Apa Yang Kita Sombongkan

3
APA YANG KITA SOMBONGKAN ?? Ditulis pada September 30, 2007 oleh Abu Ja'far Amri A. Fillah Al Atsary Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru, dan dia tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?” Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka. Mereka pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu, saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.” Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain. Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh factor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh factor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain. Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita. Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini

Transcript of Apa Yang Kita Sombongkan

Page 1: Apa Yang Kita Sombongkan

APA YANG KITA SOMBONGKAN   ??

Ditulis pada September 30, 2007 oleh Abu Ja'far Amri A. Fillah Al Atsary

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru, dan dia tertegunkeheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkutiair dengan ember dan menyikat lantai rumahnya keras-keras. Keringatnyabercucuran deras. Menyaksikan keganjilan ini orang itu bertanya, “Apayang sedang Anda lakukan?”

Sang Guru menjawab, “Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang memintanasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka.Merekapun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba sayamerasamenjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karenaitu,saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya.”

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yangbenih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkatterbawah,sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebihrupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh factor kecerdasan. Kita merasalebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan oranglain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh factor kebaikan. Kita seringmenganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulusdibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pulakitamendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namunsombongkarena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksikarenaseringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yanglumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem)dankepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal iniberubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekatdengankesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dankesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalamkeadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan

Page 2: Apa Yang Kita Sombongkan

waktu,kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kitabutuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kitamemerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi egoinilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka)dankebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaransejati.Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada duaperubahanparadigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwapadahakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual.Kesejatiankita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untukhidupdi dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akanmatidengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalamkesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan,label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah“tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dariberbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kitalakukan,semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kitamemberikansesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi.Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi ituakan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kitalakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cintakasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiapberbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baikkepada diri kita sendiri.

Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?