Aplikasi Foto Udara Untuk Mengetahui Lokasi Lahan Terkena Pembalakan Liar

download Aplikasi Foto Udara Untuk Mengetahui Lokasi Lahan Terkena Pembalakan Liar

of 11

Transcript of Aplikasi Foto Udara Untuk Mengetahui Lokasi Lahan Terkena Pembalakan Liar

Aplikasi Foto Udara Untuk Mengetahui Lokasi Lahan Terkena Pembalakan LiarIrfan Ammar Perdana**Mahasiswa Aktif Jurusan Teknik Geodesi FT-UGM (()

Jln. Grafika No. 2 Yogyakarta, Telp. +062-274-520226, Email: [email protected]

Diterima: - ; Dipublikasikan: -Abstract

In this modern era, it is undeniable that the amount of forest cover in Indonesia is decrease each year. It is triggered from the behavior of some people who are less aware of the importance of the forest for life. One cause of forest loss in Indonesia is due to rampant of illegal logging.Illegal logging has now reached a critical point which steps should be taken to reduce the impacts. The problem is when the competent authorities find the difficulties to control the areas are prone to or have been affected by illegal logging practices. Currently, a movement is needed today to be done practically and efficiently in order to reduce illegal logging. One way is to deploy the technology in the field of geodesy existing today, the aerial photo or photogametry. Without having to conduct survey directly to the location of the vulnerable, aerial photo considered practical and efficient and also produce accurate data in determining the location and size of land hit by illegal logging.Keywords: illegal logging, forest, aerial photo, photogametry

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Pada era modern ini, isu illegal logging (pembalakan liar) tidak lagi semata-mata menjadi isu domestik tetapi telah menjadi bagian dari isu global. Bahkan isu illegal logging merupakan salah satu isu publik yang sangat serius mengancam kualitas lingkungan hidup. Dalam konteks Indonesia, illegal logging bisa dibilang telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Menurut data olahan Tempo (22 Juli 2007) bahwa sejak tahun 2001 hingga 2006 jumlah penebangan illegal berkisar antara 19 hingga 27 juta meter kubik per tahun, atau rata-rata 23 juta meter kubik per tahun dalam 5 tahun terakhir. Angka tersebut jika dianalogikan dengan luas hutan yang ditebang, maka mencapai 27 kilometer persegi setiap tahunnya, dan setara dengan 40 kali luas Jakarta. Dalam hal ini Negara dirugikan hingga Rp 45 trilyun per tahun.Bahkan ada data yang menjelaskan bahwa setiap tahunnya kerusakan hutan di Indonesia akibat illegal logging mencapai 1,6 juta hingga 2,4 juta hektar. Sedangkan menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) konservasi lingkungan, Wetlands International, ada sekitar 48% lahan gambut di Indonesia sudah dirusak, dan sebagian besar pengrusakan disebabkan penebangan hutan secara liar. Bahkan dari pembersihan sampah dalam penebangan liar di lahan gambut saja, Indonesia menghasilkan 632 juta ton CO2 setiap tahunnya. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan hutan dari sisi ekologis memiliki posisi strategis dalam menciptakan keseimbangan alam,karena hutan sangat berperan penting dalam menghambat pelepasan gas-gas yang menyebabkan terjadinya polusi. Lebih jelasnya lagi bahwa pohon, terutama pohon yang masih muda dan cepat pertumbuhannya adalah penyerap karbondioksida yang sangat efektif, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.Oleh karena itu, ketika luas hutan berkurang secara drastis, maka fungsi yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek, seperti kebutuhan air, oksigen (O2), kenyamanan, keindahan, penghasil kayu, rotan, penyerapan karbon, pangan dan obat-obatan, sekarang ini sudah sulit didapatkan lagi. Bahkan bila luas hutan semakin hari semakin menyempit, maka pemanasan global tidak bisa dibendung lagi, dan bencana alam lainnya seperti banjir dan tanah longsor akan meningkat tajam.Sebagai bahan renungan kita bersama atas bahaya illegal logging, penulis akan menyuguhkan data-data terkait dengan dampak yang ditimbulkannya. Dalam hal ini tidak mungkin penulis menyebutkan seluruh kejadian bencana banjir di seluruh dunia, karena di Indonesia saja jumlahnya sangat banyak.Pada 3 November 2003 terjadi banjir di kawasan Bahorok-Langkat, Sumatera Utara. Air bah yang datangnya dari hulu sungai Bahorok telah memakan korban jiwa. Pada waktu itu korban yang meninggal dunia mencapai ratusan orang dengan kerugian materi yang sangat banyak. Bencana ini tidak lepas dari praktek illegal logging.Bencana alam di Indonesia ternyata tidak berhenti pada tahun 2003, tetapi berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Pada 25 dan 26 Desember tahun 2007 terjadi banjir dan tanah longsor di Jawa Tengah yang menimpa 8 kabupaten atau kota. Banjir dengan ketinggian air mencapai 50 200 cm itu terjadi di Kabupaten Grobogan, Pekalongan, Sukoharjo, Pemalang, Sragen, Blora, Cilacap, Kudus dan kota Surakarta. Sedangkan banjir dan tanah longsor terjadi di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri dan Banyumas. Akibatnya jumlah korban meninggal mencapai 78 orang, 20 orang menjalani rawat inap, 7.234 rawat jalan, 12.751 orang pengungsi dan 9 orang dinyatakan hilang. Sedangkan selama tahun 2008, bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia menyebabkan 92 orang meninggal, 9.740 rumah rusak, dan 184.203 rumah terendam banjir. Kejadian bencana tersebut terjadi di 27 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia.3 Bahkan kejadian serupa masih tetep berlangsung hingga tahun 2009. Dari sinilah maka kesadaran akan pentingnya kesejahteraan hutan dalam hal ini pemberantasan pembalakan liar perlu dan samgat mendesak digalakkan. Masyarakat tentu saja sudah tidak lagi terus-terusan ketakutan akan bahaya yang kian mengancam dari dampak pembalakan liar.

Teknologi-teknologi yang sudah ada saat ini bisa menjadi salah satu jalan keluar guna mengontrol pembalakan liar yang terjadi di hutan-hutan di Indonesia. Pengontrolan terhadap lahan di hutan-hutan pedalaman yang sulit terjangkau akan lebih praktis dan efisien jika pengontrolan dilakukan dengan menggunakan teknologi. Dalam hal ini salah satunya adalah teknologi Foto Udara dalam bidang Geodesi. Foto udara dapat menjadi senjata andalan bagi pemerintah dan masyarakat guna mengetahui titik lokasi pembalakan liar dan mengontrol pembalakan liar saat ini.1.2 Rumusan MasalahFormulasi masalah jurnal imliah ini adalah :

1. Apakah itu pembalakan liar?2. Apa saja teknologi geodesi saat ini?3. Bagaimana Foto Udara mengetahui titik lokasi pembalakan liar?

4. Bagaimana Foto Udara mengontrol terjadinya pembalakan liar?

1.3Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan jurnal ini adalah:1. Untuk mengetahui arti penting menjaga hutan.2. Untuk mengetahui teknologi dan aplikasi geodesi saat ini.3. Untuk mengetahui peran foto udara dalam mengetahui titik lokasi pembalakan liar.

4. Untuk mengetahui peran foto udara dalam pengontrolan pemblakan liar.II. Metodologi

Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan sistem literatur dimana penulis mengumpulkan artikel lalu menganalisis apakah termasuk dalam pokok bahasan atau tidak.

III. Hasil dan Pembahasan

3.1 Illegal Logging atau Pembalakan Liar

Yang dimaksud dengan illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah.

Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo, illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. Atau dengan kata lain, pmebalakn liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kaya yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.

Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.

Secara umum, pembalakan Liar dapat dilakukan dengan dua cara :

1. Dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki.2. Melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang.

Pembalakan Liar tidak serta merta terjadi tanpa sebab musabab yang tidak jelas, banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya pembalakan liar, salah satunya sebagai berikut :

1. Adanya krisis ekonomi yang berkelanjutan mengakibatkan tingginya hargaharga barang konsumsi, sementara masyarakat disekitar hutan yang sudah miskin tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga salah satu cara yang paling mudah adalah memanfaatkan hutan untuk kepentingan diri sendiri.2. Dengan krisis ekonomi pula mengakibatkan perusahaan yang bergerak disektor kehutanan, khususnya industri kayu, banyak yang mengalami kemunduran usaha, karena tingginya harga harga barang produksi, sehingga untuk mendapatkan bahan baku kayu dengan harga murah dilakukan pembelian dari kayu yang tidak sah yang berasal dari hasil praktek illegal logging.3. Lemahnya penegakan hukum, karena tidak adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Disamping itu kurangnya dana atau lack of budget dalam upaya mendukung kemampuan politik dan kurangnya tekanan publik. 3.2 Aplikasi GeodesiGeodesi adalah bidang ilmu inter-disiplin yang menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan Bumi serta dari wahana pesawat dan wahana angkasa untuk mempelajari bentuk dan ukuran bumi, planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya; menentukan secara teliti posisi serta kecepatan dari titik-titik ataupun objek-objek pada permukaan bumi atau yang mengorbit Bumi dan planet-planet dalam suatu sistem referensi tertentu; serta mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk berbagai aplikasi ilmiah dan rekayasa menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer.

Berdasarkan definisi terkini Geodesi menurut IAG (International Association Of Geodesy, 1979), bidang kajian utama geodesi terbagi menjadi 3 bagian yaitu penentuan posisi, penentuan medan gaya berat, dan variasi temporal dari posisi dan medan gaya berat, dimana domain spasialnya adalah Bumi beserta benda-benda langit lainnya. Setiap bidang kajian di atas mempunyai spektrum yang sangat luas, dari teoretis sampai praktis, dari bumi sampai benda-benda langit lainnya, dan juga mencakup matra darat, laut, udara, dan juga luar angkasa.

Dalam Geodesi, terdapat lima inti dari perkuliahan di Teknik Geodesi, yaitu :

1. Global Positioning Sistem

2. Surveying / Topography

3. Remote Sensing / Penginderaan Jauh

4. Geographic Information Sistem / SIG

5. Bathimetry / Hidrography3.2.1 Global Positioning Sistem

GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang teliti. GPS dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter (orde nol) sampai dengan puluhan meter.

Gambar 1. GPS

Beberapa kemampuan GPS antara lain dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah, dimana saja di bumi ini tanpa tergantung cuaca. Hal yang perlu dicatat bahwa GPS adalah satu-satunya sistem navigasi ataupun sistem penentuan posisi dalam beberapa abad ini yang memiliki kemampuan handal seperti itu. Ketelitian dari GPS dapat mencapai beberapa mm untuk ketelitian posisinya, beberapa cm/s untuk ketelitian kecepatannya dan beberapa nanodetik untuk ketelitian waktunya. Ketelitian posisi yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor yaitu metode penentuan posisi, geometri satelit, tingkat ketelitian data, dan metode pengolahan datanya.

Secara umum produk dari GPS adalah posisi, kecepatan, dan waktu. Selain itu ada beberapa produk lainnya seperti percepatan, azimuth, parameter attitude, TEC (Total Electron Content), WVC (Water Vapour Content), Polar motion parameters, serta beberapa produk yang perlu dikombinasikan dengan informasi eksternal dari sistem lain, produknya antara lain tinggi ortometrik, undulasi geoid, dan defleksi vertikal.

Prinsip penentuan posisi dengan GPS yaitu menggunakan metode reseksi jarak, dimana pengukuran jarak dilakukan secara simultan ke beberapa satelit yang telah diketahui koordinatnya. Pada pengukuran GPS, setiap epoknya memiliki empat parameter yang harus ditentukan : yaitu 3 parameter koordinat X,Y,Z atau L,B,h dan satu parameter kesalahan waktu akibat ketidaksinkronan jam osilator di satelit dengan jam di receiver GPS. Oleh karena diperlukan minimal pengukuran jarak ke empat satelit.

GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi yang paling populer dan paling banyak diaplikasikan di dunia pada saat ini, baik di darat, laut, udara, maupun angkasa. Disamping aplikasi-aplikasi militer, bidang-bidang aplikasi GPS yang cukup marak saat ini antara lain meliputi survai pemetaan, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik, transportasi dan navigasi, pemantauan deformasi, pertanian, kehutanan, dan bahkan juga bidang olahraga dan rekreasi. Di Indonesia sendiri penggunaan GPS sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu dan terus berkembang sampai saat ini baik dalam volume maupun jenis aplikasinya.3.2.2 Surveying / TopographyKegiatan surveying adalah segala upaya pengukuran yang dilakukan yang ditujukan untuk mengakuisisi data yang dibutuhkan dalam proses pembuatan peta. Tujuan akhir yang akan kita tuju dari kegiatan surveying dalam bidang keilmuan Geodesi dan Geomatika adalah sebuah peta, apapun jenis peta tersebut apakah peta dasar atau peta tematik. Peta sendiri merupakan gambaran permukaan Bumi yang digambar pada kertas atau bidang datar lainnya yang digambar lebih kecil dengan perbandingannya yaitu skala.Topografi secara ilmiah artinya adalah studi tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet, satelit alami (bulan dan sebagainya), dan asteroid. Dalam pengertian yang lebih luas, topografi tidak hanya mengenai bentuk permukaan saja, tetapi juga vegetasi dan pengaruh manusia terhadap lingkungan, dan bahkan kebudayaan lokal(Ilmu Pengetahuan Sosial). Topografi umumnya menyuguhkan relief permukaan, model tiga dimensi, dan identifikasi jenis lahan. Penggunaan kata topografi dimulai sejak zaman Yunani kuno dan berlanjut hingga Romawi kuno, sebagai detail dari suatu tempat. Kata itu datang dari kata Yunani, topos yang berarti tempat, dan graphia yang berarti tulisan. Objek dari topografi adalah mengenai posisi suatu bagian dan secara umum menunjuk pada koordinat secara horizontal seperti garis lintang dan garis bujur, dan secara vertikal yaitu ketinggian. Mengidentifikasi jenis lahan juga termasuk bagian dari objek studi ini. Studi topografi dilakukan dengan berbagai alasan, diantaranya perencanaan militer dan eksplorasi geologi. Untuk kebutuhkan konstruksi sipil, pekerjaan umum, dan proyek reklamasi membutuhkan studi topografi yang lebih detail.Di peta tersebutlah kita bisa memberikan bebagai macam informasi spasial bagi penggunanya, seperti bentang alam, persil dan unsur-unsur buatan manusia. Tentu saja kesemuanya itu disajikan dalam sebuah peta dengan informasi spasialnya berupa posisi yang diwakili oleh koordinat peta. Koordinat peta di sini adalah koordinat objek pada bidang proyeksi, setelah melalui serangkaian proses transformasi dari ukuran di bidang pengukuran ke bidang proyeksi.

Disadari atau tidak di zaman globalisasi ini kebutuhan akan informasi spasial dirasa sangat mendesak dan penting sekali. Hal pertama yang sangat terkait dengan ketersediaan informasi spasial ini adalah kegiatan perecanaan dan kerekayasaan, tentu saja perencanaan dan kerekayasaan di sini adalah kegiatan yang berkaitan dengan teknis pembangunan daerah. Kegiatan lainnya memerlukan infomasi spasial adalah kegiatan pendaftaran tanah oleh BPN. Sederhananya BPN memerlukan koordinat-koordinat persil yang kemudian akan didaftarkan dan dipetakan dalam sebuah peta tematik skala tertentu.3.2.3 Remote Sensing / Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (atau disingkat inderaja) adalah pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau alat lain. Contoh dari penginderaan jauh antara lain satelit pengamatan bumi, satelit cuaca, memonitor janin dengan ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet dari orbit. Inderaja berasal dari bahasa Inggris remote sensing, bahasa Perancis tldtection, bahasa Jerman fernerkundung, bahasa Portugis sensoriamento remota, bahasa Spanyol percepcion remote dan bahasa Rusia distangtionaya. Di masa modern, istilah penginderaan jauh mengacu kepada teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi sebenarnya adalah penerapan dari penginderaan jauh (faktanya merupakan penginderaan jauh yang intensif), istilah "penginderaan jauh" umumnya lebih kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan cuaca. Gambar 2. Penginderaan Jauh

Menurut Soenarmo S. Hartati (2009) konsep dasar penginderaan jauh sensor jauh didasarkan oleh 5 (lima) unsur utama, yaitu: sumber energi (transmitter), gelombang elektromagnetik datang, objek atau target, gelombang elektromagnetik pantul dan hambur (emisi), serta sensor (receiver)3.2.4 Geographic Information Sistem / SIG

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat lunak, perangkat keras, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Budiyanto, 2002).

Selain itu, SIG merupakan suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Di samping itu, Sistem Informasi Geografi ini juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data. Untuk selanjutnya menghasilkan output yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah geografi.

Secara lebih spesifik Aronof (1993) mendefinisikan SIG sebagai suatu sistem yang berbasiskan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup :

a.Data input (pemasukan).

b.Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data).

c.Analisis dan manipulasi data.

Definisi SIG selalu bertembah,berkurang, dan bervariasi. Hal ini karena SIG merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru namun terlepas dari bervariasinya definisi SIG secara umum yang paling perlu diperhatikan adalah komponen-komponen yang disebutkan. Melihat SIG sebagai suatu sistem, maka SIG terdiri dari beberapa komponen-komponen penyusun. Komponen penyusun dalam SIG adalah: perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), organisasi (manajemen) dan pemakai (users).3.2.5 Bathimetry / Hidrography

Hidrografi (atau geodesi kelautan menurut pandangan awam) adalah ilmu tentang pemetaan laut dan pesisir. Hidrografi menurut International Hydrographic Organization (IHO) adalah ilmu tentang pengukuran dan penggambaran parameter-parameter yang diperlukan untuk menjelaskan sifat-sifat dan konfigurasi dasar laut secara tepat, hubungan geografisnya dengan daratan, serta karakteristik-karakteristik dan dinamika-dinamika lautan. Secara etimologi, Hidrografi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata hidro yang berarti air dan grafi yang berarti menulis, hidrografi artinya gambaran permukaan bumi yang digenangi air.

Survey hidrografi Menurut Sekelompok Ahli dari PBB tahun 1979 adalah suatu ilmu yang melakukan pengukuran, menguraikan, dan mengembangkan tentang :1. Sifat-sifat dan Konfigurasi dasar laut yang dihasilkan oleh kegiatan survey bathimetrik, geologi dan geofisika.

2. Hubungan geografis (antara laut, perairan) dengan daratan terdekat yang dihasilkan dengan kegiatan positioning-Garis pantai3. Sifat dan dinamika air laut, yang dihasilkan lewat pengukuran/pengamatan pasang surut, arus laut, gelombang dan sifat fisik air laut.

Survei batimetrik dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman dan konfigurasi / topografi dasar laut, termasuk lokasi dan luasan obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Survei Batimetri dilaksanakan mencakup sepanjang koridor survey dengan lebar bervariasi. Lajur utama harus dijalankan dengan interval 100 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 1.000 meter. Kemudian setelah rencana jalur kabel ditetapkan, koridor baru akan ditetapkan selebar 1.000 meter. Lajur utama dijalankan dengan interval 50 meter dan lajur silang (cross line) dengan interval 500 meter. Peralatan echosounder digunakan untuk mendapatkan data kedalaman optimum mencakup seluruh kedalaman dalam area survei. Agar tujuan ini tercapai, alat echosounder dioperasikan sesuai dengan spesifikasi pabrik. Prosedur standar kalibrasi dilaksanakan dengan melakukan barcheck atau koreksi Sound Velocity Profile (SVP) untuk menentukan transmisi dan kecepatan rambat gelombang suara dalam air laut, dan juga untuk menentukan index error correction.

3.3 Aplikasi Foto Udara

Aplikasi teknologi Geodesi dalam peentuan lokasi lahan terkena pembalakan liar salah satunya adalah dengan foto udara. Foto udara dalam hal ini berada dalam disiplin ilmu Remote Sensing atau Penginderaan Jauh.

Gambar 3. Contoh Hasil Foto Udara

Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu objek fisik dan keadaan disekitarnya melalui proses perekaman, pengamatan/pengukuran dan interpretasi image fotografis. Studi teknik fotografi di dalam pemetaan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran permukaan bumi yang lebih luas dan cepat dibandingkan pengukuran-pengukuran terestrial (survei lapangan).

Batasan definisi fotogrametri tidak terbatas pada penggunaan pesawat terbang, pada awal studinya masih menggunakan balon terbang bahkan layang-layang, saat inipun dikenal teknik pemotretan udara dengan pesawat tanpa awak (FUFK). Oleh karena itu fokus studi sebenarnya adalah pada efek fotografis yaitu penggunaan lensa pada kamera yang menghasilkan gambar dari pantulan sinar matahari.

Dalam fotogametri terdapat beberapa prinsip dasar, beberapa diantaranya yaitu :

Lensa dan Kamera

Lensa adalah alat optik yang memiliki nilai simetri axial (kelengkungan yang hampir datar) yang sempurna atau mendekati sempurna, dan dapat meneruskan atau memantulkan cahaya, mengkonversi dan diversi gelombang. Jenis format kamera dipengaruhi nilai fokus lensa (jarak pusat lensa menuju bidang fokus), untuk pemotretan udara nilai fokus ini fixed (tidak dapat berubah) berbeda dengan kamera fotografi yang dapat diubah tergantung jarak objek. Selain itu sudut liputan (field of view) yang merupakan sudut kerucut berkas-berkas sinar yang datang dari daratan melewati lensa, semakin lebar sudut liputan maka fokus lensa akan berkurang. Sudut sempit cocok digunakan untuk daerah bergunung karena pergeseran relief dipusat lensa/nadir (principal point) relatif minimum, sedangkan kamera bersudut lebar cocok untuk daerah datar karena keuntungan ekstra coverage dari sudut yang lebar. Klasifikasi Jarak Fokus Sudut Liputan : Sudut Sempit 304,8 mm Kurang dari 600

Sudut Normal 209,5 mm 600 sampai 750

Sudut Lebar 152,4 mm 750 sampai 1000

Sudut Sangat Lebar 88,9 mm Lebih dari 1000

Sebuah foto udara tunggal akan terbingkai dengan ukuran 23 cm x 23 cm (foto udara metrik pada umumnya), disertai beberapa informasi tepi seperti fiducial mark, jam pengambilan foto, altimeter ketinggian terhadap MSL, Nivo derajat kemiringan kamera, serta fokus lensa kamera.

Geometri Foto

Geometri foto udara pada dasarnya tidak akan selalu berada pada kondisi yang ideal (tegak sempurna), hal tersebut dapat diakibatkan beberapa faktor :

Pergerakan wahana, adanya variasi tinggi terbang dan pergerakan rotasi dari pesawat menyebabkan variasi bentuk objek;

Pergeseran relief, variasi tinggi permukaan tanah menyebabkan bentuk radial dari objek-objek yang tinggi ekstrim seperti gedung tinggi, tiang listrik, dsb;

Foto udara miring, sumbu optik kamera membentuk sudut terhadap arah gaya berat (tidak boleh lebih dari 3o);

Overlap dan Sidelap, besaran overlap dan sidelap (60% untuk overlap dan 30% untuk sidelap) menyebabkan paralaks pada foto;

Crab & Drift, pengaruh angin yang mendorong badan pesawat menyebabkan penyimpangan pemotretan dari rencana jalur terbang membuat variasi posisi dan bisa menimbulkan gap; Pengolahan

Triangulasi udara merupakan suatu teknik perbanyakan titik kontrol yang diperlukan untuk proses restitusi foto atau orientasi foto ke dalam referensi tertentu, titik kontrol ini biasa disebut titik minor. Titik kontrol tersebut umumnya diperlukan minimum sebanyak 6 (enam) buah pada setiap model foto stereo dan diperoleh sebagai hasil hitungan matematis fotogrametri dengan menggunakan data hasil pengukuran pada model stereo dan hasil pengukuran kontrol lapangan.

Sehubungan dengan jumlah foto udara digital yang banyak dimana konsekuensinya akan membutuhkan jumlah titik kontrol yang cukup banyak. Namun hal ini dapat diatasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Menggunakan jalur terbang tambahan berupa jalur yang memotong sehingga menambah kekuatan blok pemetaan.

Menggunakan unsur-unsur alam yang mempunyai sifat pasti sebagai titik kontrol tambahan (misalnya beda tinggi antara atap suatu rumah yang umumnya sama tinggi). Rektifikasi

Rektifikasi adalah suatu proses pekerjaan untuk memproyeksikan citra yang ada ke bidang datar dan menjadikan bentuk konform (sebangun) dengan sistem proyeksi peta yang digunakan, juga terkadang meng-orientasikan citra sehingga mempunyai arah yang benar (Erdas, 1991).

Dalam proses diatas, foto udara menghasilkan peta yang berguna untuk masyarakat. Seperti mengetahui kepadatan suatu wilayah, luas suatu area atau lokasi sebuah titik tang akan diamati. Hasil dari suatu foto udara adalah sebuah peta yang disebut peta foto. Peta foto didapat dari survei udara yaitu melakukan pemotretan lewat udara pada daerah tertentu dengan aturan fotogrametris tertentu. Sebagai gambaran pada foto dikenal ada 3 (tiga) jenis yaitu foto tegak, foto miring dan foto miring sekali. Yang dimaksud dengan foto tegak adalah foto yang pada saat pengambilan objeknya sumbu kamera udara sejajar dengan arah gravitasi( tolerensi