ARTIKEL NGURAH 2010

download ARTIKEL NGURAH 2010

of 30

Transcript of ARTIKEL NGURAH 2010

Tinjauan Aspek Sosiologis Teks Agastya Parwa dan Implementasinya dalam Kehidupan Sosial Beragama pada Masyarakat Hindu di Lombok Oleh: I Gusti Komang Kembarawan, S.Ag., M.Ag. I. Pendahuluan Kesusastraan merupakan bagian dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia yang menjadi identitas serta merefleksikan nilai-nilai luhur yang telah berlangsung semenjak zaman purba. Hasil-hasil kesusastraan tersebut sudah ada pada zaman purba sampai saat ini diwarisi sebagaimana dikemukakan oleh Soekmono (1981:104-105) bahwa hasil-hasil kesusastraan tersebut terutama yang berasal dari Jawa namun naskah-naskahnya sampai kepada kita didapatkannya di Bali. Hal tersebut disebabkan oleh karena naskah-naskah tersebut ditulis di atas daun lontar yang tidak bisa bertahan sampai berabad-abad dan waktu masyarakat Jawa sudah memeluk agama Islam naskah-naskah tadi tidak lagi mendapat perhatian. Keberadaan masyarakat Hindu di Bali merupakan keberuntungan yang sangat besar karena kitab-kitab lontar tersebut disimpan dengan baik sdan dipelihara terus sedangkan kepandaian menulis di atas daun lontar masih tetap dipertahankan dan penghargaan terhadap kesusastraan lama itu masih menjadi kebanggaan. Naskah naskah yang sudah tua itu disalin dan diperbaharui, sehingga kesusastraan kuno itu masih saja hidup meskipun hurufnya yang dipakai bukan lagi huruf Jawa Kuno, melainkan huruf Bali. dengan demikian naskah-naskah buah kesustraan jaman purba itu dapat diketahui kembali. Hasil-hasil kesusastraan jaman purba yang sampai kini diwarisi perlu mendapatkan perhatian yang serius. Kendati karya-karya sastra tersebut ditulis pada masa lampau yang dalam konteks sosial sangat berbeda dengan dengan jaman modern seperti sekarang ini, namun di dalam karya-karya sastra tersebut tidak dipungkiri bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan inspirasi khususnya dalam upaya membangun kepribadian dan jati diri manusia yang beradab. Karya-karya sastra yang disusun pada masa kuno sarat akan nilainilai keagamaan yang dikemas dalam bahasa yang estetik sehingga disamping dapat menikmati karya tersebut dari segi keindahan bahasanya juga akan dapat diserap nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya. Upaya untuk menggali nilai-nilai religius yang tersurat dan tersirat dalam teks-teks kono baik yang diproduksi oleh para sastrawan di Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia, khususnya dari India sangat perlu dilakukan dalam rangka untuk menambah khasanah pengetahuan-pengetahuan religiusitas. Hal tersebut tidak terlepas dari upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai luhur yang terdapat dalam teks-teks tersebut yang dapat digunakan sebagai sumber ajaran dan dijadikan pedoman dalam rangka merealisasikan tujuan hidup di dunia ini. Revitalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam teks-teks kuno dalam konteks kehidupan bermasyarakat diwujudnyatakan dengan mengaktualisasikan nilai nilai luhur tersebut dalam membangun keselarasan dalam interaksi sosial di lingkungannya. Dalam rangka untuk merevitalisasi nilai-nilai luhur yang terdapat dalam teks-teks tersebut pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengetahui content atau isi yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Content atau isi yang terkandung dalam teks-teks tersebut selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan aspek -aspek yang diajarkannya seperti aspek relegius, aspek filsafat, aspek sosial, aspek 1

estetika, dan yang lainnya. Hal ini didasari bahwa dalam sebuah karya kuno, di dalamnya terdapat berbagai aspek yang menyangkut nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup. Salah satu teks kuno yang sampai saat ini diwarisi khususnya yang di dalamnya mengandung ajaran agama Hindu adalah Agastya Parwa. Agastya Parwa mengandung nilai-nilai luhur dalam berbagai aspek seperti ajaran tentang karma pala, yoga, kelepasan, sosial dan sejumlah aspek lainnya yhang dapat digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku. Berkenaan dengan sejumlah aspek yang terkandung di dalam teks Agastya Parwa dalam penelitian ini akan dikaji satu aspek saja yakni yang berkaitan dengan aspek sosial. Penelitian ini difokuskan pada tinajauan aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agatya Parwa. Pertimbangan yang digunakan dalam memilih kajian terhadap aspek sosiologisnya adalah karena teks tersebut sebagaimana dikatagorikan oleh R.M.N. Poerbotjaraka sebagai kitab Jawa Kuno Golongan Tua. Kendati dalam periodeisasi waktunya penyusunan teks tersebut digolongkan ke dalam karya Jawa Kuno Golongan Tua, namun di dalamnya banyak menuangkan nilai-nilai yang luhur berhubungan dengan konteks kehidupan masyarakat pada zaman modern. Aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa setidaknya dapat digunakan sebagai rujukan dalam menyikapi munculnya permasalahan permasalahan sosial dalam kehidupan saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini bermunculan permasalahan sosial yang berkaitan dengan kedudukan individu dalam masyarakat sesuai dengan stratifikasinya. Hal tersebut juga menjadi wacana yang muncul dan berkembang belakangan ini khususnya pada masyarakat Hindu di Pulau Lombok. Bahkan tidak dipungkiri bahwa akhir-akhir ini muncul kecendrungan bahwa mereka mengasumsikan dirinya sebagai bagian dari keturunan orang-orang penting dari masa lalu yang memiliki posisi kelas yang tinggi. Dalam konteks ini sejumlah individu mengklaim dirinya sebagai bagian dari sejarah masa lalu yang memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Hampir tidak ada individu yang mengaku sebagai bagian kelas terbawah dari sistem stratifikasi sosial. II. Fokus Kajian Berdasarkan fenomena di atas, tlisan ini memokuskan analisis pada aspek sosiologis dalam teks Agastya Parwa. Pertama, berkenaan dengan keberadaan aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa. Kedua, keterkaitan aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Weda. Ketiga, implementasi aspek sosiologis dalam teks Agastya Parwa dalam kehidupan sosial khususnya pada masyarakat Hindu di Lombok. III. Pembahasan 3.1 Deskripsi Aspek Sosiologis dalam Teks Agastya Parwa Agastya Parwa sebagaimana dikemukakan oleh Sura dkk (2002:iii) diambil dari nama Bhagaw n Agastya. Beliaulah yang menceritakan isi Agastya Parwa ini kepada putranya yaitu Sang Ddhasyu. Bhagaw n Agastya terkenal dalam sastra sastra Sansekerta sebagai seorang bhagaw n yang menyebarkan agama Hindu ke India Selatan sampai ke nusantara. Ia adalah seorang bhagaw n pengelana yang tidak kembali pulang. Berkaitan dengan penelitian ini, naskah Agastya Parwa dijadikan sebagai teks yang dianalisis terutama mengkaji aspek sosiologisnya. Dalam upaya untuk

2

mengkaji aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa pertama kali dilakukan identifikasi terhadap isi yang terkandung dalam naskah. Setelah dilakukan identifikasi yakni keberadaan aspek-aspek sosiologisnya selanjutnya dilakukan analisis. Analisis tersebut bertujuan untuk menemukan koherensi dan hubungan antar teks. Berdasarkan identifikasi maka aspek-aspek sosiologis yang terkandung dalam naskah Agastya Parwa terletak pada bagian akhir naskah. Dalam melakukan analisis terhadap aspek sosiologis terhadap teks Agastya Parwa, pertama kali dilakukan pengutipan teks aslinya. Pengutipan tersebut dilakukan secara bertahap, artinya naskah tersebut dikutip pertanyaan yang diajukan oleh Sang Ddhasyu selanjutnya jawaban yang diberikan oleh Bhagaw n Agastya. Teks yang mengandung aspek sosiologis dalam naskah Agastya Parwa dikutip seperti pada sajian berikut ini. Uv ca, matakwan Sa Ddhasyu muwah; li nira: Artinya: Uv ca, Sang Ddhasyu bertanya pula katanya: Dialog yang membahas keberadaan aspek sosiologis dalam teks Agastya Parwa diawali dengan pengajuan pertanyaan oleh Sang Ddhasyu kepada Bhagaw n Agastya seperti dikutip berikut ini. atitapuru abhup Dilipasya purahsar kim id prakurvanti praj vai nirupadrav h, Saj Hya mami, mapa kari ulah sa prabhu Atita, reh nira uminakika rat, kadya gan Mah r ja Dilipa, Raghu, Ik w kula. Aja, mata nyan enak ika rat de nira? Artinya: Baiklah ayah, apakah tindakan sang prabu pada masa yang lalu, yaitu usahanya dalam menyejahterakan dunia. Seperti Maharaja Dilipa, Raghu, Ik w kula, Aja sehingga dunia menjadi sejahtera olehnya? Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa dialog antara Bhagaw n Agastya dengan putranya Sang Ddhasyu yang membicarakan aspek sosiologis diawali dengan pertanyaan yang pada pokoknya menanyakan bahwa keberadaan seorang pemimpin (sang prabhu) yang memerintah sebuah kerajaan di masa lalu. Pertanyaan Sang Ddhasyu berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh seorang pemimpin (sang prabhu) dalam mengusahakan kesejahteraan kehidupan di dunia ini. Sang Ddhasyu mengajukan empat contoh maharaja dalam mengusahakan kesejahteraan dunia yakni Maharaja Dilipa, Maharaja Raghu, Maharaja Ik w ku, dan Maharaja Aja. Pertanyaan yang diajukan oleh Sang Ddhasyu kepada Bhagaw n Agastya pada hakikatnya berkaitan dengan aspek kesejahteraan sosial di lingkungan kerajaan yang dipimpin oleh keempat maharaja tersebut. Bhagaw n Agastya merespon pertanyaan yang diajukan oleh putranya yaitu Sang Ddhasyu seperti dikutip dalam teks berikut ini. Uvaca, sumahur Bha r gastya; li nira: Artinya: Bhagaw n Agastya menjawab, katanya:

3

svadharma s dhan t kury d br hmaah k atriya puna vai ya ro yath k m sthitam etaj jagattrayam; Kali anya:ma ke ila nika sa catur wara uni. Caturwar a aranya: br hmaa, k atriya, wai ya, udra. kuna ika ika cad la mwa domba kapasuk i udra ika, tuhun kanis ha ni udra aranya. kuna ika mallecha kahe sa ke caturwara ika artinya: Tingkah laku sang catur wara dahulu sebagai berikut. Catur wara, yaitu Br hmaa, k atriya, Wai ya, dan udra. Cad la dan domba tergolong udra, namun udrawara yang paling rendah. Adapun mlecca berada di luar catur wara itu. Berdasarkan teks di atas, Bhagaw n Agastya menyampaikan tingkah laku sang catur wara pada masa lalu. Dalam teks tersebut yang disebut dengan sang catur wara adalah br hmaa, k atriya, wai ya, dan udra. Di samping keberadaan empat golongan warna tersebut ada lagi dikatakan dengan sebutan cad la dan domba. Keduanya dikelompokkan dalam golongan udra. Sebagaimana disebutkan dalam teks udrawara merupakan golongan yang paling rendah. Bhagaw n Agastya juga menyebutkan adanya mlecca yakni mereka yang posisinya berada di luar catur wara itu. Berkaitan dengan penjelasan Bhagaw n Agastya mengenai keberadaan dan perilaku sang br hmaa, meliau melanjutkan penjelasannya seperti dipetik dalam kutipan berikut ini. Kuna ulah sa br hmaa ma ke ulahak na nira yatanyan nirwighna bhuana : ag l ma ta sira magawe pa cakrama lokik c ra, yan s da sira tamolah ri r ja. uniweh yan pinaka purohita de sa prabhu, ag l ma ta sir muj ,matrisandya, toyasn na, bhasmasn na, mantrasn na; ma kan ak n udak jali ri Sa Hya iw ditya. Yatika gawayak na nira, tatar panada dodot wirupa -wirupa aranya carik em l-, udh radina paripur juga tika dodot sada nira, tatar pa njak- njaka; tatar par ri umah ni omah, kew l yog juga sira. Tatar bandha-paribandh ta sira, uniweh byasan byasan aranya tripana, dyutt di, ika tan gawayak na de sa br hmana- tan par wy moha yan wuwus magawe lokik c ra(lokik c ra) aran ira puj ,yaj - yatika tan Tulay n ira. Tan tirwa ulah ni tiga sira. Tiga aranya : k atriya, we ya udra; kewala marahana

4

juga sira ri sa tiga warna. Apan rwa kewala gawayak na de sa br hmaa. Rwa aranya: Kriy rcana; kry widhi yoga, kuna samakana Tulay n sa br hmaa. Y wat ma kana ila nira sa dwija enak tika rat, swastha tika bhuana. Apan at guh sa br hmaa ri swadharma nira, Tinut ri t guh ni bhuana. Artinya: Perilaku Sang Br hmaa yang harus dilaksanakannya agar dunia ini bebas dari bahaya adalah beliau tekun mengerjakan pa cakarmalokik c ra. Apabila beliau tinggal bersama-sama dengan sang raja, lebih-lebih beliau bila dijadika purohita oleh sang prabhu, beliau tekun memuja, melakukan tri sandhya, toyasn na, bhasmasn na, mantrasn na; pula melaksanakan udaka jali pada Sang Hyang iw ditya. Itulah hendak dikejar oleh beliau, tidak memakai dodot yang wirupa ialah coreng-moreng dan kotor. Dodot yang dipakainya bersih, bagus, dan utuh, tidak boleh ada bekas injakan. Tidak boleh masuk rumah orang yang bersuami istri, beliau hanya beryoga. Beliau tidak boleh menyakiti, lebih-lebih melaksanakan kebiasankebiasaan buruk. Kebiasaan-kebiasaan buruk seperti melakukan permainan seperti berjudi dan lain-lainnya. Itulah tidak boleh dilakukan oleh sang brahmana, tidak sampai kehilangan kesadaran ketika beliau membicarakan dan melaksanakan lokik c ra (lokik c ra)ialah puja atau pemujaan dan yajna itulah yang beliau tidak lakukan dan harus tidak meniru tingkah lakunya tiga wara yaitu K atriya, Wai ya, dan udra. Beliau hanya mengajarkan saja sang tiga wara itu. Karena hanya dua hal saja yang dikerjakan oleh sang br hmaa yaitu: kriy rcana; dan kriy widhi yoga. Itulah yang hendaknya dikerjakan oleh sang br hmaa. Bila sudah demikian perilaku sang br hmaa maka dunia akan sejahtera dan tenteram karena sang br hmana teguh memegang swadharmanya, yang akan disusul oleh kuatnya dunia. Bersadarkan kutipan teks di atas Agastya Parwa Perilaku menyampaikan bahwa sang br hmaa memiliki kewajiban untuk membebaskan dunia dari dari keadaan bahaya. Untuk membebaskan dunia dari bahaya perilaku yang harus dilaksanakannya sang br hmaa adalah beliau tekun mengerjakan pa cakarmalokik c ra. Sebagaimana disampaikan oleh Bhagaw n Agastya dalam teks, bahwa apabila sang br hmaa tinggal bersama-sama dengan sang raja, lebihlebih beliau bila dijadika purohita oleh sang prabhu, maka sang br hmaa hendaknya tekun memuja, melakukan tri sandhya, toyasn na, bhasmasn na, mantrasn na; pula melaksanakan udaka jali pada Sang Hyang iw ditya. Perilaku-perilaku tersebut hendaknya dilakukan oleh sang br hmaa dalam upaya untuk membebaskan dunia dari keadaan bahaya.

5

Dalam melakukan kewajibannya, sesuai dengan teks di atas sang br hmaa tidak memakai dodot yang wirupa ialah coreng-moreng dan kotor. Dodot yang dipakainya bersih, bagus, dan utuh, tidak boleh ada bekas injakan. Dalam konteks ini sang br hmaa sepatutnya menggunakan dodot yang selain memiliki kesucian, juga hendaknya menunjukkan sifat-sifat fisik yang berkualitas seperti kondisinya bersih, bentuknya bagus, keberadaannya masih utuh, dan tidak diperbolehkan menggunakan dodot yang telah pernah diinjak. Penggunaan dodot yang dipersyaratkan seperti itu supaya sang br hmaa dalam melaksanakan kewajiban beliau tetap mampu mempertahankan kesucian dan kewibawaan. Berkaitan dengan aspek etika, sang br hmaa tidak diperbolehkan memasuki rumah orang yang bersuami istri, beliau hanya beryoga. Dalam konteks ini sang br hmaa dalam upaya untuk selalu menjaga kesuciannya, beliau hendaknya menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan kondisi grhasta seperti masuk ke dalam rumah pasangan suami istri. Sang br hmaa juga tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang bersifat menyakiti, demikian juga melaksanakan kebiasan-kebiasaan buruk sesuai dengan teks di atas tidak dibenarkan. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dipantangkan sang br hmaa yakni melakukan permainan seperti berjudi dan lain-lainnya. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut akan mempengaruhi kesucian diri sang br hmaa sehingga harus dihindari. Dalam teks di atas Bhagaw n Agastya menyampaikan bahwa sang br hmaa agar tidak sampai kehilangan kesadaran ketika beliau membicarakan dan melaksanakan lokik c ra (lokik c ra) yaitu puja atau pemujaan dan yajna itulah yang beliau tidak lakukan dan harus tidak meniru tingkah lakunya tiga wara yaitu K atriya, Wai ya, dan udra. Ajaran yang disampaikan oleh Bhagaw n Agastya secara implisit mengajarkan bahwa sang br hmaa memiliki tingkatan hidup yang berbeda dengan ketiga warna lainnya. Untuk mempertahankan kedudukannya itu, sang br hmaa seyogyanya tidak meniru kelakuan ketiga warna tersebut. Sang br hmaa hendaknya berkewajiban hanya mengajarkan saja sang tiga wara itu yaitu k atriya, wai ya, dan udra. Berkenaan dengan kewajiban yang hendaknya dilaksanakan oleh sang br hmaa sebagaimana disebutkan dalam teks di atas ada dua hal terpenting yang dikerjakan. Pertama, sang br hmaa berkewajiban melakukan kriy rcana. Kedua, sang br hmaa juga berkewajiban melakukan kriy widhi yoga. Kedua kewajiban yang disebutkan dalam teks Agastya Parwa hendaknya dikerjakan oleh sang br hmaa. Ditambahkan pula bahwa jika kedua kewajiban itu telah dilaksanakan oleh sang br hmaa maka dunia akan sejahtera dan tenteram. Hal tersebut ditegaskan karena didasari oleh alasan bahwa jika sang br hmana teguh dalam memegang swadharma-nya, maka yang akan terjadi adalah kondisi dunia yang kuat. Teks di atas mendeskripsikan kewajiban-kewajiban yang patut dilaksanakan oleh sang br hmaa dalam rangka menopang kekuatan dunia. Dalam hal ini teks tersebut bermakna bahwa sang br hmaa ditinjau dari segi kedudukannya memiliki posisi tertinggi dibandingkan dengan tiga warna yang lainnya. Dalam kitab suci Veda yakni pada Yajur Veda XXXI. 11 disebutkan bahwa brahmana dianalogikan sebagai mulut-NYA Tuhan. Titib (1998: 390) menganalogikan kehidupan manusia dalam komunitasnya sebagai makhluk kosmos yang secara anatomis menggambarkan pengelompokkan manusia atas dasar profesi (varna) yang digelutinya. Brahmana (para pemikir) dianalogikan sebagai mulut/ kepalanya. Sejalan dengan hal tersebut sang br hmaa

6

diasumsikan sebagai golongan tertinggi dan diyakini memiliki kemampuan untuk mengatur golongan yang lainnya. Karena itu teks Agastya Parwa menyatakan bahwa sang br hmaa merupakan simbol penopang kekuatan dunia apabila beliau mampu memegang swadharma-nya. Setelah mendeskripsikan kewajiban yang seyogyanya dilaksanakan oleh sang br hmaa dalam upaya menjaga ketertiban dunia, maka pada bagian selanjutnya Bhagaw n Agastya menguraikan tugas dan kewajiban warna berikutnya yakni warna k atriya atau yang dalam teks Agastya Parwa disebut sebagai sang k atriya. Uraian tentang sang k atriya yang diajarkan oleh Bhagaw n Agastya kepada putra beliau yakni Sang Ddhasyu seperti dikutip pada kutipan berikut ini. ma kana sa k atriya, nihan ulaha nira : masiha ri rat umaritr hina dina,humila ak na kal kani bhuana, ur ta sira ri samara, dan ur ta sira, umintuhwa ri nwarah Sa Hya gama, bhaktya ta sira ri sa br hmana, nahan ulaha nira sa k atriya. Artinya: Demikian pula sang k atriya. Inilah yang harus dilakukan yaitu kasih sayang kepada dunia, melindungi orang yang lemah, menghilangkan keburukan dunia, harus gagah berani di medan perang, harus berani menjadi pahlawan dan berderma, mematuhi ajaran-ajaran agama, dan bhakti kepada sang br hmaa. Demikianlah hendaknya perilaku sang k atriya. Berdasarkan teks di atas Bhagaw n Agastya mengajarkan putranya Sang Ddhasyu tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh sang k atriya. Kewajiban yang pertama yang harus dijalankan oleh sang k atriya sesuai dengan teks di atas adalah mencurahkan kasih sayang kepada dunia. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa sang k atriya harus menerapkan rasa kasih sayang kepada seisi dunia khususnya kepada makhluk hidup. Kewajiban yang kedua yang harus dilaksanakan oleh sang k atriya sesuai dengan teks di atas adalah melindungi orang yang lemah. Dalam konteks ini sang k atriya dalam rangka ikut menegakkan keharmonisan dunia harus memiliki kepekaan khususnya terhadap orang-orang yang lemah. Sang k atriya harus berani membela yang lemah sesuai dengan swadharma-nya. Hal ini mengimplikasikan bahwa sang k atriya tidak harus tunduk pada kekuasaan, namun diharapkan mampu menghormati kebenaran kendati letak kebenaran itu pada orang-orang yang lemah, pada mereka yang tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Ketiga, sang k atriya hendaknya mampu menghilangkan keburukan dunia. Dalam konteks ini sang k atriya diharapkan mampu untuk melenyapkan permasalahan-permasalahan yang menimbulkan ekses negatif bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Permasalahan-permasalahan yang menimbulkan keburukan dunia itu banyak macamnya seperti kemiskinan, kebodohan, kekacauan, serta masalah-masalah lainny yang bertendensi menurunkan kualitas kehidupan

7

manusia dan masyarakat. Dalam konteks kehidupan masyarakat modern, sang k atriya adalah mereka yang berada pada posisi pemegang kekuasaan baik kekuasaan yang kasat mata seperti dalam sistem pemerintahan maupun yang tidak kasat mata yakni kekuasaan simbolik. Keempat, sang k atriya harus gagah berani di medan perang. Dalam konteks ini sang k atriya memiliki kewajiban sebagai pelindung kebenaran khususnya di saat-saat terjadi konflik. Karena itu, sebagaimana diamanatkan dalam teks di atas bahwa sang k atriya harus berani menunjukkan sikap-sikap yang gagah berani di medan pertempuran. Sang k atriya tidak boleh mengundurkan diri dari medan pertempuran, karena itu merupakan tindakan yang tidak perpuji bagi sang k atriya. Kelima, sang k atriya harus berani menjadi pahlawan dan berderma. Kewajiban ini masih erat kaitannya dengan kewajiban keempat yakni melalui keberanian yang tumbuh dari diri sang k atriya akan mampu menumbuhkan sikap-sikap kepahlawanan. Sikap-sikap kepahlawanan bagi sang k atriya salah satunya adalah berani membela kebenaran dimanapun posisinya. Selain itu, sang k atriya juga harus menunjukkan sikap yang dermawan. Dalam hal ini sang k atriya harus mampu menumbuhkan sikap-sikap yang berani mengorbankan sebagian miliknya untuk diberikan kepada orang lain yang memebutuhkan. Keenam, dalam kaitannya dengan aspek religius sebagaimana diajarkan oleh Bhagaw n Agastya bahwa sang k atriya hendaknya mematuhi ajaran-ajaran agama. Dalam konteks ini sang k atriya kendati memiliki tugas utama mencurahkan kasih sayang kepada dunia dengan sikap-sikap keberanian dan kepahlawanannnya sebagaimana disebutkan di atas, juga diharapkan mematuhi ajaran-ajaran yang diamanatkan dalam kitab suci. Bahkan dalam melaksanakan ajaran agama sang k atriya hendaknya menjalin hubungan dengan sang br hmaa. Dalam masa pemerintahan kerajaan di masa lalu hubungan antara sang k atriya dengan sang br hmaa sangat erat. Bahkan di lingkungan kerajaan ditempatkan sang br hmaa sebagai purohita kerajaan. Ketujuh, berkenaan dengan upaya menjalin hubungan antara sang k atriya dengan sang br hmaa sebagaimana disebutkan dalam teks di atas sang k atriya hendaknya bhakti kepada sang br hmaa. Teks tersebut secara implisit menyiratkan bahwa sang k atriya dalam melakukan kewajiban-kewajiban sucinya dalam rangka mewujudkan keharmonisan hidup di dunia harus mewujudkan rasa bhakti kepada sang br hmaa. Teks di atas mengamanatkan bahwa harus terbangun jalinan yang erat antara sang k atriya dengan sang br hmaa dalam rangka mewujudkan keharmonisan baik dalam aras horizontal yakni hubungan kemasyarakatan maupun hubungan vertikal berupa hubungan dengan aspek transenden yaitu Ida Sang hyang Widhi Waa beserta segenap manifestasinya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa ada sejumlah kewajiban yang harus dijalankan oleh sang k atriya dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keharmonisan dunia. Kewajiban -kewajiban tersebut merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh sang k atriya untuk membangun tatanan kehidupan sosial yang ideal di dunia ini. Sesuai dengan teks di atas sang k atriya hendaknya melakukan bhakti kepada sang br hmaa, mngimplikasikan bahwa dari segi kedudukannya yang lebih rendah dibandingkan dengan kedudukan sang br hmaa. Namun, dalam realitasnya wujud bhakti tersebut dapat diwujudkan dengan menghormati dan menjalin hubungan yang erat antara sang k atriya dengan sang br hmaa.

8

Ajaran berikutnya yang disampaikan oleh Bhagaw n Agastya kepada putranya yaitu Sang Ddhasyu adalah berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh warna vai ya yang dalam teks Agastya Parwa disebut dengan sang vai ya. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sang vai ya dalam naskah Agastya Parwa adalah seperti dalam kutipan berikut ini. Kuna ulahani wai ya: yatn ta sira ri karaksan Sa Hya ri. ri aranya mas maik r jata wastra dh ny di mwa stri rahayu, guniweh karak an i pa u w na -w na saprak ra, mwa kriy sambyawah ra. Yatn sa wai ya aranya, tan parachidr ri para; tan panirwa ulah Sa K triya, kewalya dharmani Wai ya juga gayawak na nira. Ulah pwa sira ma arjana, magayawak na ta sira k yika dharma kadya gani patani, gila -gila ,sabh gyan w na agawe wih ra l , parya an, ku , patapan, ityewm di. Ma kana pak na nika artha ri Sa Wa ya. Nahan ta ulaha Sa Wai ya. Artinya: Perilaku sang vai ya adalah harus hati-hati menjaga Sang Hyang ri. ri adalah emas, permata, perak, pakaian dan lain-lainnya, serta padi-padian. Di samping itu juga wanitawanita cantik, binatang-binatang ternak, dan sebagainya, dan usaha dalam perdagangan sang wai ya akan dikatakan hati-hati bila ia tidak menghianati orang lain, tidak meniru perilaku sang k atriya, hanya dharma sebagai wai ya saja yang dikerjakannya. Kegiatannya ialah berusaha melakukan k yika dharma seperti membuat tempat duduk, rumah kecil untuk peristirahatan. Di samping itu dapat membuat wihara, rumah, tempat pemujaan, tempat tinggal pendeta, pertapaan, dan lain-lainnya. Untuk tujuan itulah harta yang dimiliki oleh wai ya. Demikian hendaknya perilaku wai ya. Berdasarkan teks di atas Bhagaw n Agastya menyampaikan ajaran yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sang vai ya. Pertama, perilaku yang harus dilaksanakan oleh sang vai ya adalah harus hati-hati menjaga Sang Hyang ri. Dalam realitasnya, Sang Hyang ri diwujudkan dengan bentuk-bentuk simbolik seperti emas, permata, perak, pakaian dan lain -lainnya, serta padi-padian. Bentuk-bentuk simbolik tersebut sebagai manifestasi Sang Hyang ri dilandasi oleh filosofi bahwa keberadaan Sang Hyang ri di dunia ini sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan. Bertalian dengan hal tersebut bentuk-bentuk simbolik seperti emas, permata, perak, pakaian dan lain -lainnya, serta padi-padian sebagai indikator kemakmuran dan kesejahteraan di alam duniawi. Karena dimana terdapat unsur-unsur tersebut maka disanalah letak kemakmuran dan kesejahteraan duniawi.

9

Di samping itu teks di atas juga menyebutkan bahwa wanita-wanita cantik, binatang-binatang ternak, dan sebagainya, dikategorikan sebagai simbol-simbol yang erat pertaliannya dengan Sang Hyang ri. Hal tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa elemen-elemen dunia seperti wanita-wanita cantik, binatangbinatang ternak, dan sebagainya sebagai wahana untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dunia sebagaimana personifikasikan dengan dewi yang cantik yakni Sang Hyang ri. Dalam teks di atas juga diungkapkan bahwa usaha dalam perdagangan merupakan profesi yang erat pertaliannya dengan sang wai ya. Dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sang wai ya diharapkan bersikap hati-hati bila ia tidak menghianati orang lain. Sang wai ya ssuai dengan yang secara tersurat dalam teks di atas, diharapkan tidak meniru perilaku sang k atriya. Dalam konteks ini sang wai ya harus tetap berpegang teguh pada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sang wai ya diharapkan tidak meniru perilaku sang k atriya, hanya dharma sebagai wai ya saja yang dikerjakannya. Teks tersebut mengimplikasikan bahwa seseorang harus ditempatkan sesuai dengan profesionalitasnya. Karena dengan demikian seseorang akan dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat pada dirinya lebih sempurna. Jika sang wai ya menguasai aspek-aspek kehidupan yang berhubungan dengan upaya membangun kesejahteraan dan kemakmuran dunia, maka tugas dan kewajiban yang melekat pada sang wai ya berkaitan dengan mata pencaharian sebagai pedagang, petani, peternakan, dan sejenisnya. Sang wai ya tidak akan profesional jika membidangi hal-hal yang berkaitan dengan keamanan dan kepahlawanan sebagaimana yang melekat pada kewajiban sang k atriya. Perincian tugas dan kewajiban yang hendaknya dijalankan oleh sang wai ya sebagaimana disebutkan dalam teks di atas adalah kegiatan yang berkaitan dengan usaha untuk melakukan k yika dharma. Tugas sang wai ya dalam usaha untuk melakukan k yika dharma seperti membuat tempat duduk, rumah kecil untuk peristirahatan. Di samping itu dapat membuat wihara, rumah, tempat pemujaan, tempat tinggal pendeta, pertapaan, dan lain-lainnya. Untuk tujuan itulah harta yang dimiliki oleh wai ya. Demikian rincian tugas yang hendaknya dilakukan oleh sang wai ya. Berdasarkan teks di atas, Bhagaw n Agastya mengajarkan cara-cara untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran di dunia ini melalui kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan oleh sang wai ya. Benang merah yang ditemukan dalam teks di atas dalam aspek sosiologis adalah menempatkan sang wai ya sebagai warna ketiga dari catur warna dalam posisinya untuk membangun kesejahteraan sosial. Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sang wai ya dalam mewujudkan keharmonisan sosial adalah berkaitan dengan usaha untuk melakukan k yika dharma. Dengan memahami dan melaksanakan k yika dharma mengimplikasikan harapan-harapan untuk membangun ketertiban sosial dalam bidang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup di dunia ini. Berkaitan dengan membahas kewajiban-kewajiban yang hendaknya dijalankan oleh warna udra yang dalam teks disebut sebagai sang udra, Bhagaw n Agastya mengajarkan kepada putranya yaitu Sang Ddhasyu ada sejumlah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sang udra dalam naskah Agastya Parwa adalah seperti dalam kutipan berikut ini. Kuna ulaha Sa udra ika yogya

10

Lakwak nanya: yatnaha, ya tanp nukula, haywa tan mat guh ri sana, tututa ri pakon sa trijanma, haywa umala manahnya, apan ika udrajanma kakawa a deni sa trijanma, apan huwus tini tah de Bha ra ika hastapada de sa trijanma ri dharmas dhana. Sa Wai ya mat guh ri swadharma nira. Ika udra mat guh i dharmanya. Artinya: Perilaku sang udra yang patut dilakukan ialah berhati-hati, ia harus patuh, harus teguh pada sana, hendaknya mengikuti perintah sang tri janma, jangan menghalanghalangi kehendaknya sebab sang udra janma dikuasai oleh sang tri janma, serta telah ditentukan oleh Bha ra sebagai kaki tangan sang tri janma dalam pelaksanaan dharma. Wai ya berpegang teguh pada swadharma-nya. udra pun berpegang teguh pada swadharma-nya. Bertolak dari teks di atas, Bhagaw n Agastya mengajarkan kepada putranya Sang Ddhasyu tentang kewajiban-kewajiban yang hendaknya dilakukan oleh warna udra atau sang udra yang pertama dikatakan bahwa sang udra harus menunjukkan sikap kehati-hatian. Sikap tersebut harus ditubuhkan dan dipupuk karena kedudukan sang udra sebagai kaki tangan ketiga golongan di atasnya yakni sang tri janma. Dalam konteks ini secara implisit kedudukan sang udra sebagai pembantu atau melayani ketiga warna di atas. Kedudukan sebagai pelayan yang bertugas melayani sang tri janma, hendaknya dilakoni dengan penuh kehatihatian. Kewajiban kedua yang harus dilakukan oleh sang udra sebagaimana diamanatkan dalam teks di atas adalah sikap kepatuhan. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian atas bahwa kedudukan sang udra sebagai pelayan sang tri janma maka seyogyanya sang udra mampu menunjukkan dedikasi yang tinggi kepada mereka yang dilayaninya. Sikap yang patuh kepada sang tri janma yang disertai dengan dedikasi yang tinggi memberikan jalan bagi munculnya interaksi yang harmonis antara sang udra dengan ketiga golongan yang berada di atasnya. Kewajiban ketiga yang harus dilaksanakan oleh sang udra adalah keteguhan dalam memegang sana. sana dalam konteks ini adalah tingkah laku yang baik dan benar sesuai dengan fungsionalisasi yang dijalankan. Kewajiban keempat yang harus dilaksanakan oleh sang udra adalah selalu mengikuti perintah sang tri janma. Mengingat sang udra memiliki kedudukan sebagai pelayan sang tri janma sudah menjadi kewajiban bagi sang udra untuk selalu melaksanakan perintah-perintah yang diperintahkan oleh sang tri janma. Kewajiban ini juga dilakukan dalam rangka untuk menjaga hubungan yang harmonis antara sang udra dengan ketiga golongan di atasnya. Kewajiban kelima yang harus dijalankan oleh sang udra adalah tidak boleh menghalang-halangi kehendak sang tri janma. Apapun bentuk perintah yang diberikan oleh ketiga golongan di atasnya (sang tri janma) harus dilaksanakan dengan pebuh tanggung jawab oleh sang udra. Jika sang udra sampai menghalang-halangi kehendak sang tri janma merupakan pelanggaran terhadap sana yang telah ditetapkan kepada sana . Fenomena tersebut sebagaimana

11

telah digariskan dalam teks sebelumnya bahwa sang udra janma dikuasai oleh sang tri janma. Kewajiban yang melekat pada diri sana telah ditentukan oleh Bha ra bahwa keberadaan sana sebagai kaki tangan sang tri janma dalam pelaksanaan dharma. Kewajiban berikutnya yang hendaknya dijalankan oleh sana adalah harus selalu memegang teguh swadharma-nya. Dalam konteks ini sang wai ya berpegang teguh pada swadharma-nya yakni kewajiban-kewajiban yang melekat pada kedudukannya demikian pula halnya dengan sang udra, mereka juga hendaknya berpegang teguh pada swadharma-nya, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada sang tri janma. Berdasarkan teks di atas, aspek sosiologis yang terkandung dalam naskah Agastya Parwa khususnya berkenaan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh sang udra adalah fungsi dan peran sang udra sebagai gologan yang harus menjunjung tinggi kewajiban sosialnya dalam rangka menciptakan kondisi harmonis dalam sistem kemasyarakatan. Kendati kedudukan sang udra berada di bawah sang tri janma, namun memiliki fungsi dan peran ang sangat penting bagi upaya untuk mewujudkan keharmonisan tatanan sosial. jika sang udra melanggar kewajiban-kewajiban yang melekat pada dirinya akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan sosial, karena sistem sosial tidak akan bisa berjalan sesuai dengan fungsinya. Teks berikutnya banyak membicarakan aspek sosiologis yang berhubungan dengan sistem perkawinan antar warna. Dalam teks berikut ada sejumlah hal yang harus dipatuhi oleh unsur-unsur dari catur warna dalam melakukan perkawinan beda warna. Hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan antar warna disajikan dalam kutipan berikut ini. mwa tan yogya ni anak ni br hman lakya anaki k atriya. Anaki K atriya (k atriya) yogya rabya ni br hmaa. Ma kana ni k atriya, tan yogya anak nir laky nak i Wai ya;anak ni Wai ya yogya ni K atriya. Ma kana anak ni Wai ya tan yogy lakya anak ni udra; anak ni udra yogya rabyani anak ni Wai ya. Artinya: Dan tidak patut putri sang br hmaa kawin dengan anak sang k atriya. Putri k atriya boleh kawin dengan br hmaa. Demikian pula putri k atriya tidak boleh kawin dengan anak wai ya. Putri wai ya boleh kawin dengan k atriya. Demikian pula putri wai ya tidak boleh mengawini anak udra. Anak udra boleh menjadi istrinya anak wai ya. Berdasarkan teks di atas, hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perkawinan antar warna khususnya antara anak sang br hmaa dengan anak sang k atriya perlu dipatuhi bahwa putri sang br hmaa tidak dibenarkan melakukan perkawinan dengan anak sang k atriya. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putri sang br hmaa berposisi sebagai pradhana (istri) sedangkan anak sang k atriya berkedudukan sebagai purusa (suami). Ditinjau dari kedudukannya sang

12

br hmaa posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang k atriya, karena itu putra sang k atriya tidak dibenarkan mengawini putri sang br hmaa. Berdasarkan teks di atas, terjadi hal yang sebaliknya yakni perkawinan antar warna khususnya antara anak sang br hmaa dengan anak sang k atriya dibenarkan jika putra sang br hmaa melakukan perkawinan dengan putri sang k atriya. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putra sang br hmaa berposisi sebagai purusa (suami) sedangkan putri sang k atriya berkedudukan sebagai pradhana (istri). Ditinjau dari kedudukannya sang br hmaa posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang k atriya, karena itu putri sang k atriya dibenarkan jika dikawini oleh putra sang br hmaa. Analog dengan fenomena di atas, bahwa melakukan perkawinan antar warna khususnya antara anak sang k atriya dengan anak sang wai ya perlu dipatuhi bahwa putri sang k atriya tidak dibenarkan melakukan perkawinan dengan anak sang wai ya. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putri sang k atriya berposisi sebagai pradhana (istri) sedangkan anak sang wai ya berkedudukan sebagai purusa (suami). Ditinjau dari kedudukannya sang k atriya posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang wai ya, karena itu putra sang wai ya tidak dibenarkan mengawini putri sang k atriya Demikian juga terjadi hal yang sebaliknya yakni perkawinan antar warna khususnya antara anak sang k atriya dengan anak sang wai ya dibenarkan jika putra sang k atriya melakukan perkawinan dengan putri sang wai ya. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putra sang k atriya berposisi sebagai purusa (suami) sedangkan putri sang wai ya berkedudukan sebagai pradhana (istri). Ditinjau dari kedudukannya sang k atriya posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang wai ya, karena itu putri sang wai ya dibenarkan jika dikawini oleh putra sang k atriya. Teks di atas juga menyebutkan perkawinan antar anak sang wai ya dengan anak dari sang udra. Sebagaimana tersurat dalam teks bahwa hal yang serupa juga harus diperhatikan ketika melakukan perkawinan antar warna khususnya antara anak sang wai ya dengan anak sang udra perlu dipatuhi bahwa putri sang wai ya tidak dibenarkan melakukan perkawinan dengan anak sang udra. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putri sang wai ya berposisi sebagai pradhana (istri) sedangkan anak sang udra berkedudukan sebagai purusa (suami). Ditinjau dari kedudukannya sang wai ya posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang udra, karena itu putra sang udra tidak dibenarkan mengawini putri sang wai ya. Hal sebaliknya juga dibenarkan, sebagaimana disebutkan dalam teks bahwa perkawinan antar warna khususnya antara anak sang wai ya dengan anak sang udra dibenarkan jika putra sang wai ya melakukan perkawinan dengan putri sang udra. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa putra sang wai ya berposisi sebagai purusa (suami) sedangkan putri sang udra berkedudukan sebagai pradhana (istri). Ditinjau dari kedudukannya sang wai ya, posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan sang udra karena itu putri sang udra dibenarkan jika dikawini oleh putra sang wai ya. Bertolak dari teks di atas, aspek sosiologis yang terkandung di dalamnya adalah yang berkenaan dengan sistem kekerabatan yang dilandasi oleh pembagian masyarakat atas dasar profesionalisasinya yakni berupa catur warna. Masingmasing warna dalam sistem catur warna memiliki kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam rangka untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sosial. menurut ajaran yang diajarkan dalam teks di atas, keharmoisan dalam kehidupan sosial dapat diwujudkan dengan realisasi kewajiban-kewajiban yang

13

melekat dalam catur warna tersebut. Secara sistemik, masing-masing warna memiliki fungsi dan peran yang saling mendukung dan saling berhubungan timbalbalik yakni saling mengisi dan saling membutuhkan satu sama lain. Sesungguhnya, secara implisit tidak ada warna yang lebih penting atau yang tidak berarti. Semua wana sebagai kesatuan sistemik dalam rangka menciptakan ketertiban, kemakmuran, kesejahteraan, serta keharonisan dunia sosial. Pada sisi lain, terjadinya pembatasan dalam melakukan perkawinan antar warna tidak terlepas dari tradisi yang dilaksanakan pada masa lalu. Dalam konteks kekinian, pembatasan perkawinan antar warna telah mendapatkan banyak respon baik yang mendukung maupun yang menolaknya. Sesungguhnya inti yang terkandung dalam perkawinan antar warna tersebut berkaitan dengan peran dan fungsi yang dijalankan oleh masing-masing warna. Berdasarkan realitas, dalam kehidupan masyarakat Hindu umumnya menggunakan garis keturunan yang bersifat patrilinial. Karena itu kedudukan purusa memiliki peranan yang sangat menentukan dalam menurunkan tanggungjawab terhadap warna-nya. Purusa dengan demikian memiliki posisi yang dominan dibandingkan dengan pradhana. Berdasarkan fenomena tersebut, purusa dalam warna yang lebih memiliki previlege (hak-hak istimewa) dalam menentukan pilihan dalam menemukan pasangan hidup. Berkenaan dengan keberadaan catur warna dalam memegang teguh swadharma-nya masing-masing, untuk tercapai tujuannya masing-masing dan keberadaan pencampuradukan warna Bhagaw n Agastya mengajarkannya seperti dikurip dalam petikan teks berikut ini. Yapwan at guh ika caturwara ri swadharmanya sowa -sowa mata nya kapa guh prayojana nika sowa -sowa mwa tan hana wara sa kara aranya. Sa ksepany naku, t m n makastrya sawaranya juga ika catur janma. Haywa ta sira tan wruh ri sawara nira mwa yatna ta sa caturjanma ri lu guh ni catur rama. Catur rama aranya:brahmac i, ghastha, W naprastha, bhik uka. Nahan ta catur rama aranya. Br hmacari aranya sa s da ma abhy sa sa hya ti kah sa hya ak ara, sa ma kana kramanya sa brahmac ri aranya. kuna ika sina guh brahmac loka, ika ta sa gahe wi aya istry di, yeka brahmac ri ri loka. Kuna brahmac ri waneh sina guh brahmac ri c ranam para ni tmaprade a sa k epanya. Sa yogi wara sira brahmac ri ri str ntara ri straj a. Huwus pwenak tama nira ri aji kabeh ika sakar g p de nira, ghastha ta sira mastri pwa sira, manak, madrw ya hulun, ityewam di, ma unak n k yikadharma yath akti. Ri t las nira ghasthadharma ginawayak n ira wanaprastha ta sira, mur sake gr ma mwa mu wi ucide a, mak di wukir, magawe patapan ath na nira gumawayak na mwa malwa i wi aya mwa

14

ma de nak n dharma. Huwus pwa sira w naprastha, bhik uka ta sira, mur sake patapan ira, ni parigraha, tan pa aku patapan, tan pa aku isya, tan pa aku pa awruh, pada ya tini galak n ira. Sa wiku ma kana kramanira sira ta sina guh bhik uka garan ira. Apag h pweka catur rama mwa ika caturjanma,enak ta rat, swastha bhuwana. T las karuhun jaya niroga ri mah r ja sakulasant na nira. Artinya: Bila catur warna memegang teguh swadharma-nya masing-masing, maka tercapai tujuannya masing-masing dan tidak ada pencampuradukan warna. Simpulannya nanakku, sang catur warna hendaknya benar-benar mengawini wanita dari warnanya sendiri. Hendaknya orang mengetahui warna-nya sendiri dan sang catur janma hendaknya berhati-hati dengan kedudukan catur asrama. Catur asrama yaitu br hmac ri, gahasta, w naprastha, bhik uka. Br hmac ri ialah orang yang sedang berlatih pengetahuan suci dan yang mengetahui seluk-beluk ak ara. Orang yang demikian dinamakan sang br mac ri. Adapun yang dipegang br hmac ri di masyarakat ialah orang yang tidak tersentuh hawa nafsu, wanita, dan lain lain. Br hmac ri lain ialah dia yang dipegang sebagai br hmac ri c raam singkatnya tempat yang dituju oleh tma. Sang yogi wara ialah sang br hmac ri dalam saripati pengetahuan suci dan dalam ilmu pengetahuan. Setelah pemahamannya dalam segala pengetahuan yang ditekuninya baik beliau lalu membangun rumah tangga, beristri, beranak, mempunyai pembantu, dan sebagainya membangun k yika dharma (mengusahakan pekerjaan fisik semampu-mampunya). Setelah selesai dilakukannya kewajiban hidup berumah tangga ia memasuki w naprastha, meninggalkan dsa tempat tinggal di tempat suci, seperti gunung, membangun pertapaan tempat melaksanakan panca karma dan mengurangi hawa nafsu serta memberi petunjuk dharma (mengajarkan dharma). Setelah beliau menyelesaikan kewajiban w naprastha beliau memasuki bhik uka. Beliau meninggalkan pertapaan lepas dari ikatan, tidak mengakui punyai pertapaan, tidak mengaku memiliki murid, tidak mengaku memiliki pengetahuan, semuanya tidak apabila catur rama dan catur janma? Warna telah kokoh masyarakat akan sejahtera dan dunia pun tenteram. Selanjutnya ri mah r ja beserta keluarga dan keturunannya akan jaya dan terhindar dari segala penyakit.

15

Bertolak dari teks di atas ada sejumlah hal yang dapat dipetik, khususnya yang berkenaan dengan swadharma dari catur warna. Dalam teks telah tersurat bahwa catur warna hendaknya memegang teguh swadharma-nya masing-masing. Dengan memegng swadharma-nya masing-masing maka akan tercapai tujuannya masing-masing. Sebagaimana telah disinggung pada teks sebelumnya, swadharma yang dijalankan dengan sempurna akan berimplikasi pada terwujudnya ketertiban dunia sosial. Hal tersebut merupakan sebuah sistem yang satu sama lain saling menunjang dan saling mendukung. Jika salah satu warna sebagai komponen sistem tersebut mengingkari swadharma-nya maka akan terjadi kepincangan dalam perjalanan sistem tersebut. Kepincangan tersebut akan berimplikasi sistemik yakni menjadi pemicu ketidakjalanan kerja sistem. Jika hal tersebut terjadi maka tujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keharmonisan dalam kehidupan sosial tidak akan bisa direalisasikan. Fenomena lain yang disinggung dalam teks di atas adalah masalahpebauran warna. Teks di atas secara eksplisit tidak memperkenankan terjadinya pencampuradukan warna. Dalam konteks ini, pencampuran warna adalah terjadinya perkawinan antar warna. Dalam teks tersebut Bhagaw n Agastya secara eksplisit mengajarkan bahwa sang catur warna hendaknya benar-benar mengawini wanita dari warnanya sendiri. Hendaknya orang mengetahui warna-nya sendiri dan sang catur janma hendaknya berhati-hati dengan kedudukan catur asrama. Berkaitan dengan keberadaan catur asrama, Bhagaw n Agastya sesuai dengan teks mengajarkan empat tingkatan hidup manusia menjadi empat. Catur asrama terdiri dari br hmac ri, gahasta, w naprastha, bhik uka. Br hmac ri ialah orang yang sedang berlatih pengetahuan suci dan yang mengetahui seluk beluk ak ara. Orang yang demikian dinamakan sang br mac ri. Adapun yang dipegang br hmac ri di masyarakat ialah orang yang tidak tersentuh hawa nafsu, wanita, dan lain-lain. Br hmac ri lain ialah dia yang dipegang sebagai br hmac ri c raam singkatnya tempat yang dituju oleh tma. Sang yogi wara ialah sang br hmac ri dalam saripati pengetahuan suci dan dalam ilmu pengetahuan. Fase selanjutnya setelah pemahamannya dalam segala pengetahuan yang ditekuninya, tahapan hidup kedua dalam catur asrama adalah gahasta. Dalam masa kehidupan gahasta beliau mengajarkan tahapan kehidupan membangun rumah tangga. Dalam masa kehidupan gahasta sebagaimana disebutkan dalam teks orang diperbolehkan memiliki pendamping hidup yakni istri. Setelah perkawinannya cukup usia selanjutnya memiliki memiliki anak, mempunyai pembantu, dan sebagainya. Tahapan hidup gahasta pada hakikatnya adalah membangun k yika dharma (mengusahakan pekerjaan fisik semampu-mampunya). Setelah selesai dilakukannya kewajiban hidup berumah tangga ia memasuki w naprastha. Tahapan hidup ini dilakukan dengan meninggalkan desa, beliau yang telah memasuki masa w naprastha bertempat tinggal di tempat-tempat suci, seperti gunung, membangun pertapaan tempat melaksanakan panca karma dan mengurangi hawa nafsu serta memberi petunjuk dharma (mengajarkan dharma). Masa kehidupan w naprastha merupakan fase kehidupan yang dicirikan oleh melakukan pengasingan diri dari kehidupan sosial. Beliau yang sudah berada pada fase w naprastha sudah mulai melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, termasuk dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Tahapan hidup yang terakhir dalam catur asrama yakni setelah beliau menyelesaikan kewajiban w naprastha beliau memasuki bhik uka. Beliau meninggalkan pertapaan lepas dari ikatan, tidak mengakui punyai pertapaan, tidak mengaku memiliki murid, tidak mengaku memiliki pengetahuan, semuanya tidak.

16

Apabila catur rama telah mampu direalisasikan dalam kehidupan maka sesuai dengan teks di atas, kehidupan akan menjadi sempurna karena tahapan -tahapan kehidupan sesuai dengan yang diajarkan dalam ajaran catur rama merupakan tuntutan hidup yang ideal dalam rangka mewujudkan tujuan hidup. Berkenaan dengan keberadaan catur janma dalam kehidupan sosial telah menggariskan pola-pola pembagian masyarakat atas dasar fungsi dan perannya. Pembagian tersebut sebagai proses mewujudkan pembagian kerja sesuai dengan fungsionalisasinya. Catur warna sebagaimana disebutkan dalam teks di atas menjadi landasan bagi terciptanya kehidupan yang kokoh dari sebuah masyarakat. Jika ajaran catur warna dapat direalisasikan dalam kehidupan sosial dengan sempurna, sbagaimana diajarkan oleh Bhagaw n Agastya bahwa dunia sosial akan sejahtera dan dunia pun tenteram. Fenomena tersebut sebagaimana diajarkan oleh Bhagaw n Agastya yang akan mampu membuat ri mah r ja beserta keluarga dan keturunannya akan jaya dan terhindar dari segala penyakit. Berdasarkan teks di atas, aspek sosiologis yang terkandung di dalamnya adalah berkenaan dengan pembagian masyarakat berdasarkan fungsi dan perannya sehingga diharapkan akan mampu menciptakan ketertiban dalam kehidupan sosial. Aspek sosiologis lainnya seperti tahapan kehidupan di dunia ini sebagaimana yang tersurat dalam teks di atas merupakan ajaran yang mengajarkan bahwa kehidupan manusia dalam lingkungan sosialnya memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkatan-tingkatan perkembangannya. Dua fase yakni br hmac ri dan gahasta memberikan gambaran bahwa manusia harus melakukan interaksi dengan manusia lainnya dalam rangka mewujudkan tujuan dunia. Sedangkan dua fase berikutnya yakni w naprastha dan bhik uka menggambarkan kehidupan manusia sudah mulai menjauhi ikatan-ikatan sosial yang ada di tengah kehidupan bermasyarakat. Kesempurnaan dari pelaksanaan ajaran yang disampaikan dalam teks Agastya Parwa akan berimplikasi pada terwujudnya ketertiban dan keharmonisan kehidupan sosial. 3.2 Keterkaitan Aspek Sosiologis Teks Agastya Parwa dengan Kitab Suci Weda Berkaitan dengan upaya untuk melihat keterkaitan antara teks Agastya Parwa dengan kitab suci Veda khususnya dalam aspek sosiologis perlu dikutip mantra-mantra atau sloka-sloka yang mengandung unsur-unsur sosiologis. Mantramantra tersebut dikutip dari kitab suci Veda, sedangkan sloka-sloka dikutip dari susastranya, khususnya dalam bhagavadgita. Sesuai dengan hasil klasifikasi data, dalam kitab suci Veda terdapat sejumlah mantra yang menyampaikan ajarannya berkaitan dengan aspek sosiologis. Demikian juga dalam susastra Veda terdapat sejumlah sloka yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek sosiologis. Berdasarkan fenomena tersebut, perlu diberikan batasan untuk menganalisis lebih tajam terhadap permasalahan yang akan dianalisis. Dalam upaya untuk menganalisis aspek sosiologis yang terkandung pada kitab-kitab yang dikomparasikan maka pertama kali yang dilakukan adalah memberi batasan terhadap aspek sosiologis yang akan dianalisis. Sesuai dengan hasil analisis di atas yakni aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa berorientasi pada aspek catur warna. Karena itu, untuk menunjukkan homologi antara teks Agastya Parwa dengan kitab suci Veda yang berkaitan dengan aspek sosiologis, maka batasan aspek sosiologis yang dianalisis dalam penelitian ini yang dikutip adalah mantra atau sloka yang menyuratkan catur warna. Berikut ini dikemukakan mantra-mantra dan sloka-sloka yang membahas

17

tentang keberadaan ajaran catur warna yang dikutip dari kitab suci Veda dan susastranya. Brahmane brahmanam, Ksatraya rajanyam, Marudbyo vaisyam, Tapase sudram Yajur Veda XXX.5 Ya, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan brahmana untuk pengetahuan, para ksatrya untuk perlindungan, para vaisya untuk perdagangan dan para sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Berdasarkan mantra yang tersurat dalam kitab Yajur Veda tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa ajaran agama Hindu telah memberikan batasan yang tegas terhadap kemuliaan profesi. Sebagaimana dimanatkan dalam mantra Yajur Veda XXX. 5 di atas Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) telah menciptakan pengelompokkan manusia dalam kehidupan sosialnya atas dasar fungsi dan perannya. Sebagaimana diamanatkan dalam kitab Yajur Veda di atas bahwa br hmaa berkaitan dengan aspek pengetahuan. Dalam hal ini br hmaa merupakan umat yang dalam kesehariannya menggeluti bidang pengetahuanpengetahuan yang berhubungan dengan keagamaan. Berkaitan dengan fenomena tersebut sebagaimana diajarkan dalam teks Agastya Parwa bahwa perilaku sang br hmaa yang harus dilaksanakannya agar dunia ini bebas dari bahaya adalah beliau tekun mengerjakan pa cakarmalokik c ra. Apabila beliau tinggal bersamasama dengan sang raja, lebih-lebih beliau bila dijadika purohita oleh sang prabhu, beliau tekun memuja, melakukan tri sandhya, toyasn na, bhasmasn na, mantrasn na; pula melaksanakan udaka jali pada Sang Hyang iw ditya. Berdasarkan hal tersebut ada keterkaitan antara teks Agastya Parwa dengan kitab Yajur Veda yang memposisikan br hmaa sebagai warna yang membidangi permasalahan pengetahuan dan juga hal-hal yang berkaitan dengan ritual untuk memelihara keharmonisan khususnya dalam dunia sosial. Dalam mantra Yajur Veda seperti dikutip di atas disebutkan bahwa k atriya memiliki kewajiban dalam melakukan perlindungan. Dalam hal ini warna k atriya diposisikan sebagai simbol kekuatan dunia yang diharapkan mampu untuk menjaga dan melindungi dunia. Sinergis dengan fenomena tersebut, dalam teks Agastya Parwa yang telah dikutip pada bagian terdahulu menyebutkan bahwa sang k atriya memiliki kewajiban yang harus dilakukan yakni hal-hal yang berhubungan denganpengungkapan kasih sayang kepada dunia, melindungi orang yang lemah, menghilangkan keburukan dunia, harus gagah berani di medan perang, harus berani menjadi pahlawan dan berderma, mematuhi ajaran -ajaran agama, dan bhakti kepada sang br hmaa. Berdasarkan fenomena tersebut, perilaku sang k atriya yang tersurat dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Veda memiliki kesesuaian. Berkenaan dengan keberadaan wai ya dalam kitab suci Yajur Veda memiliki kewajiban untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan sosial seperti perdagangan. Dalam teks Agastya Parwa sebagaimana

18

dikutip pada bagian terdahulu disebutkan bahwa perilaku sang vai ya adalah harus hati-hati menjaga Sang Hyang ri. ri adalah emas, permata, perak, pakaian dan lain-lainnya, serta padi-padian. Di samping itu juga wanita-wanita cantik, binatangbinatang ternak, dan sebagainya, dan usaha dalam perdagangan sang wai ya akan dikatakan hati-hati bila ia tidak menghianati orang lain, tidak meniru perilaku sang k atriya, hanya dharma sebagai wai ya saja yang dikerjakannya. Kegiatannya ialah berusaha melakukan k yika dharma seperti membuat tempat duduk, rumah kecil untuk peristirahatan. Di samping itu dapat membuat wihara, rumah, tempat pemujaan, tempat tinggal pendeta, pertapaan, dan lain-lainnya. Untuk tujuan itulah harta yang dimiliki oleh wai ya. Demikian hendaknya perilaku wai ya. Berdasarkan fenomena tersebut ada kesesuaian ajaran yang tersurat dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Yajur Veda. Berkaitan dengan keberadaan warna udra, kitab Yajur Veda mengamanatkan bahwa kewajiban yang hendaknya dijalankannya adalah hal hal yang berhubungan dengan pekerjaan jasmaniah. Dalam hal ini warna udra memiliki fungsi dan peran melakukan pelayana kepada warna lainnya dalam rangka untuk menciptakan keharmonisan dusia sosial. Fenomena tersebut dalam teks Agastya Parwa sebagaimana dikutip pada bagian terdahulu bahwa perilaku sang udra yang patut dilakukan ialah berhati-hati, ia harus patuh, harus teguh pada sana, hendaknya mengikuti perintah sang tri janma, jangan menghalanghalangi kehendaknya sebab sang udra janma dikuasai oleh sang tri janma, serta telah ditentukan oleh Bha ra sebagai kaki tangan sang tri janma dalam pelaksanaan dharma.dalam hal ini juga terdapat kesesuaian ajaran yang terkandung dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Yajur Veda khususnya yang memposisikan warna udra sebagai warna yang memberikan pelayanan kepada wrna lainnya. Berdasarkan kesesuaian isi yang terkandung dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Yajur Veda dalam melihat keberadaan pembagian masyarakat berdaraskan catur warna yakni empat pembagian masyarakat berdasarkan profesionalisasinya dapat dikatakan bahwa varna dharma sebagaimana yang secara implisit diamanatkan dalam mantra baik dalam kitab suci Yajur Veda maupun yang terdapat dalam teks Agastya Parwa menjadi kekuatan simbolik yang memberikan inspirasi bagi kehidupan sosial dalam menciptakan keharmonisan secara sistemik. Pada bagian lain, kitab suci Yajur Veda juga menyuratkan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang dianalogikan seperti anatomi tubuh. Pembaian masyarakat seperti anatomi tubuh tersebut erat pertaliannya dengan sistem catur warna. Fenomena tersebut seperti dikutip dalam mantra berikut ini. Br hmano-asya mukham s d, b huu r janyah krtah. r tadasya yad vai yah, padbhy udro aj yata Yajur Veda XXXI.11 Brahmana adalah mulut-NYA Tuhan Yang Maha Esa, ksatrya lengan-lengan-NYA, vaisya paha-NYA dan sudra kaki-kaki-NYA (Titib, 1998:390).

19

Sesuai dengan teks mantra di atas, kehidupan sosial dianalogikan seperti anatomi tubuh yang memiliki mulut, memiliki tangan, memiliki perut, serta memiliki kaki. Sesuai dengan kutipan mantra di atas, yang menjadi mulut adalah warna br hmaa. Sesuai dengan posisinya, mulut berada pada pada wilayah kepala. Hal ini berarti bahwa br hmaa berkedudukan pada bagian utama tubuh. Ini mengindikasikan bahwa br hmaa memiliki kedudukan yang paling mulia dibandingkan dengan warna lainnya dalam sistem catur warna. Sebagaimana disebutkan dalam teks Agastya Parwa bahwa br hmaa harus tidak meniru tingkah lakunya tiga wara yaitu K atriya, Wai ya, dan udra. Beliau hanya mengajarkan saja sang tiga wara itu. Karena hanya dua hal saja yang dikerjakan oleh sang br hmaa yaitu: kriy rcana; dan kriy widhi yoga. Itulah yang hendaknya dikerjakan oleh sang br hmaa. Bila sudah demikian perilaku sang br hmaa maka dunia akan sejahtera dan tenteram karena sang br hmana teguh memegang swadharmanya, yang akan disusul oleh kuatnya dunia. Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa warna br hmaa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari warna yang lainnya. Warna kedua dalam kutipan kitab suci Yajur Weda adalah warna k atriya. Analogi bentuk tubuh yang melekat pada warna k atriya adalah sebagai lenganlengan-NYA. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa warna k atriya memiliki kekuatan untuk menjaga ketentraman dunia sosial karena melihat fungsi dari lengan adalah sebagai alat tubuh yang paling berguna untuk melakukan kerja dan untuk mempertahankan diri. Dalam teks Agastya Parwa yang telah dikutip pada bagian sebelumnya bahwa warna k atriya hendaknya mampu mewujudkan kasih sayang kepada dunia, melindungi orang yang lemah, menghilangkan keburukan dunia, harus gagah berani di medan perang, harus berani menjadi pahlawan dan berderma, mematuhi ajaran-ajaran agama, dan bhakti kepada sang br hmaa. Sinergisme antara teks Agastya Parwa dengan kitab suci Yajur Veda mengindikasikan bahwa ajaran catur warna telah memproyeksikan tatanan kehidupan sosial dari masa penyusunan kitab suci Veda sampai pada zaman modern masih relevan. Berikut ini juga terdapat mantra dari kitab suci Yajur Veda yang menekankan ajaran untuk membangun suatu keharmonisan antara varna khususnya antara warna brahmana dengan warna ksatriya seperti dikutip berikut ini. Yatra brahma ca ksatram ca, Samyancau caratah saha. Tam lokam punyam prajnesam, Yatra dewah sahagnina. Yajur Veda XX.25 Di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, disana para brahmana dan para ksatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan /pengorbanan (Titib, 1998: 391). Berdasarkan mantra di atas secara eksplisit menyuratkan bahwa harus dibangun hubungan yang harmonis antara warna khususnya antar warna brahmana dengan

20

warna ksatrya. Mantra tersebut memberikan inspirasi kepada umat bahwa dalam melaksanakan kewajiban suci, varna brahmana dan warna ksatriya hendaknya bisa hidup harmonis. Secara kontekstual konsepsi yang dikemukakan dalam mantra tersebut terbukti benar. Dalam praktik kehidupan beragama terutama dalam masyarakat Hindu di Lombok jika varna brahmana dan varna ksatriya tidak harmonis maka tidak akan pernah diselesaikan kewajiban-kewajiban suci sebagaimana yang diamanatkan di dalam kitab suci Veda. Hasil wawancara yang dilakukan dengan informan juga menyampaikan bahwa sejak masuknya orang-orang Bali yang beragama Hindu di Pulau Lombok dua warna yakni warna brahmana dan warna ksatriya dalam menata kehidupan sosial saling bekerjasama. Varna ksatriya yang diwakili oleh raja sebagai pemimpin tertinggi pasukan dengan pedanda (pendeta Hindu) yang mewakili brahmana warna sangat dekat hubungannya. Melalui keserasian hjubungan yang dibangun oleh kedua varna tersebut sehingga mampu mencapai puncak keemasan kerajaan di Lombok. Keserasian tersebut hingga kini harus dipertahankan karena jika pihak penguasa dengan pendeta tidak bekerja sama maka dapat dipastikan bahwa aktivitas keberagamaan di kalangan masyarakat Hindu tidak akan pernah diterselenggara. Dalam rangka untuk bisa mewujudkan masyarakat yang makmur diamanatkan supaya ketiga warna yaitu brahmana, ksatriya dan vaisya dapat melaksanakan kewajibannya. Hal tersebut seperti dikutip dalam mantra Yajur Veda seperti berikut ini: Ise pinvasvaurje pinvasva, brahmana pinvasva brahma dharaya, ksatram dharaya, visam dharaya Yajur Veda XXXVIII.14 Ya, Tuhan yang Maha Esa, perkuatlah para brahmana, para ksatriya dan para vaisya, supaya mereka menyediakan pengetahuan, kekuatan dan keberlimpahan makanan (Titib, 1998: 392). Ajaran yang terkandung dalam mantra Yajur Veda XXXVIII.14 di atas pada prinsipnya adalah peranan ketiga warna yakni warna brahmana, warna ksatrya, dan warna waisya dalam upaya membangun kesejahteraan sosial. Ketiga warna di atas jika dapat menjalankan fungsionalisasinya masing-masing menjadi penentu dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik secara lahiriah dan batiniah. Karena itu, mantra di atas mengamanatkan bahwa harus dilakukan penguatan terhadap ketiga warna tersebut dengan jalan saling mengetahui dan menjalankan fungsionalisasinya. Jika tidak, maka akan terjadi hal yang sebaliknya yakni akan muncul ketidakteraturan sosial. Sedangkan warna sudra dalam kutipan mantra di atas tidak disebutkan. Hal ini berkaitan dengan fungsionalisasi yang dijalankan oleh warna sudra adalah sebagai pembantu ketiga warna di atasnya. Warna sudra dalam sistem pelapisan sosial sangat erat kaitannya dengan profesi yang digeluti sebagai pekerja yaitu profesi-profesi yang berkenaan dengan membantu memberikan pelayanan khususnya kepada tiga golongan profesi sebelumnya yaitu brahmana, ksatriya dan

21

waisya. Secara esensial keempat warna yang secara profesional merupakan bagian dari stratifikasi sosial dalam masyarakat Hindu satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi. Jika satu diantara keempat warna tersebut mengingkari kewajibannya maka tidak akan mungkin diwujudkan tujuan agama sebagaimana secara konseptual ingin mewujudkan moksartha jagad hita ya ca iti dharmah yang mengandung arti tujuan agama adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sejalan dengan fenomena tersebut di atas, dalam upaya untuk menuju kepada klasifikasi masyarakat berdasarkan tugas-tugas/ kewajiban yang didasarkan atas guna dan karma sebagaimana tersurat dalam kitab suci Veda maupun dalam teks Agastya Parwa juga ditunjang oleh sumber-sumber susastra Hindu lainnya. Berkaitan dengan keberadaan aspek sosiologis, khususnya yang menyangkut pembagian masyarakat dalam kelas-kelas sesuai dengan fungsionalisasinya berupa sistem catur warna kitab bhagavadgita juga secara eksplisit mengandung ajaran tentang catur warna. Sloka Bhagavadgita yang mengajarkan tentang keberadaan catur warna seperti yang tersurat dalam bhagavadgita adhyaya IV sloka 13 seperti dalam kutipan berikut ini. C turvarnyam may s a gunakarmavibh ga ah tasya kart ram api m m viddhy akart ram avyayam Bhagavadgita IV 13 Catur warna kuciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku, mengatasi gerak dan perobahan (Mantra, 2000: 66-67). Berdasarkan teks sloka bhagavadgita di atas, ajaran catur warna sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) melekatkan pembagian masyarakat ke dalam guna dan karma. Berkenaan dengan hal tersebut, Mantra (2000: 66-67) memberikan pengertian tentang warna seperti tersebut di atas adalah menurut pembawaan dan fungsinya. Pembagian menjadi empat adalah berdasarkan kewajiban. Orang-orang yang mengabdi sebesar mungkin menurut pembawaannya. Disini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan dilandasi rasa cinta dan keikhlasan. Daam perspektif yang lain, sebagaimana dilihat oleh Wiana (2006: 8) bahwa konsepsi sistem sosial dalam ajaran catur varna kalau dihubungkan dengan fakta sosial dalam wujud catur wangsa atau sistem kasta sangat bertolak belakang. Dalam hal ini berarti bahwa realita ajaran catur varna sangat jauh dari konsepsinya. Hal ini dilihat oleh Wiana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem relegi yang memberikan pengaruh yang sangat besar pada wujud dan gerak sistem sistem sosial dan sistem budaya lainnya. Berdasarkan analisis di atas dapat ditarik sebuah benang merah yang berkaitan dengan aspek sosiologis yang terdapat dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Veda beserta susastra sucinya bahwa aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa, yakni berupa ajaran tentang pembagian masyarakat atas

22

dasar fungsionalisasinya yang disebut catur warna memiliki kesamaan dengan kitab suci Veda dan susastra sucinya seperti bhagavadgita. Terdapatnya kesamaan ajaran sebagaimana telah dideskripsikan di atas mengindikasikan bahwa teks Agastya Parwa yang mengandung aspek sosiologis memiliki rujukan pada kitab suci Veda. Hal tersebut juga menyiratkan makna bahwa ajaran tentang pembagian masyarakat atas dasar fungsionalisasinya dalam teks Agastya Parwa masih bersifat murni. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa ajaran dalam teks Agastya Parwa belum menunjukkan adanya pembiasan dari sumber aslinya yakni kitab suci Veda.

3.3 Implementasi Aspek Sosiologis dalam Teks Agastya Parwa dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Lombok Dalam upaya untuk memperoleh data yang berkaitan dengan implementasi aspek sosiologis dalam teks Agastya parwa dalam kehidupan masyarakat Hindu di Lombok, sebagian besar data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah informan. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui implementasi aspek sosiologis dalam teks Agastya Parwa dalam praktik kehidupan sosial beragama pada masyarakat yang menganut agama Hindu di Lombok. Berkaitan dengan upaya untuk memahami terjadinya implementasi tersebut, faktor kesejarahan merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini didasari oleh realitas bahwa faktor kesejarahan, khususnya sejarah masuknya orang-orang Bali ke Lombok membentuk tatanan sosial yang spesifik sehingga mampu mempertahankan eksistensi agama Hindu pada masyarakat etnis Bali yang telah ratusan tahun bermukim di Lombok sebagai kelompok minoritas. Dalam kehidupan sosial beragama pada masyarakat Hindu di Lombok sistem pembagian masyarakat ke dalam kategori-kategori tertentu sampai saat ini masih diakui keberadaannya. Pembagian masyarakat tersebut tidak murni menerapkan sistem pembagian masyarakat sesuai dengan yang diajarkan dalam teks Agastya Parwa dan juga kitab suci Veda beserta susastra sucinya. Penerapan sistem pembagian masyarakat ke dalam kategirisasinya dipengaruhi oleh sistem budaya yakni berkaitan dengan tradisi-tradisi yang dibangun oleh sistem kekuasaan. Hal tersebut diindikasikan oleh kuatnya hubungan antara patron dengan klien ketika terjadi perluasan kekuasaan Kerajaan Karangasem di Bali menuju ke wilayah Timur yakni ke Pulau Lombok. Raja sebagai simbol kekuasaan memiliki kekuatan yang besar dalam membangun tatanan kehidupan sosial, sehingga sangat memberikan pengaruh terhadap sistem sosial budaya masyarakat khususnya di kalangan masyarakat etnis Bali yang bermukim di Lombok. Raja sebagai simbol kekuasaan pada masa kesejarahan yakni pada masa berkuasanya dinasti Kerajaan karangasem di Lombok memiliki otoritas dalam menentukan sistem pembagian masyarakat. Brahmana merupakan golongan pertama dalam pembagian masyarakat. Termasuk dalam golongan brahmana para pendeta yang memiliki fungsionalisasi ngeloka pala sraya yaitu menjadi sandaran umat Hindu dalam melakukan kegiatan-kegitan keagamaan. Sedangkan raja beserta para pemuka kerajaan sebagai pemegang birokrasi pemerintahan termasuk ke dalam golongan ksatrya. Para pedagang beserta masyarakat yang bergerak dalam bidang perniagaan termasuk ke dalam golongan waisya. Terakhir, sudra merupakan golongan abdi kerajaan dan para pembantu ketiga golongan di atasnya. Seiring dengan perkembangan peradaban, pembagian masyarakat atas dasar profesi yang digelutinya mengalami pergeseran-pergeseran. Penentuan kedudukan

23

seseorang dalam golongannya yang semula berpedoman pada profesionalisasi lama-kelamaan berubah. Perubahan tersebut terjadi dengan pemberlakuan sistem wangsa. Dalam sistem wangsa pembagian masyarakat ke dalam kategorisasinya yakni brahmana, ksatrya, waisya, dan sudra ditentukan oleh keturunan. Dalam hal ini seseorang berada pada golongan brahmana wangsa hanya jika mereka dilahirkan dari lingkungan keluarga brahmana. Meskipun dalam realisasinya seorang keturunan brahmana belum tentu memiliki profesi sebagai brahmana warna. Hal yang sama berlaku untuk golongan-golongan yang lainnya seperti ksatrya, waisya, dan sudra. Fenomena di atas mengindikasikan bahwa terjadi pembiasan dalam penerapan aspek sosiologis, khususnya berkaitan dengan catur warna sebagaimana yang diajarkan dalam teks Agastya Parwa dan juga kitab suci Veda beserta susastra sucinya. Dalam teks Agastya Parwa dan kitab suci Veda beserta susastra sucinya terkandung ajaran yang mengajarkan bahwa pembagian masyarakat atas kategorisasinya berdasarkan fungsionalisasinya yang disebut dengan catur warna. Pembiasan tersebut tidak terlepas dari aspek kultural yakni sistem kekuasaan yang berlangsung pada masa kesejarahan. Pada dimensi lain, pembiasan tersebut juga telah muncul dari tanah asalnya di Bali. Dalam kehidupan beragama Hindu di Bali pembagian masyarakat ke dalam katagorisasinya juga ditentukan oleh keturunan yang disebut dengan sistem wangsa. Hal ini juga mengindikasikan bahwa realisasi ajaran Agastya Parwa dan kitab suci Veda yang berkaitan dengan pembagian masyarak ke dalam kategoriat kategori tertentu tidak lagi merupakan penerapan sistem warna. Namun seiring dengan munculnya kesadaran masyarakat, dewasa ini muncul kecendrungan untuk mengembalikan sistem pembagian masyarakat kepada sumber susastra aslinya. Fenomena tersebut diindikasikan oleh terjadinya kecendrungan untuk melakukan mobilitas vertikal. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara mobilitas sosial vertikal yang terjadi dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok melalui beberapa saluran seperti sistem pendidikan, institusi keagamaan, organisasi sosial dan keberhasilan ekonomi. Sistem pendidikan sebagaimana telah pernah disinggung sebelumnya, banyak memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial. Dengan diperkenalkannya sistem pendidikan Barat membawa perubahan besar dalam sistem sosial. Hal ini ditunjukkan oleh mereka yang telah berhasil memperoleh pendidikan yang layak memiliki kecendrungan untuk melakukan elevasi sosial. Melekat dalam hal ini adalah ada kesempatan untuk memperbaiki tingkat perekonomian mereka dengan dasar modal pendidikan yang dimiliki Dalam beberapa kasus yang terjadi, mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan untuk menentukan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi yang dimilikinya. Banyak anak petani, buruh dan kelas pekerja karena kualifikasi pendidikan mampu memperoleh posisi penting dalam kariernya. Ini tentunya akan memperoleh penghargaan secara finansial yang lebih baik, sehingga jika hal ini dikaitkan dengan Sudarso (2004: 189-190) ada relevansinya bahwa dengan peningkatan kualitas pendidikan memungkinkan seseorang melakukan peningkatan derajat yang ditandai oleh mobilitas kedudukan dari tingkat yang lebih rendah menuju kepoada tingkat yang lebih tinggi. Institusi keagamaan sebagai saluran yang memungkinkan seseorang untuk melakukan mobolitas vertikal dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok secara realita diindikasikan oleh terjadinya peningkatan status sosial terutama dalam perannya sebagai tokoh-tokoh umat. Mereka yang memiliki posisi sebagai

24

tokoh-tokoh umat di lingkungan penganut agama Hindu memiliki kecendrungan memperoleh apresiasiatau penghargaan dari umat. Dalam kondisi seperti ini secara struktural mereka yang diperankan sebagai tokoh umat memiliki posisi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan posisi mereka sebelum ditokohkan. Pada sisi lain, ada semacam motivasi yang diberikan kepada mereka jika diperankan sebagai figur yang dijadikan panutan oleh umaat. Dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok, seorang yang pada mulanya berada pada posisi biasa (masyarakat umum) jika mendapatkan kesempatan menjadi pemangku (pemimpin ritual melalui prosesi eka jati) baik secara eksplisit maupun implisit telah mengalami peningkatan status secara sosial. Peningkatan status sosial di kalangan umat Hindu juga merupakan bentuk mobilitas vertikal. Hal ini sangat beralasan dan sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh Pitrim A. Sorokin (dalam Sudarso, 2004: 190) yang pada intinya mengungkapkan bahwa pemuka-pemuka agama menjadi saluran untuk melakukan mobilitas vertikal karena terjadi kenaikan kedudukan yang semula memiliki kedudukan sederajat dengan umat lainnya, akan tetapi setelah menjadi pemuka agama kedudukannya menjadi lebih tinggi. Organisasi sosial sebagai saluran untuk melakukan mobilitas vertikal didasari oleh kenyataan bahwa umat Hindu yang aktif berperan dalam organisasi sosial memperoleh pengakuan yang tinggi terutama di dalam lingkungan komunitasnya. Di dalam komunitas Hindu di Lombok sesuai dengan sumber data dokumenter yang dikumpulkan ada sejumlah organisasi sosial yang bergerak di bidang sosial, budaya dan agama. Keberadaan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang sosial, budaya dan agama memberikan kesempatan kepada para penguruskan untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat bahwa mereka merupakan figur yang aktivis dan patut menjadi panutan. Terlebih lagi bagi mereka yang berkesempatan untuk duduk di dalam kepengurusan Parisada baik di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan wilayah yang ada di bawahnya memiliki ciri sebagai upaya untuk meningkatkan status. Dalam ruang lingkup organisasi sosial politik, bagi umat yang berkesempatan duduk di organisasi sosial tersebut apalagi mampu duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kehormatan spesifik di mata umat. Dalam hal ini ada kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal yakni memperoleh status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Saluran terakhir yang menjadi media dalam upaya melakukan mobilitas vertikal dalam lingkungan masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok adalah keberhasilan dalam bidang ekonomi. Mereka yang telah mencapai kemapanan dalam bidang ekonomi memiliki kesempatan untuk naik tangga sosial. Dalam budaya materialis, kemampuan secara ekonomi digunakan parameter dalam menentukan keberhasilan seseorang. Dengan kemapanan ekonomi diasumsikan bahwa kualitas kehidupan mereka akan lebih meningkat. Peningkatan kualitas hidup tentunya memiliki relasi yang sangat kuat dengan status sosial. Ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas hidup seseorang, terlebih lagi mampu membangun citra posistif di tengah komunitasnya akan memperoleh kedudukan penting dalam sistem sosial. Hal ini sejalan denga teori yang dikemukakan oleh Karl Marx bahwa peningkata kualitas infara struktur sosial yang termasuk di dalamnya ekonomi produksi memberikan kesempatan untuk bergerak menuju ke ranah supra struktur sosial yaitu jenjang sosial yang lebih tinggi. Stratifikasi sosial yang terjadi dengan pola seperti yang dikemukaan di atas relevan jika dikaitkan dengan stratifikasi sosial atau pelapisan sosial sebagaimana

25

dikemukakan oleh Muhaimin dkk. (1985: 184-185) bahwa dalam stratifikasi sosial terjadi pembagian masyarakat ke dalam kelas atau lapisan, secara heirarki diatur untuk mengamati perbedaan dalam kesehatan, prestise atau ciri-ciri sosial lain; pelapisan sosial mencerminkan pembagian tidak merata diantara nilai nilai masyarakat, hal ini diakibatkan perbedaan persepsi terhadap status di antara lapisan masyarakat; basisnya berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu masyarakat terhadap masyarakat lain termasuk gabungan faktor-faktor, seperti kekuasaan, kekayaan, pendapatan, pendidikan, agama dan sebagainya; ilmuwan politik menekankan variabel kekuasaan, pengaruh dihubungkan dengan basis partai politik, kelas sosial, pembagian kekuasaan politik dan sebagainya Dalam praktik kehidupan beragama Hindu masyarakat etnis Bali di Lombok sejak mulai masuknya orang-orang Bali di Lombok sudah ada semacam pembagian profesi sesuai dengan guna dan karma yang dimiliki oleh umat. Namun pada masa itu masih diberlakukan sistem aristokrat yang ditandai oleh pelapisan sosial dalam masyarakat Hindu terutama di kalangan etnis Bali yang disesuaikan dengan wangsa atau keturunan. Umumnya pada masa itu, para pemimpin dalam bagian bagian tertentu sistem pemerintahan kerajaan dipegang oleh golongan tri wangsa. Hal tersebut dikuatkan oleh tulisannya Putra Agung (2006: 56-76) yang pada hakikatnya mendeskripsikan bahwa perluasan wilayah kerajaan Karangsem sampai ke Lombok masih membawa serta sistem pemerintahan sebagaimana model birokrasi tradisional yang dilaksanakan dalam pemerintahan Kerajaan Karangasem di Bali. Bertolak dari pemaparan sebelumnya masuknya pengaruh eksternal terutama kebudayaan Barat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat Hindi khususnya etnis Bali yang ada di Lombok. Perubahan sosial yang terjadi salah satunya adalah mobilitas kedudukan dalam aras vertikal. Mobilitas kedudukan dalam aras vertikal dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok merupakan bagian dari stratifikasi sosial yang di dalamnya membentuk tingkatan-tingkatan sosial. Stratifikasi sosial sebagaimana menurut Sorokin (dalam Sutinah dan Siti Norma, 2004: 133) merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan ada kelas-kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan -lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hal dan kewajiban, kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Berangkat dari konsep yang diajukan oleh Sorokin seperti tersebut dia atas mengimplikasikan bahwa dalam masyarakat Hindu etnis Bali yang ada di Lombok terdiri dari komponen-komponen individu yang memiliki perbedaan-perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam interaksi antar individu tersebut adanya pengklasifikasian secara bertingkat-tingkat yang didasarkan atas beberapa katagori. Tentunya dasar yang melandasi pelapisan sosial tersebut menyangkut kewajiban yang secara umum melekat di dalamnya berupa peran yang dilakukannya. Peran yang dilakukan individu atau kelompok individu menentukan statusnya. Dalam bagian lain kehidupan masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok, pelapisan sosial dalam rentang kesejarahan dibedakan menjadi dua yaitu sistem Tri Wangsa (bangsawan) dan kawula atau jaba bagi penduduk biasa (Parimartha, 2002: 68). Namun dengan masuknya pengaruh eksternal terutama adanya kontak dengan kebudayaan Barat menyebabkan terjadinya perubahan sosial pada

26

masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya gerakan-gerakan yang mengarah pada perubahan secara struktural terhadap sistem sosial. Mobilisasi pelapisan sosial yang semula didasarkan atas kasta sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal ini kemungkinan untuk melakukan mobilitas vertikal sangat sukar bahkan tertutup. Namun, dengan keberhasilan golongan Jaba Wangsa baik dalam bidang pendidikan dan mampu meningkatkan kualitas secara ekonomi memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkiprah lebih leluasa. Dalam hal ini mereka yang telah berhasil secara ekonomi akan lebih memiliki kesempatan untuk meningkatkan status diri. Ini berarti dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok secara tidak langsung telah melakukan mobilisasi secara vertikal. Mobilitas vertikal yang terjadi semacam ini didasarkan atas keberhasilan yang dicapai untuk menguasai sumber daya potensial seperti menguasai sektor pendidikan, perekonomian dan sebagainya. Kondisi yang terjadi seperti disebutkan di atas ada relevansinya dengan konsep yang diungkapkan oleh Putra Agung (1974:107-108) yang pada pokoknya menyatakan bahwa mobilitas secara vertikal dengan mengikuti konsep dharma memang mulai tampak semenjak timbulnya golongan terpelajar, baik pada elite Tri Wangsa maupun pada elite Jaba. Konsepsi kasta yang menekankan pada pemisahan yang tegas dalam bidang pekerjaan tidak lagi diterapkan sepenuhnya, sehingga status kasta dipandang dari segi fungsinya sudah mulai kabur. Banyak dari golongan Brahmana tidak saja bertugas dalam bidang keagamaan, tetapi mengambil pekerjaan dalam bidang pemerintahan, bahkan ada yang bekerja di sawah. Demikian pula pada golongan kasta-kasta lainnya. Kekaburan ini sebenarnya sudah ada sejak permulaan diterapkannya konsepsi kasta di Bali. Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok terutama dalam ranah mobilitas kedudukan dalam aras vertikal memang diindikasikan oleh terjadinya gerakan-gerakan sosial untuk menduduki posisi yang lebih tinggi dalam kedudukan sosialnya. Hal ini sejalan jika dikaitkan dengan Sanderson (2003: 146) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya kelompok-kelompok bertingkat (ranked group) dalam suatu masyarakat. Stratifikasi sosial yang berimplikasi terhadap mobilitas kedudukan dalam aras vertikal vertikal yang terjadi dalam masyarakat Hindu etnis Bali di Lombok dicirikan oleh adanya perbedaan-perbedaan di antara golongan-golongan masyarakat yang didasarkan atas peran yang dilakukannya. Konsekuensi lebih lanjut dari peran yang dilakukan tersebut berimbas kepada status sosial yang melekat di dalamnya, yang menjadi pembeda dengan golongan atau kelompok lainnya. Inilah dasar terjadinya pemisahan secara sosial. Hal ini sejalan juga dengan apa yang disampaikan oleh Nasikun (1984: 30) bahwa secara vertikal, struktur sosial masyarakat diindikasikan oleh adanya perbedaan -perbedaan antar kelas sosial dan polarisasi sosial yang cukup tajam.

27

IV.

Penutup Keberadaan aspek sosiologis yang terkandung dalam teks Agastya Parwa secara garis besarnya membahas tentang sistem warna yakni pembagian kelas masyarakat yang didasarkan atas fungsionalisasinya. Dalam hal ini masyarakat dibagi menjadi empat kategori sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dijalankannya. Empat kategorisasi tersebut adalah brahmana warna, ksatriya warna, waisya warna, dan sudra warna. Masing-masing warna telah ditentukan fungsionalisasinya dalam rangka untuk mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan sosial. Setiap warna harus memegang teguh swadharma- nya. Jika salah satu warna mengabaikan kewajiban yang harus diembannya maka akan terjadi sebaliknya, yakni ketertiban sosial akan terusik karena sistem sosial tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Teks Agastya Parwa khususnya yang menyangkut aspek sosiologis memiliki keterkaitan yang erat dengan sumber-sumber susastra suci khususnya dengan kitab suci Weda. Berdasarkan hasil analisis ajaran warna dalam teks Agastya Parwa memiliki kesamaan dengan ajaran warna dalam kitab suci Weda beserta susastra sucinya seperti bhagawadgita. Ajaran catur warna merupakan landasan dari kehidupan sosial yang memposisikan guna dan karma sebagai penentu kedudukan seseorang dalam kehidupan sosial. Kesamaan ajaran dalam teks Agastya Parwa dengan kitab suci Veda beserta susastra sucinya mengindikasikan bahwa teks Agastya Parwa khususnya yang berkenaan dengan aspek sosiologis memiliki rujukan pada kitab suci Veda. Hal tersebut juga menyiratkan makna bahwa ajaran tentang pembagian masyarakat atas dasar fungsionalisasinya dalam teks Agastya Parwa masih bersifat murni. Dalam konteks ini dimaksudkan bahwa ajaran dalam teks Agastya Parwa belum menunjukkan adanya pembiasan dari sumber aslinya yakni kitab suci Veda. Implementasi aspek sosiologis dalam teks Agastya Parwa dalam kehidupan masyarakat Hindu dipengaruhi oleh konteks sosial. Dalam hal ini ajaran yang disampaikan dalam teks Agastya Parwa tidak sepenuhnya direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan ajaran warna yang diajarkan dalam teks Agastya Parwa mengalami pembiasan menjadi wangsa. Pembiasan tersebut menimbulkan pergeseran yakni yang semula menggunakan profesionalisasi dalam menentukan kategorisasi kelas dalam masyarakat berubah menjadi keturunan.

28

DAFTAR PUSTAKA Adnan, Habib. 1999. Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan. Denpasar: BP Amin, A.d, dkk. 1977. Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta:Depdikbud Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius Budharta, Ida Bagus Gde. 1990. Pertentangan Etnis di Lombok 1891-1942. Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UGM Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Dharmayuda, S. I. M. 1995. Kebudayaan Bali: Pra-Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. Denpasar: Kayumas Agung Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols), Yogyakarta: Kanisius Dwipayana, A.A.G.N. Ari. 2001. Kelas dan Kasta, Pergulatan kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama ................2004. Geneologi Politik: Desa Adat Bali dan Ruang Demokrasi. dalam buku Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Editor I Nyoman Darma Putra. Denpasar: Pustaka Bali Post Garna, Judistira K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: PPs-Universitas Padjadjaran Geertz, Clifford. 2001. Agama Sebagai Sistem Kebudayaan. dalam buku Dekontruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir, M. Syukri. Yogyakarta: IRCiSoD .., 1992, Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius Gie, The Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Liberty Jirnaya, I Ketut dkk. 1992. Aspek Sosiologi Sastra Gegurutan Tamtam. Denpasar: Laporan Penelitian Unud. Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar maju Kaplan D. Dan Manners R.A. 2002. Teori Budaya. Terjemahan Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta

29

........ ...2002. Pengantar Antropologi II. Jakarta:Rineka Cipta ........... 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Machwe, Prabhakar. 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terjemahan I.B.P. Suamba. Denpasar: Widya Dharma Moloeng, Lexy J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin Netra, A.A. Oka. 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Bimas Hindu dan Buddha Nottingham, Elizabeth K. 2002. Agama dan Masyarakat Suatu pengantar Sosiologi Agama. Terjemahan Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika Teori baru Mengenai Interpretasi. Terjemahan Musnur Hery & damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu: Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafat. Surabaya: Paramita. Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius .................. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius ...................1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius Suastika, I Made. 2002. Pentingnya Pemahaman Nilai Budaya dalam Dinamika Kesusastraan Bali dalam buku Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Suntingan I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: P.S. Magister Kajian Budaya Unud. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama. Terjemahan Muhammad Yamin. Yogyakarta: IRCiSoD

30