ARG No 1 Juli-Desember 2001 Dwi Sriyantini

download ARG No 1 Juli-Desember 2001 Dwi Sriyantini

of 8

description

VALIDITAS HUKUM PRODUK ORDE BARU

Transcript of ARG No 1 Juli-Desember 2001 Dwi Sriyantini

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    17

    VALIDITAS HUKUM PRODUK ORDE BARU

    Dwi Sriyantini,S.H.

    (Staf Pengajar STIH Jenderal Sudirman Lumajang)

    A. PENDAHULUAN

    Di era reformasi ini, keberadaan

    hukum, khususnya yang berkait dengan

    perpolitikan dan kehidupan ekonomi,

    yang dihasilkan semasa pemerintahan

    Orle Baru berkuasa kembali digugat

    cieh berbagai kalangan. Validitasnya

    dipertanyakan baik oleh masyarakat

    awam maupun para pakar dari berbagai

    bidang keilmuan. Gugatan-gugatan

    terhadap validitas hukum menggumpal

    melalui aksi-aksi dari yang mulai

    demonstrasi besar-besaran, pelontaran

    opini melalui media massa sarrpai yang

    dikemas dalam bentuk pertemuan

    ilmiah.

    Indonesia yang berpahamkan

    demokrasi, yang biasanya diberi makna

    pernerintahan dari, oleh dan untuk

    takyat, berkonsekuensi pada suatu

    perwujudan bahwa kekuasaan tertinggi

    berada di tangan rakyat. Rakyat yang

    menjadi subyek dalam menentukan

    setiap kebijakan, dan bukan menjadi

    obyek kebijakan, dalam bermasyarakat,

    berbangsa dan bernegara. Dengan

    demikian, ketika seluruh rakyat telah

    bersepakat untuk membangun negara

    yang demokratis, maka harus diartikan

    bahwa penyelenggara negara benar-

    benar memperhatikan suara-suara rak-

    yat. Dalam konteks Indonesia, kedau-

    latan rakyat tersebut diselenggarakan

    melalui suatu lembaga perwakilan yang

    dinamakan MPR/DPR.

    Berdasarkan konsep kedaulatan

    rakyat atau demokrasi seperti itu, selu-

    ruh keputusan yang mengatur setiap

    aspek kehidupan rakyat yang dihasil-

    kan oleh kekuasaan yang dipercayai

    rakyat, khususnya yang berupa aturan

    hukum, selayaknya harus merupakan

    cerminan dari nilai, moral, ide dan

    keinginan-keinginan rakyat. Oleh

    karena itu, tidak layak apabila hukum

    yang dibuat oleh kekuasaan justru

    digunakan untuk kepentingan

    kekuasaannya. Dan semakin tidak etis,

    jika hukum yang dibuat malah semakin

    tidak memberdayakan dan menyengs-

    arakan rakyat.

    Manakala hukum yang dibuat

    dan diterapkan tidak sesuai dengan

    kepentingan dan nilai-nilai yang

    berkembang ditengah kehidupan

    masyarakat, menjadi sangat beralasan

    apabila rakyat mepertanyakan dan

    menggugat keabsahan hukum

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    18

    tersebut. Hal ini merupakan

    konsekuensi logis dari ajaran

    kedaulatan rakyat itu sendiri.

    Boleh jadi kekuasaan berdalih bahwa

    hukum yang dibuat telah sesuai dengan

    suara-suara rakyat dan telah memenuhi

    prosedur yang telah ditentukan. Akan

    tetapi kalau rakyat terus menggugat,

    pertanyaannya, suara rakyat yang

    mana yang dimaksudkan oleh

    kekuasaan tersebut?

    Untuk menjernihkan problem

    validitas hukum tersebut, maka tulisan

    berikut ini mencoba untuk mengulasnya

    dari sisi pikiran-pikiran filsafati. Kajian

    tentang validitas hukum disini

    berpangkal tolak dari Seventy Five

    Years of Evolution in Legal Philosophy

    tulisan Edgar Bodenheimer.

    B. PERMASALAHAN

    Permasalahan yang akan

    dibahas dalam tulisan ini dapat

    dirumuskan sebagai berikut :

    "bagaimanakah validitas hukum yang

    diproduk oleh Orde Baru, khususnya

    yang berkait dengan perpditikan dan

    perekonomian, jika dikaji dari

    pemikiran-pemikiran filsafat hukum?".

    C. BINGKAI PANDANGAN HUKUM

    Untuk memudahkan kajian

    validitas hukum, dalam studi ini

    digunakan konsep "hukum sebagai

    produk politik " yang kemudian disebut

    sebagai hukum posifif. Hukum yang

    dimaksud dalam kajian ini khususnya

    yang berkait dengan kehidupan

    perpolitikan dan perekonomian rakyat.

    Dengan konsepsi yang seperti ini,

    hukum yang dikaji validitasnya

    merupakan kristalisasi dari kehendak-

    kehendak politik yang saling bersaing,

    yang kemudian dimenangkan oleh

    mayoritas pemegang kekuasaan politik

    yang dominan atau setidak-tidaknya

    merupakan kompromi-kompromi politik

    antara faksi-faksi yang bersaing.1

    Di negara yang demokratis,

    pemegang kekuasaan politik adalah

    mereka yang merupakan wakil atau

    pilihan rakyat. Mereka diduga benar--

    benar mengetahui dan akan

    memperjuangkan kepentingan-

    kepentingan rakyat. Lain halnya di

    negara yang otoriter. Di negara seperti

    ini kekuasaan politik dapat diperkirakan

    cenderung untuk mengaktualisasikan

    kepentingan-kepentingan kekuasaan

    dalam bentuk hukum dengan

    mengesampingkan suara-suara rakyat.

    D. PENENTUAN VALIDITAS HUKUM

    Menurut Edgar Bodenheimer

    untuk menentukan validitas suatu

    norma hukum ada dua cara pendekat-

    an yang dapat digunakan. Kedua cara

    pendekatan ini tampaknya sulit untuk

    1 Mahfud, 1998, Politik Hukum Di

    Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 2

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    19

    diwujudkan dalam kenyataan, sebab

    berbeda sudut pandang yang

    rnelandasinya.

    Pendekatan pertama

    mengasumsikan bahwa hukum

    menggambarkan suatu aturan yang

    pantas bagi masyarakat dan telah

    diterima oleh seluruh orang

    dikarenakan hukum tersebut berkait

    erat dengan kepentingan-kepentingan

    dan kebutuhan-kebutuhan asasi

    mereka. Karakter utama dari hukum

    dalam pandangan ini adalah ditentukan

    cieh isinya (contents, substantive),

    bukan oleh sesuatu yang dipaksakan

    kekuasaan pemerintah untuk

    mengontrol perilaku masyarakat. Oleh

    tarenanya, kriteria validitas hukum

    sangat ditentukan oleh substantive

    justice (keadilan substantif). Hal ini

    berkaitan dengan dimasukkannya

    pertimbangan-pertimbangan kebenaran

    nilai etik atau moral dalam suatu norma

    hukum. Pandangan seperti ini, secara

    konsisten dianut oleh pemikir-pemikir

    aliran filsafat hukum alam.

    Sedangkan pendekatan yang

    kedua mendasarkan diri pada

    pernyataan Thomas Hobbes bahwa:

    Not rightness, but authority makes the

    law, yakni kekuasaanlah yang

    manentukan adanya hukum, bukan

    pada keadilan. Menurut pandangan ini,

    validitas suatu norma hukum diukur dari

    dpenuhi atau tidaknya persyaratan--

    persyaratan formal pembuatan hukum

    (technical rules and requirements).

    Pandangan ini dianut oleh kaum

    positivisme hukum.

    John Austin, sebagai pemuka

    positivisme hukum, meyakini bahwa

    hukum adalah suatu sistem komando

    dari pemerintah. Hukum adalah

    kehendak penguasa. Meski pun Austin

    penganut utilitarian yang percaya

    bahwa hukum harus mampu memenuhi

    the greatest happiness of the greatest

    number, akan tetapi dia

    mengesampingkan hasil legislasi yang

    berasal dari standar tersebut dalam

    hubungannya dengan masalah

    validitas norma hukum.

    Seide dengan Austin, Hans

    Kelsen melalui pure theory of law-nya

    menegaskan bahwa hukum harus

    dimurnikan dari aspek moralitas dan

    keadilan. Hukum adalah sebuah hasil

    dari kekuasaan yang berasal dari

    norma yang lebih tinggi. Dengan

    demikian, hukum merupakan perintah

    wajib dari kekuatan publik/negara.

    Dari dua pandangan tersebut,

    Bodenheimer menyimpulkan bahwa

    keduanya tidak mungkin bersesuaian.

    Konsekuensinya, seluruh tertib hukum

    yang cacat menurut kriteria substantif,

    akan tetapi tidak cacat (valid) menurut

    kriteria formal (technical rules)

    sungguh-sungguh tidak akan

    terlaksana dalam kenyataan. Manakala

    hal itu terjadi juga, mungkin saja hanya

    berjalan dalam waktu yang tidak terlalu

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    20

    lama.

    Bodenheimer memberikan

    contoh yang cukup menarik. Dalam

    suatu kekuasaan yang diktator pun

    biasanya memiliki kelonggaran keadilan

    (fairly) di dalam hukum-hukum

    dasamya. Norma-norma dasar tersebut

    telah memenuhi ukuran validitas jika

    diuji dari kriteria substantif mau pun dari

    kriteria formal. Akan tetapi, ketika

    sampai pada tataran aturan yang

    diderivasi darinya, bisa menjadi norma

    yang menindas (oppressive) terhadap

    seiuruh orang, atau setidak-tidaknya

    kepada golongan minoritas yang tidak

    disukai, bahkan juga terhadap individu-

    individu atau kelompok yang penurut

    sekali pun. Sebagai norma yang

    oppressive, mungkin saja kenyataanya

    valid menurut kriteria formal, akan tetapi

    pada saat yang sama akan cacat

    menurut kriteria substantif.

    Apa yang diutarakan oleh

    Bodenheimer tersebut akan dicoba

    untuk digunakan menganalisis validitas

    hukum positif di Indonesia. Sebagai

    negara demokrasi, Indonesia memiliki

    the necleus of norms seperti yang

    termaktub dalam UUD 1945. Hukum

    dasar tersebut telah memiliki validitas,

    balk diukur dari kriteria substantif mau

    pun kriteria formal. Secara substantif,

    UUD 1945 merupakan aktualisasi dari

    cita moral, rasa keadilan dan keinginan-

    keinginan bangsa Indonesia yang

    secara cerdas dirumuskan oleh para

    pendiri Republik ini. Dan secara formal,

    UUD 1945 telah valid karena dibuat

    dan disahkan oleh suatu lembaga yang

    berwenang yakni KNIP.

    Bagaimana halnya dengan

    aturan-aturan hukum yang ada di

    bawah dan yang mengitari UUD 1945

    tersebut, khususnya produk hukum

    Orde Baru yang berkaitan dengan

    perpolitikan dan perekonomian?

    Usep Ranuwidjaja menyatakan

    bahwa penguasa Orde Baru di bawah

    kepemimpinan Jenderal Soeharto tidak

    pemah mewujudkan ajaran demokrasi

    seperti yang dikehendaki Pancasila

    dan UUD 1945. Lima paket UU

    perpolitikan tahun 1985 jelas tidak

    sesuai dengan isi dan semangat pasal-

    pasal terkait dalam UUD 1945. Hak-

    hak rakyat untuk secara bebas

    mengeluarkan pendapat dan

    berkumpul dipasung sedemikian rupa

    oleh UU, karena pada dasamya

    pembuatan UU tersebut tidak

    memperhatikan suara-suara rakyat.2

    Hal ini berarti tidak sesuai dengan nilai

    moral dan keadilan yang ada di

    masyarakat.

    Berbagai Keppres yang

    mengatur dan berkaitan dengan

    masalah-masalah perekonomian,

    2 Tim Kahmi Jaya, 1998,

    ndonesia Di Simpang Jalan, Mizan Bandung, h. 75

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    21

    mempertontonkan pertentangannya

    dengan semangat Pasal 33 UUD 1945

    yang berdimensi kerakyatan. Salah satu

    contohnya adalah Keppres tentang Tata

    Niaga Cengkeh yang sangat monopolis-

    tik, yang mengakibatkan posisi tawar-

    menawar rakyat petani sangat tidak

    berdaya. Dan berbagai Keppres lainnya

    juga menggambarkan betapa secara

    transparan menafikan tingkat partisipasi

    rakyat untuk menikmati kebebasan

    berusaha dan berekonomi.

    Dari beberapa contoh aturan

    hukum tersebut, apabila direnung--

    renungkan, akan sampai pada

    kesimpulan bahwa berbagai produk

    hukum Orde Baru tampak telah valid

    rnenurut ukuran kriteria formal. Akan

    tetapi tidak memiliki validitas sebagai

    hukum jika diukur berdasarkan kriteria

    substantif.. Mengapa demikian?

    Hukum-hukum yang dibuat

    semasa Orde Baru seluruhnya sesuai

    dengan prosedur yang telah ditentukan

    sebelumnya. Misalnya, lima paket UU

    perpolitikan tersebut telah dibuat

    melalui saluran resmi yang ada, yakni

    telah disetujui DPR dan telah disahkan

    oleh Presiden. Meski pun tidak sesuai

    dengan kehendak dan dasar moralitas

    srta nilai keadilan rakyat, karena telah

    sesuai prosedur dan dipenuhinya

    seluruh persyaratan, maka secara

    formal UU tersebut telah memiliki

    valilditas sebagai aturan hukum.

    Demikian halnya dengan berbagai

    Keppres yang saat ini sedang

    dipermasalahkan oleh rakyat, sudah

    memiliki validitas hukum dalam ukuran

    formal, sebab Keppres-keppres

    tersebut merupakan hak prerogatif dari

    presiden.3

    Bagaimana jika diukur dari

    standar substantif? Melalui

    pengamatan terhadap berbagai

    peristiwa yang sampai saat ini masih

    berlangsung, seperti maraknya

    demonstrasi yang menggugat

    keberadaan hukum, opini-opini para

    pakar yang menyoroti eksistensi hukum

    dan berbagai pertemuan ilmiah yang

    mengkritisi materi hukum yang dibuat

    semasa Orde Baru berkuasa,

    tampaknya sulit untuk tidak menarik

    suatu kesimpulan bahwa produk--

    produk hukum tersebut secara

    substantif tidak memiliki validitas

    sebagai norma hukum. Andaikata

    hukum yang diproduk telah sesuai

    dengan ukuran keadilan substantif,

    tentunya tidak akan terjadi gugata--

    gugatan oleh rakyat.

    MPR/DPR yang seharusnya

    dapat menyuarakan keadilan dalam

    hukum, ternyata tidak berdaya sama

    sekali. Menurut Deliar Noer, kedudukan

    dua lembaga tersebut

    tersubordinasikan di bawah kekuasaan

    3 Kompas, 26 Oktober 1998, h. 9

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    22

    presiden.4 Oleh karena itu, sangat

    wajar, apabila dua lembaga itu tidak

    lebih sebagai alat untuk memuluskan

    kepentingan-kepentingan kekuasaan,

    yang sangat mungkin berseberangan

    dengan kepentingan-kepentingan

    rakyat banyak. Bahkan dalam berbagai

    hal, norma hukum yang dibuat menjadi

    oppressive, seperti yang tampak dalam

    UU perpolitikan dan Keppres yang

    berkait dengan perekonomian tersebut.

    Melalui konsepsi "ide hukum"

    (idea of law) dari Rudolf Stammler,

    dapat dijelaskan bahwa isi dari norma

    hukum adalah keadilan, yang tujuannya

    adalah untuk mengharmonisasikan

    antara tujuan-tujuan individu yang

    berhadapan dengan kepentingan-

    kepentingan masyarakat. Konsepsi

    keadilan dari Stammler adalah "suatu

    himpunan kehendak yang merdeka dari

    orang banyak". Dengan demikian,

    melalui "ide hukum" akan dapat

    dibedakan antara the right law dengan

    the wrong law. ltu akan sangat

    ditentukan oleh kandungan substansi

    dan gagasan keadilan dalam suatu

    aturan hukum.

    Apakah produk hukum Orde

    Baru tersebut termasuk the right law

    ataukah the wrong law ? Seperti telah

    dipaparkan sebelumnya, hukum yang

    dibuat pada masa pemerintahan Orde

    Baru, khususnya yang berkait dengan

    kehidupan politik dan ekonomi, lebih

    4 Tim Kahmi Jaya, Op.Cit. h. 96

    merupakan pencerminan kehendak

    dan kepentingan penguasa dari pada

    kepentingan dan gagasan keadilan

    yang berasal dari rakyat. Produk

    hukum tersebut berkarakter

    oppressive. Oleh karenanya dapat

    dikatakan bahwa berbagai hukum yang

    dibuat Orde Baru, khususnya yang

    berkaitan dengan perpolitikan dan

    perekonomian, lebih merupakan the

    wrong law dari pada the right law.

    E. PENUTUP

    Dari studi kritis tersebut dapat

    disimpulkan bahwa validitas suatu

    norma hukum dapat diukur melalui dua

    kriteria, yakni kriteria keadilan

    substantif dan kriteria formal.

    Berdasarkan kriteria substantif , suatu

    norma hukum dikatakan valid apabila

    mengandung nilai keadilan dan nilai

    etik. Dan manakala suatu hukum dibuat

    hanya memenuhi prosedur formal,

    maka is juga telah valid akan tetapi

    dalam ukuran formal.

    Berbagai produk hukum Orde

    Baru, khususnya di bidang perpolitikan

    dan perekonomian, memang valid.

    Akan tetapi validitasnya hanya sampai

    pada kriteria formal dan tidak valid

    secara substantif. Oleh karena tidak

    mengandung gagasan keadilan, maka

    berbagai produk hukum Orde Baru

    tersebut masuk dalam katagori the

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    23

    wrong law, dan berkarakter oppressive.

    Untuk di masa yang akan dating,

    disarankan kepada penguasa politik

    agar dalam pembuatan hukum (UU)

    memperhatikan kriteria keadilan

    substantif. Hal ini dimaksudkan agar

    idak terjadi kembali gugatan-gugatan

    terhadap validitas hukum yang dalam

    pembuatannya memerlukan dana dan

    tenaga yang tidak sedikit jumlahnya.

  • ARGUMENTUM NO. 1 / Juli Desember 2001

    18

    DAFTAR PUSTAKA

    Edgar Bodenheimer,1978, Seventy Five Years Of Evolution In Legal Philosophy

    dalam 23 American Journal of Jurisprudence

    Kompas, 26 Oktober 1998

    Moch. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta

    Tim Kahmi Jaya, 1998, Indonesia Di Simpang Jalan, Mizan Bandung