APRIANSAH_12010069

62
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PERAWAT TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG PERAWATAN BEDAH RSUD PROPINSI SULAWESI TENGGARA DI SUSUN OLEH : NAMA : APRIANSAH TINGKAT : IVA S1 KEPERAWATAN NIM : 12010069 STIKES YAYASAN HUSADA MANDIRI POSO

description

ANCA

Transcript of APRIANSAH_12010069

Page 1: APRIANSAH_12010069

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PERAWAT TERHADAP TINDAKAN

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG PERAWATAN BEDAH RSUD

PROPINSI SULAWESI TENGGARA

DI SUSUN OLEH :

NAMA : APRIANSAH

TINGKAT : IVA S1 KEPERAWATAN

NIM : 12010069

STIKES YAYASAN HUSADA MANDIRI POSO

TAHUN 2016

Page 2: APRIANSAH_12010069

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayananan

medis dan asuhan keperawatan untuk semua jenis penyakit termasuk penyakit infeksi.

Menghadapi era globalisasi kualitas sumber daya manusia dan mutu pelayanan di rumah

sakit perlu ditingkatkan agar maju, mandiri dan sejahtera sehingga dapat memacu

peningkatkan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang lebih baik

(Darmadi, 2008).

Asuhan keperawatan professional, dibutuhkan adanya tenaga perawat yang memiliki

pengetahuan, kemampuan teknis dan non teknis yang memadai, klasifikasi serta jumlahnya.

Tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam peningkatan mutu serta

kualitas pelayanan kesehatan jasa di rumah sakit.

Setiap pasien di rumah sakit dalam menerima perawatan, dari beberapa individu

dimana salah satu diantaranya mungkin akan berperan sebagai pengangkut kuman antar

penderita atau mungkin antar perawat dengan pasien sehingga sangat sulit mencegah

terjadi infeksi silang (cross infection). Disamping itu, pasien yang dirawat dirumah sakit

mengalami kepekaan terhadap berbagai jenis infeksi karena keadaan penyakit yang

dideritanya, maupun karena pengobatan dan perawatan yang didapatkan, mengalami

keterpaparan terhadap sumber darah, jarum, kateter serta berbagai alat, sekalipun alat-alat

tersebut telah dibebas kumankan tetapi dalam penggunaannya dapat menyebabkan

timbulnya infeksi nosokomial.

Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah menjadi tolak ukur mutu pelayanan

rumah sakit. Izin operasinal rumah sakit bisa dicabut kerena tingginya angka kejadian infeksi

nosokomial (Darmadi, 2008).

2

Page 3: APRIANSAH_12010069

Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka

kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit sehingga menjadi

masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.

Kejadian infeksi nosokomial berakibat mutu pelayanan asuhan keperawatan tidak

optimal. Untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial diperlukan

tindakan yang tepat. Beberapa tindakan pencegahan tersebut antara lain mencuci tangan

untuk mencegah infeksi silang, dan pemakaian alat pelindung untuk mencegah kontak

darah dan cairan lainnya.

Cara untuk menekan resiko infeksi nosokomial adalah kembali kepada tehnik sepsis

dan antisepsis serta perbaikan sikap termasuk pengetahuan personil rumah sakit,

diantaranya adalah perawat yang merupakan tenaga paling lama kontak dengan pasien.

Upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit melibatkan berbagai unsur,

mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri khususnya tenaga

keperawatan sebagai pelaksana langsung dalam pencegahan infeksi. Salah satu strategi

yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah

peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Kewaspadaan Universal

(Universal Precautions) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan

darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi

(infeksi.com.RSPI-SS,2007).

Perawat harus memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang cukup, hal tersebut

penting dalam membentuk tindakan perawat dalam memberikan pelayanan pada

pasien,terutama dalam hal tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Penelitian terbukti

bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

didasari pengetahuan, hal tersebut akan mempengaruhi perilaku perawat dalam upaya

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Notoatmojo, 2007).

Peningkatan pendidikan dan pengetahuan serta pengalaman kerja melalui pelatihan

kesehatan bagi tenaga perawat dan tenaga kesehatan lain, merupakan salah satu bukti 3

Page 4: APRIANSAH_12010069

upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. Pencegahan

penularan infeksi silang cross infection baik dari pasien ke petugas atau sebaliknya, maka

perlu mencuci tangan, pemakaian sarung tangan, dan alat pelindung lain serta

menggunakan alat steril pada saat melakukan tindakan pada pasien.

RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu rumah sakit yang

memberian pelayanan kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari rumah sakit

pasien yang mengalami phlebitis yaitu 31,08% dan infeksi luka operasi 3,22% untuk periode

Januari – Desember 2008.

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti pada saat pengumpulan data awal

tanggal 22– 23 September 2009 bahwa selama periode Januari – Desember 2008 jumlah

kunjungan pasien rawat inap bedah sebanyak 1.516 orang, jumlah tempat tidur 38 buah.

Sedangkan jumlah tenaga perawat yang bertugas diruang perawatan bedah sebanyak 32

orang. Pengamatan peneliti selama pengumpulan data di ruangan perawatan bedah dengan

melihat status penderita secara acak temukan ada 10 status insiden plebitis yang di

dokumentasikan, plebitis merupakan salah satu kejadian infeksi nosokomial. Kondisi

tersebut menjelaskan diperlukan upaya perawat dalam hal pencegahan infeksi insokomial.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan

infeksi nosokomial diruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakag tersebut diatas memberikan dasar bagi

peneliti untuk merumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Apakah ada hubungan

pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi

nosokomial di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara?”

4

Page 5: APRIANSAH_12010069

C. Tujuan Penelitian.

1. Tujuan Umum.

Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap pencegaan

infeksi nosokomial diruang perawatan bedah.

2. Tujuan Khusus.

a. Diketahuinya tingkat pengetahuan perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi

nosokomial.

b. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku perawat terhadap

tindakan pencegahan infeksi nosokomial.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber masukan dan informasi bagi rumah

sakit untuk tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

2. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan

bagi peneliti berikutnya.

3. Bagi Peneliti sendiri merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk menambah

wawasan dan ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang dapat dilakukan dalam tindakan

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Nosokomial 5

Page 6: APRIANSAH_12010069

1. Pengertian.

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani dari kata nosos yang artinya

penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk

merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi

yang diperoleh atau yang terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi di rumah sakit atau di kenal dengan infeksi Nosokomial adalah infeksi

yang didapat oleh penderita ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di

rumah sakit, pada waktu penderita mulai dirawat tidak didapatkan tanda-tanda klinik

dari infeksi tersebut, tidak dalam masa inkubasi suatu penyakit infeksi dan infeksi timbul

sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak pasien mulai perawatan di rumah sakit.

Infeksi nosokomial tidak saja mengenai penderita yang di rawat, tetapi juga dapat

mengenai setiap petugas rumah sakit (Darmadi, 2008). Definisi menurut WHO,

infeksi nosokomial adalah semua kasus kelainan klinik yang disebabkan oleh

mikroorganisme yang menyerang pasien rawat inap maupun rawat jalan, petugas

rumah sakit, dan mungkin juga pengunjung pasien.

Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang didapat di rumah sakit apabila: pada

saat masuk rumah sakit tidak ada tanda / gejala atau

tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut, terjadi 3 kali 24 jam setelah pasien dirawat

di rumah sakit atau dapat terjadi infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh

mikroorganisme yang berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau

mikroorganisme penyebabnya sama tetapi lokasi infeksi yang berbeda. (Depkes RI,

2001).

Menurut Sjamsuhidajat infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada

masa keperawatan pasien di rumah sakit.Infeksi dapat di tegakkan apabila infeksi terjadi

ketika pasien lebih dari 3 hari di rumah sakit.

6

Page 7: APRIANSAH_12010069

Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang

terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat

terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airborne, dan dengan kontak

langsung.(http//www infeksi.com).

Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit,

juga dapat terjadi pada para petugas rumah sakit tersebut. Berbagai prosedur

penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari

pasien.

Infeksi pada petugas juga berpengaruh pada waktu pelayanan rumah sakit

karena petugas menjadi sakit dan mempengaruhi produktivitas kerjanya sehingga tidak

dapat melayani pasien. Mengingat hal–hal tersebut diatas maka sudah waktunya untuk

melakukan tindakan-tindakan penanggulangan infeksi nosokomial di

tempat pelayanan kesehatan pada umumnya dan di rumah sakit pada

khususnya (Bonang, 2003 ).

2. Etiologi

Penyebab mikroba patogen yang beraneka ragam, baik dalam bentuk bakteri,

virus, jamur, atau protozoa. Mikroba patogen sebagai penyebab terbanyak adalah jenis

bakteri (62 %) dimana gram negatif 41 %, gram positif 15 % dan gram negatif bersama

positif 6 %. Sedangkan karena jamur 9 %, virus 8 % dan mikrobakterium 4 % (Struelens

1999).

3. Rantai Penularan

Rantai penularan infeksi nosokomial dipengaruhi oleh 3 faktor penting, yaitu :

a. Mikroba

Mikroba penyebab yang terbanyak adalah bakteri dan virus, sedang fungi dan parasit

jarang menyebabkan infeksi nosokomial. Faktor dari pihak mikroba penyebab yang 7

Page 8: APRIANSAH_12010069

mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah patogenisiti, dosis infektif dari

mikroba, sifat spesifik dari mikroba, hasil metabolisme mikroba, reservoir dan sumber

infeksi.

b. Penularan

Penularan infeksi nosokomial terjadi melalui satu atau lebih rute penularan, yaitu

lewat kontak, common vehicle, udara (airborne), atau melalui vector. Dalam garis

besarnya, mekanisme transmisi mikroba pathogen ke penjamu yang rentan melalui

dua cara:

1) Transmisi Langsung (direct transminssion).

Penuaran langsung oleh mikroba pathogen kepintu masuk yang sesuai dari

penjamu, seperti sentuhan, gigitan, ciuman atau adanya droplet nuclei saat

bersin, batuk, berbicara, atau saat transfuse darah dengan darah yang

terkontaminasi mikroba pathogen.

2) Transmisi tidak langsung (indirect transmission)

Penularan mikroba pathogen yang memerlukan adanya media perantara, baik

berupa benda/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vector.

3) Vehicle- borne

Sebagai media perantara penularan adalah benda/bahan yang

terkontaminasi seperti instrument bedah/kebidanan, peralatan makan dan

minum,peralatan infus/transfusi darah, peralatan laboratorium, dan lain-lain.

4) Vektor-borne

Sebagai media perantara penularan adalah vector (serangga) yang

memindahkan mikroba pathogen ke penjamu baik secara mekanis dan biologis.

5) Food-borne

Makanan dan minuman adalah media yang cukup efektif untuk menyebarnya

mikroba pathogen ke penjamu, yaitu melalui pintu masuk saluran pencernaan

6) Water-borne8

Page 9: APRIANSAH_12010069

Tersedianya air bersih baik secara kualitatif maupun kuantitatif, diharapkan

bebas dari mikroba pathogen sehingga aman untuk dikonsumsi, jika tidak

akan menjadi media perantara menyebarkan mikroba pathogen ke penjamu,

melalui pintu masuk saluran cerna maupun melalui pintu masuk yang lain.

7) Air-Borne

Udara sangat mutlak diperlukan oleh setiap orang, namun udara yang

terkontaminasi oleh mikroba pathogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba

pathogen dalam udara masuk ke saluran pernapasan penjamu dalam bentuk

droplet nuclei yang dikeluarkan penderita (reservoir) saat batuk atau bersih,

bicara atau bernapas melalui hidung dan mulut. Sedangkan dust merupakan

partikel yang dapat terbang bersama debu tanah.

c. Penjamu/calon penderita

Terjadinya infeksi pada penjamu (korban) setelah tertular, juga ditentukan oleh

tempat masuknya mikroba patogen ke dalam tubuh penjamu (port’d entry) dan

pertahanan tubuh (kekebalan) penjamu. Port’d entry antara lain kulit dan selaput

mukosa, misalnya mukosa mata, saluran nafas, saluran gastrointestinal, saluran

kelamin, dan saluran kemih.

d. Lingkungan

Berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar badah

dan kamar bersalin. Sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit,

dan tempat pembuangan sampah/pengolahan limbah rumah sakit.

Lingkungan tempat pelayanan kesehatan juga merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi mata rantai infeksi. Untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial

maka lingkungan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan

mikroba untuk dapat hidup dan berkembang biak di tempat tersebut.

4. Faktor Resiko.

9

Page 10: APRIANSAH_12010069

Semua jenis tindakan medis yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan

terapi serta prosedur dan tindakan keperawatan tidak akan terlepas dari resiko terjadi

infeksi dari yang ringan sampai yang berat. Beberapa prosedur tindakan yang beresiko

antara lain; pemberian suntikkan IM/IV, infus atau transfusi darah, kateterisasi urine,

pemasangan nasogstric tube, kuretase, pertolongan persalinan normal, dan tindakan

operatif.

5. Pencegahan.

Pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit merupakan tanggung jawab

seluruh petugas kesehatan di rumah sakit. Inti dari tindakan pencegahan infeksi

nosokomial adalah pada masalah perkembangbiakan mikroba patogen pada reservoir

serta penyebarannya dari reservoir ke penjamu (pasien yang sedang dalam proses

asuhan keperawatan). Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan

perawat/petugas ruangan perawatan antara lain:

a. Menjaga agar ruangan/bangsal perawatan terjaga kebersihannya, serta

memperhatikan ventilasi dan pencahayaannya.

b. Peralatan medis dan non medis harus siap pakai dalam keadaan bersih dan steriil.

c. Mencegah perilaku atau cara kerja petugas/perawat yang tidak meperhatikan

kebesihan atau tindakan tidak aseptik.

d. Mengenal diagnosis penyakit pasien terutama pasien yang rawan terjangkit infeksi

nosokomial.

e. Mengenal tindak-tindakan invasif yang berpotensi dapat menimbulkan infeksi

nosokomial.

f. Mencegah terjadinya infeksi silang (cross infection) diantara pasien dengan pasien,

serta antara pertugas/perawat dengan pasien.

6. Prosedur tetap pencegahan infeksi nosokomial.10

Page 11: APRIANSAH_12010069

a. Mencuci tangan

Mencuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam

mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk

menyentuh pasien, memegang alat perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan

pribadi seperti untuk makan (Perry, 2005).

Larutan antiseptik atau juga disebut antimikroba topikal adalah produk yang

dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainya untuk menghambat aktivitas

mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri

pada kulit. Sementara desinfektan adalah bahan kimia yang ditujukan untuk

membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati seperti peralatan, instrumen

meja atau lantai (Perry, 2005).

Jenis bahan pencuci tangan ada dua yaitu :

1) Sabun, cleanser dan deterjen

Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat pertumbuhan dan

mengurangi jumlah mikroorganisme.

2) Larutan antispetik

Jenis ini di gunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat :

a) Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi seperti dalam unit

perawatan khusus dan ruang gawat darurat.

b) Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti

kateter.

c) Sebelum memasang peralatan seperti NGT.

d) Cuci tangan bedah.

e) Sebelum memegang bayi.

f) Personal ruang operasi sebelum merawat pasien.

g) Sebelum dan selama perawatan pasien immunocompromised.

11

Page 12: APRIANSAH_12010069

Cuci tangan medis dibagi menjadi tiga jenis (Depkes RI,2001) :

1) Cuci tangan sosial : untuk menghilangkan kotoran dan mkikroorganisme transien

dari tangan, dilakukan dengan sabun atau detergen paling tidak selama 10-15

detik.

2) Cuci tangan prosedural : untuk menghilangkan atau mematikan mikroorganisme

transien, disebut juga antiseptik tangan dilakukan dengan sabun antiseptik atau

alkohol selama 10-15 detik.

3) Cuci tangan bedah : proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme

transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan

antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak selama 120 detik.

Hal-hal pokok yang perlu diperhatikan saat mencuci tangan medis :

1) Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelengan tangan , untuk cuci

tangan bedah harus dilakaukan hingga siku.

2) Idealnya menggunakan air yang mengalir,air hangat, air yang tidak tercemar,

sabun yang bersih, kikir kuku dan handuk/tissue tebal bersih dan kering.

3) Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan antiseptik dan

pengeringan.

4) Menggunakan larutan antiseptik atau subtitusinya untuk membersihkan dan

menghilangkan kontaminasi.

Mencuci tangan yang benar :

1) Lepaskan cincin dan tidak memakai cat kuku.

2) Menggunakan air bersih dan mengalir..

3) Pakai sabun atau desinfektan.

4) Gosok di seluruh tangan, jari-jari dan kuku.

5) Keringkan dengan lap bersih dan kering karena tangan yang basah dapat

menumbuhkan dan memindahkan kuman.

b. Penggunaan sarung tangan12

Page 13: APRIANSAH_12010069

Sarung tangan telah menjadi barier pelindung yang penting dalam perawatan

kesehatan sejak lama. Sejak pengenalan secara umum maka sarung tangan

merupakan barier palindung yang efektif terhadap mikroflora kulit yang

berhubungan dengan perawatan pasien (Smeltzer.S, 2002).

Ada dua jenis sarung tangan yaitu (Depkes, 2001):

1) Sarung tangan steril yaitu dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang

dianggap asepsis bedah.

2) Sarung tanagan non steril yaitu dipakai pada prosedur-prosedur medis lainnya.

Pemakaian sarung tangan non steril :

1) Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan

darah, cairan tubuh, lapisan mukosa kulit atau pasien yang luka dan juga

memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah

atau cairan tubuh.

2) Sarung tangan juga harus dipakai bila seseorang tenaga medis memiliki luka

terbuka pada tangannya.

3) Sarung tangan dipakai bila merawat pasien yang berbeda dan setelah

bersentuhan dengan eksresi dan sekresi pasien.

4) Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung tangan

bukan pengganti cuci tangan.

Pemakaian sarung tangan steril :

1) Dipakai dalam prosedur pembedahan besar maupun kecil.

2) Dipakai sebelum melaksanakan tindakan seperti pemasangan kateter,

penggantian pembalut dan lain-lain.

3) Dipakai dalam melakukan perawatan terhadap pasien yang immunosuppressed

atau dirawat di ruang isolasi ketat.

c. Penggunaan masker

13

Page 14: APRIANSAH_12010069

Masker dipakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang

dapat di tularkan melalui udara, droplet atau pada saat kemungkinan terkena

cipratan cairaan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang

bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar atau

merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui

udara atau droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang

penularannya melalui udara terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin

dan bayi.

Masker yang baik menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai

jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam menjaga transmisi

mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet. Seharunya masker diganti bila

akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantung dileher lalu

dipakai kembali (Depkes RI, 2001).

d. Pemakaian gaun.

Pada prinsipnya ada dua macam gaun yaitu yang steril dan non steril. Gaun

steril biasaanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat

melakukan pembedahan, sedangan gaun non steril dipakai di berbagai unit beresiko

tinggi misalnya oleh pengunjung kamar bersalin, ICU, kamar operasi, rawat darurat

dan kamar bayi (Depkes RI, 2001).

e. Penanganan instrumen medis

Adapun penanganan instrumen medis adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001) :

1) Dekontaminansi

Tahapan ini sangat penting dilakukan untuk tujuan mencegah penyebaran infeksi

dari instrumen yang terkontaminasi (darah/mukosa) dan juga bertujuan

melindungi tenaga medis yang akan melakukan pembersihan instrumen. Pada 14

Page 15: APRIANSAH_12010069

tahapan ini diperlukan sistem pembunuhan kuman yang cepat dan sesuai

kebutuhan. Bahan kimia yang mengandung Chlorine bebas (seperti NaDCC atau

NaOCL) cepat membunuh kuman yang berbahaya seperti virus Hepatitis B atau HIV

dengan perendaman sekitar 15 menit.

2) Membersihkan peralatan (Pre Cleaning)

Sebelum dilakukan sterilisasi atau desinfeksi, perlu dilakukan pembersihan (pre

cleaning) untuk membuang semua kotoran benda asing yang menempel pada

instrumen. Tanpa pembersihan yang benar, keefektifan desinfeksi atau sterilisasi

akan berkurang. Pre cleaning dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mekanis

atau kimiawi. Secara mekanis dapat digunakan sikat, air dan mungkin sedikit

sabun yang tidak banyak mengandung busa. Sedangkan secara kimiawi dengan

bahan enzimatis seperti enzym protease untuk merontokkan darah atau mukosa

juga menjadi pilihan.

3) Desinfeksi

Desinfeksi adalah menghilangkan jumlah mikroorganisme sampai jumlah

tertentu. Berdasar kekuatan desinfektan membunuh kuman, desinfeksi dapat

dibagi tiga yaitu desinfeksi tingkat tinggi (Glutaraldehyde 2 %), tingkat menengah

(chlorine bebas) dan tingkat rendah (air panas).

4) Sterilisasi

Sterilisasi adalah menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk spora.

Secara umum sterilisasi ada dua cara yaitu :

a) Sterilisasi uap panas (otoklaf).

b) Sterilisasi panas (oven).

B. Tinjauan Tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Perawat.

1. Pendidikan

Pendidikan menurut ensklopedia (1982) secara umum dapat diartikan sebagai

perbuatan. Teori Gibson (1994) yang menyatakan bahwa, tingkat pendidikan yang lebih 15

Page 16: APRIANSAH_12010069

tinggi pada umumnya menyebabkan seseorang lebih mampu menganalisa. Menurut Piaget (J.

W. Luhulima, 2001) bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,

artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologi yaitu perkembangan sistem

saraf. Dengan makin bertambahnya usia seseorang maka makin komplekslah susunan

sel sarafnya dan makin meningkat pula pengetahuannya.

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo,

2007).

Pendidikan mempengaruhi proses belajar menurut I.B Mantra (1994) makin tinggi

pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dengan

pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik

dari orang lain maupun media massa, makin banyak informasi yang masuk semakin

banyak pula pengetahuan yang didapat tentang ilmu kesehatan atau ilmu keperawatan.

2. Pengetahuan

Pengertian pengetahuan adalah sebagai ingatan atas berbagai bahan yang telah

dipelajari dan ini mungkin menyangkut mengingat kembali sekumpulan bahan yang luas

dari hal-hal yang terpenuhi dari teori. Tetapi apa yang diberikan ialah menggunakan

ingatan akan keterangan yang sesuai, akibatnya dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan pengetahuan adalah apa yang telah diketahui dan mampu diingat

oleh setiap orang setelah mengalami, menyaksikan, mengamati atau belajar sejak ia

lahir hingga dewasa ( Ngatimin, 2000).

Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).

Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoadmodjo 2007).16

Page 17: APRIANSAH_12010069

Menurut Rogers, (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru terjadi proses yang berurutan yakni :

a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

lebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interst (merasa tertarik) terhadap stimulus (objek).

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya.

d. Trial yakni objek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan prilaku baru/adopsi prilaku melalui proses seperti ini yaitu

didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka prilaku tersebut akan

bersifat langgeng. Sebaliknya apabila prilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Menurut Bloom pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai

enam tingkatan yaitu:

a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat kembali dan ini merupakan tingkatan

pengetahuan yang paling rendah dengan cara menyebutkan, mendefinisikan dan

menyatukan.

b. Memahami (comprehention) yaitu suatu kemampuan untum menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui secara benar tentang obyek yang diketahui dan

menginterpretasikan.

c. Aplikasi (aplication) yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan dan menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

d. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

obyek ke dalam komponen-komponennya.17

Page 18: APRIANSAH_12010069

e. Sintesis yaitu kemampuan untuk menghubungkan atau menyusun formulasi-formulasi

yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi penilaian terhadap

obyek (Notoadmodjo, 2007).

Pengetahuan adalah hasil konstruksi (bentukan) atau hasil seseorang yang

belajar. Belajar adalah mencari dan membentuk pengetahuan yang didasarkan atas

sense (indera), kekuatan rasio,intuitif dan otoritatif ( Ediyono,2005).

Pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam tindakan

pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit meliputi; definisi, penyebab, cara

penyebaran, sterilisasi dan teknik antiseptik dan desinfektan, serta aspek pencegahan

infeksi nosokomial.

3. Lama Bekerja

Semakin lama seorang berkarya dalam suatu organisasi maka semakin tinggi

pula produktivitasnya. Juga dijelaskan bahwa ada dua perbedaan antara tenaga kerja

yang masih baru dengan tenaga kerja yang masa kerjanya lama atau berpengalaman

dalam menghasilkan produk, makin lama masa kerja seseorang maka makin

berpengalaman dan makin tinggi produktifitasnya ( Siagian ,1999).

Infeksi pada petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan rumah sakit

karena petugas menjadi sakit dan mempengaruhi produktivitas kerjanya sehingga

tidak dapat melayani pasien. Mengingat hal-hal tersebut diatas maka sudah

waktunya untuk melakukan tindakan-tindakan penanggulangan infeksi nosokomial

ditempat-tempat pelaynan kesehatan pada umumnya dan di rumah sakit pada

khususnya.(http://www.infeksi.com /data/new sin.yml).

4. Perilaku

18

Page 19: APRIANSAH_12010069

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara

langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas

dari pada manusia itu sendiri, oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang

sangat luas. Perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Herediter

merupakan konsep dasar atau untuk perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Sedangkan

lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut

(Notoatmodjo, 2007).

Selain itu ada beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan faktor

penentu yang dapat mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan, antara lain :

1. Teori Lawrence Green.

Green mencoba mengenalisa parilaku manusia, berangkat dari tingkat kesehatan

bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu

faktor didalam perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior

causes). Faktor perilaku tersebut dipengaruhi oleh :

a) Faktor predisposisi (predisposing fakctor), yang terwujud dalam pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b) Faktor pendukung (Enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan misalnya

Puskesmas, obat-obatan, alat-alat kesehatan, steril dan sebagainya.

c) Faktor pendorong (Reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas yang lain yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

2. Teori Snehandu B. Kar.

Kar mencoba menganalisa perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku itu

merupakan fungsi dari :

19

Page 20: APRIANSAH_12010069

a) Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan

kesehatan (behavior intention).

b) Dukungan sosial dari masyarakat sekitaraya (social support).

c) Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan

(accessebility of information).

d) Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau

keputusan (personal autonomy).

e) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action

situation).

3. Teori WHO ( World Health Organization)

WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu

adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan (throughts and feeling)

yaitu dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian-panilaian

seseorang terhadap obyek (obyek kesehatan) :

a) Pengetahuan dipengaruhi dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.

b) Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, nenek. Seorang menarik

kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih

dahulu.

c) Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap obyek. Sikap

sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.

Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau obyek lain.

Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu

tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain : sikap akan

terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti

atau tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang lain. Sikap diikuti

atau tidak diikuti suatu tindakan berdasarkan pada banyaknya atau sedikitnya

pengalaman seseorang.20

Page 21: APRIANSAH_12010069

d) Orang penting sebagai reverensi, apabila seseorang itu penting untuknya maka

apa yang ia katakan atau perbuat cendrung untuk dicontoh.

Kemudian Katz (1960) yang dikutip oleh Notoatmodjo S, (2007). Juga mengatakan

bahwa perilaku di latar belakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan, maka ia

berasumsi bahwa:

1. Perilaku mempunyai instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberi pelayanan

terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap obyek

demi pemenuhan kebutuhan., sebaliknya bila obyek tidak memenuhi kebutuhan maka ia

akan berperilaku negatif

2. Perilaku berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam

menghadapi lingkungan, artinya dengan perilakunya, manusia dapat melindungi

ancaman-ancaman yang dapat datang dari luar.

3. Perilaku berfungsi sebagai penerima obyek dan pemberi arti. Dalam perannya dengan

tindakan itu seorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan menurut

kebutuhan.

4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seorang dalam menjawab suatu

situasi. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia perilaku itu tampak terus-menerus

dan berubah secara relatif.

Sedangkan menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana

sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam

masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan

ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

2. Perubahan terencana (planned change), bahwa perubahan ini terjadi karena

direncanakan sendiri oleh subyek.

21

Page 22: APRIANSAH_12010069

3. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change), hal ini karena pada setiap orang

mempunyai kesediaan untuk berubah (Readiness to change) yang berbeda-beda

meskipun kondisinya sama.

Strategi yang digunakan untuk merubah perilaku tersebut, juga dikelompokkan

menjadi tiga yaitu (Notoatmojo.S, 2007):

1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan dalam hal ini perubahan perilaku

dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga mau melakukan/berperilaku

seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-

peraturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan

perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu dapat berlangsung

lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum disadari oleh

kesadaran sendiri.

2. Dengan memberikan informasi-infomasi sehingga akan meningkatkan pengetahuan

seseorang/masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan itu akan menimbulkan

kesadaran, dan akhirnya akan merubah perilaku orang sesuai dengan pengetahuan

yang dimiliki. Hasil dari perbuatan perilaku dengan cara ini memakan waktu cukup

lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langsung karena dasar pada

kesadaran mereka sendiri (bukan paksaan).

3. Dengan diskusi dan partisipasi. Cara ini sebagai peningkatan cara yang kedua diatas

dimana didalam memberikan informasi-informasi tentang kesehatan tidak bersifat

searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti masyarakat tidak hanya pasif menerima

informasi tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi

yang diterimanya.

5. Ketersediaan Sarana.

Ketersedian sarana merupakan hal yang penting dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan khususnya keperawatan. Peralatan kesehatan untuk pelayanan 22

Page 23: APRIANSAH_12010069

keperawatan merupakan semua bentuk alat kesehatan atau peralatan lain yang

dipergunakan untuk melaksanakan asuhan keperawatan dalam rangka menunjang

pelaksanaan tugas-tugas pelayanan.

Dalam pengadaan peralatan kesehatan maka perlu di pertimbangan faktor-faktor

sebagai berikut (Depkes, 2001):

1. Kebijakan rumah sakit yang menyangkut pengadaan peralatan keperawatan serta

prioritas yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

2. Tingkat hunian Bed Occupation Rate (BOR) dan Turn Over Interval (TIO) yang

tertinggi.

3. Pola penyakit dan jenis pelayanan.

4. Sistem pemeliharaan peralatan keperawatan.

5. Adanya sumber daya manusia yang mempeunyai pengetahuan dalam pengelolaan

peralatan keperawatan.

6. Pemilihan jenis peralatan keperawatan yang mempertimbangkan klien, petugas dan

institusi.

Adapun contoh jenis peralatan dalam keperawatan untuk ruangan kapasitas 30

tempat tidur sebagai berikut (Depkes, 2001) :

a.Alat-alat kesehatan

Nama Barang

Ratio

Pasien : Alat

23

Page 24: APRIANSAH_12010069

- Tensi meter

- Stetoskop

- Sterilisator

- Gunting verband

- Korentang

- Masker O2

- Termometer

- Sarung tangan

- Bahan-bahan desinfektan

2 / ruangan

2 / ruangan

1 / ruangan

2 / ruangan

2 / runagan

2 / ruangan

2 / rungan

1 : 1-2

Sesuai kebutuhan

b. Alat-alat tenun :

Nama Barang Ratiao

Pasien : Alat

- Gaun pelindung

- Masker O 2

- Handuk

- Waslap

- Mitella

- Seprei

Sesuai kebutuhan.

1 : 1/2

1 : 3

1 : 5

1 : 3

1 : 5

24

Page 25: APRIANSAH_12010069

- Selimut besar

- Selimut anak

1 : 5

1 : 6

c. Alat-alat rumah tangga

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Variabel Penelitian

1. Identifikasi variabel25

Nama Barang Rasio

Pasien : Alat

- Wasatafel lengkap dengan kran

air

- Kursi roda

- Meja pasien

- Tempat tidur pasien

- Troly

- Waskom mandi

- Tempat sampah

1 / ruangan

2-3 ruangan

1 : 1

1 : 1

1 : 1

8 – 12 / ruangan

1: 1

Page 26: APRIANSAH_12010069

a. Variabel independen

Variabel independen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat

tentang infeksi nosokomial.

b. Variabel dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku perawat terhadap tindakan

pencegahan infeksi nosokomial.

c. Variabel moderator pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan lama kerja

perawat.

2. Definisi Operasional :

a. Pengetahuan

Pengetahuan yang di maksud peneliti dalam penelitian ini adalah segala sesuatu

yang diketahui perawat tentang infeksi nosokomial di ukur dengan kuesioner yang

terdiri dari 20 pertanyaan yang menggunakan skala Guttman, apabila benar nilai 1

dan salah nilai 0 mencakup : pengertian infeksi nosokomial, cara penularan infeksi

nosokomial, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial,

penyebab infeksi nosokomial, prosedur tetap pencegahan infeksi nosokomial dan

manfaat pencegahan infeksi nosokomial.

Tingkat pengetahuan dinyatakan dalam presentase skor pada skor total

Kriteria objektif :

Pengetahuan baik : skor ≥ 11

Pengetahuan kurang : skor < 11

b. Perilaku

Perilaku yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah usaha atau tindakan

perawat terhadap pencegahan infeksi nosokomial yang diukur dengan lembaran

observasi yang terdiri dari 10 langkah item pelaksanaan tindakan keperawatan

sehari-hari yang akan diobservasi sebanyak 3 kali dengan menggunakan skala 26

Page 27: APRIANSAH_12010069

Guttman yang apabila melakukan nilai 1 dan tidak melakukan nilai 0 yang mencakup:

mencuci tangan sesuai dengan prosedur, menggunakan sarung tangan sesuai

dengan prosedur, tindakan invasif keperawatan, penempatan sampah dan

penanganan instrumen medis.

Perilaku dinyatakan dalam presentase skor pada skor total :

Kriteria Objektif:

Perilaku baik : skor ≥ 15

Perilaku kurang : skor < 15

c. Variabel Moderator

Tingkat pendidikan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah pendidikan

formal yang dimiliki perawat yaitu mulai dari tingkat sekolah menengah (SPK) sampai

tingkat sarjana keperawatan/Ners. Sedangkan lama kerja adalah rentang waktu yang

telah dilalui oleh perawat selama bekerja di ruang perawatan rumah sakit.

B. Kerangka Konsep Penelitian

Dalam penelitian ini, akan mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku

perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Variabel independen meliputi :

pengetahuan, variabel dependen : perilaku pencegahan infeksi nosokomial dan variable

kendali : sarana/peralatan dan lingkungan. Keseluruhan variabel tersebut dapat

digambarkan dalam suatu bagan seperti yang ada dibawah ini :

Variabel Independen : Variabel Dependen :

27

Perilaku pencegahan infeksi Nosokomial

Tingkat Pengetahuan

Page 28: APRIANSAH_12010069

Variabel Moderator

Keterangan:

Variabel yang diteliti

BAB IV

METODE PENELITIAN

B. Rancangan Penelitian

28

Tingkat pendidikan

Lama Kerja

Page 29: APRIANSAH_12010069

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan dan tujuan penelitian maka penelitian ini

menggunakan desain penelitian 0bsevasional dengan pendekatan cross sectional study

yaitu jenis penelitian yang menekankan pengukuran/observasi variabel independen dan

dependen dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan ini melihat atau

mengungkapkan hubungan (korelatif) antara pengetahuan dengan perilaku perawat

terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan bedah RSUD.

Propinsi Sulawesi Tenggara.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat : Penelitian ini dilaksanakan di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi

Sulawesi Tenggara.

2. Waktu : Penelitian ini dilakukan tanggal 11 november - 24 november 2009.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana

yang bertugas di ruang perawatan/bangsal bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara

sebanyak 32 orang.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu semua

perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah RSUD. Propinsi Sulawesi Tenggara

yang bersedia menjadi respondan.

Kriteria Inklusi:

a. Semua perawat di ruang perawatan bedah RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara.

b. Perawat yang bersedia menjadi responden.

Kriteria Eksklusi:

a. Perawat yang sedang cuti.29

Page 30: APRIANSAH_12010069

b. Perawat yang tidak melakukan tindakan keperawatan.

c. Perawat yang tidak bersediah menjadi respoden.

E. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah melalui program SPSS 17,0. Sebelum dilakukan analisis

statistika, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan

data menurut karakteristiknya masing-masing, kesinambungan data dan keragaman

data.

2. Koding

Untuk memudahkan pengolahan data maka semua jawaban atau diberi kode menurut

jawaban responden. Pengkodean ini dilakukan dengan pemberian halaman, daftar

pertanyaan, nomor pertanyaan, nomor variabel dan nama variabel.

Setelah data terkumpul dilakukan uji analisis statistik sebagai berikut :

a. Analisis Univariat

Untuk mengetahui dan memperlihatkan distribusi frekuensi serta presentase dari

tiap variabel yang diteliti.

b. Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan dari tiap variabel independen dan variabel dependen yang

diuji dengan uji Chi-Square test dengan tingkat kemaknaan α = 0,05.

F. Etika Penelitian30

Page 31: APRIANSAH_12010069

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak

institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat

penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan

masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Informed consent

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi

kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak

maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi

lembar tersebut diberikan kode.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara

mulai tanggal 11 November sampai 24 November 2009. Jenis penelitian yang digunakan

31

Page 32: APRIANSAH_12010069

adalah observasional dengan pendekatan cross sectional study untuk melihat hubungan

tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan

bedah.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi oleh

responden untuk variabel tingkat pengetahuan sedangkan variabel perilaku perawat

didapatkan dari hasil observasi setiap responden.

Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada uraian berikut:

1. Deskripsi karakteristik responden

Karakteristik responden merupakan ciri khas yang dimiliki responden meliputi umur,

jenis kelamin, pendidikan dan lama kerja. Perawat yang bertugas diruang perawatan

bedah yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 30 responden,

sebagian besar berumur 26-30 tahun yaitu sebanyak 13 orang atau 43,3 %, berdasarkan

jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan yaitu 23 orang atau 76,7 %,

berdasarkan pendidikan sebagian besar responden berpendidikan D III Keperawatan

yaitu sebanyak 19 orang atau 63,3 % dan berdasarkan lama kerja sebagian besar

responden dengan masa kerja 1 - 5 tahun yaitu 13 orang atau 43,3 %. Distribusi

frekuensi karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:

Tabel 5.1

Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden

di Ruang Perawatan Bedah RSUD Propinsi SULTRA Tahun 2009

32

Page 33: APRIANSAH_12010069

KARAKTERISTIKn PERSEN

(%)

Umur

21 - 25 tahun 6 16,7

26 - 30 tahun 13 43,3

31 - 35 tahun 7 23,3

36 - 40 tahun 3 10,0

41 - 45 tahun 2 6,7

Jenis Kelamin

Laki-laki 7 23,3

Perempuan 23 76,7

Pendidikan

SPK 6 20,0

D III Keperawatan 19 63,3

S1 Keperawatan /Ners 2 6,7

S1 Kesmas 3 10,033

Page 34: APRIANSAH_12010069

Lama Kerja

1 - 5 tahun 13 43,3

6 - 10 tahun 7 23,3

11-15 tahun 8 26,7

16-20 tahun 1 3,3

21-25 tahun 1 3,3

Jumlah 30 100,0

Sumber : Data Primer, 2009

2. Analisa Univariat.

Analisis objek dalam penelitian yaitu tingkat pendidikan dan perilaku perawat terhadap

pencegahan infeksi nosokomial.

a. Tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial

Tingkat pengetahuan perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah Rumah Sakit

Umum Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi sampel dalam penelitian ini

sebanyak 30 orang , yang terdiri 27 orang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan 3

34

Page 35: APRIANSAH_12010069

orang pengetahuan kurang. Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan

perawat tentang infeksi nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.1 sebagai berikut:

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Perawat

Tentang Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bedah RSUD. Prop. SULTRA

Tahun 2009.

TINGKAT PENGETAHUAN JUMLAH (n) PERSEN (%)

Baik 27 90,0

Kurang 3 10,0

Jumlah 30 100,0

Suber : Data Primer

b. Perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial

Perilaku perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial di ruang perawatan bedah

RSUD Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 18 orang mempunyai perilaku baik dan

12 orang mempunyai perilaku kurang. Distribusi frekuensi perilaku perawat terhadap

tindakan pencegahan infeksi nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.3 sebagai berikut:

Tabel 5.3

35

Page 36: APRIANSAH_12010069

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Terhadap Tindakan

Pencegahan Infeksi Nosokpmial di Ruangan Perawatan Bedah RSUD. Prop.

SULTRA Tahun 2009

PERILAKU JUMLAH (n) PERSEN (%)

Baik 18 60,0

Kurang 12 40,0

Jumlah 30 100,0

3. Analisa Bivariat.

Analisis hubungan dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan

variabel dependen. Uji statistk yang digunakan adalah Chi-Square dengan tingkat

kemaknaan α = 0,05, tetapi tidak memenuhi syarat maka digunakan uji alternatif fisher’s

exact test.

Berdasarkan hasil uji fisher’s exact test bahwa tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi

nosokomial hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 0,054 lebih besar dari nilai α= 0,05 yaitu

dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 9 (75,0 %) responden

yang berperilaku kurang sedangkan 3 (10%) responden yang memiliki pengetahuan

kurang juga memiliki 3 (25%) berperilaku kurang. Distribusi hubungan tingkat

pengetahuan dengan perilaku perawat terhadap tindakan pencegahan infeksi

nosokomial dapat dilihat pada tabel 5.4 sebagai berikut:

36

Page 37: APRIANSAH_12010069

Tabel 5.4

Distribusi Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Perawat Terhadap

Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Perawatan Bedah

RSUD. Prop. SULTRATahun 2009

TINGKAT PENGETAHUAN

PERILAKU PENCEGAHAN

INFEKSI NOSOKOMIAL TOTAL

BAIK KURANG

n % n % n %

Baik 18100,0

%9 75,0% 27 90,0%

Kurang 0 0,0% 3 25,0% 3 10,0%

Jumlah 18 100% 12 100% 30 100%

Sumber : Data Primer 2009 p = 0,054

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dengan membandingkan teori yang ada, maka dapat

dikemukakan bahwa :

1. Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Infeksi Nosokomial

Dari 30 responden terdapat 27 atau 90 % yang berpengetahuan baik dan 3

responden atau 10 % berpengetahuan kurang. Sesuai dengan data demografi bahwa

dari 30 responden 19 (63,3%) berpendidikan D III Keperawatan, 3 (10 %) memiliki

37

Page 38: APRIANSAH_12010069

pendidikan tinggi S1 Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dan 2 (6,7%) memiliki pendidikan

tinggi S1 Keperawatan (Ners). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat

mempengaruhi pengetahuan seseorang.

Menurut Notoatmojo.S, (2007), salah satu faktor yang berperan dalam

pengetahuan adalah tingkat pendidikan baik itu pendidikan formal maupun non formal,

pengetahuan banyak dipengaruhi pendidikan formal sehingga pengetahuan erat

hubungannya dengan pendidikan, untuk itu diharapkan dengan meningkatnya

pendidikan seseorang maka pengetahuan yang dimiliki menjadi meningkat pula.

Pengetahuan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan yang berlangsung seumur hidup. Tanpa pengetahuan seseorang tidak

mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap

masalah yang dihadapai termasuk masalah kesehatan. Sebab pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt

behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoadmodjo 2007).

2. Perilaku Perawat Terhadap Tindakan Pencegahan Infeksi Nosokomial

Dari 30 responden terdapat 18(100 %) menunjukkan perilaku baik dan 9 orang

atau 75 % perilaku kurang dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini di karenakan

bahwa pembentukan perilaku seseorang harus didukung oleh beberapa faktor

diantaranya ketersediaan sarana dan prasarana. Sesuai dengan hasil observasi peneliti

di lokasi penelitian menunjukkan sarana yang kurang lengkap, hal ini bisa

mempengaruhi seseorang untuk tidak berperilaku baik.

38

Page 39: APRIANSAH_12010069

Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmojo. S (2007) mengatakan bahwa

perilaku dibentuk oleh beberapa faktor : (1) faktor predisposisi yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap dan keyakinan, (2) faktor pendukung terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedianya fasilitas atau sarana prasarana, (3) faktor penguat yang diwujudkan

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan lain.

Sejalan dengan teori tersebut diatas dari hasil pengamatan peneliti pada saat

melakukan penelitian ada beberapa hal yang membuat perawat berperilaku kurang

antara lain disebabkan karena kurangnya sarana yang mendukung pelayanan

keperawatan seperti wastafel ada tetapi airnya tidak mengalir dengan baik, tidak ada alat

pengering tangan, lap tangan hanya menggunakan kain kassa, dan sterilisator hanya

satu untuk dua ruangan perawatan bedah. Faktor lain selain karena keterbatasan sarana

adalah kebiasaan-kebiasan jelak dari perawat saat kontak dengan pasien atau

benda/alat infeksius lain sering tidak menggunakan alat proteksi diri seperti sarung

tangan dan masker.

Perilaku kurang baik yang dilihat saat observasi yaitu sebagian besar perawat

tidak mencuci tangan sebelum melakukan tindakan atau kontak dengan pasien, masih

ada perawat tidak menggunakan sarung tangan saat kontak dengan pasien,

penggunaan alat instrument yang berulang sebelum disterilkan pada pasien yang

berbeda dan masih ada perawat yang membuang sampah tidak sesuai tempatnya

antara lain spoit dan botol ampul bekas ditampung di dos bekas hal ini dapat

membahayakan petugas pelayan perawatan yang ada di ruangan.

3. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Perawat Dalam Pencegahan Infeksi

Nosokomial.

39

Page 40: APRIANSAH_12010069

Berdasarkan hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s test tidak

ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku pencegahan infeksi

nosokomial yaitu dari 27 (90%) responden yang berpengetahuan baik terdapat 18 (60 %)

responden menunjukkan perilaku yang baik terhadap pencegahan infeksi nosokomial.

Sesuai dengan observasi peneliti bahwa pada umumnya perawat yang berpengetahuan

baik selalu menunjukkan perilaku yang baik pula. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan (Notoadmodjo 2007). Penelitiannya mengemukakan bahwa betapa

pentingnya pengetahuan seseorang untuk mengubah perilaku, makin tahu sesuatu maka

seseorang akan lebih termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif untuk dirinya.

Tingkat pengetahuan yang baik dimiliki oleh perawat maka makin besar kesadaran dan

motivasinya untuk melakukan hal-hal yang positif terutama dalam bekerja baik untuk

dirinya, pasien, petugas kesehatan lain maupun semua orang yang berada di rumah

sakit termasuk dalam usaha untuk melakukan pencegahan infeksi nosokomial.

Sedangkan dari 27 orang yang mempunyai pengetahuan baik terdapat 12 (40%)

responden yang berperilaku kurang. Hal ini menandakan bahwa tidak selamanya

pengetahuan baik bisa membuat seseorang berperilaku baik. Sesuai dengan hasil

observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa hal ini disebabkan kurangnya sarana

memadai yang mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien sehingga

memerlukan kesiapan serta kesadaran dalam diri perawat untuk berperilaku baik. Dari

hasil wawancara meraka “mengatakan bahwa sebenarnya kami tahu hal itu dapat

menyebabkan infeksi baik pada pasien maupun pada diri sendiri, tetapi karena

keadaannya sudah begini terpaksa kadang kami tidak mencuci tangan, menggunakan

sarung tangan dan masker”. Di samping itu pihak rumah sakit belum melakukan

40

Page 41: APRIANSAH_12010069

pelatihan-pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial bagi

perawat yang ada di ruang perawatan serta kurangnya kesadaran dalam diri perawat

untuk melakukan tindakan proteksi diri serta tindakan pencegahan dan pengendalian

infeksi nosokomial. Hasil observasi didapatkan masih ada yang membuang sampah

infeksius ke tempat sampah non infeksi walaupun sudah disediakan temapt sampah

berlabel Hal ini sesuai dengan teori yang di kemukkan oleh Green bahwa salah satu

yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah sikap dan keyakinan serta ketersediaan

sarana .

Menurut WHO perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

4. Perubahan alamiah (natural change) bahwa perilaku manusia selalu berubah dimana

sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam

masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan

ekonomi, maka anggota manyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

5. Perubahan terencana (planned change), bahwa perubahan ini terjadi karena

direncanakan sendiri oleh subyek.

6. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change), hal ini karena pada setiap orang

mempunyai kesediaan untuk berubah (Readiness to change) yang berbeda-beda

meskipun kondisinya sama.

Kemudian dari 3(10%) responden yang berpengetahuan kurang berperilaku

kurang 3(25%) respoden. Hal ini menandakan bahwa seseorang yang mempunyai

pengetahuan kurang akan cenderung menunjukan perilaku yang kurang. Sesuai dengan

hasil observasi peneliti di lokasi penelitian bahwa dari 3 responden tersebut mempunyai

lingkungan kerja yang kurang baik antara lain keterbatasan sarana atau fasilisitas yang

menunjang dalam memberikan pelayanan keperawatan serta kebiasaan-kebiasaan

kurang baik yang dilakukan perawat lain dalam melakukan tindakan sehingga ada

kecenderungan mengadobsi perilaku tersebut, hal ini menunjukan bahwa pentingnya

41

Page 42: APRIANSAH_12010069

lingkungan kerja dan sumber daya manusia yang ada di sekitar kita untuk merubah

perilaku seseorang. Merubah perilaku tidaklah mudah, membutuhkan proses yang lama,

harus ada niat, dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sesuai teori yang di

kemukakan oleh Green bahwa salah satu faktor pendukung dalam perubahan perilaku

adalah lingkungan. Menurut teori Snehandu B. Kar mengatakan bahwa perilaku

merupakan fungsi dari (1) Niat seseorang untuk bertindak, (2) Dukungan sosial dari

masyarakat sekitarnya, (3) Ada tidaknya informasi kesehatan atau fasilitas kesehatan,

(4) Otonomi seseorang yang bersangkutan dalam mengambil tindakan atau keputusan,

(5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.

C. Keterbatasan Penelitian

1. Sarana dan prasana masih kurang sehingga perawat dalam melaksanakan tindakan

keperawatan tidak mencerminkan perilaku yang sebenarnya, hal ini berdampak pada

peneliti sehingga tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.

2. Ketebatasan waktu penelitian sehingga observasi perialku tidak maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Azis.H.2007. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Salemba

Medika.Jakarta.

Awangga, Suryaputra N. 2007. Desain Proposal Penelitian. Pyramid Publisher. Yogyakarta

42

Page 43: APRIANSAH_12010069

Aru. W, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Pusat Penerbit Ilmu penyakit Dalam FKUI.

Jakarta.

Budiarto, E. 2003. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Salemba Medika.

Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah

Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. JHPIEGO dan PERDALIN. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2001. Penanggulangan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Peralatan Keperawatan Dan Kebidanan di Sarana

Kesehatan. Jakarta.

Ediyono, Suryo. 2005. Filsafat Ilmu. Lintang Pustaka. Yogyakarta Martono,N. 2007.

MRSA Infeksi Nosokomial. Jurnal Keperawatan, (Online). (http://inna-ppni.or.id/html, diakses 25

September 2009).

Nursalam.2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba

Medika. Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta

Perry, dkk. 2005. Buku Saku Ketrampilan dan Prosedur Dasar. Ed.5. EGC. Jakarta.

RSPI SS. 2007. Menkes Tetapkan 100 RS Rujukan Flu Burung. Pusat Informasi Penyakit

Infeksi. ( Online). ( http://www.infeksi.com/data/new sin. xml, diakses 24/9/2009).

Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi Dan Praktik Yang Aman. Penerbit Buku Kedokteran .

EGC. Jakarta.

43

Page 44: APRIANSAH_12010069

Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Smeltzer Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. EGC. Jakarta.

WHO. Nike Budhi Subekti, S.Kp. (Editor). 2005. Pedoman Perawatan Pasien (Nursing Care of

the Sick: A Guide for Nurses Working in Small Rural Hospitals). EGC Jakarta.

44