Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelanrepository.isi-ska.ac.id/2177/6/KOMUNIKASI SENI.pdfTitisan Pulung...

49
Santosa | i KOMUNIKASI SENI Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Transcript of Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelanrepository.isi-ska.ac.id/2177/6/KOMUNIKASI SENI.pdfTitisan Pulung...

Santosa | i

KOMUNIKASI SENIAplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

ii | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

KOMUNIKASI SENIAplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

PenulisSantosa

Desain CoverGuh S. Mana

FotograferArfa Irminatra

Tata letakTaufik Murtono

Titisan Pulung Manunggal

ISBN978-602-8755-45-0

PenerbitISI Pers Surakarta

Bekerja sama dengan Program Pasca Sarjana ISISurakarta

2011

All rights reserved© 2011, Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

Dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, ataumemperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penulis.

Sanksi pelanggaran pasal 72 Undang-undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun2002)1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing palingsingkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00(satu juta rupiah), atau pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau baranghasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana diumumkan dalam ayat (1),dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau dendapaling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Santosa | iii

Ucapan Terima Kasih

Buku ini merupakan wujud dari konsep saya tentang bagaimanapara penonton “membaca” dan mendapatkan nilai-nilai sosial yangdiungkapkan oleh para pengrawit melalui pertunjukan gamelan.Rumusan awal konsep ini dimulai dari tahun 2001 ketika sayamenyelesaikan disertasi di University of California (UC) Berkeley.Tahun 2007 dan 2008 konsep itu dijajagi kembali dengan mengadakanpenelitian lapangan termasuk mengadakan seminar tentang hasilpenelitian itu. Akhirnya, pada tahun 2011 ini proses penyempurnaandilakukan dengan menambah referensi di Jepang yang hasil-hasilnyadapat dikumpulkan dan disusun menjadi buku ini.

Judul buku diperluas menjadi “Komunikasi Seni” karena sayaberpandangan bahwa konsep-konsep yang diuraikan tidak hanyaberlaku dalam ranah pertunjukan gamelan tetapi juga dapatdianalogikan dengan seni lain baik seni pertunjukan (tari, teater,ketoprak, tayub, maupun wayang) dan seni rupa (lukis, patung, kriya,maupun kartun). Namun, saya tidak ingin mengatakan bahwakonsepnya bisa berlaku sepenuhnya pada bidang-bidang lain itu karenasaya sadar bahwa perbedaan-perbedaan sifat masing-masing seni akanmemerlukan analisis khusus untuk mendapatkan konsep yang lebihtepat dan relevan. Untuk itu saya mengharap supaya para penelitibidang-bidang seni lain segera memulai mengerjakannya agarpengembangan bidang kajian seni segera terwujud.

Berbagai usaha telah dilakukan dalam menyelesaikan buku inidan berbagai bantuan juga telah diterima. Terima kasih saya sampaikankepada Prof. Dr. Sri Hastanto (Direktur Program Pascasarjana ISISurakarta) yang telah memberikan kesempatan untuk menerbitkanbuku ini. Lebih khusus lagi ucapan terima kasih juga saya sampaikankepada Prof. Dr. Nanik Sri Prihatini dan seluruh staf Pascasarjana

iv | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

yang dengan semangat telah melancarkan proses pengelolaan danpersiapan penerbitannya.

Pelaksanakan penelitian juga dibantu oleh empat orang dosenkarawitan yaitu: Waluyo, Kuwat, Sigit Astono, dan BondhetWrehatnala. Kepada mereka saya juga mengucapkan banyak terimakasih. Sumbangannya dalam mengumpulkan data sangat dihargai.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapakolega saya di jurusan Karawitan terutama pengelola Hibah B-Senikhususnya Prasadiyanto MA, Bambang Sunarto, M.Sn, I NyomanSukerna, M.Hum, Danis Sugiyanto, M. Hum, dan I Wayan Sadra, M.Sn. (almarhum). Mereka telah memberikan kerjasama yang baik dalampengelolaan dan pelaksaan program penelitian ini yang merupakanbagian dari Hibah Kompetisi B-Art. Tanpa bantuan mereka penelitianini tidak akan dapat terlaksana. Demikian juga, sumbangan rekan-rekan lain dalam mendiskusikan masalah-masalah komunikasi musikaltelah memberikan inspirasi kepada saya dalam menganalisis gejaladan data penelitian. Saya hanya dapat menyebut beberapa di antaramereka yang memberikan andil dalam pembentukan konsep danrumusannya yaitu Prof. Dr. Waridi (almarhum), Prof. Dr. RahayuSupanggah, Prof. Dr. Rustopo, dan rekan-rekan lain yang secara aktifberpartisipasi dalam seminar awal proses penelitian ini. Masukannyatelah banyak membantu untuk penajaman cara kerja saya. Tanpamasukan, kritik, dan sarannya penelitian ini tidak akan mencapaibentuknya seperti sekarang ini. Saya mengucapkan banyak terima kasihatas segala sumbangan saran dan pikirannya yang telah bermanfaat.

Peran Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti)melalui Program Academic Recharging (PAR) tahun 2011 juga sangatbesar karena dengan program itu saya dapat menyelesaikan bagianakhir dari buku ini. Dalam hubungan ini peran kolega saya di OsakaCity University (Osaka Sinritsu Daigaku), Jepang, Prof. Shin Nakagawa,yang telah bersedia sebagai host untuk program PAR selama tiga bulandi universitas itu, juga mempunyai manfaat tiada tara. Melalui kegiatanitu dan peran aktifnya dalam seminar yang terselenggara di universi-tas itu buku ini bisa mencapai bentuk lebih sempurna. Saran-saran

Santosa | v

dan masukan mereka sangat berharga dalam mempertajam beberapaanalisis yang saya lakukan.

Saya juga tidak lupa secara khusus ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Pudentia MPSS, Ketua Asosiasi Tradisi LisanNusantara dan Bapak I Nyoman Murtana,dosen ISI Surakarta, yangtelah bersedia membaca naskah awal buku ini. Beliau berdua telahmemberikan komentar dan mendudukkan buku ini dalam kontekskegiatan akademik sehinga mempertegas posisinya di antara parapeneliti, dosen dan mahasiswa.

Osaka, 30 Oktober 2011Penulis

vi | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih iiiDaftar Isi viDaftar Gambar viii

BAB I Prakata 1Komunitas Desa dan Ritual 9Fungsi Upacara 13Kerangka Pemikiran 17Catatan Metodologi 19Perbedaan Persepsi 26Struktur Tulisan 31

BAB II Beberapa Konsep Dasar tentangKomunikasi Musikal 42Pengertian Dasar 47Komunikasi Verbal 51Komunikasi Musikal 52Bentuk dan Proses Komunikasi 55Sifat Komunikasi 56Keabsahan Komunikasi 60

BAB III Pesan dalam Pertunjukan Gamelan 74Syarat Pembentukan Pesan 76Konteks Pembentukan Pesan 79Wujud Pesan 84Pesan dari Teks 88Pemaknaan Pesan Teks 91Makna Teks Musikal 94Pemaknaan Pesan Teks dan Pengalaman Pribadi 98

Santosa | vii

Makna Musikal 101Pesan Visual 110

BAB IV Proses Komunikasi Musikal 120Bentuk Komunikasi Musikal 123Pesan dalam Pertunjukan 134Komunikasi Musikal dan Kehidupan Masyarakat 135Memahami Pesan Pertunjukan 138

BAB V Proses Pengiriman dan Penerimaan Pesan 152Mengemas Pesan 153Mengirim Pesan 156Isi Pesan 161Menerima Pesan 164Menjadi Native 169

BAB VI Pembentukan Citra dalam Pertunjukan Gamelan 179Proses Pembentukan Citra 179Citra dan Wujudnya 184Nilai Sosial 192Nilai Moral 198Gamelan sebagai Identitas Sosial 201

BAB VII Kata Akhir 220Daftar Pustaka 223Glosarium 227Indeks 230

viii | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Daftar Gambar

Gambar 1. Proses komunikasi musikal dalam pertunjukangamelan antara pengrawit dan penonton 52

Gambar 2. Proses mental dalam komunikasi musikal 59Gambar 3. Penafsiran Teks untuk Mendapatkan Pesan Baru 93Gambar 4. Proses Pemaknaan Pertunjukan Gamelan 96Gambar 5. Karakter Pokok Konsep Komunikasi

dan Sifat Tambahannya 127Gambar 6. Komunikasi Musikal dalam Ranah Estetik 137Gambar 7. Penonton Pertunjukan Gamelan

dalam Upacara Perkawinan di Boyolali 141Gambar 8. Memahami Pesan Musikal 142Gambar 9. Nyi Purwati, pesindhen dari daerah Boyolali,

menyajikan gendhing dalam upacara perkawinan 158Gambar 10. Notasi gendhing Suka Asih 163Gambar 11. Proses Pembentukan Citra 182Gambar 12. Citra dalam Berbagai Konteksnya 187

Santosa | 1

BAB IPrakata

Saya masih teringat jelas dengan pengalaman yang terjadibeberapa tahun lalu ketika melihat pertunjukan wayang di daerahNganjuk, Jawa Timur. Perhatian saya tertuju kepada orang-orang yangberada di sekitar pertunjukan. Para penonton baik dewasa, muda-mudi, anak-anak berada di sekitar panggung, alun-alun, gedung sebelahkabupaten, depan sekolah menengah pertama, dekat gedung penjara,maupun sekitar kantor polisi dekat alun-alun. Kesemuanya membuatsuasana pertunjukan menjadi sibuk dan sangat meriah. Para penjualmakanan menawarkan dagangannya, beberapa dari mereka mengambiltempat di tengah-tengah alun-alun di antara para penonton, penjajalain mengedarkan makanannya mengelilingi penonton, beberapa yanglain memilih jarak relatif jauh dengan mendirikan tenda darurat namundengan harapan sambil melayani pembelinya masih dapatmendengarkan suara gamelan dan dalang melalui pengeras suara.

Kerumunan penonton terjadi di beberapa tempat lain sebagianduduk dengan santai membentuk lingkaran, sebagian berjalan mondarmandir sambil menikmati atmosfir pertunjukan. Di sekitar panggungpenonton lain duduk bergerombol, sebagian memilih dekat denganpanggung, sebagian menjauh untuk mendapatkan pandangankeseluruhan pertunjukan, atau untuk mendapatkan kebebasan memilihantara melihat pertunjukan dan berbincang-bincang dengan penontonlain. Sambil menunggu kedatangan seniman mereka menikmatimakanan ringan, merokok, dan meneguk minuman panas. Sesekalisebagian dari mereka meninggalkan tempat pertunjukan untuk mencarimakanan dan minuman penghangat suasana malam. Singkatnya, parapenonton mencari tempat sesuai dengan kepentingan masing-masinguntuk mendapatkan rasa nyaman. Mereka duduk dengan teraturmenunggu kehadiran sang dalang, yang merupakan idola parapenonton pada saat itu. Para penonton sepertinya sudah tidak sabar

2 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

lagi menunggu datangnya pertunjukan yang mereka nantikan selamabeberapa minggu sebelumnya. Mereka mendapatkan informasi tentangpertunjukan wayang itu dari radio daerah dan iklan-iklan baliho yangterpampang di beberapa sudut kota itu.

Dalang yang akan menyajikan pertunjukan sangat terkenal didaerah itu yaitu Ki Anom Suroto, dari Surakarta.1 Pertunjukandilaksanakan di pendapa kantor kabupaten dengan panggungmenghadap ke depan alun-alun kota tersebut. Karena dalangnyaterkenal maka penonton datang dari hampir seluruh penjuru desa-desa di kabupaten itu dan bahkan tidak sedikit dari wilayah lain. Sejaksore, sekitar pukul tujuh atau bahkan sebelumnya, para penonton sudahmulai memenuhi alun-alun kota Nganjuk dan sekitarnya.

Pertunjukan dimulai sekitar pukul 20:30. Seperti biasanya parapengrawit mengawali pertunjukan dengan sajian karawitan patalon yangdigunakan sebagai pengawal pertunjukan wayang. Ini memang tidakdianggap bagian pokok atau inti dalam pertunjukan wayang akan tetapidianggap penting karena berfungsi untuk membuat setting atmosfirpertunjukan serta memberikan orientasi kepada para penonton bahwatiba saatnya untuk memfokuskan perhatian pada pertunjukan. Nuansapertunjukan mulai terasa, atmosfir formal lingkungan gedungkabupaten, hiruk pikuk aktifitas ekonomi di jalan utama di sebelahalun-alun, aktifitas polisi yang menjaga keamanan sekitar, lalu lalanganak-anak sekolah yang mewarnai kesibukan kota selama semingguterakhir, mondar mandir kendaraan di sekitar alun-alun, suasana tegangdi dalam gedung penjara, semuanya telah hilang nuansanya danberubah menjadi atmosfir pertunjukan yang meriah, mempesona, danmemikat karena suara gamelan yang sedang berlangsung dengandiperkuat oleh suara vokalis dan pesindhen. Gemuruh suara soundsystem dengan kekuatan tinggi memasuki seluruh orientasi parapenonton. Keadaan ini seperti ingin menyatakan bahwa kegiatan sosial,ekonomi, lalu lintas, politik, keagamaan yang berlangsung dengansangat intens di siang harinya maupun beberapa minggu sebelumnyasepertinya tidak pernah ada di dalam lingkungan itu. Semuanya“ditelan” tanpa bekas oleh atmosfir yang diciptakan oleh para senimandi atas panggung. Malam itu aktifitas-aktifitas lain sepertinya “diredam”

Santosa | 3

oleh kekuatan pertunjukan yang menyajikan aura kuat secara estetikyang mencekam.

Fenomena menonjol pada saat pertunjukan di mulai adalah parapenonton segera menghentikan pembicaraan, tidak mondar-mandir,dan mereka memusatkan pandangan dan pendengaran ke ataspanggung. Mereka mendengarkan gamelan, pesindhen, dan vokalisyang menyajikan gendhing-gendhing “pembukaan” itu dengan penuhperhatian. Penyajian bagian ini berlangsung tidak terlalu singkat, hampirtiga puluh menit, waktu yang lama untuk menikmati suara gamelansebelum melihat pertunjukan inti yaitu wayang. Sajian gamelan itumenyebabkan enerji-enerji suara gamelan memasuki ranah orientasiestetik para penonton. Perhatian penonton terhadap pertunjukanmemang sangat serius, hanya sebagian kecil dari penonton yang masihmembuat suara sendiri, itupun terjadi kadang-kadang dan kalau tohdilakukan mereka tetap menjaga atmosfir pertunjukan secarakeseluruhan. Mereka tidak mau merusak perhatian penonton yangsedang serius memperhatikan dan mendengarkan gamelan itu.

Selesai pertunjukan gendhing patalon para penonton mulaimembuat suara-suara kecil, berjalan santai untuk menghampiri temansebelah namun tidak terlalu jauh dari tempat semula, berbincang-bincang dengan teman-temannya lagi seperti pada saat merekamenunggu kehadiran para seniman, seakan mereka membutuhkanpelepasan ketegangan enerji setelah menikmati pertunjukan awal yangdisajikan oleh pengrawit itu. Beberapa penonton lain ada yang mulaibergerak berpindah ke tempat lain mungkin dengan harapan bisamendapatkan tempat yang lebih tepat dan nyaman untuk menikmatipertunjukan berikutnya. Namun, sebagian besar memang memilihberbicang-bincang dengan teman-temannya di tempat semula sambilmenghirup udara dingin, atau menghisap rokok, maupun menyantapmakanan atau meneguk minuman yang didapatkan dari penjajamakanan disekitar mereka. Perbincangan semakin lama semakin kerasbagai sekawanan kumbang sedang mengerumuni madunya. Merekamembicarakan berbagai topik baik tentang pertunjukan, dalang,pengrawit, pesindhen, maupun tentang kehidupan sehari-hari danpengalaman mereka masing-masing.

4 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Beberapa saat kemudian dalang menuju ke panggung. Gemuruhtepuk tangan penonton memenuhi seluruh area pertunjukan pertandabahwa penantian penonton terhadap kehadiran sang dalang sejakbeberapa jam terakhir telah terpenuhi. Sang dalang menyapa denganmenghormat ke penonton dan setelah itu segera duduk di depan kelirdan membaca doa di tengah-tengah panggung. Para penonton diamdan suasana hening terbentuk pada saat itu. Ki dalang memerlukanwaktu beberapa saat untuk menyelesaikan doanya dan ia segeramemulai pertunjukannya. Para penonton kembali diam terpakumendengarkan suara gamelan dan vokalis yang kadang-kadang diselingoleh suara dalang pada beberapa bagian gendhing itu.

Perhatian saya masih tertuju pada para penonton. Namun, saatitu saya juga mencoba memperhatikan tingkah laku para seniman diatas panggung. Bagi kebanyakan orang mengamati penonton danseniman seperti yang saya lakukan malam itu tidak biasa dilakukankarena hal seperti ini dianggap kurang penting, kalau bukannya samasekali tidak terlintas dalam benak mereka; pada umumnya penontonmemilih melihat pertunjukan yang mempunyai daya tarik tinggi, sangatmenyenangkan, dan bahkan memuaskan. Namun, karenakeingintahuan terhadap proses yang terjadi di panggung dan di luarpanggung maka saya lakukan pengamatan itu untuk mendapatkaninformasi dan pemahaman tentang apa yang terjadi dalam pertunjukanitu. Saya ingin mengetahui sebenarnya apa yang dipikirkan parapenonton dan seniman ketika pertunjukan wayang sedang berlangsung.Adakah reaksi-reaksi khusus terhadap pertunjukan, adakah pola-polatingkah laku yang disebabkan dan dibentuk oleh pertunjukan, adakahtanggapan yang didasarkan atas input dari suara-suara pertunjukanyang sedang berlangsung, apakah aksi-reaksi yang berlangsungmempertimbangkan aspek estetik atau aspek sosial, atau bahkan aspekekonomi, politik ataupun religi?

Pertanyaan itu muncul karena adanya peristiwa yang membuatsaya bertanya-tanya tentang terjadinya sebuah proses aksi dan reaksidi antara para penonton dan seniman. Saya mulai berpikir bahwa diantara mereka telah terjadi suatu proses yang melibatkan berbagaikemampuan baik kesenimanan di pihak pengrawit dan dalang maupun

Santosa | 5

kemampuan pemahaman terhadap isi pertunjukan bagi para penonton.Saya mulai bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di antarapara seniman dan para penonton. Bagaimana keduanya salingterhubung pada saat pertunjukan berlangsung. Sepertinya merekaterlibat di dalam suatu proses yang mengarah pada pertemuan ideyang terdapat dalam pertunjukan. Saya semakin tertarik pada prosesitu dan rasa keingingtahuan saya semakin meningkat ketika menyadaribahwa proses itu dilandasi oleh saling pengertian di antara paraseniman dan penonton. Saya semakin ingin tahu lebih dalam sertaingin mencermati dinamika yang muncul antara para seniman danpenonton yang berada di dalam situasi pertunjukan seperti itu.Spekulasi saya tujukan kepada adanya hubungan di antara para senimandan para penonton, hubungan yang menyebabkan tingkah laku merekasaling berpengaruh dan bahkan saling tergantung. Saya mendugabahwa hubungan itu sangat penting dan justru dijadikan penuntunterhadap aksi para seniman di atas panggung dan reaksi para penontondi luar panggung.

Pertanyaan lain juga timbul: apakah ada anggapan dari parapenonton terhadap pertunjukan yang sedang berlangsung, jika adabagaimana mereka menganggap pertunjukan itu, sehingga merekabereaksi dengan terstruktur dan konsisten terhadap pertunjukandengan menunjukkan tingkah laku yang relevan bagi pertunjukan yangsedang berlangsung. Adakah aspek-aspek pertunjukan yang urgendiketahui oleh penonton sehingga mereka rela bertahan semalamuntuk menikmati pertunjukan itu. Apakah ada aspek pertunjukan yangmemperkuat pandangan penonton dalam berkehidupan di masyarakatatau bermanfaat untuk menjalani kehidupan sosial mereka. Semuapertanyaan itu menghantui saya apalagi bila melihat bagaimanadekatnya antara para seniman dan penonton dalam hal beraksi danbereaksi dalam konteks pertunjukan.

Bila kita mengingat dan memperhatikan gejala yang ajeg dankonsisten antara aksi para dalang dan reaksi penonton terhadappertunjukan maka saya berpendapat bahwa penonton mempunyaipandangan khusus terhadap pertunjukan. Pandangan itu menyebabkanmereka tertarik dan merasa penting untuk melihat dan mendengarkan

6 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

pertunjukan secara serius dan mencoba memahami apa yang disajikanoleh para seniman dalam pertunjukan itu. Setidaknya merekamenganggap bahwa pertunjukan mengandung informasi yangdiperlukan oleh mereka, bagi kehidupan mereka dalam konteks sosial.Atau bahkan mereka juga bisa saja berpendapat bahwa pertunjukanitu mengandung pesan, yaitu suatu gagasan yang bisa dimanfaatkanuntuk kehidupan mereka di dalam masyarakat. Saya juga mendugabahwa adanya pesan itulah yang menyebabkan penontonmemperhatikan pertunjukan dengan penuh perhatian, serta rajinmenonton pertunjukan wayang setiap diadakan upacara di sekitarrumah mereka atau di sekitar desa di mana mereka tinggal atau bahkanketika suatu pertunjukan diselenggarakan di tempat yang jauh daritempat tinggal mereka sekalipun.

Jika dugaan saya tentang adanya informasi itu benar, maka perludipertanyakan lagi beberapa aspek tentang informasi itu. Para seniman,melalui pertunjukan yang mengandung aspek estetik kuat,menyampaikan informasi semacam apa kepada para penonton?Apakah benar bahwa pesan-pesan seperti itu yang menyebabkan parapenonton tidak bosan melihat pertunjukan semacam itu berulang-ulang? Mengapa semua penonton rela berlama-lama menungguberlangsungnya pertunjukan? Saya ingin mencari tahu sebenarnya dimana pusat perhatian mereka selama pertunjukan. Apa yang ingindidapatkan dari pertunjukan itu?

Proses dinamika pertunjukan seperti dilukiskan di atasmengisyaratkan adanya “ketergantungan” di antara para penontondengan seniman. Ketergantungan inilah yang menyebabkan situasidalam pertunjukan menjadi dinamis, karena setiap aksi dari paraseniman menyebabkan reaksi terhadap penonton. Setiap fragmenpertunjukan menimbulkan kesan khusus yang menyebabkan parapenonton bereaksi dengan cara khusus pula. Dengan begitupertunjukan bisa merangsang sebuah proses di mana input dari paraseniman dianggap bermakna bagi para penonton. Hal inilah yangselanjutnya dapat memberikan semangat hidup bagi para anggotamasyarakat dalam merefleksikan konsep pertunjukan ke dalamkehidupan nyata di dalam masyarakatnya.

Santosa | 7

Pengalaman seperti dilukiskan di atas pada mulanya merupakanperistiwa biasa seperti halnya pengalaman-pengalaman lain yang tidakperlu mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, pada saat berikutnyaketika merasakan perlunya menggunakan konsep untuk menganalisissebuah proses komunikasi dalam pertunjukan, ketika merasa perlumerumuskan landasan konsep dalam penelitian, hal itu terungkapkembali sebagai pemahaman yang mempunyai peran urgen dalammemberi warna terhadap cara berpikir, wacana, dan cara saya melihatsebuah gejala pertunjukan lain. Saat itu saya memandangnya sebagaisuatu “vokabuler pengalaman dan pemahaman” yang bisa memberikaninspirasi terhadap cara berpikir dan cara kerja ketika mengadakanpenelitian di lapangan. Singkatnya, hal itu telah banyak menghilhamicara kerja saya dan sekaligus menjadi landasan dasar dalam rangkapembentukan perspektif penelitian yang saya lakukan ketikamenyelesaikan studi di UC Berkeley, Amerika Serikat. Walaupun halitu juga pernah muncul ketika saya mengikuti kuliah di Akademi SeniKarawitan Indonesia (ASKI, sekarang ISI Surakarta), dan sering sayagunakan sebagai referensi untuk berbagai kepentingan dalam rangkapenyelesaian tugas-tugas kuliah, namun peran dan fungsi pemikiranitu tidak sekuat seperti ketika saya mengadakan penelitian lapangandi daerah Boyolali di akhir tahun 1990an dalam rangka penulisandisertasi untuk penyelesaian program Ph.D. di universitas itu.

Salah satu dampak penting dari pengalaman dan pemikiran ituadalah pada cara saya melihat pertunjukan gamelan di daerahGombang, Boyolali, Jawa Tengah. Beberapa konsep yang berpengaruhpada cara saya membuat sistematisasi pertunjukan di antaranya:kedalaman kesan tentang dinamika sosial pertunjukan wayang, carakerja seniman dalam pertunjukan, konsep yang muncul di antara parapenonton, aksi dan reaksi yang sedemikian terstruktur dari senimandan penonton itu akhirnya berpengaruh juga pada asumsi yangmemandang bahwa semestinya proses dinamis antara penonton danseniman itu dapat dianalogikan dengan proses serupa dalampertunjukan gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, bisa didugabahwa terjadi hubungan erat antara para pengrawit dengan parapenonton dalam hal berinteraksi melalui pertunjukan. Ada pula

8 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

keterkaitan dan ketergantungan antara pengrawit dan penontonpertunjukan gamelan, yang terjadi dengan cara-cara khusus sepertipada pertunjukan wayang. Saya ingin melihat pertunjukan gamelandan lingkungannya dari perspektif interaksi antara pengrawit danpenonton dalam konteks dan ranah estetik. Saya juga ingin mencermatilebih jauh tentang proses dinamis dalam wayang dan mempertanyakanapakah situasi itu juga terjadi dalam pertunjukan gamelan. Saya jugaingin membuat analogi antara proses dalam pertunjukan wayang danproses dalam pertunjukan gamelan dengan berasumsi bahwa yangdilakukan oleh seniman dalam pertunjukan wayang serupa denganyang dilakukan oleh para pengrawit dalam pertunjukan gamelan.Demikian juga, reaksi penonton dalam pertunjukan wayang sepertidiuraikan di atas juga sejenis dengan reaksi para penonton dalampertunjukan gamelan.

Analogi itu kemudian saya gunakan untuk memformatpemahaman itu menjadi sebuah konsep yang lebih komprehensif dankoheren yang bisa digunakan untuk menganalisis sebuah pertunjukangamelan. Lebih lanjut saya juga mengasumsikan bahwa, seperti halnyadalam pertunjukan wayang atau pertunjukan lain, dalam pertunjukangamelan juga terdapat dua pihak yang saling berinteraksi dengandibingkai oleh pertunjukan. Para pengrawit melakukan aksi dalambentuk pertunjukan, sementara itu para penonton memberikan reaksiterhadap pertunjukan itu di dalam bentuk tingkah laku selamapertunjukan berlangsung. Keduanya saling berinteraksi dalam kontekspengiriman dan penerimaan pesan yang untuk selanjutnya saya sebutproses komunikasi musikal.

Proses komunikasi musikal mengandaikan bahwa pertunjukangamelan mempunyai kekuatan tidak hanya dengan aura estetik, yangtelah banyak mendapatkan pengakuan dan perlakuan di bidangkesenian, tetapi juga nuansa komunikasi yang kuat. Tentu saja hal inimerupakan cara pandang dan pendekatan baru yang, walaupun parapelaku sudah melakukan proses itu dalam jangka lama dan berulang-ulang, tetapi mereka tidak memberikan perhatian khusus terhadapproses tersebut. Hal ini terjadi karena orientasi para seniman,penonton, penanggap, pengamat, sponsor, penggemar, dan bahkan

Santosa | 9

para peneliti seni pertunjukan tidak berada dalam ranah komunikasi.2

Pembentukan konsep komunikasi tidak hanya memerlukananggapan dan pemahaman bahwa sebuah pertunjukan mempunyaimakna mendalam di dalam benak para pengrawit dan penonton sajatetapi kita seharusnya mengakui bahwa sebuah pertunjukanmempunyai fungsi ganda: bagi para seniman pertunjukan dapatmenyampaikan pesan estetik dan pesan non estetik. Di pihak lainpenonton pertunjukan juga mendapatkan kedua dimensi itu. Dimensikedua itulah yang kemudian memberikan inspirasi terhadap sasaranyang sedang saya cermati selama ini. Keyakinan inilah yang kemudianmenuntun saya untuk mengadakan pengamatan terhadap pertunjukangamelan di desa-desa di wilayah Boyolali, untuk mengetahui seberapaintensitas proses komunikasi musikal terjadi selama mereka berada dilokasi pertunjukan.

Komunitas Desa dan RitualSaya perlu membicarakan tentang bagaimana komunitas desa

membangun kekuatan mental dan spiritual yang dapat memberikanbingkai terhadap semangat hidup warganya untuk mencapai cita-citadan harapannya. Setting ini sangat bermanfaat untuk memberikankerangka tentang tempat terjadinya berbagai aktifitas yang esensial didalam hidupnya seperti kehidupan religi3 yang melandasi sikap hidup,keyakinan, hubungan manusia dengan berbagai kekuatan di luar dirimanusia, cara mengonstruksikan dunia dan jaringan sosial, maupunbagaimana memanfaatkan sumber-sumber kekuatan untukkesejahteraan masyarakat secara bersama-sama.

Komunitas desa menganggap bahwa hubungan antarakekuatan-kekuatan supranatural – baik yang bersifat abstrak sepertiSing Gawe Urip, Sing Momong, maupun yang dipersonifikasikan menjadikekuatan penjaga keseimbangan dan keselamatan desa seperti danyang,sing mbau reksa harus dijaga agar manusia dapat mencapai keselamatandan kesejahteraan hidupnya. Cara berpikir ini sangat dominan dalammasyarakat desa dan hal ini memberikan nuansa khusus terhadap caramereka “mengelola” aktifitas religinya.

10 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Menjaga keseimbangan antara mikrokosmos denganmakrokosmos seperti ini, seperti halnya dengan hubungan antar wargamasyarakat yang akan saya jelaskan di bawah, dianggap esensial untukmembentuk hubungan harmonis di antara keduanya. Untuk itu,mereka menciptakan berbagai acara ritual seperti bersih desa (nyadran),ruwatan, ruwahan, rasulan, dengan menggunakan sesaji sebagai wahanamediasi agar kekuatan-kekuatan supranatural itu tetap melindungimanusia baik selama hidup di dunia maupun dalam kehidupanberikutnya. Hubungan seperti ini dipertahankan terus menerus karenawarga masyarakat menganggap bahwa hal ini dapat menghasilkaninteraksi harmonis yang bersifat abadi.

Konteks kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan seperti itumenumbuhkan ruang khusus yang dapat menghubungkan manusiadengan Tuhan, penjaga desa, maupun kekuatan lain yang bisamempengaruhi kehidupan manusia. Namun, ruang itu sering tidakdiisi dengan kegiatan ibadah, pemujaan, maupun persembahyanganserta aktifitas religi saja akan tetapi juga dengan berbagai jenis kesenianyang bagi masyarakat desa merupakan bagian tidak terpisahkan darikegiatan ritual. Mereka menganggap bahwa seni tidak hanya mampumemperkuat atsmosfir peristiwa relijius seperti itu tetapi juga yanglebih penting ia dapat mengantarkan manusia ke alam imajinasi dimana mereka dapat mendekatkan diri dengan kekuatan-kekuatan diluar dirinya. Peran seniman di dalam konteks ini bisa sangat sentral,mungkin hampir sama dengan para pemimpin agama di dalam kegiatanibadah, karena mereka diposisikan sebagai “pengantar” bagi harapan-harapan dan cita-cita untuk bergabungnya kekuatan manusia dengankekuatan Tuhan, sumber kekuatan yang mengatur segala aktifitas, nasib,suratan, dan takdir manusia.4

Proses sosial kehidupan religi seperti digambarkan di atas jugadapat memberikan bingkai terhadap cara warga masyarakat bersama-sama dengan para seniman dan penonton meresapi nilai-nilai religiyang berlaku di sana.5 Setting inilah yang membentuk orientasi merekadalam memahami konsep-konsep religi yang diterapkan dalamkehidupan masyarakat. Di dalam banyak hal setting itu diharapkandapat memberikan gambaran tentang bagaimana, di mana proses dan

Santosa | 11

dalam konteks apa anggota masyarakat desa mengungkapkan nilaireligi dan sosial di dalam ritual maupun pertunjukan. Demikian juga,hubungan antar para anggota masyarakat dapat dikontekstualisaikanlebih luas yaitu dalam upacara resmi desa maupun dalam kehidupanmasyarakat.

Proses pembentukan “ideologi religi” yang syarat dengankebebasan seperti itu ahirnya membuka peluang bagi para penganutnyauntuk membangun bermacam-macam karakter ideologi religi dalamrangka mempertahankan kohesi sosial. Landasan inilah yang akhirnyadapat memberi rujukan terhadap kegiatan-kegiatan sosial yang beradadi luar konteks ritual. Karena karakter ideologi itu mendapat tempatkhusus di antara para anggota masyarakat maka saya akan menjelaskanhal ini supaya bisa dilihat konteksnya dalam berbagai kegiatan laintermasuk pertunjukan gamelan dan kesenian lain-lain. Namun, sayatidak akan menguraikan semua sifat dan karakter dari pemahaman-pemahaman ini karena tidak semuanya berhubungan langsung dengantopik yang sedang menjadi perhatian saya yaitu proses komunikasimusikal. Jadi, hanya dimensi-dimensi yang bersinggungan denganproses komunikasi, hanya beberapa hal pokok saja yang saya sampaikandi sini.

Karakter pertama merupakan landasan utama bagi kehidupanmasyarakat desa yaitu bahwa kehidupan manusia dipengaruhi dandiatur oleh kekuatan supranatural, kekuatan yang paling menentukansegala kehidupan di dunia ini. Masyarakat desa merasa bahwakehidupan di desa merupakan perwujudan dari hubungan antara paraanggota masyarakatnya dengan kekuatan di luar diri manusia. Kekuatanitulah yang memberikan semangat kepada manusia. Untukmendapatkan hubungan yang harmonis di antara manusia dengankekuatan-kekuatan – baik yang datang dari Tuhan maupun kekuatanalam – mereka melakukan berbagai ritual desa dengan melibatkansemua elemen masyarakatnya.

Pola pikir hubungan mikrokosmos dan makrokosmos sepertiini memberikan peluang terhadap munculnya berbagai aktifitas ritualyang merupakan pertanggungjawaban anggota masyarakat terhadapSang Maha Pencipta. Tugas ini merupakan usaha bersama karena

12 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

anggota masyarakat tidak ingin salah satu atau seluruh anggotanyamendapatkana azab karena tidak mematuhi kehendak Yang Esa.Alasannya adalah bahwa semua anggota masyarakat desa merupakankesatuan menyeluruh dan entitas solid tanpa perselisihan danperpecahan yang membawanya ke jurang kenistaan dan kehancuran.Hal inilah yang mendasari kehidupan di desa bersifat komunal dengankesadaran penuh dari para anggotanya untuk saling menyadarkan akantugas dan kewajiban mereka dalam konteks religi dan ritual. Merekajuga mengakui bahwa setiap anggota masyarakat maupun kelompoksecara bersama bertanggung jawab untuk mensejahterakan orang laindan membahagiakan orang lain bukan dalam hubungan dengananggota masyarakat lain saja tetapi juga di bawah perlindungankekuatan makrokosmos. Masyarakat desa berkeyakinan bahwa apabilamanusia berusaha dengan tulus maka terciptalah kehidupan harmonidi antara keduanya. Kekuatan Tuhan dan kekuatan manusia bisamencapai puncak hubungan ideal apabila enerji dari keduanya salingmenguatkan sehingga terwujud kesatuan dan penyatuan kekuatan dwitunggal yang sangat didambakan selama mereka hidup di dunia.Penyatuan itu terwujud dalam konsep “manunggaling kawula lan gusti”yang merupakan situasi ideal dan kekal abadi, sebagai akhir dari tujuanhidup manusia.6

Kedua, masyarakat desa menganggap bahwa kepasrahan totalterhadap Yang Kuasa bukan hanya merupakan kewajiban melekatdalam dirinya akan tetapi yang lebih penting mereka bisa mendapatkanmanfaat dari hubungan itu terhadap diri pribadi maupunmasyarakatnya. Di dalam sisi ini, sinergi dua kekuatan itu bermuarapada banyak aspek kehidupan mereka terutama yang bisa menyinarikepentingan banyak orang. Mereka mempunyai tujuan mulia “memayuhayuning bawana,” yaitu mempersatukan dan menyejahterakanmasyarakat luas, dalam konteks dengan seluruh umat di dunia. Halini tidak hanya mengandung aspek kebersamaan dan kemasyarakatansaja akan tetapi juga pada saat yang sama mendapatkan pancarankekuatan yang terbentuk dari penyatuan kekuatan-kekuatan di atasyang menyinari kehidupan mereka. Dengan proses ini maka terjadilahproses interaksi yang berlangsung secara terus menerus, berkelanjutan,

Santosa | 13

dan berujung pada pembentukan berbagai makna yang hidup dalammasyarakat. Di dalam tataran kehidupan sosial mereka menganggapbahwa ikatan-ikatan sosial seharusnya tidak berdiri sendiri dan berakhirpada kesejahteraan duniawi akan tetapi hal itu seharusnya dilandasioleh konsep dasar “keakhiratan” yang dianggap puncak dan tujuanakhir dalam kehidupan bersama.

Saya menduga bahwa dua kategori itu merupakan jiwa yangmelandasi kehidupan masyarakat desa dan hal itu dianggap sebagaipusat perhatian di dalam mewujudkan cita-cita bersama yangdirumuskan oleh semua anggota masyarakat di dalam sistemkepercayaan mereka. Pandangan dunia yang bermakna relijius sepertiitu memberikan semangat kepada warga desa dalam menjalanikehidupan serta berinteraksi dengan semua elemen desanya. Lebihdari itu, pola pikir ini juga memberikan ruang kepada pertunjukanseni yang dalam konteks mereka dianggap dapat memainkan peranmultidimensional untuk memperkuat pandangan-pandangan merekatentang dunia, alam sekitar, maupun kehidupan dengan sesama anggotamasyarakat lain.

Fungsi UpacaraKedudukan dan status upacara dalam masyarakat desa dianggap

penting jika bukannya yang terpenting dalam membangkitkan ideologi,harapan, maupun cita-cita pribadi dan komunitasnya. Oleh karenaitu, orang-orang desa berpendapat bahwa setiap individu harusmelakukan upacara setidaknya sekali selama hidupnya, bila tidakmereka dianggap belum memenuhi kewajiban sebagai anggotakomunitasnya. Beberapa alasan penguat terhadap kedudukan upacaradapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, upacara merupakan saranabagi negosiasi status bagi individu yang menghadirinya. Setiap anggotamasyarakat mempunyai ikatan satu sama lain yang dibingkai olehupacara. Selama kehidupan bermasyarakat berlangsung, negosiasi sta-tus dianggap sebagai aktifitas perekat hubungan individu maupunkelompok, walaupun sering dinyatakan secara terselubung atau bahkantidak dikatakan sama sekali, yang dilakukan untuk mencapai tujuanbersama. Kebersamaan ini dilandasi oleh konsep dasar gotong royong,

14 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

yang menurut konsep konvensional dimaknai sebagai pembagian hakserta kewajiban secara sama rata dan sama rasa.7

Kedua, upacara juga mempunyai kedudukan untuk merajuttoleransi dalam konteks kekerabatan yang saling memberi dan salingmenguntungkan di antara anggota masyarakatnya. Setiap individumeresapi konsep ini dan mereka mewujudkannya dalam kehidupanmasyarakat serta saling mengontrol tingkah laku orang lain untukmencapai tujuan bersama. Mungkin konsepsi toleransi inilah yangmemberi bingkai terhadap perkembangan ideologi serta kematangancara berpikir karena toleransi menuntut adanya keseimbangan berpikirdan bertindak. Manifestasi konsep toleransi mempersyaratkan adanyarasa saling mengetahui dan mempertimbangkan kepentingan oranglain bukan untuk mengintervensi dan memusuhi sesama anggotamasyarakat tetapi untuk tetap dapat memenuhi harapan dengan tanpamengorbankan kepentingan orang lain.

Ketiga, upacara mendapatkan tempat khusus karena ia dianggapsebagai media untuk mencapai cita-cita bersama baik dalam pengertianlahir, yaitu ketenteraman dan kedamamaian dalam masyarakat sertakebahagiaan batin yaitu rasa terlindungi oleh lingkungan dan sesamaanggota masyarakat serta untuk mendapatkan jaminan akan kehidupanberikutnya. Ketiga alasan itu merupakan inti dari landasan yangdigunakan oleh masyarakat desa dalam melakukan segala aktifitasnya.Bahkan, ketiganya tidak hanya digunakan untuk melandasi upacaradan bentuk-bentuk kegiatan sosial saja tetapi juga untuk beraktifitasdengan masyarakat lainnya. Di dalam konteks inilah toleransi yaitusikap mengutamakan pada keberlangsungan interaksi yangmendasarkan pada keterhubungan antara semua anggotamasyarakatnya dalam konteks keseluruhan berlangsung dan terbentukdari unsur-unsurnya. Para anggota masyarakat bukanlah elemenkehidupan yang terpisah-pisah akan tetapi mereka dianggap sebagaiindividu yang menggunakan haknya dalam kehidupan bersama denganprinsip kebersamaan dan kesepahaman dari semua pihak.

Saya perlu menegaskan bahwa alasan-alasan dan landasan-landasan di atas mempunyai pengaruh pada pertunjukan baik dari sisiseniman, penonton maupun lingkungan pertunjukannya. Misalnya,

Santosa | 15

konsep gotong royong digunakan untuk mem-format konsep-konsepseni yang diarahkan untuk mendapatkan citra kebersamaan di dalamberbagai tingkatan. Di tingkat yang paling sederhana konsep itudigunakan untuk melandasi motivasi untuk bergabung di dalamaktifitas upacara maupun ritual, dan oleh karenanya partisipasi di dalamkegiatan upacara dianggap sebagai keharusan bagi anggota masyarakatdesa. Ketidak hadiran mereka dalam upacara dianggap sebagai “dosa”yang akan menjadi bahan pergunjingan di antara para anggotamasyarakat yang menghadiri upacara itu. Namun, konsep itu jugamendasari konsep-konsep yang berlaku baik dalam kehidupanmasyarakat maupun seni seperti keseimbangan, simetri, sangkan paran,kekerabatan, maupun konsep lain yang mempunyai kaitan dengankonsep dasar itu secara abstrak dan dinamis.

Satu fungsi pokok upacara, dan ini merupakan daya doronguntuk membangkitkan motivasi pribadi maupun kelompok, adalahmeningkatkan status tidak hanya kepada penanggap yang secaralangsung mendapatkan kedudukan lebih tinggi karena penghormatanyang diberikan kepada mereka ketika tamu menghadiri acara itu, tetapijuga kepada para tamu yang hadir. Ketika menghadiri upacara paratamu mendapatkan kehormatan karena kehadiran mereka dianggapsebagai wujud kesamaan status atau setidaknya mereka tidak dipandanglebih rendah dari pada tamu lain. Di dalam komunitas Jawa kehadirantamu dianggap merupakan partisipasi langsung agar merekamendapatkan status sama dalam jaringan masyarakatnya. Dalam kadartertentu peningkatan status bisa didapatkan di dalam upacara karenapartisipasi tamu dianggap mengekspresikan kepedulian terhadappenanggap yang mengharapkan kehadiran para tamu itu untukmendapatkan berkah baik bagi keluarganya maupun masyarakatnya.Status itu juga didapatkan karena setelah acara usai mereka jugameminta “pertanggungjawaban” dari para tamu lain denganmempertanyakan kehadiran dan partisipasi mereka dalam upacara yangtelah berlangsung. Kebanggaan luar biasa akan muncul apabilaseseorang dapat memberikan pelayanan atau jasa kepada tuan rumahyang pada saat itu sedang menjadi “raja sedina ratu sedalu” yaitu sosokyang diberi otoritas mutlak untuk mengatur segala seluk-beluk yang

16 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

berkaitan dengan upacara baik dalam pengertian harafiah maupunmetafor. Hal ini disebabkan oleh upacara dan konteksnya dianggapsebagai hajat bersama, suatu alat perekat dan pemberi semangat hidupbagi semua warga desanya. Di dalam konteks inilah dinamika“kompetisi peningkatan status” terjadi dan anggota masyarakat yangmenghadiri upacara mendapatkan peningkatan status dengan “pujian”yang didapatkan oleh anggota masyarakat lain. Situasi saling“tergantung” inilah yang pada akhirnya mempertebal rasa kebersamaanyang dapat menimbulkan ketentraman lahir dan batin karenakepercayaan di antara para anggota masyarakat untuk saling menjagakehormatan dan keselamatan mereka. Di sini, tampak dengan jelasbahwa upacara tidak hanya merupakan peristiwa pribadi atau keluargatetapi ia dijadikan sebagai wadah bagi terlaksanya harapan bersamabagi para anggota masyarakat di desa.

Situasi di atas tidak hanya berpengaruh terhadap cara berpikirdalam memaknai upacara tetapi para tamu juga dapat menciptakannilai-nilai ketika mereka menikmati pertunjukan gamelan. Pola pikirpara penonton diberi bingkai oleh berbagai konsep seperti:kebersamaan, rasa saling melindungi, toleransi, maupun hubunganantar anggota masyarakat desanya. Kaitan-kaitan antara konsep dasardi dalam masyarakat dengan konsep-konsep seremonial diciptakanuntuk mendapatkan nilai bagi kehidupan keluarga dan masyarakat.

Nilai-nilai kemasyarakatan seperti ini, baik yang mengakarlangsung kepada konsep pokok maupun konsep-konsep bentukandalam upacara, sangat dekat dengan pemaknaan pertunjukan karenamelalui nilai-nilai itulah pertunjukan gamelan dikontekstualisasikandan dimaknai dengan riil. Makna gamelan yang multi-facet akhirnyamendapatkan muara pada diri penonton baik sebagai pribadi danterutama sebagai anggota masyakatnya yang memenuhi syarat untukmembangun keseluruhan sistem nilai yang berlaku di sana. Di dalamsituasi seperti inilah kehadiran anggota masyarakat desa dalam upacaradesa maupun upacara pribadi diberi orientasi dalam berhubungandan berinteraksi dengan anggota masyarakat lain.

Santosa | 17

Kerangka PemikiranKonsep komunikasi musikal mempunyai cara tersendiri untuk

melihat objek dibandingkan dengan konsep komunikasi lain baik yangsejenis maupun berbeda jenisnya. Konsep ini mempunyai kekhususankarena objeknya tidak berada di dalam lingkungan kehidupan sehari-hari seperti ketika berbicara selama bekerja di kantor, ketika beradadi supermarket, ketika melihat televisi, ketika mendengarkan radio,ataupun ketika menghadiri rapat desa, tetapi berada di dalampertunjukan gamelan di mana pelakunya berada di dalam situasi estetik.Berbeda dengan lingkungan di mana komunikasi bentuk lainberlangsung, komunikasi musikal memerlukan pencermatan khususkarena pesan yang disampaikan tidak bersifat “monolitik” yaitu yangdipandang dari dan dapat dilaksanakan dalam satu dimensi tetapidisajikan dalam keseluruhan totalitas dimensi yang ada dalampertunjukan. Hal inilah yang membuat penelitian tentang komunikasimusikal berbeda dengan penelitian tentang komunikasi di bidang lain.

Cara pandang “totalitas” itu mempersyaratkan adanya pemikirankhusus yang disesuaikan dengan objek dan sasaran penelitian. Objekpenelitian di ranah estetik seperti ini mempunyai karakter bahwasubstansi materinya berada di dalam ruang penuh nilai, bukan dalamranah hampa makna. Hal ini mengandung konsekuensi bahwapemahaman terhadap materi itu seharusnya didasarkan ataskemampuan peneliti untuk mengenali sifat-sifat khususnya, jika tidakpeneliti akan mendapatkan data yang “hampa” karena tidak dapatmenangkap substansi objek dalam konteks nilai yang relevan. Untukitu, kemampuan peneliti di dalam memahami ranah estetik menjadikrusial karena bila tidak orientasinya akan menjadi keliru.

Pemahaman peneliti tentang substansi karakter objek dalamranah estetik juga dapat mempengaruhi orientasi peneliti dalammenentukan sasaran penelitian. Oleh karena sasaran merupakankonsep sentral yang menjadi pusat perhatian peneliti, yang akandianalisis di dalam konteksnya, sementara penelitian berada di dalamranah estetik, maka pemahaman konsep estetik menjadi syarat utamabagi peneliti. Pemahaman itu akan memberikan landasan terhadapkeseluruhan bangunan konsep komunikasi musikal yang menggunakan

18 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

jaringan sub-konsep yang relevan untuk itu. Peneliti yang menguasaiobjek dengan baik dan mempunyai pemahaman komprehensif tentangobjek itu akan mempunyai akses terhadap sasaran yang mengandungkonsep itu.

Proses komunikasi musikal, yang menjadi perhatian utama daripenelitian ini, dibangun dengan landasan dasar konsep komunikasiyang menganggap bahwa berlangsungnya pemindahan pesanmerupakan tujuan utama proses itu. Oleh karenanya, sayamenggunakan asumsi bahwa landasan dasar proses komunikasi ituadalah tersampaikannya sebuah pesan dari pengrawit kepada parapenonton, yang merupakan esensi dari proses komunikasi padaumumnya. Sifat-sifat lain, seperti kesepahaman antara pengirim danpenerima pesan, adanya aksi dan reaksi yang timbal balik, saya anggapsebagai tambahan karakter yang tidak begitu esensial dan merupakansyarat khusus dari tiap jenis komunikasi yang diselenggarakan.

Pandangan saya tentang komunikasi itu menuntun saya untukmenggunakan konsep Marco De Marinis (1983) bahwa komunikasitidak selalu dalam modus bolak balik, seperti yang dinyatakan untukkomunikasi verbal, tetapi yang penting adalah tersampaikannya pesandari satu tempat ke tempat lain, dari satu individu ke individu lain.Hal ini bukanlah sesuatu yang baru karena dalam beberapa jeniskomunikasi, seperti pada komunikasi yang menggunakan bahasa tulis,hal ini juga terjadi. Bahkan ia mengatakan lebih esktrim bahwa bilapenerima pesan sudah mengetahui adanya kanal yang terbuka,walaupun saya tidak mengikuti pendapatnya dengan penuh, proseskomunikasi telah terjadi. Di dalam konteks inilah komunikasi musikalmendapatkan landasan kokoh karena konsep itu tetapmempertahankan prinsip dasar komunikasi tanpa harus mengikutibentuk komunikasi lain yang menganggap bahwa terjadinya prosesaksi-reaksi timbal balik dengan menggunakan modus serupa atau samamerupakan syarat utama dari terjadinya proses komunikasi. Sayaberkeyakinan bahwa sebuah proses komunikasi, termasuk komunikasimusikal yang sedang saya cermati dan analisis, telah terjadi dan dengandemikian penggunaan konsep seperti itu dalam penelitian komunikasi

Santosa | 19

musikal bisa dinyatakan sahih dengan argumentasi yang akan sayanyatakan pada bagian lain buku ini.

Catatan MetodologiPenelitian tentang proses komunikasi musikal merupakan

pendekatan baru dalam melihat dan menganalisis pertunjukan danoleh sebab itu mempersyaratkan penggunaan metodologi yang ketatkarena berbagai persoalan muncul di sana. Di samping itu,pengumpulan data terhadap ranah baru ini memerlukan berbagaipertimbangan sehubungan dengan karakter sasaran. Beberapa strategisaya gunakan untuk mendapatkan pemahaman yang didasarkan atasfakta dengan mempertimbangkan permasalahan sebagai berikut.Pertama, proses komunikasi musikal merupakan kompleksitas gejalayang muncul ketika penonton memaknai pertunjukan denganmelibatkan banyak aspek pertunjukan dan gejala sosial. Untuk itu,peneliti perlu berpikir di dalam kompleksitas itu denganmemperhatikan banyak faktor namun pada saat yang sama juga dapatmemprediksi kemungkinan adanya hubungan antara gejala-gejala yangmuncul dengan konsep yang sedang digali. Jika tidak, peneliti akanmendapatkan data yang saling tidak berhubungan karena banyaknyadata yang muncul pada saat yang bersamaan, padahal pada saat yangsama harus diamati di dalam konteks yang kompleks itu. Kedua, gejalakomunikasi musikal bersinggungan dengan gejala estetik dan olehkarena itu pemahaman tentang proses pemahaman estetik juga perludiketahui walaupun tidak menjadi perhatian utama dalam penelitian.Ketiga, proses komunikasi musikal, walaupun dilaksanakan bersamaandengan penonton lain, setiap penonton mengalami proses secaraindividu dan bersifat pribadi sehingga perlu dicari modus untukmendapatkan data dan informasi lengkap dan bermanfaat. Keempat,pengamatan terhadap pertunjukan bukanlah pekerjaan yang mudahkhususnya apabila peneliti menggunakan pendekatan di luar estetikapertunjukan karena aspek keindahan mempunyai kekuatan yangmenimbulkan daya tarik kepada semua pihak yang menontonnya. Suaradalang yang merdu, suara pesindhen yang mendayu, suara gamelanyang mengalun semuanya menimbulkan daya tarik tiada tara. Penelitian

20 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

terhadap aspek komunikasi pada saat yang sama memerlukan fokusdi dua ranah yaitu ranah estetik dan ranah komunikasi. Hal ini seringtidak mudah dilakukan karena apabila tidak disertai denganpemahaman mendalam tentang objeknya kekuatan dimensi estetikbisa mengalahkan perhatian peneliti untuk mencermati fokus kajianpenelitian.

Pertimbangan-pertimbangan di atas mengisyaratkan bahwapenjelasan dan penguraian tentang masalah komunikasi dalampertunjukan seharusnya mempunyai dasar kuat. Oleh karenanya,kerjanya memerlukan persiapan dan perenungan khusus sebelumdipilih strategi yang sesuai. Berbagai dimensi yang terlibat dalam prosesitu seperti aspek visual, auditif, konseptual, seharusnya dijadikanlandasan untuk menentukan pilihan modus pengambilan data. Namun,kerumitan akan segera muncul bila mengingat bahwa proses itu terjadisecara instan, tidak dapat diulangi setelah terjadi dan hanya terjadisekali saja, serta banyak segi-segi pertunjukan yang berperan. Untukitu saya memutuskan melakukan beberapa kerja yang saya pandangdapat mengidenfikasi beberapa masalah pokok dalam komunikasimusikal yaitu: dokumentasi gejala sosial, dokumentasi gejala auditif,dokumentasi hubungan antara aksi oleh seniman dengan reaksi olehpenonton, serta kesan menonjol untuk membuat rumusan tentangproses yang sedang terjadi. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwacara-cara itu dapat mengurai permasalahan, tetapi saya inginmenegaskan bahwa dengan cara itu peta persoalan pokok dapatteridentifikasi. Hal ini diharapkan dapat digunakan untukmemperlancar menjelaskan proses komunikasi yang sedang terjadidengan segala permasalahan yang ada di sana.

Satu proses yang segera tampak dan menjadi sentral di dalamkonteks ini muncul dalam hubungan antara seniman dengan penontonpada saat pertunjukan gamelan berlangsung. Hubungan ini tidakbersifat sederhana tetapi kompleks dan mengandung banyak dimensidan konotasi. Karena kerja penelitian yang pokok adalah menguraiproses komunikasi antara pengrawit dan penonton dalam mengirimdan menerima pesan, maka dokumentasi tidak dapat dilakukan hanyadengan membuat rekaman peristiwa di panggung, seperti yang banyak

Santosa | 21

terjadi di kalangan peneliti di sekolah seni saja tetapi juga peristiwayang terjadi di antara penonton ketika mereka menghadapipertunjukan.

Kompleksitas seperti digambarkan di atas memerlukan carakhusus untuk mendapatkan data agar analisis dapat dilakukan denganoptimal. Usaha untuk mendokumentasikan kompleksitas itu harusdiwujudkan di dalam cara mengumpulkan data, di sampingmenguraikan datanya menjadi pengetahuan dan pemahamanmenyeluruh tentang konsep komunikasi musikal. Untuk itu digunakandua buah kamera video yang dapat “menghubungkan” dua gejala yangmenjadi pusat perhatian penelitian ini yaitu antara peristiwa panggungdan di luar panggung. Data dari dua kamera ini menjadi bahan utamauntuk mengonstruksikan proses komunikasi musikal dalampertunjukan gamelan. Saya menyadari bahwa dokumentasi itu tidakdapat menangkap semua gejala yang diperlukan, walaupun saya sudahberusaha untuk mendapatkan data dari sini dengan mengoptimalkanberbagai cara, dan oleh karena itu saya masih memerlukan dokumentasifoto. Gambar diam (tidak bergerak) akan dapat melengkapi dimensi-dimensi yang secara tidak sengaja terlewatkan dari “dokumentasi duaarah” yang merekam peristiwa panggung dan di luar panggung itu.Saya dapat memanfaatkan keduanya untuk mendapatkan keragamandata yang dapat memperkaya informasi untuk memberikan berbagaiinspirasi dalam menganalisis komunikasi musikal yang menjadi fokusperhatian saya.

Rekaman audio juga dapat sangat bermanfaat dalam kontekspenelitian saya karena betapapun canggihnya sebuah “approach” dalamkonteks lingkungan pertunjukan masih saja ada dimensi-dimensi yangtidak dapat dilingkupi dan didokumentasi karena kompleksitaspertunjukan yang multidimensional serta bersifat multitafsir. Rekamanaudio dapat mengambil “sudut pandang” khusus misalnya ketikaseorang atau sekelompok penonton berbincang atau bereaksi secarakhusus terhadap pertunjukan di mana peralatan lain tidak dapatmenjangkau gejala yang hanya terjadi sekali dan tidak dapat diulangiitu. Demikian juga, hal ini seharusnya dapat memperkaya data yangtidak dapat dijangkau oleh peralatan lain karena kekuatannya yang

22 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

terbatas maupun karena jarak yang tidak dapat dijangkau oleh peralatanlain itu. Dalam kenyatannya rekaman audio ini sangat besar manfaatnyakarena di samping kompleksitas pertunjukan yang tidak terkendalijuga karena munculnya reaksi spontan yang tidak dapat diprediksimerupakan alasan penting bagi penggunaan peralatan audio ini. Sayamendapatkan manfaat banyak dari penggunaan peralatan ini.

Tidak kalah pentingnya adalah pengerjaan dan penulisanfieldnotes yang menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Sepertiposisinya dalam penelitian kualitatif pada umumnya, sayamenempatkan catatan lapangan ini sebagai bahan utama dalam rangkamemberikan kerangka terhadap pemahaman instan tentang gejalapertunjukan dalam segala dimensinya. Saya menyadari pentingnya halini dilakukan karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kerumitanterjadinya proses komunikasi musikal tidak dapat diikuti dengan kerjaotak normal karena otak mempunyai keterbatasan kapasitas dalammengamati, mencerna dan menganalisis proses sosial berupakomunikasi musikal. Hal ini mempersyaratkan agar penelitimenggunakan catatan lapangan untuk membantu merekonstruksikankesan dan mencatat prakonsep yang terbentuk melalui pengamatanlangsung terhadap pertunjukan gamelan. Pemahaman dan prakonsepseperti ini hanya terjadi sesaat pada waktu berada di lokus pertunjukandan akan hilang ketika peneliti meninggalkan tempat pertunjukan.Lagi pula, pembangkitan kembali ingatan prakonsep sering hanya bisadilakukan segera setelah peneliti usai melihat pertunjukan, dan olehkarenanya posisi catatan lapangan sangat urgen dalam membangunulang memori yang pernah ada.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat dampak konkritdari pemikiran saya terhadap metodologi dan cara kerja penelitian.Hal ini perlu diposisikan supaya pembaca memahami substansi daripenelitian ini. Untuk itu saya memberikan rasional tentang beberapalangkah yang saya lakukan dalam rangka pengumpulan data sertaimplikasi penggunaannya dalam analisis yang saya gunakan. Pertama,pengambilan gambar, gambar bergerak yang direkam dengan kameravideo dan gambar diam yang diambil dengan kamera foto, dilakukankarena adanya aplikasi konsep baru tidak dapat menggunakan cara

Santosa | 23

“konvensional” seperti yang dilakukan pada umumnya, yaitu denganmemfokuskan pada ranah estetik saja, tetapi juga seharusnyamenggunakan perspektif berbeda yaitu komunikasi. Jika pada kerjadokumentasi untuk mendapatkan data estetik, yang banyak dilakukandi dalam lingkungan kesenian dan di lingkungan akademik dilingkungan seni, peneliti menggunakan strategi untuk mendapatkandata kesenian maka dalam kerja ini saya ingin mendapatkan datatentang komunikasi yang terjadi dalam ranah seni.

Kedua, perlakuan terhadap sasaran juga didasarkan atas kebaruanperspektif yang digunakan sehingga para seniman perlu memformatulang pikiran-pikiran mereka di dalam konteks baru yang bisa jadimerupakan hal yang asing bagi orientasi dan cara memikirkanpertunjukan. Mereka perlu menyesuaikan dengan ranah baru, yangsaya sadar bahwa mereka tidak perlu mengetahui apalagi menghafalidiom-idiom baru yang asing bagi mereka. Ranah baru itu berada diwilayah “ambang” di mana mereka mengerjakannya tetapi tidak dalamformat komunikasi. Pengalaman dan pemahaman mereka tentangkeberadaan konteks dan berlangsungnya pengiriman pesan perludirenungkan ulang supaya mereka memasuki ranah yang sedang diteliti.Saya tidak ingin mengatakan bahwa para seniman menggunakan carakerja baru seperti yang saya lakukan tetapi mereka “mengemas”pengalaman mereka cukup dengan mengikuti alur pikir yang sedangsaya kembangkan. Bagi mereka tidak ada “metodologi” baru dan halini tidak membuat mereka merumuskan konsep baru.

Gambaran tentang kerja dan pola pikir di atas mengisyaratkanadanya penyesuaian tidak hanya dalam hal metodologi, kerangka kerjayang diaplikasikan saja tetapi juga pada cara saya mendapatkan datadari para seniman. Hal yang menonjol untuk dicatat adalah penyesuaianidiom dan istilah-istilah yang mengandung konsep “asing” yang tidakbiasa digunakan di dalam lingkungan seniman. Idiom-idiom seperti“komunikasi,” “pesan,” “konotatif kompleks,” adalah beberapa contohyang perlu disampaikan kepada para pengrawit dan vokalis denganbahasa yang difahami oleh mereka sehingga mereka dapat memberikandata sesuai dengan lingkup penelitian. Untuk itu diadakan penyesuaiancara kerja dan cara mewawancarai para seniman. Hal ini merupakan

24 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

konsekuensi dari penggunaan pendekatan baru yang mengandungimplikasi tidak hanya pada konsep yang digunakan tetapi juga padametodologi dan strategi untuk menganalisis data serta menjelaskansusbtansi yang sedang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Hal initelah mengarahkan pada pemanfaatan pemikiran khusus agar konsepkomunikasi bisa difahami dengan cara sesuai dengan kebiasaan mereka.

Penyesuaian dalam berbagai tingkatan seperti itu membutuhkanperhatian khusus karena hal ini terjadi di setiap bagian penelitian.Akibatnya, pencarian data memerlukan berbagai macam kerja danstrategi. Sementara itu tuntutan untuk mendapatkan input relevansebanyak mungkin menjadi semakin urgen, sehingga dalam banyakhal saya terpaksa melaksanakan efisiensi kerja. Misalnya, ketikamenghadapi situasi pertunjukan yang kompleks, sementara saya harusmengoperasikan berbagai peralatan rekaman, - kamera video, kamerafoto, perekam audio – saya memutuskan untuk tidak menggunakancatatan lapangan “konvensional” dengan tulisan, diagram, dan gambarseperti yang biasa dilakukan dalam kerja lapangan, tetapi sebagaigantinya saya memanfaatkan teknologi rekaman untukmendokumentasikan suara saya yang memberikan komentar terhadapgejala komunikasi musikal yang sedang terjadi. Membuat catatanlapangan seperti ini tidak pernah dilakukan, walaupun saya merasakanlebih efisien dari pada menggunakan fieldnotes biasa, karena dianggapkurang bisa mewakili pikiran-pikiran dan kesan yang muncul padasaat pertunjukan. Hal ini saya lakukan karena keadaan memaksa; pikiransaya telah terbagi menjadi beberapa bagian: mengoperasikan videountuk dokumentasi penonton, menggunakan kamera foto untukmengambil gambar, mengawasi berjalannya tape recoder semuanyaberlangsung pada saat yang sama. Sementara itu asisten saya merekamperistiwa panggung yang bisa dilakukan dengan metodologi yang biasadigunakan dengan beberapa modifikasi pada perspektifnya. Bersamaandengan kerja itu semua saya berpendapat bahwa penggunaan fieldnotesdengan membuat rekaman merupakan langkah terbaik untukmenghadapi situasi tersebut walaupun saya tidak merekomendasikanhal itu dapat digunakan dengan baik untuk setiap situasi lapangan.

Santosa | 25

Saya juga tidak meninggalkan cara termudah untukmendapatkan informasi yang valid dan mutakhir dari penontonterpilih. Cara yang paling ideal adalah dengan model wawancara didalam konteks pertunjukan. Hal ini tidak mudah dan bahkan tidakdisarankan karena peneliti harus mengikuti proses berpikir merekayang terjadi secara instan selama pertunjukan berlangsung. Tentu sajahal ini tidak mungkin dilakukan karena akan mengganggu prosespemaknaan pertunjukan. Di samping itu ada resiko lain yaitu bahwajika penonton secara kebetulan bereaksi terhadap pertunjukan denganbergerak, menyanyi, atau berjoget, wawancara tidak mungkindilakukan. Bila dilakukan hal ini akan mengganggu aktifitas parapenonton dan pelaku serta sekaligus tidak praktis karena tidak akanmendapatkan jawaban yang memuaskan dan lengkap. Oleh karenaitu, model pengambilan data seperti ini sebaiknya tidak dilakukan,karena akan menghabiskan waktu dan tidak akan mendapatkan datayang valid.

Cara lain yang mungkin dilakukan adalah mengadakanwawancara dengan para penonton setelah usai pertunjukan. Tentusaja wawancara semacam ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkinsetelah pertunjukan selesai karena bila tidak pemikiran penonton akansegera berpindah dan berakumulasi dengan minat dan orientasi lain.Model ini mempunyai kelemahan karena beberapa hal sebagai berikut.Pertama, peneliti tidak akan dapat menghasilkan data komunikasi yangriil karena proses komunikasi telah terjadi beberapa saat yang lalu danhal itu hanya terjadi sesaat. Tidak ada strategi untuk mengulangi prosesitu apalagi dengan cara dan hasil yang sama. Namun, denganmempertimbangkan gejala yang ada pada saat terjadi komunikasi makasaya berpendapat bahwa ini adalah cara yang terbaik dengan mengakuiadanya kelemahan bahwa proses komunikasi tidak akan dapat diulangilagi walaupun dilakukan di tempat yang sama dan oleh para pengrawitdan gendhing yang sama. Kesulitan metodologis semacam itumengingatkan saya untuk memanfaatkan berbagai strateti sepertipenggunaan alat – kamera video, kamera foto, tape reorder, maupunfield-notes untuk mendokumentasikan berbagi data yang muncul padasaat proses komunikasi berlangsung. Kedua, mengadakan pengamatan

26 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

terselubung (tersembunyi) dengan fokus perhatian pada seorangpenghayat, agar data yang didapat lebih valid dan reliabel. Untukkeperluan penelitian ini digunakan dua cara dimaksud, agar didapatdata yang lebih lengkap dari dua sisi.

Saya sepenuhnya menyadari bahwa karena kompleksitas sasaranpenelitian yang menjadi fokus perhatian, maka tidak ada satupun carayang bisa digunakan dan dapat menyelesaikan semua masalah sertamemenuhi segala kebutuhan. Oleh karena itu, saya memutuskan untukmelakukan beberapa langkah kerja yang terbaik dan bisa mendapatkanhasil optimal. Tetapi perlu juga disampaikan bahwa hasil akhir bukanlahtergantung pada data dan informasi yang terkumpul, betapapunlengkapnya dan validnya, tetapi akan tergantung pada cara penelitiuntuk menjadikan data itu menjadi hasil analisis yang cermat dan baik.Jadi, dengan segala kekurangan pada data yang tidak dapat dihindari,yang perlu selalu disadari dan diintrospeksi kelemahan dankekurangannya, tidak mustahil bahwa penelitian akan dapatmendapatkan hasil yang terbaik. Untuk itu usaha optimal dalammenganalisis data dengan konteks yang sebaik mungkin bisadiharapkan hasil yang baik pula.

Perbedaan PersepsiKetika memulai penelitian di desa-desa di Boyolali saya meminta

seorang mahasiswa etnomusikologi tingkat akhir untuk membantumengambil gambar video tentang pertunjukan yang saya pilih untukdiamati dan dianalisis. Namun, karena banyaknya tugas yang harusdilaksanakan saya tidak terlintas untuk memberikan petunjuk lebihdetil tentang pengambilan gambar itu. Saya mempunyai argumenmengapa saya tidak memberikan petunjuk pengambilan gambar videosecara rinci. Pada saat itu saya berasumsi bahwa karena mahasiswatersebut mempunyai banyak pengalaman mengambil gambar videopertunjukan maka seharusnya dia dapat mengambilnya dengan baik.Ternyata asumsi itu tidak benar karena hal itu tidak terjadi. Daripengalaman itu saya berkesimpulan bahwa pengambilan gambar video– termasuk foto dan pengambilan dokumentasi suara – tidak hanyamempersyaratkan pengetahuan dan kemampuan teknik seperti

Santosa | 27

bagaimana mengoperasionalkan alat, mempersiapkan peralatan denganlengkap, mengetahui kapan harus mengganti baterei, bagaimanamembersihkan peralatan saja tetapi juga yang lebih penting adalahbagaimana cara memandang sasaran penelitian itu. Tentu saja caramemandang ini didasarkan atas asumsi yang dirumuskan oleh peneliti.Hal inilah yang membuat perbedaan antara saya dengan mahasiswayang membantu mengambil rekaman dengan menggunakan kameravideo.

Perbedaan itu ternyata membawa dampak terhadap cara kerjadan cara mendokumentasi pertunjukan. Peristiwa yang saya harapkandidokumentasi dengan tepat dan lengkap ternyata tidakdidokumentasikan karena ternyata ia mengambil gambar didasarkanatas “sudut pandang” sendiri yaitu melihat pertunjukan sebagai prosespenyampaian pengalaman di ranah estetik. Menurut pandangan itupengambilan gambar seharusnya dilakukan ketika para senimanmengadakan pertunjukan, ketika menyanyikan tembang untukkebutuhan seremoni, ketika para seniman berinteraksi di ataspanggung, selama mereka menyajikan gendhing-gendhing untukdinikmati oleh para penonton. Hal ini berbeda dengan “sudutpandang” saya yang melihat pertunjukan sebagai salah satu wujudproses komunikasi di antara para seniman dan penonton, di manasemua kegiatan seniman, baik kegiatan berkesenian maupunbersosialisasi di dalam panggung keduanya menjadi perhatian utamapenelitian ini.

Perbedaan pandangan seperti itu menambah kesadaran sayabahwa penggunaan sebuah konsep dalam penelitian mengandungimplikasi luas terhadap persoalan metodologi dan strategi dalammengonstruksikan gejala dan fakta di lapangan. Persiapan saya dalammencermati konsep yang saya gunakan dan akumulasi kerangka teoriyang saya peroleh dari kuliah di kampus serta selama membacareferensi terpilih perlu diperhatikan karena hal itu berpengaruh padaorientasi pemikiran saya terhadap pertunjukan gamelan. Pemikiransaya, yang menggunakan konsep dari bidang lain namun diterapkandalam pertunjukan, ternyata dihadapkan dengan pemikiran mahasiswatersebut yang menggunakan faham bahwa pertunjukan gamelan

28 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

mengandung unsur estetik yang harus dicermati dengan melihatnyadari perspektif keindahan sajiannya. Hal ini tidak berarti bahwa adasalah satu dari cara kerja itu yang keliru, tetapi keduanya bisa digunakandi dalam konteks masing-masing dengan konsekuensi dan implikasikonseptual masing-masing.

Analisis proses komunikasi musikal dilakukan denganmemaknai gejala-gejala yang muncul dalam pertunjukan sertamemposisikannya sesuai dengan pelaku utama dalam proseskomunikasi itu. Beberapa pertanyaan untuk memetakan proseskomunikasi perlu disampaikan agar dapat melihat peran masing-masing pelaku dalam proses yang sedang diteliti. Beberapa pertanyaanitu antara lain: siapa saja yang berperan mengirim pesan di dalamkomunikasi, siapa penerima pesan, pesan komunikasi musikalbentuknya apa saja, bagaimana konteks mempengaruhi proseskomunikasi, serta bagaimana pembentukan pesan terjadi dalamkonteks khusus dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan inputyang berperan dalam proses itu. Semua permasalahan komunikasi itumasih dikontekstualisasikan dengan permasalahan komunikasi laindengan membayangkan apa yang terjadi bila komunikasi lain-lainterjadi dalam pertunjukan gamelan. Dengan kata lain, saya mencobauntuk membuat “dialog” antara wacana komunikasi musikal dengankomunikasi lain bila dianggap relevan untuk melakukannya. Hal inidilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang implikasi konseptualyang terjadi serta untuk mendapatkan konsep-konsep yang relevanserta untuk mendapatkan konsep baru yang bermakna dalamkomunikasi musikal. Secara umum dialog seperti itulah yang akhirnyamembuahkan analisis baru serta membuka ranah baru yang wujudnyapernah dibayangkan oleh beberapa ilmuwan seni selama beberapadekade lalu.

Dampak dari pemikiran saya tidak hanya berlaku bagimetodologi yang saya gunakan tetapi juga pada persepsi kalanganseniman yang menjadi sasaran perhatian dalam penelitian ini. Sepertibiasanya para seniman berorientasi pada dimensi estetik dari sebuahpertunjukan serta bagaimana sebuah pertunjukan bisa menimbulkanimajinasi dalam pikiran para penonton melalui mediasi input sensual.

Santosa | 29

Orientasi pada aspek komunikasi tidak diperhatikan akan tetapi merekamenggunakannya sebagai sarana untuk mendapatkan input sensual8

sebagai bahan pembentukan citra melalui kiasan-kiasan imajinatif.Proses seperti ini lebih mementingkan dimensi penghayatan,pemahaman, dan pemaknaan pertunjukan dalam rangka memperluaspandangan, memperkuat “world-view,” serta mendapatkan hubunganesensial dari sebuah kehidupan baik di dalam masyarakat maupundalam hubungan dengan kekuatan supranatural.

Bagi saya semua kegiatan yang dapat memberikan inputterhadap analisis komunikasi musikal saya jadikan bahan untukdidokumentasi khususnya apabila gejala itu berada di dalam ranahkomunikasi, atau diduga mempunyai fungsi dalam ranah tersebut.Percakapan di antara para pengrawit, omong-omong di antara parapesinden, di antara para penonton, reaksi spontan para penontonterhadap pengrawit dan pertunjukan yang pada umumnya dianggapsebagai tingkah laku tidak penting bagi kerja penelitian yang biasadilakukan oleh orang lain, dalam kerangka pikir saya dijadikan bahanpertimbangan untuk menganalisis komunikasi musikal. Bagaimanakonsep sosial dan kesenian (maupun musikal) memberikan landasanterhadap tingkah laku para penonton ataupun pengrawit, dengantujuan apa mereka mendengarkan sebuah proses yang oleh sebagianbesar anggota masyarakat seni maupun ilmuwan masih dianggapsebagai peristiwa yang tidak perlu diperhatikan. Cara kerja dan caraberpikir ini yang menyebabkan saya dan para pengrawit seringmempunyai silang pendapat tentang apa yang dianggap signifikandalam pertunjukan. Misalnya, ketika diminta mempertontonkan hasilrekaman video pertunjukan gamelan yang telah mereka kerjakan tentusaja saya dengan senang hati dan bangga memperlihatkannya karenahal itu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab saya sebagaipeneliti terhadap mereka. Demikian juga, hal itu saya gunakan untukmendapatkan masukan dari cara-cara saya memandang aktifitaspertunjukan, cara saya mengonstruksikan data, maupun inginmengetahui apakah mereka memberikan tanggapan baik terhadap hasildan kerja yang saya lakukan. Apakah mereka memberikan masukanyang bermanfaat untuk kerja selanjutnya ataukah mereka tidak

30 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

menyetujui metodologi kerja saya. Namun, tentu saja komentar merekaberbeda dengan pandangan saya karena fokus perhatian penelitianini adalah proses komunikasi. Bagi mereka terdapat bagian-bagianpertunjukan yang tidak perlu dipertontonkan seperti: percakapansantai, senda gurau, serta kegiatan makan dan minum. Bagi merekakegiatan-kegiatan itu tidak perlu disertakan dalam dokumentasi karenaakan mengganggu pemahaman tentang pertunjukan itu. Jelas hal inididasarkan atas pemikiran berbeda bahwa dasar-dasar menyeleksi danmemaknai data dilandasi atas aspek estetika, di mana hanya segi-segiyang mengandung aspek estetis yang didokumentasikan. Merekaberpendapat bahwa dokumentasi pertunjukan seharusnya didasarkanatas dimensi keindahan yang memfokuskan pada aspek pertunjukan:ketika mereka bermain instrumen, ketika mereka menyanyikan laguvokal, ketika mencari modus untuk menyesuaikan dengan atmosfirpertunjukan, ketika menanggapi penonton dengan gendhing, ketikamengasosiasikan gendhing dengan aspek kehidupan, dan aktifitassejenis. Bagi saya “adegan” itu merupakan bagian tak terpisahkan daricara-cara saya mengeksplorasi konsep komunikasi musikal yang sedangmenjadi perhatian utama saya, namun dengan fokus pada adanya aksidari para pengrawit dan reaksi dari para penonton. Dengan kata lain,ada perbedaan mencolok antara para pengrawit dan vokalis sebagaipelaku pertunjukan, yang walaupun mereka melakukan komunikasitetapi tidak memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi itu,dengan saya sebagai peneliti di mana mereka menganggap bahwa datasaya dianggap “kotor” karena memuat adegan tidak berarti dan tidakbisa dimaknai. Sebaliknya, bagi saya data-data tentang kegiatansemacam itu menjadi bagian penting dalam analisis komunikasi musikalyang sedang saya lakukan.

Saya perlu menyampaikan hal ini karena pada umumnya kerjaseperti ini tidak dilakukan di dalam komunitas gamelan. Pelakupertunjukan gamelan tidak melakukan penelitian, mereka lebihmengutamakan melakukan latihan, mengadakan siaran di radio,mengadakan pertunjukan di dalam upacara-upacara, mengikuti lomba,maupun berdiskusi tentang berbagai aspek pertunjukan. Sebagian darimereka yang mengadakan penelitian juga memfokuskan perhatiannya

Santosa | 31

kepada dimensi pertunjukan, aspek teknis, serta dimensi estetikapertunjukan. Pelaku pertunjukan biasanya mempunyai minat kuatterhadap aspek pertunjukan, bukan aspek sosial tentang pertunjukan.Hal inilah yang menyebabkan perbedaan cara pandang antara sayasebagai peneliti dan pengrawit sebagai pelaku pertunjukan.

Struktur TulisanSaya perlu membicarakan bagaimana sistematisasi tulisan ini

dibuat dengan segala penjelasan mengenai pemilihan topik danargumentasinya agar substansinya dapat difahami sebagai suatukesatuan yang koheren. Perlu ditegaskan lagi bahwa kerangka pokokyang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah proses sosial, prosesdinamis di dalam ranah estetik yang terjadi di antara dua kelompokorang yaitu para seniman (yaitu para pengrawit) dan penonton. Keduakelompok itu saya posisikan di dalam proses yang saya sebutkomunikasi, seperti halnya yang terjadi pada saat orang bercakap-cakap dengan orang lain. Di satu pihak saya saya memandanga pelakusebagai pengirim dan pihak yang lain penerima pesan. Di dalamkonteks ini pengirim pesan menggunakan musik sebagai media untukmengirimkan pesan sedangkan para penonton menerima pesan melaluimusik itu. Keduanya saya dudukkan sebagai komunikator dankomunikan dengan segala peran, fungsi, tugas, dan posisi seperti halnyapada komunikasi bentuk lain.

Saya memulai tulisan ini dengan Bab I yang berisi Prakatamenjelaskan tentang bagaimana perspektif tentang komunikasimusikal dibangun dengan menggunakan inspirasi dari pengalamanpribadi ketika mengamati dinamika proses komunikasi di antara paraseniman dan penonton dalam sebuah pertunjukan wayang kulit.Peristiwa tersebut terjadi lebih dari dua dekade sebelum sayamemanfaatkannya untuk kepentingan penelitian pada akhir tahun1990an. Kesan itu demikian mendalam sehingga mampu memberikaninspirasi terhadap cara saya mendekati dan menganalisis sasaranpenelitian. Dengan mengadakan analogi antara proses yang terjadidalam pertunjukan wayang tersebut saya mengadakan penelitiantentang proses serupa yang terjadi pada pertunjukan gamelan. Analogi

32 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

itu menghasilkan suatu konsep baru yang, walaupun mempunyaikemiripan dengan beberapa konsep komunikasi lain yang pernahdijelaskan lebih dahulu oleh sarjana lain di tempat lain (lihat Cobley1996 untuk contoh-contoh dalam komunikasi dalam berbagai bidang),mempunyai banyak perbedaan karena sifat proses tersebut tidakterdapat dalam ranah sosial tetapi dalam ranah estetik. Hal ini dijelaskandengan berbagai latar dan uraian yang relevan, termasuk metodologianalisis yang digunakan dalam tulisan ini.

Karakter komunitas desa yang mempunyai dua landasan konsepyang bersifat vertikal dan horizontal mengawali latar setting masalahyang sedang dibicarakan. Dengan mengontekstualiasikan hubunganantara manusia dengan kekuatan supranatural saya menjelaskan bahwaritual merupakan bagian penting aktifitas manusia dalam menujukepada menyatunya hubungan antara manusia dengan Tuhan.Ketidakberdayaan manusia bukan berarti kekurangan yangmenyebabkan manusia pasrah tanpa tujuan namun mereka berusahauntuk mempersatukan kesadarannya untuk menyatu dengan kekuatanyang maha dahsyat itu. Di dalam konteks kemasyarakatan sayamenguraikan fungsi upacara dalam kehidupan masyarakat desa.

Konteks ini memberikan pemahaman kepada kita bahwaindividu dalam komunitas menjadi bermakna ketika ia dapatmempersatukan anggota masyarakat melalui upacara resmi dalamrangka perayaan siklus kehidupan mereka. Oleh karena hal itumerupakan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat maka ia harusmenyelenggarakan upacara itu setidaknya satu kali selama berada didalam komunitas itu demi menjaga status, relasi, serta keterlibatannyadi dalam komunitas desa.

Permasalahan metodologi yang muncul akibat aplikasi konsepkomunikasi ke dalam bidang kesenian juga saya jelaskan dengan tujuanuntuk memahami implikasi konseptual yang muncul sebagai akibatdari kontekstualiasi konsep komunikasi bentuk baru dalampertunjukan gamelan. Perhatian khusus saya berikan terhadap masalahini karena sasaran baru ini mengandung cara kerja baru yang tidakmudah dilakukan karena persinggungannya dengan substansi yangmenjadi perhatian utama dari banyak orang khususnya pelaku kesenian

Santosa | 33

yang mendapatkan manfaat berupa kenikmatan dari ranah estetik.Cara kerja baru itu juga mengandung konsekuensi terhadappenggunaan teknik pengumpulan data khusus yang diciptakan dalamrangka “merekam” proses kompleks yang mengandung berbagai aspekyang berlangsung secara simultan. Perhatian khusus saya berikankepada ranah ini agar analisis terhadap substansinya bisa sesuai dengankarakter sasaran yang mempunyai kompleksitas khusus itu.

Metodologi baru seperti saya uraikan di atas tidak serta mertadapat diterima oleh kolega sejawat dan bahkan di dalam beberapa halmenyebabkan perbedaan persepsi terhadap kelompok orang yang tidakbiasa melihat permasalahan itu seperti halnya saya memandangnya.Saya juga memberikan contoh bagaimana perbedaan itu terjadi kepadaasisten peneliti, para narasumber, maupun pengamat pertunjukan yangmempunyai pra-konsepsi terhadap masalah ini karena adanya tumpangtindih antara komunikasi musikal dengan interaksi musikal misalnya.Pencermatan dan penjelasan terhadap masalah ini perlu dilakukankarena hal ini merupakan landasan dasar dalam mengawali kerjapenelitian yang sedang dilaksanakan. Selanjutnya, saya menguraikantentang struktur tulisan dalam buku ini dengan harapan dapatmengaitkan segala aspek pembahasannya menjadi kesatuan substansiyang lengkap dan mempunyai koherensi tinggi.

Bab II merupakan babak awal untuk mengantarkan pembacakepada permasalahan komunikasi musikal, yaitu sebuah prosesmengirim dan menerima pesan melalui pertunjukan gamelan.Beberapa konsep dasar tentang permasalahan itu diuraikan denganharapan dapat memberikan landasan terhadap pemahaman komunikasimusikal yang masih merupakan bidang baru walaupun “secaraintutitif” sudah dilakukan secara terus menerus oleh para senimandan para penonton. Bentuk dan proses komunikasi musikal jugadijelaskan dengan harapan dapat digunakan sebagai awalanpemahaman terhadap sebuah proses yang sedang dibicarakan. Sayamembedakan bentuk komunikasi ini dengan bentuk komunikasi ver-bal dan tulis karena komunikasi ini tidak menggunakan modusdiskursif. Juga, komunikasi ini tidak bersifat timbal balik seperti proseskomunikasi verbal yang dianggap sebagai proses komunikasi yang

34 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

“dianggap paling valid” baik oleh para ahli komunikasi dan masyarakatpada umumnya. Alasan mengapa komunikasi musikal, yang merupakanbidang yang masih tidak mudah difahami bagi kebanyakan orang, bisamerupakan bentuk komunikasi juga disampaikan sebagai bentukpertanggungjawaban atas kerja ilmiah yang saya lakukan.

Bab III membicarakan tentang Pesan dalam PertunjukanGamelan. Tentu saja saya tidak akan dapat membicarakan pesan tanpamenempatkannya di dalam konteks pertunjukan maupun kontekssosial di mana pertunjukan berlangsung. Hal ini saya lakukan karenasebenarnya kontekslah yang membantu terjadinya pesan, bukanpertunjukan sendiri yang memancarkan pesan secara terpisah dengankonteksnya. Selanjutnya, pembicaraan tentang wujud teks menyertaipenjelasan tentang pesan dalam pertunjukan itu. Saya perlumembicarakan wujud ini dalam rangka mendapatkan pemahaman yanglebih menyeluruh tentang segi-segi perwujudan pesan pertunjukan.Berikutnya, proses pemaknaan merupakan pembahasan tentang“substansi” pertunjukan karena dengan adanya makna pertunjukanbisa “dipertanggungjawabkan.” Makna sendiri mempunyai bermacam-macam aspek yaitu makna teks (atau juga disebut lirik) dan maknamusikal. Proses pemaknaan teks berlangsung melalui tiga tahap yaitutahap yang terdapat dalam wacana verbal, wacana sastra, dan kemudianwacana musikal. Ketiga tahap ini tidak merupakan rangkaian yangberurutan tetapi merupakan proses yang bisa terjadi secara simultandi antara dua atau tiga aspek itu. Oleh karena itu, pembaca perlumemberi perhatian mengenai hal ini karena proses pemaknaan dalampertunjukan gamelan sebenarnya berlangsung lebih kompleks daripada yang saya petakan dalam tulisan ini. Namun, saya juga telahberusaha untuk tetap memberikan penjelasan agar segala aspek yangada dalam pemaknaan pesan tetap berada di dalam konteksnya.

Dua jenis pemaknaan saya uraikan dengan harapan keduanyadapat saling mengisi dan melengkapi. Pemaknaan musikal merupakansatu segi dari pertunjukan gamelan yang bersamaan dengan pemaknaanteks memberikan pemahaman terhadap makna pertunjukan secarakeseluruhan. Dalam konteks ini keduanya merupakan bagian utamadalam proses berlangsungnya komunikasi musikal di mana pengrawit

Santosa | 35

dan penonton mendapatkan pesan dalam kompleksitas proses yangterjadi selama pertunjukan berlangsung. Saya juga menyertakan uraiantentang pesan visual karena akhir-akhir ini pesan ini menjadi semakinpenting sebagai akibat dari semakin besarnya peran media audio-vi-sual baik dalam pertunjukan maupun siaran-siaran media televisi sertapenggunaan media itu di dalam kehidupan kesenian.

Bab IV secara khusus menguraikan tentang proses komunikasimusikal. Walaupun saya menyatakan bahwa proses komunikasi inimerupakan modus analisis baru dalam bidang pertunjukan tetapi halini merupakan ranah yang sudah lama dikenal sebagai cara untukmengungkapkan gagasan bagi para seniman dan mendapatkankepuasan estetik bagi para penikmat pertunjukan. Hal ini ditandaidengan pengakuan para nara sumber, yang umumnya tidak terbiasamenggunakan idiom komunikasi, akan tetapi mereka memahamitentang proses yang berlangsung pada dirinya selama ini. Mereka jugamenyatakan pengalamannya dalam mendapatkan informasi,pemahaman, maupun konsep yang diterima selama pertunjukanberlangsung.

Analogi antara komunikasi konvensional dengan komunikasimusikal juga dibicarakan dengan maksud untuk memberikan gambarantentang prosesnya yang spesifik. Dengan berdasar pada dan diilhamioleh proses dalam komunikasi konvensional, yaitu komunikasi verbaldan tulis, didapatkan penjelasan tentang komunikasi musikal yangmenggunakan cara berbeda dengan komunikasi konvensional.Komunikasi semacam ini mengirim pesan dengan menggunakananalogi dengan grafik atau peta di mana ada kesejajaran antara idedengan wujud fisiknya. Sementara di dalam komunikasi verbal orangmenggunakan modus diskursif untuk rujukan bagi pengertian-pengertian maupun ide-ide melalui “unit-unit” konsep yang berlakudi dalam komunitasnya, komunikasi musikal menggunakan suarasebagai medium utamanya.

Bab ini juga menjelaskan tentang posisi komunikasi musikaldalam pandangan hidup para penonton dan anggota masyarakatlainnya. Saya mencoba mencari hubungan antara proses ini dengankonteks di mana pertunjukan berlangsung. Komunikasi jenis ini telah

36 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

banyak memberikan sumbangan terhadap proses memajukankehidupan sosial karena nilai-nilai sosial pertunjukan dijadikan pusatperhatian tidak hanya selama pertunjukan berlangsung tetapi jugasesudah pertunjukan usai ketika para penonton mencari pedomandan pemaknaan terhadap apa yang sedang mereka kerjakan dalamkehidupan sosial.

BAB V membicarakan tentang bagaimana Proses Pengirimandan Penerimaan Pesan terjadi. Proses pengiriman pesan didasarkanatas pemahaman para pengrawit terhadap konsep-konsep yang beradadi dalam masyarakat. Bagaimana mengemas pesan dalam pertunjukanserta apa dampaknya terhadap pemahaman para penonton diuraikandalam rangka memberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Jugadiuraikan tentang pesan-pesan apa saja yang biasa digunakan dalampertunjukan gamelan. Pada dasarnya pesan dalam pertunjukan gamelanberisi nilai pendidikan, keluhuran, kebaikan, kebijakan, maupunkewibawaan yang dianggap bermanfaat dalam kehidupan sosial.Beberapa contoh tentang penggunaan tema seperti itu jugadisampaikan dengan harapan dapat memberikan gambaran lebihkonkrit tentang wujud pertunjukannya.

Bab VI membicarakan tentang pertunjukan dan citra yangdimunculkan oleh para penontonnya. Saya menggambarkan prosespembentukan citra dengan menggunakan tahap-tahap yang merupakanperubahan bentuk dari citra lama yang pernah didapatkan lebih dahulu.Dengan menggunakan diagram tiga warna, yang dianggap sebagaipenyederhanaan dari proses berlapis yang lebih kompleks, dibayangkanterjadinya proses “metamorfosis” yang memberikan kesempatan padalingkaran ketiga (atau yang terakhir pada saat proses terjadi) untukmendapatkan wujud terakhirnya. Citra itu terjadi dengan cara merevisipencitraan yang terjadi sebelumnya dan kemudian membentuk citraberikutnya serupa dengan pembentukan makna teks musikal yangsaya jelaskan pada bagian lain. Citra terjadi dalam kontinuum yangberjalan terus tanpa henti untuk mendapatkan titik akhir yang sifatnyasementara, bukan yang permanen atau kekal dan abadi. Proses sepertiini berlangsung terus menerus sehingga citra itu menjadi lebihsempurna dari waktu ke waktu. Hal inilah yang pada gilirannya dapat

Santosa | 37

memberikan ruang kepada penonton untuk menentukan identitas bagikeberadaan mereka dalam masyarakatnya.

38 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Catatan akhir1 Popularitas dalang dari Surakarta sudah lama menggema di daerah

ini yaitu setidaknya sejak tahun 1960an, atau bahkan mungkin setelahberdirinya sekolah menengah karawitan bernama Konservatori pada tahun1950an. Alasan utamanya adalah orientasi para seniman dan penonton telahdipengaruhi dan dibentuk oleh gaya yang berasal dari keraton, yang dianggapmerupakan pusat kebudayaan adiluhung, bernilai tinggi, serta melebihikesenian yang hidup di daerah-daerah lain termasuk daerah mereka sendiri.Gaya ini telah dilestarikan dan dikembangkan oleh sekolah seni itu dangemanya telah menyebar ke beberapa bagian lain di Jawa Timur. Olehkarenanya, dalang, pengrawit, vokalis, pesindhen, serta seniman-senimanlain di daerah itu banyak yang belajar ke Solo (nama julukan Surakarta)untuk meningkatkan status kesenian mereka agar lebih bermartabat.Kemungkinan sebagian dari mereka telah belajar kesenian keraton sejakawal abad ke 20, sekitar 1920an, di mana lembaga kursus pembelajaran dibawah naungan keraton mulai tumbuh. Oleh karena kemampuan yangdimiliki adalah gaya Solo maka mereka banyak mempertunjukkan karawitanatau wayang gaya itu bagi para penontonnya. Sejak itu karawitan, pedalangan,dan tari gaya Solo banyak dipertontonkan untuk berbagai acara pribadi,keluarga, maupun untuk kepentingan kelompok, kantor-kantor, perusahaandan pemerintah. Sementara itu para penonton juga berpendapat sama yaitubahwa kesenian dari keraton mempunyai status lebih dari kesenian setempat.Hal ini juga telah mempengaruhi orientasi minat mereka terhadap keseniankeraton.

2 Di sini tampak jelas bahwa sudut pandang bukanlah suatu substansiyang datang dengan sendirinya di dalam suatu konteks, tetapi seharusnyadibangun dengan kesadaran dan pemahaman khusus terhadap suatu gejalayang dihadapi setiap hari sekalipun. Untuk mendapatkan pemahamantentang substansi itu kita perlu mengadakan pencermatan, perenungan danbahkan pemanfaatan metodologi ilmiah yang dipadukan dengan pengalamanagar substansi itu dapat dimunculkan, karena kemunculannya bisa terjadiapabila kita membangunnya secara sadar di dalam bingkai khusus. Orangawam tidak akan dapat memahami substandi semacam ini karena kerangkakonsep seperti ini perlu dipelajari melalui tingkatan-tingkatan terstrukturdengan proses studi yang panjang. Tentu saja untuk itu juga diperlukansikap terbuka terhadap segala kemungkinan bangunan konsep baru yangbisa saja merombak, merevisi, menambah, dan membangun ulang konsepmaupun keyakinan yang pernah kita punyai sebelumnya.

Santosa | 39

3 Istilah religi tidak saya gunakan untuk menyebut agama-agama“resmi” seperti Islam, Hindu, Budha, Kristen maupun yang lain saja tetapijuga aliran kepercayaan, keyakinan, konsepsi yang mengatur hubungan antaramanusia dengan kekuatan di luar manusia. Di dalam lingkungan pedesaankeyakinan dan konsep seperti ini tersebar di seluruh wilayahnya dan seringmelandasi berbagai aktifitas sosial masyarakat dan pribadi. Bisa sajakeyakinan dan konsep ini bercampur baur dengan agama resmi karenaanggota masyarakat di sana bukanlah orang-orang yang mempunyaifanatisme terhadap satu macam keyakinan, tetapi mereka mempunyaitoleransi tinggi terhadap kepercayaan dan keyakinan lain. Konsep-konsepdi dalam agama dan keyakinan dapat saling mengilhami dan salingmemperkuat sehingga dapat menimbulkan “aliran baru” dalam menafsirkankembali agama resmi maupun keyakinan lokal. Peristiwa ini tidak dianggapsebagai “penyelewengan” terhadap agama dan keyakinan akan tetapidipandang sebagai pengayaan terhadap ranah religi dan keyakinan mereka.

4 Orang-orang di dalam komunitas desa menganggap bahwa manusiaadalah makhluk kecil yang tidak berdaya dihadapan Tuhannya dan olehkarena itu mereka berkewajiban untuk menyerahkan dirinya dan berbaktikepada Yang Esa. Ketidak berdayaan manusia diwujudkan dalam usahanyauntuk selalu mengabdikan dirinya serta mengorientasikan segala aktifitasnyademi hubungan yang harmonis dengan kekuatan supranatural itu. Karenamanusia tidak mempunyai kekuatan maka mereka harus tunduk kepadaSang Maha Pembuat, Sang Maha Pengasih, Sang Maha Tahu yang mengatursegala kehidupan tidak hanya manusia tetapi juga binatang dan alam sekitar.Di dalam konteks seperti ini, karena ketidakberdayaannya yang merupakantakdir, manusia diibaratkan sebagai wayang yang seharusnya mengikutikehendak dalangnya, bukan sebagai makhluk yang mandiri dan bebasmenentukan cita-citanya. Mereka tidak tahu ke mana arah tujuan hidup,dan tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Semua tindakan tidak direncanakanoleh manusia secara mandiri akan tetapi merupakan pancaran dari kekuasaanTuhan yang memberi petunjuk kepada mereka untuk mengikuti kehendakYang Kuasa. Tindakan manusia menurut faham ini adalah kepanjangandari rencana Tuhan dan mereka menerima segala perintah yang diwujudkandalam bentuk nasib baik maupun buruk. Semua yang terjadi dalamkehidupan masyarakat tidak dapat dihindari maupun diminta olehhambanya. Manusia hanya bisa berusaha agar mereka dijauhkan dari segalabencana dan mala petaka yang siap menghampirinya dari waktu ke waktu.Di dalam beberapa komunitas pola pikir seperti ini masih diyakini danberbagai usaha untuk menolak azab yang jelek selalu dilakukan dalam ritual.Soetarno (1995) mengadakan penelitian mengenai masalah ini danmenjelaskan perwujudan seni yang digunakan sebagai alat mediasitercapainya hubungan harmonis antara kekuatan supra natural denganmanusia seperti ini.. Dalam pandangan seperti ini kuasa Tuhan memangmenjadi pusat perhatian masyarakat dan dengan kesadaran insan pengabdi

40 | Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan

Tuhan keadaan manusia bisa ditolong dan dihindarkan dari segala maradan bahaya.

5 Nilai-nilai tersebut dalam pertunjukan wayang diwujudkan di dalam3 (tiga) macam lakon: lakon wahyu, lakon Baratayuda, dan lakon bebas(lihat Sarwanto 2008: 19) yang tersebar di daerah-daerah di wilayahkaresidenan Surakarta. Daerah-daerah tersebut mempunyai kecenderunganmemilih lakon sesuai dengan selera dalang dan seniman masing-masing.

6 Tema penyatuan antara manusia sebagai hamba Tuhan dengan SangPenguasa Alam sering menjadi tema penting dalam kehidupan manusidadan hal itu digambarkan dengan baik di dalam cerita wayang lakon DewaRuci di mana kesadaran manusia sudah tidak berwujud lagi karena telahmenyatu dengan kuasa Tuhan. Manusia yang mempunyai kekuasaan tiadatarapun selama berada di dunia tidak lagi bermakna di hadapan Sang MahaPencipta, Sang Maha Kuasa. Kekuatan itu luluh karena Sang Maha Penciptamemancarkan kekuatan yang lebih dahsyat, kekuatan yang paling diberimakna oleh umatnya., kekuatan yang paling menentukan arah kehidupanyang abadi. Di dalam konteks seperti inilah manusia Bima yang sangatdikagumi karena kesaktian dan keperkasaannya dapat menemukan jatidirinya yang merupakan intisari dari kehidupannya, puncak segala puncak,pusat segala pusat, sumber segala sumber, dalam wujudnya yang kecil namunmerupakan esensi substansi dari segala kehidupannya. Melalui perjuangandan rintangan, baik yang berasal dari kawan maupun lawan, dari gurunyamaupun saudara-saudaranya, dari musuh yang menjelma menjeadikoleganya, akhirnya Bima bisa bertemu dengan Sang Kalik dalam keadaansejahtera dan damai yang tidak pernah dialami selama berada di dunia.Kedamaian Bima digambarkan seperti berada di dalam alam hampa(suwung), sepi, tanpa ruang, tanpa batas, sebuah entitas yang hanya bisadicapai oleh manusia yang mempunyai keteguhan, keimanan, kejujuran,ketulusan, dan tanpa pamrih dalam mengerjakan kewajibannya. Bagi seorangBima rintangan, halangan, dan hambatan dari teman-teman, lawan, maupunguru itu tidak dipandang sebagai pemusnah kekuatan akan tetapi dianggapsebagai penyubur motivasi yang dapat membangkitkan semangat berjuanguntuk mencapai entitas ideal menyatunya manusia dengan Tuhan. Denganalasan itulah Bima bisa mencapai puncak derajat statusnya dan merupakansatu-satunya insan yang dapat mencapai surga tingkat kesembilan, puncakcapaian rasa kebersamaan abadi dengan Sang Pencipta.

7 Para ahli menegaskan bahwa konsep sama rata dan sama rasa inimerupakan konsep dasar yang harus dijaga untuk menegakkan sendi-sendikehidupan masyarakat khususnya di desa-desa. Konsep ini, yang saya dugadidasarkan atas kesimpulan dari data-data dari anggota masyarakat di desa-desa, telah diyakini kebenarannya selama beberapa dekade. Dalam penelitianyang saya lakukan di akhir dekade 90an konsep itu sudah tidak sesuai lagikarena gotong royong bukan lagi konsep keseimbangan untuk mendapatkan

Santosa | 41

manfaat secara bersama akan tetapi suatu “mekanisme” yang mengandungaspek kompetisi atau negosiasi status bagi semua anggota masyarakat yangdigunakan untuk menjaga dinamika masyarakat. Hal ini telah saya nyatakandalam disertasi saya (periksa Santosa 2001: 62).

8 Saat ini istilah sensual telah digunakan dalam pengertian khususoleh berbagai kalangan. Kalangan media dan kebanyakan orangmenggunakannya untuk menyebut aktifitas yang dapat menarik perhatianorang banyak dalam rangka mendapatkan keuntungan pribadi maupunkelompok seperti yang dilakukan oleh para selebritis, penyanyi, dan enter-tainer dalam kesenian populer. Hal ini biasanya dilakukan untukmendapatkan perhatian dari banyak orang agar mereka mendapatkanmanfaat dari popularitas yang didapat dari aktifitas sensual itu. Saya tidakmenggunakannya dalam pengertian itu tetapi untuk merujuk padapengertian netral yaitu aktifitas mendapatkan input melalui alat penginderaanseperti mata, telinga, perasa, maupun peraba tanpa menghubungkannyadengan kepentingan khusus, apalagi untuk mendapatkan keuntungan sesaat.Hal ini saya bedakan dengan pengertian sensual dalam pengertian yangdifahami oleh komunitas desa.