Ngelmu Kyai Petruk

download Ngelmu Kyai Petruk

of 85

description

kumpulan dari beberapa falsafah2 jawa yang mungkin berguna bagi kita

Transcript of Ngelmu Kyai Petruk

NGELMU KYAI PETRUKby wayang in Falsafah Wayang http://wayang.wordpress.com Berbeda dengan filsafat Barat, yang berakar dari filsafat Yunani (Socrates dkk.), filsafat Jawa tidak mau bersusah payah untuk berusaha menemukan apa kiranya unsur zat terkecil yang tidak bisa dibagi lagi yang membentuk suatu benda. Bagi orang Jawa semua itu adalah urusan dan pekerjaan Sing Ngecet Lombok. Bukan tugas manusia memikirkannya. Jika Plato setelah melalui pemikiran yang mendalam akhirnya memiliki keyakinan bahwa: terdapat kuda sempurna di alam kekal yang menjadi blue-print dari kuda-kuda yang ada dan kita lihat sekarang, maka bagi orang Jawa: yang penting adalah bagaimana merawat kuda dengan baik. Dan untuk menjadi seorang kusir dokar yang terampil kita memang tidak perlu tahu apakah memang benar ada kuda sempurna di alam kekal. Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat mendasar dan mendalam. Orang Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk bulat ataukah lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga keselarasan (harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya: uripku aja nganti duwe mungsuh. Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda tidaklah memberikan kebahagiaan yang hakiki: sugih durung karuan seneng, ora duwe durung karuan susah. Meski demikian manusia harus bekerja: urip kudu nyambut gawe, dan mengetahui kedudukannya di dalam tatanan masyarakat. Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri: pipi padha pipi, bokong padha bokong. Kebijaksanaan kuno ini bahkan selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa setiap individu harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah menemukan bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab jika kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan: Urip iku pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa kepangan. Berikut ini kutipan lengkap salah satu pitutur luhur yang sering disampaikan ki dalang dalam pertunjukan wayang kulit melalui tokoh Petruk: NGELMU KYAI PETRUK Kuncung ireng pancal putih Swarga durung weruh Neraka durung wanuh Mung donya sing aku weruh Uripku aja nganti duwe mungsuh. Ribang bumi ribang nyawa

Ana beja ana cilaka Ana urip ana mati. Precil mijet wohing ranti Seneng mesti susah Susah mesti seneng Aja seneng nek duwe Aja susah nek ora duwe. Senenge saklentheng susahe sarendheng Susah jebule seneng Seneng jebule susah Sugih durung karuan seneng Ora duwe durung karuan susah Susah seneng ora bisa disawang Bisane mung dirasakake dhewe. Kapiran kapirun sapi ora nuntun Urip aja mung nenuwun Yen sapimu masuk angin tambanana Jamune ulekan lombok, bawang uyah lan kecap Wetenge wedhakana parutan jahe Urip kudu nyambut gawe Pipi ngempong bokong Iki dhapur sampurnaning wong Yen ngelak ngombea Yen ngelih mangana Yen kesel ngasoa Yen ngantuk turua. Pipi padha pipi Bokong padha bokong Pipi dudu bokong. Onde-onde jemblem bakwan Urip iku pindha wong njajan Kabeh ora bisa dipangan Miliha sing bisa kepangan Mula elinga dhandhanggulane jajan: Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji Le ngaji nyang be jadah Gedang goreng iku rewange Kepethuk si alu-alu Nunggang dangglem nyengkelit lopis Utusane tuwan jenang Arso mbedhah ing mendhut Rame nggennya bandayudha Silih ungkih tan ana ngalah sawiji

Patinira kecucuran Ki Daruna Ni Daruni Wis ya, aku bali menyang Giri Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi Lho ratu kok kadi pak tani? Sumber: buku Air Kata-Kata, karangan Sindhunata, Galang Press, 2003, Yogyakarta, hal. 110

5 FALSAFAH JAWAby wayang in Falsafah Wayang http://wayang.wordpress.com Ada 5 falsafah jawa yang berguna untuk kita menghadapi perjalanan kehidupan kita: 1. Kukilo (Burung) 2. Wanito (Wanita) 3. Curigo (Waspada) 4. Turonggo (Kuda) 5. Wismo (Rumah) 1. Kukilo (Burung) Kebanyakan orang jawa selalu memelihara binantang peliharaan, dan kebanyakan pula binatang peliharaan yang umum di rawat adalah burung perkutut. Karena suaranya yang bagus merdu dan menentramkan suasana. Didalam kehidupan ini kita harus bisa mengikuti burung perkutut, yaitu dengan selalu bersuara yang bagus untuk didengar oleh orang lain, tidak selalu mengeluarkan suara yang bisa menyakiti hati orang lain. 2. Wanito (Wanita) Wanita secara universal melambangkan kelembutan, cinta kasih, perasaan sayang. Kita hidup didunia pastilah berada ditengah-tengah manusia dan makhluk lainnya. Kita harus selalu memberikan rasa kelembutan kita, cinta kasih kita dan rasa sayang kita kepada semua makhluk ciptaan sang Maha Kuasa. 3. Curigo (Waspada) Didunia kita pasti tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita beberapa detik, menit atau jam kedepan. Dengan sikap waspada ini maka kita diharapkan bisa selalu waspada akan gerak dan segala tingkah laku kita agar kejadian yang akan datang tidak menjadikan penderitaan pada diri kita sendiri. Curigo juga bisa diartikan dengan Eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena Beliau lah yang menciptakan masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita. 4. Turonggo (Kuda) Untuk dapat mengendalikan kuda disaat kita menungganginya, maka tali

kendali yang harus kita pegang erat. Dalam kehidupan pengendalian diri akan segala nafsu dan ego harus kita kendalikan. Bukan dengan mengumbar nafsu, ego dan angkara murka. 5. Wismo (Rumah) Rumah, setiap kali kita pergi pasti akan kembali kerumah. Dari sini diartikan kita hidup didunia ini hanya keluar sebentar dari rumah kita yang sebenarnya, dan suatu saat pasti akan kembali ke rumah abadi kita yaitu rumah Tuhan. Dan kita selagi didunia harus tahu apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh untuk-NYA agar kita lebih disayang oleh Beliau.

ASTHABRATAby wayang in Falsafah Wayang, Kitab & Kidung http://wayang.wordpress.com Berasal dari kata Asto atau Hasto yang artinya delapan, kemudian Baroto yang artinya laku atau perbuatan. Jadi ASTHA BRATA atau Hasto Broto berati delapan laku atau delapan perbuatan. ASTHA BRATA terdapat dalam Sarga XXIV dari wejangan Ramayana kepada Gunawan Wibisono, juga Sri Kresna kepada Arjuna. Diterangkan bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin atau raja adalah dalam jiwanya terdapat delapan macam sifat kedewasaan atau delapan macam watak-watak delapan dewa. Kewajiban seorang pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap: 1. Dewa Surya atau Watak Matahari Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai tujuan dengan didasari pikiran yang matang dan teliti serta pertimbangan baik buruknya juga kesabaran dan kehati-hatian.

2. Dewa Chandra atau Watak Bulan Yang memberi kesenangan dan penerangan dengan sinarnya yang lembut. Seorang pemimpin bertindak halus dengan penuh kasih sayang dengan tidak meninggalkan kedewasaannya.

3. Dewa Yama atau Watak Bintang Yang indah dan terang sebagai perhiasan dan yang menjadi pedoman dan bertanggung jawab atas keamanan anak buah, wilayah kekuasaannya.

4. Dewa Bayu atau Watak Angin Yang mengisi tiap ruang kosong. Pemimpin mengetahui dan menanggapi keadaan negeri dan seluruh rakyat secara teliti.

5. Dewa Indra atau Watak Mendung Yang menakutkan (berwibawa) tetapi kemudian memberikan manfaat dan menghidupkan, maka pemimpin harus berwibawa murah hati dan dalam tindakannya bermanfaat bagi anak buahnya.

6. Dewa Agni atau Watak Api Yang mempunyai sifat tegak, dapat membakar dan membinasakan lawan. Pemimpin harus berani dan tegas serta adil, mempunyai prinsip sendiri, tegak dengan berpijak pada kebenaran dan kesucian hati.

7. Dewa Baruna atau Watak Samudra Sebagai simbol kekuatan yang mengikat. Pemimpin harus mampu menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menjaga keseluruhan dan keutuhan rakyat serta melindungi rakyat dari segala kekuatan lain yang mengganggu ketentraman dan keamanan secara luas dan merata.

8. Dewa Kuwera atau Watak Kekayaan atau Watak Bumi Yang sentosa, makmur dengan kesucian rohani dan jasmani. Pemimpin harus mampu mengendalikan dirinya karena harus memperhatikan rakyat, yang memerlukan bantuan yang mencerminkan sentosa budi pekertinya dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada.

Sumber Penulisan : BUKU WYATA PRAJA, STPDN untuk Angkatan XIII Tahun 2005. FALSAFAH PANUNGGALAN by wayang in Kitab & Kidung Aras Dasar Budaya Spiritual Jawa (Tinjauan Selayang Pandang KAWRUH KEJAWEN) Oleh: Ki Sondong Mandali Pendahuluan Hamit-hamit tabik kaliman, Tertera dalam susunan acara pada Sarasehan Selasa Kliwon Yayasan Kanthil malam ini, temanya Budaya Spiritual. Maka saya yang didhawuhi sesorah menjadi gedandaban menyusun makalah yang sesuai tema. Apalagi saya sadar audiens yang akan saya sesorahi para tokoh pinunjul semua. Jujur kawula rumaos grogi saestu. Meski didera kegamangan, maka malam ini saya mencoba ngaturaken wacana bawarasa tentang Falsafah Panunggalan sebagai Aras Dasar Budaya Spiritual Jawa. Wacana ini juga saya maksudkan sebagai tinjauan selayang pandang Kawruh Kejawen. Semoga saja wacana pemikiran saya ini bisa diterima dengan legawa. Sebagaimana kita ketahui, sejarah panjang Jawa telah menerima sebaran budaya dan peradaban dari luar. Setidaknya ada sebaran budya dan peradaban besar dunia (Hindu, Buddha, Islam, Kristiani, dan modern sekuler) yang mengalir masuk ke ranah budaya dan peradabanJawa.

Melalui jejak sejarah kita bisa mengetahui bahwa budaya Hindu dan Budha dari Asia Daratan (India) pernah mengkooptasi dan mewarnai budaya Jawa selama lebih seribu tahun. Anehnya, ketika rejim wangsa-wangsa yang berasaskan budaya Hindu dan Budha tersebut surut, ternyata tidak meninggalkan komunitas Jawa pemeluk dua agama tersebut yang signifikan. Hal ini menarik untuk dikaji, karena mengesankan penerimaan Jawa terhadap agama Hindu dan Buddha sepertinya hanya di lapis luar atau lamis. Inner budaya dan peradaban Jawa tetap utuh tidak banyak berubah. Ketika masuknya budaya dan peradaban Timur Tengah (Arab dan Persia) melalui agama Islam, inner budaya dan peradaban Jawa masih tidak bergeming. Bukti nyatanya, terlalu sedikit jumlah kaum muslim Jawa yang mengerti dan paham bahasa panembah mereka kepada Tuhan. Malah-malah terkesan ada pen-Jawaan Islam yang dibuktikan dengan diadopsinya laku budaya selamatan Jawa oleh komunitas Muslim Jawa. Demikian pula ketika Jawa menerima aliran budaya dan peradaban yang berasaskan Kristiani. Pen-Jawa-an agama Katolik dan Kristen Protestan terjadi pula. Kedua agama Kristiani tersebut pada kenyataannya juga mengadopsi laku budaya Jawa selamatan kelahiran, perkimpoian, dan kematian. Di era modern jaman ini, Jawa menerima aliran masuk budaya dan peradaban modern sekuler Barat yang ujung tombaknya ilmu pengetahuan dan tehnologi. Namun kenyataannya orang-orang Jawa yang terintelekkan masih juga percaya ajaran leluhurnya. Setidaknya terindikasi dengan masih banyak yang tunduk tak berani menentang terhadap kepercayaan Jawa tentang adanya hari baik dan hari buruk. Bisa dikatakan wong Jawa intelek pun masih menganut dan mengikuti pilihan hari baik untuk menikahkan anak, bahkan dalam hal melaksanakan serah terima jabatan di pemerintahan. Indikasi-indikasi tersebut di atas menunjukkan ada ketangguhan budaya dan peradaban Jawa. Makalah ini mewacanakan penelisikan ketangguhan Jawa tersebut. Falsafah Panunggalan. Ketangguhan Jawa dalam bersinggungan dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, sudah barang tentu disebabkan ketangguhan aras dasar budaya spiritualnya. Atau boleh dikatakan ada ideologi yang terinternalisasi paripurna sampai mbalung sungsum dan menjadi otot bayu Jawa. Aras dasar budaya spirituil atau ideologi yang tangguh tersebut adalah Falsafah Panunggalan. Yaitu ajaran atau konsep pandangan hidup yang menyatakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini manunggal, merupakan Maha Kesatuan Tunggal Semesta. Struktur sistim Panunggalan berupa hubungan pancer mancapat (inti-plasma). Bertingkat-tingkat dari yang terkecil (misal: atom dan sel hidup) sampai dengan yang tak terhingga besarnya (alam semesta). Keseluruhannya tersatukan dalam jaringan panunggalan secara kosmis-magis. Dalam Kawruh Kejawen, jaringan hubungan kosmis-magis tersebut diibaratkan sebagaimana hubungan antar jaringan sel yang membentuk tubuh manusia hidup. Semua jaringan sel dalam tubuh saling terhubungkan secara harmonis oleh Urip sehingga Ada.

Piwulang Jawa tentang awal mula tergelarnya alam semesta dinyatakan dengan simbolisasi peristiwa diremasnya antiga oleh Hyang Wisesaning Tunggal sehingga tercipta 3 (tiga) unsur semesta: bumi lan langit, cahya lan teja, dan Manikmaya. Bumi lan langit merupakan unsur semesta berupa materi, cahya merupakan unsur cahaya yang terindera, teja merupakan cahaya yang tidak terindera semisal gravitasi bumi dan medan kosmis antar benda angkasa. Sedang Manikmaya merupakan roh atau suksmanya seluruh alam semesta serta seluruh isinya. Ketiga unsur semesta tersebut sama-sama merupakan derivasi (tajali, emanasi) dari Hyang Wisesaning Tunggal yang dalam Kawruh Sangkan1 disebut dengan istilah Guruning Ngadadi. Maka, karena sesame derivasi Guruning Ngadadi ketiga unsur semesta tersebut manunggal, Ada. Seluruh titah hidup menurut pandangan Kejawen tersusun dari ketiga unsur semesta tersebut. Artinya, bahwa ada-nya titah hidup (termasuk manusia) dijadikan dari unsur bumi lan langit (materi), cahya lan teja, dan Manikmaya atau Dzat Urip yang disebut juga Pangeran. Pemahaman ini rujukannya pada wejangan 1 s/d 3 dari Wejangan Wolung Pangkat sebagai berikut: 1. Wejangan pituduh wahananing Pangeran : Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawijiwiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal). Sejatinya tidak ada apapun, sejak masih awang-uwung belum ada pembilangan, belum ada nama dan belum ada sesebutan (durung ana sawijiwiji) yang ada terdahulu itu Aku (Ingsun). Tiada Pangeran kecuali Aku yang hidup lebih daripada suci, menyatakan wujud, warna, nama, dan pekerti-Ku (dzat, sipat, asma, apngal). 2. Wejangan pambuka kahananing Pangeran : Satuhune Ingsun Pangeran Sejati, lan kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi ana padha sanalika saka karsa lan pepesthening-Sun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakartining-Sun kang dadi pratandha : Kang dhihin, Ingsun gumana ing dalem alam awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasan, iya iku alaming-Sun kang maksih piningit. Kapindho, Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaning-Sun dumunung ana ing alam pasenedaning-Sun. Kaping telu, Ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan rahsaning-Sun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji. Kaping pat, Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaning-Sun, dumunung ana alaming herah. Kaping lima, Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaning-Sun ana ing sajerone alam kang lagi kena kaupamakake. Kaping enem, Ingsun anganakake budi kang minangka kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing sajerone alaming badan alus.

Kaping pitu, Ingsun anggelar warana (tabir) kang minangka kakandhangan paserenaning-Sun. Kasebut nem prakara ing ndhuwur mau tumitah ing donya, yaiku sejatining manungsa. (Dzat Urip kang ana ing raganing manungsa). Sesungguhnya Aku Pangeran Sejati, dan berkuasa menciptakan segala sesuatu, menjadi ada seketika dengan kehendak dan kepastian-Ku, yang merupakan manifestasi kehendak dan pekerti-Ku dengan tanda-tanda: Yang pertama, Aku bersemayam dalam jagad awang-uwung yang tiada awal dan tiada akhir, yaitu jagad-Ku yang masih dirahasiakan. Yang kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai media manifestasi-Ku menjelma di Jagad persemayaman-Ku. Yang ketiga, Aku mengadakan bayangan sebagai media penjelmaan dan rahsa-Ku, bersemayam di jagad penggelaran wiji (benih kejadian). Yang keempat, Aku mengadakan suksma sebagai pertanda kehidupan-Ku, bersemayam di jagad herah (hakekat darah). Yang kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga menjadi warna-Ku ada di dalam jagad yang baru dapat diperumpamakan. Yang keenam, Aku mengadakan budi sebagai kenyataan penangkaran angan-angan dan bersemayam di dalam jagad ruhani. Yang ketujuh, Aku menggelar tabir (warana, hijab) pembatas persemayaman-Ku. Enam perkara yang di atas Aku titahkan di dunia, yaitu sejatining manungsa (dzat urip yang ada dalam raga manusia). 3. Wejangan gegelaran kahananing Pangeran : Sajatining manungsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaning-Sun, yaiku sasamaning geni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakara, yaiku: cahya, cipta, suksma (nyawa), angen-angen lan budi. Iku kang minangka embanan panuksmaning-Sun sumarambah ana ing dalem badaning manungsa. Sejatinya manusia itu adalah rahsa-Ku, dan Aku adalah rahsa-nya manusia, karena Aku menitahkan wiji cacamboran (benih campuran) yang maujud sebagai kehendak dan kekuasaan-Ku, yaitu hakekat: api, bumi, angin dan air yang Aku berkati lima perkara yaitu: cahya, cipta, suksma (nyawa), anganangan dan budi. Itu semua seagai bingkai (embanan) penjelmaanKu meliputi dalam raga manusia. Wejangan atau wirid tersebut di atas dengan sangat jelas menerangkan ide panunggalan manusia dengan alam semesta. Diistilahkan dengan jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe. Panunggalan untuk seluruh mahluk disebutkan pada Piwulang adanya saudara gaib bagi manusia: Sedulur tunggal dina kelairan, yaitu semua anak titah ciptaan Tuhan yang bersamaan kelahiran dengan si manusia. Panunggalan antar titah dumadi yang menyaudarakan manusia dengan semua titah hidup bukan sekedar wacana kepercayaan, namun sudah menjadi laku budaya spirituilnya wong Jawa.

Contoh laku budaya spiritual tersebut: 1. Laku budaya wiwit, ritual sesaji saat akan memanen padi. Dalam ritual tersebut ada acara mbuwaki sesaji di empat sudut bidang sawah dan tulakan (saluran pengairan ke sawah). Dilakukan anak-anak peserta ritual yang diajari pembacaan rapal: Kaki Dhanyang Nyai Dhanyang Semara Bumi kang manggon ing pojok papat lan tulakan sawah, aku disraya mBok menehake pepancenmu kang wus melu njaga lan ngreksa sawahe. Ritual wiwit dan rapal mbuwaki tersebut menunjukkan sikap menyaudaranya wong Jawa dengan titah gaib yang disebut Dhanyang Semara Bumi. Dimana dalam hal ini, titah gaib tersebut dianggap ikut membantu menjaga dan ngreksa sawah hingga tanaman padinya selamat dan bisa dipanen. 2. Laku budaya bancakan dhawet untuk hewan ternak yang melahirkan. Suatu laku budaya Jawa yang dilakukan pemilik ternak saat ternaknya melahirkan. Mangga direnungkan, laku budaya ini kiranya sangat mendalam kandungan wawasan spiritualnya. 3. Tradisi Jawa, pada setiap malam Jumat Kliwon atau malam hari wetonan melakukan sesaji sederhana dengan kembang setaman. Pagi harinya, kembang setaman disebarkan di perempatan jalan. Banyak yang menganggap laku budaya ini klenik dan tahayul. Namun kiranya perlu direnungkan rapal ketika membuang kembang setaman tersebut: Ora nyebar kembang nanging nyebar kabecikan. Sejatining Gusti Ingkang Maha Kuwasa keparenga paring kawilujengan lan karahayon dhumateng sedaya titah Paduka ingkang nglangkungi prapatan punika. Masih banyak laku budaya spiritual yang ada di ranah budaya dan peradaban Jawa. Bagi yang tidak mengerti banyak yang menganggap primitif dan bodoh. Namun coba disimak kecerdasan Jawa dalam memanipulasi sesaji untuk ritual yang mengharuskan penghilangan nyawa hewan. Sesaji kepala kerbau dimanipulasi dengan kerbau-kerbauan yang dibuat dari tuntut pisang. Sesaji kucuran darah segar ayam hitam mulus (ritual penyembuhan kesurupan) dimanipulasi dengan wujud anak ayam hitam yang masih kuthuk hidup-hidup. Sesaji yang butuh kurban sepasang penganten diganti dengan bekakak penganten. Demikian pula perlu direnungkan tradisi Grebeg Besar yang semestinya berupa penyembelihan hewan qurban, diganti dengan tumpeng yang terbuat dari penganan dan hasil bumi pertanian. Semua kecerdasan manipulasi sesaji tersebut menunjukkan konsep bersaudaranya manusia dengan semua titah urip yang landasannya Falsafah Panunggalan. Penghilangan nyawa sesama titah urip nampaknya tidak sejalan dengan rasa pangrasa Jawa. Berdasarkan konsep pancer mancapat (hubungan inti-plasma) banyak kita temukan istilah-istilah dalam KAWRUH KEJAWEN. Yang paling terkenal adalah istilah Manunggaling Kawula Gusti. Merupakan capaian tertinggi laku spiritual, tetapi juga bermakna sebagai pandangan Jawa tentang: sisitim tata semesta, sistim tata negara dan pemerintahan, serta sistim tata kemasyarakatan.

Dalam hal pandangan tata semesta, maka Gusti (Sesembahan, Tuhan) sebagai inti (pancer), sedang seluruh kawula (ciptaan) sebagai plasma (mancapat). Dalam hal tata negara dan pemerintahan maka ide (cita-cita) mendirikan negara sebagai inti (Gusti), sedang seluruh warga negara (apapun poisisinya) sebagai plasma (kawula)2. Dalam hal tata kemasyarakatan, Jawa mengkonsepkan ide tata tentrem kerta raharja. Maka untuk mewujudkannya, perlu nilai rukun dan selaras. Maka ide tata tentrem kerta raharja dalam bermasyarakat tersebut dijadikan inti (pancer). Seluruh warga masyarakat menempatkan diri sebagai plasma (mancapat) terhadap ide tersebut. Sistim hubungan pancer-mancapat (inti-plasma) juga terdapat pada sistim giliran pasaran (ekonomi), Kliwon sebagai pasaran pusat wilayah pasaran, sedang Legi, Paing, Pon dan Wage sebagai pasaran di sekeliling wilayah pasaran. Sistim giliran hari pasaran ini pada kenyataannya berkait-mengkait antar wilayah pasaran sedemikian rupa teratur tidak ada yang dhumpyuk antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian, dalam hal kegiatan wilyah pasar, masyarakat Jawa sudah mengenal suatu sistim yang dinamis, teratur, manunggal, dan mampu mencakup suatu wilayah yang luas. Struktur sistim pancer-mancapat juga berlaku dalam mitologi kesemestaan Jawa. Penguasa Jagad dipersonifikasi sebagai Hyang Manikmaya. Terdiri dari Hyang Manik (inti, pancer) dan Hyang Maya (plasma, manca pat). Dalam pewayangan, Hyang Manik dipersonifikasi sebagai Hyang Jagadnata alias Bethara Guru, sedang Hyang Maya (Taya, Ismaya) dipersonifikasi sebagai Semar, pamomong Jagad. Keduanya merupakan anak derivatif dari Hyang Wisesaning Tunggal (sebutan untuk Sesembahan Jawa). Inti Kawruh Kejawen Ajaran atau Piwulang yang ada pada Kawruh Kejawen pada dasarnya mengajarkan kepada manusia untuk memiliki 3 (tiga) aras kesadaran sebagai berikut: 1. Kesadaran ber-Tuhan Artinya bahwa filosofi Jawa menyatakan adanya Tuhan sebagai Kang Murbng Alam (Penguasa Alam Semesta). Ujudnya tan kna kinayangapa, artinya tidak bisa didekati (dihampiri) daya nalar, daya rasa pangrasa, dan daya spirituil yang dimiliki manusia. Maka kemudian, dalam mitologi Jawa, Tuhan berderivate (bertajali, beremanasi) secara bertingkat-tingkat sedemikian rupa sampai bisa dipahami oleh daya nalar, daya rasa pangrasa, dan daya spirituil manusia. Oleh karena itu, sikap dasar wong Jawa terhadap ekpresi kesadaran ber-Tuhan sangat toleran terhadap adanya perbedaan panembah. 2. Kesadaran Semesta Merupakan ekspresi kesadaran adanya hubungan kosmis-magis manusia dengan alam semesta dengan seluruh isinya. Wujud ekspresinya berupa

pandangan Jawa tentang Bapa Angkasa dan Ibu Bumi. Menurut pandangan Jawa ini, maka urip manungsa disangga unsur-unsur dari angkasa dan bumi yang kemudian kasuksma oleh dzat sejatining urip. Dari filosofi ini pula diturunkan konsep kewajiban manusia menyangga Panunggalan atau Kesatuan Tunggal Semesta, melu memayu hayuning bawana. Dari konsep kewajiban manusia tersebut, maka keluarannya berupa nilai rukun dan nilai selaras yang wajib dioperasionalkan oleh setiap manusia Jawa. 3. Kesadaran wajib beradab bagi umat manusia. Mengoperasionalkan nilai rukun dan nilai selaras merupakan ekspresi keberadaban manusia. Di dalamnya terkandung ajaran budi luhur guna mewujudkan: kesejahteraan umum dan nuansa damai dalam kehidupan bersama. Bukan sekedar hidup bersamanya sesame manusia, tetapi juga dengan semua mahluk ciptaan Tuhan. Kesadaran bersaudara dengan semua titah dumadi merupakan tingkat tertinggi dari keberadaban manusia. Ketiga aras kesadaran tersebut di atas merupakan ajaran pokok dalam hal melaksanakan Falsafah Panunggalan. Panunggalan sebagai Ideologi Jawa. Sebagai suatu peradaban manusia, maka Jawa memiliki nilai-nilai (values) yang berguna dan mampu memandu bagi manusianya untuk menjalani hidup. Pada kenyataannya, hidup manusia tidaklah sendirian tetapi bersama manusia yang lain maupun semua mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Secara umum nilai-nilai budaya dan peradaban suatu komunitas manusia ada yang bersifat universal, tetapi juga ada yang hanya berlaku untuk komunitas etnis manusia yang bersangkutan. Dalam konteks Jawa sebagai bagian Indonesia dan bagian peradaban seluruh umat manusia, maka nilai-nilai ke-Jawa-an yang perlu diselisik adalah yang berkaitan dengan kepentingan ke-Indonesia-an dan kemanusiaan sejagad. Maka dengan demikian, bisa diselisik ideologi Jawa yang bertolak dari nilai-nilai budaya dan peradabannya. Ketika nilai-nilai ke-Jawa-an bisa diangkat menjadi ideologi, maka dimungkinkan untuk berdialog ideologi di kancah internasional. Tidaklah muluk-muluk sekiranya ajaran-ajaran sejatining urip (hakekat hidup) Jawa yang bertolak dari Falsafah Panunggalan bisa dijadikan ideologi pemersatu umat manusia. Setidaknya bisa dijadikan jembatan penghubung antara kutub peradaban religius berdasar ajaran agama dengan kutub peradaban sekuler berdasar rasionalitas moderen. Untuk mengantar kepada wacana ini, menarik untuk dikaji carakan aksara Jawa yang oleh banyak pujangga dimaknai sebagai ajaran hakekat urip. Diantaranya sebagaimana sebagaimana Pratelan wirid Filsafat Nusantara (Penjelasan wirid Filsafat Nusantara) 3:

Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang (Keberadaanmu sesungguhnya adalah media adanya Tuhan). Na : Nadyan nora kasat mata pasti ana (Walaupun tidak kasat mata, tetapi pasti ada). Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca (Kemanunggalan Tuhan sesungguhnya tidak secara gamblang dijelaskan). Ra : Rasakena rakete lan angganira (Rasakan eratnya dengan badanmu). Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka (Ketahuilah akan jiwamu hingga sejelas-jelasnya). Da : Dadi sasar yen sira nora waspada (Tersesat bila kamu tidak waspada). Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita (Perhatikanlah cahaya Hyang yang memberi pertanda/petunjuk). Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa (Pertanda yang hingga dapat terasakan). Wa : Waspadakna wewadi kang sira gawa (Perhatikan rahasia-rahasia ilahi yang kau bawa). La : Lalekna yen sira tumekeng lalis (Lupakanlah, bahwa engkau itu akan mati). Pa : Pati sasar tan wun manggya papa (Mati tersesat tidak urung menderita hina-dina). Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha (Berbeda dengan mereka yang sudah terbebas dari godaan). Ja : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga (Keinginannya hanya serba tenang dan tenteramnya jiwaraga). Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya. (Rasakanlah keadaan liyep luyuting pralaya = trance). Nya : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan (Benar-benar sepi dan sunyi dari keduniawian). Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar (Berada di alam pangrantunan = mati sajroning urip, jangan bimbang).

Ga : Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga (Tujuan hidupnya tak lain hanyalah sampai di sarwa arga = surga). Ba : Bali murba misesa ing njero njaba (Kembali menguasai keadaan lahir batin = jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe). Tha : Thakulane widadarja tebah nistha (Demi keselamatan dan kesejahteraan serta jauh dari kenistaan). Nga : Ngarah ing reh mardi-mardiningrat (Berkehendak mendapatkan ilmu (reh) menjaga keselarasan jagad). Adalah hanya krenah Jawa yang memaknai huruf-hurufnya dengan ajaran mendalam tentang sejatining urip. Hal ini pasti ada maksud dan tujuannya. Setidaknya sebagai upaya untuk menempatkan aksara Jawa pada posisi penting dan baku bagi wong Jawa sendiri. Posisi penting baku tersebut dalam hal wong Jawa belajar mengerti tentang inti pokok piwulangJawa. Asumsi lain bisa dibangun, bahwa pemberian makna huruf-huruf aksara Jawa tersebut sebagai upaya para intelektual Jawa dalam mewariskan dan menginternalisasikan ideologi Jawa. Dasar pemikirannya, bahwa lahirnya pemaknaan aksara Jawa tersebut pada saat Jawa sedang mengalami deraan budaya religiusitas agama (Islam) dan budaya rasionalitas sekuler penjajah Belanda. Himpitan kedua kutub budaya dan peradaban tersebut dirasakan para pujangga bisa berdampak mematikan budaya spiritual Jawa. Maka para intelektual Jawa tersebut mewariskan ide-ide Jawa melalui pemaknaan aksara Jawa. Asumsi para pujangga, memperkirakan bahwa carakan aksara Jawa akan tetap eksis sepanjang jaman. Maka ideologi Jawa akan bisa bertahan sepanjang jaman juga. Untuk itu, penulis secara subyektif mencoba memahami pesan para pujangga yang mengganggit urutan Carakan tersebut : Ha Na Ca Ra Ka : Di dunia ini ada dua kutub peradaban (ideologi) : religius agama dan rasionalitas sekuler. Da Ta Sa Wa La : Kedua kutub tersebut selalu bertentangan (konflik). Pa Da Ja Ya Nya : Sama-sama memiliki landasan yang kuat. Ma Ga Ba Tha Nga : Konflik diantara keduanya menuju kemusnahan (peradaban). Dengan pemaknaan subyektif tersebut, maka bisa dipahami pemaknaan aksara Jawa sebagai ajaran hakekat urip yang tyerkandung dalam Pratelan Filsafat Nusantara. Ajaran hakekat hidup kiranya bias menjembatani pertentangan religiusitas agama dengan rasionalitas sekuler. Sebagai ideologi, Jawa memang memiliki konsep untuk hidup bersama dan bernegara. Bahwa konsep Negari eka adi dasa purwa panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja yang arti ringkasnya:

negara berdaulat lahir batin dihormati negara lain, berwawasan lingkungan, mampu mencukupi kebutuhan seluruh rakyatnya, subur makmur, aman tenteram dan sejahtera. Kiranya konsep bernegara yang demikian mewakili idealisme bernegara yang paripurna. Kesimpulan Sesungguhnya masih cukup banyak hal tentang Falsafah Panunggalan yang belum tersajikan. Namun sedikit wacana tersampaikan bisalah kiranya untuk dijadikan masukan dalam rangka memulai kegiatan penelisikan terhadap budaya dan peradaban Jawa. Berikut kiranya bisa diambil kesimpulan dari wacana pemikiran ini: 1. Aras dasar budaya dan peradaban Jawa (termasuk budaya spiritual) berpangkal tolak dari Falsafah Panunggalan. Aras dasar dimaksud sudah mbalung sungsum pada diri setiap manusia Jawa sehingga menjadi pertahanan alamiah ketika bersinggungan, beradaptasi, dan mengadopsi nilai-nilai dari budaya dan peradaban lain. 2. Inti ajaran Kawruh Kejawen bersumber dari Falsafah Panunggalan dan fokus utama piwulangnya untuk kepenting hidup bersama dengan semua titah Tuhan penghuni alam semesta.

Makutharama atau Hasthabrata Makutharama merupakan gabungan dari 2 kata yaitu Makutha dan Rama.. Makutha adalah mahkota yang merupakan kelengkapan busana kebesaran seorang raja, sedangkan Rama yang dimaksud adalah Prabu Rama Wijaya suami Dewi Shinta raja di Ayodya.. Sehingga Makuthorama dapat diartikan sebagai watak yang harus dimiliki oleh seorang raja meniru apa-apa yang telah dicontohkan oleh Prabu Rama Wijaya.. Sedangkan Hasthabrata juga merupakan gabungan dari 2 kata yaitu Hastha dan Brata.. Hastha adalah delapan, Brata adalah laku atau perilaku.. Maka Hastha brata dapat secara bebas dapat diartikan 8 (delapan) perilaku yang layak disandang dan dilaksanakan.. Dalam cerita pewayangan, Hasthabrata diajarkan oleh Sri Rama kepada Raden Barata ketika dia menyusul ke hutan untuk memohon kepada Sri Rama pulang ke negara Ayodya agar mau menjadi Raja Namun karena terikat akan janji Ayahandanya yaitu Prabu Dasarata kepada Dewi Kekayi bahwa dia mau diperistri asal putranya kelak yang menggantikan tahta Ayodya, maka Sri Rama tidak mau menuruti bujukan Raden Barata.. Sambil menangis Barata meratapratap bahwa Sri Ramalah yang pantas`menduduki tahta Ayodya, bukan dirinya Akhirnya jalan tengahpun diambil oleh Sri Rama, Barata diperintahkan kembali ke keraton Ayodya dengan membawa tarumpah atau sandal Sri Rama sebagai tanda bahwa Barata dalam menjalankan pemerintahan di Ayodya sebagai Raja

hanyalah sebagai badal atau wakil Sri Rama saja Maka sebagai bekal Barata naik tahta diwejanglah ajaran Hasthabrata ini Kali ke 2 Hasthabrata ini diwejangkan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisono ketika Negara Alengka sudah bisa dikalahkan dalam rangka Rama merebut kembali Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana.. Sri Rama tidak berkenan menjadi Raja di Negara Alengkadiraja walau dia merupakan pemenang perang.. Karena kebijaksanaan Sri Rama mengingat trah Alengkadiraja masih ada yang hidup yaitu Gunawan Wibisono yang merupakan adik dari Prabu Rahwana atau Dasamuka.. Sebelum naik tahta di Alengkadiraja yang atas titah Sri Rama berganti menjadi Negara Singgelapura maka Gunawan Wibisono pun diwejang Wahyu Makutharama atau Hasthabrata oleh Sri Rama.. Wejangan Wahyu Makutharama ini juga pernah diterima oleh Arjuna di atas Gunung Kuthorunggu oleh Begawan Kesawasidhi atau Kresna.. Karena masing-masing adalah lakon tersendiri yang apabila dipagelarkan memakan waktu semalam suntuk maka baiklah kita singkat saja pada inti tulisan ini yaitu Wahyu Makutharama atau Harsthabrata Adapun 8(delapan) hal tersebut adalah meniru watak dari alam di sekitar kita.. 1. Pratiwi yang berarti bumi, bumi mempunyai watak kuat sentausa segala sesuatu mampu diangkatnya dengan gagah perkasa baik itu manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan semua berpijak di atas bumi.. dan bumipun tidak pernah mengeluh atas beban itu 2. Surya yang berarti matahari, matahari mempunyai watak menerangi merata di seluruh jagat tanpa kecuali sinar matahari bersifat memberikan kehidupan pada seluruh makhluk 3. Candra yang berarti rembulan, rembulan mempunyai watak memberikan penerangan di kala malam hari atau pada saat gelap.. maka sifat rembulan memberikan penerangan kepada siapa saja yang sedang mengalami kegelapan. 4. Samirana yang berarti angin atau udara, udara mempunyai watak lembut dan dapat merata ke seluruh alam, baik itu yang keliatan maupun yang tidak.. terbukti di gua-gua yang dalam, berliku dan gelap sekalipun masih terdapat udara.. bahkan di dalam air sekalipun juga terdapat udara.. 5. Jaladri yang berarti lautan atau samudera, samudera mempunyai watak yang luas sehingga mampu menampung apa saja.. baik itu hal-hal yang baik maupun buruk.. segala sampah masuk ke laut, bahkan bangkai anjing sekalipun juga masuk ke laut.. namun laut tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak sedap.. 6. Tirta yang berarti air, air mempunyai watakmemberikan kehidupan kepada makhluk hidup.. baik manusia, tumbuh-tumbuhan maupun hewan semua membutuhkan air demi kelangsungan hidupnya.. 7. Kartika yang berarti bintang, bintang mempunyai watak memberikan keindahan pada alam semesta.. kelip kelip bintang di malam memberikan rasa nyaman tenteram bagi siapa saja yang melihatnya.. 8. Dahana yang berarti api, api mempunyai watak mampu menghanguskan apa saja tanpa pandang bulu maka sifat api ini diambil sebagai contoh

untuk seorang raja harus mampu menghukum siapa saja yang salah, tidak bandang bulu apakah itu sanak atau keluarga, apabila bertindak salah harus dihukum demi tegaknya keadilan Demikian para kerabat dan handai taulan kurang lebihnya mohon maaf tulisan ini bukan bermaksud menggurui namun sebagai sarana introspeksi diri saya pribadi, sudah sejauh mana bisa menerapakan Hasthabrata dalam kehidupan saya sehari-hari maturnuwun

SERAT WEDHATAMA; Rahasia Spiritual Raja Mataram Pengangkring sabdalangit Kategori : Budaya @ 24 Nov 2008 | 01:39:08 RAHASIA ILMU SPIRITUAL TINGKAT TINGGI RAJA-RAJA MATARAM Serat Wedhatama merupakan salah satu karya agung pujangga sekaligus seniman besar pencipta berbagai macam seni tari (beksa) dan tembang. Wayang orang, wayang madya, pencipta jas Langendriyan (sering digunakan sebagai pakaian pengantin adat Jawa/Solo). Beliau adalah enterpreneur sejati yang sangat sukses memakmurkan rakyat pada masanya dengan membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng (1861-1863) dengan melibatkan masyarakat, serta perkebunan kopi, kina, pala, dan kayu jati di Jatim dan Jateng. Masih banyak lagi, termasuk merintis pembangunan Stasiun Balapan di kota Solo. Beliau juga terkenal gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Hebatnya, perlawanan dilakukan cukup melalui tulisan pena, sudah cukup membuat penjajah mundur teratur. Cara inilah menjadi contoh sikap perilaku utama, dalam menjunjung tinggi etika berperang (jihad a la Kejawen); nglurug tanpa bala dan menang tanpa ngasorake. Kemenangan diraih secara kesatria, tanpa melibatkan banyak orang, tanpa makan korban pertumpahan darah dan nyawa, dan tidak pernah mempermalukan lawan. Begitulah kesatria sejati. Selain terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh yang amat sakti mandraguna. Beliau terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya. Beliau adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja di keraton Mangkunegaran Solo. Berkat "laku" spiritual yang tinggi beliau diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan Yang Mahawisesa; yakni "warangka manjing curiga" atau meraih kamuksan; menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas. Wedhatama merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya. Wedhatama menjadi salah satu dasar

penghayatan bagi siapa saja yang ingin "laku" spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi "jalan setapak" bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by step secara rinci. Puncak dari laku spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban (meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit). Serat yang berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk tembang agar mudah diingat dan lebih membumi. Sebab sebaik apapun ajaran itu tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di dalam menara gadhing yang megah. Kami sangat bersukur kepada Gusti Allah, dan berterimakasih sebesar-besarnya kepada Eyang-eyang Gusti dan para Ratu Gung Binatara yang telah njangkung lan njampangi kami dalam membedah dan medhar ajaran luhur ini, sehingga dengan laku yang sangat berat dapat kami susun dalam bahasa Nasional. Karena keterbatasan yang ada pada kami, mudah-mudahan tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya kemurahan Gusti Allah dan berkat doa restu dari para leluhur agung yang bijaksana, kami menyadari sungguh sulit rasanya, memahami dan menjabarkan kawruh atau pitutur yang maknanya persis sama sebagaimana teks aslinya. Mudah-mudahan hakikat yang tersirat di dalam pelajaran ini dapat diserap secara mudah oleh para pembaca yang budiman. Harapan saya mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaannya. Bagi siapapun yang lebih winasis pada sastra Jawa, saya tampilkan juga teks aslinya. Mudah-mudahan para pembaca, dapat memberikan koreksi, kritik dan saran kepada saya. PANGKUR (Sembah Raga/Syariat) 1) Mingkar mingkuring angkara, Akarana karanan mardi siwi, Sinawung resmining kidung, Sinuba sinukarta, Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung Kang tumrap neng tanah Jawa, Agama ageming aji. Translate; Menahan diri dari nafsu angkara, karena berkenan mendidik putra disertai indahnya tembang, dihias penuh variasi, agar menjiwai tujuan ilmu luhur, yang berlaku di tanah Jawa (nusantara) agama sebagai pakaiannya perbuatan.

2) Jinejer neng Wedatama Mrih tan kemba kembenganing pambudi Mangka nadyan tuwa pikun Yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah, samun, Samangsane pasamuan Gonyak ganyuk nglilingsemi. Disajikan dalam serat Wedatama, agar jangan miskin pengetahuan walaupun tua pikun jika tidak memahami rasa (sirullah) niscaya sepi tanpa guna bagai ampas, percuma, pada tiap pertemuan sering bertindak ceroboh, memalukan. 3) Nggugu karsaning priyangga, Nora nganggo peparah lamun angling, Lumuh ing ngaran balilu, Uger guru aleman, Nanging janma ingkang wus waspadeng semu Sinamun ing samudana, Sesadon ingadu manis Mengikuti kemauan sendiri, Bila berkata tanpa pertimbangan (asal bunyi), Tak mau dianggap bodoh, Asal gemar dipuji-puji. (sebaliknya) Ciri orang yang sudah cermat akan ilmu justru selalu merendah diri, selalu berprasangka baik. 4) Si pengung nora nglegawa, Sangsayarda deniro cacariwis, Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkanganipun, Si wasis waskitha ngalah, Ngalingi marang si pingging. Si dungu tidak menyadari, Bualannya semakin menjadi jadi, ngelantur bicara yang tidak-tidak, Bicaranya tidak masuk akal, makin aneh tak ada jedanya. Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah, Menutupi aib si bodoh.

5) Mangkono ngelmu kang nyata, Sanyatane mung weh reseping ati, Bungah ingaran cubluk, Sukeng tyas yen denina, Nora kaya si punggung anggung gumrunggung Ugungan sadina dina Aja mangkono wong urip. Demikianlah ilmu yang nyata, Senyatanya memberikan ketentraman hati, Gembira dibilang bodoh, Tetap gembira jika dihina Tidak seperti si dungu yang selalu sombong, Ingin dipuji setiap hari. Janganlah begitu caranya orang hidup. 6) Urip sepisan rusak, Nora mulur nalare ting saluwir, Kadi ta guwa kang sirung, Sinerang ing maruta, Gumarenggeng anggereng Anggung gumrunggung, Pindha padhane si mudha, Prandene paksa kumaki. Hidup sekali saja berantakan, Tidak berkembang nalarnya tercabik-cabik. Umpama goa gelap menyeramkan, Dihembus angin, Suaranya gemuruh menggeram, berdengung Seperti halnya watak anak muda Sudah begitu masih berlagak congkak 7) Kikisane mung sapala, Palayune ngendelken yayah wibi, Bangkit tur bangsaning luhur, Lha iya ingkang rama, Balik sira sarawungan bae durung Mring atining tata krama, Nggon anggon agama suci. Tujuan hidupnya tak berarti, Maunya mengandalkan orang tuanya, Yang terpandang serta bangsawan Itu kan ayahmu ! Sedangkan kamu kenal saja belum, akan hakikatnya tata krama ajaran agama yang suci

8) Socaning jiwangganira, Jer katara lamun pocapan pasthi, Lumuh asor kudu unggul, Semengah sesongaran, Yen mangkono keno ingaran katungkul, Karem ing reh kaprawiran, Nora enak iku kaki. Cerminan dari dalam jiwa raga mu, Nampak jelas walau tutur kata halus, Sifat pantang kalah maunya menang sendiri Sombong besar mulut Bila demikian itu, disebut orang yang terlena Puas diri berlagak tinggi Tidak baik itu nak ! 9) Kekerane ngelmu karang, Kekarangan saking bangsaning gaib, Iku boreh paminipun, Tan rumasuk ing jasad, Amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengok pancabaya, Ubayane mbalenjani. Di dalam ilmu sihir Rekayasa dari hal-hal gaib Itu umpama bedak. Tidak meresap ke dalam jasad, Hanya ada di kulitnya saja nak Bila terbentur marabahaya, bisanya menghindari. 10) Marma ing sabisa-bisa, Bebasane muriha tyas basuki, Puruita-a kang patut, Lan traping angganira, Ana uga angger ugering kaprabun, Abon aboning panembah, Kang kambah ing siyang ratri. Karena itu sebisa-bisanya, Bahasanya, upayakan berhati baik Bergurulah secara baik Yang sesuai dengan dirimu Ada juga peraturan dan pedoman bernegara, Menjadi syarat bagi yang berbakti, yang berlaku siang malam.

11)

Iku kaki takok-eno, marang para sarjana kang martapi Mring tapaking tepa tulus, Kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu Tan mesthi neng janma wredha Tuwin mudha sudra kaki. Itulah nak, tanyakan Kepada para sarjana yang menimba ilmu Kepada jejaknya para suri tauladan yang benar, dapat menahan hawa nafsu Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu, Tidak mesti dikuasai orang tua, Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !

12)

Sapantuk wahyuning Gusti Allah, Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, Bangkit mikat reh mangukut, Kukutaning jiwangga, Yen mengkono kena sinebut wong sepuh, Lire sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil Siapapun yang menerima wahyu Tuhan, Dengan cemerlang mencerna ilmu tinggi, Mampu menguasai ilmu kasampurnan, Kesempurnaan jiwa raga, Bila demikian pantas disebut orang tua. Arti orang tua adalah tidak dikuasai hawa nafsu Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)

13)

Tan samar pamoring sukma, Sinuksmaya winahya ing ngasepi, Sinimpen telenging kalbu, Pambukaning warana, Tarlen saking liyep layaping aluyup, Pindha pesating sumpena, Sumusuping rasa jati. Tidak lah samar menyatunya sukma, Meresap terpatri dalam semadi, Diendapkan dalam lubuk hati menjadi pembuka tirai, Tidak lain berawal dari keadaan antara sadar dan tiada Seperti terlepasnya mimpi Merasuknya rasa yang sejati.

14)

Sejatine kang mangkana,

Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi, Bali alaming ngasuwung, Tan karem karameyan, Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira, Mulane wong anom sami. Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugrah Tuhan, Kembali ke alam kosong, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula. Oleh karena itu, wahai anak muda sekalian (lanjut ke SINOM) Mohon maaf poro sanak kadhang ing Ankringan, kopi lan suguhanipun mboten saget tumeg lan tutug margi terbatasnya tempat di sini, pramila ingkang badhe ngersaaken komplitipun serat Wedhatama (terdiri 100 pupuh) sumonggo katuraken pinarak wonten lesehan kawula: http://sabdalangit.wordpress.com

SEMARby wayang in Tokoh Punokawan Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Sejarah Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang. Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisahkisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala. Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa. Asal Usul Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa. Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar. Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti,

seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya. Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru. Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar. Silsilah dan Keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu: * * * * * * * * * * Batara Wungkuham Batara Surya Batara Candra Batara Tamburu Batara Siwah Batara Kuwera Batara Yamadipati Batara Kamajaya Batara Mahyanti Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras. Pasangan Punakawan Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa. Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut. Bentuk Fisik Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar. Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa. Tualen Tualen (tualn) atau Malen merupakan salah satu tokoh punakawan (bahasa Bali parkan) dalam tradisi pewayangan di Bali. Karakternya mirip dengan Semar dalam pewayangan Jawa. Dalam tradisi pewayangan Bali, Tualen digambarkan seperti orang tua berwajah jelek, kulitnya berwarna hitam, namun di balik penampilannya tersebut, hatinya mulia, prilakunya baik, tahu sopan santun, dan senang memberi petuah bijak. Dalam tradisi pewayangan Bali umumnya, puteranya berjumlah tiga orang, yaitu: Merdah, Delem, dan Sangut. Mereka berempat (termasuk Tualen) merupakan punakawan yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali. Semar dan Makna Filosofisnya SEMARadalah putra Sanghyang Tunggal dan dewi Wiranti. Ia mempunyai dua saudara yaitu Sanghyang Antaga (Togog) dan Sanghyang Manikmaya (Batara Guru). 3 bersaudara itu berasal dari telur yang bercahaya. Ketika dipuja oleh Sanghyang Tunggal telur itu pecah kulitnya menjadi Togog, putihnya menjadi Semar dan kuningnya menjadi Batara Guru. Pada waktu di kahyangan Semar bernama Sanghyang Ismaya dan mempunyai istri Kanastri. Berputra sepuluh orang. Sebutan lain Semar : Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya. Semar berwatak : sabar, jujur, ramah, suka humor. Setelah turun dari kahyangan ia menjadi abdi (panakawan) yang selalu memberi bimbingan bagi para kesatria. Pada waktu di kahyangan ia seorang yang tampan tapi setelah

menjadi semar, dan turun ke arcapada (dunia) badannya menjadi gendut, pendek, dan berwajah lucu karena matanya selalu berair. Diceritakan pada waktu Antaga, Ismaya, dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung.Barang siapa yang mampu menelan gunung kemudian mengeluarkan lewat duburnya maka akan mampu menjadi raja di tiga dunia (jagad luhur, madya, andhap). Antaga mencoba, tetapi tidak bisa malah mulutnya sobek dan matanya melotot. Sedangkan Ismaya dapat menelan gunung tapi tidak bisa mengeluarkannya sehingga perutnya buncit, menjadi besar dan matanya berair ( karena menahan sakit ). Sanghyang Manikmaya berhasil menelan gunung, ia diangkat menjadi raja di Kaendran atau Suralaya, juga menguasai jagad madya dan jagad andhap. Kemudian Ismaya ditugaskan oleh Sanghyan Wenang untuk turun ke bumi menjadi abdi para kestaria keturunan Witaradya termasuk leluhur pandawa. Semar bertempat tinggal di Karang Kedempel, dengan nama semar Badranaya, dan mengangkat anak tiga orang yaitu : Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong disebut Punakawan, yang mempunyai arti teman yang setia. Punakawan selalu ikut kesatria yang membela kebenaran, dan selalu menjadi penghibur apabila junjungannya sedang sedih. Semar juga dapat menjadi sarana ketentraman dan kemuliaan bagi negara yang ditempatinya. Pandawa telah menganggap Semar seperti penasihatnya. Pandawa tahu bahwa Semar adalah dewa yang turun ke bumi untuk keselamatan dan keadilan. Selain itu punya watak arif bijaksana, tidak suka marah, suka bercanda. Panakawan, pana artinya tahu. kawan artinya teman. Panakawan artinya : tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi tuannya (majikannya) dalam keadaan suka dan duka, penuh cobaan dan godaan untuk menuju arah kemuliaan. Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya Bebadra = Membangun sarana dari dasar Naya = Nayaka = Utusan mangrasul Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia Javanologi : Semar = Haseming samar-samar Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik. Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.

Rambut semar kuncung (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat. Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi. Ciri sosok semar adalah Semar Semar Semar Semar Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua tertawannya selalu diakhiri nada tangisan berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa berprofil berdiri sekaligus jongkok tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa. Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsaan, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Religius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa . Semar (pralambang ngelmu gaib) kasampurnaning pati. Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna : Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya merdekanya jiwa dan sukma, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup. Previous Nala Gareng

Sastra Jawa : Asthabrata by wayang in Falsafah Wayang ASTHABRATA AJARAN ASTHABRATA pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pangkur, jumlah baitnya ada 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur oleh panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Demikian antara lain diungkapkan Prof. DR. Marsono (52), Dosen Fakultas Budaya Jurusan Sastra UGM, di hadapan peserta sarasehan Jumat Kliwonan Lembaga Javanologi, di nDalem Joyodipuran, Yogyakarta, pada 6 Juli 2001. Dalam sarasehan yang dihadiri 30 peserta, Marsono mengatakan, Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata Secara rinci Marsono menguraikan masing-masing ajaran dengan memberikan kutipan teks sebagaimana terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, Nitisruti dan Ramayana Kakawin Jawa Kuna. 1. Sang Hyang Indra adalah Dewa Hujan. Ia mempunyai sifat menyediakan apa yang diperlukan di bumi, memberikan kesejahteraan dan memberi hujan di bumi. 2. Sang Hyang Yama adalah Dewa Kematian. Ia membasmi perbuatan jelek dan jahat tanpa pandang bulu. 3. Sang Hyang Surya adalah Dewa Matahari. Sifatnya pelan, tidak tergesa-gesa, sabar, belas kasih dan bijaksana. 4. Sang Hyang Candra adalah Dewa Bulan, ia selalu berbuat lembut, ramah dan sabar kepada siapa saja. 5. Sang Hyang Bayu adalah Dewa Angin. Ia bisa masuk ke mana saja ke seluruh penjuru dunia tanpa kesulitan. Segala perilaku baik atau jelek kasar atau rumit di dunia dapat diketahui olehnya tanpa yang bersangkutan mengetahuinya. Ia melihat keadaan sekaligus memberikan kesejahteraan yang dilaluinya.

6. Sang Hyang Kuwera adalah Dewa Kekayaan. Sifatnya ulet dalam berusaha mengumpulkan kekayaan guna kesejahteraan warga masyarakatnya. Ia sebagai penyandang dana. 7. Sang Hyang Baruna adalah Dewa Samudera. Sifat Samudera bisa menampung seluruh air sungai dengan segala sesuatu yang ikut mengalir di dalamnya. Namun samudera tidak tumpah. Hyang Baruna seperti samudera bisa menampung apa saja yang jelek ataupun baik. Ia sabar dan berwawasan sangat luas, seluas samudera. 8. Sang Hyang Brama adalah Dewa Api . sifat api bisa membakar menghanguskan dan memusnahkan benda apa saja. Ia pun dapat memberikan pelita dalam kegelapan Hyang Brama seperti api bisa membasmi musuh dan segala kejahatan sekaligus bisa menjadi pelita bagi manusia yang sedangdalam keadaan kegelapan. Kalau dirangkum amanat asthabrata yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin itu sebagai berikut : Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya: membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar , ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan dana bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya. Ajaran ini tetap relevan bagi para pemimpin kita hingga kini sampai ke masa depan. 14 Feb 08 | | 8. Sasra Jawa SERAT WULANGSUNU Karya : Paku Buwono IV Pupuh I a. Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka. b. Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro. c. Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.

d. Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang e. Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya. f. Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira, ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano. g. Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat. h. Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira, den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti, lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan. i. Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun, lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken wong kathah. j. Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah kang silip, samya brongta ing lampah. k. Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko alus ing budi, iku lampah utama. l. Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong, sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah. Terjemahannya: Pupuh I

a. Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka. b. Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu. c. Tidak enak makan dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya makan nasi garam walaupun hanya untuk membasahi kerongkongan , makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi dan mencuci di sungai dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika kecil untuk itu rasakanlah hal itu. d. Keadaan pahit getir ibumu memelihara kamu dia tidur hanya sambilan meskipun penuh dengan air seni terkena tinja dilakukannya bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku, dibersihkan oleh ibumu dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu lapar disuapi. e. Ketika kamu berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa merangkak pekerjaan ibumu hanya menjagamu walau hanya memakai kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih kecil, bila kamu kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah dewasa, tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya. f. Bila kamu nanti berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, besok kalau mati niscaya akan kembali bersama api, kalau orang senang durhaka, siksanya sangat berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku, lakukan perintah keduanya. g. Adapun kamu nanti, bila dididik ibu bapak ucapanmu sering berlawanan menyahut lalu berpaling, cegahlah itu anakku, tidak baik pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia, besok kalau mati dimusuhi Tuhan, disiksa oleh Malaikat. h. Sedangkan anak muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik ibi bapaknya, duduk bersila dihadapannya, orang tuanya bagaikan Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah budi yang luhur serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang menciptakan mati dan hidup serta pemberi sandang dan pangan. i. Yang sudah kaprah bagi anak muda, bertingkah malang melintang memanjakan diri, bertingkah yang keterlaluan duduk seenaknya dan tak tahu kesopanan, berlaku congkak, senang memperlihatkan badannya, kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh menjingkat dan selalu membuat onar orang banyak.

j. Ingat-ingat jangan ada yang melakukan, segala tingkah yang salah, tingkahnya pasti akan terkuak (diketahui orang banyak), ia akan tersuluh dan tidak kuat menyandangnya, seolah-olah semua orang hanya melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan. k. Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang utama. l. Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin, lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami kesusahan 14 Feb 08 | | 8. Sasra Jawa Serat Wulang Reh Paku Buwana IV( 1768 1820 ) Serat Wulang Reh, karya Jawa klasik bentuk puisi tembang macapat, dalam bahasa jawa baru ditulis tahun 1768 1820 di Keraton Kasunanan Surakarta. Isi teks tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya dilingkungan Keraton Surakarta. Dari serat ini tampak bahwa krisis politik dan ekonomi yang melanda istanaistana Jawa sejak permulaan abad ke 19 meluas ke bidang sosial dan kultural. Institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional mengalami erosi, sedangkan yang baru masih dalam proses pertumbuhan. Hal itu terjadi karena politik kolonial pemerintahan Belanda yang semakin intensif dan juga disebabkan oleh pergaulan istana-istana Jawa dengan orang-orang Eropa yang samakin meluas. Banyak adat-istiadat baru yang semula tidak dikenal akhirnya masuk istana. Sementara itu generasi mudanya lebih terbawa ke arus baru daripada menaati dan menjalani yang lama. Dengan demikian generasi muda dianggap kurang menghargai dan kurang menghormati adat istiadat dan nilai-nilai warisan luhur, kurang sopan santun, kurang prihatin, tidak mau mendengarkan dan menerima pendapat orang-orang tua. Semua tinggkah laku dan cara berpikir mereka dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya yang sesuai dengan pedoman yang diwariskan oleh leluhur-leluhur pada masa yang lalu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang istana itu berusaha mempertahankan statusnya. Untuk itulah

mereka menggali naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika. Teks-teks lama yang digubah, isi dan bahasanya disesuaikan dengan keadaan yang berlaku pada waktu. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah. Dengan demikian, niali seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadardapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap. Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokohtokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah laranganlarangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram. Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan awutali kekerabatan. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkankewaspadaan batin. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak reh bersabar hati dan ririh tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang : 1. Deduga dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah. 2. Prayoga dipertimbangkan baik buruknya 3. Watara dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan 4. Reringa sebelum yakin benar akan keputusan itu Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Lakilaki dan Perempuan, Saudara laki-laki yang tertua, Guru dan raja. Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi : 1. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua

2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima 3. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran 4. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup. 5. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi ceritacerita yang baik. 6. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi. Serat Wulang Reh Serat Macapat Dandanggula 1. Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita. 2. Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira. 3. Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua. 4. Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana. 5. Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat. 6. Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.

7. Angel temen ing jaman samangkin, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga. 8. Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira. Wedhatama [1] Secara semantik, Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian: sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia.Serat Wedhatama yang memuat filsafat Jawa ini ditulis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Arya (KGPA) Mangkunegara IV yang terlahir dengan nama Raden Mas Sudira pada hari Senin Paing, tanggal 8 Sapar, tahun Jimakir, windu Sancaya, tahun Jawa 1738, atau tahun Masehi 3 Maret 1811. Semasa hidupnya, beliau memerintah Kasunanan Mangunegaran selama 25 tahun sejak 24 Maret 1853 dengan catatan prestasi di antaranya: di bidang pemerintahan, beliau mempertegas batas wilayah batas Kasunanan Mangunegaran; di bidang pertahan dan militer, beliau menerapkan kewajiban mengikuti pendidikan selama 6-9 bulan bagi para kerabat dewasa, yang kemudian harus menjadi pegawai negara dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, beliau berhasil membangun pusat-pusat kegiatan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat, seperti pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik genteng dan perkebunan karet di beberapa tempat dan lain sebagainya. Sedang di bidang sosial budaya, menghasilkan karya sastra, tarian jawa, pembaharuan dalam musik gamelan Jawa dan sebagainya. Sri Mangkunegara wafat pada hari Jumat tanggal 8 September 1881 pada usia 70 tahun. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Namun seiring dengan perjalanan waktu, nilai budaya luhur yang ditinggalkannya secara pelan dan pasti semakin tergerus budaya asing dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi karena generasi muda penerus budaya dan kehidupan bangsa ini lebih pada kenyataannya banyak yang budaya manca dalam berbagai bentuknya, yang kebanyakan justru menjauhi esensi hidup dan kehidupan umat manusia dan alam semesta. Agar Serat Wedhatama ini lebih mudah dipelajari dan dipahami berbagai lapisan masyarakat, disini disajikan naskah dalam versi Bahasa Jawa dan versi Bahasa Indonesia.

Wedhatama [2] TEMBANG PANGKUR Mingkar mingkuring angkara Akarana karenan mardi siwi Sinawung resmining kidung Sinuba sinukarta Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung Kang tumrap neng tanah Jawa Agama ageming aji Jinejer neng Wedhatama Mrih tan kemba kembenganing pambudi Mangka nadyan tuwa pikun Yen tan mikani rasa Yekti sepi asepa lir sepah samun Samangsane pakumpulan Gonyak-ganyik nglilingsemi Nggugu karsane priyangga Nora nganggo paparah lamung angling Lumuh ingaran balilu Uger guru aleman Nanging janma ingkang wus waspadeng semu Sinamun ing samudana Sesadon ingadu manis Si pengung ora nglegewa Sangsayarda denira cacariwis Ngandhar-andhar angendhukur Kandhane nora kaprah Saya elok alangka longkanganipun Si wasis waskitha ngalah Ngalingi marang si pingging Mangkono ngelmu kang nyata Sanyatane mung weh reseping ati Bungah ingaran cubluk Sukeng tyas yen den ina Nora kaya si punggu anggung gumunggung Agungan sadina-dina Aja mangkono wong urip Uripe sapisan rusak Nora mulur nalare ting saluwir Kadi ta guwa kang sirung Sinerang ing maruta Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung Pindha padhane si mudha

Prandene paksa kumaki Kikisane mung sapala Palayune ngendelken yayah-wibi Bangkit tur bangsaning luhur Lah iya ingkang rama Balik sira sasrawungan bae durung Mring atining tata krama Ngon-anggo agama suci Socaning jiwangganira Jer katara lamun pocapan pasthi Lumuh asor kudu unggul Sumengah sosongaran Yen mangkono kena ingaran katungkul Karem ing reh kaprawiran Nora enak iku kaki Kekerane ngelmu karang Kakarangan saking bangsaning gaib Iku boreh paminipun Tan rumasuk ing jasad Amung aneng sajabaning daging kulup Yen kapengkok pancabaya Ubayane mbalenjani Marma ing sabisa-bisa Babasane muriha tyas basuki Puruita kang patut Lan traping angganira Ana uga angger-ugering keprabun Abon-aboning panembah Kang kambah ing siyang ratri Iku kaki takokena Marang para sarjana kang martapi Mring tapaking tepa tulus Kawawa naheb hawa Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu Tan mesthi neng janma wredha Tuwin muda sudra kaki Sapa ntuk wahyuning Allah Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit Bangkit mikat reh mangukut Kukutaning jiwangga Yen mangkono kena sinebut wong sepuh Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal

Tan samar pamoring sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom sami. Menghindarkan diri dari angkara Bila akan mendidik putra Dikemas dalam keindahan syair Dihias agar tampak indah Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai Kenyataannya, di tanah Jawa Agama dianut raja Diuraikan dalam Wedhatama Agar tidak mengendurkan budi daya Pada hal meski tua renta Bila tak memahami perasaan Sama sekali tak berguna Misalnya dalam pertemuan Canggung memalukan Menuruti keinginan pribadi Bila berbicara tanpa dipikir lebih dahulu Tak mau disebut bodoh Asal dipuji dan disanjung Tetapi manusia telah paham akan pertanda Yang ditutupi dengan kepura-puraan Ditampilkan dengan manis Si bodoh tidak menyadari Bicaranya semakin menjadi-jadi Melantur-lantur semakin jauh Ucapannya tidak masuk akal Semakin aneh dan jauh dari kenyataan Si pandai dan waspada mengalah Menutupi kekurangan si bodoh

Begitulah ilmu yang nyata Sesungguhnya hanya memberi kesejukan Bangga dikatakan bodoh Senang hatinya bila dihina Tidak seperti si bodoh yang besar kepala Minta dipuji setiap hari Orang hidup jangan begitulah Hidupnya semakin rusak Nalarnya tidak berkembang dancompang-camping Seperti gua yang gelap Diterpa angin badai Menggeram, mengaung, gemuruh Sama siperti si muda Meski begitu ia tetap sombong Kemampuannya sangat kecil Geraknya bergantung kepada ayah-ibu Terpandang dan tingkat luhur Itulah orang tuanya Sedangkan belum mengenal Artinya sopan-santun Yang merupakan ajaran agama Sifat-sifat dirimu Tampak dalam tutur-bicara Tak mau mengalah, harus selalu menang Congkak penuh kesombongan Sikap seperti itu salah Gila kemenangan Itu tak baik, anakku Yang termasuk ilmu takhayul Pesona yang berasal dari hal-hal gaib Ibarat bedak Tidak meresap ke dalam tubuh Hanya ada berada di luar daging, anakku Jika tertimpa mara bahaya Pasti akan mengingkari Maka sedapat mungkin Usahakan berhati baik Mengabdilah dengan baik Sesuai dengan kemampuanmu Juga tata-cara kenegaraan Tata-cara berbakti Yang berlaku sepanjang waktu Bertanyalah anakku

Kepada para pendeta yang bertirakat Kepada segala teladan yang baik Mampu menahan hawa nafsu Pengetahuanmu akan kenyataan ilmu Tidak hanya terhadap orang tua-tua Dan orang muda dan hina anakkku Barangsiapa mendapat wahyu Tuhan Akan cepat menguasai ilmu Bangkit merebut kekuasaan Atas kesempurnaan dirinya Bila demikian, ia dapat disebut orang tua Artinya sepi dari kemurkaan Memahami dwi-tunggal Tidak bingung kepada perpaduan sukma Diresapkan dan dihayati di kala sepi Disimpan di dalam hati Pembika tirai itu Tak lain antar sadar dan tidak Bagai kilasan mimpi Merakna rasa yang sejati Sesungguhnya yang demikian itu Telah mendapat anugerah Tuhan Kembali ke alam kosong Tak suka pada keramaian Yang bersifat kuasa-menguasai Telah memilih kembali ke asal Demikianlah, anak muda

Suluk Sujinah Isi teks tentang ajaran tasawuf atau mistik, amanat teks Suluk Sujinah dituangkan dalam bentuk dialog antara tokoh Purwaduksina sebagai suami dengan tokoh utama Ken Sujinah sebagai istri. Dialog yang disampaikan menyangkut : asal mula manusia, kewajiban, tujuan dan hakikat hidup menurut agama Islam, khususnya ajaran tasawuf.Diterangkan tahap-tahap yang harus dilalui manusia dalam upaya agar bisa luluh kembali kepada Tuhan. Tokoh Purwaduksina memberikan ajaran kepada istrinya, Dewi Sujinah mengenai : Rukun Islam, Empat Kiblat, Baitullah, Asma Allah, Takbiratul Ihram dan sebagainya.Dilukiskan mengenai hakikat perkawinan, hakikat sholat, sifat Tuhan, letakNYA, macam-macam bertapa, uraian tentang tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, tentang anugerah Tuhan, pertalian manusia dengan Tuhan dan petunjuk-petunjuk agar manusia agar manusia mematuhi ajaran utama. Empat tahap yang harus dilalui oleh salik dalam mendekati sang Khalik, ialah :

1. Syariat 2. Tarekat 3. Hakikat 4. Makrifat Wujud iman ada pada diri sendiri dan merupakan hakikat kehendak sejati, sedangkan tauhid adalah mata roh yang memandang terpusat kepada Allah. Makrifat adalah saat bertemunya makhluk dengan Khalik. Ada empat watak yang tidak terpuji yang harus dijauhi yaitu : 1. Jubriya atau sombong 2. Takabur atau keras kepala 3. Kibir atau mengandalkan kekuatan 4.Sumengah atau watak tidak terpuji. Orang yang berilmu sejati tidak akan sakit apabila dicela, dan tidak bangga jika disanjung dalam menghadapi rintangan hidup hendaknya tetap teguh. Menuntut ilmu sejati harus didasari kesucian hati, jangan menganggap dirinya merasa lebih dan jangan pula meremehkan orang lain. Janganlah menganggap orang lebih rendah dan jangan pula mencari kejelekkan atau kekurangannya. Cara untuk menghilangkan watak tidak terpuji dapat ditempuh dengan dua cara sebagai berikut : 1. Sadarlah bahwa manusia itu sama, baik tua maupun muda, tinggi rendah, maupun kaya miskin, kesemuanya adalah mahkluk Tuhan. Jika sering mencampuri urusan orang lain dan mencelanya, sama saja dengan mencela Tuhan. 2. Manusia hendaklah mencamkan sabda dalam Alquran, dengan bekal mencamkan sabda tersebut ia akan dijauhkan dari sifat takabur. Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang lemah, ia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang. Seseorang yang hanya terhenti pada tahap Syariat diibaratkan sebagai berdagang madu atau gula, dalam mengarungi samudera kehidupan manusia pastia akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai perbuatan amal. Pada tingkat Tarekat manusia diibaratkan mati didalam hidup dan hidup dalam kematian, ia harus bersikap rendah, tidak gemar cekcok dan menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang kan menjerumuskan kepada ketersesatan. Ia harus mematuhi nilai-nilai pergaulan dalam masyarakat, mempunyai watak terpuji ( sabar, penuh pengertian, berbudi luhur, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh dan tidak iri )dan bersyukur atas apa yang telah dicapai berkat rida Tuhan. Tahapan Hakikat manusia telah mengenal jati dirinya yang dilambangkan terdiri atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan suatu ilmu. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, tidak kerdil atau fanatik dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap tenggang rasa dan hormat menghormati keyakinan orang lain. Orang yang telah mencapai Makrifat kalbu dan rasanya telah luluh, menyatu dengan Tuhan, ia sudah tidak sedih atau

menderita akibat pasang surutnya kehidupan, jiwanya stabil, tutur kata dan tingkah laku di dunia menjadi saksi keangungan-NYA. SERAT SABDOJATI Megatruh 1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, MarGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, Kalising pan