Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

48
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 1 Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 1 Pendahuluan Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan. Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap bangunan-bangunan tersebut. Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 6 0 LU dan 11 0 LS, serta diantara 95 0 BT dan 141 0 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo

Transcript of Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 1

    Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

    1 Pendahuluan

    Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan

    bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau

    bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai

    temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti

    bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke

    daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang

    untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama

    terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa

    runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan

    magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa

    imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan

    adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari

    bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa

    lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.

    Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

    Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan

    pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk

    mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang

    akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban

    jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh

    gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat

    banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar

    dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa.

    Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa

    bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap

    bangunan-bangunan tersebut.

    Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 11

    0 LS, serta

    diantara 950 BT dan 141

    0 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang

    disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 2

    Australia (Gambar 4.1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di

    lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara

    Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi

    tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan

    tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi.

    Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena

    percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak

    gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa,

    jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari

    bangunan.

    Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini

    berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur

    rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat

    merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena

    bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi

    secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan

    arahnya, serta waktu kejadiannya.

    Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-

    gempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa

    dan kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda

    Indonesia, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan

    ada yang disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di

    Sumbawa, Flores, dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang

    terjadi di Bali (1976), Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994),

    Kerinci (1995), Biak (1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000),

    Papua (2004), Bali (2004), dan Kepulauan Alor (2004). Beberapa gempa bahkan dirasakan

    dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena

    gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan

    kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana gempa.

    Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada

    Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan

    pada Gambar 4.2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan

    Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 3

    bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan

    bencana gempa.

    Gambar 1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik

    dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik

    merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.

    Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan

    Metereologi dan Geofisika).

    Gambar 2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan

    magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

    Lempeng

    Pasifik

    Lempeng

    Eurasia

    Lempeng

    Indo-Australia

    71 mm / yr

    110 mm / yr

    Lempeng Eurasia Lempeng

    Pasifik

    Lempeng Indo-Australia

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 4

    Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari

    kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah

    permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah

    kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di

    Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa

    mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana

    gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang

    melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan

    oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :

    Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam,

    dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras

    dengan alam.

    Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik

    akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu

    yang dikenal dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).

    Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan

    jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun

    struktur atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini

    telah mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa

    (Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.

    Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang

    cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah

    melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala

    Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak

    dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam

    jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa

    dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan

    memadai.

  • Asp

    ek R

    ekay

    asa

    Gem

    pa

    Pad

    a D

    esai

    n S

    truktu

    r

    5

    Gambar 3.

    Ked

    alam

    an d

    an m

    agn

    itu

    de

    gem

    pa

    di

    Ind

    on

    esia

    , ta

    hu

    n 1

    99

    1 s

    /d 2

    000

    (S

    um

    ber

    : B

    adan

    Met

    ereo

    log

    i d

    an G

    eofi

    sik

    a ).

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 6

    2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred

    Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat

    dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh

    bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan

    seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan

    filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang

    berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan

    tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.

    Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori

    berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan

    Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang direncanakan

    berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para

    Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah struktur bangunan

    gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau

    tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-

    bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja.

    Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan

    berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau

    Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat

    laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered

    Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang

    memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan,

    bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja

    sederhana.

    Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang

    termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan

    dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang

    termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional

    pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman

    manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan

    tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara

    harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 7

    yang berkembang selama berabad-abad, mampu menghasilkan karya bangunan tradisional

    yang tahan terhadap pengaruh gempa.

    Gambar 4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini

    terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat

    menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004

    Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-

    Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal

    sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-

    tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-

    bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau

    bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun

    dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang

    baik terhadap gempa.

    Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan

    bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.

    Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik

    yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di

    Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang

    sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.

    Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negara-

    negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia,

    Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan Non-

    Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 8

    Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua kategori

    bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi gempa, aman

    bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya pembangunannya.

    Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan ketahanan bangunan

    terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan pertimbangan biaya dan risiko

    yang dapat diterima.

    Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered

    Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya adalah

    penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan digoncang

    gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih dititik beratkan

    pada kriteria penyelamatan korban jiwa pada saat terjadi gempa.

    3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa

    Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.

    Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered

    Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi

    gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan

    suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan

    akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan

    yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya

    pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.

    Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya pada

    berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan

    pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan terhadap

    bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk memperoleh

    informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-Engineered

    Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya kebanyakan hanya

    berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi gempa dimasa

    lampau.

    Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan

    pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah

    terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali

    (Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 9

    (Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai

    pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa

    Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa besar

    dan merusak dengan kekuatan gempa utama (main shock) M=7,9 pada Skala Richter (SR).

    Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 102

    0 BT, dengan kedalaman

    gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National Earthquake

    Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR. Hal seperti ini

    jarang terjadi di Indonesia.

    3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 )

    Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-Lombok

    merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir di seluruh

    daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat. Guncangan

    gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan Denpasar

    (IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang luka-luka, ribuan

    bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh, bahkan di Lombok

    dilaporkan seorang meninggal dunia.

    Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika

    Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,340 LS dan 15,87

    0 BT, dengan kedalaman

    gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar dari pusat

    hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa terjadi

    selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang terjadi

    memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan (after shock). Karena pusat

    gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah timur Kota

    Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah. Sebelumnya,

    pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang mengakibatkan 7

    orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan.

    3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 )

    Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jumat pagi pukul

    04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala

    Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda.

    Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat penduduknya

    di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang tewas, 110 luka

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 10

    berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa Nabire ini tidak

    kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang baru saja diresmikan.

    Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14

    gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah

    rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan

    biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland

    earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer, pada

    posisi 3,360 LS - 135,5

    0 BT. tidak jauh dari kota Nabire.

    3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 )

    Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada tanggal

    12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi Maluku (37

    km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai terasa pukul 6.30

    hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi hingga pukul 17.00

    WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa diperkirakan berada di

    Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12 Nopember 2004 ini lebih besar

    dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada tahun 1991, yakni 5,4 SR.

    Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke

    pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena

    landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari Lang,

    kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang luka berat,

    dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah penduduk rusak

    berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami kerusakan berjumlah 16

    buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan. Gedung perkantoran yang

    mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130 rusak total. Untuk gedung

    sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan.

    Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000), di

    Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4 macam,

    yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-struktural pada

    bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan Engineered Construction,

    dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan, dermaga, pelabuhan udara).

    Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di

    Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk

    dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 11

    umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari

    pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang terjadi

    akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama dengan

    kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000. Kerusakan-

    kerusakan tersebut adalah :

    Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang

    dinding.

    Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada bangunan.

    Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.

    Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.

    Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau

    unsur-unsur penyusun dinding.

    Rangka atap terlepas dari dudukannya

    Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok

    Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang

    buruk.

    Gambar 5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan

    konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 12

    Gambar 6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa

    Bengkulu, Juni 2000)

    Gambar 7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa

    Bengkulu, Juni 2000)

    Gambar 8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya

    perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first

    story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 13

    Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan bangunan

    yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus dipenuhi untuk

    bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah : tidak adanya unsur-

    unsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya 6m2 , detail penulangan yang

    tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter dan total luas penampang

    tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan geser (sengkang) yang

    dipasang terlalu besar.

    Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan

    struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang

    tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak mempengaruhi

    kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-struktural pada

    umumnya meliputi :

    Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.

    Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.

    Dinding pengisi dan dinding faade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini

    tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak

    diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis.

    Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan

    yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari

    struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan

    berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari

    bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya disebabkan

    oleh :

    Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian bawah

    kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar antara lantai

    tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.

    Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada

    diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.

    Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 14

    3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995)

    Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan

    pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga

    harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan

    magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20 detik,

    mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat mengejutkan

    dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN 1995/1996 negara kita

    yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang telah diderita Jepang

    oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN kita. Dapat

    dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang seperti

    Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya.

    Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi epicenter

    34,6 N dan 135,0E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah mengakibatkan korban

    meninggal lebih dari 5270 orang, 26.815 orang cedera, 60 orang hilang, dan 150.787 rumah

    hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah yang mengalami kerusakan

    berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km. Gempa dahsyat ini ternyata juga

    telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat serta jalan layang yang terbuat dari

    struktur baja, struktur beton dan struktur komposit, yang tentunya sudah diantisipasi dan

    direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.

    Gambar 9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya

    balok jembatan dari pilar dan jatuh.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 15

    Gambar 10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya tekan

    dan geser.

    Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94.109 bangunan

    gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54.949 bangunan diantaranya

    hancur total, dan 31.783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal mengakibatkan

    sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah mengakibatkan pelabuhan

    besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat berfungsi. Kota Kobe yang

    merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama 130 tahun, ternyata hancur

    oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.

    Gambar 11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction

    Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama ini

    orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat untuk

    meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 16

    Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di

    Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu

    untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang

    Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan

    mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan

    tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,

    jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan, lintasan

    jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang konon telah

    dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu meredam Gempa Kuat

    dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit bagunan bertingkat tinggi yang

    runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah sakit Kobe yang berlantai delapan.

    Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter dan perawat tewas seketika.

    Gambar 12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter

    Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20.000 ton

    mengalami kebocoran, sehingga 8.000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api

    cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9 pada

    Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh gempa yang

    berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi pangaruhnya

    terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih berbahaya

    pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat menimbulkan

    gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 17

    Gambar 13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe

    Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang

    konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila guncangan

    gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara otomatis dan

    oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah diperlukan.

    Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk dipercaya oleh

    masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude M=7,2 pada Skala

    Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas memang berhenti

    secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan disebabkan karena

    tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang berbahaya ini.

    Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah

    satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe. Gempa

    Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri itu mampu

    untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan menyebabkan

    diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk mengantisipasi

    pengaruh gempa. Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah standar-standar

    konstruksi bangunan, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao Sakamoto dari

    Fakultas Teknik Universitas Tokyo.

    Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak

    mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar.

    Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak

    pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa Kuat

    yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan jiwa

    dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat penduduk atau

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 18

    kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat sulit dibangun

    kembali seperti semula.

    Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga sebelumnya,

    maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia, khususnya di

    kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan layang. Di

    dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam wilayah atau zona

    gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang. Apakah ketentuan

    tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli gempa di Indonesia

    memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan

    seperti gempa yang terjadi di Kobe ?.

    4 Risiko Gempa di Indonesia

    Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,

    maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh

    gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar

    bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar

    bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni.

    Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis

    dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya,

    sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa

    terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori

    probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau

    kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah tersebut,

    dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu daerah yang

    diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa lalu, tingkat

    risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan dengan

    menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik.

    Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya

    berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko gempa

    diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya

    tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter)

    dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa

    kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari

    lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 19

    gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa

    yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban gempa

    pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras, dapat juga

    berlainan.

    Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan

    dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana

    (design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa

    probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode

    ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu gempa

    selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa tersebut

    sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang gempa, dan

    risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam suatu

    persamaan matematika sebagai berikut :

    dimana : RN = Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%)

    TR = Periode ulang terjadinya gempa (tahun)

    N = Umur rencana dari bangunan (tahun)

    Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa,

    yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen

    dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa

    Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur

    perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :

    4.1 Gempa Ringan

    Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur

    rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode ulangnya

    adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan harus tetap

    berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen struktur

    bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan non-

    struktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada sistem

    1

    TR

    1

    N

    1

    RN = x 100%

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 20

    struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi lebih lanjut

    secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.

    Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa

    selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan, atau

    risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%).

    4.2 Gempa Sedang

    Gempa Sedang adalah gempa yang peluan atau risiko terjadinya dalam periode umur

    rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode ulangnya

    adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan tidak boleh

    mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan yang bersifat

    non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah berperilaku tidak

    elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat diperbaiki dengan biaya yang

    terbatas.

    4.3 Gempa Kuat

    Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur

    rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya adalah

    2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat mengalami

    kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak boleh runtuh

    sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan struktur bangunan

    berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi masih berdiri dan dapat

    diperbaiki.

    4.4 Gempa Rencana

    Karena beban pada struktur yang diakibatkan oleh gempa merupakan beban yang tidak

    pasti, maka untuk menentuklan besarnya beban gempa yang akan digunakan di dalam

    perencanaan, tidak dipergunakan beban yang diakibatkan oleh Gempa Kuat sebagai dasar

    perhitungannya. Desain struktur terhadap pengaru Gempa Kuat akan menghasilkan bangunan

    yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa, untuk

    perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa Rencanan.

    Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur

    rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode ulangnya

    adalah 500 tahun (TR = 500 tahun).

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 21

    Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis untuk

    mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal, dan

    puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini setelah

    dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati dan

    beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur

    berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain

    yang berlaku.

    Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur rencananya

    dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode ulang terjadinya

    Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan Gempa Kuat : TR = 2500

    tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah N=50 tahun, maka akan

    didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan adalah : RN Gempa

    Ringan = 92% 100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN Gempa Kuat = 2%.

    Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep

    pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua

    Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya

    diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang

    mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya

    diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500 tahun.

    Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban

    Gempa Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat probabilitas

    terjadinya gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-rata struktur

    bangunan di Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan terjadinya Gempa

    Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75, dan 500 tahun,

    ternyata tingkat risiko gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur bangunan di Indonesia

    selama umur rencananya adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya menjadi perhatian bagi

    para perencana struktur.

    4.5 Beban Gempa Nominal

    Besarnya beban Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur

    ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang

    dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.

    Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 22

    Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa

    horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

    V = t WR

    .I C

    Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel 1, C adalah nilai Faktor Respon

    Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu

    getar alami fundamental T, dan Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut :

    Beban mati total dari struktur bangunan gedung

    Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan

    tambahan beban sebesar 0,5 kPa

    Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya 25%

    dari beban hidup rencana harus diperhitungkan

    Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus

    diperhitungkan

    5.1 Faktor Keutamaan Struktur

    Dengan probabilitas terjadinya Gempa Rencana adalah 10% dalam kurun waktu umur

    rencana bangunan gedung 50 tahun, maka menurut teori probabilitas Gempa Rencana ini

    mempunyai periode ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini akan menyebabkan struktur

    bangunan gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat berdiri

    sehingga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa. Untuk berbagai kategori bangunan gedung,

    tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung selama umur

    rencananya, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu Faktor

    Keutamaan Struktur (I) menurut persamaan :

    I = I1.I2

    Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan

    dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,

    sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung tersebut.

    Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama

    memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam

    fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 23

    gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari

    gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,

    karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,

    sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-

    gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental,

    mempunyai masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan

    datang, sehingga I2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun.

    Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit

    tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi),

    gedung-gedung yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat

    penyimpanan bahan berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh aibat

    gempa (cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda dengan

    gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I2 = 1,0. Tetapi

    probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus dibedakan

    dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena periode ulang gempa tersebut

    adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori gedung ditetapkan

    dalam Tabel 1, berikut perkaliannya I.

    Tabel 1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

    Kategori gedung/bangunan Faktor Keutamaan

    I1 I2 I

    Gedung umum seperti untuk penghunian,

    perniagaan dan perkantoran.

    1,0 1,0 1,0

    Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6

    Gedung penting pasca gempa seperti rumah

    sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga

    listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan

    darurat, fasilitas radio dan televisi

    1,4 1,0 1,4

    Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya

    seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan

    beracun.

    1,6 1,0 1,6

    Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5

    4.5.2 Daktilitas Struktur

    Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang

    bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar perencanaan

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 24

    ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant maximum

    displacement rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang dianut

    divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-) yang ditunjukkan dalam

    Gambar 14. Asumsi ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang bersifat daktail

    dan struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh Gempa Rencana

    akan menunjukkan simpangan maksimal m yang sama dalam kondisi diambang keruntuhan.

    Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya struktur bangunan

    gedung yang daktail memiliki m yang relatif lebih besar dibandingkan struktur bangunan

    gedung yang elastis, sehingga memiliki faktor daktilitas struktur () yang relatif lebih besar

    dari pada yang diasumsikan

    Gambar 14. Diagram beban (V) - simpangan () dari struktur bangunan gedung

    Faktor daktilitas struktur () adalah rasio antara simpangan maksimum (m) struktur gedung

    akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan, dengan

    simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama (y), yaitu :

    1,0 = my

    m

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 25

    Pada persamaan ini, = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung

    yang berperilaku elastik penuh, sedangkan m adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang

    dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.

    Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat

    diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang

    keruntuhan, dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam

    struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung

    elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum m yang

    sama dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

    Vy =

    Ve

    Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang

    harus ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

    Vn = R

    eV 1f

    yV=

    dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur

    bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi

    gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :

    1,6 R = .f1 Rm

    R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,

    sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem

    struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel 2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai yang

    bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai dan R tidak dapat melampaui nilai

    maksimumnya.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 26

    Tabel 2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung

    Taraf kinerja struktur gedung R

    Elastis penuh 1,0 1,6

    Daktail parsial

    1,5

    2,0

    2,5

    3,0

    3,5

    4,0

    4,5

    5,0

    2,4

    3,2

    4,0

    4,8

    5,6

    6,4

    7,2

    8,0

    Daktail penuh 5,3 8,5

    Nilai faktor daktilitas struktur gedung di dalam perencanaan struktur gedung dapat

    dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas

    maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur

    gedung. Dalam Tabel 3 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis sistem

    dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang bersangkutan.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 27

    Tabel 3. Faktor daktilitas maksimum (m), faktor reduksi gempa maksimum (Rm ), faktor kuat lebih

    struktur (f1) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung

    Sistem dan subsistem struktur

    gedung Uraian sistem pemikul beban gempa

    m Rm

    f1

    1. Sistem dinding penumpu (Sistem

    struktur yang tidak memiliki rangka

    ruang pemikul beban gravitasi secara

    lengkap. Dinding penumpu atau

    sistem bresing memikul hampir

    semua beban gravitasi. Beban lateral

    dipikul dinding geser atau rangka

    bresing)

    1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8

    2. Dinding penumpu dengan rangka baja

    ringan dan bresing tarik

    1,8 2,8 2,2

    3. Rangka bresing di mana bresingnya

    memikul beban gravitasi

    a. Baja 2,8 4,4 2,2

    b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5

    & 6)

    1,8 2,8 2,2

    2. Sistem rangka gedung (Sistem

    struktur yang pada dasarnya memiliki

    rangka ruang pemikul beban gravitasi

    secara lengkap. Beban lateral dipikul

    dinding geser atau rangka bresing)

    1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8

    2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8

    3. Rangka bresing biasa

    a. Baja 3,6 5,6 2,2

    b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5

    & 6)

    3,6 5,6 2,2

    4. Rangka bresing konsentrik khusus

    a. Baja 4,1 6,4 2,2

    5. Dinding geser beton bertulang berangkai

    daktail

    4,0 6,5 2,8

    6. Dinding geser beton bertulang kantilever

    daktail penuh

    3,6 6,0 2,8

    7. Dinding geser beton bertulang kantilever

    daktail parsial

    3,3 5,5 2,8

    3. Sistem rangka pemikul momen

    (Sistem struktur yang pada dasarnya

    memiliki rangka ruang pemikul

    beban gravitasi secara lengkap.

    Beban lateral dipikul rangka pemikul

    momen terutama melalui mekanisme

    lentur)

    1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)

    a. Baja 5,2 8,5 2,8

    b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8

    2. Rangka pemikul momen menengah beton

    (SRPMM)

    3,3 5,5 2,8

    3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)

    a. Baja 2,7 4,5 2,8

    b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8

    4. Rangka batang baja pemikul momen

    khusus (SRBPMK)

    4,0 6,5 2,8

    4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1)

    rangka ruang yang memikul seluruh

    beban gravitasi; 2) pemikul beban

    lateral berupa dinding geser atau

    rangka bresing dengan rangka

    pemikul momen. Rangka pemikul

    momen harus direncanakan secara

    terpisah mampu memikul sekurang-

    kurangnya 25% dari seluruh beban

    lateral; 3) kedua sistem harus

    direncanakan untuk memikul secara

    bersama-sama seluruh beban lateral

    dengan memperhatikan

    interaksi/sistem ganda)

    1. Dinding geser

    a. Beton bertulang dengan SRPMK beton

    bertulang

    5,2 8,5 2,8

    b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8

    c. Beton bertulang dengan SRPMM beton

    bertulang

    4,0 6,5 2,8

    2. RBE baja

    a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8

    b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

    3. Rangka bresing biasa

    a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8

    b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

    c. Beton bertulang dengan SRPMK beton

    bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

    4,0 6,5 2,8

    d. Beton bertulang dengan SRPMM beton

    bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)

    2,6 4,2 2,8

    4. Rangka bresing konsentrik khusus

    a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8

    b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 28

    5. Sistem struktur gedung kolom

    kantilever (Sistem struktur yang

    memanfaatkan kolom kantilever

    untuk memikul beban lateral)

    Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2

    6. Sistem interaksi dinding geser

    dengan rangka

    Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3,

    4, 5 & 6)

    3,4 5,5 2,8

    7. Subsistem tunggal (Subsistem

    struktur bidang yang membentuk

    struktur gedung secara keseluruhan)

    1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8

    2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8

    3. Rangka terbuka beton bertulang dengan

    balok beton pratekan (bergantung pada

    indeks baja total)

    3,3 5,5 2,8

    4. Dinding geser beton bertulang berangkai

    daktail penuh

    4,0 6,5 2,8

    5. Dinding geser beton bertulang kantilever

    daktail parsial

    3,3 5,5 2,8

    5.3 Arah Pembebanan Gempa

    Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya

    adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam kenyataannya

    arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan pasti, artinya

    pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari bangunan

    simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua arah utama

    bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan lebih sederhana.

    Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan

    pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh

    tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC, 1984)

    menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau beban

    Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu utama

    struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa pada

    struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu arah

    dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya.

    Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk

    menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan analisis

    struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah dari struktur.

    Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-elemen struktur

    akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau pada analisis,

    sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 29

    6 Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon

    Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada

    struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban

    gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan.

    Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 1,

    dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan Wilayah

    Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,

    didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan

    perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan

    dalam Gambar 15 dan Tabel 4.

    Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya

    gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah

    Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan

    untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo

    gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan

    hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak dari

    tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun di

    daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa yang

    telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona subduksi,

    sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-sesar aktif

    yang sudah teridentifikasi.

    Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa garis-

    garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun (periode ulang

    Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa.

    Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah ditetapkan berturut-

    turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan percepatan

    batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (Ao) untuk Tanah Keras,

    Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti yang tercantum pada Tabel 4.

    Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk Wilayah

    Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 15 dan Tabel 4, ditetapkan juga sebagai percepatan

    minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk menjamin

    kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut. Jadi beban gempa yang

    disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di dalam

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 30

    peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah Gempa

    1, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa

    setiap struktur gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal pada

    taraf masing-masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat

    tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini, maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat

    rendah (gedung dengan periode getar T yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan

    di atas Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan

    daktilitas sebagaian / parsial), harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar

    0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015. Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di

    Singapura. Dengan demikian, standar gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara

    kontinuitas kegempaan regional lintas batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar

    SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama

    sekali.

    Tabel 4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing

    Wilayah Gempa Indonesia

    Wilayah

    Gempa

    Percepatan

    puncak

    batuan dasar

    (g)

    Percepatan puncak muka tanah Ao (g)

    Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0,03

    0,10

    0,15

    0,20

    0,25

    0,30

    0,04

    0,12

    0,18

    0,24

    0,28

    0,33

    0,05

    0,15

    0,23

    0,28

    0,32

    0,36

    0,08

    0,20

    0,30

    0,34

    0,36

    0,38

    Diperlukan

    evaluasi

    khusus di

    setiap lokasi

    Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa

    beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan

    gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan

    gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons

    Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah

    Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu

    getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 31

    Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan

    antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat

    suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami

    sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing Wilayah

    Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan respons

    maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK akibat Gempa

    Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman kritis sebesar 5%.

    Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku,

    sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan

    demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan

    puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya

    menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan

    menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai maksimum,

    kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk mempermudah

    penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa 2002 telah

    diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 T 0,2 detik, C meningkat secara linier dari Ao

    sampai Am; untuk 0,2 detik T Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc, C mengikuti

    fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Idealisasi fungsi

    hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons maksimum yang

    bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan respons maksimum

    atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor

    Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.

    Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0 T 0,2 detik terdapat

    berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam

    sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0 T 0,2 detik C

    ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian untuk T Tc, Spektrum

    Respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan

    untuk T > Tc, berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.

    Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao,

    sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.

    Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik

    waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 32

    dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel 5, nilai-

    nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-masing jenis

    tanah.

    Tabel 5. Spektrum Respons Gempa Rencana

    Wilayah

    Gempa

    Tanah Keras

    Tc = 0,5 det

    Tanah Sedang

    Tc = 0,6 det. Tanah Lunak

    Tc = 1,0 det.

    Am Ar Am Ar Am Ar

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0,10

    0,30

    0,45

    0,60

    0,70

    0,83

    0,05

    0,15

    0,23

    0,30

    0,35

    0,42

    0,13

    0,38

    0,55

    0,70

    0,83

    0,90

    0,08

    0,23

    0,33

    0,42

    0,50

    0,54

    0,20

    0,50

    0,75

    0,85

    0,90

    0,95

    0,20

    0,50

    0,75

    0,85

    0,90

    0,95

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 33

    Gambar 15. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 34

    Gambar 16. Spektrum Respon Gempa Rencana

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 35

    7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa

    Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari

    kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan

    tanah sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah yang

    berada di atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka pengaruh

    Gempa Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan

    gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.

    Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu

    berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan rambat

    gelombang geser vs. Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang

    memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada lapisan

    batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 36

    lapisan setebal maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti yang tercantum

    dalam Tabel 6.

    Tabel 6. Jenis-Jenis Tanah

    Jenis tanah

    Kecepatan rambat

    gelombang geser

    rata-rata v s

    (m/det)

    Nilai hasil Test

    Penetrasi Standar

    rata-rata

    N

    Kuat geser tanah

    rata-rata

    S u (kPa)

    Tanah Keras v s 350 N 50 S u 100

    Tanah Sedang 175 v s < 350 15 N < 50 50 S u < 100

    Tanah Lunak v s < 175 N < 15 S u < 50

    Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih

    dari 3 m, dengan PI > 20, wn 40%, dan Su < 25 kPa

    Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

    Dalam Tabel 6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah dengan

    tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut persamaan-

    persamaan sebagai berikut :

    siv/m

    1 iit

    m

    1 iit

    sv

    =

    ==

    iN/m

    1 iit

    m

    1 iit

    N

    =

    ==

    uiS/m

    1 iit

    m

    1 iit

    uS

    =

    ==

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 37

    dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser

    melalui lapisan tanah ke-i, Ni nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui adalah

    kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan

    dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air alami

    tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.

    Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka

    sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut

    ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan

    dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang

    gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada

    atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,

    mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.

    Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel 6, adalah jenis tanah yang

    tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu, yang

    termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi yang

    tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah gambut, tanah

    dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3 m, lempung

    sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung dengan 25 kPa

    < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.

    8 Pengaruh Gempa Vertikal

    Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di

    Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan

    yang tinggi terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal

    gerakan tanah. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur bangunan

    tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi

    antara respons unsur-unsur bangunan dengan respons struktur secara keseluruhan. Oleh

    karena itu, permasalahan ini disederhanakan dengan meninjau pengaruh percepatan vertikal

    gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen.

    Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan relatif

    semakin besar jika semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Menurut

    beberapa standar gempa, percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian suatu

    koefisien dengan percepatan puncak muka tanah Ao.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 38

    Unsur-unsur struktur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap

    beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok

    transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih tingkat

    diatasnya, serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap

    komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa beban

    gempa vertikal nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke atas atau

    ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons Gempa

    Vertikal (Cv) dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor Respons

    Gempa Vertikal dihitung menurut persamaan :

    Cv = Ao I

    Dimana koefisien tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung

    berada dan ditetapkan menurut Tabel 7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah menurut

    Tabel 4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 1.

    Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap

    sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar

    alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap sudah

    diperhitungkan.

    Tabel 7. Koefisien untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv

    Wilayah Gempa

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0,5

    0,5

    0,5

    0,6

    0,7

    0,8

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 39

    9 Struktur Bangunan Tahan Gempa

    Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara

    untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar kerugian

    harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di Indonesia,

    syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa telah

    tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk struktur bangunan gedung

    persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :

    Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-2002)

    Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung

    (SNI 1726-2002)

    Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)

    Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan mengenai

    persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam pedoman atau

    manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.

    Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan

    antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam

    kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan

    diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-engineered

    Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang memerlukan

    tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai contoh dari

    Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang,

    fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta bangunan air, dan lain-

    lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang

    direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih harus memenuhi

    kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di dalam standar

    bangunan (building code) yang ada.

    Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang diperhitungkan

    meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan konstruksi, dan

    biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat kekuatan dari

    struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya yang

    diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil biaya yang

    diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.

    Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa, maka akan

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 40

    semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya, tetapi akan

    semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan tersebut

    mengalami kerusakan akibat gempa.

    Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang

    tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak

    mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu

    ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.

    Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat, atau

    bahkan keruntuhan dari bangunan.

    Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan

    tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

    Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti,

    pada saat terjadi Gempa Ringan.

    Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami

    kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa

    Sedang.

    Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural dari

    sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan secara

    keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat terjadi Gempa

    Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu dihindarkan.

    Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya risiko

    kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan total

    (collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak, harus

    dihindari.

    Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis untuk

    mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa

    Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur bangunan

    menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap pengaruh

    gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail pada saat

    terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat daktilitas yang

    tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai kemampuan untuk

    mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 41

    Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas

    elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.

    Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan

    mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur.

    Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan

    gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih

    kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari

    struktur bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :

    Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat terus

    menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban gempa

    merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.

    Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika

    kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh

    melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah

    sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol.

    Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan

    struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari

    bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang cukup,

    sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan untuk

    menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan demikian

    keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya struktur

    bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat dihindarkan.

    Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur

    bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat tanpa

    mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan diperkenankan

    mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak boleh runtuh. Hal

    ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin. Untuk mendapatkan

    struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah dikembangkan suatu cara

    perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan Kapasitas (Capacity Design).

    Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan sifat

    daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang dibangun di daerah rawan

    gempa.

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 42

    10 Daktilitas Struktur

    Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila

    struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar 1

    ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2 ton.

    Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna

    berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka

    deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban diberikan pada

    arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur akan negatif pula,

    dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi seperti ini struktur

    mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya

    dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada

    bentuknya yang semula.

    Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada struktur

    sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah

    atau runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada melampaui

    batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan

    mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila

    bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi plastis ini

    struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau struktur tidak dapat kembali

    kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang

    permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.

    Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal,

    struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar,

    maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan

    berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi deformasi

    elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya

    sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = e), sedangkan sebagian

    deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = p). Perilaku deformasi elastis dan

    plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar 17.

    Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar akibat

    gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban gempa

    merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan

    menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 43

    struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen struktur

    bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak mengalami

    keruntuhan.

    Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi

    kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya pengaruh

    redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur yang

    mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat

    membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa

    dapat berkurang.

    Gambar 17.a. Deformasi elastis pada struktur

    Gambar 17.b. Deformasi plastis (inelastis) pada struktur

    V0

    e

    V=0

    e=0

    V0

    e+p

    V=0

    p

  • Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur 44

    10.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat

    Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui beban

    gempa rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya beban

    gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa Sedang.

    Dengan demikian, jika