API Sejarah Dan Spirit Pelurusan Sejarah-libre

8
1 Api Sejarah dan Spirit Pelurusan Sejarah Indonesia Moeflich Hasbullah Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Presentasi pada Diskusi Buku Api Sejarah-2 karya Ahmad Mansur Suryanegara di Selasar Campus Center Barat ITB, 11 Ramadhan 1432/11 Agustus 2011 Sebagai warisan dari konflik-konflik politik yang berlangsung sejak zaman kolonial, Islam Indonesia adalah sebuah entitas umat yang selalu berhadapan dengan kekuatan negara. Negara kolonial mempertahankan kekuasaan koloninya dengan berusaha meminimalisir pengaruh kekuatan Islam, sementara Islam sendiri menjadi “pembangkang birokrasi” dan inspirasi untuk melakukan perlawanan. Tradisi ini berlanjut hingga zaman Orde Baru yaitu saat pemerintahan Soeharto menempatkan diri sebagai negara yang memusuhi Islam. Perseteruan ini berimbas pada sejarah. Negara ingin menuliskan sejarah Indonesia berdasarkan versinya sendiri dengan perasaan sama dengan kaum kolonial: meminimalisir peranan Islam dan lebih menonjolkan peranannya sendirinya (Jawanisme abangan). Kalangan Islam menuntut sejarah ditulis apa adanya (history as it is) sesuai fakta yang ditemukam. Ketika sejarah bangsa ditulis dengan tidak diamini umat Islam, polemik sejarah pun terjadi. Muncullah istilah ‘sejarawan istana’ sebagai sebutan pada sejarawan yang menulis untuk kepentingan penguasa. Dalam banyak episode, sejarah Islam Indonesia tidak ditulis penuh rekayasa, mengalami distorsi dan pembelokkan. Sejak tahun 1960-an, sudah muncul gugatan-gugatan terhadap sejarah Indonesia dari beberapa kalangan, yang paling kuat muncul dari kalangan Muslim. Beberapa episode sejarah Islam yang dipersoalkan itu misalnya sejarah masuknya Islam ke Indonesia,[1] peranan etnis Cina dalam Islamisasi,[2] gerakan awal kebangkitan nasional,[3] peranan Islam (ulama) dalam kemerdekaan, kolonialisasi (Eropa-sentris) dalam penulisan sejarah,[4] deislamisasi dan hinduisasi kebudayaan Indonesia.[5]

Transcript of API Sejarah Dan Spirit Pelurusan Sejarah-libre

  • 1Api Sejarah dan Spirit Pelurusan Sejarah Indonesia

    Moeflich Hasbullah

    Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

    Presentasi pada Diskusi Buku Api Sejarah-2 karya Ahmad Mansur Suryanegara

    di Selasar Campus Center Barat ITB, 11 Ramadhan 1432/11 Agustus 2011

    Sebagai warisan dari konflik-konflik politik

    yang berlangsung sejak zaman kolonial,

    Islam Indonesia adalah sebuah entitas umat

    yang selalu berhadapan dengan kekuatan

    negara. Negara kolonial mempertahankan

    kekuasaan koloninya dengan berusaha

    meminimalisir pengaruh kekuatan Islam,

    sementara Islam sendiri menjadi

    pembangkang birokrasi dan inspirasi untuk

    melakukan perlawanan. Tradisi ini berlanjut

    hingga zaman Orde Baru yaitu saat pemerintahan Soeharto menempatkan diri

    sebagai negara yang memusuhi Islam. Perseteruan ini berimbas pada sejarah.

    Negara ingin menuliskan sejarah Indonesia berdasarkan versinya sendiri

    dengan perasaan sama dengan kaum kolonial: meminimalisir peranan Islam

    dan lebih menonjolkan peranannya sendirinya (Jawanisme abangan). Kalangan

    Islam menuntut sejarah ditulis apa adanya (history as it is) sesuai fakta yang

    ditemukam.

    Ketika sejarah bangsa ditulis dengan tidak diamini umat Islam, polemik

    sejarah pun terjadi. Muncullah istilah sejarawan istana sebagai sebutan pada

    sejarawan yang menulis untuk kepentingan penguasa. Dalam banyak episode,

    sejarah Islam Indonesia tidak ditulis penuh rekayasa, mengalami distorsi dan

    pembelokkan. Sejak tahun 1960-an, sudah muncul gugatan-gugatan terhadap

    sejarah Indonesia dari beberapa kalangan, yang paling kuat muncul dari

    kalangan Muslim. Beberapa episode sejarah Islam yang dipersoalkan itu

    misalnya sejarah masuknya Islam ke Indonesia,[1] peranan etnis Cina dalam

    Islamisasi,[2] gerakan awal kebangkitan nasional,[3] peranan Islam (ulama)

    dalam kemerdekaan, kolonialisasi (Eropa-sentris) dalam penulisan sejarah,[4]

    deislamisasi dan hinduisasi kebudayaan Indonesia.[5]

  • 2Terhadap fakta adanya kolonalisasi, deislamisasi sekaligus hinduisasi

    itu, hanya satu dua sejarawan yang sengaja menulis buku untuk meluruskan

    sejarah. Peneliti LIPI, Asvi Warman Adam, menulis Pelurusan Sejarah

    Indonesia (2007) yang fokusnya pada sejarah Orde Baru. Buku Api Sejarah (1-

    2, 2009) karya Ahmad Mansur Suryanegara adalah rekaman jejak atau

    akumulasi seorang sejarawan yang sudah lama menaruh perhatian pada usaha

    pelurusan sejarah Indonesia. Larisnya buku itu menunjukkan bahwa

    kegeregetan sejarahnya sejalan dengan perasaan dan memori kolektif

    masyarakat Indonesia terutama di lapisan menengah ke bawah.

    Menimbang Api Sejarah

    Buku ini menonjol pada informasi sejarah dan misi gugatannya.

    Informasi sejarah dan argumentasi yang diuraikannya terbilang meyakinkan.

    Aspek utama penunjang keberhasilan ini adalah penguasaan materi sejarah. Ini

    tidak aneh karena Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) adalah sejarawan senior

    yang sudah lama meniti karirnya di blantika sejarah sebagai dosen dan penulis

    sejarah sejak tahun 1970-an. Beberapa buku dan ratusan artikel telah

    ditulisnya. AMS pun pernah berpolemik dengan sejarawan dan Menteri P & K

    zaman Orde Baru, Nugroho Notosusanto tentang awal gerakan kebangkitan

    nasional yang konon hampir mengancam keselamatan jiwanya. Membaca buku

    ini, pembaca umum (bukan kalangan sejarawan) akan ditaklukan oleh-oleh

    kekayaan informasi sejarah yang diuraikannya dan kaitan-kaitan antar

    peristiwa yang dihubungkannya, terlepas dari kebenarannya. AMS pun bukan

    sejarawan tematis yang menguasai sejarah hanya dalam tema-tema tertentu

    sesuai fokus penelitiannya. AMS berusaha menjadi sejarawan global yang

    menulis peristiwa dalam konteks yang luas dan mengaitkan semua keterkaitan

    peristiwa yang diketahuinya.

    Informasi sejarah ulama dan santri sebagai sumbangan utama buku ini

    terasa kuat sebagai kelebihan buku ini. Ruh utama Api Sejarah adalah pada

    misi penyadaran sejarah (historical consciousness) pada masyarakat. Provokasi

    anak judul pada jilid menguatkan pengaruh buku ini. Terlepas dari kekurangan

    di sana-sini dan ketaksetujuan atas premis-premis serta kesimpulan-

    kesimpulan AMS, harus diakui, Api Sejarah telah menggugat pengetahuan yang

    sudah mapan dipegang oleh masyarakat luas tentang beberapa aspek dalam

    sejarah Indonesia yang selama ini menjadi pandangan penguasa dan

    dipropagandakan kepada masyarakat. Walaupun dukungan sumber-sumber

    primer atas pernyataan-pernyataan tertentu kurang memuaskan, gugatan-

    gugatan dalam buku ini mendorong pembaca untuk merenung dan

    memikirkan kembali atau mengkonstruksi ulang kesimpulan-kesimpulan

  • 3pengetahuan sejarah yang selama ini menjadi pengetahuan masyarakat seperti

    tentang masuknya Islam ke Indonesia abad ke-13, Budi Utomo sebagai

    gerakan awal kebangkitan nasional, hari pendidikan, inspirasi perjuangan

    Kartini, peranan ulama yang kurang dihargai, para pahlawan yang tidak

    diekspos identitas keislamannya dan sebagainya.

    Beberapa kritik yang perlu diberikan mungkin adalah istilah ulama

    sebagai inti pelaku sejarah dalam buku ini tidak dijelaskan. Siapa yang

    dimaksudkan sebagai ulama dan santri tidak dirumuskan sebelumnya.

    Ulama dan santri diasosiasikan begitu saja kepada semua kalangan Islam yaitu

    tokoh-tokoh dan para pelaku sejarah. Ini bisa jadi mendistorsi pengertian

    ulama. Api Sejarah juga banyak diwarnai bahasa kesimpulan mendahului

    penjelasan fakta. Kesan menggiring pembaca oleh kesimpulan tampak sangat

    kuat ketimbang menggiring dengan data dan fakta. Mungkin karena fakta

    sudah sangat banyak terkumpul dalam pengetahuan dan imajinasi AMS setelah

    berpuluh-puluh tahun menggeluti sejarah, membuat fakta-fakta yang banyak

    itu tidak terekam dan tertuliskan semuanya. Tetapi sebagai buku ilmiah, ini

    tetap sebuah kelemahan. Argumen sejarah yang baik adalah fakta dan data

    yang kuat walaupun tanpa harus disimpulkan. Kesimpulan biarlah dikonstruk

    oleh pembaca sendiri. Biarlah fakta berbicara sendiri tentang benar salah.

    Biarlah pelurusan sejarah dikerjakan oleh fakta-fakta yang berbicara sendiri

    secara kuat dan meyakinkan, bukan oleh kesimpulan yang diambil dari fakta-

    fakta yang kurang detail.

    Pada pernyataan-pernyataan pelurusan sejarah Indonesia yang menjadi

    ruh buku ini, yang mungkin agak mengagetkan pembaca, buku ini kurang

    ketat dan detail pada pengutipan sumber. Tentu saja, pernyataan-pernyataan

    sejarah harus selalu menyandarkan pada fakta dari sumber yang meyakinkan

    berupa dokumen. Yang terasa mengurangi bobot buku ini juga adalah

    pemuatan ilustrasi. Banyak foto-foto orang yang tidak nyambung dan tidak

    memiliki kaitan sama sekali dengan materi sejarah yang sedang dibahasnya

    dalam halaman-halaman tertentu. Mungkin maksudnya kenangan dan

    penghargaan pribadi pada orang-orang dekat AMS. Tapi terasa kurang

    proporsional. Sebaiknya, foto-foto itu dimuat terpisah dalam lampiran di akhir

    buku misalnya rubrik khusus kenangan sahabat, sehingga tidak menganggu

    persambungan ilustrasi dengan pembahasan materi.

    Mengapa Api Sejarah Best Seller?

    Predikat best-seller umumnya bukan pada buku-buku non-fiksi yang

    serius dan berat dibaca oleh masyarakat melainkan buku-buku fiksi, ringan

    dan populer yang memenuhi selera masyarakat atau dibutuhkan karena

    menyangkut kepentingan kehidupan praktis sehari-hari. Mungkin pertama kali

  • 4dalam sejarah Indonesia ada buku sejarah ilmiah laku keras di masyarakat. Api

    Sejarah jilid 1 laris manis dengan penjualan 10.000 eksemplar pada cetakan

    pertama yang baru 6 bulan. Kemudian mendapat respon hangat dari media

    dan dicari-cari masyarakat. Book Fair Award 2010/1431 H pun menggelarinya

    sebagai peraih Islamic Book Fair Award 2010/1431 H. Penulis melihat, paling

    tidak enam aspek penyebabnya.

    Pertama, faktor judul buku. AMS tidak terjebak pada buku-buku ilmiah

    yang judulnya pun ilmiah. Misalnya, Menggugat Sejarah Indonesia, atau

    Pelurusan Sejarah Islam Indonesia. AMS memilih bahasa yang umum yang

    secara psikologis enak dibaca: Api Sejarah. Ini adalah kalimat para guru besar

    atau orang bijak yang berwibawa. Api Sejarah adalah bahasa Bung Karno

    sebagai orang besar dan guru bangsa dalam bukunya Di Bawah Bendera

    Revolusi saat mengkritik kecenderungan lemahnya umat Islam dalam

    mempelajari sejarah bahwa para ulama kurang feeling-nya terhadap sejarah.

    Para ulama hanya mampu membaca abunya sejarah tapi tidak dapat

    menangkap api sejarah. Ketebalan buku pun cukup merangsang dan

    provokasi anak judul yang sebenarnya bahasa iklan, menarik untuk masyarakat

    umum yang memiliki ghirah keislaman yang kuat dan kesal pada penguasa

    yang selalu memusuhi Islam. Penunjang lain, Api Sejarah sesungguhnya lebih

    merupakan bahasa dakwah. Didalamnya banyak kalimat-kalimat yang berisi

    penyadaran akan besarnya peranan Islam dalam sejarah Indonesia. Secara

    psikologis, bahasa seperti ini lebih berpengaruh dan digemari masyarakat

    ketimbang bahasa-bahasa teoritis dan deskrispi ilmiah yang sulit dimengerti.

    Kedua, faktor ketokohan AMS. Api Sejarah dan provokasi anak judulnya

    (Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah

    Indonesia) ditunjang oleh ketokohan dan reputasi AMS sebagai sejarawan

    senior yang penguasaan sejarahnya kuat dan sejak lama dikenal sebagai

    pembela sejarah Islam yang penuh semangat serta ditunjang ciri khasnya yaitu

    penampilanya yang nyentrik, semuanya bersenyawa menjadi daya tarik

    tersendiri buku Api Sejarah.

    Ketiga, gaya pembacaan sejarah yang khas. AMS adalah seorang

    sejarawan simbolis. Ia seorang pembaca fakta simbol yang handal yang jarang

    terdapat di kalangan sejarawan. Fakta sejarah di tangannya menjadi berwarna,

    unik, hidup, menunjukkan sisi-sisi yang tak terbaca dari sebuah fakta dan oleh

    karenanya sering mengejutkan. Model pembacaan seperti ini tidak dimiliki

    sejarawan lain. Sebagai pembaca simbol, AMS sangat peka dengan fakta-fakta

    historis tetapi ia menangkapnya secara simbolik. Fakta tidak dibaca apa

    adanya melalui hubungan relasi logika yang rasional, melainkan hubungan

    simbol-simbol. Pembacaan seperti ini tentu saja menghadirkan resiko.

  • 5Bacaannya menjadi sering tak dimengerti oleh kalangan sejarawan dan oleh

    mereka yang berfikir rasional yang memahami sesuatu dari hubungan-

    hubungan fakta secara lahir. Buku Api Sejarah tentu sangat historis dan

    berbasis tradisi ilmiah. Tetapi AMS melengkapinya dan menghidupkannya

    dengan bacaan simbolik kemudian menghubungkan fakta-fakta yang tak

    berkaitan menjadi seperti bersambungan: warna bendera merah putih berasal

    dari Rasulullah, warna Islam adalah merah bukan hijau, kusen-kusen yang

    bersilang adalah simbol salib sebagai pengaruh ajaran Kristen, ide pembuatan

    batik oleh parawali berasal dari Al-Quran yaitu dari huruf ba dan titik

    dibawahnya, perjuangan Kartini diilhami Al-Quran dsb). Dalam tradisi sejarah

    ilmiah, bacaan seperti ini walaupun nyambung tapi terdengar aneh. Tapi

    tampaknya, AMS asyik dan istiqamah dengan metoda Mansuriyah-nya itu

    karena mengagetkan, provokatif, mempesona dan diterima masyarakat luas. Di

    tangan AMS, sejarah bukan hanya ilmu yang asing dan menjenuhkan tapi

    menjadi hidup dan digemari. Inilah yang membuat tulisan-tulisan AMS selama

    ini digemari masyarakat dan memuncak dalam Api Sejarah karena mengisi rasa

    haus masyarakat atas bacaan sejarah yang menarik dibaca. Ditambah dengan

    ghirahnya yang besar terhadap Islam. Kuatnya warna Islam pada tulisan-

    tulisan AMS membuat uraian sejarahnya lebih menggairahkan ketimbang

    sejarawan konvensional, walaupun menunjukkan subyektifitasnya yang juga

    kuat. AMS sering dituduh melakukan islamisasi sejarah, merekayasa fakta dsb.

    AMS sering dicap ideolog dan pendakwah bukan sejawaran. Tapi, sekali lagi,

    larisitas bukunya hingga best seller menunjukkan fakta itu yang lebih diterima

    masyarakat.

    Keemat, faktor spiritual. Ini adalah faktor berkah dari para ulama dan

    parawali yang sangat dihormari AMS dan diperjuangan dalam tulisan-tulisan

    sejarahnya sejak lama. Api Sejarah adalah puncak penghargaan dan

    penghormatan AMS kepada para ulama atas jerih payah mereka dalam

    menyebarkan Islam di Indonesia, memperjuangkan kemerdekaan dan

    menegakkan NKRI. AMS pun dikenal dekat secara fisik dengan para ulama,

    para kiayi dan pesantren. Berkah para ulama itu mengalir pada bukunya yang

    kemudian laris menjadi best seller.

    Kelima, faktor momentum. Umat Islam Indonesia sangat menyadari

    adanya upaya pembelokan sejarah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial

    kemudian Orde Baru dan kelompok-kelompok yang memusuhi Islam tapi

    selama itu pula tidak ada yang berusaha meluruskannya. Karenanya, umat

    menunggu lama sekali kemunculan seorang pendekar atau ratu adil yang

    bisa meluruskan sejarah Indonesia dan menempatkan sejarah Islam secara adil

    dan proporsional. Dalam situasi inilah, Api Sejarah menemukan

  • 6momentumnya. Era reformasi dimana kebebasan berbicara semakin terjamin,

    umat Islam seperti menemukan air segar di tengah kehausan sejarah yang

    benar.

    Keenam, faktor promosi yang intensif. Penerbit Salamadani

    mempromosikan buku ini sangat bagus. Buku Api Sejarah terus menerus

    dipromosikan dan diulas terutama melalui facebook sehingga semakin banyak

    orang yang tertarik memiliki dan membacanya. Walaupun yang hadir tidak

    selalu banyak, puluhan dikusi buku digelar di berbagai kota. Ketika promosi

    dilakukan secara gencar dan diketahui penulisnya adalah sejarawan senior

    yang selama ini dikenal konsisten dengan upaya-upaya pelurusan sejarah,

    gayungpun bersambut membuat Api Sejarah laku terjual.

    Penutup

    Apresiasi yang besar harus diberikan kepada AMS dengan

    mahakarayanya ini, paling tidak karena dua alasan.Pertama, karena ketekunan

    dan kegigihannya menulis sejarah yang berbeda dengan mainstream yang

    sudah sejak lama ditekuninya dengan resiko sebagian sejarawan menilai karya

    sejarahnya memiliki problem metodologis. Tetapi, di sisi lain, problem ini

    justru telah melahirkan madzhab Mansuriyah dalam penulisan

    sejarah. Kedua, yang paling penting adalah semangat dari an old grand

    man. Ini yang harus menjadi inspirasi generasi muda. Perlu diacungkan jempol

    bahwa sekitar 1.300 halaman Api Sejarah ditulis saat usianya mendekati 80

    tahun. Semangat yang jarang dimiliki oleh usia sebayanya. Disaat para

    pensiunan umumnya menikmati usia senjakalanya dengan meminta banyak

    dipijit, bercengkrama dengan cucu-cicit, mengurus tanaman hias, ikan koki

    dan dengan burung-burung piaraan dalam sangkarnya yang menyiksa, AMS

    terus berdedikasi menulis dan memikirkan pelurusan sejarah Islam Indonesia.

    Paling tidak, Api Sejarah telah memberikan pelajaran dan PR pada sejarah

    Indonesia. Mudah-mudahan dedikasinya tidak sia-sia dan Allah SWT mencatat

    segala usahanya dengan tinta emas di sisi-Nya. Amin.[] Wallahu alam!

    _____________________

    Catatan:

    [1] Hingga pertengahan era Orde Baru, anggapan yang banyak dipegang tentang awal

    masuknya Islam ke Nusantara adalah abad ke-13 berasal dari India. Teori yang

    merupakan pandangan Snouck Hurgronje dkk ini, seorang penasehat Pemerintah

    Kolonial Belanda, diajarkan disekolah-sekolah menengah sehingga menjadi

    pandangan umum yang seolah-olah benar. Pandangan abad ke-13 mengabaikan

    fakta yang sangat banyak tentang perkembangan Islam di Nusantara sejak abad ke-

    7/8. Tahun 1963 di Medan sudah diselenggarakanSeminar Nasional Sejarah Masuknya

  • 7Islam ke Indonesia yang menghadirkan para ahli yang dikoordinatori oleh Dr. A. Mukti

    Ali. Seminar itu menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-7/8.

    Pembelokkan ini dinilai sebagai sebuah upaya membelakangkan periode sejarah

    masuknya Islam ke Indonesia.

    [2] Reaksi atas ini lihat Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa. Bongkar Sejarah

    atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI,

    Inspeal Press dan Inti, 1993.

    [3] Pemerintah Orde Baru meresmikan hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20

    Mei 1908, dari gerakan Boedi Oetomo. Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi

    yang pertama kali menyerukan kebangkitan nasional. Padahal hingga kongresnya

    tahun 1931 di Solo, organisasi yang membatasi keanggotaannya hanya pada kalangan

    priayi Jawa itu menolak cita-cita persatuan Indonesia dan tetap mempertahankan

    Jawanisme hingga kemudian membubarkan dirinya karena merasa sudah tidak sesuai

    dengan semangat zaman. Sementara, Sarekat Islam, selain bersifat masif dan berskala

    nasional dengan jumlah anggotanya mencapai jutaan di seluruh Indonesia, pada

    kongres pertamanya di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916 sudah memasyarakatkan

    istilah nasional dan mempelopori tuntutan Indonesia merdeka (Suryanegara 2009:

    xviii-xix). Berdasarkan fakta sejarah, kalangan Islam berharap hari kebangkitan

    nasional diperingat dari kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1906 yang

    kemudian menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911.

    [4] Hingga pertengahan abad ke-20, penulisan sejarah Indonesia didominasi oleh

    pendekatan Eropa-sentris dimana peran-peran kolonial Eropa lebih ditonjolkan dalam

    penulisan sejarah. Namun, setelah ditemukan sumber-sumber dan kajian sejarah

    penting seperti disertasi J.C. van Leur tentang perdagangan di Asia Tenggara tahun

    1934, Suma Oriental karya Tome Pires dan kemudian Asian Trade and European

    Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and 1630 karya M.A.P. Meilink-

    Roelofz yang diterbitkan di Den Haag tahun 1962, kecenderungan mulai berubah.

    Aspek-aspek lokal, regional dan nasional dalam melukiskan fenomena Indonesia masa

    silam mulai mendapat tempat sejak saat itu. Pedagang-pedagang [Muslim] Asia

    sebagai penggerak sejarah, kata Lombard (2005: 3,9), kurang sekali digambarkan

    dan kurang diakui.

    [5] Sejak setelah masa kemerdekaan sampai tahun 1980an, Indonesia didominasi oleh

    simbol-simbol kebudayaan kelompok Hindu-abangan. Dalam periode ini simbol-

    simbol kultur non-Islam dikonstruksi, disosialisikan dan diterima oleh masyarakat

    Indonesia. Simbol-simbol kebudayaan nasional dikonstruksi dengan mengambil

    warisan dari nilai-nilai kebudayaan Hindu. Hal ini berdasar sebuah pendapat yang

    populer di kalangan abangan bahwa negara dan bangsa Indonesia bisa terbentuk

    karena adanya prestasi yang dicapai oleh kerajaan Hindu Majapahit di masa lalu.

    Dengan demikian, candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan serta yang lainnya,

    kendati tidak berarti jumlahnya dibandingkan dengan jumlah ratusan masjid yang

  • 8bersejarah, sering disebut-disebut sebagai warisan kejayaan masa lalu bangsa

    Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sebagai tokoh abangan Jawa,

    mengabadikan bayangan kejayaan masa lalu ini melalui penggunaan istilah-istilah

    Hindu sebagai nama dari simbol-simbol kenegaraan yang penting: Lima dasar negara

    dinamai Pancasila, kesatuan dan keragamaan Indonesia diistilahkan Bhineka Tunggal

    Ika, istana kepresidenan diberi nama Bina Graha, doktrin untuk pendidikan Pancasila

    disebut Eka Prasetya Pancakarsa, sepuluh doktrin militer disebut Sapta Marga, patung

    Ganesha masih menjadi simbol dan kebanggaan ITB padahal mayoritas dosen dan

    mahasiswanya beragama Islam.[]