Aspek Perpajakan atas Industri Pertambangan (Kelompok 11).doc

82
UNIVERSITAS INDONESIA MAKALAH ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN (PPh) PERSEORANGAN Zachra Nur Alifia 1206275641

Transcript of Aspek Perpajakan atas Industri Pertambangan (Kelompok 11).doc

10

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAHANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN (PPh) PERSEORANGAN

Zachra Nur Alifia

1206275641FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM SARJANA PARALEL

PROGRAM ILMU ADMINISTRASI FISKAL

DEPOKJUNI 2015KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah dengan judul Aspek Perpajakan Atas Industri Pertambangan ini bertujuan untuk mengetahui aspek pajak apa saja yang terdapat dalam industri pertambangan di Indonesia. Penulis tertarik untuk mengangkat tema ini karena dalam indutri pertambangan banyak terdapat transaksi-transaksi yang berkaitan dengan pajak. Sebagai sebuah makalah, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima masukan agar di kemudian hari penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.Depok, 05 April 2015Penulis

DAFTAR ISIiiKATA PENGANTAR

iiiDAFTAR ISI

vDAFTAR TABEL

viDAFTAR GAMBAR

BAB 1 1PENDAHULUAN

11.1 Latar Belakang Masalah

21.2 Pokok Permasalahan

21.3 Tujuan Penulisan

BAB 2 3KERANGKA TEORI

32.1 Industri Pertambangan

42.2 Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

62.3 Perizinan Usaha Pertambangan

62.3.1 Kontrak Karya

112.3.2 Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B)

142.4 Wilayah Pertambangan

BAB 3 15PEMBAHASAN

153.1 Aspek Pajak atas Kegiatan Usaha Pertambangan

203.2 Aspek Pajak Penghasilan

203.2.1Biaya yang Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 6 UU PPh)

223.2.2Biaya yang Tidak Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 9 UU PPh)

263.2.3Pajak Penghasilan Pasal 11

273.2.4Pajak Penghasilan Pasal 21

283.2.5Pajak Penghasilan Pasal 23 dan 26

323.3Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Industri Pertambangan

323.3.1Aspek PPN pada Pertambangan Mineral (kecuali Batubara)

333.3.2Aspek PPN pada Pertambangan Batubara

333.4Aspek PPnBM pada Industri Pertambangan

343.5Aspek Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri Pertambangan

363.6Aspek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada Industri Pertambangan

363.7Aspek Bea Meterai pada Industri Pertambangan

373.8Aspek Pajak Daerah pada Industri Pertambangan

383.9Aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak Berupa Royalti

383.9.1Royalti sehubungan produksi Perseroan Mineral

403.9.2Royalti sehubungan dengan Batubara

403.10Contoh Kasus

403.10.1Perhitungan Aspek PPh dan PPN pada Industri Pertambangan

413.10.2Perhitungan Aspek PPnBm pada Industri Pertambangan

423.10.3Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri Pertambangan

433.10.4Perhitungan Aspek Royalti

443.11Tax Issues

BAB 4 46SIMPULAN DAN SARAN

464.1Simpulan

464.2Saran

47DAFTAR REFERENSI

DAFTAR TABEL9Tabel 2.1 Perbandingan Kontrak Karya Per Generasi

22Tabel 3.1 Debt Equity Ratio

26Tabel 3.2. Tarif Penyusutan atau Amortisasi UU PPh Pasal 11

26Tabel 3.3 Tarif Penyusutan atau Amortisasi Kontrak Karya Generasi 6 dan 7

32Tabel 3.4 Perlakuan PPN Tambang Emas

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 1Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Indonesia

14Gambar 2.1. Wilayah Pertambangan

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Menurut United States Geological Survey (2015), dalam sektor pertambangan, Indonesia menempati posisi produsen terbesar ketujuh untuk komoditas tembaga, posisi kedelapan untuk komoditas emas dan timah, dan posisi kesembilan untuk komoditas nikel. Selain itu, berdasarkan Coal Facts 2014 pada tahun 2014, Indonesia menempati posisi produsen terbesar keempat dan peringkat pertama sebagai eksportir untuk komoditas batubara (World Coal Association, 2014). Dengan profil demikian, Indonesia menjadi negara yang menjanjikan bagi kalangan pelaku industri pertambangan, khususnya bagi para investor.

Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor pertambangan dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut:Gambar 1.1

Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Indonesia

Sumber: BKPM dalam Winzenried dan Adhitya (2014)

Berdasarkan gambar 1.1 diatas, sektor pertambangan menyumbang sebesar rata-rata 5.26% pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2010-2013 dan rata-rata 18.55% untuk penerimaan ekspor. Namun, Bob Searle (2007) mengatakan bahwa penerimaan atas pemanfaatan sumber daya alam dapat mempengaruhi ketimpangan fiskal vertikal, sehingga terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaannya, salah satunya aspek regulasi terkait sistem penerimaan itu sendiri. Penerimaan atas pemanfaatan sumber daya alam yang dikelola harus diatur dengan baik sebagai penggantian belanja investasi untuk penggalian tambang, ongkos manajemen publik karena penyediaan fasilitas, dan biaya untuk menanggulangi dampak lingkungan yang terjadi.

Sektor pertambangan umum, dimana mencakup mineral dan batubara adalah sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan (non-renewable natural resources) dan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya, dalam Pasal yang sama ayat (4) ditegaskan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Disinilah peran pemerintah untuk mengatur dan mengelola regulasi terkait sistem penerimaan, terutama ketentuan-ketentuan perpajakan dalam industri pertambangan, dimana pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara.1.2 Pokok Permasalahan

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah apa dan bagaimana aspek perpajakan yang terdapat dalam industri pertambangan.1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas apa dan bagaimana aspek perpajakan dalam industri pertambangan.

BAB 2

KERANGKA TEORI2.1 Industri Pertambangan

Industri sektor pertambangan dapat dibagi menjadi tiga subsektor yaitu pertambangan umum, minyak dan gas bumi, serta panas bumi atau geothermal (Mansury, 1999). Industri pertambangan memiliki sifat dan karakteristik tertentu antara lain (Muljono, 2009):

Eksplorasi bahan galian tambang merupakan kegiatan yang memiliki ketidakpastian tinggi karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang besar, tidak adajaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan cadangan bahan galian yang secara komersial layak untuk ditambang. Bahan galian bersifat deplesi dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable) serta untuk melaksanakan kegiatan pertambangan ini, mulai tahap eksplorasi sampai dengan tahap pengolahannya, membutuhkan biaya investasi yang relatif besar, padat modal, berjangka panjang, sarat risiko dan membutuhkan teknologi yang tinggi. Pada umunya operasi perusahaan pertambangan berlokasi di daerah terpencil dan kegiatannya menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, sehingga setiap perusahaan pertambangan wajib memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku mengenai lingkungan hidup, disamping mempunyai konsep pasca tambang yang jelas. Pemerintah Indonesia tidak memberi konsensi penambangan karena menurut peraturan perundangan yang berlaku, segala bahan galian yang berada di wilayah hukum Indonesia adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia yang dikuasai dan digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Untuk dapat berusaha dalam industri pertambangan umum, pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada badan usaha atau perseorangan untuk melaksanakan pertambangan umum.

Tulisan akan membahas lebih dalam mengenai pertambangan umum. Pertambangan umum yang dimaksud yaitu pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, pertambangan mineral dan batubara dapat digolongkan dalam lima komoditas tambang yaitu, pertambangan mineral radioaktif seperti radium, thorium, uranium, monasit; pertambangan mineral logam seperti itium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina; pertambangan mineral bukan logam seperti intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat; pertambangan batuan seperti pumice, obsidian, marmer, dan batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut. Pelaku usaha di industri pertambangan dapat berupa instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta, perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan koperasi dan atau badan perseorangan swasta, dan pertambangan rakyat.2.2 Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Kegiatan usaha dalam sektor pertambangan umum diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan (UUPP).Pengertian menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Secara ringkas terdapat dua tahapan kegiatan dalam pertambangan umum yaitu eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan serta tahap operasi produksi yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Setiap tahap tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

1. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regions dan indikasi adanya mineralisasi;

2. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup;

3. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta, perencanaan pascatambang;

4. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan;

5. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral ikutannya;

6. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan;

7. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan untuk rnemindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/ atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai ternpat penyerahan, sedangkan penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara;

8. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usai serta penambangan untuk memuiihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.2.3 Perizinan Usaha Pertambangan

Menurut peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Pengusahaan Pertambangan Umum yang tertuang dalam Kepmen ESDM No.1453 K/29/MEM/2000, usaha pertambangan umum dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing, bentuk persetujuan tersebut adalah :

1. Kuasa Pertambangan (KP);

2. Kontrak Karya (KK) / Contract of Work (CoW);

3. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) / Coal Contract of Work (CcoW)Kuasa Pertambangan (KP) merupakan izin yang diterbitkan pemerintah daerah. Kontrak Karya (KK) adalah persetujuan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bidang pertambangan umum, khususnya mineral, yang disetujui oleh pemerintah dengan investor. Sedangkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berlaku untuk pengusaha yang menjalankan usaha di bidang pertambangan batubara. 2.3.1 Kontrak Karya

Pemerintah telah membuat kebijakan untuk memperlakukan setiap generasi Kontrak Karya secara lex specialis, tujuannya untuk memberi kepastian hukum dan peraturan kepada kontraktor karena investasi di bidang pertambangan membutuhkan modal yang besar dengan tingkat ketidakpastian tinggi. Pernyataan lex specialis ini terdapat dalam Surat Menteri Keuangan S-1032/MK.04/1988 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Kontrak Karya Pertambangan. Maka perlakuan perpajakan terhadap Kontrak Karya dengan sifat lex specialis tersebut merupakan aturan yang sudah dibuat dalam kontrak tersebut dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Jika terdapat perubahan perundang-undangan namun kontrak belum selesai, maka tetap mengacu pada kontrak bukan pada undang-undang baru. Terdapat tiga periodisasi Pajak Penghasilan (PPh) bagi Kontrak Karya, yaitu (Wendra, 2008):

1. Periode Pra-1985

Terhadap Kontrak Karya generasi I (1967-1968), generasi II (1968-1976), generasi III (1977-1985) berlaku Ordonansi PPs tahun 1925

2. Periode antara tahun 1986 sampai dengan 1994

Terhadap Kontrak karya generasi IV (1986-1990), generasi V (1991-1994) berlaku Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 tahun 1983.

3. Periode setelah tahun 1994

Terhadap Kontrak karya dalam periode ini berlaku Undang-Undang Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan.Sedangkan, mengenai kewajiban PPN dalam Kontrak Karya, pada prinsipnya dibagi menjadi dua kelompok perlakuan PPN bagi Perusahaan Kontrak Karya Pertambangan Umum di Indonesia yaitu :

1. Kontrak Karya yang kewajiban PPN nya mengacu pada ketentuan Undang-undang PPN yang berlaku umum atau berlaku dari waktu ke waktu, yaitu Kontrak Karya Generasi II, III+ dan IV.

2. Kontrak Karya yang kewajiban PPN nya mengacu pada ketentuan Undang-undang PPN yang berlaku pada saat Kontrak ditandatangani, yaitu Kontrak Karya Generasi IV+, V, VI, VII.Dalam Kontrak Karya diantaranya juga diatur biaya apa saja yang dapat dikonsolidasikan sebagai unsur biaya perusahaan dalam menghitung Pajak Penghasilan Badan. Selain itu Kontrak Karya juga mengatur kewajiban perpajakan dan keuangan perusahaan kepada Pemerintah, seperti Iuran Tetap untuk wilayah Kontrak Karya, Iuran Eksploitasi/Produksi, Pajak Penghasilan Badan, Pajak Penghasilan Karyawan, kewajiban memotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26, PPn dan PPnBM atas impor serta penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, Bea Masuk, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pungutan lain serta pajak lain oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Selain itu dalam Kontrak Karya ada beberapa ketentuan mengenai insentif yang diberikan pemerintah, diantaranya akan diuraikan sesuai generasi Kontrak Karya :Tabel 2.1 Perbandingan Kontrak Karya Per Generasi

Substansi Penting Kontrak Karya

Gen. I

(1967-1968)Gen. II

(1968-1976)Gen.III

(1976-1985)Gen.IV

(1985-1986)Gen.V

(1986-1996)Gen.VI

(1996-1997)Gen.VII (1997)

Pajak pendapatan perusahaan

Tahun1-3:

Bebas

Tahun4-10: 35%

Tahun11dst:

41,75%Tahun 1-10:

35%

Tahun 11 dst:

42%Tahun 1-10:

35%

Tahun 11dst:

45%Y(Rp 10 juta:5%Y(Rp 10-50juta:25%Y(Rp 50 juta :

35%

(perpajakan progresif)Sama dengan generasi IV

Y(Rp 25 juta:10%Y(Rp25-50 juta:15%Y(Rp50 juta:

35%

Sama dengan generasi VI

Bebas pajak

(Tax holiday)

3 tahunTidak adaTidak adaTidak adaTidak adaTidak adaTidak ada

Land rent & royalty

Tidak adaAdaAdaAdaAdaAdaAda

Levies/pajak impor

Tidak adaTidak adaHanya dalam 10 tahunAdaAdaAdaAda

Perusahaan terdaftar di Indonesia

Tidak adaAdaAdaAdaAdaAdaAda

Divestasi

Tidak adaMaksimum 45%5-51%

(Boleh joint venture)5-51%Mengacu PP No. 20/1994Mengacu PP No. 20/1994Mengacu PP No. 20/1994

Witholding tax & witholding profit tax

Tidak adaTidak adaAdaAdaAdaAdaAda

Transfer pricing

Tidak adaTidak adaAda (PP No 21/1976)AdaAdaAdaAda

Depresiasi/Amortisasi

Maksimum 12,5%

Tidak ada amortisasi tahun ke 1-3Sama dengan generasi IMaksimum 12,5%Dipercepat:

gol. I 50%;

gol. II 25%;

gol. III 10%;

gol. IV 5%Dipercepat: gol. I 50%;

gol. II 25%;

gol. III 12,5%Dipercepat

(PP 34/1994)Dipercepat

(PP 34/1994)

Lain-lain/Nilai tambah

Pembangunan smelter

Frontier development

Jumlah KK

1 (PT FIC)16 KK13KK95 KK7 KK65 KK

38 KK

Sumber : Buku Tahunan Pertambangan dan Energi Indonesia 1998; Direktoral Jenderal Pertambangan Umum, 1998

Keterangan: Kontrak Karya terakhir dilakukan pemerintah pada tanggal 19 Februari 1998 yaitu KK Generasi VII. Ketentuan perpajakan Generasi VII

berdasarkan UU Pajak tahun 1994. Sampai akhir tahun 1998 masih terdapat 96 aplikasi Generasi VII yang dimaksudkan sebagai Generasi VIII, namun tidak diproses lagi

2.3.2 Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B)Kontrak yang diatur dalam PKP2B dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, kontrak karya, kontrak bagi hasil dan kontrak produksi. Pada kontrak karya, pemerintah mendapat royalti atas tiap ton batubara yang dijual oleh perusahaan. Kemudian, pada kontak bagi hasil, pemerintah mendapatkan bagian sebesar 13.5% dari hasil produksi batubara sedangkan sisanya menjadi milik perusahaan. Adapun kontrak produksi diberikan kepada subkontraktor dari kontraktor yang mempunyai izin PKP2B. Sampai saat ini terdapat PKP2B, yaitu :

1. Generasi I-PKP2B 1981-1993 Didasarkan atas dasar Kepres No. 49/1981. Berdasarkan Pasal 4 Kepres No. 49/1981, ditentukan hal sebagai berikut:

1) Kontraktor diwajibkan membayar pajak-pajak dan pungutan kepada Pemerintah sebagai berikut :a. Selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun pertama sejak berproduksi, Kontraktor dikenakan pajak perseroan dengan tarip tetap sebesar 35% (tigapuluh lima persen) dari laba kena pajak dan mulai tahun ke 11 (sebelas) sejak berproduksi dan seterusnya Kontraktor dikenakan pajak perseroan dengan tarip tetap sebesar 45% (empat puluh lima persen) dari laba kena pajak ;b. Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) ;c. Pajak dan pungutan daerah yang telah mendapatkan pengesahan oleh Pemerintah Pusat ;d. Pungutan administrasi umum untuk sesuatu fasilitas atau pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah ;e. Pajak Penjualan ;f. Bea Materai atas perjanjian hutang ;g. Cukai atas tembakau dan minuman keras.2) Pelaksanaan pemungutan iuran, pajak, dan pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat disatukan dalam suatu jumlah pembayaran tetap ("lumpsum payment") yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dicantumkan dalam Perjanjian Kerjasama yang bersangkutan.3) Kontraktor diwajibkan pula memungut dari yang bersangkutan dan menyetorkannya kepada Pemerintah pajak-pajak berikut :

a. Pajak atas bunga, deviden, dan royalty (PPDR) sebesar 10% (sepuluh persen) ;b. Pajak pendapatan pegawai-pegawai Kontraktor .

Perusahaan pertambangan batubara yang menandatangani PKP2B pada masa berlakunya Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951; Tidak ada kewajiban Pajak Pertambahan Nilai bagi perusahaan pertambangan; Apabila diharuskan ada pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dimintakan penggantian kepada Pemerintah ("reimbursement"); 2. Generasi II-PKP2B 1993-1996 Didasarkan atas dasar Kepres No. 21/1993. Perusahaan pertambangan batubara yang menandatangani PKP2B pada masa berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 8 Tahun 1983; Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan untuk perusahaan pertambangan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing, tidak terkunci) sampai jangka waktu perjanjian berakhir, hal ini sesuai dengan pasal 4 Kepres No. 21/1993, yang menyebutkan bahwa, perusahaan kontraktor diwajibkan membayar:a. Pajak kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;b. Pungutan-pungutan daerah yang telah mendapatkan pengesahan oleh Pemerintah Pusat;c. Pungutan administrasi umum untuk sesuatu fasilitas atau pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah.3. Generasi III-PKP2B 1996-1997 Didasarkan atas Kepres No. 75/1996. Perusahaan pertambangan batubara yang menandatangani PKP2B pada masa berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 10 Tahun 1994; Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan untuk perusahaan pertambangan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang dinyatakan dengan jelas dalam PKP2B (locking, terkunci) sampai jangka waktu perjanjian berakhir, hal ini sesuai dengan Pasal 4 Kepres No. 75/1996 yang menyatakan bahwa, perusahaan kontraktor swasta wajib membayar:a. Pajak kepada Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada saat Perjanjian ditandatangani;b. Pungutan-pungutan daerah yang telah mendapatkan pengesahan oleh Pemerintah Pusat;c. Biaya administrasi umum untuk sesuatu fasilitas atau pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah.Namun pada awal tahun 2009, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasca disahkannya undang-undang ini mengakhiri rezim perizinan dalam bentuk kontrak atau perjanjian. Selanjutnya, seluruh perizinan harus menggunakan pola Izin Usaha Pertambangan (IUP). Izin Usaha Pertambangan adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambagan. Izin ini terbagi atas IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Selain itu bentuk lain izin yang berikan adalah Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Serta Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. IUPK pun dibagi atas IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Poduksi.

2.4 Wilayah Pertambangan

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diatur pula mengenai wilayah pertambangan. Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang verupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah pertambangan dibagi menjadi tiga. Pertama, Wilayah Usaha Pertambangan yaitu bagian dari wilayah pertambangan yang telah memiliki ketersediaan data potensi, dan/atau informasi geologi. Kepada pemegang IUP akan diberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan. Kedua, Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. Ketiga, Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari wilayah pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Selain itu terdapat Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang merupakan bagian dari WPN yang dapat diusahakan.

Gambar 2.1. Wilayah Pertambangan

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Aspek Pajak atas Kegiatan Usaha Pertambangan

Terdapat berbagai aspek perpajakan atas kegiatan usaha pertambangan, yaitu sebagai berikut:

1. Penyelidikan UmumDalam menentukan potensi mineral pada suatu daerah tertentu, perlu dilakukan pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan jasa dari Peneliti Geologis sebagai Peneliti. Jasa atas penelitian tersebut dapat dimasukkan ke dalam pengertian jasa teknik sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.222/1984 bahwa yang dimaksud dengan jasa teknik ialah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :

a. Untuk suatu proyek tertentu. Dalam proyek tertentu ini jasa teknik pada umumnya hanya diberikan sekali saja misalnya membangun gedung pabrik diperlukan penelitian misalnya berupa :

1. Penelitian jenis tanah tempat bangunan itu akan didirikan;2. Pembuatan design bangunan;3. Pengawasan pelaksanaan bangunan itu.b. Untuk membuat suatu jenis produk tertentu. Dalam membuat produk tertentu ini jasa teknik dapat diberikan lebih dari sekali. Jasa teknik ini diberikan secara terus menerus dalam rangka membuat produksi tertentu. Jasa teknik yang diberikan terus menerus ini dapat berupa pemberian :1) informasi teknik dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya;2) bantuan berupa petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pegawai dari pemberi jasa tekhnik, dan

3) latihan atas para petugas dari pemakai jasa. Namun ada kalanya jasa teknik untuk pembuatan suatu jenis produk tertentu dapat pula diberikan

sekali saja, misalnya kemacetan mesin, yang mengakibatkan produksi tidak bisa terlaksana sebagaimana mestinya.c. Jasa teknik dapat pula berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman di bidang manajemen.Sehingga, jasa atas penelitian tersebut merupakan objek PPN karena jasa teknik merupakan Jasa Kena Pajak sehingga penyerahan atas jasa yang dimaksud terutang PPN. Selain itu, jasa teknik tersebut juga terutang PPh Pasal 23/26 dimana tergantung dari siapa yang melaksanakan. Jika yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri terutang PPh pasal 23, hal ini sesuai dengan PPh Pasal 23 ayat 1 huruf c, yang berbunyi Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Sedangkan jika yang melaksanakan jasa tersebut adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia maka terutang PPh pasal 26, hal ini sesuai dengan PPh pasal 26 ayat 1 huruf d yaitu: Atas penghasilan tersebut dibawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.2. EksplorasiEksplorasi merupakan tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terpencil dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan. Jasa atas kegiatan tersebut merupakan objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari siapa yang melaksanakan karena jasa tersebut memberikan output berupa pemberian informasi yang termasuk kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena Pajak dan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.3. Studi KelayakanStudi kelayakan sebagai informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan, proses analisis mengenai dampak lingkungan, serta perencanaan pasca tambang. Studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha pertambangan tersebut, yang dilakukan oleh ahli mengenai hal tersebut. Jasa atas kegiatan tersebut merupakan objek PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung dari siapa yang melaksanakan karena jasa tersebut memberikan output berupa pemberian informasi yang termasuk kedalam pengertian jasa teknik yang merupakan Jasa Kena Pajak dan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.4. KonstruksiSetelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi atau infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi, sehingga Jasa konstruksi terkena PPN karena merupakan Jasa Kena Pajak dan PPh Pasal 4 ayat (2) dimana hal ini sesuai dengan PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d yang berbunyi: Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.5. PenambanganPenambangan merupakan bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan atau batubara dan mineral ikutannya. Kegiatan ini Kegiatan ini biasanya meliputi land clearing (proses pembukaan lahan), pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut terutang PPN karena jasa penambangan merupakan Jasa Kena Pajak dan merupakan objek PPh Pasal 23/26 dimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 244/PMK.03/2008 yang mengatakan bahwa:

1. Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

2. Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;dan di tegaskan dalam pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa: a. Jasa pengobaran; b. Jasa penebasan;

c. Jasa pengupasan dan pengeboran;

d. Jasa penambangan;

e. Jasa pengangkutan/system transportasi, kecuali jasa angkutan umum;

f. Jasa pengolahan bahan galian;

g. Jasa reklamasi tambang;

h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;

i. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.Berdasarkan hal tersebut, karena jasa penambangan termasuk dalam pengertian jasa lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

6. ReklamasiReklamasi menurut UU No. 4 Tahun 2009 adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan, dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPN karena merupakan Jasa Kena Pajak dan merupakan objek PPh pasal 23/26 karena jasa reklamasi termasuk dalam jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum sesuai dengan pasal 2 ayat 2 huruf g Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 244/PMK.03/2008 yang termasuk dalam pengertian jasa lain sehingga merupakan objek PPh Pasal 23 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak dalam negeri atau objek PPh Pasal 26 apabila yang melaksanakan adalah Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

3.2 Aspek Pajak Penghasilan3.2.1Biaya yang Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 6 UU PPh)Mengenai PPh, pengertian biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expenses) berdasarkan UU PPh diikuti dalam kontrak karya. Dalam kontrak karya, deductible expenses itu dibagi dalam kelompok-kelompok sebagai berikut (Mansury, 1999):1. Pre-production expensesPre-production expenses termasuk biaya yang dikeluarkan pemegang saham asing sebelum didirikannya PT perusahaan pertambangan. Pemegang saham dapat diberi izin, untuk melakukan preliminary surveydi daerah atau area yang akan diberikan kepadanya. Biaya yang dikeluarkan pemegang saham tersebut dapat menjadi biaya perusahaan pertambangan yang nantinya boleh diamortisasi. Selain itu, yang termasuk biaya ini misalnya, adalah biaya perjalanan ke lokasi area dan biaya untuk mendapat izin preliminary survey tersebut.2. Exploration expensesExploration expenses merupakan biaya untuk memperkirakan nilai dari kandungan mineral atau mineral deposits yang meliputi:

a. Biaya pembuatan campb. Imbalan untuk sumber daya manusia

c. Sewa tanah atau land rent yang dibayar kepada pemerintah

d. Biaya pembuatan jalan menuju ke lokasi pertambangan yang bersangkutan

e. Biaya penyambungan listrik dan pengadaan air

f. Pembuatan fasilitas komunikasi proyek serta semua biaya lain dalam pengembangan mining area yang bersangkutan3. Operating expenses, meliputi:a. Premi asuransi untuk harta berwujud dan inventaris

b. Premi asuransi guna menjamin berlangsungnya operasi perusahaan agar tidak terganggu dan premi untuk menjamin biaya guna tuntutan kerugian

c. Biaya untuk menutup kerusakan dan kerugian yang tidak sepenuhnya dipikul oleh perusahaan asuransi

d. Pembayaran jasa yang diberikan pihak lain berdasarkan suatu kontrak

e. Biaya pembayaran listrik, air, dan telepon.

f. Royalti

g. Bunga

h. Pembayaran lain sehubungan dengan paten, design, dan jasa teknik.

i. Kerugian sebagai akibat keausan, pencurian, inventaris yang menyebabkan inventaris tersebut tidak dapat dipakai lagi dalam operasi perusahaan

j. Pembayaran sewa harta berwujud

k. PBB

l. Royalti yang dibayar kepada pemerintah sehubungan dengan hak menambang yang diberikan pemerintah kepada perusahaan pertambangan yang bersangkutan

m. PPN yang tidak dapat dikreditkan

n. Bea Materai

o. Bea Pengalihan Harta

p. Bea Masuk

q. Biaya processing hasil tambang

r. Biaya pengepakan, pemuatan, pengangkutan dan pengapalan hasil tambang

s. Biaya perbaikan dan pemeliharaan

t. Commissions and discounts termasuk yang dibayarkan kepada afiliasi yang sama besarnya dengan yang dibayarkan kepada pihak lain sehubungan dengan transaksi serupau. Cadangan biaya aklamasi yang dihitung atas dasar taksiran dari biaya aklamasi sejak permulaan operating period hingga dengan selesainya kontrak.

v. Biaya bunga juga diperkenankan dikurangkan, termasuk untuk pinjaman dari pemegang saham (asalkan modal perseroan telah disetor penuh). Biaya bunga tersebut dapat dikurangkan asalkan debt equity ratio sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 3.1 Debt Equity RatioInvestasi dalam US$Debt Equity Ratio

200.000.000,00 atau kurang5:1 (untuk generasi V, VI, dan VII)

Lebih dari 200.000.000,008:1 (untuk generasiV, VI, dan VII) atau 3:1 (untuk generasi III dan IV)

Sumber: Mansury, 19994. Selling expenses & General and administration expenses, meliputi:

a. Gaji, upah, dan imbalan pekerjaan lain

b. Semua fasilitas yang diperlukan di daerah pertambangan untuk pendidikan dan pelatihan karyawan beserta keluarganya dan untuk kegiatan keagamaan

c. Biaya administratif umum untuk melakukan penelitian dan pengembangan, pengembangan pasar, serta jasa teknik, jasa hukum, dan jasa akuntansi5. Capital cost3.2.2 Biaya yang Tidak Diperbolehkan Menjadi Pengurang Penghasilan dalam Industri Pertambangan Umum (Pasal 9 UU PPh)Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.Menurut Mansury (1999), imbalan kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan, perlakuan pajaknya dalam kontrak karya tidak berbeda dengan peraturan dalam UU PPh, dengan pengecualian, bahwa apabila imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut diberikan di daerah terpencil maka tidak termasuk dalam biaya yang tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan. Dalam kontrak karya, benefit in kind yang diberikan di daerah terpencil, meliputi:

1. Fasilitas pengangkutan bagi karyawan dan keluarga dari tempat penerimaan pegawai di Indonesia ke daerah pertambangan yang bersangkutan, baik lewat darat, laut, maupun udara dengan kelas ekonomi,2. Perumahan bagi karyawan dan keluarganya di daerah pertambangan,

3. Imbalan yang diberikan dalam bentuk natura, seperti makanan dan minuman yang diberikan di daerah pertambangan, baik untuk karyawan di tempat kerja maupun bahan makanan untuk keluarganya,

4. Perawatan kesehatan yang diberikan di tempat pekerjaan maupun di tempat lain di Indonesia asalkan tidak dapat diperoleh dalam wilayah pertambangan, termasuk:

Medical check-ups dan perawatan kesehatan yang diperlukan untuk dapat melakukan pekerjaan di daerah pertambangan,

Perawatan kesehatan dan perawatan rumah sakit, baik di daerah pertambangan maupun di wilayah lain di Indonesia,

5. Fasilitas pendidikan bagi keluarga karyawan terbatas pada pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU, ataupun pendidikan lain yang setingkat,

6. Fasilitas olahraga di daerah pertambangan, tidak termasuk golf, perahu, berburu, pacuan kuda, dan berselancar,

7. Fasilitas perjalanan dalam negeri bagi karyawan, termasuk karyawan asing, sekali setahun paling lama 14 hari, terbatas penggantian tunjangan perjalanan pulang pergi,8. Tunjangan atau fasilitas pengangkutan bagi karyawan dan keluarganya, dari daerah pertambangan ke daerah asal karyawan, pada saat pemutusan hubungan kerja, pensiun, atau sebab lainnya.

Benefit in kind dalam kontrak karya tersebut diatas merupakan ketentuan pelaksanaan dari pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 83/PMK.03/2009, yang ketentan selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 2

Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.Pasal 3

Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi: a. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau b. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.

Pasal 41. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :

a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; b. pelayanan kesehatan;

c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; d. peribadatan; e. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang,

sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.

2. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral. 3. Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 5

Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.3.2.3 Pajak Penghasilan Pasal 11

Berdasarkan UU PPh pasal 11 ayat 6, untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tabel 3.2. Tarif Penyusutan atau Amortisasi UU PPh Pasal 11

Kelompok Harta BerwujudMasa Manfaat (tahun)Tarif Penyusutan atau Amortisasi

SLM (%)DDM (%)

I. Bukan Bangunan

Kelompok 142550

Kelompok 2812,525

Kelompok 3166,2512,5

Kelompok 420510

II. Bangunan

Permanen205-

Tidak Permanen1010-

Sumber: Diolah kembali oleh PenulisDalam beberapa generasi kontrak karya, yaitu generasi keenam dan ketujuh, harta yang dapat disusutkan juga dibagi menjadi dua golongan yaitu bukan bangunan dan bangunan, serta kepada perusahaan pertambangan diberikan fasilitas untuk melakukan penyusutan lebih cepat sesuai dengan tabel berikut (Mansury, 1999):

Tabel 3.3 Tarif Penyusutan atau Amortisasi Kontrak Karya Generasi 6 dan 7

Group of AssetsEconomic Life (years)Tarif Penyusutan atau Amortisasi

SLM (%)DDM (%)

I. Non Building (Intangible assets)

Group 1250100

Group 242550

Group 3812,525

Group 4101020

II. Building

Permanent2010-

Semi-Permanent1020-

Sumber: Diolah kembali oleh Penulis

Adapun harta yang dapat diamortisasi adalah harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun seperti (Mansury, 1999)1. Biaya untuk mendapatkan hak paten, konsessi, dan hak pemakaian yang diizinkan, kontrak sewa menyewa harta tak berwujud,2. Semua biaya yang dipikul sebelum mulainya operating period, termasuk biaya untuk mendapatkan hak penambangan atau untuk mendapatkan hak melakukan survey atau biaya untuk memperoleh informasi penambangan dan informasi survey, survey umum, exploration feasibility and development, serta biaya pelatihan karyawan.3.2.4 Pajak Penghasilan Pasal 21Dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (1) menyatakan: Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:

a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;

c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;

d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan

e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

3.2.5 Pajak Penghasilan Pasal 23 dan 26

Menurut UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (1) berbunyi: Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;

2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;

3. royalti; dan

4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

b. dihapus;

c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Sedangkan menurut UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 26 ayat (1) berbunyi: Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. dividen;

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan;

f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau

h. keuntungan karena pembebasan utang.

Perusahaan berkewajiban memotong dan menyetorkan pajak penghasilan sesuai dengan tarif yang ditentukan dalam pasal di atas.

a. Pajak atas Dividen

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) g UU PPh disebutkan mengenai dividen yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

a. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan nama dan dalam bentuk apapun.

b. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;

c. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran kecuali saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru dan revaluasi aktiva tetap.

d. Pembagian laba dalam bentuk saham;

e. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;

f. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan.

g. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.

h. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.

i. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.

j. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.

k. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.

l. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

b. Pajak atas Bunga

Penghasilan berupa bunga, kecuali yang dicantumkan dalam Pasal 26 ayat (1) b dan bunga yang juga disebut dalam Pasal 4 ayat (1) f, tidak ada rincian tentang pengertian bunga. Oleh karena itu dalam mempelajari dan mempertimbangkan penggunaan istilah bunga yang disarankan oleh Masyarakat Perpajakan Internasional, khususnya yang disarankan kelompok Tenaga Ahli PBB.

c. Pajak atas Royalti

Menurut penjelasan UU No. 36 Tahun 2008 yang dimaksud dengan royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;

3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;

4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:

a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

d. Pajak atas Sewa

Menurut UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) huruf i, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta termasuk objek pajak. Dalam penjelasannya, sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Terkait dengan aspek pajak atas sewa, sewa tanah dan bangunan merupakan objek pajak yang bersifat final bedasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 2 huruf d sedangkan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat 2, terhutang PPh sebesar 2% dari jumlah brutonya (Pasal 23 ayat (1) huruf c), contohnya seperti sewa mobil, sewa mesin dan lain-lain.3.3 Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Industri Pertambangan3.3.1 Aspek PPN pada Pertambangan Mineral (kecuali Batubara)

Produk dalam rangka proses penambangan dan pabrikasi terdapat objek yang dikenakan PPN, khususnya pada pertambangan mineral berupa emas, seperti yang digambarkan pada tabel berikut (Muljono, 2009):Tabel 3.4 Perlakuan PPN Tambang EmasProdukPerlakuan perpajakan

Bijih emas, bijih perak, gold oreNon- BKP

Dore ingotBKP

Butiran emas, kristal perakBKP

Emas batanganNon-BKP

Emas koin*BKP

Sumber: Muljono, 2009Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak S-871/PJ.51/2005 tentang Penegasan Perlakuan PPN atas Emas Koin Logam Mulia: (a.) Emas koin tidak termasuk sebagai jenis barang yang tidak dikenakan PPN, oleh karena itu atas penyerahannya dikenakan PPN. Selain itu, Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat 2, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu dalam penjelasan disebutkan salah satunya, berupa bijih besi, bijih timah, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.3.3.2 Aspek PPN pada Pertambangan Batubara

Berdasarkan UU PPN pasal 4A ayat 2, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang yang salah satunya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu berupa batubara sebelum diproses menjadi briket batubara.Selain itu, berdasarkan peraturan lain, terdapat \pengenaan PPN atas Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)Perusahaan Kontrak Swasta dalam pertambangan batubara, yaitu sebagai berikut:

a. Keputusan Presiden No. 75/1996 Pasal 3 ayat (1) Perusahaan Kontraktor Swasta wajib menyerahkan 13.5% dari hasil produksi batubaranya secara tunai kepada pemerintah atas harga pada saat di atas kapal (Free on Board) atau pada harga setempat (at sale point).b. Keputusan Menteri Keuangan No. 72/KMK/04/1996 Pasal 1 ayat (2) dan (3) DPP PPN adalah 100/110 dari nilai imbalan sebesar 13.5% dari hasil produksi batubara Perusahaan Kontraktor Swasta yang diserahkan ke pemerintah. Tarif PPN yang berlaku tetap 10%.Berdasarkan peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa DHPB sudah termasuk PPN maka Kontraktor Swasta tidak perlu menghitung dan menyetor sendiri PPN yang terhutang terpisah dari DHPB dan sebagian DHPB akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar PPN yang terutang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 berarti yang menanggung PPN tersebut adalah pemerintah. Selanjutnya, PPN yang terutang atas DHPB tersebut tidak dapat dikreditkan oleh Kontraktor Swasta yang bersangkutan.3.4 Aspek PPnBM pada Industri Pertambangan

Berdasarkan UU PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 5, PPnBM dikenai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Pengenaan PPnBM ini hanya dikenakan satu kali, ini sesuai dengan pasal 5 ayat 2 UU PPN yang berbunyi Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pakal yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Barang-barang yang dikenakan PPnBM berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2013 merupakan barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari emas atau platina atau dari logam yang dipalut dengan emas atau platina atau campuran dari padanya, dan kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia (seperti intan, rubi, safir dan jamrud) dan/atau mutiara atau campuran daripadanya. Tarif pajak yang di kenakan terhadap barang mewah terendah adalah 10% dan tarif tertinggi adalah 75% yang spesifikasinya diatur dalam lampiran 130/PMK.011/2013.3.5 Aspek Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri PertambanganSelain Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai, aspek perpajakan lainnya dalam lembaga yang terdapat dalam Industri Pertambangan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Formula perhitungan Ketetapan PBB untuk pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya (Contract of Work), dasar hukumnya adalah: Pasal 30 UU No. 12/1985.Terhadap obyek pajak dalam bidang penambanganminyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya, sehubungan denganKontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat iniberlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Perda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.

Dalam Penjelasan Pasal 30, dijelaskan bahwa Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap objek pajak yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnyayang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.

-Kep. Menkeu No. 174/KMK.04/1991 jo Kep. Menkeu 273/KMK.04/ 1995

-SE DJP No. SE-20/PJ.6/1993

-SE DJP No. SE-40/PJ.6/1995

Formula perhitungan:

NJOP maupun pengenaan PBB-nya dalam setiap Kontrak Karya yang bersangkutan:

-Tahap Pra Produksi

PBB = Iuran Tetap (deadrent)-Tahap Produksi

PBB = Iuran Tetap + (0,5% x 20% x Penerimaan Kotor)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk:

a.Wilayah Kontrak Karya atau Wilayah Pertambangan; dan

b.Penggunaan bumi dan bangunan dimana perusahaan membangun fasilitas untuk operasi penambanganannya.Perusahaan harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rupiah atau dalam mata uang lain yang disetujui bersama, sebagai berikut:

1. Pada tahap-tahap Pra-Produksi (Penyelidikan Umum, Explorasi, studi kelayakan dan konstruksi), perusahaan harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap (deadrent).

2. Pada tahap operasi/produksi perusahaan harus membayar PBB yang jumlahnya sama dengan jumlah iuran tetap ditambah dengan jumlah yang besarnya 0,5% x 20% dari penerimaan kotor hasil operasi pertambangan.

3. Selain itu, perusahaan juga harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah/perairan bangunan yang berada di luar atau di dalam areal Kontrak Karya/ Wilayah pertambangan yang dipakai oleh perusahaan untuk fasilitas yang tertutup untuk umum, yang besarnya ditetapkan berdasarkan meter persegi luas tanah/perairan dan luas serta jenis bangunan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 dan klasifikasi dan besarannya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta pembayaran PBB tersebut akan dilakukan sepanjang berlakunya persetujuan ini.

4. Pengenaan dan pembayaran PBB untuk areal Kontrak Karya/ Wilayah pertambangan pada tahap Operasi Produksi dan untuk tanah/ perairan dan bangunan yang dipakai oleh perusahaan, mengikuti tata cara pengenaan sebagaimana dimaksud pada butir (ii) dan butir (iii) di atas dan tata cara pembayaran PBB yang berlaku secara umum.3.6 Aspek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada Industri PertambanganBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adadalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sehingga, berkaitan dengan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di sektor pertambangan erat kaitannya dengan bagaimana orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak memperoleh hak atas tanahnya untuk kegiatan pertambangan. Untuk mengetahui berapa besarnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang sebagaimana dijelaskan di atas, adapun Nilai Perolehan Objek Kena Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai dasar perhitungan pajak terutang secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) atas waris atau hibah wasiat. Ketentuan ini sebagimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah an Bangunan.3.7 Aspek Bea Meterai pada Industri Pertambangan

Berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai disebutkan bahwa bea meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Sehingga, subjek pajak bea meterai adalah pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Sedangkan objek bea mterai adalah dokumen. Tarif bea materai adalah Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-

Berkaitan dengan bea meterai di sektor pertambangan, seperti yang kita ketahui bahwa keberadaan perusahaan pertambangan yang mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang erat kaitannya dengan kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak production sharing antara pemerintah dengan perusahaan tersebut yang dibuat lebih dari satu pihak dimana berisi surat perjanjian, akta-akta perjanjian, surat berharga dan lain sebagainya. Untuk itu tarif bea materai atas kontrak karya, kuasa pertambangan atau kontrak production sharing adalah Rp 3.000,- atau Rp 6.000,- bergantung pada jenis dan isi dari dokumen yang akan disepakati.3.8 Aspek Pajak Daerah pada Industri Pertambangan

Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf f UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dalam industri pertambangan, pajak atas pengambilan bahan galian golongan C termasuk dalam pajak kabupaten/kota. Tarif pajak bahan galian golongan C adalah sebesar 20% (dua puluh persen). Besarnya pajak pengambilan bahan galian golongan C yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak bahan galian golongan C tersebut dengan dasar pengenaan pajak.Sebagai salah satu contoh peraturan daerah yang mengatur mengenai pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C. Dalam peraturan tersebut, permasalahan yang dibahas tidak jauh berbeda dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 dimana dimuat secara jelas mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, cara pembayaran pajak, cara penagihan pajak, pengurangan, peringanan, dan pembebasan pajak.

3.9 Aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak Berupa Royalti3.9.1 Royalti sehubungan produksi Perseroan Mineral Perusahaan harus membayar royalti sehubungan dengan kandungan mineral produk dari kawasan pertambangan, sejauh bahwa setiap mineral dalam produk tersebut harus mineral yang nilai sesuai dengan praktik umum dibayarkan atau dibayarkan kepada Perseroan dengan pembeli. Royalti harus dibayar dalam Rupiah atau mata uang lainnya yang disetujui bersama dan harus dibayar pada atau sebelum hari terakhir dari bulan berikutnya setiap kuartal kalender. Setiap pembayaran harus disertai dengan pernyataan secara rinci yang wajar menunjukkan dasar perhitungan royalti sehubungan dengan pengiriman atau penjualan selama kuartal kalender sebelumnya.

Tarif pengenaan royalti sehubungan dengan mineral diatur dalam PP no 9 tahun 2012. Dalam PP tersebut dapat dilihat daftar tarif pengenaan royalti seperti contohnya tarif untuk emas adalah sebesar 3,75% dari harga jual, perak sebesar 3.25% dari harga jual dan untuk tembaga sebesar 4.00% dari harga jual. Namun, pada kenyataannya tarif yang diatur pada PP no 9 taahun 2012 tidak berjalan karena, perusahaan membayar royalti sesuai dengan tarif yang disepakati dalam kontrak. Seperti contohnya pada kontrak karya PT. Freeport Indonesia, Royalti akan dihitung dari tarif yang ditentukan sebagai berikut:

(I) Dalam kasus emas:

1. Jika harga penjualan emas adalah US $ 300 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.

2. Jika harga jual emas adalah US $ 400 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.

3. Jika harga jual (G) dari emas adalah antara US $ 300 per troy ounce dan US $ 400 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:

{1 + (G - 300)} % dari harga jual

100

(II) Dalam kasus perak:

1. Jika harga jual perak adalah US $ 10 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.

2. Jika harga jual perak adalah US $ 15 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.

3. Jika harga penjualan (S) dari perak adalah antara US $ 10 per troy ounce dan US $ 15 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:

{1 + (S - 10)} % dari harga jual

5

(III) Dalam kasus tembaga:

1. Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 750 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.

2. Jika harga penjualan tembaga adalah US $ 925 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.

3. Jika harga penjualan (P) dari tembaga adalah antara US $ 750 per troy ounce dan US $ 925 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:

{1 + (P - 750)} % dari harga jual

175

Keterangan: Harga Tembaga Yang Berlaku harus diartikan, sehubungan dengan tembaga yang terkandung dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, harga akan sama seperti harga resmi London Metal Exchange, harga jual untuk tembaga-kelas yang lebih tinggi yang diterbitkan oleh "Metals Week" dengan memakai harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut. Istilah Harga Emas Yang Berlaku berarti, sehubungan dengan emas yang terkandung sebagai mineral yang terasosiasi dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, harga akan sama dengan rata-rata harga di London bullion market spot morning ("initial") and afternoon ("final), untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat diberitahukan pada "Metals Week" harga tersebut merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut.

Istilah Harga Silver Yang Berlaku berarti, sehubungan dengan perak yang terkandung sebagai mineral yang tergabung dalam konsentrat yang dijual oleh perusahaan dalam setiap kuartal kalender, dengan harga sama dengan harga emas tempat para broker London berkumpul, untuk harga emas yang dijual dalam mata uang Amerika Serikat diberitahukan pada "Metals Week" harga tersebut merupakan harga rata-rata pada kuartal kalender tersebut. Istilah hutang, bila digunakan dalam hubungannya dengan kadar tembaga, emas dan perak yang termasuk dalam koten konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, berarti bahwa sebagian dari konten tersebut untuk harga yang dibayar kepada Perusahaan.

pound harus diartikan, sehubungan dengan tembaga, enam belas ons (avoirdupois).

ons harus diartikan, sehubungan dengan emas dan perak, per troy ounce dari 31,1035 gram.

biaya peleburan dan pemurnian, pengangkutan dan biaya penjualan lain harus diartikan sehubungan dengan konsentrat yang dijual oleh Perusahaan, jumlah keseluruhan biaya dalam hal seperti konsentrat dapat dikurangkan dari penjualan kotor dalam menentukan Penjualan Bersih.3.9.2 Royalti sehubungan dengan BatubaraTarif pengenaan royalti untuk batubara diatur dalam PP no 9 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut PP ini, bagi pemegang IUP, batubara dengan kualitas di bawah 5.100 kcal/kg dikenakan royalti sebesar 3%, batubara berkalori antara 5.100 kcal/kg hingga 6.100 kcal/kg dikenakan royalti sebesar 5%, dan batubara dengan kualitas di atas 6.100 kcal dikenakan royalti mencapai 7%. Kemudian, pemegang PKP2B dikenakan royalti sebesar 13,5%.

3.10 Contoh Kasus3.10.1 Perhitungan Aspek PPh dan PPN pada Industri Pertambangan

Berikut adalah contoh perhitungan aspek PPh dan PPN pada Industri Pertambangan:1. PT B selaku kontraktor melakukan perjanjian PKP2B dengan pemerintah yang bergerak di bidang pertambangan batubara. Hasil pertambangan batubara sebesar 50 ton. Transaksi sbb: 25 ton dijual kepada PT C seharga Rp25.000.000.000 25 ton batubara dalam bentuk briket dijual kepada PT D seharga Rp20.000.000.000. PT B menggunakan jasa penunjang penambangan batubara dari PT E dengan jumlah biaya sebesar Rp550.000.000. Laba yang dihasilkan PT B sebesar Rp3.000.000.000 PT B membayar deviden kepada PT F sebesar Rp500.000.000.

Tentukan aspek PPh dan PPN dari transaksi-transaksi tersebut!a. Aspek PPh

Atas pemakaian jasa penunjang penambangan dari PT E, PT B memotong PPh 23 yaitu 2% x Rp500.000.000 = Rp11.000.000. Atas laba kena pajak yang dimiliki oleh PT B akan dikenakan PPh badan yaitu 25% x Rp3.000.000.000 = Rp750.000.000. Atas pembagian deviden ke PT F sejumlah Rp500.000.000 dikenakan PPh 23 yaitu 15% x Rp500.000.000 = Rp75.000.000.

b. Aspek PPN

Atas penjualan 25 ton batubara kepada PT D seharga Rp25.000.000.000. Transaksi ini tidak terutang PPN. Penjualan 25 ton briket batubara kepada PT D terutang PPN, yaitu sebesar 10% x Rp20.000.000.000 = 2.000.000.000. Jumlah tersebut menjadi pajak keluaran bagi PT B.3.10.2 Perhitungan Aspek PPnBm pada Industri Pertambangan

Berikut adalah contoh perhitungan aspek PPnBM pada Industri Pertambangan:

1. Pada bulan Agustus 2012, bagian penjualan PT A dalam Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP) mencatat: 10 koin emas dijual dengan berat masing-masing 10gr senilai Rp 100.000.000 kepada PT B. Hitung perlakuan dan PPN dan PPnBM!Kewajiban PT B atas perolehan koin emas dari PT A, adalah sebagai berikut:

Harga jual =Rp100.000.000

PPN 10 % x Rp100.000.000 = Rp10.000.000

Tarif PPnBM = 40% (terdapat pada lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2013)

Maka, PPnBM = 40% x Rp100.000.000 = Rp40.000.000

Jumlah yang harus dibayar PT B atas perolehan koin emas adalah Rp50.000.000.

3.10.3 Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan pada Industri PertambanganBerikut adalah contoh perhitungan aspek PBB pada Industri Pertambangan:1. PT Newmont Nusa Tenggara yang melakukan investasi pertambangan seluas 2000 ha sedang dalam periode studi kelayakan. Sesuai yang diatur dalam kontrak karya, besaran iuran tetap pada masa studi kelayakan per hektar per tahun adalah 0,50 USD. PT. Newmont menghitung berapakah iuran tetap mereka tahun tersebut. Perhitungannya:

PBB = 2000 ha x US $0,50 = US $1,000

Maka PBB yang harus dibayar PT Newmont Nusa Tenggara pada tahun tersebut adalah sebesar US $1,0002. Lalu, 5 tahun kemudian PT Newmont Nusa Tenggaraa memasuki masa operasi yang memiliki luas wilayah pertambangan sebesar 1000 h.a dengan penerimaan bruto dari hasil penambangan sebesar US $500,000. Dalam kontrak karya, besaran iuran tetap pada masa produksi adalah US $1,50 per hektar. Kewajiban PBB yang harus dibayar oleh PT Newmont Nusa tenggara adalah sebagai berikut:

PBB = Iuran tetap + 0.5% x 20% x Penerimaan Bruto

Iuran Tetap = 1000 ha x US $1,50 = US $1,500

PBB = US $1,500 + (0.5% x 20% x US $500,000)

= US $1,500 + US $500

= US $2,000

Sehingga, PBB yang harus dibayar oleh PT Newton Nusa Tenggara pada tahun tersebut adalah sebesar US $2,000.

3.10.4 Perhitungan Aspek Royalti

Berikut adalah contoh perhitungan aspek royalti pada industri pertambangan:

1. PT Freeport Indonesia menjual emas sebanyak 1000 troy ounce dengan harga jual US $ 500 per troy ounce. Maka jumlah royalti yang harus dibayar adalah:Dalam kasus emas:

Jika harga penjualan emas adalah US $ 300 per troy ounce atau lebih rendah, tarif royalti yang berlaku adalah: 1% dari harga jual.

Jika harga jual emas adalah US $ 400 per troy ounce atau lebih tinggi, tarif royalti yang berlaku adalah: 2% dari harga jual.

Jika harga jual (G) dari emas adalah antara US $ 300 per troy ounce dan US $ 400 per troy ounce, tarif royalti yang berlaku adalah:

{1 + (G - 300)} % dari harga jual

100Jawab:

Royalti = 1000 troy ounce x US $ 500 per troy ounce x 2%

= US $10000

Maka royalti yang harus dibayarkan adalah sebesar US $10000

2. PT Bhakti Coal Resources menjual batubara sebanyak 1000 ton dengan harga US $30 per ton. Batubara yang dijual oleh PT Bhakti Coal Resources masuk kedalam kategori 4.600 Kkal/kg. Jumlah royalti yang harus dibayar oleh PT Bhakti Coal Resources adalah: Asumsi PT Bhakti Coall Resources merupakan perusahaan pemegang IUP. Batubara dengan kualitas di bawah 5.100 kcal/kg dikenakan royalti sebesar 3%.

Jawab:

Royalti = 1000 ton x US $30 per ton x 3%

= US $900

Maka royalti yang haus dibayarkan oleh PT Bhakti Coal Resources adalah sebesar US $9003.11 Tax Issues Pada tahun 2014 muncul isu bahwa pemerintah akan segera menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Peraturan ini akan menjadi acuan pembayaran royalti pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Hal ini dikarenakan Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah meningkatkan penerimaan negara bukan pajak sektor mineral dan batu bara. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral harus merevisi PP no 9 tahun 2012 yang mengatur tentang tarif royalti. Royalti batu bara untuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP) akan dinaikkan.

Saat ini tarif yang berlaku untuk royalti pada batu bara menurut PP nomor 9 tahun 2012 adalah untuk royalti batu bara pemegang IUP dengan kalori 6100 Kkal dikenakan tariff 7%. Sementara untuk pemegang PKP2B tarif royalti yang berlaku adalah 13.5%.

Pemerintah dan DPR berniat untuk menaikkan tarif royalti pemegang IUP dari 3-7% menjadi 10-13.5%, serupa dengan pelaku usaha pemegang PKP2B. Untuk lebih lengkapnya, kenaikan tarif royalti batu bara pemegang IUP dengan kalori 6100 Kkal dikenakan tariff 13.5%. Selain untuk menaikkan PNBP hal ini juga dimaksudkan untuk pemerataan royalti bagi semua kalori dan jenis usaha.

Selain menaikkan royalti atas batu bara pemerintah juga berniat untuk menaikkan tarif royalti atas mineral. Saat ini tarif royalti atas mineral dikenakan bervariasi tergantung jenis mineralnya. Dalam PP no 9 tahun 2012 ada 68 jenis mineral yang dikenakan royalti dengan tarif dari 1.5% hingga 7%. Seperti yag dilansir financial.bisnis.com pada Jumat, 1 Mei 2015, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar menyampaikan regulasi yang baru nantinya mengenakan tarif royalti baik untuk mineral maupun batubara bervariasi antara 7%-13,5%.

BAB 4SIMPULAN DAN SARANBerdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai aspek perpajakan pada industri pertambangan, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:4.1 SimpulanBerdasarkan hasil pembahasan yang sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, hasil pembahasan ini mendapat simpulan bahwa aspek perpajakan yang terdapat pada industri pertambangan umum dapat berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, BPHTB, dan Bea Meterai. Namun aspek perpajakan dalam industri pertambangan harus memperhatikan peraturan pada setiap generasi Kontrak Karya maupun PKP2B. Selain itu, terdapat juga aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa royalti pada industri pertambangan umum.4.2 SaranAtas dasar kesimpulan dan pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

a. Perlunya penegasan konsep perundang-undangan mengenai kewajiban perpajakan atas Kontrak Karya dan PKP2B agar tidak terjadi perbedaan paham antara pemerintah dengan kontraktor.

b. Diharapkan konsep peraturan perpajakan Kontrak Karya dan PKP2B pemanfaatan sumber daya alam dapat menggantikan belanja investasi untuk penggalian tambang, ongkos manajemen publik karena penyediaan fasilitas, dan biaya untuk menanggulangi dampak lingkungan yang terjadi, sehingga terciptanya kemakmuran rakyatDAFTAR REFERENSIBukuMansury. Pajak Penghasilan atas Transaksi-Transaksi Khusus. Tangerang: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), 1999.

Muljono, Djoko. PPh dan PPN untuk Berbagai Kegiatan Usaha.Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2009.Karya AkademikSearle, Bob. Fiscal Equalization: Challenges in the Design of Intergovernmental Transfers. USA: Springer Science, 2007.Wendra. Analisis Perlakuan Perpajakan Industri Pertambangan. Depok: Universitas Indonesia, 2008.PeraturanRepublik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1993 Tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara antara Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT Tambang Batubara Bukit Asam dan Perusahaan Kontraktor. Jakarta, 1993

Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Tambang Batubara antara Perusahaan Negara Tambang Batubara dan Kontraktor Swasta. Jakarta, 1981.

Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Tambang Batubara. Jakarta, 1996.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta, 2009.Publikasi LembagaDirektoral Jenderal Pertambangan Umum. Buku Tahunan Pertambangan dan Energi Indonesia 1998. Jakarta, 1998.United States Geological Survey. Mineral Commodity Summaries 2015. Virginia, 2015. < http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/mcs/2015/mcs2015.pdf>Winzenried, Sacha dan Fandy Adhitya. Challenging times ahead for the Indonesian mining sector. Jakarta, 2014.

World Coal Association. Coal Facts 2014. London, 2014.

Universitas Indonesia