Aspek Kultur dan Aspek Struktur
-
Upload
wendi-irawan-dediarta -
Category
Documents
-
view
738 -
download
22
description
Transcript of Aspek Kultur dan Aspek Struktur
SOSIOLOGI PEDESAAN
MENCARI TEORI DAN MENGANALISIS DUA
KASUS KELEMBAGAAN BERDASARKAN ASPEK
KULTUR DAN ASPEK STRUKTUR
Disusun Oleh:
Wendi Irawan Dediarta
(150310080137)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNVERSITAS PADJADJARAN
2009
PENDAHULUAN
Memperbincangkan pembangunan, khususnya di negara berkembang, tidak bisa lepas dari
wilayah pedesaan. Sebabnya sederhana, sebagian besar penduduk di negara berkembang
bermukim di daerah pedesaan dan mayoritas bekerja di sektor pertanian. Di luar itu, wilayah
pedesaan karena lokasinya yang jauh dari pusat kota atau pembangunan dicirikan oleh
terbatasnya infrastruktur ekonomi, sedikitnya kesempatan kerja di luar pertanian (non-farm),
dan jauh dari pasar. Dengan kondisi tersebut, tidaklah mungkin menyelenggarakan
pembangunan di negara berkembang tanpa melibatkan wilayah pedesaan. Bahkan,
pembangunan di negara berkembang harus melihat wilayah pedesaan dan sektor pertanian
sebagai fokus dan target pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan di negara
berkembang bisa dilihat dari perkembangan, di wilayah pedesaan sendiri. Bila mayoritas
penduduk di pedesaan bisa melakukan mobilitas sosial-ekonomi (pembangunan), maka bisa
disimpulkan pembangunan di negara berkembang telah menjangkau sebagian besar warga
negaranya, demikian sebaliknya.
PEMBAHASAN
Teori Kelembagaan
Kelembagaan diberi berbagai istilah yang beragam, yaitu: kelembagaan, lembaga,
lembaga sosial, institusi, institusi sosial, organisasi, organisasi sosial, kelompok sosial,
group, group sosial, asosiasi, birokrasi, biro, dewan, majelis, kesatuan, perserikatan,
himpunan, dll. Kelembagaan adalah social form. Ibarat organ-organ dalam tubuh
manusia. Kata kelembagaan menunjuk kepada:
o Sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam
masyarakat.
o Suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang.
o Merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola.
o Berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat.
o Ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern.
o Berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial.
o Merupakan kelompok-kelompok sosial yang menjalankan masyarakat.
o Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu (kelembagaan pendidikan,
ekonomi, agama, dan lain-lain).
Pada awalnya istilah institution dan organization tidak dibedakan, dan digunakan secara
bolak balik. Semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan yang semakin tegas,
bahwa kelembagaan dan keorganisasian berbeda. Artinya, terjadi perubahan dari
pengertian yang luas dan baur menjadi sempit dan tegas. Empat cara pembedaan antara
kelembagaan dan organisasi di kalangan ahli:
o Kelembagaan adalah tradisional, organisasi modern.
o Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri, organisasi datang dari atas.
o Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum. Organisasi adalah
kelembagaan yang belum melembaga (lihat Norman Uphoff). Yang sempurna
adalah organisasi yang melembaga.
o Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Organisasi sebagai organ
kelembagaan.
Menurut Syahyuti (2003) kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni aspek
kelembagaan dan aspek keorganisasian.
1. Aspek kelembagaan = aspek kultural = aspek dinamis. Hal-hal yang abstrak,
merupakan jiwa kelembagaan. Berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide,
gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain.
2. Aspek keorganisasian = aspek struktural = aspek statis. Lebih visual. Berupa struktur,
peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur
kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola
kekuasaan, dan lain-lain.
Keduanya membentuk perilaku kelembagaan atau kinerja kelembagaan. Perbandingan
karakteristik aspek-aspek kelembagaan dan aspek-aspek keorganisasian:
Aspek Kelembagaan Aspek Keorganisasian
1. Fokus pada perilaku sosial. 1. Fokus kajian pada struktur sosial.
2. Inti kajiannya adalah nilai (value), aturan (rule), dan norma (norm).
2. Inti kajiannya pada peran (roles).
3. Kajian lebih jauh: custom, mores, folkways, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, pola-pola kelakuan, fungsi dari tata kelakuan, dll.
3. Kajian lebih jauh tentang: peran, hubungan antar peran, integrasi sosial, struktur, kewenangan, kekuasaan, aspek solidaritas, klik, dll.
4. Perubahan sosial bersifat kultural 4. Bersifat struktural
5. Proses perubahan lebih lama. 5. Lebih cepat.
6. Bersifat lebih abstrak dan dinamis. 6. Lebih visual dan statis.
7. Dalam ilmu sosiologi berada dalam topik proses sosial.
7. Berada dalam topik kajian struktur sosial.
Kasus Kelembagaan Berdasarkan Aspek Kultur
Lembaga keuangan di sektor pertanian selama ini cenderung menempatkan petani dalam
posisi subordinat, baik akibat informasi yang asimetris (asymmetric information)
mauapun posisi tawar yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2005:104)
menunjukkan bahwa petani tebu dibebani dengan biaya transaksi yang besar pada saat
memperoleh kredit dari skema bantuan pemerintah. Dalam kasus petani tebu di Jawa
Timur, misalnya, kredit yang diberikan oleh pemerintah sebetulnya hanya berbunga
12%, tetapi koperasi mengenakan kredit sebesar antara 16-20% (selisih bungs kredit itu
tidak lain adal biaya transaksi). Demikian pula, waktu pengucuran kredit itu biasanya
terlambat dua bulan dari perjanjian sehingga mengakibatkan petani tidak bisa membeli
pupuk dan berakibat kepada penurunan produktivitas tebu. Nilai penurunan produktivitas
inilah yang bisa dianggap sebagai biaya transaksi akibat keterlambatan pengucuran
kredit. Jika ditambah dengan ongkos oportunitas (opportunity costs) yang hilang dalam
pengurusan kredit, maka total biaya pengurusan kredit (bunga/selisih bunga, waktu yang
hilang, dan keterlambatan pengucuran) menyumbang sekitar 20% dari seluruh total biaya
transaksi petani tebu di Jawa Timur.
Kasus Kelembagaan Berdasarkan Aspek Struktur
Terdapat kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD, yang terpilih secara
demokratis, menggunakan akses komunikasi politik langsung ke Bupati untuk
menjatuhkan kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perpolitikan
desa. Ada kalanya, untuk memuluskan pencapaian tujuan kepentingan politik atau
ekonomi, kades juga dapat berkolaborasi dengan BPD (kolusi) sehingga tidak lagi
mengawasinya. Pemilihan kepala desa dan BPD seringkali diwarnai oleh isu politik uang
atau intrik politik lainnya, yang diikuti pula dengan kecenderungan anarkisme dari massa
pendukung yang tidak puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem demokrasi tidak bisa
berlangsung tanpa adanya jaminan penegakan hukum oleh negara di satu pihak, dan
kultur demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di pihak lain. Perbedaan budaya di
antara warga juga seringkali disikapi dengan kekerasan sebagaimana jaman penjajahan
atas dalih rust en orde, dan malangnya, ini dilakukan oleh sesama warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar Harapan. Jakarta
Jatileksono, Tumari. 1996. Pasar Terkelola dalam Sektor Pertanian: Isu Teoritis dan Hasil
Studi Empiric. Makalah disampaikan dalam Kongres ISEI XIII, 10¬12 Oktober 1996.
Medan.
Yustika, Ahmad Erani. 2003. Economic Analysis of Small Farm Households. Brawijaya
University Press. Malang
Scott, James C. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in
Southeast Asia. Yale University Press. USA
Kompas, 21 Mei 2002