi
HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti
bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya
penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai
hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini(5) :
Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Limfosit
CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi
imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi
normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan
reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka
produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel
plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit
CD4+.
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat
diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan
sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC,
sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek
imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi
terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian
bertindak untuk mematikan sel yang terinfeksi.
Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan
berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV.
Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif
atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993). Limfosit CD4+ juga
mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. Teori lain
menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi
dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss, 1993) sehingga
mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+
mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-
virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel
tersebut.21
Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan
pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen
CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun,
pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini
disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat
timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.
Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang
berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam
makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan
pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar
limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien
yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada
awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar
limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus
maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus
berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten
walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten(5).
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun
di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut
sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-
penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini
22
23
Manifestasi klinis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan
infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-
50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual
serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang
lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke
organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
24
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir
penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan
neuropari perifer.
Diagnosis HIV
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai
pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat
penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).
Faktor risiko infeksi HIV
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Daftar tilik riwayat pasien
25
Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif dengan
strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor yang
berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, atau ditemukan sarcoma Kaposi atau
pneumonia yang mengancam jiwa yang berulang(5).
Gejala Mayor :
1. Berat badan turun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bukan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
5. Demensia / ensefalopati HIV
Gejala Minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Herpes Zooster berulang
26
4. Kandidiosis Orofaring
5. Herpes Simpleks kronis progresif
6. Limfadenopati generalisata
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan khusus untuk HIV :
1. Tes Antibodi HIV
27
Tes ini berfungsi untuk mendeteksi antibody terhadap HIV. Tes ini dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga cara, yaitu ELISA (Enzyme Link Immunobinding Assay), Aglutinasi, dan juga dot
blot. Bahan yang digunakan adalah serum, cairan plasma, darah, dan juga liur. Metode yang paling
sering digunakan adalah ELISA. Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila menggunakan
tes Ab ini, karena pada infeksi HIV, terdapat masa jendela atau window period. Masa jendela adalah
keadaan dimana jumlah Ab yang terbentuk belum cukup untuk dapat terdeteksi di dalam darah,
padahal virus telah masuk di dalam tubuh, oleh karena itu hasilnya akan menunjukkan negatif,
Biasanya antibody dapat terdeteksi kurang lebih 4-8 minggu setelah infeksi. Apabila tingkat
kecuringaan terhadap pasien tinggi, tes ini harus diulang 3 bulan lagi. (5)
2. Deteksi Antigen
Deteksi antigen ini dapat berfungsi untuk :
Deteksi dini pada neonatus ( 18 bulan )
Untuk pasien dengan seronegatif tetapi dengan riwayat terpapar
terhadap HIV
Deteksi Antigen hanya dapat dilakukan dan terdeteksi saat pasien :
28
Jumlah Ag > Ab : pada stadium dini
: pada stadium lanjut dimana Ab tidak terbentuk lagi.
Penilaian Klinis
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu,
mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan
lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi.
Stadium Klinis
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), dalam
tabel 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan
sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah
terapi ARV.
Penilaian Imunologi
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes
CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa
meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC) dapat digunakan sebagai
indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai
respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
29
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
\
PENATALAKSANAAN
30
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data
selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga
tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap
tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV)
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):
Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,
stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
No Nama Golongan Fungsi
1 NRTI (nucleoside reverse-
transcriptase inhibitor )
penghambat kuat enzim reversetranscriptase dari
RNA menjadi DNA yang terjadi sebelum
penggabungan DNA virus dengan kromosom sel
inang.
2 NNRTI (non-nucleoside
reverse-transcriptase inhibitor
(NNRTI)
menghambat aktivitas enzim reverse-transcriptase
dengan mengikat secara langsung tempat yang aktif
pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya.
31
3 PI (Protease Inhibitor ) menghambat enzim protease HIV yang dibutuhkan
untuk memecah prekursor poliprotein virus dan
membangkitkan fungsi protein virus.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral
akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap
kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya
(terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,
dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi
ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan
sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang
baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
Terapi pada ODHA dewasa
Stadium
KlinisBila tersedia pemeriksaan CD4
Jika tidak tersedia
pemeriksaan CD4
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200
Terapi ARV tidak diberikan
2Bila jumlah total limfosit
<1200
3
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi
sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan
CD4 350
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial
berat
Terapi ARV dimulai tanpa
memandang jumlah limfosit
total
4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat
muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang
bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan)(6).
32
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat
ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak
dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini
tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4,
ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain
yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah
sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di
atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum
CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat
CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB
paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun
dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian
klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.
Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi
kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal
pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau
meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh
WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini
dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi
dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera
diikuti oleh resistensi.
33
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan
1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC)
dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).
Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP.
Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada
kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih
disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan
Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan
masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan:
34
Pilihan obat ARV golongan NR
35
Tabel 13 : Kombinasi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal terapi
akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya masih
sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2
NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan
tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)
Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi ARV.
Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien yang baru
memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi
merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi
36
ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman
tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.
Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS
37
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary. Geneva. 2010.
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
38