apetite enhancer
-
Upload
rendyprimananda -
Category
Documents
-
view
98 -
download
0
description
Transcript of apetite enhancer
REFERAT
OBAT PENINGKAT NAFSU MAKAN (APPETITE
ENHANCER) PADA GERIATRI
Oleh:
Dwi Prasetyo N. (G9911112057)
Niawati Rokhaniah (G9911112104)
Maulia Prismadani (G9911112093)
Wildan Syamsudin F. (G9911112143)
Pembimbing :
Dr. Fatichati B., SpPD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua pada manusia merupakan suatu proses alamiah yang
tak terhindarkan, dan menjadi manusia lanjut usia (lansia) yang sehat
merupakan suatu rahmat. Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat
dihindari terjadinya penurunan secara perlahan fungsi tubuh dan
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki, mengganti diri,
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Penuaan pada
manusia ditandai dengan kehilangan lean body mass yang biasanya sudah
dimulai sejak usia 40 tahun disertai dengan menurunnya metabolisme
basal sebesar 2% yang kemudian disertai dengan perubahan pada semua
sistem dalam tubuh manusia (Soegondo, et al., 2008).
Seiring dengan proses penuaan, maka kondisi kesehatan tubuh juga
akan semakin menurun. Muncul banyak kemunduran dan kelemahan fisik
maupun psikis pada lansia yang menurut Kane dan Ouslander sering
disebut dengan istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability
(berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser
buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment
(gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision
and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity
(gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction
(sulit buang air besar), isolation (depresi), impecunity (tidak punya uang),
iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan
tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence
(impotensi) dan inanition (malnutrisi).
Inanition (malnutrisi) merupakan salah satu masalah yang paling
sering ditemui pada usia lanjut. Malnutrisi atau kurang gizi yang dihadapi
lansia berkaitan erat dengan menurunnya aktivitas biologis tubuhnya.
Salah satu penyebab kurangnya asupan gizi pada usia lanjut adalah adanya
penurunan nafsu makan (anoreksia). Nafsu makan yang berkurang pada
usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak hal, termasuk sakit, penurunan
indera perasa, pembau, maupun karena depresi (Setiati, et al., 2006).
Penurunan nafsu makan yang berkepanjangan harus segera diatasi
karena dapat mempengaruhi status nutrisi pasien usia lanjut dan
menyebabkan malnutrisi. Oleh karena itu diperlukan pemberian obat
peningkat nafsu makan pada pasien usia lanjut yang mengalami anoreksia.
Pemberian obat peningkat nafsu makan pada pasien usia lanjut
secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya
perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang
timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya.
Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji
klinik yang secara khusus di desain untuk pasien usia lanjut (Setiati, et al.,
2006). Penulisan referat ini bertujuan untuk membahas obat peningkat
nafsu makan yang aman untuk geriatri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Geriatri
Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dari
konsep homeostenosis yang diperkenalkan oleh Wallter Cannon pada
tahun 1940. Homeostenosis merupakan keadaan penyempitan
(berkurangnya) cadangan homeostatis yang terjadi seiring meningkatnya
usia pada setiap sistem organ. Dengan makin berkurangnya cadangan
fisiologis maka seorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu
ambang yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian (Setiati et al.,
2006).
Setiap individu tidak menua secara seragam, baik cara maupun laju
kecepatannya. Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua
merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss).
Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar
kelompok usia yang berbeda, sebagian orang mengalami kehilangan
fungsi sekitar 1% per tahun (Setiati et al., 2006).
Proses menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan,
antara lain kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata
pencaharian, kehilangan teman atau keluarga. Pada proses ini, individu
merasakan adanya ketakutan dan kecemasan (Setiati et al., 2006).
Proses menua dapat terlihat secara fisik dengan perubahan yang
terjadi pada tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta
organ tersebut. Perubahan secara biologis ini dapat mempengaruhi status
gizi pada masa tua, antara lain (Guyton and Hall, 2006):
1. Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah,
mengakibatkan juga jumlah cairan tubuh yang berkurang, sehingga
kulit kelihatan mengerut dan kering, wajah keriput serta muncul garis-
garis menetap. Oleh karena itu, pada lansia seringkali terlihat kurus.
2. Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada lansia sehingga
dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat.
Sedangkan gangguan pada indera pengecap dihubungkan dengan
kekurangan kadar Zn yang juga menyebabkan menurunnya nafsu
makan. Penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya
kemunduran fungsi sel syaraf pendengaran.
3. Dengan banyaknya gigi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan
fungsi mengunyah yang dapat berdampak pada kurangnya asupan gizi
pada usia lanjut.
4. Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran
pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu
makan, serta susah BAB yang dapat menyebabkan wasir.
5. Kemampuan motorik menurun, selain menyebabkan menjadi lamban,
kurang aktif dan kesulitan menyuap makanan, juga dapat mengganggu
aktivitas kegiatan sehari-hari.
6. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan
penurunan daya ingat jangka pendek, melambatnya proses informasi,
kesulitan berbahasa, kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan
melakukan aktivitas yang mempunyai tujuan (apraksia) dan gangguan
dalam menyususn rencana, mengatur sesuatu, mengurutkan, daya
abstraksi, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari yang disebut demensia atau pikun. Gejala pertama
adalah pelupa, perubahan kepribadian, penurunan kemampuan untuk
pekerjaan sehari-hari dan perilaku yang berulang-ulang, dapat juga
disertai delusi paranoid atau perilaku anti sosial lainnya.
7. Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam
jumlah besar juga bekurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran
natrium sampai dapat terjadi hiponatremia yang menimbulkan rasa
lelah.
8. Incontinentia urine (IU) adalah pengeluaran urin diluar kesadaran
merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering
diabaikan pada kelompok usia lanjut, sehingga usia lanjut yang
mengalami IU seringkali mengurangi minum yang dapat menyebabkan
dehidrasi.
9. Secara psikologis pada usia lanjut juga terjadi ketidakmampuan untuk
mengadakan penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya, antara
lain sindrom lepas jabatan yang mengakibatkan sedih yang
berkepanjangan.
Pada geriatri, seringkali pasien merasakan depresi. Freud dan Karl
Abraham menyatakan bahwa kejadian depresi pada geriatri dapat
disebabkan oleh karena kehilangan objek dicinta. Selain itu ada juga obat-
obatan yang dapat menyebabkan depresi misalnya pada golongan
analgetik (kodein dan morfin), OAINS (ibuprofen, naproksen,
danindometasin), antihipertensi (klonidin, proponolol, kaptopril), dan
sebagainya. Keadaan depresi dapat menimbulkan penurunan nafsu makan
dan penurunan libido pada pasien (Setiati et al., 2006).
B. Fisiologi Selera Makan
Fisiologi selera makan pada manusia merupakan suatu hal yang
kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain
system saraf, endokrin, psikososial, dan faktor lainnya. Batasan istilah
lapar adalah sensasi keinginan terhadap makanan dan berhubungan dengan
efek fisiologis lain, seperti kontraksi ritmis pada lambung dan rasa gelisah
sehingga menuntut ketersediaan makanan yang adekuat. Selera makan
adalah hasrat untuk makan, dan sangat berguna dalam menentukan
kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan. Kenyang adalah
sensasi yang dirasakan jika keinginan untuk makan telah dipenuhi (Sari,
2007).
1. Regulasi Sistem Saraf dan Biokimia Terhadap Pengambilan Makan
Sistem saraf berperan penting dalam fisiologi selera makan. Ada
banyak daerah pada otak yang merupakan pusat-pusat selera makan,
serta saraf-saraf tepi yang merupakan jaras untuk menyampaikan
sinyal dari jaringan ke system saraf pusat dan sebaliknya. Hipotalamus
adalah pusat pengendali selera makan terbesar. Ada dua daerah pada
hipotalamus yang merupakan pusat penting, nucleus lateralis dan
nucleus ventromedial (Sari, 2007).
a. Nukleus lateralis terletak di setiap sisi lateral hipotalamus dan
berperan sebagai pusat lapar. Nukleus ini bekerja dengan cara
mendorong sel saraf motorik untuk mencari makanan. Stimulasi di
daerah ini akan menyebabkan makan dalam jumlah banyak
(hiperfagia), sedangkan destruksi di daerah ini menyebabkan
kehilangan selera makan, yang dapat berujung pada kehilangan
berat badan, massa otot, dan penurunan metabolisme tubuh.
b. Nukleus ventromedial adalah pusat kenyang. Stimulasi di daerah
ini akan menyebabkan perasaan kenyang sehingga tidak mau
makan (afagia), sebaliknya destruksi di daerah ini akan
menyebabkan hasrat untuk makan yang berlebih dan dapat
berakibat obesitas.
Gambar 1. Area respon makan pada hypothalamus (Sari, 2007).
Daerah lain pada otak yang berperan dalam pengaturan selera
makan adalah nukleus paraventrikular, nukleus dorsomedial, dan
nukleus arkuata pada hipotalamus. Lesi pada nukleus paraventrikular
mengakibatkan makan dalam jumlah berlebih, sedangkan lesi pada
nukleus dorsomedial menyebabkan tidak mau makan. Adapun nukleus
arkuata merupakan daerah di mana hormon-hormon berpusat dan
dikoordinasikan untuk mengatur pengambilan makanan.
Batang otak juga berperan dalam pengambilan makanan. Dalam
hal ini batang otak lebih ke arah mekanisme makan, seperti sekresi air
liur, menjilat, mengunyah, menelan dll. Adapun daerah lain pada otak
yang berperan dalam pengambilan makanan adalah amygdala dan
korteks prefrontalis. Keduanya berperan dalam penginderaan bau
makanan. Lesi pada amygdala dapat meningkatkan selera makan
namun dapat juga menurunkannya, bergantung kepada daerah lesi itu
sendiri. Salah satu efek penting dari kerusakan di daerah amygdala
adalah kebutaan psikis, dimana penderita mengalami kendala selera
makan parsial dan tidak bisa menentukan jenis/kualitas makanan yang
dimakannya (Sari, 2007).
Pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, neurotransmitter
dan hormon memegang peranan penting. Substansi biokimia tersebut
yang menentukan apakah selera makan akan dihambat (kenyang) atau
dicetuskan (lapar). Untuk itu dikenal pengkategorian sebagai berikut
(Sari, 2007):
a. Substansi orexigenic, yaitu substansi yang mencetuskan rasa lapar
b. Substansi anorexigenic, yang menghambat selera makan (dengan
kata lain, kenyang).
Neuron yang menghambat selera makan adalah neuron
proopiomelanocortin (POMC), dimana substansi yang diproduksinya
adalah I-melanocyte-stimulating hormone (I-MSH) bersama dengan
cocaine-and-amphetamine-related transcript (CART). Keduanya
bersifat anorexigenic. Corticotropin releasing factor, 5-
hydroxytriptamine (serotonin) dan isatine juga menghambat nafsu
makan. Corticotropin releasing factor merupakan factor anorexigenic
paling kuat.
Sedangkan substansi yang mencetuskan rasa lapar adalah
neuropeptide Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP). Keduanya
bersifat orexigenic. Selain itu, neurotransmitter seperti norepinefrin
(menstimulus reseptor gamma amino butirat acid) dan nitric oxide
synthase / NO-synthase (melalui mekanisme di system saraf pusat)
juga mencetuskan rasa lapar (Soejono, 2003).
Neuron POMC bekerja dengan cara melepas I-MSH yang akan
berikatan dengan reseptor melanocortin (MCR) pada nukleus
paraventrikular. Aktivasi pada MCR akan mengurangi pengambilan
makanan dan meningkatkan pemakaian energi, sebaliknya inhibisi
(defek) akan meningkatkan pengambilan makanan dan mengurangi
pemakaian energi sehingga dapat menyebabkan obesitas (khusus
untuk peningkatan pemakaian energy). MCR bekerja diperantarai oleh
nucleus tractus solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf
simpatis. AGRP, yang bersifat orexigenic, adalah antagonis alami dari
MCR. Dengan demikian, AGRP bekerja dengan cara menginhibisi
efek dari MCR dan meningkatkan pengambilan makanan.
Pembentukan AGRP yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas
(Sari, 2007).
NPY, yang juga bersifat orexigenic, dilepaskan dari nukleus
arcuata. NPY dilepaskan ketika simpanan energi menurun, dan di saat
bersamaan aktivitas POMC dihambat sehingga mengurangi aktivitas
melanocortin dan meningkatkan pengambilan makanan.
Tabel 1. Substansi yang mempengaruhi pusat rasa lapar dan kenyang di Hipotalamus (Guyton and Hall, 2006).
Hipotalamus (nucleus paraventrikular dan ventromedial)
Nucleus dekat ventrikel ke 4
Endogenous opioid
Galanine
NO
Norepinefrin
Neuropeptide Y
MCH
Stimulus
Nafsu Makan
Inhibisi
Stimulus Inhibisi
NO
Relaksasi fundus
RA,CA, AIDS
Citokine
A dipsin
Satiatin
Body FatLeptin (naik)
Nucl.Tr. Solitarius hipotalamus
N X
Pilorus
Amilin
Glucosa
CCKTestosteron (naik)
Appetite gene
Corticotropin releasing factor
Serotonin
Isatin
Sentral
Perifer
Gambar 2. Appetite Control (Soejono, 2003)
2. Faktor yang Meregulasi Kuantitas Pengambilan Makanan Berdasarkan
Pemeliharaan Simpanan Energi pada Tubuh
Regulasi kuantitas pengambilan makanan dapat dibagi menjadi
(Sari, 2007; Soejono, 2003):
a. Regulasi jangka pendek yang bertujuan untuk mencegah seseorang
makan terlalu banyak dalam suatu kesempatan demi optimalisasi
sistem pencernaan. Dengan demikian maka sistem perncernaan
dapat bekerja secara optimal dalam mengolah dan menyerap sari
makanan. Jika hanya mengandalkan sinyal yang dihasilkan oleh
simpanan energi (regulasi jangka panjang) maka perlu waktu yang
sangat lama untuk menghentikan seseorang makan. Oleh karena
itu, regulasi jangka pendek melibatkan mekanisme yang mampu
bekerja dengan cepat dalam menstimulasi dan menginhibisi selera
makan.
1) Inhibisi akibat pengisian lambung. Ketika makanan masuk ke
lambung maka lambung akan mengalami distensi. Peregangan
(mekanik) yang terjadi ini menyebabkan sinyal ditransmisikan
melalui nervus vagus ke pusat kenyang-lapar sehingga selera
makan akan berkurang atau hilang.
2) Inhibisi yang disebabkan hormon gastrointestinal.
Kolesistokinin (CCK) adalah hormon yang dilepaskan ketika
lemak memasuki duodenum. CCK ini akan menurunkan selera
makan dengan cara mengaktivasi jaras melanokortin. Peptide
YYA (PYY) adalah hormon yang dilepaskan oleh traktus
gastrointestinal (khususnya ileum dan kolon) yang bersifat
menekan rasa lapar. Pengeluaran hormon PYY ini dipengaruhi
oleh jumlah kalori yang dicerna dan komposisi makanan, di
mana semakin banyak lemak yang masuk semakin banyak
hormon PYY yang dikeluarkan.
b. Regulasi jangka panjang yang bertujuan memelihara simpanan
energi secara konstan dalam waktu yang relatif lama dan erat
kaitannya dengan status gizi.
Gambar 3. Mekanisme kontrol umpan balik nafsu makan (Guyton
and Hall, 2006)
C. Penurunan Nafsu Makan pada Geriatri
Berkurangnya asupan makanan pada geriatri secara fisiologi dapat
disebabkan oleh beberapa hal. Perubahan komposisi tubuh (kehilangan
massa otot) menyebabkan penurunan kalori seiring dengan bertambahnya
usia. Dengan begitu, aktivitas fisik juga akan berkurang. Semakin
berkurangnya massa tubuh maka akan mengurangi rerata metabolisme
basal dan energy makanan. Berkurangnya metabolisme basal pada usia
lanjut disebabkan oleh adanya reduksi ion Na+, K+, ATPase, dan sedikit
penurunan triiodothyronine (Kehayias, 2002; Bayling DJ, 1999).
Kurangnya asupan makanan karena anoreksia bisa disebabkan oleh
gigi dan gusi yang sudah tidak utuh, berkurangnya daya pengecap dan
penciuman, berkurangnya endogenous opioid, rasa cepat kenyang akibat
peningkatan CCK, gerakan lambung yang lambat dan penurunan kadar
NO di daerah fundus.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami
anoreksia, bisa disebabkan karna faktor sosial, psikologi, dan kesehatan.
Faktor social yang paling banyak menyebabkan anoreksia adalah
kemiskinan. Faktor psikologi yang paling sering menyebabkan anoreksia
pada geriatric adalah depresi.
Demensia atau penurunan fungsi kognitif juga menyebabkan
pasien usia lanjut menjadi sering lupa, bahkan lupa apakah dirinya sendiri
sudah makan atau belum. Sulit menelan dan obat-obat dementia sering
menyebabkan intake makanan pasien dementia berkurang (Rumawas,
1994; Soejono, 2003).
Anoreksia nervosa juga bisa terjadi pasien usia lanjut dan biasanya
merupakan suatu kekambuhan dari anoreksia di usia muda. Meskipun
demikian, anoreksia nervosa lebih sering muncul disaat usia tua (Salzman
JR, 1995).
Kondisi medis seperti malignansi, PPOK, gagal jantung,
malabsorbsi, rematoid arthritis, dan polifarmasi juga menyebabkan
anoreksia pada usia lanjut. Malignansi dan rematoid arthritis menyebabkan
peningkatan sitokin berpengaruh pada nafsu makan. PPOK sering
menyebabkan aerophagia dan meningkatkan penggunaan otot-otot
pernapasan, mengurangi asupan makanan dan status nutrisi. Obat yang
digunakan pasien PPOK dan gagal jantung juga sering menyebabkan
dyspepsia dan mengganggu asupan makanan. Pengunaan multifarmasi
karna multipatologi tentunya juga meningkatkan terjadinya dyspepsia
sehingga mengurangi asupan makanan. Obat-obatan yang sering
digunakan yaitu digoxin, teophylin, fluoxetin, NSAID dan suplemen Fe
(Soejono, 2003).
D. Obat Peningkat Nafsu Makan pada Geriatri
Obat penambah nafsu makan merupakan golongan obat yang
diberikan untuk mencegah penurunan massa tubuh pada pasien usia lanjut
dan pasien yang menderita penyakit seperti AIDS atau kanker, yang sering
menyebabkan hilangnya jaringan otot tubuh sebanyak hilangnya berat
badan secara keseluruhan. Bentuk medis obat ini adalah orexigenic. Obat
yang biasa digunakan antara lain mirtazapine (Remeron), yang merupakan
tetracyclic antidepressant; cyproheptadine (Periactin), antihistamine;
dronabinol (Marinol, THC), antiemetic; nandrolone, oxymetholone, and
oxandrolone (Anadrol-50, Durabolin, Hybolin, Oxandrin), anabolic
steroids yang berkaitan dengan hormone testosterone pada pria; dan
megestrol acetate (Megace), derivate sintetik dari hormone progesterone
pada wanita. Sebagai tambahan, minyak ikan (fish oil atau
eicosapentaenoic acid atau EPA) juga direkomendasikan sebagai
alternative terapi untuk kehilangan berat badan akibat penurunan nafsu
makan.
1. Mirtazapine.
Mirtazapine adalah antidepresan tetrasiklik yang telah ditetapkan oleh
Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1996 sebagai
pengobatan untuk sebagian besar depresi. Menurut beberapa
penelitian, mirtazapine dipercaya mampu meningkatkan kadar
noradrenalin dan serotonin di otak. Mirtazapine lebih sering diberikan
sebagai peningkat nafsu makan untuk pasien yang sebelumnya pernah
didiagnosis depresi.
Dosis :
Mirtazapine diberikan dengan dosis 15-30 mg sediaan tablet.
Umumnya dosisnya dimulai dari 15 mg 1 x sehari, biasanya sebelum
tidur, dapat diminum sebelum atau setelah makan.
Precaution :
Mirtazapine dapat menyebabkan hipertensi dan kenaikan suhu tubuh
yang abnormal apabila dikonsumsi bersama obat MAO inhibitors
(furazolidon, fenelzin, prokarbazin, selegilin, or tranylsipromin).
Selain itu, mirtazapine memperkuat efek sedasi dari alkohol,
benzodiazepin, transquilizer, antihistamin, antidepresan trisiklik,
analgesik narkotik, dan beberapa obat-obatan yang diberikan untuk
mengatasi hipertensi. Mirtazapine tidak diberikan pada anak dibawah
18 tahun. Penggunaan pada wanita hamil atau menyusui perlu
dikontrol secara ketat. Pasien yang menggunakan mirtazapine
diharapkan segera menghentikan konsumsi
setelah efek oreksigenik didapatkan; penghentian tidak dilakukan
secara mendadak tapi tetap dikonsumsi dalam dosis yang semakin
kecil dalam tahap waktu tertentu, terutama bagi pasien yang telah
menggunakan mirtazapine dalam jangka waktu yang lama.
Efek Samping :
Mirtazapine menyebabkan perubahan mood, termasuk perburukan
depresi atau pikiran untuk bunuh diri. Obat ini juga dapat
menyebabkan serangan panik, iritabilitas, kesulitan dalam
pengontrolan impuls, euforia, atau insomnia. Efek samping fisik
meliputi mengantuk, mulut kering, konstipasi, mual dan muntah, flu-
like symptoms, nyeri dada, dan takikardi. Pasien dengan salah satu atau
beberapa efek samping diatas harus segera berkonsultasi dengan
dokter.
2. Cyproheptadine
Cyproheptadine merupakan antihistamin yang diberikan untuk
mengatasi gejala pilek, alergi pada hidung, dan alergi serbuk bunga.
Obat ini juga diberikan untuk meringankan gatal akibat gigitan
serangga dan sengatannya. Obat ini sangat efektif sebagai terapi untuk
hilangnya nafsu makan pada anak dan dewasa dengan cystic fibrosis.
Dosis:
Cyproheptadine diberikan secara oral, sediaan tablet atau cair. Dosis
dewasa biasanya 4 mg, 3-4 x/ hari.
Precaution :
Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan asma akut atau yang
memiliki hipersensitivitas terhadap antihistamin. Selain itu,
cyproheptadine tidak boleh diberikan kepada pasien yangu
mengonsumsi fenelzine (Nardil), tranylsipromin (Parnate), atau obat
MAO inhibitor lainnya selama lebih dari 2 minggu. Pemberian
cyproheptadine harus sangat dipantau pada geriatri dengan glaukoma,
hipertensi, atau penyakit jantung dan pembuluh darah.
Efek Samping :
Efek samping meliputi mengantuk, kelelahan, mulut kering, bintik-
bintik merah, kongesti dada, pusing, diare, mual dan muntah, sulit
berkemih, dan pandangan kabur. Pasien dengan kesulitan urinasi atau
penglihatan sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter.
Interaksi:
Cyproheptadine memperkuat dan memperpanjang efek antihistamin
lain, alkohol, barbiturat, analgesik narkotik, benzodiazepin,
transquilizer, dan anti depresan.
3. Dronabinol
Dronabinol merupakan bentuk sintetis dari tetrahydrocannabinol
(THC), sebuah senyawa yang dapat mengubah suasana hati yang ada
pada marijuana (Cannabis sativa). Marijuana dikenal sebagai
penambah nafsu makan selama berabad-abad dengan kandungan
orexigenicnya. Dronabinol paling umum digunakan untuk mengatasi
nausea dan vomitus pada pasien AIDS dan kemoterapi.
Dosis:
Sebagai penambah nafsu makan, dronabinol diberikan 2,5 mg, sediaan
kapsul, 2x/ hari, sebelum makan siang dan sebelum makan malam.
Pada pasien AIDS bias diberikan sebanyak 10 mg per hari.
Precaution :
Konsumsi dronabinol harus mendapatkan pengawasan dari dokter
karena efek sampingnya yang menyebabkan perubahan tekanan darah
dan detak jantung yang tidak terprediksi, selain menyebabkan
memburuknya status mental pada pasien, khususnya pasien anak.
Penggunaan dronabinol mudah untuk disalahgunakan. Pasien dengan
riwayat konsumsi minuman beralkohol dan penyalahgunaan narkotika
perlu mendapatkan perhatian khusus dalam penggunaannya.
Dronabinol berinteraksi dengan obat anestesi, baik lokal maupun
umum, memperkuat efek anestesinya sehingga perlu diberitahukan
kepada ahli bedah atau ahli gigi yang akan melakukan operasi.
Tambahan, pasien dilarang untuk menyetir atau mengoperasikan
mesin-mesin beberapa saat setelah mengonsumsi dronabinol karena
dapat menimbulkan kantuk, pusing, dan koordinasi yang kurang.
Efek Samping :
Dronabinol mungkin menyebabkan perubahan status mental; meliputi
delirium, kebingungan, halusinasi, memory loss, delusi, euforia,
kegugupan atau kecemasan. Overdosis konsumsi dronabinol harus
segera ditangani medis. Selain itu, obat ini juga menyebabkan
kurangnya koordinasi, mulut kering, kelelahan, pusing, berkeringat,
wajah memerah, diare atau konstipasi, nyeri otot, hipertensi, kejang,
masalah urinasi, mata merah, atau muntah.
Interaksi :
Dronabinol memperkuat efek alkohol dan obat anti depresan yang
bekerja pada SSP (barbiturat, analgesik narkotik, benzodiazepin,
transquilizer, tetrasiklik dan trisiklik antidepresan, anti kejang,
antihistamin, relaksan otot, dan anestesi.
4. Steroid Anabolik
Obat-obat ini diberikan pada pasien usia lanjut untuk meningkatkan
massa otot dan kekuatannya, atau untuk membantu pemulihan pasien
dari penyakit berat atau trauma untuk mengembalikan berat badannya.
Dosis:
Oxandrolone dan oxymetholone dengan sediaan tablet, sedangkan
nandrolone diberikan melalui suntikan. Untuk membangun jaringan
tubuh setelah trauma atau sakit serius, dosis dewasa oxandrolone
adalah 2.5 mg tablet diberikan per oral, 2-4x/hari selama 4 minggu.
Total dosis per hari 20 mg. Nandrolone diberikan melalui suntikan
setiap 3-4 minggu selama 12 minggu. Dosis untuk wanita 50-100 mg,
pria 50-200 mg.
Precaution :
Untuk mendapatkan efek yang nyata, konsumsi obat ini harus selalu
diikuti dengan diet tinggi proein dan kalori dan selalu berada dalam
pengawasan dokter. Pasien anak atau dewasa muda yang mengonsumsi
obat ini harus melakukan rontgen tubuh setiap 6 bulan untuk
memastikan mereka tetap tumbuh normal, sebagaimana stroid anabolik
dapat mempengaruhi pertumbuhan. Pasien diabetes harus selalu dicek
kadar gula darah dengan intensif, sebagaimana obat ini dapat
menyebabkan fluktuasi kadar gula darah yang sangat cepat.
Efek Samping :
Steroid anabolik dilaporkan dapat menyebabkan beberapa macam jenis
penyakit liver yang langka. Pasien dengan mata dan kulit tampak
kekuningan, atau kehitaman, melena, nyeri tenggorokan dan demam,
hematemesis, bintik-bintik ungu atau merah pada tubuh harus segera
berkonsultasi dengan dokter. Efek samping lain seperti, merasa
kedinginan, diare, kram otot, peningkatan atau penurunan libido
seksual yang tidak biasa, wajah berminyak atau berjerawat, nyeri
tulang, mual dan muntah. Dewasa perempuan mungkin terjadi
pendalaman suara, rambut rontok, hirsutism, atau menstruasi yang
tidak teratur. Dewasa pria mungkin terjadi ginekomastia, poliusi, dan
sering ereksi. Pada lansia pria seringkali terjadi kesulitan dalam
urinasi.
Interaksi :
Steroid anabolik memperkuat efek antikoagulan (aspirin, kumadin,
warfarin). Selain itu, obat ini juga meningkatkan resiko terjadinya
kerusakan liver pada pasien yang mengonsumsi fenotiazin,
asamvalproat, kontrasepsi oral, garam emas, metotreksat,
karbamazepin, amiodaron, merkaptourin, fenitoin, plikamisin,
disulfram, daunorubisin, klorokuin, metildopa, atau naltrekson.
5. Megestrol Asetat
Megestrol asetat pertama kali dikenalkan oleh FDA pada tahun 1976
untuk terapi paliatif pasien dengan metastasis kanker payudara atau
kanker endometrium. Pada tahun 1993, obat ini diterima sebagai salah
satu terapi untuk anoreksia dan kehilangan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan pada pasien dengan AIDS. Sampai saat ini belum
diketahui bagaimana obat ini mampu mencegah pertumbuhan sel
kanker dan merangsang nafsu makan.
Dosis : Megestrol asetat diberikan dengan sediaan suspensi dengan
dosis 200 mg tiap 6 jam.
Precaution :
Obat ini tidak boleh digunakan oleh wanita hamil atau sedang
menyusui, atau wanita yang berencana untuk segera hamil. Wanita
dewasa dalam masa fertil yang mengonsumsi megestrol asetat
sebaiknya mengkaji ulang kontrasepsi yang akan dipakai karena
penggunaan megestrol asetat berinteraksi dengan siklus hormonal
wanita.
Efek samping :
Megestrol asetat dapat menyebabkan bengkak pada tangan, kaki dan
tungkai, pusing, nyeri dada, atau turunnya libido seksual. Dewasa pria
dapat terjadi impotensi. Dewasa wanita dapat terjadi perdarahan vagina
atau nyeri perut.
Interaksi :
Belum ada laporan signifikan mengenai interaksi megestrol asetat
dengan obat-obatan lain. Pasien dengan regimen megestrol asetat harus
selalu diawasi dosis pakainya. Penyesuaian dosis juga perlu dilakukan.
6. Fish oil
Fish oil atau minyak ikan direkomendasikan oleh beberapa praktisi
sebagai suatu suplemen nutrisi untuk kehilangan berat badan yang
disebabkan oleh kanker atau AIDS. Hal ini karena asam lemak omega-
3 yang terkandung di dalam minyak ikan membantu mengurangi
peradangan akibat terapi kanker dan membantu pasien mengembalikan
berat badannya yang hilang.
Dosis : dosis yang direkomendasikan untuk induksi kanker dengan
penurunan berat badan adalah 12 g per hari per oral. Sediaannya kapsul
dan cair.
Precaution :
Minyak ikan dapat diberikan tanpa resep dokter. Pasien yang
menggunakan minyak ikan Cod sebaiknya memastikan mengenai
kadar vitamin A dan D didalamnya tidak melebihi batas maksimum
harian konsumsi vitamin-vitamin tersebut. Kedua vitamin ini larut
dalam lemak dan dapat disimpan didalam tubuh, bahkan hingga level
toksik. Batas maksimum konsumsi harian vitamin A adalah 3000 mcg.
Efek samping :
Minyak ikan dapat menyebabkan terjadinya sendawa berlebihan
karena sensasi berminyak yang ditinggalkannya dimulut.
Interaksi :
Minyak ikan dilaporkan dapat memperkuat efek kerja antikoagulan
seperti kumadin dan warfarin. Pasien dengan regimen antikoagulan
yang berkeinginan untuk menggunakan minyak ikan harus
berkonsultasi dengan dokter terlebih dulu.
BAB III
PENUTUP
Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses
menua dapat terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada tubuh dan
berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut. Dengan makin
lanjutnya usia seseorang maka akan terjadi penurunan kemampuan kerja yang
merupakan gabungan penurunan kemampuan fungsi organ dan sistem.
Masalah-masalah luar biasa besar pada pasien lanjut usia, yaitu
imobilisasi, instabilitas dan jatuh, inkontinensia uri dan alvi, gangguan intelektual
(demensia), infeksi, gangguan penglihatan dan pendengaran, impaksi (konstipasi),
isolasi (depresi), impecunit (kemiskinan), iatrogenesis (sering karena terlalu banak
obat), insomnia, imunodefisiensi, impotensi dan Inanisi (malnutrisi).
Penurunan berat badan yang drastis pada lansia merupakan pertanda
kekurangan gizi (inanisi) akibat rendahnya nafsu makan (anoreksia) yang
berkepanjangan. Seringkali gizi kurang merupakan akibat dari penyakit infeksi
kronis, keganasan, penyakit jantung kongestif, masalah sosial ekonomi atau sebab
lain yang tidak diketahui. Selain itu, pada beberapa keadaan-keadaan tertentu
ditemukan kekurangan vitamin dan mineral, khususnya defisiensi Fe, vitamin C,
vitamin B12 dan vitamin B6 karena kurangnya asupan makanan, penyakit tertentu
dan obat-obatan yang dikonsumsi. Faktor psikologi seperti depresi, kecemasan
dan demensia juga mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan asupan
makanan dan zat gizi seseorang.
Fisiologi selera makan pada manusia merupakan suatu hal yang kompleks
dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain system saraf,
endokrin, psikososial, dan faktor lainnya.
Obat penambah nafsu makan merupakan golongan obat yang diberikan
untuk mencegah penurunan massa tubuh pada pasien usia lanjut dan pasien yang
menderita penyakit seperti AIDS atau kanker, yang sering menyebabkan
hilangnya jaringan otot tubuh sebanyak hilangnya berat badan secara keseluruhan.
Bentuk medis obat ini adalah orexigenic. Obat yang biasa digunakan antara lain
tetracyclic antidepressant; cyproheptadine (Periactin), antihistamine; dronabinol
(Marinol, THC), antiemetic; nandrolone, oxymetholone, and oxandrolone
(Anadrol-50, Durabolin, Hybolin, Oxandrin), anabolic steroids yang berkaitan
dengan hormone testosterone pada pria; dan megestrol acetate (Megace), derivate
sintetik dari hormone progesterone pada wanita. Sebagai tambahan, minyak ikan
(fish oil atau eicosapentaenoic acid atau EPA) juga direkomendasikan sebagai
alternative terapi untuk kehilangan berat badan akibat penurunan nafsu makan.
DAFTAR PUSTAKA
Baylink DJ, Jennings JC, Mohan S. 1999. Calcium and bone homeostasisand
changes with aging. In: Hauard WR,Blass IP, Ettinger WH, Halter JB,
Ouslander JG, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology.
4'ed. New York: McGraw-hill companies, inc. p. 1042-4.
Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York :
McGraw-Hill.
Guyton., Hall. 2006. Fisiologi Kedokteran Edisi 9.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kehayias JI. 2002. Aging and body composition. In: Rosenberg IH, Sastre A;
editors. Nutritionand aging. Switzerland: Karger-baselnestec Ltd. p.63-73.
Rumawas SSP. Pentingnya gizi bagi lansia sehat. Makalah. Lokakarya nutrisi
pada geriatri, bag. Ilmu penyakit dalam FKUII RSCM. Jakarta. 28 Nov
1994 : lampiran 1.
Salzrnan JR, Russell RM. 1995. Gastrointestinal function and aging. In: J E
Morley, Z Glick, L Z Rubinstein, editors. Geriatric nutrition, a
comprehensive review. 2"" ed. New York: Raven Press Ltd. p. 186-7.
Sari, Mutiara I. 2007. Regulasi Sistem Saraf pada Nafsu Makan. Medan : USU.
Setiati, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FK UI.
Soegondo, et al. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI.
Soejono, CZ H. 2003. All About Anorexia in The Elderly. Jakarta : Acta Medica
Indonesiana.
Soejono CZ H. 2003. Suplementasi vitamin dan mineral pada pasien geriatri, apa
manfaatnya?. Jakarta: KPPlK FKUI.