askeb 4
Transcript of askeb 4
TBC PARU-PARU
Pengertian
Tuberculosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Depkes, 2003). Kuman TB
berbentuk batang mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pewarnaan yang
disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA.
Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar
kuman ini terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi karena kuman yang ada
pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali dan menjadi
tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan
oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup
partikel kecil yang mengandung bakteri tuberkulosis, minum susu sapi yang sakit
tuberkulosis. Masa tunas berkisar antara 4-12 minggu. Masa penularan terus
berlangsung selama sputum BTA penderita positif.
Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu
batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas atau penyebaraan langsung kebagian tubuh lain (Depkes, 2003).
Infeksi primer : infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga
dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus,
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru,
dan ini disebut komplek primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer
adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari
banyaknya kuman yang masuk dan bersarnya respon daya tahan (imunitas seluler)
pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan keman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur), kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan (Dep Kes, 2003).
Infeksi paska primer (post primary TB) : TB paru pasca primer biasanya
terjadi terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi.
Pengaruh pada kehamilan
Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya
perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan
yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan
sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi basal, suara
kaverne atau pleura efusion.
Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe,
letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan
antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status
imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.
Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis
maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia
kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan
faktor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan
dengan TB.
Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan
diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah
mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum.
Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti
usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga
organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas)
seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan
kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang
pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah
menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan
untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi.
Harold Oster MD, 2007, mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun
aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun,
jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan.
Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali,
kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk
hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu sampai tuntas.
Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu
melakukan aborsi.
Pengaruh terhadap janin
Menurut Oster, 2007, jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada
sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko, biasanya diberikan
obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan
Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar
paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah
sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah
setelah lahir.
Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya
pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke
janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB
congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,
seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa
membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas, apakah bayi
tertular saat masih di perut atau setelah lahir.
Diagnosa
Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati
terpapar sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan
dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular
pada anggota keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui
batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita.
Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika
memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu
melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara,
seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah
dilakukan, murah dan cukup reliable.
Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila
terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak
misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun
rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi
kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang
membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari
tuberkulin tes. Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih
jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit.
Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas
lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA), serta uji tuberkulin.
Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB,
sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto
torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB.
Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak
ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi
anergi.
Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk
mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di
perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.
Klasifikasi
Berdasarkan organ yang terinvasi :
TB Paru adalah tuberkolosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi
Tuberkolosis Paru BTA positif dan BTA negatif.
TB ekstra paru yaitu tuberkolosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin.
TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB
ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal, dan TB ekstra paru berat seperti
meningitis, paricarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing
dan alat kelamin.
Berdasarkan tipe penderita :
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita :
Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkolosis (OAT)
kurang dari satu bulan.
Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan
hasil pemeriksaan BTA positif.
Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat (Depkes – 2003).
Menurut American Thoracic Society, 1974:
Kategori 0: Tidak pernah terpapar dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak
negative, tes tuberculin negative.
Kategori 1: Terpapar tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.
Kategori 2: Terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negative.
Kategori 3: Terinfeksi tuberculosis dan sakit
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi jika TB paru tidak diobati adalah pleuritis, efusi
pleura, empiema, laryngitis, TB usus.
Penatalaksanaan
Pada penderita yang dicurigai menderita TBC paru sebaiknya dilakukan
pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (purified protein derivate) 5u dan
bila hasilnya positif diteruskan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan
dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X. Pada penderita dengan TBC paru aktif
perlu dilakukan pemeriksaan sputum, untuk membuat diagnosis secara pasti
sekaligus untuk tes kepekaan. Pengaruh TBC paru pada ibu yang sedang hamil
bila diobati dengan baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada janin
jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena
dirawat atau disusui oleh ibunya.
Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang diperlukan
perawatan, untuk mendiagnosis serta untuk memberikan pendidikan. Perlu
diterangkan pada penderita bahwa mereka memerlukan pengobatan yang cukup
lama dan ketekunan serta ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit
akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita.
penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin, tertawa.
pengobatan terutama dengan kemoterapi, dan sangat jarang diperlukan tindakan
operasi.
Pada penderita TBC paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu
dapat pengobatan. sedangkan pada yang aktif, dianjurkan untuk menggunakan
obat dua macam atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan
isoniazid (INH) selalu diikutkan dalam regimen pengobatan tersebut.
Obat-obat yang dapat digunakan:
1. Isoniazid (INH), dengan dosis 300 mg/hari. obat ini mungkin menimbulkan
komplikasi pada hati, sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu
makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu perlu diperiksa faal hati
sewaktu-waktu, dan bila ada perubahan, maka obat untuk sementara harus
segera dihentikan.
2. Ethambutol dengan dosis 15-20 mg/kg/hari. dilaporkan obat ini dapat
menimbulkan komplikasi retrotubuler neuritis akan tetapi laporan efek
samping obat ini dalam kehamilan sangat sedikit, dan pada janin belum ada.
3. Streptomycin dengan dosis 1 g/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam
kehamilan, dan jangan digunakan dalam kehamilan trimester pertama.
Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik),
disamping itu pemberian obat ini kurang menyenangkan pada penderita,
karena harus disuntikkan setiap hari. Dilaporkan bila dosis yang diberikan <
30 g selama kehamilan, tidak banyak atau jarang ada pengaruhnya pada janin.
4. Rifampisin dengan dosis 600 mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan
TBC paru, akan tetapi mempunyai efek potensial teratogenik yang besar pada
binatang percobaan. Pada manusia belum banyak laporan, dan dianjurkan
untuk tidak menggunakannya dalam trimester pertama.
Pemeriksaan sputum setelah 1-2 bulan pengobatan, harus dilakukan dan
kalau masih positif, perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat. Tidak ada
indikasi untuk melakukan tindakan pengguguran kehamilan pada penderita TBC
paru. Antenatal care dapat dilakukan seperti biasa. Dianjurkan penderita datang
sebagai pasien permulaan atau terakhir dan segera diperiksakan, agar tidak terjadi
penularan pada orang-orang disekitarnya.
Persalinan pada wanita yang tidak dapat pengobatan dan tidak aktif lagi,
dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif,
penderita ditempatkan di kamar bersalin tertentu (tidak banyak digunakan
penderita lain). Persalinan ditolong dengan ekstraksi vakum atau forceps, dan
sedapat mungkin penderita tidak meneran, diberi masker untuk menutupi mulut
dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya.
Cegah terjadinya perdarahan postpartum seperti pada pasien lain pada
umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi 6-8
jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika,
dan obat TBS paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas yang harus
mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan, harus dirawat di
ruang isolasi. Perawatan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita TBC paru
haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya agar anaknya tidak tertular oleh
ibunya. Dalam keadaan ideal bayi setelah lahir segera dipisahkan dengan ibunya,
sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah
dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali, yang selalu
memperlihatkan hasil negative. Pada bayi diberi suntikan Mantoux sampai
menunjukkan reaksi positif. Bila suntikan BCG tersedia, sebaiknya segera
diberikan pada bayi setelah lahir, atau bila reaksi Mantoux negative. Proses laktasi
tetap dilakukan, karena toksisitas obat rendah. ASI tidak dapat digunakan sebagai
pengobatan bayi yang telah terinfeksi.
ASMA BRONKIAL
Pengertian
Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh The
American Thoracic Society yaitu asma adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
Etiologi
Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan
pasti. Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling
disepakati oleh para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan
sistem imun.
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya
inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi
maupun non-alergi. Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan
tersebut. Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom.
Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai
keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi
saluran napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan
obstruksi saluran napas.
Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya
obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume
residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume
yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat
terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi
(wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan
penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.
Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan
kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan
peningkatan tidal volume. Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural
terhadap fungsi paru selama kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema
mukosa dan saluran pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar
estrogen. Pada uterus gravid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma
meninggi, dan semakin dalamnya sudut antar-kosta. Wanita hamil mengalami
peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional,
penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah.
Hiperventilasi alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 27-
34 mmHg, yang biasanya terlihat pada umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang
diperkirakan, frekuensi terjadinya serangan eksaserbasi asma puncaknya pada
umur kehamilan sekitar enam bulan, gejala yang berat biasanya terjadi antara
umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu.
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin,
prostaglandin dan leukotrin.
Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan
mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme
bronkus. Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan
diawal berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas
darah arteri pada kehamilan (penurunan PCO2 dan peningkatan pH). Pasien
dengan perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan merupakan faktor risiko
terjadinya hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan. dan gagal
napas.
Pengaruh pada kehamilan
Pengeluaran janin merupakan saat penting yang membutuhkan oksigenasi
segera dan hal ini bergantung pada suplai oksigen dan arteri ibu, venous return,
cardiac output, dan arkulasi uteroplasenter. Mekanisme kompensasi bagi janin
untuk melawan kondisi kekurangan oksigen adalah mempertahankan kadar Hb
16g/dL dan PO2 22 mmHg.
Asma yang tidak terkontrol baik atau asma yang berat dapat mengancam
janin oleh karena mengakibatkan hipoksia yang berat pada ibu dan penurunan
sirkulasi darah ke uterus. Kelompok wanita ini mempunyai risiko tinggi
melahirkan bayi berat Janin rendah (BBLR) dan bayi prematur, hipoksia neonatal,
komplikasi selama persalinan, dengan tingkat mortalitas perinatal dan maternal
yang tinggi pula. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperemesis
gravidarum, perdarahan maternal, dan preeklampsia.
Oleh karena akibat yang ditimbulkan asma selama kehamilan, maka
dianggap yang disertai asma adalah kehamilan risiko tinggi. Namun bayi yang
lahir dan dari wanita yang menderita asma (misalnya dari wanita dengan asma
yang terkontrol) menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal berat bayi, nilai
apgar, dan tingkat kelainan kongenital, dibandingkan dengan wanita yang tidak
menderita asma.
Diagnosa
Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa
sumber lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan
tes fungsi paru. Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan
diagnosis, tes fungsi paru penting mengetahui reversibilitas penyakit,
progresifitasnya dan sebagai petunjuk pelaksanaan.
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa
berat di dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja
yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya
penyakit alergi yang lain nada pasien maupun keluarganya, dapat membantu
diagnosis. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus terjadinya asma.
Klasifikasi
Menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Asma intermitten
Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa
jam sampai beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali
sebulan, diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai
APE dan KVP1 > 80% dari hasil prediksi, vanabilitas <20%
2. Asma persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan
mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2
kali /bulan, nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-
30%
3. Asma persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma
pada malam hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 60-
80% nilai prediksi, variabilitas >30%
4. Asma persisten berat
Gejala terus menerus, sering mendapat serangan, gejala asma malam sering,
aktifitas fisik terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP1 60% nilai
prediksi, variabilitas > 30%.
Komplikasi
Komplikasi akut
Komplikasi akut timbul dengan sangat cepat, berupa perubahan-perubahan
pada otot polos bronkus, permeabilitas pembuluh darah, serta jantung. Perubahan-
perubahan tersebut mungkin disebabkan oleh penglepasan yang cepat dan
dalamjumlah besar amin-amin vasoaktif seperti histamin, slow reacting subtance
of anaphylaxis (SRS-A) dan prostaglandin.
Pada penderita asma bronkial, sering timbul apneu mendadak setelah
melakukan aktivitas fisik. Bila obstruksi saluran napas hebat sekali maka
kecepatan arus udara menjadi sangat berkurang, sehingga bising mengi tidak
terdengar (silent chest). Pada sistem kardiovaskular terjadi takikardia. Frekuensi
denyut jantung atau nadi lebih dari 130 per menit menunjukkan serangan asma
bronkial yang berat. Penderita dapat mengalami hipoksemia dan kehilangan
kesadaran sampai koma. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita telah masuk
dalam keadaan darurat gawat napas. Bila penderita tidak ditangani secara efektif
dengan ventilator mekanik, maka penderita dapat mengalami aritmia jantung atau
henti jantung sampai kematian.
Komplikasi sub akut
Komplikasi sub akut terutama disebabkan oleh sekret kental yang
menyumbat saluran napas, sehingga akan memperberat obstruksi semula.
Produksi sekret yang terus bertambah, serta gagalnya mekanisme mucociliary
clearance akan menyebabkan gejala obstruksi tersebut makin berat.
Bila keadaan ini terus berlanjut, dapat terjadi status asmatikus, yang
menggangu proses ventilasi-perfusi, dengan akibat hipoksemia serta takipneu.
Bila status asmatikus berlanjut, dapat terjadi hiperkapnia, kelelahan menghebat,
penurunan kesadaran dari apatis sampai koma, dan akhirnya keadaan darurat
gagal napas. Salah satu komplikasi asma bronkial adalah infeksi
sekunder. Misalnya pneumonia ,yang kemudian dapat menimbulkan edema paru.
Komplikasi asma bronkial lainnya adalah timbulnya hiperkapnia dan
asidosis respirasi. Hiperkapnia yang berat selalu disertai dengan takipneu.
Hiperkapnia dan asidosis menimbulkan gejala gelisah, disorientasi, somnolens
dan koma.
Komplikasi kronik
Pada asma kronik, serangan timbul berulang-ulang diselingi dengan periode
tanpa gejala. Pada periode tanpa gejala, fungsi paru normal, sedangkan dalam
keadaan serangan terdapat kelainan fungsi paru. Woolcock dan Read menemukan
hampir 50% penderita asma kronik disertai dengan hiperinflasi paru yang
persisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan struktur paru. Pada penelitian
takizawa dan kawan-kawan serta Dunnill dan kawan-kawan ditemukan adanya
penambahan ukuran otot polos bronkus serta kelenjar mukosa bronkus.
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) jenis asma menahun merupakan salah
satu komplikasi asma bronkial. Pada asma menahun selalu terdapat onstruksi jalan
napas, walaupun dalam tingkatan yang berbeda. Dalam golongan penyakit ini
mungkin saja sudah ada komponen bronkitis atau emfisema, namun penyakit
dasarnya adalah asma bronkial.
Penatalaksanaan
1. Mencegah timbulnya stress.
2. Menghindari factor resiko (pencetus) yang sudah diketahui, secara intensif.
3. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacam yang dapat menjadi
pencetus timbulnya serangan.
4. Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang berbentuk
inhalasi, atau per oral seperti isoproterenol.
5. Pada keadaan yang lebih berat penderita harus dirawat dan serangan dapat
dihilangkan dengan satu atau lebih dari obat di bawah ini:
a. Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml, disuntikkan
subkutis
b. Isoproterenol (1:1000) berupa inhalasi 3-7 hari
c. Oksigen
d. Aminofilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infuse glucose 5%
e. Hidrokortison 260-1000 mg iv pelan-pelan atau perinfus dalam dekstrose
10%.
Hindari obat-obatan yang mengandung iodium karena dapat membuat
gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi.
Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita
masih dalam serangan dapat diberi pertolongan dengan tindakan seperti dengan
ekstraksi vakum atau forceps. Tindakan seksio sesarea atas indikasi asma jarang
atau tak pernah dilakukan.
TIFUS ABDOMINALIS
Pengertian
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi, mengakibatkan gejala khas demam, nyeri kepala, nyeri perut, dan
penurunan kesadaran (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan,
2009).
Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi, Salmonella Paratyphi A,
Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C.
Patofisiologi
Kuman salmonella typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus. Kuman salmonella typhi kemudian
menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe, salmonella typhi masuk
aliran darah melalui ductus thoracicus. Endotoksin salmonella typhi berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal
pada jaringan tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam tifoid
disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Pengaruh pada kehamilan
Pada Kehamilan
Penyakit ini lebih mungkin dijumpai selama Epidemi atau pada mereka
yang terinfeksi oleh virus Imunodefisiensi manusia (HIV). Pada tahun 1990 di
laporkan bahwa demam tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus hampir
80% kasus, dengan angka kematian janin 60%, dan angka kematian ibu 25%.
Penyakit Typhus Abdominalis ini masuknya ke bagian infeksi dari bakteri
salmonella dan shigella. Berpengaruh terhadap kehamilan karna bisa
menyebabkan kematian janin usia gestasi 15 minggu.
Pada Persalinan
Penyakit ini dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang terinfeksi
oleh bakteri Salmonella typhosa. Kuman ini masuk melalui mulut terus ke
lambung lalu ke usus halus. Di usus halus, bakteri ini memperbanyak diri lalu
dilepaskan ke dalam darah, akibatnya terjadi panas tinggi. Sehingga dapat
berpengaruh pada janin kemungkinan bisa gawat janin.
Pada Nifas
Penyakit ini di tularkan melalui makan dan dampaknya bisa ke ibu dan bayi,
dari ibunya sendiri bisa tertular lewat makanan yang sudah tercemar dan gejalanya
meliputi: diare, nyeri abdomen, mual dan muntah, pada ibu yang mempunyai
penyakit ini bisa juga menular pada bayinya lewat ASI ibu dan mengakibatkan
demam yang tinggi bila tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan kematian pada
ibu dan bayinya.
Diagnosa
Selain demam tinggi yang menetap, gejala-gejala lain yang patut diperhatikan dan
ditanggulangi adalah pusing, mual/muntah, nyeri perut, diare hebat dan dehidrasi
yang gawat. Dehidrasi dapat bertambah hebat bila pasien mengalami hiperemesis
gravidarum. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi hiperemis. Nadi dapat
memperlihatkan bradikardi relative, dengan nadi per menit yang tidak sesuai
(terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang tinggi. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leucopenia dan trombositopenia (tidak seberat
trombositopenia pada DBD). Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara
antigen dan antibodi (aglutinin). Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang
disangka menderita demam tifoid.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid memang cukup mengkhawatirkan. Dan kalau sudah
muncul komplikasinya, kadang prognosisnya kurang bagus. Komplikasi yang
serius diantaranya adalah:
1. Komplikasi intestinal (maksudnya komplikasi di daerah usus halus), yaitu:
Perdarahan usus. Karena memang kuman ini menyerang dinding usus
halus, sehingga memperlemah/membuat luka di dinding usus halus.
Dan bila makin lemah, dapat terjadi perforasi usus (ususnya berlubang).
Kalau sudah begini, harus dilakukan operasi segera, untuk memotong
usus yang berlubang itu.
2. Komplikasi ekstra intestinal (maksudnya komplikasi yang terjadi di luar usus
halus), yaitu:
Peradangan pada otot jantung (myocarditis).
Peradangan paru-paru (Pneumonia)
Peradangan pada pankreas (pankreatitis)
Infeksi pada ginjal dan kandung kencing
Infeksi tulang belakang (osteomyelitis)
Infeksi dan peradangan di selaput otak (meningitis), dan
Gangguan kejiwaan, misalnya halusinasi (melihat sesuatu, yang
sebenarnya tidak ada atau bahkan psikosis paranoid, selalu curiga atau
ketakutan yang tidak berdasar).
Penatalaksanaan
Tindakan preventif terhadap demam tifoid adalah menjaga kebersihan
makanan, minuman dan tentu saja peralatan/tangan yang dipergunakan dan
vaksinasi ibu hamil.
Penanganan umum terdiri atas:
˗ Istirahat dan batasi aktifitas fisik, tirah baring sampai panas hilang.
˗ Demam tifoid merupakan kasus rawat inap
˗ Observasi kehamilan dan komplikasinya
˗ Perbaiki kondisi kesehatan umum dan nutrisi, yaitu diet (cukup lunak dan
rendah serat)
Lakukan rehidrasi akibat demam, muntah atau diare.
Demam dapat diatasi dengan parasetamol 500 mg setiap 4-6 jam, kurangi
dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali normal.
Isolasi kuman penyebab (untuk diagnosis pasti) dan lakukan pemeriksaan
serologis secara terjadwal.
Terapi antibiotika untuk demam tifoid:
˗ Kloramfenikol 4x500mg (oral) per hari hingga 3-5 hari bebas demam
˗ Tiamfenikol 4x500mg (oral) per oral hingga 3-5 hari bebas demam
˗ Ampisilin 4x500-1000mg hingga 3-5 hari bebas demam
˗ Walaupun golongan kinolon cukup efektif, tetapi tidak dianjurkan untuk
ibu hamil. Pilih antibiotika generasi baru yang tidak menekan
eritropoesis.
Lakukan kompres pada tubuh apabila terjadi hiperpireksia.
Lakukan pemantauan perkembangan kehamilan dan pertumbuhan janin.
Hindarkan transmisi lanjutan.
Konseling tentang demam tifoid dan pengaruhnya terhadap kesehatan ibu,
kehamilan, dan janin/neonatus.
Ibu dengan demam tifoid sebaiknya mempertimbangkan resiko dan
keuntungan untuk memberikan laktasi atau merawat sendiri bayi yang baru
dilahirkan. Meskipun basil tifus tidak mencapai air susu ibu, tetapi karena ibu
sakit berat dan dapat menularkannya, maka bayi segera dipisahkan dari ibu
setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat dilakukan pada ibu hamil dan tidak
membahayakan janin yang dikandungnya.
HIV/AIDS
Pengertian
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi sistemik akibat virus
HIV, yang mengakibatkan berbagai gambaran klinis, mulai dari infeksi primer
akut, periode laten, sampai munculnya tahap lanjut yang dikenal dengan acquired
immune deficiency syndrome (AIDS). Pada tahap lanjut mulai muncul berbagai
kelainan yang memperlihatkan kegagalan system imun pasien menghadapi
berbagai kuman penyakit (Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV: Patologi Kebidanan,
2009).
Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) ini adalah suatu virus RNA dari
famili Retrovirusdan subfamily Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua
serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy
associated virus type-2 (LAV-2) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya
belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun
(AIDS) yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic
virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-
associated virus.
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang
membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini.
Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer
informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan
menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse
transkriptase
Patofisiologi
Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai
afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari
selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki
molekul CD4 yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan
penempelan virus pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga
seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali
selubungnya.
Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase.
Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi
suatu DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai
mekanismeproofreading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka
terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini.
Dikombinasi dengan tingkat reproduktif virus yang tinggi, mutasi ini
menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering terjadi resistensi yang
berkelanjutan terhadap pengobatan.
Pengaruh pada kehamilan
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV
tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau
gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi
HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan
intra uterin dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain
karena kondisi fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan
perinatalnya lebih tinggi.
Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang
dilaporkan berkisar antara 15%-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-
26%). Penularan dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum.
Sebagian besar penularan terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui,
24%-40% penularan terjadi intra uterin dan 60%-75% terjadi selama persalinan.
Sedangkan pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi
intra uterin, 60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan 10%-15% setelah
persalinan. Resiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah
6%, 18% dan 4% dari keseluruhan kelahian ibu dengan HIV positif.
Transmisi Intra Uteri
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan
bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan,Walaupun masih belum jelas,
mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV
dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang
terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung
melalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan
menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor
CD4.
Transmisi Intra partum
Transmisi intrapartum/infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.Selama persalinan, bayi dapat
tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan
trakheobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan
servikovaginal wanita terinfeksi HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi
lambung bayi yang dilahirkan sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan
servikovaginal berhubungan dengan duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4
yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan imunitas, defisiensi
vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan
lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi
HIV secara vertikal.
Tranmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam cukup
banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita
HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan
non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58%
pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu
terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam
konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah
persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam
bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan
berikutnya. Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4
ibu, defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam
air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang
tidak terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi resiko
transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu,
abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi
Faktor yang berhubungan dengan tingginya resiko penularan vertikal HIV dari ibu
ke anak:
Periode Faktor
Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin
A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160,
malnutrisi, perokok, pengambilan sample vili korion,
amniosentesis.
Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara
persalinan, ketuban pecah sebelum waktunya,
persalinan prematur, penggunaan elektrode pada
kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi
vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan
dengan vakum atau forseps
Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis
Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, resiko transmisi juga
dipengaruhi jenis virus. Transmisi vertikal pada ibu yang menderita HIV-2 jauh
lebih rendah daripada HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi
yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2
Diagnosa
Seperti penyakit lain, diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil penemuan laboratorium. Anamnesis yang
mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV misalnya :
Lahir dengan ibu resiko tinggi
Lahir dari ibu dengan pasangan resiko tinggi.
Penerima tranfusi darah atau komponennya, terutama bila berulang dan tanpa
uji HIV.
Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu
narkotika)
Homoseksual atau biseksual.
Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular
seksual, infeksi yang berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya
ensefalopati yang menetap atau progresif, penyakit paru interstitial, keganasan
sekunder, kardiomiopati dan lain-lainnya. Untuk diagnostik yang pasti dikerjakan
pemeriksaan laboratorium mulai dari yang relatif sederhana hingga yang relatif
sulit dan mahal, yaitu mulai dari menentukan adanya antibodi anti-HIV misalnya
dengan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbant Assay) yang dilanjutkan dengan
uji yang lebih pasti seperti Western blot assay dan lain-lainnya.
Pemeriksaaan laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga
kelompok, yaitu :
Pembuktian adanya antibodi atau antigen HIV
Pemeriksaan status imunitas
Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan
Pembuktian adanya Antibodi atau Antigen HIV
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri dari
protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukkan antibodi
dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibodi yang telah diketahui banyak sekali,
tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibodi gp41. gp120 dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
Tes untuk menguji antibodi HIV,Terdapat berbagai macam cara yaitu:
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Western Blot, RIPA
(RadioImmunoPresipitation Assay) dan IFA (ImmunoFluorescence
Assay).
Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus,
antigen P24, dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Komplikasi
Dikarenakan orang yang terkena HIV imunitasnya menurun, sehingga dengan
mudah HIV menjalar dan merusak organ-organ lain sehingga komplikasi yang
dapat terjadi yaitu menyangkut semua penyakit yang bahkan sakit pilek atau batuk
ringan saja bisa meninggal dunia.
Penatalaksanaan
Penapisan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian dilakukan atas
permintaan pasien dimana setelah proses konseling resiko PMS dan
hubungannya dengan HIV, yang bersangkutan memandang perlu
pemeriksaan tersebut.
Upayakan ketersediaan uji serologic (ELISA dan Western Blot)
Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang berkaitan
dengan kehamilan dan resiko kehamilan.
Bagi golongan resiko tinggi tetapi hasil pengujian negative (termasuk pasca
window period) dilakukan konseling untuk upaya preventif (penggunaan
kondom).
Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi oportunistik.
Lakukan terapi (AZT) sesegera mungkin, terutama bila konsentrasi virus
30.000-50.000 kopi RNA/ml atau jika CD4 menurun secara drastis.
Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang dihadapi
(pervaginam atau perabdominam, perhatikan prinsip pencegahan infeksi).
Terapi preventif terhadap HIV yaitu dengan menjauhi hal seperti tidak
berhubungan seks diluar pernikahan dan penggunaan narkoba, khususnya
intravena. Pasien HIV dan keluarga perlu memperoleh konseling, dukungan
psikologis, disamping evaluasi dan terapi terhadap komplikasi infeksi yang
terjadi. Prinsip terapi infeksi HIV adalah suportif dan pemberian terapi anti viral.
Pada ibu hamil dengan HIV (+) pemberian anti viral diindikasikan untuk
menurunkan kemungkinan transmisi vertical kepada janin. Kelahiran umumnya
direncanakan dengan SC selektif, sebelum persalinan dimulai atau pecah ketuban.
DAFPUS::
Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Buku Ajar Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). 2009.