Aqidah Kita Akli Dan Naqli Syariat Kita Naqli Saja

download Aqidah Kita Akli Dan Naqli Syariat Kita Naqli Saja

If you can't read please download the document

description

dalil akidah bisa aqli dan naqli, akan tetapi dalil syariah pasti naqli, tidak ada yang aqli

Transcript of Aqidah Kita Akli Dan Naqli Syariat Kita Naqli Saja

Akidah Kita Berdasarkan Akal dan Naql Sedangkan Syariah Kita Hanya Berdasarkan Naql Semata

"penilaian/jugdment rasional"

Pada zaman modern ini , di kalangan Ulama, muncul metode pendekatan baru dalam berinteraksi hukum-hukum syara'. Barangkali, (akibat dari) metode itu bukanlah sesuatu yang disengaja, bahkan mungkin tidak pernah terfikir untuk menjadikannya sebagai sesuatu yang disengaja, jika tidak, niscaya hal itu menjadi suatu kecacatan pada diri para ulama. Kami hanya menyatakan bahwa metode yang mereka gunaka -yang akan kami sebutkan nanti- sedikit banyak telah menyebabkan kerusakan pemahaman di tengah umat islam, itu karena lemahnya pemahaman mereka terhadap Islam.

Mungkin para ulama dan sebagian besar umat Islam menyadari sepenuhnya kesalahan metode "penilaian rasional" terhadap hukum-hukum syariat Islam. Hanya saja, kondisi lingkungan yang sedemikian rupa telah menyebabkan paham "penilaian rasional" ini menjadi berkembang luas di kalangan umat Islam.

Yang kami maksud dengan "penilaian rasional" adalah bahwa kaum muslimin pada hari ini -kecuali mereka yang dirahmati oleh Tuhannya- beranggapan bahwa mereka dapat melakukan jugdment (penilaian), apakah hukum-hukum syara' itu sah atau tidak, seolah-olah keabsahan dan ketidak-absahan hukum syara' itu ditentukan oleh akal manusia.

Tikaman Terhadap Islam

Pada masa-masa terakhir, muncul banyak tulisan yang memuat keunggulan-keunggulan Islam dari aspek kesesuaian hukum-hukum syara' dengan perkembangan yang terjadi pada masa tersebut. Yang kami maksud dengan masa-masa terakhir adalah rentang waktu mulai dari akhir abad lalu (ke-14 H) sampai hari ini. Dalam rentang wuktu ini, perang pemikiran di negeri-negeri Islam semakin menjadi-jadi. Serangan kaum orientalis terhadap Islam dan hukum syariatnya semakin tajam. Kadang kala mereka menyerang hukum-hukum syara' dengan tuduhan bahwa hukum-hukum tersebut tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan kemudian berkembang menjadi dakwaan bahwa islam menyebabkan kerusakan dan mafsadat. Terdapat beberapa hukum syara' dalam fiqh islam yang dikenal baik di kalangan tersebut, sehingga relatif mudah bagi mereka untuk mencerca syariah Islam -dengan kaca mata pemahaman Barat- melalui hukum-hukum tersebut . Di antara hukum-hukum itu adalah masalah poligami, kehalalan budak, pakaian syar'i wanita, dan masih banyak lagi hukum-hukum yang lain seputar masalah sistem interaksi, ekonomi, dan juga sistem politik di dalam Islam.

Sebagian dari kaum muslimin yang merasa gerah dengan tingkah para pencela tersebut berusaha melawan mereka dengan menampakkan kebaikan-kebaikan dan membela hukum-hukum syara'. Terlepas dari kenyataan bahwa tujuan mereka melakukan hal tersebut adalah untuk membela Islam, hanya saja, metode yang mereka gunakan menyebabkan Islam menempati posisi yang lemah. Sejak itu, berkembanglah "penilaian rasional" terhadap hukum-hukum syara' terkait dengan kekesuaiannya dengan fakta yang ada dan kelayakkannya untuk diterapkan. Kaum muslimin memulai dengan beberapa pokok bahasan, yang paling penting adalah pembahasan mengenai eksprorasi kebaikan yang ada di dalam hukum Islam. Dengan itu, mereka membalikkan metode penerimaan terhadap hukum-hukum syara', mereka menggambarkan Islam sebagai kumpulan nilai-nilai ideal, dan sebagai sebuah sistem yang mengandung segala kebaikan, kebajikan dan nilai-nilai yang terpuji.

Benar, mereka telah mengijinkan diri mereka sendiri untuk menguatkan hukum-hukum syara' dengan pendapat mereka sendiri tentang kebajikan, nilai-nilai kebaikan dan moralitas. Meski demikian, kaum muslimin belum memahami rambu-rambu terkait dengan hal ini, sehingga mereka mulai beranggapan bahwa segala hal yang menurut penilaian mereka tidak tergolong kebaikan dan bajikan maka akal tidak dapat menerima bahwa ia merupakan bagian dari Islam. Kemudian, lahirlah metode tertentu di kalangan kaum muslimin dalam menerima hukum-hukum syara', yaitu jugdment (penilaian) terhadap hukum syara' . Yang pertama, jika menurut mereka hukum tersebut tidak tergolong bijak, baik dan sempurna, maka ia tertolak, karena akal tidak dapat menerima bahwa ia berasal dari Islam, meski sekuat apapun dalilnya.

Sebab Pensyari'atan Hukum Syara'

Adalah fakta bahwa hal ini merupakan perkara yang pasti terjadi. Kaum muslimin membaca adanya "sebab" dalam setiap hukum syara' yang mereka pelajari. Dikemudian hari, pada setiap hukum syara' yang diturunkan oleh Allah terdapat "sebab", dimana Allah menurunkan hukum tersebut karenanya. Para pemikir meneliti keberadaan "hikmah" (dari setiap hukum syara'). Pertanyaan yang otomatis menyembul berkaitan dengan setiap hukum syara adalah: "hikmah apakah yang terkandung dari hukum syara' ini?" Lebih dari itu, sebab tersebut haruslah merupakan kebaikan, dengan kata lain, dia merupakan sesuatu yang keberadaannya berguna untuk menolak kerusakan atau menggapai kemaslahatan. Oleh karena itu, sebab dari pengharaman khamr adalah untuk menolak madharatnya yang tak terhitung itu, sedangkan sebab dari pengharaman daging babi tidak lain juga untuk menolak madharatnya, demikian seterusnya. Metode dalam menerima hukum syara' seperti ini adalah salah, ditinjau dari tiga segi:

Yang pertama: Bahwa dalam pernyataan itu terdapat klaim bahwa Allah Ta'ala menurunkan hukum tersebut karena sebab yang demikian, padahal tidak ada informasi dari Allah 'Azza wa Jalla tentang hal itu. Lantas dari mana kita bisa mengatakan bahwa Allah Ta'ala mengharamkan khamr karena sebab yang seperti itu, atau karena hikmah yang seperti ini dan itu? Siapakah yang telah memberi informasi kepada kita bahwa Allah Ta'ala mewajibkan sholat karena sholat mengandung "pembinaan-jiwa" sebagai mana dikatakan oleh sebagian orang? Tidak samat lagi bahwa di dalam hal ini terdapat sikap lancang dan yang melampaui batas.

Kedua: sebagian besar hukum-hukum syara' dalam fiqh merupakan masalah yang diperselisihan oleh para imam mujtahid. Dengan pengecualian sebagian hukum syara' yang qoth'i yang dinyatakan dalam Al-Qur'an atau hadits mutawatir yang dilalah (pengertiannya) juga qoth'i, para ahli fiqh tidak memiliki bersepakat terhadap hukum-hukum syara'. Seandainya kita menganggap bahwa sebab dari pengharaman sesuatu adalah "ini", namun bagaimana kita bisa menjelaskan jika sana terdapat hukum syara' lain yang diistinbathkan oleh mujtahid lain yang berbeda dengan hukum yang pertama? Lantas bagaimana sesuatu bisa menjadi sebab atau hikmah dalam kondisi yang demikian? Benar-benar sangat mengherankan.

Yang ketiga: dan ini yang paling genting, sebagian besar kaum muslimin ketika berusaha memahami sesuatu, tidak dapat memahami hakekatnya. Maka apabila kita nyatakan bahwa terdapat selalu hikmah di balik setiap hukum syara', dan bahwa hikmah ini pasti ada untuk menolak mafsadat atau untuk merealisasikan maslahat lantas apa yang bisa kita perbuat jika terdapat dalil syara' yang menetapkan suatu hukum yang "aneh" dan tidak mungkin diselidiki hikmahnya? Apakah lantas kita menolak hukum tersebut hanya karena kita mampu menjumpai "sebab" atau "hikmahnya"?

Pada faktanya, poin ini telah menjadi masalah besar bagi kaum muslimin. Seorang muslim yang mendeskripsikan Islam sebagai kumpulan nilai-nilai ideal, maka ia akan segara tersentak ketika menjumpai hukum syara' yang dinyatakan oleh sebagian ahli fiqh sementara pada hukum tersebut tidak terdapat hikmah yang tampak. Maka masalah ini telah melahirkan perkataan: "tidak dapat diterima akal bahwa hukum ini berasal dari Islam", seraya menolak semua dalil dan ijtihad yang ada.

Masalah batasan aurat budak wanita -yang ditolah oleh banyak kalangan- dapat menunjukkan betapa gentingnya poin ini. Hukum yang dikenal luas adalah bahwa aurat budak wanita adalah seperti aurat laki-laki (dimana para ahli fiqh berbeda pendapat apakah di antara pusar sampai lutut ataukah kurang dari itu)! Maka apabila seorang muslim menyangka bahwa -misalnya- pensyariatan hijab bagi wanita semata-mata untuk menutup (aurat) dan untuk menjaga akhlaq, lantas apa yang dapat kita lakukan dengan hukum ini? Mungkin sebagain ulama yang menyibukkan diri dalam menggali "hikmah" di balik hukum syara', yang mana mereka memiliki level ilmu dan kepahaman yang cukup, maka dengan kedudukan ini mereka akan aman dari ketergelinciran. Akan tetapi, sebagian besar kalangan awam yang meyakini adanya "hikmah" di balik setiap hukum syara' tidak memiliki cukup kesadaran dan keterangan mengenai hal yang seperti ini, sehingga mereka tidaklah aman ketika menghadapi kejutan-kejutan semacam ini.

Dan mereka pun tunduk dengan sepenuhnya

Kami telah menjelaskan kesalahan metode ini dalam menerima hukum syara', maka kemudian merupakan keharusan bagi kami untuk menjabarkan metode yang benar dalam menerima hukum-hukum syara'. Allah Ta'ala berfirman,

" "

Maka demi Tuhanmu, (pada hakekatnya) mereka tidak beriman sedemikian sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menjumpai keberatan di dalam diri mereka terhadap apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk dengan sepenuhnya (TQS An Nisa 65).

Dalam ayat ini terdapat penunjukkan yang jelas mengenai urgensi taslim (ketundukkan) kepada semua hukum syara' yang datang dari Nabi saw, atau kepada segala hukum yang dibawa oleh Kitabullah. Dan wajib bagi setiap muslim untuk tunduk kepada hukum syara' selama hukum tersebut datang dari Allah (atas selama diduga kuat bahwa ia datang dari Allah). Dan dalam kondisi seperti ini, wajib agar tidak ada lagi keberatan dalam jiwa seorang muslim untuk menerima hukum tersebut.

Menjadi pendapat yang terkenal di kalangan ulama bahwa kata "Islam" itu berasal dari kata "taslim" (ketundukkan), sebab, seorang muslim adalah orang yang tunduk kepada segala hal yang datang dari Allah Ta'ala. Demikian juga dengan hukum syara', (wajib tundukk kepadanya), karena ia digali dari nash-nash syara' melalui metode yang syar'i, bukan karena sebab yang lain. Wajib bagi setiap muslim untuk tunduk kepada hukum syara' meskipun dalam pandangannya ia terlihat seperti tidak baik, meski sulit baginya untuk menerimanya, dan meski hukum tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. kaidah Syar'iyah yang berlaku di kalangan ahli fiqh mengatakan, "hal yang terpuji adalah yang dipuji oleh syara', hal yang tercela adalah yang dicela oleh syara'". Sehingga, selama sebuah hukum itu merupakan hukum syara', maka ia pastilah terpuji, dan pasti di balik hukum tersebut terdapat hikmah yang diketahui oleh Allah Ta'ala, baik hikmah itu padat dijangkau oleh akal maupun tidak, baik Allah menginformasikan hikmah itu kepada kita maupun tidak. Dengan cara seperti inilah hukum itu dipandang. Maka jika hukum tersebut benar-benar terdapat di dalam Al Qur'anul Karim atau di dalam sunnah Rasul saw maka penerapannya sepenuhnya akan mengandung kebaikan, namun jika tidak terdapat (dalam Al Qur'an dan Sunnah) maka tidaklah demikian. Dengan demikian, syariat itu menjadi standar dalam menetapkan mana yang terpuji dan mana yang tercela, bukanlah fakta dan kesesuaian hukum dengan fakta tersebut.

Oleh karena itu, tidak ada tempat bagi akal dalam penentuan hukum-hukum syara', kecuali dalam batas kadar yang layak baginya, yakni sekedar untuk memahami hukum syara' itu. Secara mutlak tidak dibolehkan untuk menjadikan akal sebagai hakim dalam menilai hukum syara'. Ini berbeda dengan aqidah. (dalam aqidah) yang dituntut dari setiap muslim adalah menggunakan akalnya pada realitas yang ada untuk memahami keberadaan Allah dan kenabian Muhammad saw. Atas dasar itu, apabila aqidah itu didasari oleh akal, maka berbeda halnya dengan syariah, jalan satu-satunya untuk mengenali syariah adalah naql (riwayat) yang diambil dari Muhammad saw. [ttx]

Diterjemahkan dari Majalah Al Wa'ie nomor 7