autoimun

74
Tugas Skenario 5 pertemuan 1 Kasus : Perempuan, 30 tahun. 2 bulan lalu, nyeri persendian dan bintik-bintik merah di kedua kulit lengan tangan (gatal nyeri). 1,5 bulan terakhir sumer dan sering diare. Hasil Lab. Darah : o Hb 7 mg/dl, o Leukosit 4000/mm 3 , o Trombosit 120.000/mm 3 Proteinuria +++ Diagnosis : SLE (Systemic Lupus Erythematosus) Rumusan Masalah : 1. Hubungan antara keluhan sendi dan lutut? Keluhan yang terjadi pada sendi dan lutut berhubungan karena penyakit atau penyebab utamanya adalah sama yaitu penyakit SLE. Utuk patogenesis dari penyakit ini dimulai dari kelainan genetik atau faktor-faktor lain yang menjadi faktor penyebab

description

autoimun adalah imun yg tidak normal

Transcript of autoimun

Page 1: autoimun

Tugas Skenario 5 pertemuan 1

Kasus :

Perempuan, 30 tahun.

2 bulan lalu, nyeri persendian dan bintik-bintik merah di kedua kulit

lengan tangan (gatal nyeri).

1,5 bulan terakhir sumer dan sering diare.

Hasil Lab. Darah :

o Hb 7 mg/dl,

o Leukosit 4000/mm3,

o Trombosit 120.000/mm3

Proteinuria +++

Diagnosis :

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

Rumusan Masalah :

1. Hubungan antara keluhan sendi dan lutut?

Keluhan yang terjadi pada sendi dan lutut berhubungan karena penyakit

atau penyebab utamanya adalah sama yaitu penyakit SLE. Utuk patogenesis

dari penyakit ini dimulai dari kelainan genetik atau faktor-faktor lain yang

menjadi faktor penyebab seperti hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai

macam infeksi. Semua itu menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap

sel- T CD 4+ yang akan menghilangkan toleransi sel T terhadap self antigen.

Akibatnya akan muncul sel T autoreaktif yang akan menginduksi dan

mengekspansi sel B. Sel B ini akan memproduksi autoantibodi dan sel memori

yang nantinya akan ditujukan terhadap antigen terutama di nukleoplasma

(DNA, protein histon, dan non histon). Autoantigen ini kebanyakan dalam

Page 2: autoimun

keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks protein

RNA yang memiliki ciri khas tidak tissue – spesific, melainkan integral

terhadap semua jenis sel. Antibodi ini bersama-sama disebut ANA ( anti nuclear

antibody). ANA ini akan beredar dalam sirkulasi dan akan mengendap pada

organ-organ yang pada akhirnya akan terjadi aktivasi komplemen yang hasilnya

adalah reaksi radang. Nah, jika peradangan terjadi pada sendi maka akan terjadi

artritis. Oleh karena itu dalam skenario pasien mengeluhkan nyeri sendi.

( Teddy Arga Saputro 102010101093 )

Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis

atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya.

Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti

oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan

kaki.

Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang

biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang termasuk

kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga

terdapat nyeri otot dan miositis.

Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau

reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan

terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan

steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput

femoris. (Chandra Permana 102010101066)

2. Dari gatal mengapa bisa jadi nyeri?

Diagnosis yang diajukan : SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

Page 3: autoimun

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi

kronik yang idiopathic, mengenai kulit, sendi, ginjal, paru-paru, membrana

serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh yang lain. Seperti penyakit

autoimun yang lain kejadiannya ditandai oleh periode remisi dan relaps. Gejala

yang paling sering ditemukan adalah kelelahan. Demam, penurunan berat

badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan.

Menurut American Rheumatism Association (ARA) untuk diagnosis SLE :

DOPAMINERASH

D Discoid rash

O Oral ulcers

P Photosensitivity

A Arthritis

M Malar rash

I Immunologic disorder

NE Neurologic disorder

R Renal disorder

A ANA

S Serositis

H Hematologic

Pada SLE terdapat Discoid Rash, yaitu bercak kulit eritematous, batas

jelas, ukuran bervariasi, terdapat skuama, cenderung meninggalkan bekas

berupa atrofi dan pigmentasi serta dapat menimbulkan jaringan parut. Karena

Page 4: autoimun

gatal bisa jadi akibat garukan menyebabkan bertambah parah lalu menjadi

nyeri.

DiscidRash

Yang kedua karena pada SLE juga terdapat fotosensifitas. Kemungkinan

karena pasien tidak menyadari tentang penyakitnya maka pasien tidak

menghindari cahaya matahari dan tidak memakai pelindung matahari (tabir

surya) serta mendapat pajanan sinar matahari seperti biasa sehingga lesi

dikulitnya menjadi semakin buruk akibat reaksi abnormal terhadapa cahaya

matahari. Keadaan yang semakin buruk terhadap lesi di kulitnya menimbulkan

rasa nyeri.

(Vania Salsabila K 1020101010)

Gejala Mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus

SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit

akut, subakut, diskoid dan livido retikularis.

Page 5: autoimun

Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam

mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu

(butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan

kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh

tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul

ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity).

Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk

anular.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis

dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,

tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel Folikulitis

Gatal dan nyeri. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk

sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.

Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui

pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat

menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.

Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap

kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan

beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi

selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri.

Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen

Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas

penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit

mereda. (Chandra Permana 102010101066)

Page 6: autoimun

3. Hubungan usia dan jenis kelamin?

Wanita dengan SLE tampaknya ada peningkatan risiko untuk penyakit

jantung (penyakit arteri koroner) menurut laporan terakhir. Wanita dengan SLE

harus dievaluasi dan konseling untuk meminimalkan faktor risiko untuk

penyakit jantung, seperti kolesterol darah tinggi, berhenti merokok, tekanan

darah tinggi, dan obesitas.(Vania Salsabila K 1020101010)

Penyakit SLE lebih banyak menyerang wanita daripada pria dengan

perbandingan 10:1. Untuk usia, wanita yang paling sering adalah usia

reproduktif yaitu dekade II – III, dan lebih banyak mengenai penduduk kulit

hitam daripada kulit putih dengan perbandingan 2,8:1.

(Teddy Arga S 102010101093)

Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Kini tercatat kurang

lebih sekitar 5 juta pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya

bertambah sebanyak 100.000 pasien baru.

Selain itu penyakit Lupus juga berhubungan dengan “hormon estrogen” yang

banyak di produksi oleh perempuan. Tapi, secara pasti, penyakit Lupus ini

(jarang) ditemukan pada anak-anak usia balita atau wanita menopouse. Pada

perempuan usia subur dengan laki-laki perbandingannya adalah : 10 : 1 dan

perbandingan ini akan mengecil pada kelompok perempuan usia menopuse.

Karena dialami oleh perempuan di usia subur, penyakit Lupus ini dapat

menganggu kehamilan (terjadinya abortus, gangguan perkembangan janin/bayi

mati sebelum dilahirkan). Terdapat peningkatan risiko dari aktivitas penyakit

selama 3 atau 4 minggu setelah kehamilan.. Ada pula penyakit Lupus yang baru

dijumpai pada saat kehamilan atau setelah melahirkan. Tetapi hal ini bukan

berarti kaum perempuan harus ketakutan untuk mendapatkan keturunan.

Page 7: autoimun

Kesuburan perempuan dengan Lupus tidak berpengaruh edngan penyakitnya.

Data YLI menyebutkan banyak Odapus yang bisa memperoleh keturunan

dengan keadaan bayi dalam kondisi sehat.

Bagi kaum perempuan yang mengalami Lupus diperbolehkan untuk hamil,

memperoleh keturunan, di bawah pengawasan dokter secara penuh. Para dokter

umumnya akan menganjurkan bagi pasien Lupus yang berat, apabila sudah

memiliki anak sebaiknya tidak memiliki anak lagi selama masa kehamilan harus

selalu kontrol secara teratur ke dokter ahli pemerhati Lupus untuk Lupusnya

dan dokter kandungan untuk kehamilannya.(Rizky Amaliah 102010101067)

Epidemiologi :

Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 – 40 tahun tetapi

semua umur bisa saja terkena. Sedangkan pada anak-anak meningkat 10 :

1. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang

wanita. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun prevalensinya

1/245 orang wanita

Wanita lebih banyak menderita SLE daripada pria. Pada pria yang

mempunyai kadar hormon sex wanita dalam tubuhnya (seperti pada

sindrom klinefelter) dapat menderita penyakit SLE dibandingkan pria

yang tidak menderita ini. Rasio wanita yang menderita SLE pada usia

menarche dibandingkan usia menopause adalah 3:1. (Chandra Permana

102010101066)

4. Hubungan hasil lab dan keluhan?

Dalam scenario disebutkan bahwa pasien mempunyai Hb 7 g/dl, ini

menunjukkan adanya anemia, leukositnya 4000/µ ini menunjukkan

leukopenia dan trombositnya 120.000/µl menunjukkan trombositopenia.

Page 8: autoimun

Sesuai gejala-gejala lain, ini juga menunjukkan manifestasi dari Lupus

Eritematosus Sistemik. Di mana pada SLE dapat mempengaruhi banyak

organ di tubuh termasuk . Kelainan hematologi yang sering terjadi antara

lain seperti gejala pasien di atas yaitu anemia, trombositopenia, dan

leukopenia.

Untuk anemia pada SLE biasanya merupakan anemia hemolitik

autoimun.

Hal ini diperantarai oleh autoantibodi (IgG atau IgM) yang berbeda

yang menyerang seldarah merah.

Akibatnya sel darah merah lebih cepat dirusak sehingga jumlahnya

berkurang di sirkulasi. Anemia hemolitik autoimun ini biasanya

berjalan secara bertahap. Anemia hemolitiktipe autoimun ini sesuai

dengan kriteria jenis anemia pada SLE.

Trombositopenia cukup sering terjadi pada SLE. Penyebab

trombositopenia pada SLE yaitu karena kegagalan produksi yang

disebabkan oleh penyakit SLE itu sendiri,distribusi abnormal

(polong di limpa),karena destruksi besar-besaran karena

diperantarai antibody. Purpura trombositopenikimun (ITP)

mempunyai hubungan khusus dengan SLE. Kedua penyakit ini

sama-sama didiagnosis pada perempuan muda, dan juga sebagian

pasien ITP yang awalnya diduga karena idiopatik ,ternyata di

kemudian hari menampakkan gambaran klasik SLE. Pada kriteria

SLE dikatakan bahwa trombositopenia ini kadar trombositnya<

100.000 /µl.

Kelainan sel darah putih terjadi juga pada SLE. Leukopenia yang terjadi

hampirselalumerupakanlimfopeniabukangranulositopenia,

biasanyatidakakanmenyebabkanterjadinyainfeksi yang fatal.

Penyebabterjadinya leukopenia iniadalahadanya antibody limfositotoksikdan

Page 9: autoimun

apoptosis limfosit. Dalamkriteria SLE leukopenia apabilakadarnya< 4000/µl

danlimfopenia<1500/µl pada 2 kali pemeriksaan.( Yeni Tri P (102010101062)

Salah satu kriteria SLE dari 11 kriteria : Kelainan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis

b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau

lebih

c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau

lebih

d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat

yang mungkin menyebabkannya. (Candra Permana

102010101066)

5. Penyebab sumer dan diare?

Sama halnya dengan patogenesis dari nomer (1). Yang nantinya autoantibodi

juga akan menyerang sistem GIT terutama di usus yang akan mengganggu

fungsi usus untuk absorbsi. Akibatnya proses absorbsi terganggu, dan terjadi

diare pada pasiennya. Untuk gejala sumer atau demam ringan merupakan gejala

khas dari SLE karena pada dasarnya terjadi proses peradangan pada semua

sistem yang diserang oleh autoantibodi. (Teddy Arga S 1012010101093)

Penyebab sumer dan Diare

Pada SLE ditemukan kelainan pada darah

Kelainan sel darah merah (eritrosit) : anemia hemolitik autoimun

Kelainan trombosit : trombositopenia

Kelainan sel darah putih (leukosit) : leucopenia, neutopenia, limfopenia

Page 10: autoimun

Lekopenia adalah penurunan jumlah lekosit, keadaan ini ditemukan pada kira-

kira 50% penderita. Netropenia adalah jumlah netrofil batang dan segmen.

Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit, keadaan ini ditemukan pada

kira-kira 20-75% penderita.

Karena terjadinya kelainan leukosit terutama leucopenia maka pasien denagn

SLE akan lebih rentan terhadap infeksi. Jadi besar kemungkinan diare dan

sumer (demam) akibat dari infeksi pada SLE.

Untuk demam sendiri terdapat 80-100% pada pasien dengan SLE. Demamnya

lebih dari 38ºC.(Vania Salsabila K 1020101010)

Demam mengindikasikan adanya infeksi ataupun gejala SLE yang

meningkat. Pasien SLE rentan terhadap infeksi. (Candra Permana

102010101066)

6. Proteinuria, apakah ada gangguan di ginjal?

Proteinuria diakibatkan juga oleh autoantibodi yang mengendap

dalam ginjal dan jaringan-jaringan dalam ginjal. Kemudian terjadi proses

peradangan yang akhirnya merusak barier dan sistem fisiologis dari

ginjal. Protein yang normalnya tidak dikeluarkan menjadi ikut keluar

akibat kebocoran. Sehingga terjadi proteinuria pada pasien SLE di

skenario.

Proteinuria timbul karena nefritis lupus timbul pada waktu antibody

antinuclear (anti-DNA) melekat pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada

glomerulus ginjal. Biasanya DNA tidak bersifat antigenic pada orang normal

tapi dapat terjadi antigenic pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada

kompleks imun ini ,dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi

peradangan ginjal , kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan parut. Nefritis

Page 11: autoimun

lupus diketeahui dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit

atau silinder didalam air kemih.(Vyta Rahmawati 1020101010)

Iya,memangadagangguan di ginjal. Hal tersebut juga terjadi karena manifestasi

dari SLE pada banyak organ yang juga menyerang ginjal. Keterlibatan ginjal ini

terjadi pada 45-75% penderita SLE, terjadi setelah 5 tahun menderita SLE.

Gejalanya umumnyatidaktampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau

sindromnefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urinyaitu>500 mg/24 jam atau

+3 tanpaadanyabuktiterjadiinfeksi.

Biasanyamanifestasipadaginjalinidapatmenyebabkannefritis lupus.

Patogenesisnyadiawaliolehinteraksianatara factor predisposisi genetic, hormone

seksdan system

neuroendokrinmempengaruhidanmengakibatkanresponimunpada SLE yang

menimbulkanpengikatan auto-antibodi. Kompleks imuniniakandideposit di

ginjal yang menyebabkan proses inflamasi di ginjalsehinggaterjadi proteinuria.

Pada SLE menurut ARA terdapat Neurologic disorder.P ada SLE dapat terjadi

peradangan ginjal yang menyebabkan kebocoran protein ke urin, retensi cairan,

tekanan darah tinggi, dan bahkan gagal ginjal.(Nila mahardika T.N

102010101034)

Proteinuria 3+ akibat kerusakan pada glomerulus ginjal. Kerusakan

ginjal didapati pada hampir seluruh penderita lupus. Jika kerusakannya berat

maka diperlukan pengobatan imunosupresif. Untuk itu penting kiranya

memeriksa urin secara berkala karena stadium awal dari kerusakan ginjal

ditandai dengan adanya protein dalam urin. Protein yang keluar >0.5gr

(Rizky Amaliah 102010101067)

Kelainan Ginjal

Ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah

proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan

Page 12: autoimun

kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE

yang urinnya menunjukkan kelainan.

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE

difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus

merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai

sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai

berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan.

Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta

perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi

progresif.

Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis

kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu

penyebab kematian SLE kronik(Candra Permana 102010101066)

7. Keluhan kulit terlebih dahulu sebelum diare ?

Kulit bagian luar dari tubuh yang berfungsi sebagai protektif yang mana

akan mudah sekali terpapar sinar matahari. Sedangkan penderita SLE

dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-

hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut

yang khas berbentuk anular. (Candra Permana 102010101066)

Diagnosis Banding :

1. ITP

Trombositopenia pada PTI disebabkan terjadinya kerusakan yang

berlebihan dari trombosit sedangkan pembentukannya normal atau

meningkat. Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh faktor yang heterogen,

sampai saat ini belum diperoleh kesepakatan mengenai mekanismenya.

Page 13: autoimun

Harrington (1951) menyimpulkan bahwa kerusakan trombosit disebabkan

adanya Humoral antiplatelet factor di dalam tubuh, yang saat ini dikenal

sebagai PAIgG atau Platelet Associated IgG. Court dan kawan-kawan telah

membuktikan bahwa PAIgG meningkat pada PTI, sedangkan Lightsey dan

kawan-kawan menemukan PAIgG lebih tinggi pada PTI akut dibanding

bentuk kronik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mekanisme

kerusakan trombosit pada bentuk akut dan kronik.

PAIgG diproduksi oleh limpa dan sumsum tulang. Kenaikan produksi

PAIgG adalah akibat adanya antigen spesifik terhadap trombosit dan

megakariosit dalam tubuh. Pada bentuk akut antigen spesifik diduga

bersumber dari infeksi virus yang terjadi 1-6 minggu sebelumnya. Antigen

ini bersama PAIgG membentuk kompleks antigen-antibodi, dan

selanjutnya melekat di permukaan trombosit. Perlekatan ini menyebabkan

trombosit akan mengalami kerusakan akibat lisis atau penghancuran oleh

sel-sel makrofag di RES yang terdapat di hati, limpa, sumsum tulang dan

getah bening. Kerusakan yang demikian cepat dan jumlah yang besar

menyebabkan terjadinya trombositopenia yang berat diikuti manifestasi

perdarahan. Bentuk PTI kronik bisa merupakan kelanjutan dari bentuk

akut. Pada bentuk kronik ini ternyata PAIgG tetap tinggi walaupun

kompleks antigen-antibodi dikeluarkan dari tubuh, meskipun tidak setinggi

pada bentuk akut. Keadaan demikian diduga berhubungan erat dengan

konstitusi genetik yang spesifik dari sistim immunologik penderita, dimana

peninggian PAIgG disebabkan adanya autoantigen pada membran

trombosit atau oleh antigen spesifik yang melekat pada permukaan

trombosit.

Page 14: autoimun

Selain oleh konstitusi genetik spesifik, peninggian PAIgG bisa juga

disebabkan oleh kelainan pada mekanisme immunologik sehingga

pembentukan PAIgG terus berlanjut.

Umumnya pasien dibawa berobat dengan keluhan bercak-bercak

perdarahan pada kulit anggota gerak berupa petekia, ekimosis atau memar.

Kadang-kadang berupa epistaksis, dan perdarahan gusi atau saluran

pencernaan dan saluran kemih. Pada bentuk akut biasanya didahului oleh

infeksi virus 1-6 minggu sebelumnya sedangkan pada bentuk kronik bisa

merupakan lanjutan bentuk akut, atau ditemukan secara kebetulan sewaktu

datang berobat dengan keluhan lain

Pada pemeriksaan fisik umumnya tak tampak sakit, kecuali adanya petekia

atau perdarahan gusi. Organomegali umumnya tidak dijumpai. Pada

pemeriksaan laboratorik, test Rumpel Leede (+), hitung trombosit sangat

rendah, waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan abnormal.

Sedangkan hasil pemeriksaan punksi sumsum tulang memberi gambaran

megakariosit normal atau bertambah.

2. Sindrom Penyakit SLE Atipik

Penyakit SLE tanpa ANA

Beberapa pasien SLE tetap tidak menunjukkan adanya ANA selama

perjalanan penyakitnya. Ginjal dan SSP lebih jarang terkena dan jangka

hidupnya lebih panjang.

Sindrom Antifosfolipid

Sebagian pasien SLE dengan antibodi terhadap salah satu jenis fosfolipid,

yaitu kardiolipin menunjukkan trombosis pembuluh darah (vena maupun

arteri) yang berulang, abortus berulang dan trombositopenia. Di lain

Page 15: autoimun

pihak, pasien dengan antibodi terhadap pardiolipin sering menunjukkan

gejala penyakit SLE yang tidak khas, tes terhadap ANA negatif dan tidak

memenuhi kriteria ARA untuk diagnosis SLE. Di samping itu mereka

menunjukkan insidensi berbagai macam kelainan SSP yang tinggi

terutama stroke. Berdasarkan fakta inilah lahir istilah sindorm

antifosfolipid.

Penyakit SLE eritematosus karena obat (Drug-induced LE)

Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala-gejala yang menyerupai

SLE, misalnya hidantoin, hidralazin dan prokainamid. Keadaan ini dulu

disebut juga sindrom hidralazin, alfametil dopa, PTU serta metimazol dan

kinidin.

Biasanya kelainan ginjal dan susunan saraf pusat jarang ditemukan. Anti-

dsDNA, hipokomplemenemia serta imun kompleks juga tidak sering

ditemukan.

BAHAN BACAAN :

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

A. DEFINISI

Lupus eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan

perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan

eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam

tubuh.

SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda

dengan penyakit autoimun yang organ-specific (misalnya diabetes melitus

tipe I, miastenia gravis, penyakit graves dsb) dimana suatu respon autoimun

tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan

menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya

Page 16: autoimun

sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi

klinis.

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada

berbagai populasi yang berbeda-beda. Dari berbagai sumber diadapatkan

data antara lain :

a. Prevalensi penyakit SLE adalah 0,06% dari populasi umum.

(Kirsch,et all)

b. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 – 50.8

kasus/100.000 orang sedangkan prevalensinya 24-100/100.000

orang. The Lupus Foundation of America ( LFA ) memperkirakan

sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit

SLE dengan berbagai tipe terutama wanita. Orang Amerika

keturunan Afrika, Hispanik, orang Amerika asli dan orang Asia

memiliki resiko besar untuk menderita penyakit SLE.

c. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang.

d. Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia

40/100.000

e. Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang

f. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 – 40 tahun

tetapi semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering

menyerang pada wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada

anak-anak meningkat 10 : 1.

g. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang

wanita

h. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun prevalensinya

1/245 orang wanita

Page 17: autoimun

i. Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang ditemukan di

Afrika. Ada 2 kemungkinan penyebabanya yaitu :

o aktor resiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat dan

Eropa dibandingkan dengan Afrika.

o Campuran dari gen keturunan Afrika dengan orang Eropa

menghasilkan gen-gen yang meningkatkan kerentanan terhadap

penyakit SLE ini.

j. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi

tidak mempengaruhi distribusi penyakit

C ETIOLOGI

Etiologi dan patofisiologi penyakit SLE masih belum diketahui dengan

jelas. Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa patofisiologi SLE

bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan

dan hormonal terhadap respons imun.

1. Faktor genetik

Faktor genetik memegang peran penting dalam kerentanan serta ekspresi

penyakit.. Gen-gen yang terlibat dalam penyakit penyakit SLE

Pada penyakit penyakit SLE 95 % kejadian diduga disebabkan oleh lebih

dari 1 gen.

a. Gen HLA

Penyakit SLE merupakan penyakit otoimun, maka ilmuwan

harus mempelajari terlebih dahulu gen-gen yang mengontrol sistem

imun. Gen HLA semuanya berada pada lengan pendek kromosom 6 dan

merupakan pengontrol penting untuk sistem imun. Gen HLA dibagi 3

kelas :

1). Gen HLA kelas I. Gen ini sedikit terlibat pada penyakit penyakit

SLE

Page 18: autoimun

2). Gen HLA kelas II

Beberapa gen dalam kelompok ini yang berhubungan dengan penyakit

SLE :

a. Kombinasi DR3 dan DQ2 atau DR2 dan DQ6 menaikkan resiko

untuk penyakit SLE oleh faktor 2 atau 3. gen ini hanya untuk

sebagian kecil gen yang beresiko untuk penyakit SLE.

b. Banyak studi pada gen kelas II ini tidak memperlihatkan

hubungan dengan penyakit SLE. Ilmuwan kemudian membagi

penyakit SLE dalam beberapa subtipe menurut hasil beberapa

jenis tes darah dan ternyata banyak terdapat hubungan antara

gen kelas II dan sub tipe penyakit SLE yang terlihat. Ini

memberi kesan bahwa penyakit SLE bukan satu penyakit

tetapi beberapa penyakit serupa.

b. Gen HLA kelas III

Beberapa gen dalam kelompok ini yang berhubungan dengan penyakit

SLE :

1). Gen C4A dan C2

2). Beberapa jenis gen TNF juga menaikkan resiko penyakit penyakit

SLE pada beberapa kelompok etnik.

c. Gen komplemen

Kurang dari 5 % pasien penyakit SLE yang disebabkan oleh satu

gen. Tetapi banyak dari gen itu yang berhubungan dengan komplemen

sistem yang merupakan bagian dari sistem imun.

o Gen C1q pada kromosom 1 kadang-kadang mengkode untuk

beberapa jenis protein C1q. Ini sedikit efisien dari biasanya. Jika ini

terjadi maka penyakit SLE akan terjadi. Khususnya pada anak-

anak. Protein C1q punyai 2 fungsi yaitu menyerang dan

Page 19: autoimun

membersihkan ada sistem imun. Ilmuwan percaya bahwa penyakit

SLE dapat dipicu jika sisa dari sistem imun tidak dibersihkan

secara seksama.

o Defisiensi protein komplemen yang lain juga menimbulkan

penyakit SLE termasuk defisiensi protein yang dikode oleh C4A

dan C2 pada kromosom G dan gen C1r dan C1s pada kromosom 12.

o Gen MBL2 pada kromosom 10 yang merupakan cetakan untuk

protein yang disebut mannose binding protein yang mempunyai

bentuk serupa dengan C1q. Di Spanyol, dan populasi America-

Africa merupakan gen yang lebi sering ditemukan pada penderita

penyakit SLE. Kombinasi gen ini dengan C4 mempunyai hubungan

yang kuat dengan penyakit SLE dibandingkan hanya salah satu gen

saja.

d. Gen-gen lain

o Gen FCGR2A mempengaruhi cara tubuh membersihkan tubuh dari

hasil penyerangan imun. Beberapa jenis gen menimbulkan resiko

penyakit ginjal pada orang Amerika-Afrika yang menderita

penyakit SLE.

o Gen APT1LG1 dan ADPRT merupakan bagian dari sistem tubuh

yang mengatur umur sel (apoptosis) gen yang serupa pada

penelitian mencit punya hubungan dengan penyakit SLE tetapi

perlu penelitian lagi pada manusia.

Obat untuk penyakit jantung yaitu procainamide dan hydralazine

dapat memicu penyakit yang serupa dengan SLE tetapi tidak sama.

Penyakit itu disebut penyakit SLE yang dipicu oleh obat sedikitnya 2 gen

yang ikut campur pada penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat.

Page 20: autoimun

o Gen N asetil-transferase 2 pada kromosom 8 mempengaruhi

bagaimana tubuh memproses toxin. Gen ini memegang peranan

penting pada beberapa penyakit pada manusia. Dua jenis dari

gen adalah gen yang cepat dan gen yang lambat. Jika seseorang

dengan semua gen yang lambat maka lebih mudah mengalami

penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat.

o Gen HLA kelas II pada kromosom 6 juga terlibat. Orang

dengan gen jenis DR4 lebih mudah mengalami penyakit

penyakit SLE yang dipicu oleh obat.

e. Penelitian yang berhubungan dengan faktor genetik pada penyakit

SLE

Beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan data tentang

hubungan faktor genetik dengan kejadian penyakit SLE ini, antara lain :

o Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa gen IRF5 (The Interferon

Regulatory Factor 5 ) dengan alel rs2004640-T merupakan faktor

generik baru yang ditemukan pada penyakit SLE. ( Garnier,et all )

o Pada penelitian terhadap serum darah dari 36 penderita SLE yang

diperiksa autoantibodi Ekstratable Nuklear Antigen (ENA) dengan

immunoassay diperoleh data bahwa :

Titer ENA antibodi yang rendah pada kelompok dengan RNA

negatif dihubungakan dengan HLA Ag ( p<0.05) ssementara

kadar yang rendah dari antibodi RNA-ase sensitif ENA (RSE)

dihubungkan dengan HLA Dr1 (p,0.05).

C4AQo dihubungkan dengan afinitas yang rendah dari ENA

antibodi (p<0.05). (Warlows,et all)

Page 21: autoimun

o Penelitian yang dilakukan oleh The Intramural Research Program

(IRP) of The National Institute of Arthritis and Musculoscletal and

Skin Diseases (NIAMS) dan organisasi lainnya diadapatkan hasil

bahwa gen STAT4 merupakan gen yang berperan penting pada

Penyakit SLE dari 3 orang penderita SLE yang dikumpulkan secara

independen beserta kontrolnya. Profil genetika dari paasien dan

kontrol memberi kesan bahwa individu yang membawa 2 copy dari

bentuk gen STAT4 yang beresiko terhadap penyakit SLE

mempunyai 60% resiko untuk terkena Rheumatoid Arthritis dan

meningkat 2 kali lipat beresiko terkena penyakit SLE dibandingkan

individu yang tidak membawa copian gen tersebut.

o Beberapa tahun terakhir, studi terhadap sekelompok grup yang

mempunyai hubungan yang kompleks lalu dianalisis datanya dari

keluarga yang mempunyai beberapa anggota keluarga yang

menderita penyakit SLE didapatkan hasil bahwa sekitar 8 region

kromosom diidentifikasi menunjukan bukti untuk hubungan yang

signifikan terhadap penyakit SLE dan telah dikonfirmasi dengan

penelitian kohor independen. Kromosom-kromosom itu adalah

kromosom 1q23, 1q25-31, 1q41-42, 2q35-37, 4p16-15, 6p11-21,

12q24 dan 16q12, menunjukan hubungan yang erat terhadap

keberadaan satu aaatu lebih gen yang rentan terhadap penyakit SLE

disetiap lokusnya.. (www.ncbi.nlm.nih.gov)

o Studi case-control pada penderita SLE diadapatkan bahwa penyakit

SLE berhubungan dengan alel MHC class II, defisiensi komplemen

dan gen Polymorphisms of Factor Gamma Reseptor (FCGR2A),

komplemen yang berhubungan dengan gen dan gen cytokin.

Page 22: autoimun

o Pada beberapa kasus ditemukan gen yang dapat dihubungkan

dengan perjalanan alamiah penyakit SLE ini yaitu adanya

peningkatan yang sangat agresif pada gen HLA-DQB1*0201 MHC

pada orang Amerika keturunan Afrika.

o Pada penelitian lain yang dilakukan terhadap 720 wanita Eropa

dengan penyakit SLE dan 2337 wanita yang tidak menderita

penyakit SLE ditemukan kejadian yang berhubungan dengan 3 gen

yaitu ITGAM, KIAA1542 dan PXK. Gen ITGAM penting untuk

kepatuhan sel imun dan untuk membersihkan kuman patogen. Gen

KIAA1542 penting untuk memindahkan kode DNA ke protein dan

gen PXK merupakan encode sebuah molekul yang

mentransmisikan sinyal untuk mengatur proses dalam sel. Peneliti

juga menemukan hubungan dari gen tersebut dengan penyakit SLE

dan penyakit autoimun lainnya.

f. Tendensi familial

Penyakit SLE dapat menurun dalam keluarga, pada pengamatan

pertama tahun 1950 banyak studi yang memperlihatkan bahwa :

o Saudara baik laki-laki atau perempuan dari penderita penyakit

SLE 25 kali lebih sering menderita penyakit SLE dibandingkan

populasi umum.

o Penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh faktor genetic atau

lingkungan.

o Penyakit SLE memiliki komponen genetik yang kuat jika

komponen lingkungannya bagus.

o Pada anak kembar studi menjelaskan bahwa terdapat hubungan

yang penting dengan gen dan lingkungan. Sebagai contoh

Page 23: autoimun

tahun 1992 sebuah peneitian pada 107 pasangan kembar salah

satu dari mereka menderita penyakit SLE seperti pada tabel

dibawah ini :

Tipe kembar Jumlah

pasangan

Pasangan kembar yang

menderita penyakit SLE kedua-

duanya

Kembar identik 45 24 % (11 dari 45)

Kembar non

identik

62 12 % (1 dari 62)

Jika penyakit SLE hanya disebabkan oleh gen maka semua

pasangan kembar identik akan menderita penyakit SLE karena mereka

mempunyai gen yang sama. Tetapi dalam tabel hanya 24 %, ini

memperlihatkan bahwa penyakit SLE juga dipengaruhi komponen

lingkungan.

Jika penyakit SLE hanya disebabkan oleh faktor lingkungan maka

kejadian penyakit SLE pada kembar identik dan non identik akan sama

tetapi pada tabel terlihat kejadian penyakit SLE lebih tinggi pada kembar

identik dibandingkan kembar non identik. Ini memperlihatkan bahwa

penyakit SLE juga dipengaruhi komponen genetik.

Jika dalam keluarga penyakit SLE dapat mengenai seluruh

keluarga tetapi tidak semua anggota keluarga akan menderita penyakit

SLE. Hal ini disebabkan tidak ada anggota keluarga yang sama baik

tinggi badan, berat badan dan bentuk wajah maka ini juga membuktikan

bahwa tidak ada anggota keluarga yang sama kondisi dan penyakit yang

dideritanya atau yang diduga akan mengalami penyakit yang sama. Disini

jelas bahwa genetik dan perbedaan lingkungan mengakibatkan seseorang

Page 24: autoimun

berbeda pula dalam rupa dan kesehatannya. Beberapa anggota keluarga

mewarisi gen yang akan membuatnya menderita penyakit SLE sedangkan

yang lainnya tidak. Beberapa anggota keluarga terpapar dengan

lingkungan yang memicunya terkena suatu penyakit dan yang lainnya

tidak.

Jika tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit SLE

bukan berarti penyakit SLE tidak akan terjadi dalam keluarga itu. Karena

semua orang dapat mengalami penyakit SLE. Sekitar 90 % orang yang

menderita penyakit SLE tidak mempunyai anggota keluarga yang juga

mengalami penyakit yang sama tetapi jika ada penyakit SLE ada dalam

keluarga maka anggota keluarga yang lain punya resiko lebih besar

terkena penyakit SLE.

2. Faktor Lingkungan

Sulit untuk membuktikan faktor lingkungan yang terlibat dalam

SLE beberapa faktor yang sudah dikenal adalah :

a. Obat-obatan

Obat jantung ; procainamide dan hydralazine dapat memicu

penyakit yang mirip dengan SLE. Walaupun banyak orang yang

memakai obat ini tetapi tidak menderita penyakit SLE, keadaan ini

belum dapat dijelaskan. Obat-obatan lainnya dapat dilihat pada

lampiran 1. Penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat biasanya

akan sembuh jika obat dihentikan tetapi kadang-kadang perlu

beberapa tahun untuk sembuh sempurna.

b. Radiasi ultraviolet

Cahaya matahari dapat memperburuk masalah kulit yang terjadi

pada SLE.

Page 25: autoimun

c. Hormon sex

Wanita lebih banyak menderita SLE daripada pria. Pada pria yang

mempunyai kadar hormon sex wanita dalam tubuhnya (seperti pada

sindrom klinefelter) dapat menderita penyakit SLE dibandingkan pria

yang tidak menderita ini. Rasio wanita yang menderita SLE pada usia

menarche dibandingkan usia menopause adalah 3:1.

d. Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang banyak mengandung L-

canavantine, Pristane atau bahan yang sama serta diet tinggi lemak

jenuh..

e. Faktor infeksi

DNA bakteri, human retrovirus, endotoksin dan lipopolisakarida

bakteri.

D. PATOFISIOLOGI

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang

mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong

abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T

terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang

akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi

autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum

jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks,

sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang

terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,

protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan

Page 26: autoimun

alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein

RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini

ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral

semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).

Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang

beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun

pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar

yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan

terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.

Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat

terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan

aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi

radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala

pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,

pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.

Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya

mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas

patologis pada individu yang resisten.

Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat

pada skema di bawah ini.

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit

dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem

dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang

lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun

Page 27: autoimun

terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-

tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi

seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya

golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap

serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,

kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas.

Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa

artritis atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala

lainnya. Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal

diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan

pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat

efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-

kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan.

Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris,

tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis

avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan

pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi.

Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

b. Gejala mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 %

kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi

kulit akut, subakut, diskoid dan livido retikularis.

Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam

mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu

Page 28: autoimun

(butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan

kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh

tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul

ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity).

Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk

anular.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,

hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa

yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan

folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk

kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.

Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering

ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla

(dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.

Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap

kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan

beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.

Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya

tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.

Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi

dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik

jika penyakit mereda.

c. Ginjal

Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi

paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom

Page 29: autoimun

nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 %

kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis

penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis

penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis

biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan

fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa

lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan

fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung

cepat atau lambat tapi progresif.

Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah

pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal

merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

d. Kardiovaskular

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat

(efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman

Sacks).

e. Paru

Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang

bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura.

Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.

Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika

faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya

telah disingkirkan.

Page 30: autoimun

f. Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai

mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika

gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul

mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah

kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis

dapat juga menimbulkan pankreatitis.

g. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi

jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan

menghilang/ kembali normal.

h. Kelenjer Getah Bening

Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %).

Biasanya berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak.

Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma.

i. Kelenjer Parotis

Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.

j. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan

motorik. Biasanya bersifat sementara.

k. Susunan Saraf Pusat

Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu

psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya

ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem

Page 31: autoimun

lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi disamping gejala

khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan

tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.

Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara

klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan

antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau

menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik

jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.

Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson,

paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu

jelas Faktor-faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit

gamaglobulin di pleksus koroideus.

l. Mata

Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital,

perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

m. Sindrom Penyakit SLE Atipik

Penyakit SLE tanpa ANA

Beberapa pasien SLE tetap tidak menunjukkan adanya ANA selama

perjalanan penyakitnya. Ginjal dan SSP lebih jarang terkena dan jangka

hidupnya lebih panjang.

Sindrom Antifosfolipid

Sebagian pasien SLE dengan antibodi terhadap salah satu jenis

fosfolipid, yaitu kardiolipin menunjukkan trombosis pembuluh darah

(vena maupun arteri) yang berulang, abortus berulang dan

trombositopenia. Di lain pihak, pasien dengan antibodi terhadap

Page 32: autoimun

pardiolipin sering menunjukkan gejala penyakit SLE yang tidak khas, tes

terhadap ANA negatif dan tidak memenuhi kriteria ARA untuk diagnosis

SLE. Di samping itu mereka menunjukkan insidensi berbagai macam

kelainan SSP yang tinggi terutama stroke. Berdasarkan fakta inilah lahir

istilah sindorm antifosfolipid.

Penyakit SLE eritematosus karena obat (Drug-induced LE)

Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala-gejala yang

menyerupai SLE, misalnya hidantoin, hidralazin dan prokainamid.

Keadaan ini dulu disebut juga sindrom hidralazin, alfametil dopa, PTU

serta metimazol dan kinidin.

Biasanya kelainan ginjal dan susunan saraf pusat jarang ditemukan.

Anti-dsDNA, hipokomplemenemia serta imun kompleks juga tidak sering

ditemukan.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada seseorang, terutama wanita dalam

masa reproduktif yang mempunyai keluhan/ gejala multisistem, disertai

terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh, terutama antibodi

terhadap komponen-komponen inti sel.

a. Kriteria Diagnosis

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA)

menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi penyakit SLE eritematosus

sistemik. Kriteria ini merupakan perbaikan dari kriteria yang lama, yang

diajukan pada tahun 1971.

Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada salah satu periode

pengamatan ditemukan 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria dibawah ini,

baik secara berturut-turut maupun serentak.

1. Ruam (rash) di daerah malar

Page 33: autoimun

Ruam berupaa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di

daerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis.

2. Lesi diskoid

Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik

keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang

lama mungkin terbentuk sikatriks.

3. Fotosensitivitas

Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya

matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui

pengamatan dokter.

4. Ulserasi mulut

Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui

melalui pemeriksaan.

5. Artritis

Artritis non-erosit yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh

nyeri, bengkak atau efusi.

6. Serositis

a. Pleuritis

Adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan

pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.

b. Perikarditis

Diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi

gesekan perikard atau adanyaa efusi perikard.

7. Kelainan ginjal

a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+.

atau

b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular,

tubular atau campuran.

Page 34: autoimun

8. Kelainan neurologis

a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat

menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan

gangguan keseimbangan elektrolit.

atau

b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat

menyebabkannya atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis

dan gangguan keseimbangan elektrolit.

9. Kelainan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis

atau

b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau

lebih

atau

c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau

lebih

atau

d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat

yang mungkin menyebabkannya.

10.Kelainan imunologi

a. Adanya sel LE

atau

b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA) dengan

titer abnormal.

atau

c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.

Page 35: autoimun

atau

d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6

bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi Treponema palidum atau uji

fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11.Antibodi antinuklear

Titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara

imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama

dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom

penyakit SLE karena obat.

G. DIAGNOSIS BANDING

o Artritis reumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya

o Endokarditis bakterial subakut

o Septikemia disebabkan gonokokus/ meningokokus yang disertai artritis

dan lesi kulit

o Reaksi terhadap obat

o Limfoma

o Leukimia

o Trombotik trombositopenik purpura

o Sarkoidosis

o Lues II

o Sepsis bakterial

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang antara lain :

1. Hematologi

Ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia

Page 36: autoimun

2. Kelainan imunologis

Ditemukan sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti

DNA, ENA (ex-tractable nuclear antigen), faktor reumatoid, krioglobulin,

dan uji lues yang positif semu.

3. Histopatologi

Umum :

Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin,

lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa

Libman-Sacks.

Ginjal :

2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatil difus dan nefritis

penyakit SLE membranosa.

Kulit :

Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG

granular pada demo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif

(90 %) maupun pada kulit yang tak terkena (70 %) (penyakit SLE

band test). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan

pada kulit yang tidak terkena dan tidak terpajan (non-exposed areas).

I. PENGOBATAN DAN REHABILITASI

Sampai sekarang SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna.

Meskipun demikian, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan

komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian

memperpanjang remisi dan survival rate.

Semuanya akan menjadi lebih baik jika kita dapat menghitung resiko

dimana ilmuwan yakin bahwa gen dapat menjelaskan tentang resiko

perkembangan penyakit SLE dan kemajuan penyakit tersebut.

Beberapa obat telah diakui dapat mengobati penyakit SLE. Obat-obatan

yang terbaik bagi penderita penyakit SLE sebagian ditentukan oleh gen yang

Page 37: autoimun

dimiliki oleh orang tersebut. Gen yang spesifik akan mempengaruhi

perkembangan penyakit SLE sehingga juga akan mempengaruhi respon

terhadap pengobatan. Informasi genetik yang baik dapat menjelaskan

bagaimana obat bekerja pada seseorang dibandingkan dengan orang lain. Hal

ini membuat kita dapat memilih obat yang tepat bagi pasien.

Dengan ditemukannya gen yang terlibat dalam penyakit SLE oleh

ilmuwan, ini merupakan pintu masuk untuk membentuk terapi baru. Jika gen

itu ober aktif maka ilmuwan harus mencari jalan untuk mengurangi atau

mempengaruhi kerja gen tersebut.

Jika gen tersebut tidak aktif atau rusak maka ilmuwan harus mencari

jalan bagaimana untuk meningkatkan aktifitas gen tersebut. Program

pengobatan yang tepat sangat individual karena gambaran klinis dan

perjalanan penyakit sangat bervariasi. Pengembangan yang cepat pada teknik

skrining genetik terutama pada gen yang berhubungan dengan penyakit SLE

untuk menentukan gen-gen yang berhubungan dengan penyakit SLE pada

masing-masing individu sangat penting untuk mengembangan target terapi

yang ditujukan pada ketidakseimbangan dalam respon imun yang terjadi pada

seseorang yang memiliki pola genetik seperti penyelidikan potensi PBEF yang

berlaku sebagai tanda munculnya penyakit dan sebagai sasaran therapetik

yang memungkinkan dan pengobatan langsung untuk menyeimbangkan kerja

gen IRF5 pada penderita penyakit SLE bisa dipakai walaupun masih diteliti

dan penuh spekulasi

Pendidikan terhadap pasien

Pasien diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan

penyakit, komplikasi, prognosis dan sebagainya), sehingga dapat bersikap

positif terhadap penanggulangan penyakit ini. Di beberapa negara telah tersedia

materi pendidikan dalam bentuk brosur atau buklet; malah telah berdiri

perkumpulan pasien SLE.

Page 38: autoimun

Beberapa prinsip dasar tindakan untuk meningkatkan kulaitas hidup

pasien SLE

1. Monitoring kesehatan yang teratur

2. Lakukan latihan

Lakukan latihan atau kegiatan yang menggunakan tenaga sedikit seperti

jalan kaki, berenang dan bersepeda. Kegiatan ini dapat membantu

menjaga pemendekan otot dan menurunkan resiko berkembangnya

osteoporosis. Latihan jiga dapat memberikan pengaruh positif pada mood.

3. Istirahat yang cukup

Tenangkan diri dan atur keseimbangan periode beraktifitas dan istirahat.

Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol.

Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu

ditekankan pentingnya tidur yang cukup.

4. Makan makanan yang sehat

Makanlah makanan yang bergizi dan seimbang, kurangi makanan tinggi

lemak jenuh dan makanan yang mengandung mengandung L-

Canavantine dan pristane seperti taoge dan rebung.

5. Hindari rokok

Merokok dapat mempengaruhi sirkulasi darah dan memperparah gejala

SLE. Tembakau memberikan efek negative terhadap jantung, paru-paru

dan lambung.

6. Hindari alcohol

Alkohol dapat berinteraksi dengan obat-obatan yang dikonsumsi yang

mengakibat masalah serius pada lambung dan usus bahkan bisa

mengakibatkan ulkus

7. Mengatasi infeksi

Page 39: autoimun

Demam mengindikasikan adanya infeksi ataupun gejala SLE yang

meningkat. Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak

jelas sebabnya, pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika

dianjurkan vaksinasi dengan vaksin influensa dan pneumokokus.

Diperlukan terapi pencegahan dengan antibiotik pada operasi gigi, traktus

urinarius atau prosedur bedan invasif lain.

8. Jadilah teman yang baik

Dalam menjalani pengobatan paien hendaknya dapat membangun rasa

percaya dan hubungan yang baik dengan dokter. Bersabarlah, dokter akan

menemukan pengobatan yang tepat dan akan bekerja keras untuk

kesembuhan pasiennya. Ikutilah pengobatan yang diberikan dokter dan

jangan takut menanyakan segala sesuatu yang meragukan.

9. Cari tahu tentang penyakitmu

Simpanlah catatan tentang penyakit dan bagian tubuh mana yang

dipengaruhi oleh penyakit SLE dan kondisi serta kegiatan apa yang dapat

memicu terjadinya gelaja SLE

10.Mintalah pertolongan

Jangan takut minta pertolongan saat membutuhkannya dan jika ada

organisasi penyakit SLE maka pasien disarankan untuk bergabung serta

berbincang-bincang dengan orang lain yang memiliki pengalaman yang

sama.

11.Fotoproteksi

Pasien SLE akan mengalami kemerahan pada kulit saat terpapar sinar

matahari. Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus

dikurangi atau dihindarkan. Jika akan berpergian dan kemungkinan akan

terkena sinar matahari sebaiknya dipakai lotion tertentu (suncreener

lotion) untuk mengurangi pengaruh sinar matahari pada kulit, pemakaian

topi, kaca mata dan baju lengan panjang.

Page 40: autoimun

Obat-obatan

Bentuk pengobatan SLE ditentukan antara lain oleh aktivitas penyakit.

Meskipun agak sulit ditetapkan secara tepat, aktivitas penyakit sebenarnya

merupakan gabungan antara gambaran klinis dan hasil pemeriksaan penelitian

yang mencerminkan adanya inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE. Telah

banyak usaha yang dilakukan untuk menentukan aktivitas penyakit pada SLE

yang melahirkan berbagai sistem penilaian seperti BILAG, SLEDAI, SLAM

dsb. Dalam garis besarnya, berdasarkan potensi butir-butir kelainan pada SLE

untuk menimbulkan penyakit atau kematian, aktivitas penyakit dibagi dalam 2

kategori, yaitu minor dan mayor.

NSAID dan Salisilat

NSAID terutama dipakai pada SLE dengan gejala ringan. Sering juga

dipakai bersama-sama dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis

kortikosteroid. Dapat dipakai sebagai terapi simtomatis pada artritis/artralgia,

mialgia dan demam : Preparat salisilat atau preparat lain seperti indometasin (3

x 25 mg/hari), asetaminofen (6 x 650 mg/hari) dan ibuprofen (4 x 300-400

mg/hari). Ini harus disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi simtomatis lain

misalnya diperlukan pada ::

- Eritema

Terapi lokal dengan krem atau salep kortikosteroid

- Ulserasi mulut dan nasofaring diberi terapi lokal

- Fenomen Raynoud

Pencegahan timbulnya fenomen ini diusahakan dengan protective

clothing.

Page 41: autoimun

Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat penting dalam pengobatan

SLE. Dapat digunakan secara topikal untuk manifestasi kulit, dalam dosis

rendah untuk aktivitas minor dan dalam dosis tinggi untuk aktivitas mayor (lihat

tabel 1).

Pada keadaan yang berat, terutama gangguan susunan saraf pusat dengan

kejang-kejang dan psikosis, diberikan prednison dosis tinggi (100-200 mg/hari

atau 2 mg/kg berat badan/hari).

Setelah kelainan klinis menjadi tenang, dosis kortikosteroid diturunkan

(tapering) dengan kecepatan 2,5-5,0 mg/minggu sampai dicapai dosis

pemeliharaan yang diberikan selang sehari.

Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan biopsi ginjal untuk

memastikan jenis kerusakan ginjal. Glomerulus nefritis penyakit SLE fokal

memberikan respon yang baik terhadap pengobatan atau dapat sembuh spontan.

Biasanya diberikan prednison atau prednisolon 40-60 mg/ hari selama beberapa

minggu sampai gejala klinis menghilang, diteruskan dengan dosis pemeliharaan.

Tabel 1. Penggunaan Kortiksteroid pada SLE

Indikasi

Manifestasi

kulit

Kortikosteroid topikal atau intralesi.

Aktivitas

penyakit

- Minor Prednison (atau ekuivalennya) < 0,5

mg/kg BB/hari, dosis tunggal atau terbagi.

- Mayor Oral : Prednison (atau ekuivalennya) 1

mg/kg bb/hari, dosis tunggal atau terbagi.

Jaringan lebih lama dari 4-6 minggu.

Bolus intravena : 1 gram (atau 15 mg/kg

BB/hari) metilprednison Na-suksinat

Page 42: autoimun

intravena selama 30 menit; sering diberi 3

hari berturut-turut.

Pada kerusakan fokal yang berat, glomerulonefritis difus atau

membranosa, pemberian dosis tinggi (prednison atau prednisolon 150-200

mg/hari) ternyata dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien.

Obat Antimalaria

Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit,

muskuloskeletal dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadang-kadang juga

terdapat adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Preparat

yang paling sering dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis

200-500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus kontrol ke Ahli Mata

setiap 3-6 bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi makula.

Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi beberapa kemungkinan telah

diajukan seperti antiinflamasi, imunosupresif, fotoprotektif dan stabilisasi

nukleprotein. Klorokuin mengikat DNA, sehingga tidak dapat bereaksi dengan

anti-DNA.

Obat imunosupresif

Biasanya obat imunosupresif diberikan bersama-sama dengan

kortikosteroid. Pemakaiannya didasarkan atas efeknya terhadap fungsi imun.

Penggunaan obat imunosupresif sebenarnya masih diperdebatkan. Umumnya

hanya dianjurkan pada kasus gawat atau lesi difus dan membranosa pada ginjal

yang tidak memberikan respons baik terhadap kortikosteroid dosis tinggi.

Yang paling sering dipakai ialah azatioprin dan siklofosfamid. Dosis awal

azatioprin adalah 3-4 mg/hari), kemudian diturunkan menjadi 1-2 mg/kg berat

badan/hari jika timbul gejala toksik.

Page 43: autoimun

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 100-150 mg/hari. Diduga efek

kedua obat ini pada SLE lebih bertindak sebagai antivirus daripada sebagai obat

imunosupresif.

Lain-lain

Metrotreksat

Siklosporin A : mungkin diperlukan pada wanita hamis (lihat dibawah)

Imunoglobulin intravena : untuk trombositopenia

Infus plasma : untuk SLE yang disertai defisensi C2

Retinoid dan metabolitnya : untuk lesi kulit diskoid dan subakut yang

refrakter terhadap pengobatan biasa

Dapson dan talidomid : untuk lesi kulit yang berat

Pengobatan terhadap komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi sekunder. Pada sistem

kardiopulmoner mungkin timbul gagal jantung karena miokarditis, efusi pleura

dan perikard sampai tamponade jantung yang memerlukan perikardiektomi.

Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan ginjal ringan sampai berat. Dalam

keadaan ini dipertimbangkan pemberian diuretik, obat antihipertensi, dan

mungkin juga dilakukan dialisis serta transplantasi ginjal. Ada juga yang

menganjurkan pemberian antikoagulan. Heparin diberikan dalam dosis

antikoagulasi, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 250 mg/hari

subkutan.

Terhadap kejang-kejang yang timbul akibat gangguan susunan saraf

pusat, diberikan obat-obat antikonvulsi.

Terapi Eksperimental

Total Lymphoid Irradiation

Page 44: autoimun

Efek utamanya timbul melalui penurunan jumlah T4. Akibatnya produksi

antibodi yang T-cell dependent berkurang. Pada SLE secara bermakna

menurunkan kadar antibodi antinuklir dan antiDNA.

Plasma Exchange atau Plasmapheresis

Tindakan ini mengurangi konsentrasi antibodi inravaskular kompleks

imun dan mediator inflamasi lain dalam sirkulasi.

Prognosis

Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Pemakaian

preparat kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil

baik pada penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan

terencana, pemakaian obat imunosupresif dan penggunaan antibiotik,

antihipertensi, dialisis serta transplantasi ginjal lebih memperpanjang survival

rate lagi. Survive rate 5 tahun sebesar 50 persen pada tahun 1954, menjadi 95

persen pada tahun 1976. Angka ini tidak banyak berubah sampai sekarang

(1993). Kematian paling sering terjadi karena komplikasi pada ginjal dan

susunan saraf pusat.

Aspek Khusus

Trombositopenia

Ada beberapa pilihan dalam menanggulanginya, yaitu kortikosteroid

dosis tinggi, imunosupresif, kemoterapi dengan vinca alkaloid (vinkristin atau

vinblastin), analog steroid sintesis (Danazol), gamaglobulin monomer intravena

dosis tinggi. Splenektomi hanya dilakukan pada yang tidak berhasil diobati

dengan terapi konvensional.

SLE pada kehamilan

Pasien hamil yang mengalami eksaserbasi memerlukan terapi

imunosupresif dengan prednison dan jika perlu kombinasi dengan azatioprin.

Page 45: autoimun

Jika titer antibodi antifosfolipid tinggi, perlu dipertimbangkan pemberian

salisilat dosis rendah. Pemakaian siklosporin A pada wanita hamil ternyata

efektif dalam mengontrol aktivitas SLE dan tidak ditemukan efek samping pada

ibu maupun bayi.

Abortus yang berulang pada SLE biasanya berkaitan dengan adanya

antibodi terhadap kardiolipin.

Gagal ginjal

Pada masa ini gagal ginjal terminal penyakit SLE nefrtis dapat

ditanggulangi cukup baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis dapat

menimbulkan perbaikan pada manifestasi non-renal dan kelainan serologis

(anti-DNA dan komplemen) yang merupakan indikator aktivitas penyakit.

REFERENSI

Warlow.RS. Extractable Nuclear Antigen ( ENA ) Autoantibodies in SLE An

Immunogenetic Relationship with HLA, C4 and Bf Alleles.

www.medicinenet.com

Reachers Find Gene Connected to Lupus. www.PubMed.com

Behrens, Timothy. Mapping and Cloning of an SLE Suspectibility Gene on

Human Chromosome 1. www.niams.nih.gov

Garnier S,Diedue P. IRF5 rs2004640-T allele, The New genetic Factor for SLE

is not Associated with Rheumatoid Arthritis. www.ard.bmj.com

Rinke J,Steitz Joan A. Association of Lupus Antigen La with a Subset of U6 sn

RNA molecules. The American Society of Human Genetics. Yale

University. USA 2006. www.nar.oxfordjournals.org

Page 46: autoimun

Kirsch. Min Ae Lee,Gong Maolian. Familial Childbain Lupus. A Monogenic

Form of Cutaneous Lupus Erythematosus, Maps to Chromosome 3p.

Technische Univesitat Dresden. Germany.2006. www.ncbi.nlm.nih.gov

Study Identifies Genetic Risk Factor for Rheumatoid Arthritis and Lupus.

www.niams.nih.gov

Crow, Mary K. Interferon Alpha in Lupus and Inflammation in Osteoarthritis.

Up Date from The HSS Immuneregulation Penelitianatory.

www.wbmed.com

Zuljasri Abbas. Sistemik Lupus Eritematosus. FKUI. Jakarta 1995.

Lindquist.AK Riquelme ME. The Gewnetic of SLE. Uppsala University.

Sweden. www.ncbi.nlm.nih.gov

Shen N, Tsao BP. Current Advances in The Human Lupus Genetic. UCLA

School of Medicine. Los Angeles. USA. www.ncbi.nlm.nih.gov

Nath SK, et all. Mapping The SLE Susceptibility Genes. Oklahama Medical

Research Foundation. USA. www.PubMed.com

Vyse Tj, Kotzin BL. Genetic Susceptibility to SLE. National Jewish Mewdical

and Research Center. Colorado. USA. www.PubMed.com

Michel M, Meyer O. Immunogenetic Genes of SLE in Humans. Faculte de

Medecine Necker. Paris. France. www.ncbi.nlm.nih.gov

Page 47: autoimun

Cunningham G, Deborah. New Genetic Risk Factorsw Identified.

www.eurekalert.org

Sulivan. Kathkeen E. the Complex Genetic Basis of SLE. www.lupus.org

Shiel Jr. William C. Systemic Lupus Erythematosus. www.WebMed.com

Santiago. James G. Systemic Lupus Erythematosus. www.eMedicine.com

Carroll Michael C. Hypotheses for the association of SLE with genetic

deficiencies. www.nature.com

Steinberg Alfred D. Systemic Lupus Erythematosus. www.geocities.com

Gill James M, Quisel MD. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus.

www.aafp.org