ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH...

91
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : RISKI OLIVIA CITRA DEWI NIM. E 1107067 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Transcript of ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH...

Page 1: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA

SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar

Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta

Oleh :

RISKI OLIVIA CITRA DEWI

NIM. E 1107067

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN

PONOROGO

Oleh

RISKI OLIVIA CITRA DEWI NIM. E1107067

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 11 April 2011

Dosen Pembimbing

Purwono Sungkowo Raharjo, S.H

NIP. 196106131986011001

Page 3: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Riski Olivia Citra Dewi

NIM : E1107067

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, April 2011

yang membuat pernyataan

Riski Olivia Citra Dewi

NIM. E1107067

Page 5: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

RISKI OLIVIA CITRA DEWI E1107067. ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2011

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan, dan apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan.

Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum hukum normatif atau hukum doktrinal yang bersifat preskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme dan interprestasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui bahwa pelaksanaan bagi hasil di Desa Sedah belum sepuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil karena, dibuat berdasarkan kesepakatan atau hukum adat setempat, yaitu dalam bentuk lisan atau tidak tertulis yang berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam pelaksanaan jangka waktu pelaksanaan bagi hasil ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu jangka waktu yang ditentukan dan jangka waktu yang tidak ditentukan dimana perjanjian ini berjalan begitu saja sampai saat ini, dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini dilakukan karena jangka waktu yang ditentukan telah berakhir, dan dilakukan atas permintaan pemilik dan penggarap tanah. Mengenai aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah berdasarkan pembagian imbangan bagi hasil yang digunakan hanya ada 2 (dua) macam yang ada, yaitu pembagian imbangan berdasarkan pada perbandingan (1:1) dengan imbangan sama besarnya, dan untuk imbangan (1:2) dengan perbandingan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 pemilik tanah, kedua imbangan tersebut dipergunakan untuk jenis tanah basah (sawah) yang ditanami padi dan palawija. Dimana jika dihitung berdasarkan perhitungan imbangan yang ada pada Pasal 7 ditemukan hasil pembagian yang lebih menguntungkan pihak pemilik saja. Sehingga dirasa aspek keadilan ini telah sesuai dengan keadaan yang ada di Desa Sedah menurut perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena pembagian imbangan bagi hasil untuk pemilik dan penggarap tanah di Desa Sedah ini sudah seimbang.

Kata Kunci: aspek keadilan, perjanjian bagi hasil tanah pertanian, di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Page 6: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Riski Olivia Citra Dewi, E117067. Justice Aspect in Agricultural Profit Share Agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency. Law Writing (Thesis). Law Faculty of Sebelas Maret University. 2011.

This research aims to find out whether type, the length of the duration, and expiration of profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has been consistent with the legislation, and whether the balance of landowners and tenants in the agreement the profit share agreement in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency has met the justice aspect.

This study belongs to a normative or doctrinal research that is prescriptive in nature. The data type employed was secondary data including primary, secondary and tertiary law material. Technique of collecting data used was library study and accompanied with the land owner’s and user’s confirmation. Technique of analyzing data used was syllogism and interpretation using deductive reasoning pattern.

Considering the result of research it can be obtained that the implementation of profit share in Sedah Village not all of them in accordance with Act No. 2 of the 1960 agreement on product division because, is made by consensus or local customary law, namaly orally or not in written form based on mutual trust among the parties; in the term of period, the profit share implementation is divided into 2 (two): predetermined period and non-predetermined period in which the agreement proceeds as they were up to now, and the end of profit share agreement in Sedah Village is because the determined period is expired, because of the land owner’s and user’s request. In the term of justice aspect, there are two types of profit share agreement in Village Sedah considering the profit share distribution used: the profit share based on ratio (1:1) with the equal share, and based on ratio (1:2) with 1/3 for the user and 2/3 for the owner, both of which is used for the wet farm (rice farm) planted with rice and crop plant. Where if he is calculated on the basis of calculation balance in article 7 that are a result of the most profitable Division of the sole owner. aspect as well that this has been considered of Justice, according to the situation in the village of Sedah counterpart by comparison of the results were considered more just because a part of the distribution of benefits distribution to owners and tenants of land in the village of Sedah is balanced.

Keywords: justice aspect, agricultural land profit share agreement, in Sedah Village of Jenangan Subdistrict of Ponorogo Regency

Page 7: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Orang yang gemar menjauhi pekerjaan, yang datang selambat mungkin, tapi pulang secepat mungkin,

tidak boleh mengeluhkan keberuntungannya.

...Orang yang bekerja keras – saja, belum tentu mudah dan melimpah rezekinya,

apalagi orang yang malas.

Memang kerja keras tidak menjamin kekayaan, tapi tidak ada bentuk kesejahteraan apa pun

yang bisa diharapkan tanpa bekerja.

Belajarlah mencintai pekerjaan.

by : Mario Teguh

Persembahan

Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, kupersembahkan skripsi ini

kepada:

· ALLAH SWT, yang mengatur serta pemilik skenario hidupku, tempatku

mengadu dan meminta.

· Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi.

· Kakakku, Kakak Ipar dan Ponakakku yang ku sayangi.

· Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing dan memberi data.

· My fiancee yang kucintai dan selalu memberi dukungan.

· Sahabat serta Almamaterku.

· Pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Page 8: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan berkat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “ASPEK KEADILAN DALAM

PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DI DESA SEDAH

KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO”, yang merupakan

salah satu persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Maksud diadakannya Penulisan Hukum dengan topik Perjanjian Bagi

Hasil ini adalah untuk mengetahui aspek keadilan yang ada dalam perjanjian bagi

hasil tanah pertanian ini dan apakah perjanjian bagi hasil ini sudah sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

berbagai pihak, khususnya atas bimbingan secara moril maupun materiil dalam

proses Penulisan Hukum ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada

yang terhormat :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin

dalam penyusunan penulisan hukum ini.

3. Bapak Sabar Slamet, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan saran dan nasehat selama ini.

4. Bapak Purwono Sungkowo Rahardjo, S. H., selaku Dosen Pembimbing.

5. Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut R. H, S. H., M. M., selaku Ketua Bagian Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Page 9: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

6. Bapak Lego Karjoko, S. H., M. Hum., selaku Ketua PPH Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu

kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

8. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata

Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

9. Keluarga Besar Wisma Putri Kemuning Angkatan 2007 (Arina, Tata, Tarida,

Rini, Shela, Ari, Nikita, Rahma) adek2 angkatan 2008, 2009, 2010, dan bapak

dan ibu penjaga kost yang telah menjadi keluarga keduaku selama di Solo.

10. Kepada teman-temanku angkatan 2007 yang selama tiga setengah tahun

belakangan ini selalu ada dan menemaniku. Untuk Lia, Wiwik, Angga (ABP),

Ipin, Mahe SW, Pengky, dll.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum

ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan

bapak, ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari

Allah SWT.

Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

Surakarta, April 2011

Penulis

Riski Olivia Citra Dewi

Page 10: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... .iii

PERNYATAAN..................................................................................................... .iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

ABSTRACT ............................................................................................................ vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL.................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 4

C. Tujuan Kegiatan ................................................................................. 5

D. Manfaat Kegiatan ............................................................................... 5

E. Metode Penelitian .............................................................................. 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ................................................................................ 10

Page 11: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Menurut Hukum Adat ........................................................................ 10

a.Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil

b.Tanah Pertanian ............................................................................. 10

c.Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian...........................................................................................12

d.Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ............ 14

e.Sistem Pembagian Hasil ................................................................ 14

f.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ................... 15

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian..16

a.Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1960 .................................................................................... 16

b.Pengertian Bagi Hasil Tanah Pertanian ......................................... 19

c.Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ............................... 20

d.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ......................................................... 20

e.Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian................... 22

f.Imbangan Pembagian Hasil ............................................................ 23

g.Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap ................................. 27

h.Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. . 28

3. Tinjauan Umum tentang Keadilan

a.Pengertian Keadilan ....................................................................... 30

b.Ukuran-ukuran tentang Keadilan ................................................... 34

c.Macam-macam Keadilan ............................................................... 36

d.Teori Keadilan tentang Hukum ..................................................... 37

B. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 38

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 12: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

A. Deskripsi Lokasi Penelitian Berdasarkan Letak Geografis dan

Pembagian Wilayah di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo .......................................................................................... 41

1.Monografi Dukuh Sidorejo ............................................................ 43

2.Monografi Dukuh Gundi ............................................................... 45

3.Monografi Dukuh Krajan .............................................................. 47

4.Monografi Dukuh Jasem ................................................................ 49

B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ..................................... 50

a.Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil ............................ 51

b.Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ................................... 55

c.Bentuk Perjanjian Bagi Hasil ...................................................... 59

d.Lamanya Waktu Perjanjian ......................................................... 61

e.Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil .............................................. 63

C. Aspek Keadilan Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Di

Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ................. 68

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................................... 77

B. Saran................................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Bagan Kerangka Pemikiran...............................................................40

Tabel 1. Luas wilayah Desa Sedah, Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo............................................................................................42

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,

Kabupaten Ponorogo..........................................................................42

Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian

(transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah.................................................52

Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian

( transaksi ) bagi hasil........................................................................53

Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah.......................54

Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah...............................55

Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi

hasil....................................................................................................57

Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil.............................58

Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil....58

Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan

penggarap tanah.................................................................................60

Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan

penggarap tanah.................................................................................61

Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah

dan penggarap tanah..........................................................................58

Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah............64

Tabel 14. Perbandingan antara penggarap dan pemilik dalam

perjanjian bagi hasil di Desa Sedah...................................................71

Tabel 15 Pihak yang menentukan besarnya bagian dalam perjanjian

bagi hasil di Desa Sedah....................................................................72

Page 14: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan hukum agraria setelah berlakunya Undang–Undang Pokok

Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 melahirkan banyak mekanisme atau

aturan–aturan baru mengenai sistem pengelolaan tanah yang ada di Indonesia.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang

dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya

mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut

hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,

yaitu ”Atas dasar hak menguasai hak dari negara sebagai yang dimaksud dalam

Pasal 2 ditentukan adanya bermacam–macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama–sama dengan orang–orang lain serta badan–badan

hukum” (Urip Santoso, 2005:10).

Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa

dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional, hal mana tercermin dan hubungan

antara Bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan

kekal. Sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dan kehidupannya pada

tanah, utamanya dalam bidang pertanian. Tanah dalam masyarakat agraris

mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga harus diperhatikan

peruntukkan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik

secara perseorangan maupun secara gotong royong. Dinyatakan dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”.

Indonesia adalah salah satu Negara agraris yang menggantungkan

kehidupan masyarakatnya pada tanah. Bagi masyarakat Indonesia tanah

merupakan sumber kehidupan dengan nilai yang sangat penting. Pentingnya arti

tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama sekali tidak

Page 15: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

bisa dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan

pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Tanah merupakan tempat tinggal,

tempat manusia melakukan aktivitas sehari-hari bahkan setelah meninggal pun

tanah masih diperlukan.

Tanah juga merupakan suatu obyek yang khas sifatnya, dibutuhkan oleh

banyak orang, tetapi jumlahnya tidak bertambah. Secara kultur ada hubungan

batin yang tak terpisahkan antara tanah dengan manusia. Sehubungan dengan hal

tersebut di atas, jelaslah bahwa pola penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dan

permasalahan petani dan taraf kehidupan mereka. Kekurangan tanah, untuk

dijadikan lahan garapan merupakan permasalahan pokok dalam suatu masyarakat

agraris. Kondisi pemilikan dan penguasaan tanah yang timpang seperti inilah yang

telah mendorong tekad para pendiri bangsa untuk menata struktur agrarian melalui

kebijakan perundang-undangan guna mengangkat rakyat dan kemiskinan akibat

ketidakadilan akses rakyat atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan sumber pokok segala kebijaksanaan

untuk menata masalah pertanahan dan meningkatkan produksi, taraf hidup dan

kesejahteraan sosial masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33

Undang-Undang Dasar 1945.

Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum di

mana pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya,

tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat suatu

perjanjian bagi hasil dengan pihak lain dengan imbalan yang telah disetujui oleh

kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian bagi hasil, adalah suatu bentuk

perjanjian antara penggarap, di mana penggarap diperkenankan mengusahakan

tanah itu dengan pembagian hasilnya antara penggarap dengan yang berhak atas

tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama. Perjanjian bagi

hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak

Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok.

Akibat adanya gejolak ekonomi yang tak menentu seperti saat ini,

menyebabkan pabrik–pabrik besar yang semula bisa menampung para tenaga

Page 16: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

kerja, tidak bisa melanjutkan usahanya lagi. Hal ini menimbulkan adanya

pengangguran disana sini banyak orang saling berburu pekerjaan. Tidak adanya

lahan pekerjaan dikota besar menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari

kota ke desa, mereka kembali menekuni pekerjaan bercocok tanam. Tetapi karena

tidak punya lahan pertanian sendiri maka hanya merupakan penggarap tanah

pertanian tersebut. Namun demikian tidak pula terlepas dari sejumlah kondisi

ekonomi seperti kekurangan modal, tersedianya buruh tani dalam jumlah yang

cukup banyak, artinya cadangan tenaga kerja di sektor pertanian yang cukup

(AMPA Scheltema, 1985:17).

Karena tanah yang tersedia untuk dibagikan hasilnya tidak seimbang

dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka dikomersilkan dan

saling terdapat unsur–unsur pemerasan terhadap para penggarap. Maka untuk

melindungi pihak yang lemah dan untuk meningkatkan taraf hidup petani

penggarap, dikeluarkanlah Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang

Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam hal ini terdapat ketentuan–

ketentuan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka

waktunya pembagian bagi hasil tanahnya serta hak–hak dan kewajiban pemilik

tanah dan petani panggarap. Ketentuan yang mana untuk menghindari keragu–

raguan dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena perselisihan antara

pemilik tanah dengan petani penggarap. Adapun maksud diadakannya Undang–

Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah :

a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas

dasar yang adil.

b. Dengan menegaskan hak dan kewajiban pemilik dan penggarap, agar terjamin

kedudukan hukum penggarap.

c. Adanya pembagian yang adil dan terjaminnya kepastian hukum para pihak,

akan tercipta iklim yang kondusif yang memungkinkan peningkatan produksi

pertanian.

Negara Indonesia yang 80 % dari penduduknya masih memperoleh

penghasilan dari sektor pertanian adalah wajar apabila Indonesia mengatur

perjanjian bagi hasil, yaitu dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960.

Page 17: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Adapun tujuan utama dari Undang–Undang Perjanjian Bagi Hasil adalah untuk

memberikan kepastian hukum kepada Petani Penggarap, sungguhpun tidak ada

niat untuk memberikan perlindungan yang berlebihan terutama pada penggarap

tanah atau tuna kisma tersebut. Sehingga Undang–Undang itu sendiri bertujuan

untuk menegakkan hak–hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik

(AP. Perlindungan, 1989:13).

Dari hal–hal tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti aspek

keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang ada di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik

untuk menyusun skripsi dengan judul :

ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH

PERTANIAN DI DESA SEDAH KECAMATAN JENANGAN

KABUPATEN PONOROGO .

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan

masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan

gambaran yang jelas dan pemahaman terhadap permasalahan serta tujuan yang

dikehendaki.

Dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Bentuk, Lamanya Jangka Waktu, Dan Berakhirnya Perjanjian Bagi

Hasil Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo Sudah Sesuai Dengan Peraturan Perundang–Undangan ?

2. Apakah Imbangan Pemilik Tanah Dan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi Hasil

Tanah Pertanian Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

Sudah Memenuhi Unsur Keadilan ?

Page 18: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui mekanisme jalannya perjanjian bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang

berlaku.

b. Untuk mengetahui aspek keadilan pada perjanjian bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan

penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian,

khususnya aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di

Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

c. Untuk meningkatkan serta mendalami materi kuliah yang diperoleh di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat

diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi pengembang ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pada

khususnya terutama Hukum Administrasi Negara tentang aspek keadilan

dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan

Page 19: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Jenangan Kabupaten Ponorogo yang bisa bermanfaat bagi penelitian–

penelitian ilmu hukum selanjutnya.

b. Mendapatkan suatu saran dan kritik yang diharapkan dapat digunakan oleh

almamater dalam mengembangkan bahan perkuliahan yang telah ada.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat membantu penulis dalam memahami tentang

aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

b. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi para Perangkat

Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dalam konteks

penanganan, penanggulangan, dan peninjauna mengenai aspek keadilan

dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan

Jenangan Kabupaten Ponorogo.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau

konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi

(Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif atau hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau sumber penelitian sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun

secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannnya

dengan masalah yang diteliti.

Page 20: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilalukan oleh penulis bersifat perskriptif dan terapan.

Ilmu hukum yang bersifat perskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai

keadilan, validitas suatu aturan, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.

Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuan-

ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum (Peter Mahmud

Marzuki,2005:22)

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum mempunyai beberapa macam pendekatan, pendekatan-

pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-

undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,2005:93).

Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan undang-

undang (statue approach) dilakukan dengan melakukan studi mengenai keadilan

dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,

Kabupaten Ponorogo.

4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum

Jenis data hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan

oleh penulis adalah data hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki pada

dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan

adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri atas perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud

Marzuki,2005:141)

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi hasil

Page 21: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Tanah Pertanian dan undang-undang lain yang berkaitan dengan isu

hukum dalam penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan peradilan (Peter

Mahmud Marzuki,2005:141)

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah

buku-buku, artikel, internet, jurnal hukum dan sumber lain yang

berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian merupakan hal yang sangat

penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan

dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka baik dari

media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorikan menurut jenisnya.

Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut diatas disebut studi pustaka dan

disertai konfirmasi pada pemilik tanah dan penggarap tanah.

6. Teknik Analisis

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif

dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan menggunakan

silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola penalaran deduktif, yaitu

cara berfikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti

menghadirkan objek yang akan diteliti yang digunakan untuk menarik kesimpulan

terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara pengelolaan bahan hukum

dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny

Ibrahim, 2006:393).

Page 22: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memudahkan penulisan hukum ini, sistematika yang digunakan

penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori

yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti serta kerangka

pemikirannya, antara lain membahas mengenai Perjanjian Bagi Hasil

Tanah Pertanian, hak dan kewajiban antara pemilik tanah dan

penggarap tanah sesuai yang diatur dalam Undang–undang Nomor 2

Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian dan

pembahasan sebagai jawaban atas perumusan masalah yaitu, apakah

bentuk, lamanya jangka waktu, dan berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil

Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo Sudah sesuai dengan Peraturan Perundang–Undangan. Dan

apakah imbangan pemilik tanah dan penggarap dalam Perjanjian Bagi

Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo sudah memenuhi unsur keadilan.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditujukan pada

pihak-pihak terkait dengan permasalahan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 23: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Menurut Hukum Adat.

a. Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian.

Perjanjian bagi hasil pada pada mulanya tunduk pada ketentuan–

ketentuan hukum adat. Hak dan kewajiban masing–masing pihak, yaitu

pemilik tanah maupun penggarap ditetapkan atas dasar kesepakatan

berdua, dan tidak pernah diatur secara tertulis. Besarnya bagian yang

menjadi hak masing–masing pihakpun tidak akan keseragaman antara

daerah yang satu dengan daerah yang lain (Urip Santoso, 2005:139).

Praktek pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di

Indonesia sudah berlangsung sejak dulu. Adapun yang menjadi latar

belakang terjadinya perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah adanya

ketimpangan di dalam pemilikan dan pengusahaan tanah pertanian. Di satu

pihak terjadi penumpukan pemilikan tanah pertanian bagi golongan

penduduk tertentu (yang biasa disebut dengan tuan tanah), sehingga

mereka tidak mampu atau tidak sanggup mengerjakan sendiri tanahnya.

Sedangkan di lain pihak banyaknya petani yang tidak mempunyai tanah

pertanian (kurang dari satu hektar). Untuk itulah para tuan tanah ini

menyuruh golongan petani tersebut untuk mengerjakan tanahnya yang

sangat luas, dengan perjanjian bila panen tiba, para penggarap harus

menyerahkan sebagian hasil panen kepada pemilik tanah yang

bersangkutan.

Sebab-sebab adanya penumpukan tanah ini antara lain merupakan

salah satu akibat dari politik penjajahan, dimana tanah-tanah pertikelir

yang semula milik negara dijual kepada pengusaha swasta guna

mendapatkan uang untuk membiayai kepentingan negara yang dalam

Page 24: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

suasana perang. Disamping itu penumpukan tanah juga terjadi karena

pemerintah Belanda pada waktu itu memungut pajak tanah (Landrente)

yang cukup tinggi kepada rakyat yang mempunyai tanah. Dengan

demikian bagi mereka yang tidak mampu membayarnya terpaksa harus

menjual tanah. Hal ini meyebabkan tanah pertanian menumpuk pada

beberapa orang kaya saja.

Akibat selanjutnya, petani-petani yang tidak memiliki tanah ini

dimana mereka hanya bekerja menggarap tanah pertanian milik orang lain

demi kelangsungan hidupnya, dengan cara bagi hasil (S. Gautama,

1973:16).

Selain sebab-sebab seperti tersebut di atas, perjanjian bagi hasil

ini bisa terjadi juga kerena semakin menipisnya hak pertuanan di daerah-

daerah tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah-tanah

persekutuan tersebut tidak dikerjakan oleh anggota persekutuan, sehingga

memungkinkan orang lain di luar anggota persekutuan untuk mengerjakan

tanah persekutuan tersebut.

Kemudian di dalam bukunya Surojo Wignjodipuro, S.H.

dikemukakan mengenai :

“Hak menggunakan tanah atau hak memunggut hasil tanah hanya untuk satu tahun panen saja, berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh)” (Surojo Wignjodipuro, 1973:245).”

Sebab lain yang dapat mengakibatkan menipisnya hak pertuanan

adalah karena raja-raja jaman dulu memberikan tanah bengkok kepada

pegawai rendahan tanpa mengingat adanya hak pertuanan. Dengan

menipisnya hak pertuanan, maka hak perseorangan dapat terjadi semakin

kuat (Imam Sudiyat, 1981:3).

Page 25: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

b. Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

1) Istilah Perjanjian Bagi Hasil tanah Pertanian

Dikemukanakan dalam buku Imam Sudiyat adalah sebagai berikut :

“Istilah perjanjian bagi hasil tanah pertanian berbeda-beda di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Jawa Tengah disebut maro, mertelu, mrapat; di Sunda disebut nengah, jujuran; di Sulawesi Selatan disebut tesang; di Minangkabau disebut memperdui; di Minahasa disebut toyo. Penyebutan istilah didasarkan atas sistim pembagian hasilnya” (Imam Sudiyat, 1981:37).

2) Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya memukakan :

“Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut Penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang bertindak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama (Boedi Harsono, 1999:118)”

Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk

dibagi dua, di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan,

mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut

thesang-tawadua untuk dibagi dua, di Bali nandu, telon, ngemepat-

empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal dengan maro,

mertelu, mrapat, dan seterusnya. Secara umum, bagi hasil

didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik

tanah dan penggarap tanah yang besepakat untuk melakukan

pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang

disebut “deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan

tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300

SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil terhadap dua unsur produksi, modal

dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto

(kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian sewa, maka

Page 26: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha (Syahyuti, 2004 :

162).

Perjanjian bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum

Adat, maka pelaksanaannya pun tidak terlepas dari pengaruh hukum

adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Menurut aturan hukum

adat imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua

belah pihak, yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak

Penggarap.

Dalam tata hukum pertanahan jaman dulu masih diatur

oleh hukum adat, di mana pada waktu timbul berbagai hak atas tanah

pertanian. Antara lain hak menikmati hasil, hak pakai dan hak

menggarap tanah pertanian. Hak menggarap tanah pertanian

merupakan perpaduan antara hak pakai dan hak menikmati hasil. Hak

menggarap tanah pertanian adalah suatu hak yang dapat diperoleh

baik oIeh warga persekutuan hukum sendiri, maupun orang yang

bukan anggota persekutuan, untuk mengolah sebidang tanah selama

satu atau beberapa kali panen. Atas ijin dari pemimpin persekutuan

atau pemilik tanah yang bersangkutan.

Dari hak atas tanah ini timbul berbagai transaksi yang

bersangkutan dengan tanah, antara lain transaksi perjanjian bagi hasil.

Dalam transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai

hubungan dengan tanah. Obyek transaksi bagi hasil adalah tenaga

kerja dan tanaman. Jadi meskipun perjanjian bagi hasil ini dapat

digolongkan kedalam perjanjian atau transaksi yang berhubungan

dengan tidak dapat disebut sebagai perjanjian yang berobyek tanah (B.

Ter Haar, 1994:105).

Dalam perjanjian bagi hasil tidak terjadi peralihan hak

milik atas tanah, yang terjadi adalah penggarapan tanah oleh

seseorang atau beberapa orang penggarap, dimana hasil dari panenan

Page 27: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

nanti dibagi antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik dan pihak

penggarap.

Perjanjian bagi hasil melibatkan dua orang yang di satu

pihak pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya

tetapi ingin memproduktifkannya, sedang dilain pihak sesama warga

masyarakat bersedia menggarap tanah tersebut dengan perjanjian hasil

tanah dibagi dua dengan perbandingan yang sudah ditentukan

sebelumnya.

Perjanjian bagi hasil ini tidak hanya dibuat oleh pemilik

tanah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh penyewa tanah, pembeli

gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, atau pemegang tanah

jabatan. Dalam perjanjian bagi hasil ini merupakan berkedudukan

sebagai pihak pemilik tanah.

c. Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Menurut B. Teer Haar sifat-sifat/ciri-ciri perjanjian bagi hasil, yaitu :

1) Untuk sahnya perjanjian bagi hasil tersebut tidak membutuhkan bantuan

dari kepala desa;

2) Untuk terbentuknya perjanjian bagi hasil ini, juga tidak memerlukan

adanya akta;

3) Perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, dapat dibuat oleh:

a) Pemilik tanah.

b) Pembeli gadai.

c) Pembeli tahunan.

d) Pemakai tanah kerabat.

e) Pemegang tanah jabatan.

4) Tidak ada pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi pembagi

hasil atau dapat menjadi penggarap (B. Ter Haar, 1960:37 - 38).

Page 28: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

d. Sistem pembagian hasil.

Mengenai sistem pembagian yang biasa digunakan di Daerah Jawa

Page 29: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

dapat pula terjadi perjanjian bagi hasil berlangsung secara turun temurun

dari penggarap pertama kepada ahli warisnya. Atau sebaliknya, dari

pemilik tanah yang pertama kepada pemilik tanah berikutnya.

Meskipun demikian kenyataan tersebut tidak menutup

kemungkinan bagi pemilik tanah untuk memutuskan perjanjian bagi hasil.

Hal ini bisa terjadi apabila pihak penggarap tidak melaksanakan

kewajibannya seperti yang telah disepakati semula pada waktu perjanjian.

Dengan kata lain perjanjiian bagi hasil itu tetap berlangsung selama tidak

ada konflik diantara para pihak, yaitu pemilik tanah dan penggarap.

2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

a. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960.

Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa hak usaha bagi hasil

disebut daIam Pasal 53 UUPA. Dimana pasal mengatur tentang hak-hak

atas tanah yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud oleh Pasal 16

ayat (1) huruf (h) UUPA. Karena hak usaha hasil bagi ini termasuk sebagai

hak yang sifatnya sementara, maka dalam waktu singkat hal tersebut harus

dihapuskan. Hal ini disebabkan hak jiwa UUPA dan ketentuan yang ada

dalam pasal 10 ayat (1) yang tidak menghendaki adanya pemerasan

manusia atas manusia. Selama hak usaha bagi hasil ini belum dihapus,

harus ada tindakan-tindakan yang bersifat membatasi sifat-sifat hak usaha

bagi hasil ini yang pada dasarnya bertentangan dengan UUPA. Sehingga

meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini undang-undang yang

sudah ada sebelum berlakunya UUPA namun demikian undang-undang

tersebut dapat dianggap sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 53

UUPA. Oleh karena itu Pasa1 53 UUPA bisa dianggap sebagai dasar

hukum dari Undang-Undang Nomor 2 1960.

Page 30: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, rnaka telah dikeluarkan beberapa

peraturan pelaksanaannya yaitu :

1) Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK. 322 Ka/1960, tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Peraturan ini

diadakan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang membutuhkan petunjuk

pelaksanaan.

2) Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964,

tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian

Bagi Hasil. Peraturan ini menetapkan perimbangan khusus mengenai

besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik

tanah dalam hal melanggar ketentuan-ketentuan tentang perimbangan

bagi hasil yang telah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.

3) Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964, tentang pedoman

Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil. Tujuan diadakannya peraturan

ini adalah untuk menyederhanakan dan menyempurnakan peraturan-

peraturan pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang telah ada, guna

mengintensifkan pelaksanaan bagi hasil.

4) Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980, tentang Pedoman

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Instruksi

Presiden ini dikeluarkan dalam rangka usaha menertibkan dan

meningkatkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960,

sesuai dengan perkembangan masyarakat tani dan kemajuan tehnologi

serta sarana pengusahaan tanah untuk produksi pangan.

5) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian

Nomor 211 Tahun 1980, Nomor 714/Kpts/Um/p/1980, tentang

Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980.

Page 31: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Ketentuan ini merupakan petunjuk pelaksanaan dari Instruksi Presiden

Nomor 13 Tahun 1980.

Menurut M. Islam Akanda Aminul, Hiroshi Isoda dan Ito

Shoichi, dalam Jurnalnya tentang Problem of Sharecrop Tenancy

System in Rice Farming in Bangladesh, menyatakan bahwa :

“The 1984 Land Reform Act in Bangladesh fixed land rent for sharecropping tenants at 33% of harvest yield without input sharing and at 50% with 50% of input sharing. This positively influenced expansion of HYV rice farming. However, the returns for tenants fell over time because of a gradual increase in input prices and wages. This research analysed the present distribution of returns in the dominant rice farming area in Bangladesh. A field survey was conducted in an advanced rice farming village where sharecropping was practiced. There was semi feudalism in the tenancy market with landowners earning more from sharecropping than they could from cash renting. Land-rich farmers often cultivated only a small part of their cultivable land and rented out most of it. The existing economic structure did not fairly balance the returns between tenants and landowners. This study suggested the need to reset the land rent at 20% of harvest yield without input sharing and at 40% with input sharing, to protect land-poor tenants”.

“Tahun 1984 Reformasi Tanah Undang-Undang di Bangladesh sewa lahan tetap untuk penyewa bagi hasil sebesar 33% dari hasil panen tanpa berbagi pendapatan dan sebesar 50% dengan 50% dari berbagi pendapatan. Hal positif ini dipengaruhi perluasan usaha tani padi VU (Varietas Unggul). Namun, kembali untuk penyewa turun dari waktu ke waktu karena bertahap kenaikan harga input dan upah. Penelitian ini dilakukan analisis distribusi, kini kembali dalam lokasi budidaya padi dominan di Bangladesh. Sebuah survei lapangan dilakukan dalam pertanian padi maju desa di mana bagi hasil dipraktekkan. Ada feodalisme semi di pasar persewaan dengan pemilik tanah penghasilan lebih dari bagi hasil dari yang mereka dapat dari menyewakan tunai. Tanah petani kaya sering dibudidayakan hanya sebagian kecil dari tanah yang bisa diolah mereka dan disewakan sebagian besar. Yang ada struktur ekonomi tidak cukup menyeimbangkan kembali antara penyewa dan pemilik tanah. Studi ini menyarankan harus me-reset sewa tanah sebesar 20% dari hasil panen tanpa berbagi masukan dan

Page 32: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

di 40% dengan berbagi masukan, untuk melindungi-miskin penyewa tanah (M. Islam Akanda Aminul, 2008:1)”.

b. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 1, yang

dimaksud dengan tanah adalah tanah yang biasanya digunakan untuk

menanam bahan makanan, sedangkan yang dimaksud dengan hasil tanah

adalah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap, setelah

dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak, biaya untuk menanam

dan panen.

Pengertian perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah suatu perjanjian dengan

nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah disatu pihak dan

seseorang atau badan hukum di lain pihak, yang dalam undang-undang ini

disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan

oleh pemilik tanah untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah

pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

Pihak penggarap dan pemilik tanah dalam perjanjian bagi hasil

ini berkedudukan sebagai subyek perjanjian, yaitu sebagai pihak-pihak

yang mengadakan perjanjian bagi hasil tersebut. Subyek perjanjian bagi

hasil ini dapat diperinci lagi menjadi dua unsur pokok yaitu :

1) Seseorang (petani) yang secara individual melakukan perjanjian bagi

hasil. Bila sebagai pemilik, maka ia adalah seseorang yang

berdasarkan suatu hak, menguasai sebidang tanah. Pihak pemilik

tanah saja, melainkan dapat juga sebagai pemegang gadai dan

penyewa. Bila sebagai penggarap, maka ia adalah seseorang baik yang

mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah, yang mata

pencarian pokoknya adalah mengusahakan atau mengerjakan tanah

untuk pertanian. Untuk petani penggarap ini, menurut pasal 2 Undang-

Undang Tahun 1960 ada ketentuan-ketentuan khusus, yaitu ia boleh

melakukan perjanjian bagi hasil bila tanah garapannya lebih dari tiga

Page 33: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

hektar, maka yang bersangkutan harus mendapat ijin dari Menteri

Muda Agraria atau pejabat yang ditujukan olehnya. Menurut

Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960, pejabat

tersebut adalah Camat.

2) Badan hukum yaitu suatu bentuk organisasi, atau kumpulan yang

didirikan berdasarkan hukum yang berlaku, terdiri dari sekelompok

orang, yang secara bersama melakukan perjanjian bagi hasil. Jika

sebagai pemilik, ia adalah badan hukum yang berdasarkan suatu,

menguasai sebidang tanah. Apabila sebagai penggarap, dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ditentukan bahwa pada

asasnya badan hukum dilarang menjadi penggarap. Akan tetapi ada

pengecualian terhadap ketentuan tersebut dimungkinkan, yaitu

dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Menurut Keputusan Menteri Muda Agraria Nomor SK 322/Ka/1960,

pejabat tersebut adalah Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.

c. Obyek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Obyek perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah tenaga kerja

dan tanaman. Yang dimaksud tenaga kerja adalah tenaga seseorang yang

dipakai untuk mengolah tanah pertanian yang diperjanjikan itu, sehingga

saat panen. Sedangkan yang dimaksud tanaman disini adalah tanaman

yang berumur pendek, seperti padi, tebu, jagung, dan sebagainya, dimana

dapat dinikmati segera hasilnya, baik oleh pemilik tanah maupun

penggarap.

d. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Bentuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 harus dibuat secara tertulis dihadapan

kepala desa. Perjanjian tersebut sendiri oleh pemilik tanah dan penggarap

dengan disaksikan oleh dua orang saksi, masing-masing dari pihak pemilik

tanah dan penggarap. Setelah semua surat perjanjian bagi hasil itu dibuat

Page 34: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

dihadapan kepala desa yang wilayahnya meliputi tanah yang

dibagihasilkan, surat tersebut selanjutnya disahkan oleh Camat, kemudian

diumumkan dalam rapat desa oleh kepala desa. Selanjutnya dimasukkan ke

dalam buku register untuk dilaporkan kepada Bupati/Kepala Daerah

Tingkat II yang bersangkutan.

Agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1960 ditaati dan dijalankan oleh semua pihak, maka bagi

mereka yang melanggar ketentuan yang ada dalam surat perjanjian bagi

hasil, kepala desa atas pengaduan salah satu pihak, berwenang

memerintahkan ditaatinya ketentuan yang telah mereka sepakati bersama.

Jika pemilik dan atau penggarap tidak mengindahkannya, maka masalah

tersebut diajukan kepada Camat untuk mendapatkan keputusan yang

mengikat kedua belah pihak (hal inl sesuai dengan yang tercantum dalam

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Surat perjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut dibuat

rangkap dua, satu untuk pemilik tanah dan satu untuk penggarap, surat asli

disimpan di Kelurahan (diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria

Nomor 4 Tahun 1964). Demikian masing-masing pihak baik pemilik

maupun penggarap mempunyai alat bukti bahwa antara mereka telah ada

kesepakatan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil berikut syarat-

syaratnya. Dari uraian ini, jelaslah bahwa maksud adanya ketentuan yang

menentukan perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan

kepala desa setempat adalah untuk menghindari keragu-raguan yang

mungkin dapat menimbulkan perselisihan mengenai hak dan kewajiban

para pihak, mengenai jangka waktu perjanjian, imbangan pembagian hasil

dan sebagainya. Sebab didalam surat perjanjian, imbangan pembagian

hasil serta hal-hal lain yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Disamping itu pembuatan perjanjian secara tertulis ini juga akan

memudahkan pengawasan secara preventif terhadap adanya perjanjian

bagi hasil itu.

Page 35: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

e. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Jangka waktu atau lamanya perjanjian diatur dalaml Pasal 4

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa :

1) Perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan

didalam surat perjanjian bagi hasil. Dengan ketentuan bahwa untuk

tanah sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan untuk tanah kering

sekurang-kurangnya lima tahun.

2) Dalam hal-hal khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda

Agraria, Camat dapat mengijinkan diadakannya perjanjian bagi hasil

dengan jangka waktu kurang dari ketetapan umum yaitu untuk tanah

yang biasanya dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.

3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil, diatas tanah yang

bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen,

maka perjanjian tersebut berlaku terus sampat tanaman itu dapat

dipanen. Tetapi perpanjangan itu tidak boleh lebih dari satu tahun.

Perpanjangan ini cukup diberitahukan kepada kepala desa setempat,

tidak perlu harus mengadakan perjanjian baru.

Yang dimaksud “tahun” disini adalah tahun tanaman, bukan

tahun kalender. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu ini

maka penggarap akan memperoleh tanah garapan dalam waktu yang layak,

sehingga penggarap upayanya guna mendapatkan hasil yang semaksimal

mungkin. Hal ini jelas akan membawa keuntungan pula bagi pemilik

tanah, karena bagian hasil yang diterimanya juga akan bertambah banyak.

Untuk sawah ditentukan jangka waktu tiga tahun dengan

pertimbangan bila tanah tersebut berupa sawah dan pengelolaannya

dengan menggunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang ditanam pada

tahun pertama, maka daya pupuk ini baru bekerja dan baru dapat dirasakan

oleh tanaman pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun ketigapun

pengaruh pupuk pada tanaman dimungkinkan masih ada. Sedang untuk

Page 36: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

tanah kering diberi batas minimum lima tahun, karena pada tanah kering

sebelum ditanami harus diperbaiki dahulu keadaan tanahnya. Sehingga

waktu lima tahun untuk tanah kering dipandang cukup layak sebagai batas

minimum untuk mengadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

f. Imbangan Pembagian Hasil.

Maksud daripada pembagian hasil tanah adalah pembagian hasil

panen dari tanaman yang menjadi obyek perjanjian bagi hasil. Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 tidak menyebutkan secara tegas angka

imbangan pembagian hasil. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor,

antara lain proses perkembangan masyarakat desa masih berjalan terus.

Sehingga kadang peraturan yang ada dalam undang-undang sudah tidak

sesuai lagi untuk diterapkan dalam kejadian yang ada dalam masyarakat

yang berkembang. Faktor penyebab yang lain adalah karena kesuburan

tanah dan kepadatan penduduk yang dalam perjanjian bagi hasil dapat

dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan besar kecilnya

bagian pemilik dan penggarap. Sehubungan dengan hal itu tidak mungkin

diterapkan secara umum angka pembagian yang cocok bagi seluruh daerah

di Indonesia, yang dirasakan adil oleh masing-masing pihak yang

mengadakan perjanjian bagi hasil. Oleh karena itu, penetapan angka

imbangan itu diserahkan kepada Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang

bersangkutan, karena para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II ini telah

mengetahui tentang faktor-faktor ekonomis dan keadaan setempat,

keadaan daerahnya beserta perkembangannya, daripada pembentuk

undang-undang. Penerapan angka imbangan ini setiap kali dapat diubah,

yaitu setiap tiga tahun.

Meskipun tidak menyebutkan secara tegas berapa besar

bagiannya, tetapi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 7 dikatakan

bahwa besamya hasil tanah yang diperoleh dan yang menjadi hak

penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah tingkat II yang bersangkutan

ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan,

Page 37: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

dengan memperlihatkan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan

penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor

ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 berikut penjelasannya inilah yang menjadi

pedoman bagi para Bupati/Kepala Daerah Tingkat II daiam melaksanakan

wewenangnya untuk menetapkan angka imbangan pembagian hasil tanah.

Dengan perumusan yang fleksibel, yang akan menampung keadaan-

keadaan khusus daerah demi daerah, sebagaimana halnya Pasal 7 ini, maka

undang-undang ini memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan

penggarap 1 : 1, yaitu untuk padi yang ditanam di sawah.

Untuk tanaman palawijo di sawah dan untuk tanaman di tanah

kering bagian penggarap adalah 2 : 3 dan pemilik 1 : 3. Untuk daerah-

daerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak

penggarap, akan tetap digunakan.

Hasil akan dibagi antara pemilik dan penggarap adalah hasil

bersih, yaitu bruto (hasil kotor) setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit,

pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen.

Biaya-biaya tersebut dipikul bersama oleh kedua belah pihak.

Sedang biaya-biaya berupa tenaga, baik dari penggarap sendiri maupun

tenaga buruh tidak termasuk golongan biaya yang dikurangkan dari hasil

kotor, karena biaya itu merupakan andil dari pihak penggarap itu sendiri

dalam mengadakan perjanjian bagi hasil. Mengenai zakat harus disisihkan

dari bruto yang mencapai nisab (untuk padi besarnya 14 kwintal). Hal ini

berarti bahwa hasil padi yang kurang dari 14 kwintal tidak terkena zakat.

Hal ini berlaku untuk orang-orang yang memeluk agama Islam.

Menurut Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri

Dalam Negeri Nomor 211 Tahun 1980 bagian kedua, besarnya imbangan

bagian hasil tanah yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam di sawah. Yang

ditetapkan dengan pedoman sebagai berikut:

Page 38: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

1) Ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan usul

dan pertimbangan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan serta instansi-

instansi yang bidangnya berkaitan dengan kegiatan usaha produksi

pangan dan pengurus organisasi tani yang ada di daerahnya, dengan

terlebih dahulu mendengar usul dan pertimbangan kepala desa dengan

Lembaga Musyawarah Desa atau Kepala Kelurahan dengan Lembaga

Ketahanan Masyarakat Desanya.

2) Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga

tanam, dan panen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf d

natura padi gabah, sebesar maksimum 25% dari hasil kotor yang

besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam

daerah tingkat II atau Kecamatan yang bersangkutan, atau dalam

bentuk rumus sebagai berikut :

Z = 1/4 X

Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen,

dan tanam.

X= Hasil kotor (Boedi Harsono, 1986 : 833 – 834).

3) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap tidak melebihi hasil produksi

rata-rata Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan

oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka

hasil kotor setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga

ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus butir b

diatas, dibagi dua sama besar antara pemilik dan penggarap atau

dalam bentuk rumus :

Rumus I

Hak penggarap = hak pemilik

X – Z X – 1 / 4 X

------ = -------------

2 2

Page 39: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

4) Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata

Daerah Tingkat II atau Kecamatan sebagai yang ditetapkan oleh

Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan, maka

besarnya bagian yang menjadi hak pemilik dan penggarap adalah

sebagai berikut :

d. 1. Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi

menurut rumus :

X – Z X – 1/4 X

----- = ----------- (rumus I) (Budi Harsono, 1986 : 834 )

2 2

d. 2. Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara

penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian untuk penggarap

dan 1 bagian untuk pemilik atau dengan bentuk rumus sebagai berikut:

Rumus II

Y – Z 4(X – Y)

Hak penggarap = ------ + ---------

2 5

Y – 1 / 4 X 4 (X – Y)

= ----------- + ------------

2 5

Y – 1 / 4 X (X – Y)

= ------------ + ----------

2 5

Dimana Y = Hasil produksi rata-rata Daerah Tingkat II atau

Kecamatan yang bersangkutan (Budi Harsono, 1986 : 834)

5) Jika suatu daerah, bagian yang menjadi hak penggarap pada

kenyataannya lebih besar dari pada yang ditentukan dalam rumus I

dan II diatas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih

menguntungkan penggarap.

Page 40: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

g. Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap.

Perjanjian bagi hasil bersifat mengikat kedua belah pihak dan

menimbuIkan hak dan kewajiban bagi para pihak, baik itu penggarap

maupun pemilik.

Kewajiban pemilik tanah antara lain :

1) Menyerahkan tanah yang bersangkutan untuk diusahakan oleh

penggarap (Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Membayar pajak tanah tersebut.

Kewajiban ini bisa beralih kepada penggarap, bila tanah yang

dikerjakan adalah tanah milik penggarap sendiri, atau dengan kata lain

penggarap ini adalah pemiiik tanah yang sebenarnya (Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960).

3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi

perjanjiian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960).

Sedangkan hak pemilik adalah :

1) Mendapatkan sebagian dari hasil tanah yang dibagihasilkan menurut

imbangan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasal 1 huruf c Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Berhak menuntut diputuskannya perjanjian bagi hasil sebelumnya

berakhir jangka waktu perjanjian dalam hal penggarap tidak

memenuhi hal-hal yang telah disetujui dalam perjanjian (Pasal 6 ayat

(1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Adapun Kewajiban penggarap adalah :

1) Mengusahakan tanah garapan sebaik-baiknya (Pasal 1 huruf c

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang menjadi hak dari pemilik

(Pasal 1 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Page 41: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

3) Memenuhi segala hal yang menjadi tanggungannya sesuai dengan isi

perjanjian (Penjelasan Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960).

4) Jika jangka waktu perjanjian habis, ia wajib menyerahkan kembali

tanah yang dikerjakan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik,

dalam arti keadaan yang tidak merugikan pemilik sesuai dengan

keadaan dan ukuran setempat.

5) Tidak boleh mengalihkan tanah garapan tersebut dalam bentuk apapun

kepada pihak lain tanpa seijin pemilik tanah. Hal ini karena perjanjian

bagi hasil, hubungan antara pemilik dengan penggarap tanah

merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Namun lain

halnya bila penggarap meninggal dunia, kewajiban penggarap tanah

bisa beralih kepada ahli warisnya, Karena hal ini merupakan jaminan

khusus bagi penggarap (Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1960).

Hak-hak dari penggarap tanah antara lain:

1) Berhak mengusahakan tanah yang bersangkutan (Pasal 1 huruf c

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960).

2) Berhak menerima sebagian hasil tanah, sesuai dengan imbangan

pembagian hasil yang ditetapkan bagi daerah (Pasal 1 huruf c Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960).

Hak dan kewajiban para pihak ini haruslah dijalankan dengan

seimbang, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa

dirugikan.

h. Peralihan dan Hapusnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Hak usaha bagi hasil tidak akan hapus dengan berpindahnya hak

milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. Dalam hal ini, hak-

hak dan kewajiban pemilik lama beralih kepada pemilik yang baru. Dan

apabila penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu

Page 42: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

Dalam hal pemilik yang meninggal, diperlukan pembaruan perjanjian

dengan pemilik yang baru, hal mana akan tergantung pada kesediaan

pemilik baru. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 beserta penjelasanya. Ketentuan ini kurang memberi

jaminan bagi penggarap, karena sewaktu-waktu hak penggarap untuk

menggarap tanah hilang, akibat meninggalnya pemilik tanah, bila pemilik

tanah yang baru tidak bersedia melanjutkan perjanjian bagi hasil.

Meskipun begitu ketentuan dalam pasal ini memberi jaminan

bagi penggarap, bahwa perjanjian bagi hasil itu akan tetap berlangsung

selama waktu yang telah ditentukan, meskipun tanahnya oleh pemilik telah

dipindahkan ke tangan lain. Karena pemutusan perjanjian oleh pemilik

baru sebelum jangka waktu berakhir hanya dimungkinkan dalam hal-hal

seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960, yaitu :

1) Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan setelah mereka

laporkan kepada kepala desa.

2) Atas ijin kepala desa setempat atas tuntutan pihak pemilik tanah. Jadi

pemilik tanah menuntut pemutusan perjanjian bagi hasil, jika ternyata

kepentingannya merasa dirugikan oleh penggarap, yaitu dalam hal:

a) Penggarap tanah tidak mengusahakan tanah garapan dengan

sebagaimana mestinya.

b) Penggarap tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan

sebagian hasil dari tanah yang telah disepakati bersama kepada

pemilik.

c) Penggarap tidak memenuhi beban-beban yang menjadi

tanggungannya, yang telah disetujui dalam surat perjanjian.

d) Penggarap tanpa ijin pemilik tanah, mengalihkan pengusahaan

tanah kepada pihak lain.

Page 43: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Kepala desa memberi ijin pemutusan perjanjian bagi hasil

dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing pihak, bila

usahanya untuk mendamaikan mereka memenuhi jalan buntu, terhadap

keputusan kepala desa ada kemungkinan banding pada instansi yang lebih

tinggi, yaitu camat. Hal ini ditempuh apabila pihak penggarap dan pihak

pemilik tanah tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh kepala

desa. Dalam memberikan keputusannya Camat akan dibantu oleh suatu

badan pertimbangan, yang akan memberikan pertimbanganya kepada

Camat, baik atas permintaan camat maupun inisiatif sendiri. Pemberian

keputusan oleh dua instansi setempat tersebut kiranya yang sebaik-baiknya

bagi kepentingan kedua belah pihak. Karena itu tidak perlu lagi campur

tangan badan-badan pengadilan. Keputusan Camat ini wajib disampaikan

kepada Bupati agar dapat diselenggarakan pengawasan yang sebaik-

baiknya.

Namun seandainya penggarap melaksanakan kewajiban-

kewajibannya dengan baik, maka perjanjian bagi hasil itu akan berakhir

setelah jangka waktu yang ditetapkan habis. Bisa juga perjanjian bagi hasil

hapus karena tanah yang diusahakan itu musnah dimana dengan sendirinya

hak usaha bagi hasil juga ikut hapus.

3. Tinjauan Umum tentang Keadilan

a. Pengertian Keadilan.

Semua kaidah hukum yang dilakukan mempunyai tujuan utama

untuk mencapai keadilan. Akan tetapi, tidak jaminan sama sekali bahwa

dengan penerapan kaidah hukum tersebut keadilan benar-benar akan

tercapai. Hal ini disebabkan, pertama, kaidah hukum itu sendiri

mempunyai sifat yang terbatas dan tidak luput dari kelemahannya karena

kaidah hukum itu sendiri merupakan ciptaan manusia. Kedua, karena di

sepanjang proses penegakan dan penerapan hukum banyak kemungkinan

terjadinya distrosi.

Page 44: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Namun, hukum yang bagus adalah hukum yang setidak-tidaknya

dapat meminimalisir sekecil mungkin bahaya dari adanya ketidakadilan.

Misalnya, ketentuan hukum pembuktian mengenai saksi yang tidak

mendengar/melihat sendiri, tidak dapat didengar sebagai saksi. Ketentuan

seperti itu tidak menjamin bahwa saksi yang mendengar sendiri akan

menjadi bukti yang baik dan benar. Namun, jika tidak dilarang

penggunaan saksi yang tidak mendengar sendiri, kemungkinan akan

munculnya kesaksian yang salah adalah lebih besar.

Menurut Henry Cambell Black yang dikutip dalam buku Munir

Fuady, mengemukakan bahwa :

“Kata “justice” dalam ilmu hukum diartikan sebagai pembagian

yang konstan dan terus menerus untuk memberikan hak setiap orang (the

constant and perpetual disposition to render every man his due) (Munir

Fuady, 2010:90).

Kata “justice” dalam beberapa hal berbeda dengan kata “equity”

tetapi dalam banyak hal di antara ke duanya berarti sama, yaitu keadilan.

Untuk kata “equity” tersebut dalam beberapa bahasa disebut sebagai

berikut.

1) Aequitas, dalam bahasa Latin.

2) Equiter, dalam bahasa Prancis.

3) Equidad, dalam bahasa Spanyol.

4) Bliligkeitsrecht, dalam bahasa Jerman (Munir Fuady, 2010:90-91).

Menurut Noah Webster yang dikutip dalam buku Munir Fuady,

mengemukakan bahwa :

Justice tersebut merupakan bagian dari sebuah nilai (value), karena itu

bersifat abstrak sehingga memiliki banyak arti konotasi. Dalam

hubungannya dengan konsep keadilan, kata justice antara lain diartikan

sebagai berikut.

1) Kualitas untuk menjadi pantas (righteous); jujur (honesty).

Page 45: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

2) Tidak memihak (impartiality); representasi yang layak (fair) atas

fakta-fakta.

3) Kualitas untuk menjadi benar (correct, right).

4) Retribusi sebagai balas dendam (vindictive); hadiah (reward) atau

hukuman (punishment) sesuai prestasi atau kesalahan.

5) Alasan yang logis (sound reason); kebenaran (rightfulness);

validitas.

6) Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan apa yang benar

(right), adil (just), atau sesuai hukum (lawful).

Sedangkan kata just antara lain diartikan sebagai berikut.

1) Tulus (upright); jujur (honest); memiliki pinsip …. (rectitude); layak

(righteous).

2) Adil (equitable); tidak memihak (impartial); pantas (fair).

3) Benar (correct, true).

4) Patut memperoleh (deserve); sesuai prestasi (merited).

5) Benar secara hukum (legally right); sesuai hukum (lawful);

kebenaran (rightful).

6) Benar (right); patut (proper).

Kemudian kata equity antara lain diartikan sebagai berikut.

1) Keadilan (justice), tidak memihak (impartial), memberikan setiap

orang haknya (his due).

2) Segala sesuatu yang layak (fair) atau adil (equitable).

3) Prinsip umum tentang kelayakan (fairness) dan keadilan (justice)

dalam hal hukum yang berlaku dalam keadaan tidak pantas

(inadequate) (Munir Fuady, 2010:91).

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :

1) Individu dengan individu lainnya;

Page 46: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

2) Individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat;

3) Individu dengan otoritas kekuasaan/Negara; dan

4) Individu dengan alam semesta (Munir Fuady, 2010:91).

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Siwi

Purwandari, mengemukanakan bahwa :

“Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, peryataan yang ditujukan pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya mencapai tujuannya yang memuaskan semua. Rindu akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduaan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukan sebagai seorang individu dan karenanya mencari dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial dinamakan ‘keadilan’ (Hans Kelsen, 2009 : 48)”.

Ketidakadilan agraria bersifat struktural, yakni didasarkan pada

produk hukum yang tidak adil, pelakunya adalah negara dan

pelaksanaannya menggunakan mekanisme kekerasan. Hal ini sudah

berlangsung lama dan mendatangkan korban di kalangan petani berupa

meluasnya kemiskinan, keterbelakangan dan penderitaan fisik (ditangkap

dan dipenjara bahkan meninggal) dan psikologis (merasa tidak bebas,

tertekan, dan tiadanya harapan). Dengan demikian, perjuangan reforma

agrarian harus dilakukan dengan pendekatan struktural, yakni

mendelegitimasi kewenangan mutlak negara, mendorong partisipasi

petani dan mengajukan alternatif kebijakan agraria yang bersendikan

keadilan, partisipatif dan demokratis. Pencapaian tujuan tersebut

ditentukan oleh terkonsolidasinya gerakan petani sebagai kekuatan

penyeimbang dan pengontrol kekuasaan negara. Penguatan organisasi

petani amat diperlukan dalam mendorong terciptanya land reform by

leverage sebagai suatu terobosan terhadap kebuntuan reforma agraria

yang didasarkan pada inisiatif negara (land reform by grace) (Roman,

2002 : 10).

Page 47: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

b. Ukuran-ukuran tentang Keadilan.

1) Ukuran Hukum Alam atau Positivisme

Ukuran hukum alam terhadap suatu keadilan akan

berlawanan dengan ukuran keadilan dari paham positivisme. Paham

keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam ini mengajarkan

bahwa suatu keadilan harus dilihat dari pandangan yang lebih tinggi

(transcendent) dari pikiran manuasia, tetapi juga dengan masih

memandang keadilan manusiawi berdasarkan atas akal sehat

(reason).

Sedangkan, keadilan menurut paham positivisme adalah

menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

Hukum positif tidak berusaha dipisahkan dengan jelas dari

keadilan, dan semakin baik usaha pembuat undang-undang agar

hukum tersebut dianggap adil bagaimanapun juga, semakin banyak

dukungan terhadap bias ideologis yang merupakan karakteristik

hukum alam klasik, konservatif (Hans Kelsen, 2009 : 50-51).

2) Ukuran Absolut atau Relatif

Ukuran lain bagi keadilan ialah apakah keadilan harus

ditempatkan pada tataran yang absolute, yang berarti keadilan yang

sama berlaku di mana saja dan kapan saja, sebagaimana yang

diajarkan baik oleh kebanyakan penganut teori hukum alam maupun

yang dianut olehh ajaran-ajaran Immanuel Kant, Kohler, atau

Stammler. Atau sebaliknya, bahwa keadilan harus ditempatkan atas

dasar yang relative yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai

perbedaan tempat atau waktu, sebagaimana yang diianut oleh keum

Relativist, seperti Roscoe Pound, Gustav Radbrugh, Jhering, dan

lain-lain

.

Page 48: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

3) Ukuran Umum atau Konkret

Selanjutnya, menjadi pertanyaan juga apakah keadilan harus

diartikan sebagai hal yang umum (universal) yang berlaku di mana

saja dan kapan saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Immanuel

Kant atau Stammler atau apakah keadilan adalah tertentu tergantung

keunikan setiap kasus, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy

Bentham, Roscoe Pound, dan lain-laiin.

4) Ukuran Metafisik atau Empiris

Ukuran metafisik (a priori, pure) dari keadilan mengajarkan

bahwa keadilan tertib bukan dari fakta di dalam masyarakat, tetapi

terbit manakala dilaksanakan hak dan kewajiban yang berdasarkan

kepada ratio manusia (pure idea) yang dikembangkan secara

deduktif. Sedangkan keadilan yang berlawanan dengan ukuran

keadilan yang matafisis ialah keadaan yang empiris, yang hanya

berdasarkan pada fakta sosial dalam kenyataannya.

5) Ukuran internal atau Eksternal

Ukuran eksternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang

tinggi (highest idea) dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk,

apapun keadilan dalam fakta-fakta sosial. Dalam hal ini, suatu

keadilan dipahami dari sudut pandang hukum alam (natural law),

utilitas, kepentingan, kehendak bebas (free will), dan sebagainya.

Sedangkan, pendekatan keadilan secara internal akan menelaah

keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

6) Ukuran Pengetahuan dan Intuisi

Dapat juga dipakai ukuran pengetahuan dan ukuran intuisi

dalam menentukan adanya keadialan. Dengan ukuran pengetahuan,

suatu keadilan diukur dari berbagai teori dalam ilmu pengetahuan,

termasuk teori keadilan distributive, kumutatif, dan korektif dari

Aristoteles.

Page 49: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Akan tetapi, suatu keadilan dapat juga diukur dengan jalan

menggunakan intuisi, berhubungan adanya “perasaan keadilan”

(sense of justice) dan “perasaan keadilan” (sense of injustice) baik

pada penerap hukum, pada pihak yang berperkara, atau pada

masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, ukuran keadilan secara

intuitif umumnya bersifat non metodologis. Sedangkan, ukuran

keadilan berdasarkan pengetahuan umumnya bersifat non intuitif

(Munir Fuady, 2010:102-103).

c. Macam-macam Keadilan.

Salah satu cara pembagian keadilan oleh filsof Aristoteles adalah

seperti yang terdapaat dalam bukunya Etika, dimana Aristoteles membagi

keadilan ke dalam dua golongan sebagai berikut.

1) Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian

kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota

masyarakat. Dengan keadilan distributive ini, yang dimaksud oleh

Aristoteles adalah keseimbangan antara apa yang didapati (he gets)

oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (he deserves).

2) Keadilan korelatif, yakni keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi

kejadian yang tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan

antara satu orrang dengan orang lainnya yang merupakan

keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan (what is given)

dengan apa yang diterimanya (what is received).

Untuk keadilan korelatif menurut Aristoteles ini, sering juga

disebut dengan istilah-istilah :

1) keadilan keseimbangan (equalizing);

2) keadilan pembentulan (rectificatoty);

3) keadilan bertukar prestasi dalam kontrak (synallagmatic); dan

4) keadilan bilateral.

Page 50: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Sebagaimana diketahui bahwa di sepanjang sejarah pemikiran

hukum, keadilan diartikan sebagai :

1) kebijakan natural (individual virtue);

2) sebagai moral, sebagaimana diajarkan oleh teori hukum alam; dan

3) sebagai suatu rezim terhadap kontrol sosial, seperti dalam istilah

admisistrasi keadilan (administrstion of justice).

Di samping itu, suatu keadilan dapat juga dibagi ke dalam :

1) keadilan natural (natural justice); dan

2) keadilan hukum (legal justice).

Kemudian, keadilan juga dapat dibagi ke dalam tiga kategori,

yaitu :

1) keadilan kumutatif;

2) keadilan distributif; dan

3) keadilan hukum (Munir Fuady, 2010:109-111).

d. Teori Keadilan tentang Hukum.

Dalam hal ini, unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk mencapai

keadilan formal, berlaku juga bagi suatu keadilan hukum. Unsur-unsur

tersebut adalah sebagai berikut.

1) Harus ada ketentuan yang mengatur bagaimana memberlakukan

manusia dalam kasus-kasus tertentu yang dihadapinya.

2) Ketentuan hukum tersebut harus jelas sasaran pemberlakuannya.

Dalam hal ini, mesti ada ketentuan yang menentukan apakah aturan

hukum tersebut berlaku untuk orang dalam semua kategori, atau

hanya berlaku untuk kategori orang tertentu saja.

3) Aturan hukum tersebut haruslah diterapkan secara tidak memihak

dan tanpa diskriminasi kepada setiap orang yang memenuhi

kualifikasi pengaturannya.

Page 51: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Di samping itu, perlu dibedakan antara pengertian-pengertian

keadilan hukum (legal justice, justice according to law), rule of law,

legalitas, dan due process. Due process berarti bahwa suatu aturan

hukum secara substantif maupun secara procedural mengandung unsur

fairness. Sementara, dengan rule of law berarti adanya keadilan jika

suatu perbuatan dilakukan sesuai hukum positif yang berlaku, tetapi

hukum positif itu sendiri secara prosedural maupun substantif juga

mengandung unsur-unsur due process. Selanjutnya, dengan pengertian

legalitas berarti semata-mata mengikuti hukum positif yang berlaku

secara sah, terlepas substansi hukum positif tersebut mengandung unsur-

unsur keadilan ataupun tidak. Kemudian, seperti telah disebutkan bahwa

dengan keadilan hukum berarti keadilan yang telah dirumuskan dalam

hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, di mana pelanggaran terhadap

keadilan ini akan ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh

pengadilan.

Jadi, keadilan menurut hukum adalah keadilan yang dilaksanakan

mengikuti aturan hukum yang berlaku dan sesuai dengan prosedur

hukum yang berlaku pula. Keadilan menurut hukum dapat dibagi ke

dalam tiga kategori, yaitu:

1) Keadilan di pengadilan (judicial justice);

2) Keadilan di parlemen (legislative justice);

3) Keadialn administratif (administrative justice).

B. Kerangka Pemikiran

Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu bentuk

perjanjian yang dilakukan oleh pemilik tanah pertanian dengan penggarap

tanah pertanian. Perjanjian ini terjadi karena pemilik tanah pertanian tidak

bisa mengelola tanah pertaniannya karena suatu hal tertentu, tetapi ia tetap

ingin mendapatkan hasil dari tanah pertanian tersebut. Maka, ia

Page 52: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

mengadakan perjanjian dengan seseorang sebagai penggarap tanah yang

akan mengelola dan menggarap tanah pertanian miliknya.

Kedua belah pihak atau subyek dari perjanjian bagi hasil ini yaitu,

pemilik tanah dan penggarap tanah disini memiliki hak dan kewajiban

masing–masing dalam hal keseimbangan mengenai pengelolaan tanah

pertanian tersebut yang menjadi obyek dari perjanjian bagi hasil ini. Di

Indonesia perjanjian bagi hasil ini diatur dalam Undang – undang Nomor 2

Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan

peraturan–peraturan pelaksanaannya.

Namun, realita yang terjadi di masyarakat luas, masih sering kita

jumpai pengelolaan tanah pertanian ini yang dilakukan menurut

Adat/Kebiasaan masyarakat setempat. Sehingga para pihak yang

melaksanakan perjanjian ini menentukan sendiri mengenai mekanisme

pelaksanaan yang terkait dengan pengelolaan tanah pertanian yang akan

dijadikan obyek perjanjian tersebut.

Di Indonesia sekarang ini, masih banyak ditemukan ketidakadilan

dalam mekanisme pelaksanaan mengenai perjanjian bagi hasil tanah

pertanian ini. Baik pada pemilik tanah maupun pihak penggarap tanah

tersebut. Yang masih perlu dipelajari agar dapat ditemukan jalan agar

tercapainya aspek keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di

Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Penulis ingin melakukan penelitian mengenai aspek keadilan

dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan

Jenangan Kabupaten Ponorogo mengenai keseimbangan antara hak dan

kewajiban pemilik tanah dan penggarap di Desa Sedah Kecamatan

Jenangan Kabupaten Ponorogo. Apakah perjanjian bagi hasil tanah

pertanian disana telah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang

ada dan apakah perjanjian bagi hasil disana sudah memenuhi unsur

keadilan. Jika unsur–unsur keadilan belum terpenuhi, maka mekanisme

perjanjian bagi hasil tanah pertanian ini perlu dilakukan pembenahan

ataupun perbaikan.

Page 53: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar : Kerangka Pemikiran

Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian

Pemilik Tanah Pertanian

Penggarap Tanah Pertanian

Hak dan Kewajiban

Undang – undang Nomor 2 Tahun 1960

tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian

Kebiasaan Masyarakat Setempat (Hukum

Adat)

Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

Aspek Keadilan

Page 54: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian Berdasarkan Letak Geogafis dan

Pembagian Wilayah di Desa Sedah Kecamatan

Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Sebelum diuraikan mengenai pelaksanaan bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, ada

baiknya lebih dahulu penulis kemukakan mengenai keadaan wilayah di

Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang diambil

sebagai sampel dalam penelitian ini.

Gambaran Umum Wilayah Penelitian.

Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Adalah salah satu desa di Kecamatan Jenangan dari 15 (lima belas) Desa

di Kecamatan Jenangan. Desa Sedah dibagi menjadi 4 (empat) Dusun/

Dukuh, yaitu :

a. Dukuh Sidorejo.

b. Dukuh Krajan.

c. Dukuh Gundi.

d. Dukuh Jasem.

Secara administratif Desa Sedah berbatasan dengan :

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pintu .

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Semanding.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit.

Desa Sedah memiliki sifat iklim tropis dengan musim hujan dan musim

kemarau siliih berganti sepanjang tahun, letak ketinggian diukur dari

permukaan air laut adalah rata-rata 120 Meter dengan curah hujan 1,930

m/ tahun dan berhari hujan sebanyak 104/ tahun.

Page 55: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Tabel 1. Luas wilayah Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten

Ponorogo.

NO. DUKUH/ DUSUN Luas Wilayah

( KM )² Persen (%)

1.

2.

3.

4.

Dukuh Sidorejo

Dukuh Krajan

Dukuh Gundi

Dukuh Jasem

46, 23

42, 67

45, 56

47, 78

25,37

23,41

25

26,22

JUMLAH 182, 240 100,00

Sumber dari Kantor Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten

Ponorogo.

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,

Kabupaten Ponorogo.

No.

Dusun/ Dukuh

Jenis Kelamin

Laki-Laki Perempuan

Jumlah

Penduduk

1.

2.

3.

4.

Sidorejo

Krajan

Gundi

Jasem

Total Jumlah

Penduduk

237 236

236 231

235 230

232 229

940 926

473

467

465

461

1.866

Sumber dari Kantor Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten

Ponorogo.

1. Monografi Dukuh Sidorejo.

a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara administratif berbatasan dengan :

Page 56: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Dukuh Krajan.

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Dukuh Gundi.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit.

b. Jumlah Penduduk.

Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/

Dusun Sidorejo Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo adalah 473 orang dengan perincian :

§ Laki – laki : 237 orang.

§ Perempuan : 236 orang.

Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 83 Kepala Keluarga.

c. Mata Pencaharian Penduduk.

§ Petani pemilik tanah 130 orang.

§ Buruh tani 155 orang.

§ Pedagang 40 orang.

§ Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 18 orang.

§ Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 13 orang.

§ Lain – lain 32 orang.

§ Ternak besar

Sapi 16 ekor.

Kerbau 0 ekor.

§ Ternak kecil

Kambing 37 ekor.

Domba 26 ekor.

Ayam Kampung 1.500 ekor.

Ayam Ras 3.000 ekor.

Ayam Potong/ Pedaging 1200 ekor.

Itik 0 ekor.

Angsa 0 ekor.

Page 57: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

d. Pendidikan Penduduk.

§ Belum sekolah 16 orang.

§ Tidak tamat SD 6 orang.

§ Belum tamat SD 27 orang.

§ Tamat SD/ Sederajat 18 orang.

§ Tamat SLPT/ Sederajat 110 orang.

§ Tamat SLTA/ Sederajat 216 orang.

§ Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 80 orang.

e. Penggunaan Tanah.

1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari :

§ Irigasi tehnis 48 ha.

§ Irigasi setengah tehnis 10 ha.

§ Irigasi sederhana 0 ha.

§ Tadah hujan/ sawah rendengan 0 ha.

§ Lain – lain 0 ha.

Jumlah seluruhnya 58 ha.

2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 21, 25 ha terdiri dari :

§ Pekarangan/ bangunan 20 ha.

§ Tegal/ kebun 1 ha.

§ Padang/ gambalaan 0 ha.

§ Tambak/ kolam 0, 25 ha.

§ Rawa – rawa 0 ha.

§ Sementara tidak diusahakan 0 ha.

2. Monografi Dukuh Gundi.

a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara administratif berbatasan dengan :

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Dukuh Krajan.

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Dukuh Jasem.

Page 58: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Sidorejo.

b. Jumlah Penduduk.

Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/

Dukuh Gundi Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

adalah 465 orang dengan perincian :

§ Laki – laki : 235 orang.

§ Perempuan : 230 orang.

Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 87 Kepala Keluarga.

c. Mata Pencaharian Penduduk.

§ Petani pemilik tanah 118 orang.

§ Buruh tani 132 orang.

§ Pedagang 34 orang.

§ Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 53 orang.

§ Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 12 orang.

§ Lain – lain 42 orang.

§ Ternak besar

Sapi 20 ekor.

Kerbau 7 ekor.

§ Ternak kecil

Kambing 25 ekor.

Domba 12 ekor.

Ayam Kampung 1.300 ekor.

Ayam Ras 0 ekor.

Ayam Potong/ Pedaging 0 ekor.

Itik 30 ekor.

Angsa 0 ekor.

d. Pendidikan Penduduk.

§ Belum sekolah 20 orang.

Page 59: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

§ Tidak tamat SD 9 orang.

§ Belum tamat SD 32 orang.

§ Tamat SD/ Sederajat 16 orang.

§ Tamat SLPT/ Sederajat 107 orang.

§ Tamat SLTA/ Sederajat 170 orang.

§ Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 60 orang.

e. Penggunaan Tanah.

1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari :

§ Irigasi tehnis 40 ha.

§ Irigasi setengah tehnis 10 ha.

§ Irigasi sederhana 5 ha.

§ Tadah hujan/ sawah rendengan 2 ha.

§ Lain – lain 0 ha.

Jumlah seluruhnya 57 ha.

2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 21, 50 ha terdiri dari :

§ Pekarangan/ bangunan 21 ha.

§ Tegal/ kebun 0, 25 ha.

§ Padang/ gambalaan 0 ha.

§ Tambak/ kolam 0, 25 ha.

§ Rawa – rawa 0 ha.

§ Sementara tidak diusahakan 0 ha.

3. Monografi Dukuh Krajan.

a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara administratif berbatasan dengan :

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Dukuh Sidorejo.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pintu.

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Panjeng.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngrupit.

Page 60: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

b. Jumlah Penduduk.

Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/

Dusun Krajan Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo adalah 467 orang dengan perincian :

§ Laki – laki : 236 orang.

§ Perempuan : 231 orang.

Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 89 Kepala Keluarga.

c. Mata Pencaharian Penduduk.

§ Petani pemilik tanah 116 orang.

§ Buruh tani 127 orang.

§ Pedagang 35 orang.

§ Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 14 orang.

§ Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 8 orang.

§ Lain – lain 40 orang.

§ Ternak besar

Sapi 20 ekor.

Kerbau 0 ekor.

§ Ternak kecil

Kambing 35 ekor.

Domba 25 ekor.

Ayam Kampung 1.400 ekor.

Ayam Ras 0 ekor.

Ayam Potong/ Pedaging 1. 500 ekor.

Itik 40 ekor.

Angsa 0 ekor.

d. Pendidikan Penduduk.

§ Belum sekolah 25 orang.

§ Tidak tamat SD 12 orang.

§ Belum tamat SD 28 orang.

Page 61: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

§ Tamat SD/ Sederajat 18 orang.

§ Tamat SLPT/ Sederajat 96 orang.

§ Tamat SLTA/ Sederajat 166 orang.

§ Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 50 orang.

e. Penggunaan Tanah.

1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari :

§ Irigasi tehnis 50 ha.

§ Irigasi setengah tehnis 12 ha.

§ Irigasi sederhana 0 ha.

§ Tadah hujan/ sawah rendengan 0 ha.

§ Lain – lain 0 ha.

Jumlah seluruhnya 62 ha.

2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 19, 50 ha terdiri dari :

§ Pekarangan/ bangunan 19 ha.

§ Tegal/ kebun 0, 25 ha.

§ Padang/ gambalaan 0 ha.

§ Tambak/ kolam 0, 25 ha.

§ Rawa – rawa 0 ha.

§ Sementara tidak diusahakan 0 ha.

4. Monografi Dukuh Jasem.

a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara administratif berbatasan dengan :

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Madiun.

2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Panjeng.

3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sraten.

4) Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Gundi.

b. Jumlah Penduduk.

Page 62: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Jumlah penduduk periode Maret 2011 di wilayah Dukuh/

Dusun Jasem Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo adalah 461 orang dengan perincian :

§ Laki – laki : 232 orang.

§ Perempuan : 229 orang.

Sedangkan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 82 Kepala Keluarga.

c. Mata Pencaharian Penduduk.

§ Petani pemilik tanah 120 orang.

§ Buruh tani 130 orang.

§ Pedagang 30 orang.

§ Pegawai Negeri Sipil/ TNI/ POLRI 16 orang.

§ Pensiunan (PNS/ TNI/ POLRI) 9 orang.

§ Lain – lain 30 orang.

§ Ternak besar

Sapi 20 ekor.

Kerbau 0 ekor.

§ Ternak kecil

Kambing 30 ekor.

Domba 23 ekor.

Ayam Kampung 1. 200 ekor.

Ayam Ras 0 ekor.

Ayam Potong/ Pedaging 3.000 ekor.

Itik 45 ekor.

Angsa 0 ekor.

d. Pendidikan Penduduk.

§ Belum sekolah 30 orang.

§ Tidak tamat SD 13 orang.

§ Belum tamat SD 25 orang.

§ Tamat SD/ Sederajat 16 orang.

Page 63: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

§ Tamat SLPT/ Sederajat 93 orang.

§ Tamat SLTA/ Sederajat 160 orang.

§ Tamat Akademik/ Perguruan Tinggi 45 orang.

e. Penggunaan Tanah.

1) Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari :

§ Irigasi tehnis 35 ha.

§ Irigasi setengah tehnis 0 ha.

§ Irigasi sederhana 5 ha.

§ Tadah hujan/ sawah rendengan 5 ha.

§ Lain – lain 0 ha.

Jumlah seluruhnya 45 ha.

2) Tanah kering luas seluruhnya adalah 18, 25 ha terdiri dari :

§ Pekarangan/ bangunan 18 ha.

§ Tegal/ kebun 0, 25 ha.

§ Padang/ gambalaan 0 ha.

§ Tambak/ kolam 0 ha.

§ Rawa – rawa 0 ha.

§ Sementara tidak diusahakan 0 ha.

B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa

Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Bagi hasil merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang hidup

dalam masyarakat. Hingga saat ini lembaga tersebut di Desa Sedah,

Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang masih ada dan sangat

dibutuhkan, karena sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam

menunjang perekonomian masyarakat tersebut. Karena penduduknya lebih

banyak terkonsentrasi di bidang pertanian, tidaklah mengherankan bila

banyak dilakukan transaksi-transaksi untuk mengolah lahan pertanian

dengan cara bagi hasil. Perjanjian (transaksi) bagi hasil di Desa Sedah

Page 64: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

lebih dikenal dengan istilah “maro” ( separuh ) dan “mertelu” ( dibagi

tiga ).

Perjanjian paron dan mertelu di Desa Sedah dapat diketemukan

beberapa unsur yaitu :

1. adanya kesepakatan para pihak;

2. izin menggarap dari pemilik tanah;

3. atas dasar kepercayaan;

4. perjanjian yang sebagian besar tidak tertulis atau lisan;

5. pembagian hasil menurut kebiasaan/ kesepakatan.

Bagi hasil kadang-kadang berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan

sanak keluarga. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan sanak

keluarga tetap diprioritaskan untuk menggarap tanah, jika tidak ada lagi

sanak keluarga yang bersedia menggarap tanah tersebut, penawaran baru

diberikan kepada orang lain yaitu tetangga dekat atau orang pendatang

yang tidak ada hubungan kekerabatan.

Hasil penelitian penulis, dalam perjanjian bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah yang mengambil sample area di 4 ( empat )

Dusun yang ada di Desa Sedah, yaitu :

1. Dusun Sidorejo,

2. Dusun Gundi,

3. Dusun Krajan, dan

4. Dusun Jasem.

Dengan mengambil sampling random acak dari 80 (delapan puluh)

responden dengan pembagian 40 (empat puluh) responden pemilik tanah

dan 40 (empat puluh) responden penggarap tanah. Yang akan di uraikan

lebih lanjut oleh penulis dalam bentuk table berikut.

a. Latar Belakang/ Alasan Perjanjian Bagi Hasil.

Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian

(transaksi ) bagi hasil di Desa Sedah.

Page 65: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

NO. Alasan bagi hasil f (%)

1.

2.

3.

Ada pekerjaan lain

Sudah tua

Rasa sosial/ balas jasa

8

25

7

20

62.5

17.5

JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Latar belakang/ alasan pemilik tanah melakukan transaksi

bagi hasil di Desa Sedah dari Data Primer table 3 di atas yaitu dengan

alasan sebagai berikut, dengan 8 ( delapan ) responden yang

menyatakan ada pekerjaan lain yang seperti Pegawai Negeri Sipil,

Pedagang, Swasta, dll. (20%), 25 ( dua puluh lima ) responden yang

menyatakan karena faktor usia yang sudah tua sehingga tidak bisa

menggarap sendiri tanah pertaniannya (62,5%), dan 7 ( tujuh )

responden yang menyatakan karena ada rasa sosial/ balas jasa (17,5%),

berkaitan dengan hutang atau kurang mampu mengolah tanah tersebut.

Sedangkan alasan penggarap mengadakan perjanjian

( transaksi ) bagi hasil tanah pertanian adalah :

Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian

( transaksi ) bagi hasil.

NO. Alasan bagi hasil f (%)

1.

2.

3.

Ada pekerjaan tambahan

Penggarap tidak memiliki tanah

pertanian

Adanya tambahan pendapatan

15

5

20

37.5

12.5

50

JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian dari data primer tabel 4 di atas yang

menyatakan alasan penggarap tanah pertanian mengedakan perjanjian

Page 66: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

(transaksi) bagi hasil tanah pertanian dapat diuraikan sebagai berikut,

15 ( lima belas ) responden yang menyatakan karena adanya pekerjaan

tambahan untuk penggarap (37,5%), 5 ( lima ) responden yang

menyatakan Penggarap tidak memiliki tanah pertanian sehingga

penggarap bisa mengerjakan tanah dengan sistem bagi hasil yang

menguntungkan (12,5%), dan 20 ( dua puluh ) responden yang

menyatakan adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari (50%).

Walaupun pada tabel 3 dan tabel 4 telah ditemukan ketidak

sesuaian antara realita pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah

dengan apa yang ditentukan di Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960

sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dimana dalam penjelasan pasalnya

menyatakan, maksud diadaknnya pembatasan ini ialah agar tanah-

tanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja (termasuk

buruh tani), yang akan mengusahakannya sendiri, juga agar sebanyak

mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan

adanya pembatasan ini maka dapatlah dicegah, bahwa seseorang atau

badan hukum yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai

penggarap dan mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan

demikian akan mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil

calon penggarap untuk memperoleh tanah garapan. Namun, kenyataan/

realita yang ada di Desa Sedah ini mungkin disebabkan dengan

berbagai faktor dan penyebab antara lain, faktor perkembangan

teknologi dan globalisasi yang beakibat pada gaya hidup dan tuntutan

ekonomi yang semakin meningkat, sehingga pemilik tanah pertanian

harus mencari pekerjaan lain dan tidak hanya mengadalkan pada hasil

panen dari lahan pertanian.

Page 67: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian.

Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah. NO. Luas tanah (hektar) f %

1.

2.

3.

4.

0 –1

1,1 – 2

2,1 – 3

> 3

17

15

8

-

42.5

37.5

20

0

JUMLAH 40 100,0

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian dari Data Primer table 5 di atas,

menerangkan mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah

pertanian yang dibagi menjadi, 17 ( tujuh belas ) responden 0 - 1 ha

(42,5%), 15 ( lima belas ) responden 1,1 – 2 ha (37,5%) dan, 8 (

delapan ) responden 2,1 – 3 ha (20%).

Menurut sumber data sekunder Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1960 disebutkan mengenai Luas tanah Bagi Hasil,

yaitu :

(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2

dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap

dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang

tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang

diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil

ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga)

hektar.

(2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil

tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan

menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda

Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.

Page 68: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

(3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam

perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda

Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.

Menurut analisis data primer dan data sekunder di atas

bahwa, sudah sesuainya pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah dengan peraturan perundang-undangan yang

ada.

Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah.

No. Pihak yang Menanggung f %

1.

2.

Pemilik Tanah

Penggarap Tanah

40

-

100

0

JUMLAH 40 100,00

Sumber : Data Primer

Hasil dari data primer tabel 6 di atas, pihak yang menanggung

pembayaran pajak tanah pada 40 ( empat puluh ) responden mencapai

(100%) yang mengemukakan bahwa pembayaran pajak tanah

pertanian semua di tanggung oleh pemilik tanah tersebut.

Menurut data sekunder Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun

1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai kewajiban pembayaran

pajak, yaitu sebagai berikut :

“Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan

dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau

penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya”.

Sehingga, dapat ditelaah sudah ada kesesuaian antara realita

mengenai perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah ini dengan

perturan perundang-undangan yang ada.

b. Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah.

1) Pihak-pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.

Subjek perjanjian bagi hasil secara umum adalah pemilik

tanah dan penggarap, namun sesuai dengan hukum yang berlaku

Page 69: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

sekarang bahwa yang berwenang mengadakan perjanjian bagi

hasil tidak saja terbatas pada pemilik dalam arti yang mempunyai

tanah, tapi juga para pemegang gadai, penyewa dan lain-lain

berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan.

Sedangkan pihak penggarap dapat berbentuk perorangan atau

badan hukum. Dengan demikian dapat saja terjadi bahwa pihak-

pihak perorangan maupun berbentuk badan hukum dan pihak

penggarap baik perorangan atau badan hukum, dan dapat saja

terjadi dalam transaksi tersebut pihak pemilik sekaligus

penggarap. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam

Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi

Hasil pada Pasal 1 Huruf b, dimana berisi : “Sesuai dengan

hukumnya yang berlaku sekarang, yang berwenang untuk

mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak saja berbatas pada para

pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tetapi juga para

pemegang gadai penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan

sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Untuk

mempersingkat pemakaian kata-kata maka mereka itu semua

dalam Undang-undang ini disebut pemilik. Pemilik itu bisa juga

merupakan badan hukum, seperti lebih jauh dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 2 “.

Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi

hasil.

NO. Pengetahuan UU Bagi

Hasil

f %

1.

2.

Tahu

Tidak Tahu

25

55

31.25

68.75

JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Page 70: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Pengetahuan responden terhadap Undang-Undang Bagi

Hasil Nomor 2 Tahun 1960 dapat dilihat pada Data Primer tabel 7

di atas. Perjanjian bagi hasil pada masyarakat Desa Sedah,

umumnya berdasarkan adat setempat, tidak berdasarkan undang-

undang bagi hasil. Walaupun ada juga responden yang mengetahui

Undang-Undang tersebut ada 25 ( dua puluh lima ) responden

(31,25%), dan 55 responden yang menyatakan ketidaktahuan

dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut

(68,75%). Jadi, kenyataannya yang ada di Desa Sedah perjanjian

bagi hasil ini dibuat berdasarkan hukum adat/ kebiasaan setempat.

Karena, masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui

adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini juga sangat

mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan

kebiasaan yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam

menentukan bagaimana mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil

tanah pertanian ini.

2) Kata Sepakat.

Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan

perjanjian bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi

terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada

kesepakatan (mufakat) yang biasa dikenal dengan istilah

konsensualisme.

Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil.

NO. Kesepakatan f %

1.

2.

Ada

Tidak Ada

80

-

100

-

JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Dari Data Primer tabel 8 di atas, dari 80 ( delapan puluh )

responden (100%) menyatakan bahwa, pihak-pihak yang

Page 71: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

mengadakan transaksi bagi hasil berdasarkan kata sepakat. Dengan

tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok-

pokok perjanjian berarti perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat

atau detik tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam

perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini yang menjadi landasan

lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

3) Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.

Sedangkan untuk mengetahui usia responden sehubungan

dengan kedewasaan seseorang dalam perjanjian bagi hasil dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil.

NO. Umur f %

1.

2.

3.

21 – 30

31 – 40

> 40

20

25

35

25

31.25

37.50

JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Dilihat pada Data Primer tabel 9 di atas, responden yang

berumur sampai dengan 21 - 30 tahun ada 20 ( dua puluh )

responden (25%), umur 31 – 40 tahun ada 25 ( dua puluh luma )

responden (31, 25%), dan umur diatas 40 tahun ada 35 ( tiga puluh

lima ) responden (37,50%), dan secara hukum dilihat dari usia

responden ini dapat dikatakan bahwa para responden telah cakap

dalam melakukan perbuatan hukum. Jadi, jika terjadi wanprestasi

maka kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sudah bisa

mempertanggungjawabkan atau dimintai pertanggungjawaban

hukum terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah

ini.

Page 72: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

4) Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Untuk sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi

beberapa syarat-syarat perjanjian bagi hasil menurut hukum Adat

di Desa Sedah seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu

bahwa dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan antara

pihak-pihak yaitu pihak yang menguasai tanah (pemilik) dan pihak

penggarap, kecakapan para pihak, harus ada izin untuk mengolah

atau menggarap tanah tersebut dari penguasa atau pemilik tanah

tersebut tidak dalam sengketa dan pemberian hasil panen oleh

penggarap kepada pemilik tanah yang besar imbangan menurut

kebiasaan setempat misalnya bagi dua atau tiga atau berdasarkan

kesepakatan sebelumnya.

c. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil

Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Sedah dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan

penggarap tanah.

NO. Bentuk Perjanjian f %

1.

2.

Tidak tertulis/ lisan antara

kedua belah pihak

Tertulis

40

-

100

0

JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Hasil analisis dari Data Primer table 10 di atas menyatakan

bahwa, perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua belah

pihak mencapai (100%) dari 40 ( empat puluh ) responden antara

pemilik tanah dan penggarap tanah, dengan alasan-alasan yang

mendasarinya sebagai berikut :

Page 73: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

o adanya rasa saling percaya

o mudah pelaksanaannya atau tidak berbelit-belit

o tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960

tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 3 disebutkan

mengenai Bentuk Perjanjian Bagi Hasil, yaitu :

(1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan

penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa

atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah

yang bersangkutan-selanjutnya dalam undang-undang ini

disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang,

masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.

(2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat (1) di atas

memerlukan pengesahan dari Camat/ Kepala Kecamatan yang

bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu

selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”.

(3) Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua

perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang

terakhir.

(4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang

diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam

ayat (1) dan (2) diatas.

Sedangkan, berdasarkn data primer dan data sekunder di atas

dapat diketahui bahwa ditemukan ketidak sesuaian antara realita

perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah dan ketentuan yang ada

di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dimana, menurut realita

atau hasil analisis data primer yang ada ditemukan bahwa 100%

hasil responden menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil di Desa

Sedah adalah perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua

Page 74: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

belah pihak yang berdasar pada kepercayaan, sedangkan berdasarkan

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 semua perjanjian

bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara

tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat

dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan-selanjutnya

dalam Undang-Undang ini disebut “Kepala Desa” dengan

dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan

penggarap.

d. Lamanya Waktu Perjanjian

Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan

penggarap tanah.

NO. Lama Perjanjian f %

1.

2.

Ditentukan

Tidak ditentukan

30

10

75

25

JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan Data Primer tabel 11 di atas, dalam perjanjian

bagi hasil ada 30 ( tiga puluh ) responden (75%) perjanjian tersebut

ditentukan dan perjanjian yang tidak ditentukan ada 10 ( sepuluh )

responden (25%). Perjanjian yang tidak ditentukan ini terjadi

berdasarkan musim panen, selama ada izin dari pemilik tanah dan

selama penggarap mau menggarap tanah tersebut.

Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah baik yang

ditentukan maupun yang tidak ditentukan dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Page 75: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan

penggarap tanah.

NO. Jangka waktu f %

1.

2.

Ditentukan

a. 1 – 2 tahun

b. 2,1 – 3 tahun

c. 3,1 – 4 tahun

d. 4,1 – 5 tahun

e. > 5 tahun

Tidak ditentukan telah

berlangsung ;

a. 1 – 2 tahun

b. 2,1 – 3 tahun

c. 3,1 – 4 tahun

d. 4,1 – 5 tahun

e. > 5 tahun

10

15

-

5

3

-

5

-

-

2

25

37.5

-

12.5

7.5

-

12.5

-

-

5

JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Dari Data Primer tabel 12 di atas, diambil suatu pengertian

bahwa dalam rentang waktu yang ditentukan antara 1 – 2 tahun pada

perjanjian bagi hasil ini ada 10 (sepuluh ) responden (25%), dalam

rentang waktu yang ditentukan antara 2,1 – 3 tahun pada perjanjian

bagi hasil ini ada 15 ( lima belas ) responden ( 37,5% ), untuk rentan

waktu yang ditentukan lebih dari 4,1 - 5 tahun ada 5 ( lima ) responden

( 12,5% ). Sedangkan waktu yang ditentukan lebih dari 5 tahun ada 3 (

tiga ) responden ( 7,5% ).

Sedangkan, rentang waktu yang tidak ditentukan dan telah

berlangsung antara waktu 2,1 – 3 tahun ada 5 ( lima ) responden

(12,5%), dan lebih dari 5 tahun ada 2 ( dua ) responden (5%). Tidak

Page 76: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

ditentukan dan sudah berlangsung di sini maksudnya adalah perjanjian

ini berlangsung begitu saja tanpa ada ketentuan berapa lama penggarap

akan mengerjakan tanah pertanian milik pemilik tanah tersebut dan

perjanjian tersebutpun sudah berjalan begitu saja sampai saat ini.

Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat

(2), disebutkan mengenai jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil, yaitu :

(1) Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan

didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan,

bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurangkurangnya 3 (tiga)

tahun dan bagi tanah-kering sekurangkurangnya 5 (lima) tahun.

(2) Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh

Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya

perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa

yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya

diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.

Berdasarkan analisis data primer dan data sekunder di atas

ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil di Desa

Sedah dengan ketentuan yang ada di Pasal 4 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1960 dimana dalam hasil penelitian di lapangan lama/ jangka

waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah terdapat dua pilihan yaitu,

perjanjian yang ditentukan jangka waktunya secara lisan dan

perjanjian yang tidak ditentukan jangka waktunya dan berjalan begitu

saja saat perjanjian antara penggarap dan pemilik tanah itu

berlangsung sampai saat ini. Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini sudah ditentukan jangka waktu

perjanjian bagi hasil ini.

e. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil.

Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah anatara

pemilik tanah dan penggarap tanah dapat terjadi karena telah

Page 77: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

berakhirnya jangka waktu dan dapat juga terjadi sebelum berakhirnya

jangka waktu, seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah.

NO. Berakhirnya Perjanjian f %

1.

2.

Karena telah berakhir jangka

waktu

Sebelum waktunya

a. atas persetujuan kedua

belah pihak;

b. dari pemilik tanah;

c. dari penggarap.

25

10

3

2

62.5

25

7.5

5

JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Sumber data primer dari tabel 13 di atas, ada 25 ( dua puluh

lima ) responden menyatakan alasan berakhirnya perjanjian bagi hasil

karena telah berakhir jangka waktu (62,5%), sebelum waktunya dibagi

menjadi 3 alasan, pada 10 ( sepuluh ) responden menyatakan

alasannya atas persetujuan kedua belah pihak (25%), 3 ( tiga )

responden menyatakan alasannya karena berasal dari pemilik tanah

(7,5%), dan 2 ( dua ) responden menyatakan alasannya karena berasal

dari penggarap (5%).

Menurut sumber data primer Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960 Tahun 1960, disebutkan tentang berakhirnya perjanjian

bagi hasil, yaitu : “Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena

berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab

tersebut pada Pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah

yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik “.

Sehingga, berakhirnya perjanjian di Desa Sedah ini dapat

ditentukan dalam 2 (dua) hal, yaitu karena sudah berakhirnya

perjanjian bagi hasil ini antara penggarap dan pemilik tanah dan

Page 78: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

sebelum berakhir atas permintaan pemilik dan penggarap karena sebab

atau alasan tertentu. Dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa

Sedah sebelum berakhirnya perjanjian yang disepakati sebelumnya

tetap berdasarkan pada musyawarah yang menguntungkan kedua

belah pihak dan diikuti pengembalian tanah kembali kepada pemilik

sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.

Apabila terjadi perpindahan hak milik tanah dalam perjanjian

bagi hasil ini dapat terjadi jika perjanjian bagi hasil dengan pihak

sebelumnya sudah dinyatakan berakhir, untuk melindungi hak-hak

penggarap tanah.

Menurut data sekunder Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960, disebutkan tentang pemindahan hak milik tanah dalam

perjanjian bagi hasil, yaitu :

1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6,

maka perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak

milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain.

2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan

kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih

kepada pemilik baru.

3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu

dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang

sama.

Apa yang dijelaskan pada Pasal 5 di atas sudah merupakan hal

yang tepat, karena tidak mungkin ada orang yang dirugikan baik

karena hak tanahnya dijual kepada orang lain, ataupun pemiliknya

meninggal dunia ataupun penggarapnya meninggal dunia, maka dalam

hal ini, perjanjian ini tetap diteruskan oleh ahli warisnya ataupun yang

memperolehkan secara sah hak atas tanah tersebut.

Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa

Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari 4

(empat) Dukuh/ Dusun sebagai sampel untuk penelitian ini dimana

Page 79: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

lahan pertaniannya lebih banyak menggunakan irigasi tehnis,

memungkinkan penduduknya untuk mengembangkan budi daya

tanaman pangan maupun substansi tanaman pertanian yang lebih

bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena tanah lebih mudah untuk

dikelola. Selain itu di Desa Sedah dengan ketersediaan sumber daya

manusia yang mayoritas memiliki pendidikan yang cukup banyak,

memungkinkan orang untuk melakukan inovasi lebih banyak daripada

wilayah yang lahan pertaniannya tidak beririgasi tehnis. Artinya,

pengelolaan sumber daya pertaniannya sepenuhnya tergantung oleh

keadaan iklim yang ada di daerah tersebut.

Sarana prasarana untuk menunjang terciptanya peluang

usaha dan kesempatan kerja pun sangat memungkinkan kondisi yang

menimbulkan adanya perjanjian bagi hasil bagi pemilik tanah lahan

pertanian yang lebih memilih pekerjaan atau profesi lain. Atau paling

tidak meraka memilih menyerahkan penggarapan lahannya dengan

membagihasilkan dengan orang-orang yang dipercaya.

Hasil penelitian di 4 (empat) Dukuh di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo, pada umumnya

masyarakat lebih memilih sistem perjanjian Bagi Hasil mendasarkan

pada Hukum Adat setempat (kebiasaan setempat secara turun

temurun). Kendala – kendala yang muncul mengapa Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1960 Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo tidak dapat terlaksana/ tidak dapat di pergunakan dalam

pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil adalah karena :

1. Hampir seluruh masyarakat di Desa Sedah Kecamatan Jenangan

Kabupaten Ponorogo tidak mengetahui keberadaan Undang-

Undang No 2 Tahun 1960 untuk mengatur perjanjian Bagi Hasil.

Hal ini terjadi karena kurangnya kegiatan penyuluhan dari pihak

pemerintah khususnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah

Kecamatan, khususnya tentang penyuluhan pertanian hanya

dilaksanakan satu kali dalam satu tahun.

Page 80: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

2. Faktor budaya yang sangat melekat pada diri masing masing

masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo

yang masih mempercayai penggunaan adat kebiasaan secara turun

temurun yang biasa mereka lakukan untuk melaksanakan perjanjian

Bagi Hasil karena ada pengaruh unsur-unsur tolong menolong

antara sesama sehingga tidak memerlukan acara secara formal.

Hasil pengamatan dari penelitian di lapangan berdasarkan

80 ( delapan puluh ) responden yang terdiri dari 40 ( empat puluh )

pemilik tanah dan 40 ( empat puluh ) penggarap tanah, dimana

perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini belum sepenuhnya sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi

hasil, dimana yang pada akhirnya mendapatkan suatu realita bahwa

tidak bekerjanya bentuk perjanjian tertulis yang menjadi dasar

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil.

Hal yang mendasari keadaan ini karena adanya faktor utama yang

mempengaruhinya yaitu, budaya masyarakat setempat. Mereka lebih

mengutamakan budaya tolong menolong dalam melakukan perjanjian

penggarapan sawah melalui bagi hasil secara Adat, yaitu secara lisan

atau dengan kepercayaan dan kesepakatan tentang imbangan

pembagian hasilnya. Budaya demikian sangat melekat pada

masyarakat setempat, sehingga apabila mereka melakukan

penggarapan sawah dengan Bagi Hasil mendasarkan pada Undang-

Undang, mereka masih takut menjadi bahan omongan (gunjingan)

masyarakat, khususnya para penggarap yang masih tetangga dalam

satu desa. Rasa gotong royong dan kebersamaan dan saling tolong

menolong masih melekat pada pola kehidupan masyarakat Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Page 81: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

C. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian

Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.

Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam rangka

Pembaharuan Agararia yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup

penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian,

namun selama ini hamper tidak diperhatikan. Bagi hasil luput dari

pembicaraan tentang Pembaharuan Agraria yang masih berkutat pada ide-

ide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya

sangat sulit diimplementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan

yang dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya

sistem bagi hasil mendapatkan perhatian seluruh pihak dengan penataan

yang lebih adil dan baik (Syahyuti, 2004 : 165).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi

Hasil, diundangkan sejak tanggal 7 januari 1960 dan berlaku untuk seluruh

masyarakat. Undang-Undang ini bertujuan untuk memperbaiki nasib para

penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan, menurut

Boedi Harsono akan mempunyai efek yang sama dengan penyelenggaraan

redistribusi tanah kelebihan tanah absentee terhadap penghasilan para

petani penggarap, karena menurut Undang-Undang ini mereka akan

menerima bagian yang lebih besar dari hasil tanahnya. Menurut Hukum

Adat imbangan pembagian hasil di tetapkan atas persetujuan kedua belah

pihak yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak penggarap. Hal ini

disebabkan karena tanah yang tersedia untuk di bagi-bagikan tidak

seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.

Menurut Hukum Adat transaksi penggarapan/ pengusahaan tanah

pertanian dapat melalui sistem Sewa menyewa tanah, Jual gadai dan

sistem Bagi Hasil. Sistem tersebut dalam UUPA diatur dalam Pasal 53

yaitu Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yang pada dasarnya

bertentangan dengan prinsip UUPA yang di atur dalam Pasal 10 UUPA,

bahwa : Tanah pertanian pada asasnya harus di kerjakan atau di usahakan

Page 82: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Berdasarkan hasil penelitian, yang

mendorong masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten

Ponorogo memilih sistem transaksi pengolahan/ pengusahaan tanah

melalui Sistem Perjanjian Bagi Hasil yang mendasarkan pada Hukum

Adat Kebiasaan, menurut hasil penelitian di lapangan perjanjian bagi hasil

ini dipilih karena memberikan “rasa nyaman“ karena sudah dari dulu

menggunakan sistem hukum Adat kebiasaan dibanding dengan sistem

perjanjian Bagi Hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960

dengan alasan yaitu adanya faktor- faktor. yang mempengaruhinya antara

lain :

1. Keterbatasan dana / biaya;

2. Kebiasaan yang sudah turun temurun dimasyarakat;

3. Keuntungan dan kerugian yang dinikmati bersama;

4. Adanya kerja sama yang bersifat gotong royong.

Pilihan sistem bagi hasil yang digunakan dalam perjanjian bagi

hasil tanah pertanian yang ada di empat dukuh/ dusun yang digunakan

sebagai samping area ini lebih banyak menggunakan perbandingan dengan

imbangan bagi hasil (1:1) dan (1:2). Karena, di dalam sistem perjanjian

bagi hasil ini dirasa ada banyak keuntungan dan keseimbangan antara

biaya yang dikeluarkan dengan hasil panen yang didapat berbeda dengan

sistem lainya, misal pada jual tahunan terkadang keuntungan hanya pada

satu pihak dan sistem jual gadai dirasa sangat merugikan satu pihak dan

hanya di sistem bagi hasil inilah kenyamanan didapat baik penggarap

maupun pemilik tanah kemudian tingkat resiko yang minim di banding

perjanjian lainya artinya resiko biasanya di tanggung bersama atau dapat

di musyawahkan kedua pihak. Dari hasil wawancara dengan beberapa

warga di lokasi penelitian “baik pihak penggarap maupun pihak pemilik

tanah, menyatakan bahwa dengan perjanjian bagi hasil yang mereka kenal

dengan istilah “paron/ maro” dan “mertelu” bila ada kesulitan ataupun

bencana karena cuaca alam yang buruk sehingga mempengaruhi hasil

panen maka dengan sendirinya akan ditanggung bersama - sama. Sehingga

Page 83: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

menurut masyarakat di tempat lokasi penelitian banyak yang menyatakan

bahwa perjanjian bagi hasil ini dirasa sudah adil bagi mereka.

Faktor ketidak tahuan terhadap keberadaan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1960 juga mempengaruhi terhadap pelaksanaan perjanjian

Bagi Hasil, yang mereka tahu adalah perjanjian yang seperti sudah berlaku

oleh pendahulunya yaitu dengan cara lisan atas dasar kepercayaan dan

kesepakatan. Namun meskipun sebagian masyarakat juga sudah tahu ada

aturan hukum tentang perjanjian Bagi Hasil, mereka tetap cenderung

memilih untuk melaksanakan dengan cara Lisan, dengan dasar imbangan

pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, pada umumnya yang

dipergunakan adalah “Maro” dan “Mertelu”. Alasanya adalah sudah

dilakukan secara turun temurun, saling percaya untuk saling tolong

menolong antar warga sehingga mereka tidak memilih secara formal

namun hanya kata sepakat antara kedua pihak (pemilik tanah dan

penggarap). Apabila terjadi perselisihan cukup dilakukan/ diselesaikan

melalui musyawarah kekeluargaan saja tanpa melibatkan aparat pemong

desa. Biasanya sesepuh desa yang menjadi/ sebagai mediasi antar kedua

pihak yang bertikai dan itu sudah cukup, karena kedua pihak akan sama-

sama menyepakati keputusan bersama. Biasanya pertikaian atau

perselisihan sering muncul karena kurang komunikasi kedua pihak

mengenai hak dan kewajiban, misalnya saat kesepakatan terjadi pihak

penggarap masih diluar kota karena berdagang atau buruh pabrik dikota

sehingga diperantarakan orang lain dalam kesepakatan dengan pihak

pemilik tanah, namun sepanjang ini semuan perselisian dapat di selesaikan

lewat musyawarah keluarga saja.

Berdasarkan hasil penelitian dalam pelaksanaan perjanjian bagi

hasi di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo diketahui

mengenai sistem pembagian menurut imbangan yang digunakan oleh

kedua belah pihak atau bagian masing-masing pihak yang merupakan

salah satu dari isi perjanjian. Besarnya bagian ini dapat terjadi karena

kebiasaan setempat atau berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak

Page 84: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

(pemilik tanah dan penggarap tanah). Dan untuk mengetahui besarnya

bagian antara pemilik dan penggarap dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 14. Perbandingan antara penggarap dan pemilik dalam perjanjian

bagi hasil di Desa Sedah.

NO. Perbandingan f %

1.

2.

3.

4.

5.

1 : 1

1 : 2

1 : 3

1 : 4

2 : 1

30

10

-

-

-

75

25

-

-

-

JUMLAH 40 100

Sumber : Data Primer

Dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dari Data

Primer table 14 di atas, terdapat 30 ( tiga puluh ) responden (75%) dengan

perbandingan 1 : 1. Dan ada 10 ( sepuluh ) responden ( 25% ) dengan

perbandingan 1 : 2. Sedangkan, dengan perbandingan 1 : 3, 1 : 4, dan 2 : 1

tidak ditemukan di Desa Sedah. Pembagian imbangan (1 : 1) dan (1 : 2) ini

berlaku untuk tanah sawah yang ditanami padi dan palawija pada jenis

tanah basah. Karena di Desa Sedah ini menrupakan daerah dataran

sehingga tidak ada jenis tanah kering untuk pertaniannya. Dengan

perumusan yang flexible, yang akan Pasal 7 ini, maka undang-undang ini

memberikan pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1 : 1, yaitu

untuk padi yang ditanam di sawah. Untuk tanaman palawijo di sawah dan

untuk tanaman di tanah kering bagian penggarap adalah 2/3 dan pemilik

1/3. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut telah lebih

menguntungkan pihak penggarap, akan tetap digunakan. Hasil akan dibagi

antara pemilik dan penggarap adalah hasil bersih, yaitu bruto (hasil kotor)

setelah dikurangi biaya-biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk

menanam dan panen. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut

telah lebih menguntungkan pihak penggarap akan tetap.

Page 85: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Untuk menentukan besarnya pembagian atau imbangan masing-

masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah,

Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo ini dapat ditentukan oleh

pemilik tanah, penggarap, kedua belah pihak atau berdasarkan kebiasaan

setempat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 15. Pihak yang menentukan besarnya bagian dalam perjanjian bagi

hasil di Desa Sedah.

NO. Pihak yang menentukan f %

1.

2.

3.

4.

5.

Pemilik Tanah

Penggarap

Pemilik dan penggarap

Kebiasaan setempat

Kepala desa

15

15

20

30

-

18.75%

18.75%

25

37.5%

-

JUMLAH 80 100

Sumber : Data Primer

Sumber Data Primer dalam table 15 di atas, pihak yang menentukan

besaranya bagian dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah tersebut

berdasarkan 15 ( lima belas ) responden pihak pemilik tanah yang

menentukan perjanjian bagi hasil tersebut (18,75%), 15 ( lima belas )

responden pihak penggarap yang menentukan perjanjian bagi hasil tersebut

(18,75%), 20 ( dua puluh ) responden pihak pemilik dan penggarap tanah

yang menentukan perjanjian bagi hasil tersebut (25%), dan 30 (tiga puluh)

responden ditentukan oleh kebiasaan setempat (37,5%).

Menurut data sekunder pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960, disebutkan tentang pembagian imbangan bagi hasil, yaitu :

Didalam menetapkan angka pembagian itu Bupati akan meminta

pertimbangan instansi-instansi lainnya yang ahli dan wakil-wakil golongan

fungsionil tani. Selain alasan-alasan tersebut diatas, maka dalam Undang-

Undang ini tidak ditetapkan angka imbangan yang tegas antara bagian

pemilik dan penggarap, karena proses perkembangan dalam masyarakat

Page 86: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

desa masih berjalan terus, juga dalam hubungan-hubungan sosial. Hingga

akan sangat tidak bijaksana untuk membendung proses tersebut dengan

mencantumkan suatu perumusan yang kaku.

Menurut sumber data primer tabel 14 dan 15 dan sumber data

sekunder Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 di atas, ditemukan

adanya perbedaan dalam menentukan imbangan pembagian bagi hasil

untuk perhitungan karena berdasarkan keadaan geografis di Desa Sedah ini

yang termasuk dataran dengan jenis tanah basah yang tanah sawahnya

ditanami padi dan palawijo (seperti jagung, kedelai, cabe, dll). Dengan

imbangan yang disepakati oleh kedua belah pihak antara penggarap dan

pemilik tanah dan tidak ada campur tangan oleh Kepala Desa atau

Pemerintah Daerah Tingkat II.

Sedangkan pembagian pendapatan/ perimbangan pendapatan dengan

diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang telah disepakati

antara pemilik tanah dan penggarap tanah pertanian yang paling banyak

digunakan dari hasil penelitian di Desa Sedah, Kecamatan Jenangan,

Kabupaten Ponorogo berdasarkan tanah basah ( tanah sawah yang

ditanami padi) menggunakan perhitungan (1:1) sedangkan tanah sawah

yang ditanami palawijo menggunakan perhitungan (1:2), dapat

menggunakan perhitungan dibawah ini :

Untuk Perhitungan 1 Kotak ( 1 : 1)

j Biaya Operasional :

1. Bibit : Rp. 40.000

2. Bajak : Rp. 125.000

3. Upah Tanam : Rp. 100.000

4. Pupuk : Rp. 300.000

5. Upah Tenaga Perawatan : Rp. 300.000

6. Obat – obatan : Rp. 50.000

7. Pengairan : Tidak ada krn musim hujan.

8. Upah Panen : Rp. 250.000

Jumlah Rp. 1. 165.000

Page 87: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

j Pendapatan Kotor = 8 Kw x Rp. 250.000 = Rp. 2.000.000,-

j Pendapatan Bersih = Pendapatan Kotor – Biaya operasional

= Rp. 2.000.000 – Rp. 1. 165.000 = Rp. 835.000,-

j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk pemilik dan penggarap dengan

perbandingan ( 1 : 1 ).

Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 835.000 : 2

= Rp. 417.500,-

Untuk Perhitungan 1 Kotak ( 1 : 2 )

j Biaya Operasional :

1. Bibit : Rp. 40.000

2. Bajak : Rp. 125.000

3. Upah Tanam : Rp. 100.000

4. Pupuk : Rp. 300.000

5. Upah Tenaga Perawatan : Tidak ada krn dikerjakan sendiri.

6. Obat – obatan : Rp. 50.000

7. Pengairan : Tidak ada krn musim hujan.

8. Upah Panen : Rp. 250.000

Rp. 865.000

j Pendapatan Kotor = 8 Kw x Rp. 250.000 = Rp. 2.000.000,-

j Pendapatan Bersih = Pendapatan Kotor – Biaya operasional

= Rp. 2.000.000 – Rp. 865.000 = Rp. 1. 135.000,-

j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk pemilik tanah.

Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 1. 135.000 : 1/3

= Rp. 378.333,-

j Imbangan Pembagian Pendapatan untuk penggarap tanah.

Pendapatan Bersih : Imbangan Bagi Hasil = Rp. 1. 135.000: 2/3

= Rp. 756.667,-

Page 88: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

Namun, kenyataan yang ada di lapangan hasil dari penelitian

penulis di Desa Sedah ini belum semua ketentuan sesuai dengan atau

mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil

ini, tetapi mengedepankan pada adat kebiasaan setempat yang telah turun

temurun digunakan dan berjalan sampai sekarang yang dianggap telah

menguntungkan kedua belah pihak karena berdasarkan pada asas

kekeluargaan dan gotong royong. Sehingga, jika ada permasalahan yang

timbul maka akan diselesaikan dengan musyawarah oleh kedua belah

pihak. Selain itu, belum adanya acuan mengenai Peraturan Bupati yang

mengatur mengenai Perjanjian Bagi Hasil ini di Kabupaten Ponorogo yang

menjadikan perjanjian bagi hasil ini hidup sesuai dengan kebiasaan

setempat yang sudah turun temurun dipercaya. Jadi, semua imbangan bagi

hasil disepakati dan ditentukan oleh kedua belah pihak yang dianggap

memenuhi unsur keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di

Desa Sedah, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo.

Jika imbangan bagi hasil ini dihitung berdasarkan rumus I yang ada

dalam penjelasan Pasal 7 di atas dengan besar imabangan dibagi dua sama

besar antara pemilik dan penggarap atau dalam bentuk rumus :

Rumus I

Hak penggarap = hak pemilik

X – Z X – 1 / 4 X

------ = -------------

2 2

Keterangan :

Z = 1/4 X

Z= biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga panen,

dan tanam.

X= Hasil kotor

Page 89: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

Hak penggarap = hak pemilik

X – Z X – 1 / 4 X

------ = -------------

2 2

2. 000.000 – 1.165.000 = 2.000.000 – ¼ x 2. 000. 000

2 2

835. 000 = 1. 500. 000

2 2

417. 500 = 750. 000

Jadi, hak yang diperoleh penggarap disini sebesar Rp. 417. 500,- dan

hak yang diperoleh pemilik sebesar Rp. 750. 000,- dimana, ditemukan

ketidakseimbangan yang diperoleh kedua belah pihak, sedangkan

penggarap memperoleh hasil yang lebih sedikit daripada pemilik tanah.

Page 90: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Dengan mengkaji bab kesatu sampai bab ketiga dan berpijak pada

rumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa aspek keadilan

dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan

Jenangan Kabupaten Ponorogo dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui bahwa pelaksanaan bagi hasil

di Desa Sedah belum sepenuhnya sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan yang mengatur mengenai perjanjian bagi hasil ini yaitu,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, karena perjanjian bagi hasil tanah

pertanian di Desa Sedah ini dibuat berdasarkan kesepakatan atau hukum

adat setempat, yaitu dalam bentuk lisan atau tidak tertulis yang

berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam

pelaksanaan jangka waktu pelaksanaan bagi hasil ini dibagi menjadi 2

(dua), yaitu jangka waktu yang ditentukan dan jangka waktu yang tidak

ditentukan dimana perjanjian ini berjalan begitu saja sampai saat ini, dan

berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini dilakukan karena

jangka waktu yang ditentukan telah berakhir, dan dilakukan atas

permintaan pemilik dan penggarap tanah. Dimana di Desa Sedah

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo masyarakatnya masih banyak

yang menggunakan sistem hukum adat dalam melaksanakan perjanjian

bagi hasil tanah pertanian, karena kurangnya pengetahuan mereka tentang

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 yang mengatur perjanjian bagi

hasil tersebut. Karena masyarakat di Desa Sedah lebih memahami dan

merasa mudah menggunakan sistem hukum adat setempat yang telah turun

temurun digunakan sejak dahulu sampai sekarang, sehingga perjanjian

bagi hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut

tidaklah sesuai dengan keadaan masyarakat tersebut.

Page 91: ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH …eprints.uns.ac.id/9101/1/205541011201101361.pdf · 2013-07-25 · perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

2. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah Kecamatan Jenangan

Kabupaten Ponorogo ini sudah memenuhi unsur keadilan, hal ini bisa

dilihat berdasarkan pembagian imbangan bagi hasil yang digunakan hanya

ada 2 (dua) macam yang ada, yaitu pembagian imbangan berdasarkan pada

perbandingan (1:1) dengan imbangan sama besarnya, dan untuk imbangan

(1:2) dengan perbandingan 1/3 untuk penggarap dan 2/3 pemilik tanah,

kedua imbangan tersebut dipergunakan untuk jenis tanah basah (sawah)

yang ditanami padi dan palawija. Dimana jika dihitung berdasarkan

perhitungan imbangan yang ada pada Pasal 7 ditemukan hasil pembagian

yang lebih menguntungkan pihak pemilik saja. Sehingga dirasa aspek

keadilan ini telah sesuai dengan keadaan yang ada di Desa Sedah menurut

perbandingan imbangan bagi hasil yang dirasa lebih adil karena

pembagian imbangan bagi hasil untuk pemilik dan penggarap tanah di

Desa Sedah ini sudah seimbang.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dan uraian yang telah dijelaskan

sebelumnya pada bab hasil penelitian dan pembahasan, maka ada beberapa

saran sederhana yang disampaikan penulis antara lain :

1. Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1960 tentang Bagi Hasil ini, karena masih banyak masyarakat yang

belum mengetahui adanya undang-undang tersebut.

2. Untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak dalam perjanjian bagi

hasil tanah pertanian di Desa Sedah, Keamatan Jenangan, Kabupaten

Ponorogo, dimana perlindungan hukum antara penggarap dan pemilik

tanah akan lebih terjamin, seyogyanya dibentuklah suatu Peraturan

Bupati yang mengatur tentang Imbangan Bagi Hasil sesuai dengan

amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil.