askeb 4

43
TBC PARU-PARU Pengertian Tuberculosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Depkes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA. Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi karena kuman yang ada pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya

Transcript of askeb 4

Page 1: askeb 4

TBC PARU-PARU

Pengertian

Tuberculosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Depkes, 2003). Kuman TB

berbentuk batang mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pewarnaan yang

disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA.

Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar

kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman

lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik.

Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin

(dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi karena kuman yang ada

pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi

tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan

oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup

partikel kecil yang mengandung bakteri tuberkulosis, minum susu sapi yang sakit

tuberkulosis. Masa tunas berkisar antara 4-12 minggu. Masa penularan terus

berlangsung selama sputum BTA penderita positif.

Patofisiologi

Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu

batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara

Page 2: askeb 4

pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet

tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru

kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

saluran nafas atau penyebaraan langsung kebagian tubuh lain (Depkes, 2003).

Infeksi primer : infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga

dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus,

menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak

dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru,

dan ini disebut komplek primer.

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer

adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari

banyaknya kuman yang masuk dan bersarnya respon daya tahan (imunitas seluler)

pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan keman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan

menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur), kadang-kadang daya tahan

tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa

inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,

diperkirakan sekitar 6 bulan (Dep Kes, 2003). 

Infeksi paska primer (post primary TB) : TB paru pasca primer biasanya

terjadi terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi.

Pengaruh pada kehamilan

Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya

perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan

yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu

makan berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan

Page 3: askeb 4

sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi basal, suara

kaverne atau pleura efusion.

Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe,

letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan

antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status

imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.

Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis

maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia

kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan

faktor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan

dengan TB.

Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan

diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah

mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum.

Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti

usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga

organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas)

seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan

kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang

pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah

menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan

untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi.

Harold Oster MD, 2007, mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun

aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun,

jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan.

Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali,

kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk

hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu sampai tuntas.

Page 4: askeb 4

Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu

melakukan aborsi.

Pengaruh terhadap janin

Menurut Oster, 2007, jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada

sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko, biasanya diberikan

obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan

Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar

paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah

sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah

setelah lahir.

Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya

pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke

janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB

congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,

seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa

membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas, apakah bayi

tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

Diagnosa

Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati

terpapar sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di

tempat gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan

dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular

pada anggota keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui

batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita.

Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika

memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu

Page 5: askeb 4

melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara,

seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah

dilakukan, murah dan cukup reliable.

Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila

terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak

misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun

rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi

kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang

membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada

tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari

tuberkulin tes. Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih

jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit.

Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas

lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA), serta uji tuberkulin.

Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB,

sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto

torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB.

Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak

ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi

anergi.

Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk

mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di

perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.

Klasifikasi

Berdasarkan organ yang terinvasi :

TB Paru adalah tuberkolosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk

pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi

Tuberkolosis Paru BTA positif dan BTA negatif.

Page 6: askeb 4

TB ekstra paru yaitu tuberkolosis yang menyerang organ tubuh lain selain

paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar

limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin.

TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB

ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal, dan TB ekstra paru berat seperti

meningitis, paricarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing

dan alat kelamin.

Berdasarkan tipe penderita :

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe penderita :

Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkolosis (OAT)

kurang dari satu bulan.

Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan

hasil pemeriksaan BTA positif.

Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita

pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.

Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah

berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih,

kemudian datang kembali berobat (Depkes – 2003).

Menurut American Thoracic Society, 1974:

Kategori 0: Tidak pernah terpapar dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak

negative, tes tuberculin negative.

Kategori 1: Terpapar tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini

riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.

Page 7: askeb 4

Kategori 2: Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,

radiologis dan sputum negative.

Kategori 3: Terinfeksi tuberculosis dan sakit

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi jika TB paru tidak diobati adalah pleuritis, efusi

pleura, empiema, laryngitis, TB usus.

Penatalaksanaan

Pada penderita yang dicurigai menderita TBC paru sebaiknya dilakukan

pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (purified protein derivate) 5u dan

bila hasilnya positif diteruskan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan

dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X. Pada penderita dengan TBC paru aktif

perlu dilakukan pemeriksaan sputum, untuk membuat diagnosis secara pasti

sekaligus untuk tes kepekaan. Pengaruh TBC paru pada ibu yang sedang hamil

bila diobati dengan baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada janin

jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena

dirawat atau disusui oleh ibunya.

Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang diperlukan

perawatan, untuk mendiagnosis serta untuk memberikan pendidikan. Perlu

diterangkan pada penderita bahwa mereka memerlukan pengobatan yang cukup

lama dan ketekunan serta ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit

akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita.

penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin, tertawa.

pengobatan terutama dengan kemoterapi, dan sangat jarang diperlukan tindakan

operasi.

Pada penderita TBC paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu

dapat pengobatan. sedangkan pada yang aktif, dianjurkan untuk menggunakan

Page 8: askeb 4

obat dua macam atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan

isoniazid (INH) selalu diikutkan dalam regimen pengobatan tersebut.

Obat-obat yang dapat digunakan:

1. Isoniazid (INH), dengan dosis 300 mg/hari. obat ini mungkin menimbulkan

komplikasi pada hati, sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu

makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu perlu diperiksa faal hati

sewaktu-waktu, dan bila ada perubahan, maka obat untuk sementara harus

segera dihentikan.

2. Ethambutol dengan dosis 15-20 mg/kg/hari. dilaporkan obat ini dapat

menimbulkan komplikasi retrotubuler neuritis akan tetapi laporan efek

samping obat ini dalam kehamilan sangat sedikit, dan pada janin belum ada.

3. Streptomycin dengan dosis 1 g/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam

kehamilan, dan jangan digunakan dalam kehamilan trimester pertama.

Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik),

disamping itu pemberian obat ini kurang menyenangkan pada penderita,

karena harus disuntikkan setiap hari. Dilaporkan bila dosis yang diberikan <

30 g selama kehamilan, tidak banyak atau jarang ada pengaruhnya pada janin.

4. Rifampisin dengan dosis 600 mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan

TBC paru, akan tetapi mempunyai efek potensial teratogenik yang besar pada

binatang percobaan. Pada manusia belum banyak laporan, dan dianjurkan

untuk tidak menggunakannya dalam trimester pertama.

Pemeriksaan sputum setelah 1-2 bulan pengobatan, harus dilakukan dan

kalau masih positif, perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat. Tidak ada

indikasi untuk melakukan tindakan pengguguran kehamilan pada penderita TBC

paru. Antenatal care dapat dilakukan seperti biasa. Dianjurkan penderita datang

sebagai pasien permulaan atau terakhir dan segera diperiksakan, agar tidak terjadi

penularan pada orang-orang disekitarnya.

Persalinan pada wanita yang tidak dapat pengobatan dan tidak aktif lagi,

dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif,

Page 9: askeb 4

penderita ditempatkan di kamar bersalin tertentu (tidak banyak digunakan

penderita lain). Persalinan ditolong dengan ekstraksi vakum atau forceps, dan

sedapat mungkin penderita tidak meneran, diberi masker untuk menutupi mulut

dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya.

Cegah terjadinya perdarahan postpartum seperti pada pasien lain pada

umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi 6-8

jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika,

dan obat TBS paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas yang harus

mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan, harus dirawat di

ruang isolasi. Perawatan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita TBC paru

haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya agar anaknya tidak tertular oleh

ibunya. Dalam keadaan ideal bayi setelah lahir segera dipisahkan dengan ibunya,

sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah

dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali, yang selalu

memperlihatkan hasil negative. Pada bayi diberi suntikan Mantoux sampai

menunjukkan reaksi positif. Bila suntikan BCG tersedia, sebaiknya segera

diberikan pada bayi setelah lahir, atau bila reaksi Mantoux negative. Proses laktasi

tetap dilakukan, karena toksisitas obat rendah. ASI tidak dapat digunakan sebagai

pengobatan bayi yang telah terinfeksi.

ASMA BRONKIAL

Pengertian

Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh The

American Thoracic Society yaitu asma adalah suatu penyakit dengan ciri

Page 10: askeb 4

meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan

manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat

berubah-ubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.

Etiologi

Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan

pasti. Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling

disepakati oleh para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan

sistem imun.

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya

inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi

maupun non-alergi. Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan

tersebut. Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom.

Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai

keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi

saluran napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan

obstruksi saluran napas.

Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot

bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi

bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas

menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya

obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume

residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume

yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini

Page 11: askeb 4

bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.

Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif

dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak

Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)

menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat

terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi

(wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan

penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan

dibanding mengi.

Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan

kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan

peningkatan tidal volume. Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural

terhadap fungsi paru selama kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema

mukosa dan saluran pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar

estrogen. Pada uterus gravid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma

meninggi, dan semakin dalamnya sudut antar-kosta. Wanita hamil mengalami

peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional,

penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah.

Hiperventilasi alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 27-

34 mmHg, yang biasanya terlihat pada umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang

diperkirakan, frekuensi terjadinya serangan eksaserbasi asma puncaknya pada

umur kehamilan sekitar enam bulan, gejala yang berat biasanya terjadi antara

umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu.

Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:

1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas

2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas

3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu

Page 12: askeb 4

4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin,

prostaglandin dan leukotrin.

Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan

mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme

bronkus. Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan

diawal berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas

darah arteri pada kehamilan (penurunan PCO2 dan peningkatan pH). Pasien

dengan perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan merupakan faktor risiko

terjadinya hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan. dan gagal

napas.

Pengaruh pada kehamilan

Pengeluaran janin merupakan saat penting yang membutuhkan oksigenasi

segera dan hal ini bergantung pada suplai oksigen dan arteri ibu, venous return,

cardiac output, dan arkulasi uteroplasenter. Mekanisme kompensasi bagi janin

untuk melawan kondisi kekurangan oksigen adalah mempertahankan kadar Hb

16g/dL dan PO2 22 mmHg.

Asma yang tidak terkontrol baik atau asma yang berat dapat mengancam

janin oleh karena mengakibatkan hipoksia yang berat pada ibu dan penurunan

sirkulasi darah ke uterus. Kelompok wanita ini mempunyai risiko tinggi

melahirkan bayi berat Janin rendah (BBLR) dan bayi prematur, hipoksia neonatal,

komplikasi selama persalinan, dengan tingkat mortalitas perinatal dan maternal

yang tinggi pula. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperemesis

gravidarum, perdarahan maternal, dan preeklampsia.

Oleh karena akibat yang ditimbulkan asma selama kehamilan, maka

dianggap yang disertai asma adalah kehamilan risiko tinggi. Namun bayi yang

lahir dan dari wanita yang menderita asma (misalnya dari wanita dengan asma

yang terkontrol) menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal berat bayi, nilai

Page 13: askeb 4

apgar, dan tingkat kelainan kongenital, dibandingkan dengan wanita yang tidak

menderita asma.

Diagnosa

Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa

sumber lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan

tes fungsi paru. Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan

diagnosis, tes fungsi paru penting mengetahui reversibilitas penyakit,

progresifitasnya dan sebagai petunjuk pelaksanaan.

Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa

berat di dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja

yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya

penyakit alergi yang lain nada pasien maupun keluarganya, dapat membantu

diagnosis. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus terjadinya asma.

Klasifikasi

Menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu:

1. Asma intermitten

Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa

jam sampai beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali

sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai

APE dan KVP1 > 80% dari hasil prediksi, vanabilitas <20%

2. Asma persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan

mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2

Page 14: askeb 4

kali /bulan, nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-

30%

3. Asma persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma

pada malam hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 60-

80% nilai prediksi, variabilitas >30%

4. Asma persisten berat

Gejala terus menerus, sering mendapat serangan, gejala asma malam sering,

aktifitas fisik terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP1 60% nilai

prediksi, variabilitas > 30%.

Komplikasi

Komplikasi akut

Komplikasi akut timbul dengan sangat cepat, berupa perubahan-perubahan

pada otot polos bronkus, permeabilitas pembuluh darah, serta jantung. Perubahan-

perubahan tersebut mungkin disebabkan oleh penglepasan yang cepat dan

dalamjumlah besar amin-amin vasoaktif seperti histamin, slow reacting subtance

of anaphylaxis (SRS-A) dan prostaglandin.

Pada penderita asma bronkial, sering timbul apneu mendadak setelah

melakukan aktivitas fisik. Bila obstruksi saluran napas hebat sekali maka

kecepatan arus udara menjadi sangat berkurang, sehingga bising mengi tidak

terdengar (silent chest). Pada sistem kardiovaskular terjadi takikardia. Frekuensi

denyut jantung atau nadi lebih dari 130 per menit menunjukkan serangan asma

bronkial yang berat. Penderita dapat mengalami hipoksemia dan kehilangan

kesadaran sampai koma. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita telah masuk

dalam keadaan darurat gawat napas. Bila penderita tidak ditangani secara efektif

Page 15: askeb 4

dengan ventilator mekanik, maka penderita dapat mengalami aritmia jantung atau

henti jantung sampai kematian.

Komplikasi sub akut

Komplikasi sub akut terutama disebabkan oleh sekret kental yang

menyumbat saluran napas, sehingga akan memperberat obstruksi semula.

Produksi sekret yang terus bertambah, serta gagalnya mekanisme mucociliary

clearance akan menyebabkan gejala obstruksi tersebut makin berat.

Bila keadaan ini terus berlanjut, dapat terjadi status asmatikus, yang

menggangu proses ventilasi-perfusi, dengan akibat hipoksemia serta takipneu.

Bila status asmatikus berlanjut, dapat terjadi hiperkapnia, kelelahan menghebat,

penurunan kesadaran dari apatis sampai koma, dan akhirnya keadaan darurat

gagal napas. Salah satu komplikasi asma bronkial adalah infeksi

sekunder. Misalnya pneumonia ,yang kemudian dapat menimbulkan edema paru.

Komplikasi asma bronkial lainnya adalah timbulnya hiperkapnia dan

asidosis respirasi. Hiperkapnia yang berat selalu disertai dengan takipneu.

Hiperkapnia dan asidosis menimbulkan gejala gelisah, disorientasi, somnolens

dan koma.

Komplikasi kronik

Pada asma kronik, serangan timbul berulang-ulang diselingi dengan periode

tanpa gejala. Pada periode tanpa gejala, fungsi paru normal, sedangkan dalam

keadaan serangan terdapat kelainan fungsi paru. Woolcock dan Read menemukan

hampir 50% penderita asma kronik disertai dengan hiperinflasi paru yang

persisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan struktur paru. Pada penelitian

takizawa dan kawan-kawan serta Dunnill dan kawan-kawan ditemukan adanya

penambahan ukuran otot polos bronkus serta kelenjar mukosa bronkus.

Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) jenis asma menahun merupakan salah

satu komplikasi asma bronkial. Pada asma menahun selalu terdapat onstruksi jalan

napas, walaupun dalam tingkatan yang berbeda. Dalam golongan penyakit ini

Page 16: askeb 4

mungkin saja sudah ada komponen bronkitis atau emfisema, namun penyakit

dasarnya adalah asma bronkial.

Penatalaksanaan

1. Mencegah timbulnya stress.

2. Menghindari factor resiko (pencetus) yang sudah diketahui, secara intensif.

3. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacam yang dapat menjadi

pencetus timbulnya serangan.

4. Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk

inhalasi, atau per oral seperti isoproterenol.

5. Pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat

dihilangkan dengan satu atau lebih dari obat di bawah ini:

a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml, disuntikkan

subkutis

b. Isoproterenol (1:1000) berupa inhalasi 3-7 hari

c. Oksigen

d. Aminofilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infuse glucose 5%

e. Hidrokortison 260-1000 mg iv pelan-pelan atau perinfus dalam dekstrose

10%.

Hindari obat-obatan yang mengandung iodium karena dapat membuat

gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi.

Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita

masih dalam serangan dapat diberi pertolongan dengan tindakan seperti dengan

ekstraksi vakum atau forceps. Tindakan seksio sesarea atas indikasi asma jarang

atau tak pernah dilakukan.

TIFUS ABDOMINALIS

Page 17: askeb 4

Pengertian

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella

typhi, mengakibatkan gejala khas demam, nyeri kepala, nyeri perut, dan

penurunan kesadaran (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan,

2009).

Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi, Salmonella Paratyphi A,

Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C.

Patofisiologi

Kuman salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam

lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus. Kuman salmonella typhi kemudian

menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe

mesenterial. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe, salmonella typhi masuk

aliran darah melalui ductus thoracicus. Endotoksin salmonella typhi berperan pada

patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal

pada jaringan tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam tifoid

disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan

penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. 

Pengaruh pada kehamilan

Pada Kehamilan

Penyakit ini lebih mungkin dijumpai selama Epidemi atau pada mereka

yang terinfeksi oleh virus Imunodefisiensi manusia (HIV). Pada tahun 1990 di

Page 18: askeb 4

laporkan bahwa demam tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus hampir

80% kasus, dengan angka kematian janin 60%, dan angka kematian ibu 25%.

Penyakit Typhus Abdominalis ini masuknya ke bagian infeksi dari bakteri

salmonella dan shigella. Berpengaruh terhadap kehamilan karna bisa

menyebabkan kematian janin usia gestasi 15 minggu.

Pada Persalinan

Penyakit ini dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terinfeksi

oleh bakteri Salmonella typhosa. Kuman ini masuk melalui mulut terus ke

lambung lalu ke usus halus. Di usus halus, bakteri ini memperbanyak diri lalu

dilepaskan ke dalam darah, akibatnya terjadi panas tinggi. Sehingga dapat

berpengaruh pada janin kemungkinan bisa gawat janin.

Pada Nifas

Penyakit ini di tularkan melalui makan dan dampaknya bisa ke ibu dan bayi,

dari ibunya sendiri bisa tertular lewat makanan yang sudah tercemar dan gejalanya

meliputi: diare, nyeri abdomen, mual dan muntah, pada ibu yang mempunyai

penyakit ini bisa juga menular pada bayinya lewat ASI ibu dan mengakibatkan

demam yang tinggi bila tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan kematian pada

ibu dan bayinya.

Diagnosa

Selain demam tinggi yang menetap, gejala-gejala lain yang patut diperhatikan dan

ditanggulangi adalah pusing, mual/muntah, nyeri perut, diare hebat dan dehidrasi

yang gawat. Dehidrasi dapat bertambah hebat bila pasien mengalami hiperemesis

gravidarum. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi hiperemis. Nadi dapat

memperlihatkan bradikardi relative, dengan nadi per menit yang tidak sesuai

(terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang tinggi. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan leucopenia dan trombositopenia (tidak seberat

trombositopenia pada DBD). Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara

Page 19: askeb 4

antigen dan antibodi (aglutinin). Antigen yang digunakan pada uji widal adalah

suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji

widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang

disangka menderita demam tifoid.

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid memang cukup mengkhawatirkan. Dan kalau sudah

muncul komplikasinya, kadang prognosisnya kurang bagus. Komplikasi yang

serius diantaranya adalah:

1. Komplikasi intestinal (maksudnya komplikasi di daerah usus halus), yaitu:

Perdarahan usus. Karena memang kuman ini menyerang dinding usus

halus, sehingga memperlemah/membuat luka di dinding usus halus.

Dan bila makin lemah, dapat terjadi perforasi usus (ususnya berlubang).

Kalau sudah begini, harus dilakukan operasi segera, untuk memotong

usus yang berlubang itu.

2. Komplikasi ekstra intestinal (maksudnya komplikasi yang terjadi di luar usus

halus), yaitu:

Peradangan pada otot jantung (myocarditis).

Peradangan paru-paru (Pneumonia)

Peradangan pada pankreas (pankreatitis)

Infeksi pada ginjal dan kandung kencing

Infeksi tulang belakang (osteomyelitis)

Infeksi dan peradangan di selaput otak (meningitis), dan

Gangguan kejiwaan, misalnya halusinasi (melihat sesuatu, yang

sebenarnya tidak ada atau bahkan psikosis paranoid, selalu curiga atau

ketakutan yang tidak berdasar). 

Penatalaksanaan

Page 20: askeb 4

Tindakan preventif terhadap demam tifoid adalah menjaga kebersihan

makanan, minuman dan tentu saja peralatan/tangan yang dipergunakan dan

vaksinasi ibu hamil.

Penanganan umum terdiri atas:

˗ Istirahat dan batasi aktifitas fisik, tirah baring sampai panas hilang.

˗ Demam tifoid merupakan kasus rawat inap

˗ Observasi kehamilan dan komplikasinya

˗ Perbaiki kondisi kesehatan umum dan nutrisi, yaitu diet (cukup lunak dan

rendah serat)

Lakukan rehidrasi akibat demam, muntah atau diare.

Demam dapat diatasi dengan parasetamol 500 mg setiap 4-6 jam, kurangi

dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali normal.

Isolasi kuman penyebab (untuk diagnosis pasti) dan lakukan pemeriksaan

serologis secara terjadwal.

Terapi antibiotika untuk demam tifoid:

˗ Kloramfenikol 4x500mg (oral) per hari hingga 3-5 hari bebas demam

˗ Tiamfenikol 4x500mg (oral) per oral hingga 3-5 hari bebas demam

˗ Ampisilin 4x500-1000mg hingga 3-5 hari bebas demam

˗ Walaupun golongan kinolon cukup efektif, tetapi tidak dianjurkan untuk

ibu hamil. Pilih antibiotika generasi baru yang tidak menekan

eritropoesis.

Lakukan kompres pada tubuh apabila terjadi hiperpireksia.

Lakukan pemantauan perkembangan kehamilan dan pertumbuhan janin.

Hindarkan transmisi lanjutan.

Konseling tentang demam tifoid dan pengaruhnya terhadap kesehatan ibu,

kehamilan, dan janin/neonatus.

Ibu dengan demam tifoid sebaiknya mempertimbangkan resiko dan

keuntungan untuk memberikan laktasi atau merawat sendiri bayi yang baru

dilahirkan. Meskipun basil tifus tidak mencapai air susu ibu, tetapi karena ibu

sakit berat dan dapat menularkannya, maka bayi segera dipisahkan dari ibu

Page 21: askeb 4

setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat dilakukan pada ibu hamil dan tidak

membahayakan janin yang dikandungnya.

HIV/AIDS

Pengertian

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi sistemik akibat virus

HIV, yang mengakibatkan berbagai gambaran klinis, mulai dari infeksi primer

akut, periode laten, sampai munculnya tahap lanjut yang dikenal dengan acquired

immune deficiency syndrome (AIDS). Pada tahap lanjut mulai muncul berbagai

kelainan yang memperlihatkan kegagalan system imun pasien menghadapi

berbagai kuman penyakit (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan,

2009).

Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human

Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari

famili Retrovirusdan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua

serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy

associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada

kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya

belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun

(AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic

virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-

associated virus.

Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang

berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang

membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini.

Page 22: askeb 4

Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer

informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan

menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse

transkriptase

Patofisiologi

Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang

mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai

afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari

selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki

molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan

penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari

membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga

seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali

selubungnya.

Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase.

Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi

suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai

mekanismeproofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka

terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.

Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini

menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang

berkelanjutan terhadap pengobatan.

Pengaruh pada kehamilan

Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV

tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau

gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi

Page 23: askeb 4

HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan

intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain

karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan

perinatalnya lebih tinggi.

Transmisi Vertikal HIV

                  Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang

dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara

berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-

26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum.

Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui,

24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan.

Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi

intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah

persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah

6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif.

Transmisi Intra Uteri 

            Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,

IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan

bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan,Walaupun masih belum jelas,

mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV

dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang

terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung

melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan

menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor

CD4.

Transmisi Intra partum

            Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan

virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu

Page 24: askeb 4

berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.Selama persalinan, bayi dapat

tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan

trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan

servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi

lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan

servikovaginal berhubungan dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4

yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi

vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan

lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi

HIV secara vertikal. 

Tranmisi Post Partum

            Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup

banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita

HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan

non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58%

pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu

terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam

konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah

persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam

bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan

berikutnya. Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4

ibu, defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam

air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang

tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko

transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu,

abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi

Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko penularan vertikal HIV dari ibu

ke anak:

Page 25: askeb 4

Periode Faktor

Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin

A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160,

malnutrisi, perokok, pengambilan sample vili korion,

amniosentesis.

Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara

persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,

persalinan prematur, penggunaan elektrode pada

kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi

vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan

dengan vakum atau forseps

Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis

           

            Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga

dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh

lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi

yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2

Diagnosa

Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang

mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :

Lahir dengan ibu resiko tinggi

Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.

Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa

uji HIV.

Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu

narkotika)

Page 26: askeb 4

Homoseksual atau biseksual.

Kebiasaan seksual yang keliru.

Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular

seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya

ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitial, keganasan

sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan

pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif

sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya

dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan

uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.

Pemeriksaaan laboratorium

      Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga

kelompok, yaitu :

Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV

Pemeriksaan status imunitas

Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan

Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV

            HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari

protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi

dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali,

tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120 dan p24.

Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :

Tes untuk menguji antibodi HIV,Terdapat berbagai macam cara yaitu:

ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, RIPA

(RadioImmunoPresipitation Assay) dan IFA (ImmunoFluorescence

Assay).

Page 27: askeb 4

Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus,

antigen P24, dan Polymerase Chain Reaction (PCR).

Komplikasi

Dikarenakan orang yang terkena HIV imunitasnya menurun, sehingga dengan

mudah HIV menjalar dan merusak organ-organ lain sehingga komplikasi yang

dapat terjadi yaitu menyangkut semua penyakit yang bahkan sakit pilek atau batuk

ringan saja bisa meninggal dunia.

Penatalaksanaan

Penapisan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian dilakukan atas

permintaan pasien dimana setelah proses konseling resiko PMS dan

hubungannya dengan HIV, yang bersangkutan memandang perlu

pemeriksaan tersebut.

Upayakan ketersediaan uji serologic (ELISA dan Western Blot)

Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang berkaitan

dengan kehamilan dan resiko kehamilan.

Bagi golongan resiko tinggi tetapi hasil pengujian negative (termasuk pasca

window period) dilakukan konseling untuk upaya preventif (penggunaan

kondom).

Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi oportunistik.

Lakukan terapi (AZT) sesegera mungkin, terutama bila konsentrasi virus

30.000-50.000 kopi RNA/ml atau jika CD4 menurun secara drastis.

Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang dihadapi

(pervaginam atau perabdominam, perhatikan prinsip pencegahan infeksi).

Terapi preventif terhadap HIV yaitu dengan menjauhi hal seperti tidak

berhubungan seks diluar pernikahan dan penggunaan narkoba, khususnya

Page 28: askeb 4

intravena. Pasien HIV dan keluarga perlu memperoleh konseling, dukungan

psikologis, disamping evaluasi dan terapi terhadap komplikasi infeksi yang

terjadi. Prinsip terapi infeksi HIV adalah suportif dan pemberian terapi anti viral.

Pada ibu hamil dengan HIV (+) pemberian anti viral diindikasikan untuk

menurunkan kemungkinan transmisi vertical kepada janin. Kelahiran umumnya

direncanakan dengan SC selektif, sebelum persalinan dimulai atau pecah ketuban.

DAFPUS::

Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). 2009.