Autism e

7
PENDAHULUAN Autisme didefinisikan sebagai gangguan perilaku atau gangguan ps yang disebabkan oleh kerusakan genetik yang tidak dapat disembuhkan, orang beranggapan bahwa autisme merupakan ketidakmampuan ibu memberik ikatan batin dan mencintai anak mereka dengan sepantasnya. Bentuk penanganan yang dilakukan pada anak-anak yang menderita autis berkisar pada terapi pend atau modifikasi tingkah laku yang kadang-kadang ditambah dengan obat penenang (Aritonang, 2009. !iagnosa pada anak autisme memiliki beberapa kriteria yang harus dipenu "elama ini panduan yang dipakai oleh para dokter, psikiater, psikolog biasan mera#uk pada $%!-&0 ($nternational %lassification of !iseases &99', ada #ug mengunakan rumusan dalam !" -$) (!iagnostic "tatistical anual &99* yang disusun oleh kelompok +sikiatri Amerika "erikat sebagaipanduan untuk menegaskan diagnosa. +ada dasarnyadiagnosaautisme yang ditegakkan berdasarkan $%!-&0 atau !" - $) menun#ukan kriteria yang sama. rang tua sebenarnya dapat mencoba mengecek sendiri apakah anaknya termasuk ka autis atau tidak dengan memperhatikan kriteria autisme yang ada di dalam !" $). Beberapa kriteria seperti & Aspek sosial o tidak mampu men#alani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mat sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata kuran hidup, dan gerak-geriknya kurang tertu#u. o tidak dapat bermain dengan teman sebaya 2 Aspek /omunikasi o sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang o #ika bicara, biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi 1 | P a g e

description

ok punya

Transcript of Autism e

PENDAHULUANAutisme didefinisikan sebagai gangguan perilaku atau gangguan psikiatri yang disebabkan oleh kerusakan genetik yang tidak dapat disembuhkan, banyak orang beranggapan bahwa autisme merupakan ketidakmampuan ibu memberikan ikatan batin dan mencintai anak mereka dengan sepantasnya. Bentuk penanganan yang dilakukan pada anak-anak yang menderita autis berkisar pada terapi pendidikan atau modifikasi tingkah laku yang kadang-kadang ditambah dengan obat-obatan penenang (Aritonang, 2009). Diagnosa pada anak autisme memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama ini panduan yang dipakai oleh para dokter, psikiater, psikolog biasanya merajuk pada ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993, ada juga yang mengunakan rumusan dalam DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual) 1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri Amerika Serikat sebagai panduan untuk menegaskan diagnosa. Pada dasarnya diagnosa autisme yang ditegakkan berdasarkan ICD-10 atau DSM- IV menunjukan kriteria yang sama. Orang tua sebenarnya dapat mencoba mengecek sendiri apakah anaknya termasuk kategori autis atau tidak dengan memperhatikan kriteria autisme yang ada di dalam DSM IV. Beberapa kriteria seperti: 1) Aspek sosial

tidak mampu menjalani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju. tidak dapat bermain dengan teman sebaya

2) Aspek Komunikasi sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang jika bicara, biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi 3) Aspek perilaku

terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya seringkali sangat terpukau pada benda (Boham, 2013).EPIDEMIOLOGI

Prevalensi anak dengan kelainan hambatan perkembangan perilaku yaitu autisme, mengalami peningkatan yang cukup segnificant. Perhitungan Prevalensi autisme mencapai 4-5 /10.000 individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faradz, pada tahun 2003 diperkirakan prevalensi meningkat menjadi 10-12/10.000 individu. Di Pensylvania, Amerika Serikat padat tahun 2008, jumlah anak-anak autisme dalam lima tahun terakhir meningkat sebesar 500%. Belum ada dilakukan penelitian untuk hal ini di Indonesia. Akan tetapi faktor-faktor penyebab dari autisme ini lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Jumlah anak-anak penyandang autisme menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan. Diperkirakan antara 3-7% atau sekitar 5,5 - 10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak penyandang autisme. (Nixon, 2012)Dalam penelitian Mangunsong pada tahun 2009 menyatakan Di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi autisme, namun dari data yang ada di Poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja RSCM pada tahun 1989 hanya ditemukan dua pasien, dan pada tahun 2000, tercatat 103 pasien baru, terjadi peningkatan sekitar 50 kali. (Nixon, 2012)

PERAN KELUARGA DALAM PENANGANAN DAN PENCEGAHAN AUTISMEKeluarga merupakan lembaga pertama dan utama bagi anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya bahkan dalam usaha pendidikan dan pembinaan untuk menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani, rohani dan sosial. Didalam keluarga, orang tua mempunyai tugas, fungsi dan peran yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan proses pertumbuhan dan perkembangan emosi, berpikir dan sosial psikologis serta rohani anak menuju kematangan/kedewasaan yang cerdas, terampil dan berbudi pekerti yang luhur (Boham, 2013).

Membesarkan seorang anak autisme memang butuh ilmu dan usaha sendiri, butuh dukungan dari banyak pihak untuk melakukan ini sehingga mampu memberikan yang terbaik bagi perkembangan anak autisme. Perlu dipahami bahwa anak autisme dapat mencapai pertumbuhan yang optimal jika didukung dengan penanganan yang baik. Penanganan yang baik ini membutuhkan keterbukaan dari orangtua untuk mengkomunikasikan kondisi anak mereka secara jujur pada dokter jiwa anak, dokter anak, terapis, psikolog, guru di sekolah, termasuk saudara-saudara di dalam keluarga besar (Boham, 2013).

Keluarga merupakan lingkungan dimana anak menghabiskan waktunya selama masa-masa pertumbuhan. Itu kenapa kita perlu mengatur agar keluarga menjadi sebuah lingkungan yang mendukung perkembangan anak secara optimal. Orangtua harus terlebih dahulu menerima kondisi anaknya sebagaimana adanya. Sebagai pencegahan berikan sebanyak mungkin pengalaman baru yang menstimulasi terbentuknya sambungan synaps diotak anak. Jangan menyembunyikan di dalam rumah atau lingkungan terbatas. Ajak anak autisme untuk bersosialisasi dan terhubung dengan banyak hal baru sebagaimana anak-anak pada umumnya di usia perkembangan mereka (Aritonang, 2009).Anak autisme, seperti halnya anak-anak lain juga memiliki hak untuk menikmati pendidikan sebagai bagian dari perkembangan diri mereka. Saat ini, sekolah-sekolah yang menganut sistem inklusi telah banyak bermunculan di berbagai tempat di negara kita. Sekolah inklusi berarti sekolah yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus dalam sistem pendidikan mereka dengan menyediakan fasilitas untuk menunjang terlaksananya aktivitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Meskipun sekolah inklusi telah menjamur di berbagai tempat, sebagai orang tua tetap perlu mencari dan menyeleksi tempat pendidikan yang paling sesuai, yang mampu memahami serta memfasilitasi pendidikan untuk anak autisme dengan baik (Boham, 2013).Keberadaan psikolog sekolah dapat sangat membantu untuk memantau perkembangan anak autisme. Sekolah, guru, dan psikolog sekolah merupakan salah satu penunjang tumbuh kembang optimal anak autisme dari segi pendidikan, namun meskipun demikian orangtua harus tetap memegang peran utama yang mengetahui seluk beluk anaknya. Keterlibatan orang tua secara aktif sangat dibutuhkan dalam mendukung perkembangan optimal pendidikan anak autisme. Orangtua sebaiknya secara aktif menjalin komunikasi dengan guru dan pihak sekolah mengenai perkembangan putra-putri mereka serta memberikan informasi yang dibutuhkan kepada guru di sekolah yang menangani pendidikan putra-putri mereka. Komuniksai yang terjalin dengan baik antara pihak sekolah dan orangtua merupakan kunci terjalinnya kerjasama yang baik dalam menyusun metode pendidikan yang paling sesuai untuk anak (Boham, 2013). Sebagian besar orang tua memiliki motivasi tinggi untuk mencapai kesembuhan yang tinggi meskipun sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan rendah dengan media masa sebagai sumber informasi utama. Tingginya motivasi orang tua untuk mencapai kesembuhan anak tidak berhubungan dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan autisme. Hal ini dapat disebabkan tidak diketahuinya berbagai bentuk terapi yang banyak membutuhkan peran aktif orang tua, sehingga orang tua menyerahkan proses penyembuhan kepada ahlinya. Orangtua dari anak penyandang Autisme dan masyarakat umum perlu meningkatkan pengetahuan tentang deteksi dini dan penanganan anak Autisme melalui training dan sharring group diantara orangtua. Pusat terapi dan tenaga kesehatan perlu meningkatkan kegiatan-kegiatan konseling, penyuluhan, seminar dan sejenisnya serta mengadakan training khusus untuk para orang tua. Sampai saat ini tidak ada obat untuk anak autisme, Tetapi dokter, terapis, dan guru khusus dapat membantu anak dengan autisme untuk mengatasi atau menyesuaikan diri dengan banyak kesulitan. Semakin dini seorang anak ditangani, hasilnyapun akan lebih baik. Setiap anak memerlukan bantuan yang berbeda-beda. Tetapi, belajar bagaimana berkomunikasi selalu menduduki peringkat pertama yang harus dikuasai terlebih dahulu. Bahasa tutur boleh jadi sulit sekali untuk dipelajari oleh anak dengan autisme. Kebanyakan dari anak dengan autisme dapat memahami dengan lebih baik pada kata-kata yang ditunjukan kepadanya dengan cara melihatnya ( Boham, 2013 )MANAGEMENT

Ada beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autisme yaitu ( Artanti, 2012 ):

a. Terapi Medikamentosa adalah terapi dengan obat-obatan bertujuan memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan. Selain itu, tujuan penggunaan terapi farmakologis pada autisme adalah untuk mengendalikan gejala gangguan perilaku dan psikitrik yang muncul, sehingga akan meningkatkan kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam sistem pendidikan, sosial, pekerjaan dan keluarga serta, serta membantu keberhasilan program terapi lainnya. Obat-obat neuroleptik merupakan golongan obat yang secara luas digunakan pada autisme. Neuroleptik yang paling banyak digunakan adalah thioridizine, haloperidol, dan risperidone. Ak an tetapi pemberian terapi farmakologis pada penderita autisme hanya merupakan terapi tambahan jika diperlukan dikarenakan hanya sekitar 10-15% penderita autisme yang terbantu dengan pemberian obat-obat an atau terapi farmakologis.b. Terapi biomedis adalah terapi bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Pemberian diet anti terigu (gluten) dan susu (kasein) karena pada anak autisme berdampak tidak baik bagi perilaku anak, seperti hiperaktif, agresif, emosi, dan sulit berkonsentrasi. Diet anti jamur dan diet anti alergi jenis makanan tertentu diterapkan sesuai dengan keadaan atau masalah pencernaan yang di alami oleh anak. (Aritonang, 2009)c. Terapi Wicara adalah terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak autis berbicara lebih baik Terapi wicara yang dilakukan tidak secara langsung, melainkan saat pemberian instruksi ketika proses terapi berlangsung. Misalnya ketika terapist mempersilakan anak untuk masuk ruang terapi, terapist mengucapkan kata silakan masuk secara jelas dan tegas, dan anak pun kemudian mengikui instruksi tersebut. Dalam memberikan instruksi, terapist menggunakan kalimat yang pendek dan sederhana guna memberikan kemudahan bagi anak untuk mampu memahami maksud ucapan dari terapist ( Artanti, 2012 ).d. Terapi Perilaku adalah metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis). Terapi perilaku bertujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan perilaku yang tidak wajar pada penderita autisme. Penerapan terapi ini harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan dari terapist. Terapi perilaku dengan metode ABA ini lebih ditekankan pada pelatihan kontak mata, motorik kasar, mengikuti instruksi sederhana, mengetahui anggota tubuh, melihat gambar, mencocokan, serta untuk melatih kemampuan anak mengenai warna, bentuk, huruf dan angka (Lembaga Terapan Autisme Indonesia, 2000:52). Terapi perilaku ini biasanya dimulai dari hal yang sederhana dan paling dasar, yaitu melatih kontak mata, kemudian dilanjutkan dengan melatih kemampuan motorik kasar sederhana, seperti mengangkat gelas ataupun cangkir. Terapist dapat memberi bantuan dengan menjaganya dari arah belakang anak. Apabila anak telah mampu melakukannya dengan baik, terapist tidak lupa untuk memberikan imbalan kepada anak sebagai reinforcement. ( Artanti, 2012 ).e. Terapi Bermain adalah proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan. f. Terapi Sensory Integration adalah pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang bermakna ( Artanti, 2012 ).g. Terapi Auditory Integration adalah terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna. Latihlah anak untuk sadar dengan berbagai bunyi yang ada di sekitarnya dengan beberapa aktivitas sebagai berikut :

Pekalah terhadap reaksi anak saat mendengar bunyi tertentu, langsung tunjukan pada anak dimana sumber bunyi tersebut berasal. Mainkan bunyi-bunyian secara bergantian dari berbagai arah, dan pancing anak untuk menemukan dari arah mana sumber bunyinya. Biasakan anak bercakap-cakap dengan anda di berbagai suasana, sepi atau ramai. Pelaksanaan terapi ini juga memiliki beberapa hambatan, diantaranya yaitu anak yang hiperaktif, tidak fokusnya anak, kesulitan bicara anak, kondisi anak ketika terapi berlangsung, keadaan anak yang sakit, dan perilaku anak yang tidak terarah. Selain hal tersebut, yaitu orang tua yang kurang kooperatif, serta sarana dan prasarana yang kurang maksimal seperti pencahayaan ruang dan bisingnya jalan raya yang menyebabkan tidak fokusnya anak ketika proses terapi ( Artanti, 2012 ).Keberhasilan kemampuan yang dicapai selama proses terapi ialah bersedia untuk disentuh bahkan dipeluk oleh orang lain, merespon bila namanya dipanggil, mulai pahamtoilet training, mengerti warna, mengerti gambar hewan, mampu menyusun puzzle sederhana (empat potongan puzzle), mengenali tulisan dari namanya. Sedangkan keberhasilan kemampuan yang dicapai IVN ialah mampu melakukan kontak mata, mampu mengenali warna, mengenal gambar hewan, mengerti akan toilet training, mampu menyusun puzzle (6-7 potongan puzzle), mampu meniru menyusun balok dengan metode A-B-C, memahami instruksi hanya dengan 2-3 kali pengulangan, mengenal tulisan dari namanya dan nama terapist ( Artanti, 2012 ).

8 | Page