ASJDAL

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Golongan darah ditentukan oleh jumlah zat yang terkandung di dalam sel darah merah.Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan A-B-O dan Rhesus (faktor Rh). Rh atau Rhesus (juga biasa disebut Rhesus Faktor) pertama sekali ditemukan pada tahun 1940 oleh Landsteiner dan Weiner. Dinamakan rhesus karena dalam riset digunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta), salah satu spesies kera yang paling banyak dijumpai di India dan Cina. Pada sistem ABO, yang menentukan golongan darah adalah antigen A dan B, sedangkan pada Rh faktor, golongan darah ditentukan adalah antigen Rh (dikenal juga sebagai antigen D).Sekitar ± 85% orang-orang Eropa mempunyai golongan Rhesus Positif(Rh Positif). Pada ±15% sisanya, yang sel-selnya tidak diagglutinasikan disebut golongan Rhesus negatif .Pada orang indonesia , golongan darah Rhesus negatif relatif jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. Secara genetik, rhesus positif dominan terhadap rhesus negatif. Perbedaan rhesus yang terjadi pada sang ibu dengan sang janin merupakan suatu keadaan yang sangat berbahaya 1

description

S.DHSADH

Transcript of ASJDAL

Page 1: ASJDAL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya

perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah.

Golongan darah ditentukan oleh jumlah zat yang terkandung di dalam sel darah merah.Dua

jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan A-B-O dan Rhesus

(faktor Rh). Rh atau Rhesus (juga biasa disebut Rhesus Faktor) pertama sekali ditemukan

pada tahun 1940 oleh Landsteiner dan Weiner. Dinamakan rhesus karena dalam riset

digunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta), salah satu spesies kera yang paling banyak

dijumpai di India dan Cina.

Pada sistem ABO, yang menentukan golongan darah adalah antigen A dan B,

sedangkan pada Rh faktor, golongan darah ditentukan adalah antigen Rh (dikenal juga

sebagai antigen D).Sekitar ± 85% orang-orang Eropa mempunyai golongan Rhesus

Positif(Rh Positif). Pada ±15% sisanya, yang sel-selnya tidak diagglutinasikan disebut

golongan Rhesus negatif .Pada orang indonesia , golongan darah Rhesus negatif relatif

jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus

negatif.

Secara genetik, rhesus positif dominan terhadap rhesus negatif. Perbedaan rhesus

yang terjadi pada sang ibu dengan sang janin merupakan suatu keadaan yang sangat

berbahaya karena dapat menimbulkan terjadinya eritroblastosis pada fetal.

1.2 Tujuan

Pembuatan laporan ini bertujuan untuk:

a. Definisi golongan darah rhesus

b. Sejarah rhesus

c. Pemeriksaan golongan darah rhesus

d. Inkompatabilitas rhesus

e. Cara pencegahan

1.3 Manfaat

1

Page 2: ASJDAL

Dengan adanya pembuatan laporan yang berjudul Golongan Darah Rhesus Manfaat

yang dapat diambil adalah mendapat ilmu baru yang berkaitan dengan golongan darah

rhesus

2

Page 3: ASJDAL

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi rhesus

Sistem rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak

perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi

antigeniknya. Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen

pada eritrositnya sedang rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak

mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan

antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak

seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan

mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem rhesus

pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi

atau kehamilan.

Sistem golongan darah rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan

dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah rhesus positif (D+)

satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai

golongan darah rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti rhesus positif (anti-

D) walaupun golongan darah ABO nya sama.1 Anti D merupakan antibodi imun tipe

IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient) 7 detik,

thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air

ketuban, air susu dan air liur.

Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi

janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis. Penyakit hemolisis pada

janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun

antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan

salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap

eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab

hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang

merusak eritrosit janin.1,2,3,4,5

3

Page 4: ASJDAL

Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan

diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang

ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.

Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam

patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan

bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang

diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan

profilaksis maternal yang efektif. 

2.2 Sejarah rhesus

Sebelum abad ke-20, darah dan fungsinya belum diketahui secara dalam. Untuk

memecahakan masalah yang disebabkan karena kekurangan darah dari luka, dokter

mentranfusi darah dari orang lain atau dari binatang.6 Pada beberapa kasus, hal ini

berhasil dan pasien selamat. Pada beberapa kasus yang lain, hal ini sebenernya

membahayakan pasien dan sering menyebabkan kematian. Tidak ada yang bisa

memprediksi reaksi apa yang timbul dari tansfusi darah. Jadi, pada awal abad ke-20,

sebagian besar negara-negara di Erope melarang dilakukannya transfusi darah.

Sekitar tahun 1900, dokter Austria-Amerika, Karl Landsteiner, menjelaskan

fenomena penolakan darah. Landsteiner menemukan bahwa serum darah manusia bisa

dibagi menjadi empat kelompok, berdasarkan kemampuan untuk menyebabkan

pembekuan sel darah merah. Dia memberikan nama kelompok-kelompok tersebut A,

B, AB, dan O berdasarkan tipe antigen pembekuan yang mereka punya.

Pengenalan golongan darah ABO membuat transfusi darah dapat dilakukan dengan

aman. Tahun 1921, Unger melaporkan bahwa adanya reaksi transfusi intragrup dan

merekomendasikan bahwa setelah donor ABO diidentifikasi, tes tambahan lainnya

perlu untuk dilakukan untuk menggurangi kemungkinan serum penerima donor

membekuan sel darah merah donor. Setelah bank darah dibuat pada sekitar tahun

1940an, ribuan transfusi diberikan secara harian dan insiden reaksi hemolitik intragrup

meningkat.

Pada tahun 1939, Levine dan Stetson melaporkan tentang seorang ibu yang

mengalami dua kejadian yaitu reaksi transfusi setelah mendapat transfusi darah dari

suaminya, dan janin/bayi si ibu mengalami HDN (Hemolytic Disease of the

4

Page 5: ASJDAL

Newborn). Ibu ini belum pernah mendapatkan tranfusi darah sebelumnya dan

diberikan transfusi darah dari suaminya yang sama-sama bergolongan darah O. Dalam

jangka waktu 10 menit, ibu ini menunjukkan beberapa gejala dan perdarahan yang

parah.7  

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa si ibu ternyata membentuk

antibodi terhadap sel darah merah suaminya, namun belum diketahui jenis antigen apa

pada sel darah merah suaminya yang dikenali oleh antibodi ibu. Dari 104 kelompok

golongan darah contoh yang dites dengan serum si ibu, hanya 21 kelompok yang

cocok. Levine mengira adanya isosensitisasi pada ibu ini karena “sesuatu” yang

dihasilkan oleh bayinya.

Pada tahun 1940, Landsteiner dan Weiner mendeskripsikan eksperimen yang

mereka lakukan pada guinea pigs dan kelinci. Eksperimen tersebut adalah sebagai

berikut: 

Pertama, mereka mengimunisasi / menyuntikkan sel darah merah kera rhesus (kera

kecil dari India yang biasanya digunakan untuk penelitian, Macacca

mulatta) ke guinea pigs dan kelinci. Dengan imunisasi ini maka guinea pigs dan

kelinci membentuk antibodi terhadap sel darah merah kera Rhesus (oleh penelitinya

antibodi ini dinamakan anti-Rhesus).  

Kedua, anti-Rhesus  ini diambil dan direaksikan / dicampur dengan sel darah

manusia dari berbagai individu.  

Ketiga, reaksi dari campuran tersebut diamati, positif atau negatif.Disebut reaksi

positif,  bila sel darah merah manusia menjadi lisis dan disebut reaksi negatif bila

sel darah merah manusia tidak lisis. Ternyata, 85% eksperimen menunjukkan reaksi

positif. Dengan demikian disimpulkan bahwa anti-Rhesus juga bereaksi terhadap sel darah

merah manusia. Dengan kata lain, pada sebagian besar sel darah manusia terdapat

antigen yang dikenali oleh anti-Rhesus. Sel darah merah yang TIDAK lisis (15%) berarti

tidak mempunyai antigen yang dikenali oleh antibodi tersebut (gambar 1). Di dunia,

populasi dengan Rhesus (+), 85% populasi berada di Eropa Barat dan Amerika Utara.

5

Page 6: ASJDAL

Gambar 1

Antigen yang dikenali oleh anti-Rhesus disebut dengan antigen Rhesus. Dengan

berjalannya waktu, kata ‘faktor Rh’ dan ‘anti-Rh’, yang diperkenalkan oleh

Landsteiner dan Wiener, tetap digunakan. Heteroantibodinya dinamakan ‘anti LW’

(untuk menghormati Lansteiner dan Wiener) dan alloantibody manusia dinamakan

‘anti-D’. Penemuan faktor Rh oleh Landsteiner dan Alexander Wiener pada tahun

1940 memberikan dasar patofisiologi pada erythoblastosis dan kemungkinan untuk

menjelaskan kasus Levine yang disebabkan oleh isosensitisasi kepada antigen Rh.

Dengan demikian pada sel darah manusia terdapat antigen yang sama dengan yang

terdapat pada sel darah merah kera rhesus yaitu antigen Rhesus. Sel darah merah

manusia yang mempunyai antigen Rhesus akan lisis bila direaksikan dengan anti-

Rhesus, tetapi sel darah merah manusia yang tidak mempunyai antigen Rhesus tidak

akan lisis bila direaksikan dengan anti-Rhesus (gambar 1).

Jadi sejak saat itu diketahui bahwa berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka

golongan darah manusia dibedakan atas dua kelompok, yaitu: 

Rh-positif (Rh+), berarti darahnya memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan

reaksi positif atau terjadi penggumpalan eritrosit pada waktu dilakukan tes dengan

anti-Rh (antibodi Rh). 

6

Page 7: ASJDAL

Rh-negatif (Rh-), berarti darahnya tidak memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan

dengan reaksi negatif atau tidak terjadi penggumpalan saat dilakukan tes dengan

anti-Rh (antibodi Rh).

2.3 Inkompatibiliitas rhesus

2.3.1 Definisi

Inkompatibilitas Rhesus adalah penyakit hemolitik isoimun yang

menyebabkan antibodi IgG melawan anti gen sel darah merah fetus.9

2.3.2 Insiden

Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas rhesus (yaitu rhesus

negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada

bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya

perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif.

Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif,

risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi

pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama

sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya

disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun

sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai.

Mayoritas inkompatibilitas Rh terjadi pada janin dengan Rh-positif dari ibu

yang mempunyai Rh- negatif. Faktor Rh adalah protein, suatu antigen dalam sel

darah merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel

darah yang tidak mempunyai antigen.

Jika seseorang dengan Rh-positif, berarti dia mempunyai faktor Rh di dalam

darahnya. Jika seseorang dengan Rh-negatif, berarti dia tidak mempunyai faktor Rh

di dalam darahnya. Faktor Rh bermasalah ketika darah dengan Rh-negatif

mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem imun dari orang dengan

Rh-negatif mengidentifikasi darah Rh-positif sebagai penyerang yang

berbahaya, suatu antigen dan dapat memproduksi antibodi untuk

melawan darah tersebut.

2.3.3 Genetik

7

Page 8: ASJDAL

Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak

ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang

digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif

mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif

memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat

menjelaskan mengapa antibodi yang dihasilkan oleh wanita rhesus negatif disebut

anti-D (anti-rhesus D).

Seorang wanita rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena

darah yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti rhesus d. Seseorang

mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin

saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D)

positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt mewarisi gen d

dari bapaknya.

2.3.4 Patofisiologi

Kira-kira 5% primipara rhesus negatif akan mengalami respon anti bodi

yang ringan. Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat

inkompatibilitas Rh adalah sebagai berikut :

1) Ibu golongan Rh negatif,

2) Fetus golongan Rh positif,

3) Masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi maternal melalui proses perdarahan

fetomaternal,

4) Terjadi sensitisasi maternal oleh antigen D dari eritrosit fetus,

5) Terbentuk anti D maternal sebagai respon terhadap anti gen D fetus,

6) Kemudian anti D maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi

fetus,

7) Anti bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus, dan

8) Menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi lisis.9

2.3.5 Gejala klinis

Pada mulanya terjadi respon maternal dengan peningkatan IgM yang tidak

dapat melewati plasenta, kemudian terjadi respon berupa pembentukan IgG yang

8

Page 9: ASJDAL

dapat melewati plasenta yang nantinya akan menyebabkan hemolisis.3.6 Secara

klinis derajat hemolisis dinyatakan sebagai bentuk ringan umumnya terjadi tanpa

anemia (kadar Hb tali pusat > 14 gr/dl). Kadar blilirubin < 4 mg/dl, tidak

memerlukan pengobatan yang spesifik. Bentuk sedang, anemia ringan kadar

bilirubin < 4 mg/dl. Kadang-kadang di sertai trombositopenia (sebabnya tidak

diketahui). Dapat timbul kern ikterus bila tidak di tangani dengan baik. Bentuk

berat dapat berupa; anemia yang berat (hidropfetalis), tanda - tanda dekompensasi

jantung (hepato splenomegali, kesulitan pernafasan), edema anasarka masif &

kolaps sirkulasi.9

Pemeriksaan laboratorium pada darah tepi terdapatnya eritrosit berinti, hiper

bilirubinemia, uji Coombs direk maupun indirek yang positif dan anemia tergantung

berat-ringannya hemolisis. Pada hidropfetalis kadar hemoglobin tali pusat sampai 3

– 4 gr/dl.9

Dari semua gejala di atas, terdapat dua gejala utama yang sangat penting pada

eritroblastosis fetalis, yaitu:

1. Hidrops fetalis

Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh,

asites dan pleural efusi pada saat lahir. Pada kasus parah, terjadi edema

subkutan dan efusi kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang

berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada

sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga

terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan

hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen

janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu

respirasi janin. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan:

1. gagal jantung akibat anemia.

2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat

3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh

proses hematopoesis ekstrameduler.

4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang

disebabkan oleh disfungsi hepar

9

Page 10: ASJDAL

Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan

kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus

dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie

dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam

waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

2. Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya

ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yand muncul berupa

letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan

melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia

beberapa minggu.

Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu

menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami

keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi

inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan

eritropoesis dapat bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan-bulan.

2.4 Pencegahan

Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat

isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu.

Rhesus incompatibility hampir sepenuhnya dicegah. Globulin kekebalan

khusus, yang disebut RhoGAM, sekarang digunakan untuk mencegah Rhesus

incompatibility pada ibu yang Rh-negatif. Jika ayah dari bayi yang Rh-positif atau

jika jenis darahnya tidak dapat dikonfirmasi, ibu diberikan suntikan RhoGAM

selama trimester kedua. Jika bayi Rh-positif, ibu akan mendapatkan suntikan kedua

dalam beberapa hari setelah melahirkan. Suntikan ini mencegah perkembangan

antibodi terhadap darah Rh-positif. Namun, perempuan dengan Rh-negatif

golongan darah harus menerima suntikan:8

1. Selama kehamilan

2. Jika mereka mengalami keguguran atau aborsi

10

Page 11: ASJDAL

3. Setelah tes prenatal seperti amniosentesis dan chorionic villus biopsi

4. Setelah cedera pada perut selama kehamilan

Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak

kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan

melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan

pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap

penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan

bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.

Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang

mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat

protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa,

atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi

tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun

fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami

sensitisasi.

Apabila terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G, maka

preparat tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum

mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini

dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram

diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada

kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan

amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus.

Kegagalan pemberian anti D terjadi bila :

1. Tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan

bayi Rh positif

2. Tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah

pemeriksaan amniocentesis

3. Pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal macrotransfusion

jarang terjadi)

4. Sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin

2.5 Pemeriksaan golongan darah

11

Page 12: ASJDAL

Bahan:

1. Serum alfa

2. Serum beta

3. Serum alfa beta (tidak harus ada)

4. Serum anti Rhesus

Cara Kerja:

1. Siapkan kartu uji atau object glass yang telah di beri nomor 1 - 4

2. Sterilkan salah satu ujung jari dengan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol

70%

3. Tusukkan lancet dengan hati-hati dan mantap ke ujung jari yang telah steril, lalu

tekanlah ujung jari hingga darah keluar

4. Teteskan darah pada kartu uji atau object glass sebanyak 4 kali pada tempat

yang berbeda sesuai nomor

5. Teteskan serum alfa sebanyak 1 tetes pada sampel darah pertama, lalu aduklah

dengan gerakan memutar menggunakan tusuk gigi. Amatilah apa yang terjadi.

6. Lakukan langkah nomor 5 untuk serum beta, serum alfa-beta, dan serum anti

Rhesus

Klasifikasi golongan darah ABO ditentukan berdasarkan ada tidaknya

aglutinogen ((antigen tipe A dan tipe B ) yang ditemukan pada permukaan eritrosit

dan aglutinin (antibodi) anti-A dan anti-B, yang ditemukan dalam plasma.

1. Darah golongan A mengandung aglutinogen tipe A dan aglutinin anti-B

2. Darah golongan B mengandung aglutinogen tipeB dan aglutinin anti-A

3. Darah golongan AB mengandung aglutinogen tipe A dan tipe B,tetapi tidak

mengandung aglutinin anti-A atau anti-B

4. Darah golongan O tidak mengandung aglutinogen, tetapi mengandung aglutinin

anti-A dan aglutinin-B Penggolongan darah penting dilakukan sebelum

transfusi darah karena pencampuran golongan darah yang tidak cocok

menyebabkan aglutinasi dan destruksi sel darah merah.

Contoh pengamatan                        

1. diberi anti Rhesus : menggumpal

12

Page 13: ASJDAL

2. diberi anti A : tidak menggumpal

3. diberi anti B : menggumpal

4. diberi anti AB : menggumpal

Kesimpulannya,sang pemilik darah bergolongan darah B Rh+ (golongan B

dan golongan Rhesus positif).

Untuk menentukan golongan darah pedomannya sebagai berikut:

Golongan Aglutinogen (antigen)

pada eritrosit

Aglutinin (antibodi)

pada plasma darah

A

B

AB

O

A

B

A dan B

-

b

a

-

a dan b

Jika aglutinin a (anti A) + aglutinogen A = terjadi aglutinasi

(penggumpalan)

Jika aglutinin b (anti B) + aglutinogen B = terjadi aglutinasi

(penggumpalan)

Jika anti Rhesus (antibodi Rhesus) + antigen Rhesus = terjadi aglutinasi

(penggumpalan)

1. darah + anti Rhesus = aglutinasi -----> terdapat antigen Rhesus -----> gol Rh+

2. darah + anti A = aglutinasi -----> terdapat aglutinogen A -----> gol A

3. darah + anti B = aglutinasi -----> terdapat aglutinogen B -----> gol B

13

Page 14: ASJDAL

Penggunaan anti AB hanya untuk verifikasi (kepastian) saja. Cara

penggolongan darah sistem Rh adalah kelompok antigen lain yang diwariskan

dalam tubuh manusia ( berdasarkan Rhesus monyet).

14

Page 15: ASJDAL

BAB III

KESIMPULAN

Sistem rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Antigen RhD

adalah antigen terpenting dalam reaksi imunitas tubuh. Rhesus positif (rh positif)

adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus

negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada

eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan

antigen yang berperan penting dalam transfusi. Sistem ini berbeda dengan golongan

ABO di mana individu ber-Rh negatif tidak memiliki aglutinin anti-Rh dalam

plasmanya.

Jika seseorang dengan Rh negatif diberikan darah ber-Rh positif maka

aglutininya anti-Rh akan diproduksi. Walau tranfusi awal tidak membahayakan,

pemberian darah Rh positif selanjutnya akan mengakibatkan aglutinasi sel darah

merah donor.

Eritoblastosis fetalis atau penyakit hemolisis pada bayi baru lahir,dapat terjadi

setelah kehamilan pertama ibu ber-Rh negatif dengan janin ber-Rh positif.

a. Pada saat lahir ( atau abortus spontan atau induksi), ibu akan terpapar

beberapa antigen Rh positif janin sehingga ibu akan terbentuk antibodi

untuk menolak antigen tersebut.

b. Jika antibodi lawan faktor Rh telah diproduksi ibu maka pada kehamilan

selanjutnya,antibodi tersebut akan menembus plasenta menuju aliran

darah janin dan menyebabkan hemolisis sel darah merah janin. Bayi

yang mengalaminya akan terlahir dengan anemia.

c. Jika ibu ber-Rh negatif mendapat injeksi antibodi berlawanan dengan

faktor Rh positif dalam waktu 72 jam setelah melahirkan,keguguran,atau

setelah abortus janin ber- Rh positif, maka antigen tidak akan

teraktivasi. Ibu tidak akan memproduksi antibodi lawannya.

15

Page 16: ASJDAL

DAFTAR PUSTAKA

1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Direktorat Laboratorium Kesehatan

Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI.

2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease. High Risk Pregnancy. 2nd ed.

WB. Saunders, 1999: 343 – 361

3. Salem L. Rh incompatibility. Available at: www. Neonatology.org. 2001

4. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 18th edition 1995.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995: 706-721.

5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian

IKA FKUI, 1991: 332-334

6. Medical Discoveries Staff. Rh factor. Medical Discoveries 2009 [cited 2012

September 20]. Available: http://www.discoveriesinmedicine.com/Ra-Thy/Rh-

Factor.html#b

7. Schwarz HP, Dorner F. Karl landsteiner and his major contributions to

haematology. In: British Journal of Haematology. Willey Online Library 2003

[cited 2012 September 20]. Available:

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365-2141.2003.04295.x/full

8. A.D.A.M. Rhesus incompatibility. In: Zieve D, David, editors. Medlineplus.

August30,2011.Availableat:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/

001600.htm. Accessed September 20, 2012.

9. Inkompatibilitas Rhesus dan Kern Ikterik. http://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=definisi%20inkompatibilitas

%20rhesus&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CCsQFjAC&url=http%3A%2F

%2Frepository.unand.ac.id

%2F216%2F1%2FHal_109_vol.21_no.2_1997__Kern_Ikterik_-

_Judul.doc&ei=3wlgUIG9MOrwmAWw7oCgCg&usg=AFQjCNFDsJzw4l5QRk5b

BhmcVcdv6NP7Iw. Accesed on : September 24th, 2012.

16