Artikel Petruk Dadi Ratu

2
PETRUK DADI RATU Bagi sebagian dari kita yang menyukai cerita pewayangan pasti pernah mendengar lakon Petruk dadi Ratu. Petruk adalah salah satu punakawan, selain Gareng dan Bagong juga Semar sebagai leadernya. Punakawan adalah para abdi yang penampilannya tidak tampan sekaligus tidak mapan. Mereka cermin dari orang-orang pinggiran, orang-orang biasa yang dibalik penampilannya yang mungkin aneh dan lucu mempunyai keutamaan-keutamaan tertentu. Cerita Petruk jadi Ratu bisa merupakan mata pisau dengan dua sisi. Di salah satu sisi bisa saja bermakna bak pungguk merindukan bulan. Kisah tentang seseorang yang bercita-cita terlalu ketinggian, tidak berkaca diri. Namun di sisi lain barangkali juga bermakna bahwa kedudukan tertinggi sejatinya adalah sebuah kesederhanaan, tidak perlu kecanggihan, kepintaran yang amat sangat, melainkan sikap sederhana untuk mengabdi secara tulus. Maka syarat untuk menjadi pemimpin tertinggi tidak muluk- muluk, melainkan hanya menjadi orang yang sederhana, mau melihat hal-hal disekelilingnya, tidak enggan berbaur dengan masyarakat dan bersedia mendengar kata-kata rakyatnya. Dalam ceritanya dikisahkan bahwa Petruk mengatakan "Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)". Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk. Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra. Dalam cerita tersebut sosok jokowi sangat mirip dengan petruk . Sosoknya yang sederhana, berwajah ndeso dan ngomongnya juga biasa-biasa saja tanpa istilah yang canggih-canggih memang tipikal gaya punakawan Munculnya Jokowi, Joko Widodo, mantan Walikota Solo yang kemudian menjadi Gubernur Jakarta, kemudian memunculkan kisah Petruk Dadi Ratu kala dia

description

Petruk Dadi Ratu

Transcript of Artikel Petruk Dadi Ratu

PETRUK DADI RATU

Bagi sebagian dari kita yang menyukai cerita pewayangan pasti pernah mendengar lakon Petruk dadi Ratu. Petruk adalah salah satu punakawan, selain Gareng dan Bagong juga Semar sebagai leadernya. Punakawan adalah para abdi yang penampilannya tidak tampan sekaligus tidak mapan. Mereka cermin dari orang-orang pinggiran, orang-orang biasa yang dibalik penampilannya yang mungkin aneh dan lucu mempunyai keutamaan-keutamaan tertentu.

Cerita Petruk jadi Ratu bisa merupakan mata pisau dengan dua sisi. Di salah satu sisi bisa saja bermakna bak pungguk merindukan bulan. Kisah tentang seseorang yang bercita-cita terlalu ketinggian, tidak berkaca diri. Namun di sisi lain barangkali juga bermakna bahwa kedudukan tertinggi sejatinya adalah sebuah kesederhanaan, tidak perlu kecanggihan, kepintaran yang amat sangat, melainkan sikap sederhana untuk mengabdi secara tulus. Maka syarat untuk menjadi pemimpin tertinggi tidak muluk-muluk, melainkan hanya menjadi orang yang sederhana, mau melihat hal-hal disekelilingnya, tidak enggan berbaur dengan masyarakat dan bersedia mendengar kata-kata rakyatnya.

Dalam ceritanya dikisahkan bahwa Petruk mengatakan "Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)". Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia. "Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.Dalam cerita tersebut sosok jokowi sangat mirip dengan petruk . Sosoknya yang sederhana, berwajah ndeso dan ngomongnya juga biasa-biasa saja tanpa istilah yang canggih-canggih memang tipikal gaya punakawan Munculnya Jokowi, Joko Widodo, mantan Walikota Solo yang kemudian menjadi Gubernur Jakarta, kemudian memunculkan kisah Petruk Dadi Ratu kala dia dicalonkan secara resmi oleh PDIP sebagai calon presiden. Ada yang bernada olok-olok namun ada juga semacam harapan. Jokowi yang kerempeng dan agak tinggi, mungkin memang cocok untuk disebut sebagai Petruk ketimbang Gareng, Bagong atau Semar.

Tentu saja olok-olok pada Jokowi memang disadari, tak heran jika kemudian ada istilah kerempeng tapi banteng. Kerempeng lambang keringkihan, tapi banteng adalah lambang kekuatan. Jadi jangan sepelekan tampilan yang kerempeng, karena si kerempeng itu punya tenaga layaknya banteng. Pesan yang mau menyatakan jangan memandang sesuatu dari tampilan semata, sebab penampilan kadang menjebak. Dan terbukti, orang-orang dengan penampilan saleh ternyata banyak juga yang melakukan tindakan tak terpuji.