Aresivitas Dan Emosi Manusia Dalam Olahraga
-
Upload
dwi-murtiyadi -
Category
Documents
-
view
460 -
download
0
Transcript of Aresivitas Dan Emosi Manusia Dalam Olahraga
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus pelemparan batu pada kereta api yang ditumpangi para supporter PERSEBAYA
atau yang kita kenal dengan “BONEK” yang merupakan singkatan bondo nekat atau yang dalam
bahasa Indonesia berarti modal nekat sudah menjadi hal yang lumrah bagi kita. Bukan hanya
sekedar itu, berita kerusuhan atau tawuran antar supporter sepak bola yang terjadi setelah
pertandingan usai manakala tim kesayangannya kalah sudah menjadi hal yang biasa. Hal-hal ini
mencerminkan buruknya kepribadian yang dimiliki para supporter tersebut. atau mungkin sikap
agresifitas yang mereka tunjukkan yang sudah menunjukkan aksi destruktif hanya karena ikut-
ikutan atau sudah menjadi tradisi dikalangan supporter.
Citra negatif yang sudah tersemat didada para supporter BONEK merupakan akumulasi
dari tindakan-tindakan mereka yang ditunjukkan dalam menyemangati tim kesayangan mereka.
Tindakan-tindakan tidak terpuji seperti menjarah makanan yang ada di stasiun ketika kereta yang
mereka tumpangi berhenti, pengerusakan fasilitas stadion ketika mereka tawuran, dll mungkin
sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Hal ini lah yang menjadi sebuah ancaman bagi
masyarakat apabila mereka, melakukan pertandingan tandang ke stadion lawan. Sehingga
masyarakat sudah memproteksi diri dari hal-hal yang mungkin akan terjadi, atau malah
menyerang BONEK terlebih dahulu.
Tindakan agresifitas yang negatif tidak hanya ditunjukkan oleh para supporter, terkadang
para pemain dalam sepak bola juga menunjukkan sikap yang tidak terpuji dengan memukul wasit
karena ia marah diberi sanksi berupa kartu atau tendangan bebas. Hal ini menunjukkan bahwa
mental para pemain-pemain kita masih buruk, hal ini disebabkan kurangnya pendidikan
keperibadian kepada para pemain.
Contoh-contoh kasus diatas merupakan cerminan persepak bolaan kita di Indonesia yang
masih buruk. Apa jadinya bila kita menjadi tuan rumah piala dunia 2022? Mungkin akan terjadi
kerusuhan jika tim Indonesia kalah dalam pertandingan. Hal itu mengkin bisa terjadi bilamana
mental seluruh elemen yang turut ambil bagian dalam olahraga tersebut belum terbentuk dengan
baik. Para pelatih, pemain, dan supporter perlu dibentuk mentalnya, dengan pendidikan
keperibadian yang baik.
BAB II PEMBAHASAN
1. AGRESIVITAS
a. Pengertian Agresivitas
Motif berprestasi yang berkembang antar kelompok-kelompok, akan mendorong
kelompok-kelompok berpacu dalam keunggulan, dan anggota kelompok yang memiliki sikap
agresif dapat memicu terjadinya rivalitas yang menjurus pada permusuhan. Menurut Dollard,
dkk (1939) tindakan agresif adalah konsekuensi lebih lanjut dari frustasi, ini berarti frustasi
selalu mendorong terjadinya tindakan agresif. Namun pendapat tersebut banyak mendapat
tentangan.
Menurut Dolard, Miller, dkk (1939) dan Boron (1991) dapat didefinisikan bahwa
agresivitas adalah beberapa bentuk atau serangkaian perilaku yang bertujuan untuk
membahayakan dan mencederai lawan. Definisi agresif seperti itu sering digunakan
interchangeably dengan istilah hostility pada satu sisi, padahal sangat berbeda dari segi maknawi
dengan istilah agresif atau agresif sebagai tindakan yang sering muncul pada praktik olahraga,
yang justru diperlukan dalam penampilan secara efektif dalam kompetisi olahraga (Freischlag &
Schmedke, 1980).
b. Tujuan Agresivitas dalam Olahraga
Suasana kompetisi dalam olahraga sering menjadi media yang potensial untuk terjadinya
perilaku agresif. Dalam kadar yang sesuai, perilaku agresif sangat diperlukan dalam
memenangkan sebuah pertandingan. Cabang olahraga seperti tinju, karate, tae kwondo, dll sikap
agresif sangat diperlukan. Namun, dalam tingkat yang berlebihan dan tidak terkendali, sikap
agresif akan sangat merugikan dan akan menjurus pada tindakan merusak atau yang merugikan
baik diri sendiri, lawan atau lingkungan.
Dalam olahraga, sikap agresifitas yang ditunjukkan oleh pemain yang mengikuti olahraga
body contact memiliki tingkat kestabilan emosi yang lebih baik ketimbang orang yang mengikuti
olahraga non body contact. Hal ini dikarenakan, bagi mereka yang mengikuti olahraga body
contact yang biasanya berupa olahraga beladiri, contact badan merupakan hal yang sudah biasa
mereka terima selama kadarnya masih ringan diterima atau biasa.
Dalam beladiri seperti karate, tae kwondo, pencak silat, judo, dll dipukul atau memukul
merupakan sebuah keharusan karena mereka diajarkan untuk membela diri. Namun dalam
olahraga non body contact , seperti sepak bola dan basket, sebuah senggolan atau dorongan yang
keras baik yang disengaja atai tidak akan menimbulkan reaksi yang beragam. Mulai dari balas
mendorong, mensikut, bahkan hingga memukul.
Hal diatas merupakan beragam karakteristik dari sikap agresifitas dalam dua macam
olahraga, yaitu olahraga body contact dan non body contact yang keduanya memiliki karakter
yang berlainan.
c. Jenis Agresivitas
Menurut Raven & Rubin (1976) mengemukakan tindakan agresif yang tidak dikarenakan
oleh frustasi, yaitu:
1. Tindakan agresif instrumental, yaitu tujuannya memenangkan pertandingan.
2. Tindakan agresif karena meniru, misalnya tindakan agresif untuk meniru tikoh-tokoh
mafia yang suka menyerang dan melukai orang lain, semua itu dikakukan bukan karena
frustasi.
3. Tindakan agresif atas dasar perintah, sering terjadi pada olahraga ( karate, anggar, tinju, dll
) karena inisiatif menyerang mendapat penilaian positif dari wasit.
4. Tindakan agresif dalam hubungan peranan social, misalnya penjaga keamanan, mereka
harus bertu-indak tegas, kalau perlu mereka memukul orang yang melanggar ketentuan.
5. Tindakan agresif karena pengaruh kelompok, misalnya anggota “gang”, mereka bertindak
agresif bukan karena frustasi, melainkan tingkahlaku biasa yang dilakukan dalam
kelompoknya.
R.H. Cox (1985) mengelompokkan tindakan agresif kedalam dua kategori. 1.) Hostility
Aggresion, yaitu tindakan agresif yang dissertai permusuhan dan dilakukan dengan perasaan
marah serta bermaksud melukai orang lain atau lawan bertanding (Marcoen, 1999).tindakan
agresif ini sering juga disebut Reactive Aggresion (Silva, 1980) dan Angry Aggresion (Buss,
1971). 2.)
Instrumental Aggresion , yaitu perilaku agresif yang dijadikan sebagai alat untuk
memenangkan pertandingan, tanpa bermaksud untuk melukai orang lain atau lawan tanding.
Lebih lanjut, agresi instrumental bertujuan untuk memperoleh kemenangan, uang dan prestise.
Menurut Worchel dan Cooper (1970), membedakan duat tipe keperibadian yaitu 1.) agresifitas
yang kurang terkontrol dan 2.) agresifitas yang selalu dikontrol dengan ketat. Tipe keperibadian
yang agresifitasnya kurang terkontrol menunjukkan kurangnya larangan terhadap pengungkapan
tingkah laku agresif dan kecendrungan untuk mengadakan respon terhadap frustasi
dengantindakan agresif.
Tipe keperibadian yang agresifitasnya selalu terkontrol dengan ketat, menunjukkan
adanya control yang ekstrim kuat terhadap pengungkapan agresifitas dalam berbagai kondisi.
Orang yang agresifitasnya kurang terkontrol kemungkinan lebih besar untuk melakukan tindakan
criminal kekerasan, karena ia tidak bimbang untuk melakukan kekerasan pada waktu marah.
d. Faktor yang Mempengaruhi Agresifitas
Semua orang mengerti bahwa tindakan agresif, adalah tindakan yang tidak terpuji, maka
orany yang memiliki keperibadian yang kuat tidak mudah untuk dipengaruhi untuk berbuat
agresif. Mereka yang mengalami “emotional enstability“ atau ketidakstabilan emosi, karena
perasaan marah dan perasaan negatif lainnya mudah dipengaruhi, dan mudah mendominasi
perasaan yang lainnya.
Individu yang memiliki emotional instability yang tidak mudah marah, mudah benci,
mudah kecewa, mudah bingung, mudah kesal, dsb. Karena emosinya mudah terombang ambing,
maka gejala emosional tersebut akan mengganggu fungsi jiwa yang lain. Sebagaimana diketahui
bahwa jiwa kita merupakan kesatuan yang organis, dimana sumber kemampuan jiwa yang satu
dapat mempengaruhi sumber kemampuan jiwa yang lain. Karena itu goncangan emosional akan
mempengaruhi pertimbangan akal, sehingga individu tersebut akan bertindak tidak sesuai dengan
akal sehat.
Individu yang menunjukkan gejala kematangan emosional atau “emotional maturity ” dapat
meredam goncangan-goncangan emosional sehingga dapat tenang, dan dapat menjalankan fungsi
akalnya dengan baik.
e. Teori yang Mendorong adanya Agresivitas
Rujukan yang dapat digunakan untuk bisa memahami tentang agresifitas adalah teori naluri
(Instinct Theory), teori agresi-frustasi (Frustation-Aggresion Theory) dan teori belajar social
(Social-Learning Theory)
- Teori Naluri (Instinct Theory). Teori ini berpijak pada tulisan Sigmud Freud dan
Konrad Lorenz. Menurut Freud (1950), ia mengenal beberapa naluri (instinct) mialnya
Naluri Ego, yaitu nafsu untuk mempertahankan dirinya sendiri. Naluri Agresi bertujuan
untuk menghancurkan dan bersumber pada otot-otot kerangka (skeletal). Naluri hidup
dan mati diperkirakan mendasari instinct seksual dan agresi. Insting mati adalah
kecendrungan semua organisme agar menjadi benda yang tidak bernyawa. Insting hidup
sebaliknya, ialah kecendrungan untuk bersatu, untuk mengikat satu sama lain menjadi
satu kesatuan yang lebih besar, seperti pada reproduksi seksual. Tindakan agresif
dipandang sebagai dorongan yang dibawa sejak lahir seperti halnya dorongan seksual dan
rasa lapar. Menurut teori ini, agresif adalah tindakan yang tidak dapat dihindari, tapi
dorongannya dapat dikendalikan. Sedangkan Lorenz (1966), berpendapat bahwa manusia
memiliki naluri agresif seperti halnya binatang dan naluri tersebut dmibutuhkan untuk
mempertahankan dan memperjuangkan kehidupannya. Dalam kaitannya dengan olahraga
Marcoen (1999) mengilustrasikan bahwa tindakan agresif adalah dorongan naluriah,
dapat disalurkan dalam seting social seperti dalam olahraga dan latihan. Olahraga dalam
konteks ini dijadikan media pembebasan dorongan agresif. Ini disebut pembebasan
katarsis (Cathartic Discharge).
- Teori Agresi-Frustasi (Frustation-Aggresion Theory). Dikembangkan oleh Dollard,
Miller, Doob, Mourer & Sears (1939) tim peneliti dari Yale University. Teori ini
mengatakan bahwa frustasi merupakan penyebab tindakan agresif dan sebaiknya
keagresifan selalu disebabkan oleh frustasi. Menurutnya, agresifitas merupakan
kensekuensi lebih lanjut dari frustasi. Namun pendapat tersebut akhirnya banyak
mendapat tentangan.
- Teori Belajar Social (Social-Learning Theory). Menurut Bandura (1989), ia
berpandangan bahwa tindakan agresif adalah sebuah respon atau perilaku yang dapat
dipelajari, bukan karena adanya dorongan naluriah dan frustasi. Selanjutnya ia
menyebutkan bahwa tindakan agresif menunjukkan “Circular Effects” yang artinya
bahwa tindakan agresif akan mendorong tindakan-tindakan agresif lainnya. Perilaku
agresif itu dipelajari dari lingkungan individu berada. Proses belajar ini diperoleh dari
mengamati orang lain, orang tua, dan dari teman-teman..
- Rekomondasi pengendalian Agresifitas. Beberapa rekomondasi sebagai upaya untuk
mengendalikan agresifitas antara lain: a.) teknik time out, b.) memberikan pemahaman
dan contoh perilaku non agresif sebagai metode konstruktif untuk memecahkan masalah,
c.) menciptakan atau mendisain lingkungan belajar/latihan yang kondusif, d.)
memberikan latihan empati. Lorenz mengatakan cara yang terbaik dalam pemecahan
agresif adalah dengan memperluas kesempatan untuk menurunkan dorongan agresifitas
melalui peran serta dalam olahraga dan aktivitas kompetitif yang tidak menimbulkan
kerugian lainnya.
Untuk mengatasi konflik yang terjadi, Raven & Rubin (1976) mengajukan saran-saran
sebagai berikut :
1. Meningkatkan saluran komunikasi antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam
konflik
2. Memanfaatkan juru bicara untuk menjadi fasilitator dalam membina komunikasi antar
kelompok yang terlibat dalam konflik
3. Mengajukan kelompok netral
4. memisahkanj masalah besar dalam konflik dalam masalah kecil yang mudah diatur dan
dilaksanakan.
Sudah barang tentu aspek-aspek psikologis individual juga perlu diperhatikan dalam
mengatasi konflik tersebut.
f. Hubungan Agresifitas dan Prestasi Olahraga Pengendalian Agresifitas dalam
Olahraga.
Sifat agresif hanyalah merupakan salah satu dari sifat individu. Kecendrungan sifat
agresif pada pemain menjadi tingkahlaku yang positif dan diperlukan untuk memenangkan
sebuah pertandingan atau sebaiknya menjadi tindakan destruktif. Sifat agresif yang dimiliki
pemain yang juga memiliki kestabilan emosional, disiplin, rasa tanggungjawab yang besar, tidak
akan menjadi masalah dalam pengarahannya. Pelatih dapat menyiapkannya untuk bermain
agresif, dengan tidak khawatir ia akan bertindak destruktif dan merugikan lawannya.
Oleh karena itu, pelatih hendaknya memberikan:
1. anjuran untuk bermain agresif harus terarh, kapan, dan bagaimana cara yang tetap
agar tidak menimbulkan hal negatif dan melukai lawan.
2. bermain agresif harus disertai dengan peningkatan penguasaan diri, agar dapat
mengkontrol diri sendiri.
3. bermain agresif harus disertai dengan disiplin dan rasa tanggungjawab, yaitu selalu
mematuhi peraturan dan tunduk pada keputusan wasit serta dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya.
4. perlu ada penghargaan bagi nmereka yang bertindak agresif tetapi tidak melukai
lawan, memelihara sportivitas, dan sebaliknya memberi hukuman apabila berusaha
melukai lawan atau tindakan tercela dan melanggar peraturan.
Dalam upaya pengendalian tindak kekerasan dan agresifitas yang menyimpang, R.H. Cox
mengungkapkan :
1. atlet-atlet muda harus diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku non agresif,
penguasaan diri, dan penampilan yang benar.
2. atlet yang terlibat dalam tindakan agresif harus dihukum. Harus disadarkan bahwa
tindakan agresif dapat membahayakan lawan atau tindakan yang tidak dibenarkan.
3. pelatih yang memberi kemungkinan para atlet terlibat agresif dengan kekerasan harus
diteliti dan harus dipecat dari tugasnya.
4. pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan
dilapangan harus dihindarkan.
5. para pelatih dan wasit didorong atau dianjurkan untuk menghadiri lokakarta yang
membahas tentang tindakan agresif dan kekerasan
6. disamping hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan atlet harus didorong
secara positif meningkatkan kemampuan untuk bertindak tenang terhadap situasi
emosional.
7. penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara
praktis antara lain melalui latihan mental.
2. EMOSI
a. Definisi emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti
kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang
khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi
terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.
Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi
berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu
aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku
dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.
(Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates.
Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka),
Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan
tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman
(2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua
tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak
tenang.
d.Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti,
hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk
memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea
Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar,
tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila
dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan
kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal
itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai
keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi). Menurut Mayer
(Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan
mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah.
Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani
menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap
stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
b. Pengaruh-pengaruh negatif dari emosi dalam kegiatan olahraga
Pengaruh-pengaruh negatif dari emosi dalam kegiatan olahraga, antara lain :
1.Gelisah
Gelisah adalah gejala takut atau dapat pula dikatakan taraf takut yang masih
ringan.Biasanya rasa gelisah ini terjadi pada saat menjelang pertanndingan akan dimulai. Rasa
gelisah akan timbul apabila seseorang itu belum mengalami sendiri apa yang akan dilakukan
ataupun adanya persaan sentimen, kebingngan atau ketidak pastian. Rasa gelisah akan dapat
berubah menggembirakan manakala penyebab datanngnya rasa gelisah (pertandingan akan
dimulai) tertunda pelaksanaanya.
Cara yang baik untuk menghindari atau mengurangi timbulnya kegelisahan adalah
dengan jalan merasionalisasikan emosi, yaitu segala hal yang negatif dianggap positif. Hal-hal
demikian dapat dilatih, yaitu dengan membiasakan untuk:
1. Merumuskan persoalan-persoalan yang sebenarnya merupakan sebab timbulnya
kegelisahan secara jelas.
2. Memperhitungkan segala kemungkinan akibat yang terjadi dari yang paling ringan
sampai yang terburuk.
3. Membuat persiapan untuk menghapadapi setiap kemungkinan yang biasanya terjadi
dengan segala rumus pemecahannya yang dapat dilakukan baik oleh diri sendiri
maupun dengan bantuan orang lain.
4. Dengan cara –cara tersebut dapat diharapkan kegelisahan yang menjangkiti para
olahragawan sedikit demi sedikit dapat dikurangi atau bahkan dapat dihindarkan.
2.Takut
Hampir semua orang mempunyai pengalaman-penaglaman yang menakutkan . Takut
biasanya berakar pada pengalaman sebelumnya atau pada masa-masa lampau yang pengaruhnya
terhadap tingkah laku dan kepribadian seseorang akan berbekas sepanjang hidup.Takut banyak
macamnya, misalnya takut pada binatang, takut sendirian, takut jika berada di depan orang
banyak, takut akan timbulnya cidera dan sebagainya.
Kegelisahan yang menjangkiti para atlet dapat berubah menjadi ketakutan apabila tidak
mendapat penyelesaian yang sebaik-baiknya.Rasa takut dapat memberi pengaruh yang negatif
atau yang positif terhadap perkembanagan kepribadian seseorang. Dalam batas-batas yang
normal rasa takut akan memberi pengaruh yang positif, karena dengan rasa takut tadi, orang akan
lebih berhati-hati terahadap apa yang mereka takuti,misalnya saja dia jadi lebih siap atau
sebaliknya mungkin dia lebih menghindari.
Rasa takut lebih baik jangan dimatikan sama sekali,tetapi dikendalaikan. Misalnya
seorang atlit yang tidak memiliki ketakuatan terhadap kekalahan dalam pertandingan yang akan
diikuti.Ia akan berbuat apa yang dikehendakinya, akhirnya ia akan terseret oleh perasaan ” kalah
ya biar”. Usaha yang kira-kira dirasa terlalu berat untuk meraih keunggulan nilai,cenderung
untuk tidak dilaksanakan , karena dianggap terlalu menghabiskan tenaga di samping juga sikap
berhati-hati menjadi berkurang. Konsentrasi menjadi buyar dan usaha-usaha untuk mencari
kelemahan-kelemahan lawan tidak ada lagi.
Rasa takut juga tidak boleh ditanamkan sehingga menyebabkan orang sama sekali tidak
berani mengambil resiko, akhirnya orang tersebut terlalu banyak perhitungan yang kadang-
kadang tidak diperlukan.Akibatnya orang tersebut tidak pernah mau mencoba dan berusaha
untuk mengatasi ketakutan yang timbul.
Pada kehidupan sehari-hari, rasa takut ini banyak ditimbulkan oleh orang-orang yang
justru lebih dewasa, menakut-nakuti anaknya supaya tunduk kepada kehendak oerang yang
sudah dewasa tersebut.Kadang-kadang orang tua yang tidak mau sulit-sulit lebih cenderung
untuk menakut-nakuti anaknya.Karena anak yang takut lebih mudah dikuasai sesuai dengan
tujuan orang yang menakut-nakuti tersebut.Meskipun pada mulanya menakut-nakuti itu hanya
bertujuan agar si anak tunduk kepada perintah orang tua saja,tetapi kalau terlanjur sulit untuk
disembuhkan, sehingga perkembangan si anak itu sendiri akan terganggu.
Yang paling baik adalah kalau takut itu dikendalikan, artinya tidak ditanamkan , tetapi
juga tidak dihilangkan sama sekali. Hal ini memang sulit sampai berapa jauh takut itu harus
dikendalikan, karena kalau salah akan menjadi hoby. Dalam dunia olahraga,rasa takut kalah di
dalam batas-batas normal adalah baik, karena dengan demikian seseorang akan mempersiapkan
diri untuk menghindari kekalahan.
Melatih diri, berusaha mencari kelemahan-kelemahan lawan, penghematan
tenaga/penghematan penghamburan tenaga yang tidak perlu dan sebagainya.Jadi jangan sekali-
kali mengartikan pengendalian rasa takut sama dengan menanamkan rasa takut.
Menurut beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh Reuben B.Frost dari Springfield College
mengenai bagaimana harus menangani masalah takut ini, antara lain diajukan beberapa pendapat
sebagai berikut: Mencoba menemukan dan memahami sebab-sebab terjadinya rasa takut.
Mendekati dan mengenali situasi yang ditakuti secara sedikit demi sedikit.
Mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang ditakuti dengan membuat perencanaan yang
pasti dan taktik yang tepat guna. Menguji dan menganalisis alasan-alasan menngapa sampai
terjadi ketakutan-ketakutan. Menolong mencarikan sebab-sebab timbulnya kesulitan-kesulitan
yanng ditakuti (adakah pengaruh kecelakaan yang dulu atau memang belum mengenal
problemnya).
Menanamkan keakraban antar anggota group dan rasa saling percaya antar anggota
(berdiskusi secara bersama-sama). Memberikan sugesti bahwa orang-orang yang banyak
pengalaman selalu memberikan pertolongan kepada yang muda-muda. Meningkatkan kekuatan
dan keterampilan (skill). Kerjakan sesuatu yang dapat menghilangkan rasa takut. Kebanyakan
rasa takut akan lenyap pada waktu kegiatan-kegiatan yang ditakutkan itu telah dilakukan.
3. Marah
Marah dapat dikatakan sebagai reaksi kuat atas sesuatu yang tidak menyenangkan dan
mengganggu pada seseorang. Ragamnya mulai dari kejengkelan yang ringan sampai angkara
murka dan mengamuk.Ketika itu terjadi maka detak debar jantung semakin cepat, tekanan darah
dan aliran adrenalin juga meningkat. Kalau sudah begini bisa-bisa perubahan psikologis akan
menyebabkan timbulnya reaksi agresif dan pelakuan kasar dari sang pemarah.
Walau bersifat alami dan normal namun marah tidak timbul dengan sendirinya Ia merupakan
respon dari seseorang ketika mendapat ancaman, hal yang membahayakan, kekerasan verbal,
perlakuan tidak adil, kebohongan dan manipulasi oleh orang lain.
Dengan kata lain marah timbul karena batas-batas emosi yang dimiliki telah terganggu
atau terancam. Secara internal, marah bisa terjadi ketika menghadapi masalah-masalah pribasi,
mengingat peristiwa yang sangat mengganggu pikiran, kekecewaan pada situasi lingkungan,
kurang percaya diri,dsb. Sementara secara eksternal, marah bisa timbul karena,hak-hak
pribadinya diperlakukan tidak adil dan mendapat ancaman.
Karena sifat marah memerlukan spontanitasdan ditujukan dalam bentuk-bentuk
agresifitas,maka jalan paling baik kalau atlit-atlit tersebut dapat menghambat spontanitas dan
mengurangi bentuk-bentuk agresifitasnya, artinya menaggapi kemarahan itu dengan usaha-usaha
yang positif.Kalau olahraga yang dapat time-out lebih baik diambil time out dulu agar
spontanitas kemarahan itu tertunda pelaksanaannya.Meskipun hanya beberapa detik,biasanya
sudah cukup untuk mengurangi derajat kemarahan.
Kadang-kadang seseorang yang marah dapat mengurangi kemarahannyadengan
mengambil nafas dalam-dalam-dalam beberapa kali dengan menghitung sampai beberapa puluh
atau menghadapi kemarahan itu dengan senyuman,dan masih banyak lagi jalan yang ditempuh
untuk mengurangi kemarahan tersebut.
Dalam pertandingan –pertandingan adalah sukar untuk dapat menghilangkan sumber dari
kemarahan, sebab dalam dunia olahraga memancing kemarahan lawan adalah disengaja dengan
harapan kalau lawan itu sudah tidak sadar lagi akibatnya dia ingin tetap bermain keras yang
dapat mengakibatkan banyaknya energi yang dikeluarkan sehingga pada suatu saat dia akan
kehabisan tenaga dan akan mudah dikalahkan.Hal-hal seperti tersebut di atas harus
disadari,dimengerti dan dikenali oleh para olahragawan, jangan sampai dia terpancing oleh siasat
lawan untuk menjadi marah.
Ingat marah memang dapat menimbulkan tenaga yang luar biasa,tetapi jangan sampai
mengakibatkan hilangnya pertimbangan akal dalam menyalurkan timbulnya tenaga
tersebut.Memanfaatkan tenaga tambahan itu, untuk usaha-usaha yang produktif. Untuk
mengurangi akibat-akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan perlu dicari bagaimana
cara merendahkan kemarahan yang terjadi. Hal ini dapat diusahakan dengan cara:
Menghambat spontannitas tindak kemarahan
Mengurangi agresifitas tindakan
Menanggapi kemaran dengan usaha-usaha yang positif.
Melupakan atau menghilangkan / menghindari sumber kemarahan
d. Pengendalian Emosi Kunci Meraih Prestasi
Anthony Dio Martin penulis buku Emotional Quality Managament (2003) dan Audio
Book Emotional Power (2004), mengungkapkan bahwa kesuksesan itu ditentukan oleh visi,
imajinasi, aksi dan emosi. Emosi berperan penting, karena manusia saling berhubungan satu
dengan yang lain.
Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup
kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan,
dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respon kita terhadap berbagai peristiwa
yang terjadi pada kita.
Daniel Goleman dalam bukunya, Emotional Intelligence, mendivinisikan emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins dalam Awaken the
Giant Within menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan.
Di sini ia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekadar respon, tetapi justru sinyal
untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan
tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan
hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita. Padahal sesungguhnya kemampuan kita
dalam mengendalikan dan mengelola emosi kita merupakan faktor penentu penting keberhasilan
atau kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan kita.
Sejak diperkenalkan Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence - EQ) oleh Daniel
Goleman pada 1995 tersebut, perhatian masyarakat mulai beralih dari kecerdasan intelektual (IQ)
semata kepada kecerdasan emosional. Dan tahukah anda bahwa kesuksesan seseorang itu 80%
ditentukan oleh EQ ketimbang IQ.
Emosinya merupakan sumber kekuatan yang sangat dahsyat maka sebenarnya
kelemahannya merupakan kekuatannya, tentu dengan catatan jika dia dapat mengelolanya
dengan baik. Lantas timbul satu pertanyaan, bagaimana mengelola emosi? Dr. Patricia Patton
dalam bukunya Emotional Quotient mengungkapkan bahwa untuk mampu mengatur emosi
adalah dengan cara belajar.
1.Belajar mengidentifikasikan apa saja yang bisa memicu emosi kita dan respon apa yang
biasa kita berikan.
2.Belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala hal di sekitar kita yang dapat
memberikan pengaruh dan yang tak dapat memberikan pengaruh pada diri kita.
3.Belajar selalu bertanggung jawab pada setiap tindakan kita.
4.Belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk
menyelesaikan masalah.
5.Belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.
Kelima hal inilah yang apabila kita pelajari akan memudahkan diri kita dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Dengan kelima hal inilah maka dengan mudah kita mampu
mengendalikan emosi itu. Kita mampu mengelola emosi itu sehingga bisa kita endapkan dalam
hati. Jika kita mampu mengelolanya maka jadilah emosi itu sebagai energi untuk memajukan
diri. Contohnya, seorang Peter Gade yang mampu mengelola emosinya, menggunakan semangat
dari kemarahan karena sering disepelekan karena usianya yang sudah tua) menjadi pemicunya
dalam mengejar prestasi sehingga dia bisa membuktikan kalau dia bukan si pecundang tua yang
dapat disepelekan dalam TUC kemarin.
Tetapi yang tak boleh dilupakan, sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa
menghindarkan diri untuk berinteraksi dengan manusia yang lain, dalam hal ini dengan
kemampuan menggunakan emosi sebagai pembawa informasi, kita bisa melihat sisi, kadar
intensitas emosi orang lain yang muncul dari komunikasi non-formalnya, berupa ekspresi,
tekanan nada suara, gerakan ataupun bahasa tubuh yang dipakainya. Jika kita mampu membaca
bahasa-bahasa itu maka bisa diupayakan tindakan kontra reaksi dari emosi orang tersebut.
Umpamanya, jika kita lihat ada gejala mitra atau lawan bicara kita kurang suka, maka
kita antisipasi dengan dengan berbicara yang bersifat menetralkan perasaan orang tersebut.
Setelah kita pahami masalah emosi diri maupun emosi orang lain, maka secara mudah kita
menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. Sehingga diharapkan muncul pribadi yang
menyenangkan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan peka terhadap situasi
apapun yang sedang terjadi, serhingga dengan mudah menyiapkan strategi kontra situasi
terhadap suatu konflik yang ada.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan
reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira
mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi
sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Pengaruh-pengaruh negatif dari emosi dalam kegiatan olahraga, antara lain :
a.Gelisah
b.Takut
c.Marah
Anthony Dio Martin penulis buku Emotional Quality Managament (2003) dan Audio
Book Emotional Power (2004), mengungkapkan bahwa kesuksesan itu ditentukan oleh visi,
imajinasi, aksi dan emosi. Emosi berperan penting, karena manusia saling berhubungan satu
dengan yang lain.
Sejak diperkenalkan Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence - EQ) oleh Daniel
Goleman pada 1995 tersebut, perhatian masyarakat mulai beralih dari kecerdasan intelektual (IQ)
semata kepada kecerdasan emosional. Dan tahukah anda bahwa kesuksesan seseorang itu 80%
ditentukan oleh EQ ketimbang IQ.
Emosinya merupakan sumber kekuatan yang sangat dahsyat maka sebenarnya
kelemahannya merupakan kekuatannya, tentu dengan catatan jika dia dapat mengelolanya
dengan baik. Lantas timbul satu pertanyaan, bagaimana mengelola emosi? Dr. Patricia Patton
dalam bukunya Emotional Quotient mengungkapkan bahwa untuk mampu mengatur emosi
adalah dengan cara belajar.
Dari pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kadar yang sesuai,
perilaku agresif sangat diperlukan dalam memenangkan sebuah pertandingan. Cabang olahraga
seperti tinju, karate, tae kwondo, dll sikap agresif sangat diperlukan. Namun, dalam tingkat yang
berlebihan dan tidak terkendali, sikap agresif akan sangat merugikan dan akan menjurus pada
tindakan merusak atau yang merugikan baik diri sendiri, lawan atau lingkungan.
Dalam olahraga, sikap agresifitas yang ditunjukkan oleh pemain yang mengikuti olahraga
body contact memiliki tingkat kestabilan emosi yang lebih baik ketimbang orang yang mengikuti
olahraga non body contact. Hal ini dikarenakan, bagi mereka yang mengikuti olahraga body
contact yang biasanya berupa olahraga beladiri, contact badan merupakan hal yang sudah biasa
mereka terima selama kadarnya masih ringan diterima atau biasa.
DAFTAR PUSTAKA
file:///H:/Psikologi%20olahraga/emosi.htm
file:///H:/Psikologi/psikologi...htm
file:///H:/Psikologi%20olahraga/dampak%20emosi%20dalam%20kegiatan%20olahraga
%20%C2%AB%20Vhariss%27s%20Blog.htm
http://www.koni.or.id/files/documents/journal/4.%20Etika%20dan%20Moral%20dalam
%20Pendidikan%20Jasmani%20Menuju%20Olahraga%20Prestasi%20Oleh%20DR.
%20Johansyah%20Lubis,%20M.Pd.pdf
http://formula.indonesiafile.com/index.php?view=article&catid=8%3Ajurnal-merah-
putih&id=24%3Apsikologi-olahraga&format=pdf&option=com_content&Itemid=15