Artikel Konflik Sosial

6
Artikel konflik sosial 1. Konflik PT. TANJUNG REDEP HUTANI Latar belakang terjadinya kasus Pangakuan / klaim masyarakat sebagai tanah nenek moyang yang dikelola secara trurun menurun / tradisional. Tindakan penyerobotan lahan yang dilatarbelakangi oleh alasan pemenuhan kebutuhan hidup (bertani/berkebun). Kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola manajemen pertanahan yang tidak memperhitungkan keberadaan lokasi perusahaan. Overlap kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dengan otonomi daerah, aparat desa merasa berwenang mengatur tata guna lahan / areal hutan. Nama perorangan / kelompok yang berkonflik Masyarakat yang berada disekitar dan atau didalam areal hutan tanaman, antara lain : Kampung Suaran, Behanir Bangun, Pesayan / Kampung Baru, Mantaritip, Inaran, Rantau Panjang, Tabalar, Semutut, Buyung-Buyung, Tubaan, Birang dan Sambarata. Kronologi Kasus Warga mengklaim tanah mereka dengan berkirim surat ke perusahaan dan Bupati. Warga melakukan pematokan dan berkebun diareal hutan tanaman. Perusahaan melakukan penelusuran terhadap sumber konflik melalui peta desa, sejarah desa, komunitas penduduk, dan rewayat petak yang diklaim. Dilakukan peninjauan bersama warga untuk mengetahui lokasi, bukti kepemilikan dan pemberian tanda jika ditemukan. Melakukan pertemuan bersama warga dan aparat pemerintah yang terkait. Melakukan peninjauan bersama dengan melibatkan Tim Wasdal (Tim 9) jika tidak terjadi kesepakatan dalam pertemuan / negosiasi dengan warga. Penyelesaian konflik dengan alternative ; mengintensifkan kegiatan pembinaan sosial (PMDH), pemberian santunan sosial, bagi hasil atau melalui proses hukum. Tokoh utama yang berkonflik Tokoh masyarakat yang biasanya mewakili warga yang melakukan klaim. Mediator Konsultan hukum / pengacara LSM Tokoh masyarakat Tuntutan yang diminta Biasanya berupa ganti rugi tanah dan tanam tumbuh yang besarnya bervariasi (sesuai tuntutan mereka) dan harga tanaman (pohon) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui dinas terkait (kehutanan, pertanian, perkebunan). Mediator perusahaan Konsultan hukum bersama humas, aparat pemda.

Transcript of Artikel Konflik Sosial

Page 1: Artikel Konflik Sosial

Artikel konflik sosial

1. Konflik PT. TANJUNG REDEP HUTANI

Latar belakang terjadinya kasus

Pangakuan / klaim masyarakat sebagai tanah nenek moyang yang dikelola

secara trurun menurun / tradisional.

Tindakan penyerobotan lahan yang dilatarbelakangi oleh alasan pemenuhan

kebutuhan hidup (bertani/berkebun).

Kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola manajemen pertanahan yang

tidak memperhitungkan keberadaan lokasi perusahaan.

Overlap kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

Dengan otonomi daerah, aparat desa merasa berwenang mengatur tata guna

lahan / areal hutan.

Nama perorangan / kelompok yang berkonflik

Masyarakat yang berada disekitar dan atau didalam areal hutan tanaman, antara

lain : Kampung Suaran, Behanir Bangun, Pesayan / Kampung Baru, Mantaritip,

Inaran, Rantau Panjang, Tabalar, Semutut, Buyung-Buyung, Tubaan, Birang dan

Sambarata.

Kronologi Kasus

Warga mengklaim tanah mereka dengan berkirim surat ke perusahaan dan

Bupati.

Warga melakukan pematokan dan berkebun diareal hutan tanaman.

Perusahaan melakukan penelusuran terhadap sumber konflik melalui peta desa,

sejarah desa, komunitas penduduk, dan rewayat petak yang diklaim.

Dilakukan peninjauan bersama warga untuk mengetahui lokasi, bukti

kepemilikan dan pemberian tanda jika ditemukan.

Melakukan pertemuan bersama warga dan aparat pemerintah yang terkait.

Melakukan peninjauan bersama dengan melibatkan Tim Wasdal (Tim 9) jika

tidak terjadi kesepakatan dalam pertemuan / negosiasi dengan warga.

Penyelesaian konflik dengan alternative ; mengintensifkan kegiatan pembinaan

sosial (PMDH), pemberian santunan sosial, bagi hasil atau melalui proses

hukum.

Tokoh utama yang berkonflik

Tokoh masyarakat yang biasanya mewakili warga yang melakukan klaim.

Mediator

Konsultan hukum / pengacara

LSM

Tokoh masyarakat

Tuntutan yang diminta

Biasanya berupa ganti rugi tanah dan tanam tumbuh yang besarnya bervariasi

(sesuai tuntutan mereka) dan harga tanaman (pohon) yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah melalui dinas terkait (kehutanan, pertanian, perkebunan).

Mediator perusahaan

Konsultan hukum bersama humas, aparat pemda.

Page 2: Artikel Konflik Sosial

Kompromi / kompensasi / penyelesaian

Ganti rugi tanam tumbuh (santunan sosial) jika ada bukti / data-data

pendukung.

Ganti rugi tanah / pembelian tanah.

Bagi hasil keuntungan.

Kompensasi peningkatan intensitas kegiatan PMDH.

Proses hukum dan pengadilan.

Kerugian perusahaan akibat konflik

Total kerugian hingga saat ini telah mencapai kurang lebih 2 milyar.

Pengurangan pendapatan (laba bersih) dari hutan tanaman dengan nilai rata-

rata sebesar Rp. 1,5 juta/ha atas klaim lahan.

Pengurangan pendapatan sebesar 25% dari sistem bagi hasil keuntungan bersih

yang disepakati.

Luas areal konsesi akan semakin berkurang,

Catatan

Setiap klaim yang didasari oleh tuntutan atas tanah nenek moyang biasanya

menuntut penyelesaian dengan cara “memaksa” pihak perusahaan mengakui

keberadaan tanah mereka dengan mendapatkna legalitas dari pemuka adat, tokoh

masyarakat, ataupun aparat desa yang notabene juga mendapat bagian atas realisasi

tuntutan warga. Kepentingan politik berupa janji kepada warga akan mendapatkan

lahan perkebunan atau memperjuangkan kepentingan warga jika berhasil mencapai

tujuan politiknya.

2. PT. KUSUMA PERKASAWANA

Latar belakang tejadinya kasus

Undang-undang agrarian dan undang-undang kehutanan tidak semuanya

singkron, bahkan dapat menjadi pemicu atau sumber konflik, karena sangat

sarat dengan pemahaman dan penafsiran yang berbeda, tergantung kacamata

kepentingan yang dipakai.

Tidak ada landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai batas-batas

administrasi yang berhubungan dengan tanah hutan atau kawasan hutan dengan

hak (ulayat) masyarakat adat.

Salah memaknai makna hutan dan segala manfaat dan fungsi hutan.

tidak banyak manfaat yang dinikamati masyarakat sekitar / didalam hutan atas

adanya kegiatan Hak Pengusahaan Hutan disatu sisi dan hilangnya akses /

sumber kehidupan masyarakat akibat pemanfaatan hutan oleh Pemerintah atau

Swasta disisi lain.

Sebagian besar masyarakat disekitar / ddalam hutan, masih menggantungkan

hidupnya dari hasil pemanfaatan hutan dan tumbuhan hutannya. Selain hal

tersebut, pada umumnya sebagian besar dari mereka termasuk criteria miskin,

baik miskin dari segi ekonomi, sosial (pendidikan, kesehatan dan miskin

pemaknaan nasionalisme)

Nama perorangan / kelompok yang berkonflik

Sdr. Anggen Tentoh Tuban

Page 3: Artikel Konflik Sosial

Keluarga Sdr. Anggen Tentoh Tuban

Sdr. Lehie Elong

Keluarga Sdr. Lehie Elong

kronologi kasus

setelah melalui semua tahapan administrasi dan ketentuan0-ketentuan yang

berlaku, yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan HTI PT. kusuma

Perkasawana, maka sejak tahun 1993, pelaksanaan fisik pembangunan HTI

dilapangan diawali, mencakup pembukaan lahan, pembibitan maupun penanaman.

Sebelum dilakukan kegiatan pembukaan lahan, terlebih dahulu diberitahukan

kepada masyarakat disekitar / didalam hutan melalui Kepala Desa masing-masing.

Sampai dengan tahun 1995, kegiatan pembangunan HTI masih berjalan normal

dan lancar, dalam artian belum ada tuntutan-tuntutan dari pihak manapun, termasuk

masyarakat sekitar, berkaitan dengan pemanfaatan hutan untuk kegiatan

pembangunan HTI PT. Kusuma Perkasawana. Secara kebetulan lokasi areal kerja

HTI berada dalam areal HPH PT. SARPATIM yang nota bene masih aktif hingga

saat ini.

Namun sejak tahun 1996 mulai tampak tuntutan-tuntutan dari pihak masyarakat

disekitar / didalam hutan, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Pada

umumnya tuntutan masyarakat tersebut adalah atas tanaman tumbuh, lahan dan

kuburan / situs.

Tuntutan mereka pada waktu itu sangat tidak realistis dan masuk akal sehat,

karena jumlahnya yang sangat besar. Kalau dinilai dalam bentuk rupiah dapat

mencapai 17 milyar atas j\kurang lebih 780 ha lahan/lading, ratusan tanaman

tumbuh dan 7 situs.

Melalui pendekatan dengan tokoh masyarakat, Pemerintah Daerah (Bupati,

Camat), aparat keamanan, konflik dimaksud dapat diredam dengan kompensasi,

antara lain : pembuatan fasilitas umum, jalan tembus antar desa, memperkerjakan

sebagian masyarakat menjadi pemborong kegiatan pembangunan HTI (pembibitan,

penyiapan lahan, pemeliharaan, dan lain-lain), tumpang sari dan lain-lain.

Namun setelah peristiwa Etnis di Sampit dan sekitarnya tahun 2001,

masyarakat yang sama menuntut lagi hak ulayat, tanaman tumbuh, situs yang

dimotori oleh Sdr. Anggen Tentoh Tuban dan Sdr. Lehie Elong. Mereka mendesak

dengan berbagai cara (intimidasi, pencurian barang-barang HTI, dan lain-lain) adar

dilakukan ganti rugi atas tanaman tumbuh, lahan, situs, dll yang dianggap belum

terbayar.

Dengan berbagai upaya, baik melalui Pemda Kotim, BPN, tokoh masyarakat,

(sdr. Tyel Jalau) disepakatilah untuk memberikan santunan sebesar Rp.

152.298.500,- jumlah ini sebenarnya belum temasuk ganti rugi yang telah diberikan

kepada mereka pada tahun sebelumnya kurang lebih Rp. 200.000.000,- yakni sejak

tahun 1996 s/d tahun 2000.

Dengan diberikan atau diterimanya santunan tersebut, kedua belah pihak,

masyarakat dan pihak perusahaan sepakat untuk menuangkan hasil penyelesaian

konflik tersebut kedalam suatu AKTE NOTARIS, yakni Notaris Irwan Junaidi SH

dengan No. akte 63 (copy terlampir).

Hingga saat ini, belum timbul lagi tuntutan atau konflik serupa dari masyarakat

yang sama terhadap perusahaan. Mudah-mudahan pada waktu yang akan datang

Page 4: Artikel Konflik Sosial

tidak ada lagi konflik atau tuntutan masyarakat atas areal yang dialokasikan

pemerintah untuk pembangunan HTI.

Tokoh utama yang berkonflik

Sdr. Anggen Tentoh tuban

Sdr. Lehie Elong

Mediator

pemda Tk. II kabupaten Kota-waringin Timur, An. Napak Drs. Mani\til, kabag

Ketertiban dan Kemasyarakatan Kabupaten Tk. II Kotim.

tuntutan yang diminta

tanaman tumbuh dan lahan hutan yang kena gusur akibat kegiatan

pembangunan HTI

situs atau kuburan nenek moyang mereka, yang menurut pengakuan mereka

dimakamkan disalah satu daerah bukit diareal HTI dan kebetulan daerah

tersebut ikut terbakar pada saat penyiapan lahan (pada waktu itu belum ada

larangan pembakaran pada saat peyiapan lahan oleh Menhut).

Nilai yang dituntut kurang lebih 17 milyar.

Mediator perusahaan

Secara formal tidak ada, tetapi semua unsur pimpinan perusahaan dilapangan,

bertindak dan berupaya untuk melakukan pendekatan, baik melalui tokoh

masyarakat, tokoh pendidik, tokoh agama dan pemerintah setempat.

Sarana/media yang dipergunakan untuk melakukan penyelesaian konflik adalah

melalui dialog, kegiatan Tumpang Sari, pemberian bantuan fasilitas perusahaan

(kendaraan) untuk mengangkut hasil kebun / pertanian mereka ketempat pasar

terdekat. Pengadaan sembako dalam bentuk kegiatan Koperasi Perusahaan. Hal ini

sangat membantu mereka, terutama yang domisilinya jauh dari pasar resmi.

Komponen/kompensasi/penyelesaian

Dengan dana santunan dari perusahaan sebesar Rp. 152.298.500,- (tidak

termasuk dana-dana taktis yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk hal

yang sama sebesar Rp. 200.000.000,-) sejak tahun 1996 s/d 2000.

Merekrut tenaga dari masyarakat sekitar untuk dipekerjakan pada perusahaan.

Tumpang Sari di areal HTI dan hasilnya dibawa ke pasar terdekat dengan

pengangkutannya oleh perusahaan.

Fasilitas jalan yang dibangun oleh perusahaan untuk menghubungkan antar

desa disekitar areal kerja HTI.

Kerugian perusahaan akibat konflik

Kerusakan kantor, mes, barak dan lain-lain akibat amuk masyarakat penuntut

ganti rugi.

Terhentinya berbagai kegiatan pembangunan HTI seperti pembukaan lahan,

penanaman selama tuntutan selama ganti rugi belum mendapat penyelesaian

secara final.

Terjadinya keresahan dan ketidaknyamanan diantara karyawan dan

keluarganya sebagai akibat intimidasi oleh masyarakat tertentu.

Sebagai akibat lanjutan, tidak tercapainya target yang telah direncanakan,

misalnya : target luas tanaman tahun 2000 seharusnya 7.600 ha, namun yang

tercapai baru sekitar 5.137 ha.

Page 5: Artikel Konflik Sosial

Catatan

menurut hasil penilaian PKJA dephut, PT. Kusuma Perkasawana layak teknis

maupun financial.

Menurut penilaian LPI, PT. Kusuma Perkasawana layak dilanjutkan dengan

nilai 159.

3. PT. WANA POTENSI NUSA

Bentuk

Larangan melakukan kegiatan (ITSP, pembuatan jalan logging, menebang

kayu, menghadang logging truk)

Penyebab, desa-desa didalam dan di sekitar menuntut :

Dibuatkan jalan atau meningkatkan jalan setapak menjadi jalan mobil yang

menuju desa mereka.

Dibuatkan kebun-kebun baru dengan cara membuka lahan hutan (land clearing)

yang mereka anggap sebagai tanah nenek moyang mereka.

Pengadaan / pembangunan rumah tinggal disetiap desa termasuk parabola,

genzet, serta TV.

Kronologis

Setiap wilayah kerja RKT memasuki wilayah desa yang baru, desa tersebut

menuntut untuk dibuatkan hal-hal tersebut diatas.

Terkadang wilayah desa mereka tidak termasuk dalam wilayah kerja RKT,

bahkan ada juga yang diluar areal kerja HPH.

Taksiran kerugian ,- selama ini tuntutan selalu dipenuhi

Sikap aparat

Kehutanan : mencari jalan keluar dan sepanjang tidak menyimpang aturan,

akan diberi ijin untuk membuat jalan atau peningkatan jalan tersebut diatas.

Keamanan : memberi penyuluhan dan pengarahan bahwa apa yang diminta

oleh masyarakat desa ada proses dan memerlukan waktu dan bagi prang yang

melakukan tindakan pengrusakan dan atau menghasut akan diproses sesuai

dengan hukum.

4. PT. INHUTANI 1

Bentuk

Pendudukan base camp dan penguasaan asset perusahaan baik berupa log

maupun alat berat

penyebab

tidak jelas

kronologis

tanggal 1 pebruaru 1999, camp diduduki oleh masyarkat desa Metalibaq

berjumlah kurang lebih 110 orang, terdiri dari orang tua dan anak-anak.

Masyarakat mengajukan tuntutan :

pengembalian tanah adat

ganti rugi atas kehancuran tanah adat sebesar Rp. 5 milyar.

Page 6: Artikel Konflik Sosial

Ganti rugi atas kasus kebakaran tahun 1998 sebesar Rp. 5 juta/ Kepala

keluarga untuk 153 Kepala Keluarga

Surat pernyataan dari perusahaan untuk menghentikan seluruh aktivitas

Selama belum ada penyelesaian, perusahaan menjamin konsumsi Desa

Metalibaq yang menduduki base camp, termasuk penyediaan BBM, dan

fasilitas kesehatan.

Apabila tanggal 2 februari 1999 pukul 12 siang tidak ada penyelesaian,

maka seluruh asset menjadi hak milik masyrakat adat Desa Metalibaq.

Perkembangan sampai tanggal 16 pebruari 1999 sebagai berikut :

Negosiasi antara pihak perusahaan dan Masyarakat Adat Desa Metalibaq

mencapai kesepakatan yang tertuang dalam BAP, yang isinya sebagai

berikut :

Kompensasi atas kerugian tanah adat sebesar Rp. 500 juta

Pemberian modal koperasi sebesar Rp. 150 juta

Beasiswa dan pembangunan asrama pelajar di Samarinda

Bantuan kayu bulat sebanyak 250 m3 untuk desa Metalibaq dan 250

m3 untuk prasarana Muspika

Sumbangan akibat kerusakan akibat kebakaran untuk masyarakat

sebesar Rp. 2,5 juta per Kepala keluarga untuk 153 Kepala Keluarga

(total Rp. 382,5 juta)

Kegiatan operasional dilapangan kembali berkalan lancer

Taksiran kerugian

Kurang lebih Rp. 15 milyar

Sikap aparat

Kehutanan : kejadian tersebut telah dikonsultasikan dengan Bp. Wagub Kaltim

dan segera dipelajari serta dikoordinasikan dengan Pemda TK II Kutai

Keamanan : tenaga pengaman dari Polsek dan Koramil telah didatangkan ke

base camp Laham untuk mengendalikan masyarakat.