AYAT-AYAT SAJADAH DALAM AL-QUR’AN
Transcript of AYAT-AYAT SAJADAH DALAM AL-QUR’AN
AYAT-AYAT SAJADAH DALAM AL-QUR’AN
PERSPEKTIF FENOMENOLOGI
Moh Jazuli
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected]
Abstrak
Ayat-ayat sajadah merupakan ayat-ayat yang apabila membaca atau mendengarnya disunnahkan untuk melakukan sujud tilawah. Cara memperlakukan ayat ini berbeda dengan ayat-ayat yang bukan ayat sajadah. ayat ini merupakan ayat yang diperlakukan istimewa oleh umat islam. Jika pada ayat yang lain mereka hanya disunnahkan untuk mengucapakan kalimat tertentu, semisal kata amîn ketika membaca akhir surat al-Fatihah, tapi pada ayat ini umat islam disunnahkan untuk melakukan sujud tilawah. Kata yang digunakan dalam ayat sajadah ini (yang menyebabkan ayat tersebut tergolong dalam ayat-ayat sajadah) berbeda-beda. Ada kata yang menggunakan redaksi berita (khabari) dan yang ada menggunakan redaksi perintah (insya’i yang amar). Meskipun redaksi yang digunakan dalam ayat sajadah ini berbeda-beda, namun kesunnahan untuk melakukan sujud bagi yang membaca dan mendengar ayat ini tidak hilang karena perbedaan redaksi. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa fenomena yang terdapat dalam ayat-ayat sajadah ini adalah berbeda-bedanya redaksi yang digunakan dalam ayat ini. Perbedaan tersebut tidak dapat menghilangkan eksistensi ayat sajadah tersebut. Bahkan, perintah yang menggunakan redaksi khabari lebih tegas perintahnya dari pada redaksi yang menggunakan amar. Kata Kunci: Ayat-Ayat Sajadah, al-Qur’an, dan Fenomenologi
Pendahuluan
Turunnya al-Qur’an merupakan salah satu peristiwa besar yang
terjadi dalam sejarah umat Islam. al-Qur’an yang merupakan kitab
suci bagi umat Islam ini diturunkan kepada seorang utusan yang al-
amîn untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pegangan hidup.
Kitab suci ini menyebut dirinya sebagai hudan (petunjuk) bagi
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |171
manusia. Kandungan yang terdapat didalamnya dapat
menyelamatkan manusia dari kesesatan dan menunjukkannya pada
jalan yang lurus. Isi dari kitab al-Qur’an ini mencakup pada setiap lini
kehidupan manusia, mulai dari kehidupan manusia yang pertama
hingga berakhirnya kehidupan dunia. Bahkan kehidupan setelah
kehidupan dunia ini juga tercakup didalamnya sehingga tidak salah
jika dikatakan bahwa kitab ini sholih li kulli zaman wa makan.
Pada dasarnya al-Qur’an turun sebagai wahyu untuk
menyampaikan pesan-pesan Allah kepada makhluk-Nya melalui lisan
Nabi Muhammad SAW. al-Qur’an turun secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Proses turun secara berangsur-
angsur ini dimaksudkan agar manusia dengan mudah menghafal dan
dapat mengaplilkasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat
mengaplikasikan isi al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, maka
manusia khususnya umat Islam di tuntut untuk melakukan interaksi
dengan kitab yang telah menjadi pegangan hidup umat Islam ini.
Dengan demikian manusia mampu menangkap pesan yang
terkandung didalamnya, sehingga pesan-pesan itu dapat diaplikasikan
dalam kehidupannya.
Berinteraksi dengan al-Qur’an, mulai dari proses membaca,
memahami hingga mengaplikasikan dalam kehidupan nyata tidak
akan pernah berhenti dalam denyut nadi umat Islam. Usaha-usaha
tersebut selalu muncul kepermukaan selaras dengan kebutuhan dan
tantangan yang mereka hadapi, hal ini disebabkan al-Qur’an
merupakan kitab suci yang selalu relevan bagi mereka sepanjang
masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk
172|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
(guidance) yang diberikannya kepada mereka dalam seluruh aspek
dan sendi-sendi kehidupan.1
Salah satu bentuk interaksi dengan al-Qur’an adalah
melakukan aktifitas tertentu sesuai dengan bacaan. Dalam suatu
riwayat, Rasulullah memerintahkan untuk membaca ‚amîn‛ apabila
bertemu dengan ayat yang berbunyi ‚waladh-dhoollîn‛.2 Ada
beberapa ayat yang juga disunnahkan untuk dijawab manakala
menjumpainya, misalnya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286
yang berbunyi, فاًصرى على القوم الكافريي sunnah dijawab dengan اهيي
dan masih banyak lagi ayat-ayat yang sunnah ,برحوتكيا ارحن الرحويي
dijawab ketika membaca atau mendengarnya.3 Selain itu, Rasulullah
juga memberi contoh dengan bersujud ketika mendengar atau
membaca ayat-ayat tertentu, yaitu yang disebut dengan ayat-ayat
sajadah. Ayat sajadah merupakan beberapa ayat dalam al-Qur’an
yang apabila dibaca atau didengarnya disunnahkan untuk melakukan
sujud tilawah bagi orang yang membaca atau mendengarnya.
Dibanding ayat-ayat al-Qur’an lainnya, ayat-ayat sajadah
termasuk ayat-ayat yang unik dan istimewa. Cara memperlakukannya
berbeda dengan ayat yang lainnya, jika pada ayat-ayat tertentu cara
memperlakukannya dengan mengucapkan bacaan tertentu, seperti
membaca ‚Amîn‛ ketika sampai pada ayat yang berbunyi ‚waladh-
dhôllîn‛, maka pada ayat-ayat sajadah ini diperlakukan dengan cara
1 Fathurrosyid, Kisah Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis dalam Al-Qur’an
(Kajian Structuralisme-Semiotik). Tesis. Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
2011), 1. 2 Abi Zakaria Yahya Bin Syarifuddin An-Nawawi Asy-Syafi’i, At-Tibyan Fi
Adabi Hamalatil Qur’an, (Surabaya: Alhidayah, tt), 106. 3 Waqid Yusuf, dkk. SKIA (Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah)
(Sumenep: Pondok Pesantren Annuqayah, 2010), 185.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |173
bersujud yang kemudian sujud itu disebut dengan sujud tilawah
(sujud karena bacaan). Bahkan, dalam keadaan sholatpun sujud ini
tetap dianjurkan untuk dilakukan ketika musholli (orang yang sholat)
membaca atau mendengar bacaan ayat-ayat sajadah dari imamnya
jika dia melakukan sholat secara berjama’ah.
Sujud tilawah merupakan sujud yang dilakukan karena
membaca atau mendengar bacaan ayat-ayat sajadah. Menurut Ahmad
Mujab al-Mahalli, sujud tilawah adalah sujud karena bacaan.
Maksudnya, bagi orang yang membaca ayat-ayat sajadah
disunnahkan untuk melakukan sujud, demikian pula bagi orang yang
mendengarnya.4 Secara umum, sujud tilawah merupakan sujud yang
dilakukan oleh seseorang ketika membaca atau mendengar orang lain
membaca ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an baik ketika melakukan
sholat maupun diluar shalat.5
Ayat sajadah hanya terdapat dalam 15 ayat dalam al-Qur’an.
Namun, jumlah ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama’.
Biasanya, dalam al-Qur’an yang ada sekarang terdapat tanda kubah
atau simbol tertentu yang menjadi penanda ayat sajadah. Bagi orang-
orang yang tidak mengetahui letak ayat sajadah, simbol-simbol ini
sangat membantu untuk mengetahi dimana ayat sajadah tersebut
berada. Dalam 15 ayat tersebut, kata-kata (lafadz) yang menyebabkan
ayat tersebut disebut dengan ayat sajadah dan mengharuskan untuk
melakukan sujud tilawah tidak semua menggunakan kata imperatife
(kata yang bermakna perintah).
4 Ahmad Mujab Mahalli, Hadits-hadits ahkam Riwayat As-Syafi’ie (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 305. 5 Fathurrosyid, Kisah Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis dalam Al-qur’an, 4.
174|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Bentuk interaksi umat Islam terhadap ayat-ayat sajadah yang
memiliki redaksi yang berbeda (perintah dan bukan perintah untuk
bersujud) merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Bagi ayat
sajadah yang redaksinya bermakna perintah untuk bersujud,
kemudian orang yang membaca dan mendengar ayat tersebut
melakukan sujud tilawah, mungkin hal itu wajar dan memang
seharusnya dilakukan berdasarkan perintah dari ayat tersebut, namun
dalam kebanyakan ayat sajadah yang redaksinya bukan perintah, juga
diperlakukan sama oleh umat Islam.
Kitab-kitab tafsir yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
kitab tafsir klasik. Kitab-kitab tafsir klasik ini dipilih karena
perlakuan istimewa terhadap ayat-ayat sajadah ini sudah diajarkan
sejak masa nabi, sehingga ulama’-ulama’ klasik ini lebih awal
mengetahui segala aspek yang berkenaan dengan ayat-ayat sajadah
dari pada ulama’ kontemporer yang hanya merujuk pada kitab-kitab
tafsir klasik. Dalam hal ini, penulis mencukupkan dengan mengkaji
dua kitab tafsir, yakni tafsir al-Qur’ân al-Adzîm karya Ibn Katsir dan
al-Durru al-Mantsûr fî al-Tafsir bi al-Ma’tsûr karya Jalaluddin as-
Suyuti. kedua kitab tersebut merupakan kitab tafsir klasik yang
sama-sama menggunakan metode penafsiran tahlili. Alasan penulis
memilih dua kitab tersebut, selain karena kitab-kitab tersebut sudah
sering dijadikan sebagai sumber rujukan oleh kebanyakan orang,
kitab-kitab tersebut juga menjelaskan secara mendetail setiap ayat
yang ditafsirkannya, mulai dari makna mufradat, susunan kalimat
hingga tafsir ayat.
Penelitian ini hendak mengungkap dua persoalan penting.
Pertama, bagaimana fenomena ayat-ayat sajadah dalam al-Qur’an?
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |175
Kedua, mengapa ada perbedaan dan persamaan dalam lafadz ayat-
ayat sajadah dalam al-Qur’an? Untuk menjawab dua persoalan ini,
penulis menggunakan pendekatan filosofis dan fenomenologis.
Pendekatan filosofis merupakan pendekatan yang menjelaskan objek
yang diteliti secara mendalam. Dalam penelitian ini, pendekatan ini
digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat sajadah dalam al-Qur’an
dengan sejelas-jelasnya. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk
menganalisis fenomena-fenomena yang berkenaan dengan ayat-ayat
sajadah dalam al-Qur’an.
Studi yang berkaiatan dengan tema sujud tilawah sudah banyak
dilakukan oleh para akademisi. Namun demikian, studi tersebut
banyak mengarah pada persoalan yang bersifat normatif yaitu kajian
fiqih, seperti Fiqhi Sunnah6 dan Fiqhi Shalat, Panduan Lengkap
Shalat Seperti Nabi7 karya Sayyid Sabiq, Fikih Keseharian Gus
Muskarya KH.A. Musthafa Bisri8 dan Hadits-Hadits Ahkam Riwayat
Asy-Syafi’i karya Ahmad Mudjab Mahalli.9 Dalam buku-buku
tersebut terdapat pembahasan mengenai ayat-ayat sajadah namun
hanya sedikit. Dalam buku-buku tersebut lebih banyak membahas
sujud tilawah serta hal-hal yang berkaitan dengan sujud tilawah dari
pada ayat-ayat sajadah karena memang buku tersebut merupakan
buku-buku fiqhi yang hanya membahas mengenai amaliyah umat
Islam.
6Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2 (Bandung: PT. Alma’arif, 1976), 23. 7Sayyid Sabiq, Fiqih Sholat, Panduan Lengkap Sholat Seperti Nabi
(Bandung: Jabal, 2012), 123. 8 A. Mostofa Bisri, Fiqih Keseharian Gus Mus (Surabaya: Khalista, 2006). 9Ahmad Mujab Mahalli, Hadits-Hadits Ahkam Riwayat As-Syafi’ie (Jakarta:
PT. raja Grafindo Persada, 2003).
176|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Selain buku-buku tersebut, juga ada buku yang lebih khusus
membahas tentang sujud tilawah. Buku tersebut ditulis oleh Abul
Aziz bin Muhammad as-Sidhan dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
dengan judul at-Tibyân fî Sajdatil Qur’ân.10
Penulis buku tersebut
telah menyajikan secara panjang lebar mengenai sujud tilawah, mulai
dari definisi, hukum, tata cara, serta dimana saja letak ayat-ayat yang
menuntut umat islam melakukan sujud tilawah dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan sujud tilawah.
Dengan demikian, sekalipun banyak yang menulis tentang
ayat-ayat sajadah dan sujud tilawah, namun masih belum peneliti
temukan yang membicarakan mengenai lafadz (kata) yang digunakan
dalam ayat-ayat sajadah yang menyebabkan ayat tersebut disebut
dengan ayat sajadah dan mengharuskan untuk bersujud bagi orang
yang membaca dan mendengarnya. Disinilah letak perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research)
yang memfokuskan pada literatur-literatur yang berkenaan dengan
ayat-ayat sajadah dalam al-Qur’an. Metode penelitian pustaka ini
merupakan salah satu jenis metode penelitian kualitatif yang lokasi
dan tempat penelitiannya dilakukan di pustaka, dokumen, arsip, dan
lain sejenisnya.11
Adapun sumber data yang digunakan adalah kitab-
kitab tafsir al-quran, sedangkan data sekundernya adalah data yang
ada relevansinya dengan tema riset ini.
10Abdul Aziz bin Muhammad as-Sidhan dan Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz, at-Tibyan fi Sajdatil Qur’an (Riyadh: Darul Manar, 1989) 11Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif, 190.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |177
Fenomena Ayat-Ayat Sajadah dan Sujud Tilawah dalam al-
Qur’an
Ayat-ayat sajadah merupakan berberapa ayat dalam al-Qur’an
yang apabila dibaca disunnahkan untuk melakukan sujud tilawah bagi
orang yang membaca dan mendengarnya. Menurut Muhammad
Shalikin, ayat-ayat sajadah adalah ayat-ayat yang disunnahkan
bersujud seusai membacanya.12
Sujud yang dilakukan seusai
membaca ayat-ayat sajadah ini lazim disebut dengan sujud tilawah.
Ayat-ayat sajadah termasuk ayat-ayat yang unik dan istimewa.
Cara memperlakukannya berbeda dengan ayat yang lainnya. Jika pada
ayat-ayat tertentu cara memperlakukannya dengan mengucapkan
bacaan tertentu, seperti membaca ‚Amîn‛ ketika sampai pada ayat
yang berbunyi ‚waladh-dhôllîn‛, maka pada ayat-ayat sajadah ini
diperlakukan dengan cara bersujud. Sujud tersebut merupakan bentuk
interaksi yang diajarkan oleh nabi Muhammad ketika berhadapan
dengan ayat-ayat sajadah. Selain itu, hal tersebut merupakan adab
membaca al-Qur’an yang seharusnya dilakukan ketika bertemu
dengan ayat-ayat sajadah.
Dalam mushaf al-Qur’an, yang termasuk ayat-ayat sajadah
terdapat dalam 15 ayat. Biasanya, ayat-ayat tersebut dibubuhi tanda
khusus, semisal tanda kubah yang menunjukkan bahwa ayat-ayat
tersebut adalah ayat-ayat sajadah.13
Di kalangan para ulama’, jumlah
tersebut masih diperselisihkan. Ada ulama’ yang mengatakan bahwa
12 Muhammad Shalikin, Panduan Shalat Lengkap dan Praktis (Jakarta:
Erlangga, 2012), 87. 13 Ibid, 89.
178|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
jumlahnya hanya ada 14 ayat. Di antara ulama’ yang berpendapat
demikian adalah imam asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.14
Abu Muhammad ibnu Shalih bin Hasbullah, mengutip dari
kitab Taisîrur ar-Rahmân fî Ahkâmi Sujûdi Tilâwatil al-Qurân karya
Abu Muhammad ‘Isham Abdurrabih, mengatakan bahwa jumlah
ayat-ayat sajadah ada 15 ayat berdasarkan pada hadits marfu’ dari
‘Amr bin Abdul ‘Ash, yang berbunyi ‚Sesungguhnya Nabi SAW.
Membaca 15 ayat sajadah dalam al-Qur’an. Diantaranya 3 ayat pada
surat al-Mufashshal, dan pada surat al-Hajj ada dua ayat sajadah‛.
Dari kelima belas ayat tersebut, ada sepuluh ayat yang
disepakati, yakni QS. al-A’raf ayat 206, QS. al-Ra’d ayat 15, QS. an-
Nahl ayat 49-50, QS.al-Isrâ’ ayat 109, QS. Maryam ayat 58, QS. al-
Hajj ayat 18, QS. al-Furqân ayat 60, QS. an-Naml ayat 25-26, QS. as-
Sajdah ayat 15, dan QS. Fushshilat ayat 37.
Sujud Tilalwah dan Problematikanya dalam Studi Qur’an
1. Definisi Sujud Tilawah
Kata tilâwah merupakan masdar dari kata talâ yang artinya
bacaan, jadi sujud tilawah adalah sujud karena bacaan. Menurut
Ahmad Mujab Al-Mahalli, sujud tilawah adalah sujud karena
bacaan.Maksudnya, bagi orang yang membaca ayat-ayat sajadah
disunnahkan untuk melakukan sujud, demikian pula bagi orang yang
mendengarnya.15
Secara umum, sujud tilawah merupakan sujud yang
14Abi Zakaria Yahya Bin Syarifuddin An-Nawawi Asy-Syafi’i, At-Tibyan Fi
Adabi Hamalatil Qur’an (Surabaya: Alhidayah,TT), 108-110. 15Ahmad Mujab Mahalli, Hadits-hadits Ahkam Riwayat As-Syafi’ie. Jilid 1
(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 305.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |179
dilakukan oleh seseorang ketika membaca atau mendengar orang lain
membaca ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an baik ketika melakukan
sholat maupun diluar shalat.16
Sujud tilawah merupakan nama sebuah sujud yang dilakukan
karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah. Sujud ini boleh
dilakukan di luar shalat maupun pada saat melakukan shalat sesuai
dengan cara yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
2. Keutamaan dan Hikmah Sujud Tilawah
Sujud tilawah memiliki keutamaan tersendiri bagi orang yang
mengerjakannya. Keutamaan sujud ini bagi orang yang melakukannya
adalah setan akan menjauh darinya dalam keadaan menangis. Selain
itu, orang tersebut akan diberi balasan surga, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits nabi yang berbunyi:
‚Jika seorang anak adam membaca ayat sajadah, lalu ia sujud, maka syaitan meninggalkannya sambil menangis dan berkata, ‚wahai ccelakalah aku, manusia diperintah sujud, kemudian dia sujud maka dia akan mendapatkan surga, sedangkan aku diperintah untuk sujud, tetapi aku menolak maka aku mendapatkan neraka.‛ (HR. Ibn Majah).
17
Selain memiliki keutamaan, sujud ini juga mempunyai hikmah
dibalik pensyariatannya. Imam an-Nawawi berkata ‚para ulama’
sepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah oleh Allah SWT. dan
RasulNya, sebagai satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah SWT. Selain itu, sujud ini juga untuk mengagungkan Allah
16Fathurrosyid, Kisah Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis dalam Al-qur’an
(Kajian Structuralisme-Semiotik).Tesis. Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
2011), 4. 17 Al-Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini ibn Majah.
Sunan ibn Majah juz 01, (Indonesia: Maktabah Dahlan, TT), 334.
180|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
dan merendahkan diri di hadapanNya ketika membaca atau
mendengar ayat-ayat yang disyariatkan padanya sujud tilawah.18
3. Hukum Sujud Tilawah
Mayoritas ulama’ sepakat bahwa hukum sujud tilawah adalah
sunnah muakkad, inilah penadapat yang paling kuat. Sayyid Sabiq
dalam kitab fiqhu as-Sunnah menyebutkan bahwa jumhur ulama’
berpendapat bahwa sujud tilawah sunnah dilakukan oleh yang
membaca atau yang mendengarkan. Pendapat ini berdasarkan pada
keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
dari Umar, bahwa ia pada hari jum’at membaca surat an-Nahl di atas
mimbar. Ketika sampai pada ayat sajadah, ia pun turun dan sujud,
kemudian orang-orang lain pun ikut melakukan sujud. Pada hari
jum’at berikutnya, dibacanya pula surat itu sekali lagi dan ketika
sampai pada ayat sajadah, ia berkata: ‚wahai manusia, kita bukanlah
diwajibkan untuk sujud tilawah itu, maka barang siapa yang sujud,
benarlah ia, sedang yang tidak sujud tidak pula berdosa.‛Dalam
riwayat yang lain disebutkan, ‚Bahwa Allah tidak memfardlukan kita
untuk sujud, maka baiknya kita melakukan sekehendak kita saja.‛19
4. Tata Cara Melakukan Sujud Tilawah
Ketika membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah dari al-
Qur’an, baik dalam posisi berdiri atau duduk, maka disunnahkan
18Abu Muhammad ibnu Shalih bin Hasbullah, Panduan Praktis Fiqh Tiga
Sujud, 32. 19Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 2, terj. Mahyuddin Syaf (Bandung: PT.
Alma’arif, 1976), 107.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |181
untuk bertakbir dan bersujud satu kali. Tata cara mengerjakan sujud
tilawah tersebut hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
a. Sujud tilawah hanya dilakukan satu kali untuk satu ayat
sajadah.
b. Tidak memerlukan wudhu dan tidak perlu menyucikan badan
atau pakaian dari najis (kecuali dalam shalat).
c. Sebaiknya menghadap kiblat
d. Tidak disyaratkan bertahiyat atau salam tetapi dianjurkan
memakai takbir
e. Kalau kebetulan pembacaan ayat sajadah dilakukan dalam
shalat, disunnahkan melakukan sujud saat itu juga, kemudian
kembali meneruskan shalatnya setelah bangkit dari sujud
tilawah
f. Kalau yang membaca tidak melakukan sujud, maka yang
mendengar hendaknya melakukan sujud sendiri.
g. Kalau sujud tilawah itu dilakukan dalam shalat, maka
sebaiknya membaca ‚subhana rabbiyal-a’lâ wabihamdih‛,
seperti do’a sujud biasa.20
h. Bagi orang yang berjalan atau berkendaraan, maka ia boleh
berisyarat dengan kepalanya kearah mana saja ia nmenghadap.
Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarifuddin an-Nawawi, dalam
kitab at-Tibyân fî Adabi Hamalatil Qur’an, mensyaratkan suci dari
hadats dan najis, menghadap kiblat serta harus menghadap kiblat bagi
orang yang akan melakukan sujud tilawah. Haram melakukan sujud
tilawah bagi orang yang pada badan atau pakainnya terdapat najis
20Muhammad Shalikin, Panduan Shalat Lengkap dan Praktis…Hal. 87-88
182|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
yang tidak di ma’fu (dimaafkan), serta haram jika tidak menghadap
kiblat kecuali dalam perjalanan yang bukan perjalanan dalam
kema’siyatan.21
Bagi orang yang dalam keadaan sulit atau tidak memungkinkan
untuk melakukan sujud tilawah, maka sujud ini boleh diganti dengan
bacaan dzikir subhanallah walhamdulillah walâ ilâha illallah wa
Allahu Akbar. Hal ini diqiyaskan kepada bolehnya mengganti shalat
tahiyatal masjid dengan dzikir subhanallah walhamdulillah walâ ilâha
illallah wa Allâhu Akbar bagi orang yang tidak memungkinkan untuk
melakukan shalat tahiyatal masjid, semisal orang tersebut memasuki
masjid dalam keadaan tidak suci.
Dari perkataan Imam al-Qalyubi dan Imam an-Nawawi di atas
menyebutkan bahwa orang yang tidak dapat melakukan shalat
tahiyatal masjid dapat menggantinya dengan membaca dzikir
subhanallah walhamdulillah walâ ilâha illallâh wa Allâhu Akbar
sebanyak 4 kali. Pendapat di atas kemudian dijadikan sebagai
landasan kiyas oleh ualma’ madzhab Syafi’iyah akan bolehnya
menganti sujud tilawah dengan bacaan dzikir subhanallah
walhamdulillah walâ ilâha illallâh wa Allâhu Akbar.
Penafsiran Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an dengan Redaksi
Khabari (Berita) Perspektif Fenomenologi
21Abi Zakaria Yahya Bin Syarifuddin An-Nawawi Asy-Syafi’i, At-Tibyan Fi,
111
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |183
Quraisy Syihab dalam buku kaidah tafsir, mengatakan bahwa
Perintah yang menggunakan redaksi berita jauh lebih tegas daripada
perintah yang menggunakan lafadz-lafadz perintah, karena dengan
redaksi perintah, terbuka kemungkinan dari yang membangkang
untuk melanggarnya dan ketika itu yang memerintah tidak dinilai
berbohong. Jika yang memerintah menyampaikan perintahnya dalam
bentuk berita, lalu terbukti ada yang melakukan apa yang
bertentangan dengan yang diberitakan, maka si pengucap dapat
dinilai berbohong karena telah memberitakan sesuatu yang keliru.
Jika demikian, siapa yang melanggar berita yang dimaksudkan
sebagai perintah, maka ia bagaikan menyatakan bahwa Allah
berbohong atau tidak tahu.22
Dari lima belas ayat-ayat sajadah, penulis akan menjelaskan
beberapa ayat yang menggunakan redaksi khabari (berita). Pertama,
QS. al-A’raf ayat 206. Ibn Katsir menafsirkan ayat ini dengan
tafsiran bahwa pada ayat penutup surat al-A’rof ini, Allah
menceritakan kepada manusia tentang ketekunan ibadah para
malaikat supaya manusia meneladaninya. Dalam sebuah hadits, Nabi
menganjurkan untuk meniru shafnya para malaikat, yakni memenuhi
shaf yang pertama baru kemudian membuat shaf baru. Pada ayat ini,
orang yang membaca atau yang mendengarnya dianjurkan untuk
melakukan sujud yang disebut dengan sujud tilawah. Ayat ini
merupakan ayat pertama yang mengandung sujud tilawah.23
22 Quraish Syihab, Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan Dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati,
2013), 61. 23 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, jus 2, (Bairut: Darul Qutub al-Ilmiyah, 1971), 268-269.
184|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Berbeda dengan Ibn Katsir, as-Suyuti dalam menafsirkan ayat
ini lebih menyoroti pada sajadah yang terkandung dalam ayat ini
beserta kesunnahan untuk melakukan sujud tilawah bagi yang
membaca dan mendengar ayat ini. Penafsiran yang digunakan oleh as-
Suyuti menggunakan hadits dan qoul sahabat. Contoh penafsiran as-
Suyuti pada ayat ini adalah ‚Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Abil
‘Uryan al-Muja Syi’ie dari Ibn Abbas bahwasanya beliau
menyebutkan Sajdatil qur’an itu adalah al-A’rof, ar-Ro’du, an-Nahl,
Bani Isro’il, Maryam, al-Hajj, an-Naml, al-Furqon, Alif Lam Mim
Tanzil, Hamim Tanzil dan Shod‛.24
Dari dua penafsiran tersebut, jelaslah bahwa ayat ini
mengandung kesunnahan untuk melakukan sujud tilawah bagi orang
yang membaca atau mendengarnya. Penafsiran as-Suyuti dalam
menafsirkan ayat ini terlihat seperti bukan penafsiran, karena beliau
tidak menjelaskan sedikitpun penafsiran ayat ini. Beliau hanya
menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat sajadah yang
mengharuskan seseorang melakukan sujud tilawah. Seharusnya,
beliau menjelaskan terlebih dahulu penafsiran ayat tersebut, baru
kemudian beliau menjelaskan sajadah (kesunnahan untuk melakukan
sujud tilawah), sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Katsir.
Kedua, penafsiran QS. al-Ra’d ayat 15. Penafsiran Ibn Katsir
pada ayat ini adalah dengan menjelaskan bahwa Allah SWT.
memberi tahu hamba-hambaNya tentang keagungan dan
kekuasaanNya yang meliputi segala sesuatu, sehingga segala sesuatu
24 Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir ad-Durrul Mansur fi Tafsir bil Ma’tsur, Jus 6,
pdf (Qahirah: TP. 2003), 728-731
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |185
itu tunduk kepada-Nya, baik dengan sukarela (bagi orang-orang
mu’min) maupun dengan terpaksa (bagi orang-oarang kafir).25
Pada ayat ini, penafsiran as-Suyuti hampir sama dengan
penafsiran Ibn katsir, bahwa semua benda bersujud kepada Allah,
baik dengan sukarela ataupun terpaksa. Bersujud dengan sukarela
bagi seluruh makhluk kecuali orang kafir, mereka bersujud dengan
terpaksa, tetapi bayangan mereka bersujud kepada Allah dengan
sukarela.26
Dua mufassir (Ibn Katsir dan as-Suyuti) ini sepakat dalam
menafsirkan ayat tersebut. Mereka sama-sama mengatakan bahwa
ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah bahwa semua makhluk
bersujud kepada Allah karena taat kepada Allah kecuali orang kafir
yang bersujud karena terpaksa sekalipun bayangan mereka bersujud
karana taat. Dalam dua penafsiran di atas, tidak ditemukan
penjelasan mengenai sajadah ayat tersebut yang mengharuskan
pembaca atau pendengar ayat ini untuk melakukan sujud tilawah.
Sekalipun pada ayat ini dua mufassir tersebut tidak menjelasakan
adanya sajadah yang terkandung di dalamnya, namun pada penjelasan
ayat sebelumnya, yakni pada QS. al-A’raf ayat 206, telah disebutkan
oleh as-Suyuti bahwa ayat ini termasuk ayat sajadah.
Ketiga, penafsiran QS. an-Nahl ayat 49-50. Menurut Ibn
Katsir, dalam ayat ini Allah SWT memberi tahu tentang keagungan,
keperkasaan dan kekuasaanNya, kepada-Nyalah tunduk segala
sesuatu, baik makhluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa, manusia, jin dan semua
25 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, jus 2, 479. 26 Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir ad-Durrul Mansur Juz 8, 415.
186|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
makhluk berpasrah dan menyerah kepadaNya. Semua benda yang
mempunyai bayangan, bayangan itu bersujud dengan cara berbolak-
balik ke kanan dan ke kiri. Demikian pula segala apa yang ada di
langit dan semua yang ada di bumi bersujud kepada Allah seraya
merendah dan tidak menyombongkan diri. Para malaikatNya bersujud
seraya takut kepada Allah dan mereka mengerjakan segala apa yang
diperintahkan kepada mereka dan menjauhi segala yang dilarang
untuk mereka.27
Keempat, penafsiran QS. al-Isrâ’ ayat 109. Pada ayat
sebelumnya, Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad untuk
mengatakan pada orang-orang yang inkar pada al-Qur’an, bahwa al-
Qur’an adalah wahyu dari Allah. Dalam surat al-Isrâ’ ayat 109 ini,
Ibn Katsir mengatakan bahwa Allah menceritakan keadaan mereka
(para ahli kitab) yang mengetahui tentang kebenaran al-Qur’an.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila mereka mendengar bacaan
al-Qur’an, mereka menyukur atas muka mereka seraya bersujud
syukur kepada Allah karena mereka telah dikaruniai kesempatan
hidup hingga mereka dapat menyaksikan kenyataan turunnya al-
Qur’an yang telah diberitakan dalam kitab-kitab terdahulu. Mereka
bersujud di atas muka mereka dalam keadaan khusyuk dan berserah
diri seraya mengucapkan ‚Maha Suci Tuhan kami yang Maha Kuasa,
janji-janjinya pasti ditepati dan terlaksana.28
Pada ayat ini, penafsiran as-Suyuti berbeda dengan Ibn Katsir.
As-Suyuti menafsirkan ayat ini dengan menggunakan hadits yang
27 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, jus 2, 542 28 28 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi. Tafsir al-Qur’anul
adzim, jus 3,…. Hal. 65-66
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |187
diriwayatkan oleh Imam Hakim at-Tirmidzi yang meriwayatkan dari
Imam Nadlar ibn Zaid, beliau berkata ‚Rasulullah bersabda apabila
seorang hamba menangis maka Allah akan menyelamatkannya dari
api neraka disebabkan tangisannya, dan tidaklah dari setiap perbuatan
seorang hamba kecuali ada timbangan dan balasan, kecuali
tangisannya. Karena tangisan itu dapat memadamkan lautan api
neraka, dan tidaklah setiap mata yang penuh dengan air matanya
dikarenakan takut karena Allah kecuali Allah mengharamkan
jasadnya dari api neraka‛29
Kelima, penafsiran QS. Maryam ayat 58. Dalam tafsir Ibn
Katsir disebutkan bahwa as-Sudiy dan Ibn Jarir berkata, yang
dimaksud dengan nabi dari keturnan Adam adalah nabi Idris, nabi
dari keturunan yang diangkat bersama nabi Nuh adalah nabi Ibrahim,
sedangkan yang dimaksud dengan nabi-nabi keturunan Ibrahim
adalah Ishaq, Ya’qub dan Isma’il dan dari keturunan Isma’il adalah
Musa, Harun, Zakaria, Yahya dan Isa putra Maryam. Mengenai
penafsiran ayat ini, Ibn Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini
Allah menjelaskan, ‚apabila mereka (para nabi tersebut) mendengar
firman Allah yang mengandung keterangan-keterangan, hujjah dan
dalil-dalil, mereka bersujud sebagai tanda berserah diri dan rasa
syukur terhadap nikmat-nikmat besar yang telah dianugerahakan
Allah kepada mereka. Berdasar pada hal tersebut, ulama’ sepakat atas
disyari’atkannya sujud tilawah pada ayat ini untuk mengikuti jejak
mereka.30
29 Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir ad-Durrul Mansur Jus 9, 459-460. 30 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi. Tafsir al-Qur’anul
adzim, Jus 3, 120
188|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Penafsiran dan Analisis Ayat-Ayat Sajadah Dengan Redaksi Insya’i
(Perintah)
Dalam lima belas ayat yang disebut sebagai ayat sajadah,
terdapat beberapa ayat yang redaksinya menggunakan perintah
langsung untuk bersujud kepada Allah. Pertama, penafsiran QS.
Fushshilat ayat 37-38 yang berbunyi: ‚Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.janganlah
sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang
menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah. Jika mereka
menyombongkan diri, Maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu
bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak
jemu-jemu.‛
Ibn Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah
mengingatkan kepada makhluk-Nya akan kekuasaan-Nya yang agung
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah menciptakan malam
dengan kegelapannya dan siang dengan terangnya, Keduanya
bergiliran dan tidak terpisah. Allah menciptakan matahari dengan
sinarnya dan bulan dengan cahayanya serta telah ditentukan
perbedaan perjalanan keduanya. Perbedaan perjalanan keduanya ini
dapat menjadi petunjuk akan perubahan siang, malam, minggu, bulan
dan tahun serta dapat mengetahui waktu-waktu, baik waktu untuk
beribadah maupun waktu untuk bekerja. Matahari dan bulan
merupakan benda yang paling bagus di alam ini, namun Allah
mengingatkan bahwa dua benda tersebut hanyalah makhluk Allah,
janganlah menyembah keduanya, karena menyembah keduanya
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |189
berarti menyekutukan Allah dan Allah tidak akan mengampuni dosa
orang-orang yang menyekutukan Allah. Allah juga berfirman dalam
ayat ini, bahwa para malaikat tidak pernah jemu untuk memuji
Allah.31
As-Suyuti menjelaskan ayat ini menggunakan hadits dari Imam
Abu Ya’la dan ibn Mardawiyah yang meriwayatkan dari Jabir:
Rasulullah saw bersabda: janganlah kalian mengumpat atau mencela
malam dan siang, dan jangan pula mengumpat matahari, bulan, dan
angin, karena sesungguhnya dengan itu semua diutus rahmat bagi
suatu kaum dan adzab bagi suatu kaum yang lain. As-Suyuti juga
menjelaskan akan adanya sajadah dalam ayat ini melalui perkataan
Imam ibn Abi Syaibah, Imam Hakim dan Imam Baihaqi dalam kitab
sunannya dari jalan Said ibn Jabir meriwayatkan dari ibn Abbas,
sesungguhnya beliau (ibn Abbas) bersujud di akhir kedua ayat dari
‚hâmim sajadah‛, sedangkan ibn Mas’ud bersujud pada ayat yang
pertama dari kedua ayat tersebut.32
Dari kedua penafsiran di atas disimpulkan bahwa penciptaan
matahari dan bulan memberikan banyak faidah bagi manusia. Salah
satu faidahnya adalah dapat mengetahui waktu-waktu dan dapat
mengetahui pergantian siang dan malam, hari, bulan dan tahun.
Sekalipun matahari dan bulan sangat berguna bagi makhluk, namun
dalam ayat ini jelas Allah melarang untuk menyembah keduanya,
karena keduanya hanya makhluk yang apabila disembah akan
menyebabakan kemusyrikan. Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah
memerintahkan makhlukNya untuk menyembah Allah dan melarang
31 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, Juz 4, 92. 32 Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir ad-Durrul Mansur Juz 12, 118
190|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
untuk menyembah selain Allah. As-Suyuti menjelaskan bahwa ayat
ini termasuk ayat sajadah lewat hadits yang beliau gunakan untuk
menafsirkan ayat ini.
Kedua, penafsiran QS. an-Najm ayat 62. Ibn katsir menafsirkan
ayat ini dengan tafsiran, ‚tunduklah kamu sekalian kepada Allah dan
murnikanlah jiwamu untuk Allah serta Esa-kanlah Allah‛.33
Sejalan
dengan Ibn Katsir, as-Suyuti juga memberikan penafsiran demikian
pada ayat ini melalui perkataan Abdu ibn Hamid dan ibnul Mundzir
yang meriwayatkan dari Imam Qatadah dalam firman Allah:
‚fasjuduu lillahi wa’buduu‛. Beliau berkata: keraskanlah wajah ini
kepada Allah dan leburkan dalam taat kepada Allah. As-Suyuti juga
meletakkan hadits tentang kesunnahan melakukan sujud tilawah pada
ayat ini. Hadits tersebut dari Imam Ahmad, Imam Nasai, Imam
Hakim dan Imam ibn Mardawiyah yang meriwayatkan dari al-
Muthalib ibn Abi Wada’ah beliau berkata: Nabi SAW. di Makkah
membaca surah an-Najm dan beliau bersujud serta bersujud pula
orang-orang yang ada di sampingnya.34
Dilihat dari dlahir ayat ini, sudah jelas bahwa ayat ini
merupakan ayat yang memerintah manusia untuk bersujud dan
beeribadah kepada Allah. Bersujud dan beribadah kepada Allah
merupakan kewajiban manusia kepada Allah, karena dengan
kehendak dan kuasa Allah manusia dapat hidup dan menikmati
nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka.
Ketiga, penafsiran QS. al-‘Alaq ayat 19. Menurut Ibn Katsir,
dalam ayat ini Allah memerintah kepada nabi untuk tidak mengikuti
33 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, Juz 4, 238. 34 Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir ad-Durrul Mansur Jus 14, 61-62.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |191
larangan Abu Jahal yang melarang nabi untuk melakukan shalat di
depan Ka’bah dekat makam Ibrahim. Allah berfirman kepada nabi
untuk melakukan shalat dimana saja yang nabi kehendaki dan jangan
menghiraukan Abu Jahal karena Allah akan senantiasa melindungi
nabi. Allah juga memerintahkan kepada nabi untuk senantiasa
bersujud kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya dengan
ibadah dan amal shaleh.35
As-Suyuti menjelskan khitob dari ayat inimenggunaka
penjelasan dari Ibn Abi Hatim yang meriwayatkan dari Zaid ibn
Aslam beliau berkata: dalam firman Allah ‚wa-usjud‛, hai
Muhammad, ‚wa-iqtarib‛, kamu wahai Abu jahal, Dia (Allah)
mengancamnya. As-Suyuti melengkapi penjelasannya menggunakan
penjelasan dari Abdur-Razaq, Said ibn Manshur dan ibn Mundzir
meriwayatkan dari Imam Mujahid beliau berkata: paling dekatnya
keberadaan seorang hamba dari Tuhannya adalah ketika dia sedang
sujud; apakah kalian tidak mendengarnya bahwa Dia (Allah)
berfirman: ‚was-jud wa-iqtarib‛.36
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad
untuk tetap melakukan ibadah kepada Allah di depan ka’bah dan
jangan menghiraukan ancaman Abu Jahal yang melarang nabi untuk
melakukan shalat di depan ka’bah. Dari penjelasan as-Suyuti ada
pendapat yang perlu digarisbawahi untuk dijadikan pecut bagi setiap
insan yang ingin selalu dekat kepada Allah, yakni dengan senantiasa
bersujud kepada Allah, karena paling dekatnya hamba dengan
Tuhannya adalah ketika dia bersujud.
35 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, Juz 4, 497. 36 Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir ad-Durrul Mansur Juz 15, 531.
192|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Keempat, penafsiran QS. al-Hajj ayat 77. Mengenai ayat ini,
Ibn Katsir menjelaskan bahwa Dalam ayat ini Allah menyeru kepada
orang-orang yang beriman agar senantiasa melakukan ruku’, sujud
serta senantiasa melakukan amal-amal yang shaleh. Seruan ini
bertujuan agar mereka mendapat kemenangan duniawi dan ukhrawi.37
Menurut as-Suyuti ayat ini berisi tentang tatakrama dan nasihat bagi
orang-orang yang beriman. Pendapat tersebut berasal dari Ibn Abi
Hatim yang meriwayatkan dari Imam Mujahid dalam firman Allah
‚yâ ayyuhal-ladzina amanû irka’û‛. Beliau berkata: sesungguhnya ini
adalah tatakrama dan nasihat.38
Orang-orang beriman yang ingin mendapatkan kemenangan
duniawi dan ukhrawi hendaklah mereka senantiasa melakukan ruku’
sujud’ serta senantiasa melakukan amal-amal shaleh sebagaimana
yang telah dijelasskan oleh Ibn Katsir dalam penafsiran ayat tersebut.
Hal ini juga yang mungkin dimaksud dengan nasehat menurut al-
Sututhi.
Simpulan
Dari hasil paparan dan analisis yang telah diuraikan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, fenomena ayat-
ayat sajadah dalam al-Qur’an adalah lafadz yang digunakan dalam
ayat-ayat tersebut berbeda-beda, yakni menggunakan kalam insya’
dan kalam khabar. Sekalipun ayat tersebut menggunakan kalimat
yang berbeda, namun perlakuan istimewa terhadap ayat ini, yakni
melakukan sujud tilawah bagi orang yang membaca dan
37 Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’anul
adzim, Juz 3, 222. 38 Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir ad-Durrul Mansur Juz 9, 544.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |193
mendengarnya, tetap disunnahkan tanpa melihat perbedaan katanya.
Kedua, Perbedaan dan persamaan lafadz yang digunakan dalam ayat-
ayat sajadah tidak menghilangkan eksistensi kandungan yang
terdapat di dalamnya, yakni perintah untuk melakukan sujud kepada
Allah. Bahkan, perintah untuk melakukan sujud yang terdapat dalam
ayat sajadah yang menggunakan kalam khabar (berita) lebih tegas
daripada perintah untuk bersujud yang terkandung dalam ayat yang
menggunakan kalam insya’ yang berupa amar (perintah).
Daftar Pustaka Ad-Damsyiqi, Imam Abi al-Fida’ al-Hafidz ibn Katsir. Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adzim, Bairut: Darul Qutub al-Ilmiyah, 1971.
Al-Farmawi, Abd. Al hay. Metode Tafsir Mawdhu’iy, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Al-Munajjid, Muhammad Sâlih. Praktik Khusyuk 33 Kiat
Shalat Yang Sempurna Dan Diterima. Jakarta: PT. Mizan Publika,
2013.
Anwar, Rosihon. Melacak Unsur-unsur Israiliyat Dalam Tafsir
Ath-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir. Bandung: CV Pustaka Setia,
1999.
As-sidhan, Abdul Aziz bin Muhammad dan Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz. at-Tibyan fi Sajdatil Qur’an. Riyadh: Darul Manar,
1989.
As-Suyuti, Jalaluddin. Tafsir al-Durru al-Mantsûr fî Tafsîr bi
al-Ma’tsûr, Pdf, Qahirah: TP, 2003.
Asy-Syafi’i, Abi Zakaria Yahya Bin Syarifuddin An-Nawawi.
At-Tibyân fî Adabi Hamalatil Qur’ân. Surabaya: Alhidayah, tt.
194|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 170-195
Bisri, A. Mostofa. Fiqih Keseharian Gus Mus. Surabaya:
Khalista, 2006.
Fathurrosyid, Kisah Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis dalam
Al-qur’an (Kajian Structuralisme-Semiotik). Tesis: Pasca Sarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya 2011.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Hasbullah, Abu Muhamma ibnu Shalih. Fikih Tiga Sujud,
Sujud Sahwi Sujud Tilawah, Sujud Syukur. Pustaka Ibnu Umar, tt.
Ibn Majah, Al-Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-
Qazwini. Sunan ibn Majah juz 01, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.
Imam Al-Bukhari. Shahih Bukhari. Semarang: Karya Toha
Putra, tt.
Kau, Sofyan A.P. Metode Penelitian Hukum Islam Penuntun
Praktis untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2013.
Mahalli, Ahmad Mujab. Hadits-Hadits Ahkam Riwayat As-
Syafi’ie.Jilid 1.Jakarta; PT. raja Grafindo Persada, 2003.
Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metodologi Tafsir, Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Maimun, Ach. Dkk. Pedoman Penulisan Skripsi Jurusan Tafsir
Hadits Fakultas UshuluddinInstitut Ilmu Keislaman Annuqayah
Guluk-guluk Sumenep, Sumenep: Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu
Keislaman Annuqayah, 2011.
Moh Jazuli, Ayat-Ayat Sajadah dalam Al-Qur’an |195
Nurhaedi, Dadi. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif
Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2012.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 2, Penerjemah, Mahyuddin Syaf,
Bandung: PT. Alma’arif, 1976.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sholat, Panduan Lengkap Sholat Seperti
Nabi. Bandung: Jabal 2012.
Shalikin, Muhammad. Panduan Shalat Lengkap dan Praktis.
Jakarta: Erlangga, 2012.
Shihab, Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an,
Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta 2011.
Suyadi. Libas Skripsi Dalam 30 Hari. Jogjakarta: Diva Press,
2011.
Yusuf, Waqid. Dkk. SKIA (Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah
Amaliyah). Sumenep: Pondok Pesantren Annuqayah, 2010.