Ap01_karakterisitik Pemerintah Daerah, Korupsi Dan Kinerja Keuangan Daerah
-
Upload
syukriy-abdullah -
Category
Documents
-
view
81 -
download
8
description
Transcript of Ap01_karakterisitik Pemerintah Daerah, Korupsi Dan Kinerja Keuangan Daerah
-
KARAKTERISITIK PEMERINTAH DAERAH, KORUPSI DAN KINERJA
KEUANGAN DAERAH
Handoko A Hasthoro
Universitas Janabadra, Yogyakarta
Djoko Suhardjanto
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
BIDANG KAJIAN
Akuntansi Pemerintahan (AP)
KONFERENSI ILMIAH AKUNTANSI I
IKATAN AKUNTAN INDONESIA KOMPARTEMEN AKUNTAN PENDIDIK
(IAIKAPd WILAYAH JAKARTA BANTEN)
UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 26-27 FEBRUARI 2014
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
KARAKTERISITIK PEMERINTAH DAERAH, KORUPSI DAN KINERJA
KEUANGAN DAERAH
Handoko A Hasthoro
Universitas Janabadra, Yogyakarta
Djoko Suhardjanto
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ABSTRACT
This research examines and analyzes factors that influence Indonesian Local Governments
financial performance. The research used local government characteristics and corruption
perceiption indeks as independent variables. The samples of research are local government
that surveyed by Transparency International Indonesia based on 2010.
The results of study shows that size of local government, population, and corruption
perceiption indeks have positive and significant influence on local government financial
performance, and number of units under districtal (SKPD) have negative dan significant
influence on local government performance. The capital expenditure and e-government do
not significantly influence the financial performance of local government.
Key words: Local government, corruption, fiscal decentralization, financial performance,
public sector accounting
1. PENDAHULUAN
Reformasi sektor publik yang terjadi di seluruh dunia merupakan upaya untuk
meningkatkan kinerja dengan memperbaiki efisiensi, efektivitas, daya tanggap pemerintah,
dan akuntabilitas pelayanan publik (Pilcher 2005). Era new public management telah
membawa konsekuensi perubahan akuntansi dan manajemen keuangan pada pemerintah
daerah sebagai bagian dari reformasi manajemen pemerintah daerah (Hood 1995; Goddard
2005). Kinerja sektor publik bersifat multidimensional, sehingga tidak ada indikator tunggal
yang dapat digunakan untuk menunjukkan kinerja secara komprehensif. Menurut Sadjiarto
(2000), ada dua elemen faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi pemerintah yaitu
elemen yang diluar kontrol pemerintah (demografi, lingkungan, dan lainnya) dan elemen
yang dapat dikontrol pemerintah (alokasi dana, penentuan jumlah personalia, dan lainnya).
Kinerja keuangan pemerintah menjadi fokus perhatian baik oleh pejabat pemerintah
maupun stakeholder lainnya. Hal tersebut dikarenakan isu-isu seputar pengelolaan keuangan
pemerintah selalu menarik untuk disorot untuk berbagai kepentingan, terutama isu seputar
korupsi. Korupsi dapat mengurangi pendapatan yang dihasilkan pemerintah melalui pajak,
dan berkontribusi terhadap tidak berjalanya fungsi pemerintahan dengan baik (Tanzi dan
Davoodi 1997) dan secara umum menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang rendah (Mauro
1996). Gupta, Davoodi dan Terme (1998) membuktikan korupsi berdampak pada belanja
masyarakat dan ketimpangan pendapatan. Semakin besar tingkat korupsi mengakibatkan
semakin rendah belanja masyarakat. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
pemerintah karena sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari belanja masyarakat
selaku pengguna jasa melalui pembayaran pajak dan retribusi.
Korupsi harus dicegah dan diberantas, karena bisa menghambat pembangunan,
merugikan keuangan negara, menyebabkan ketimpangan pendapatan, dan merusak sendi-
sendi moral masyarakat (Mistry 2012). Suksesnya reformasi akuntansi sektor publik guna
menghasilkan pelaporan keuangan pemerintah yang akuntabel akan memberi banyak manfaat
terutama kaitannya untuk mewujudkan pelayanan publik maupun untuk pemberantasan
korupsi (Yuhertiana 2007).
Indonesia menghadapi masalah yang serius dalam korupsi. Menteri Dalam Negeri,
Gamawan Fauzi, menyatakan sebanyak 281 kepala daerah di Indonesia terjerat masalah
hukum dengan status berupa tersangka, terdakwa, saksi, dan terpidana, dengan 70% terjerat
pidana korupsi (www.kompas.com 8 Nopember 2012), dan jumlah pegawai negeri sipil yang
terlibat tindak pidana korupsi mendekati 1.000 (www.merdeka.com 20 Nopember 2012).
Kasus korupsi juga menjerat pejabat di pemerintah pusat seperti menteri dan anggota DPR.
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan untuk mengatasi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat dengan
mekanisme otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah di Indonesia.
Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa sebelum era otonomi harapan yang besar dari
pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak
daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan.
Kondisi seperti ini membuat peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah
sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah,
sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menyiapkan infrastruktur yang memadai dengan
melakukan investasi atau belanja modal, mengoptimalkan badan usaha milik daerah (BUMD)
melalui penyertaan modal, dan pemanfaatan tehnologi informasi. Investasi atau belanja
modal dilakukan dengan cara membangun infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, pasar,
kawasan wisata, pengembangan tehnologi informasi dan lainnya (Mustikarini dan Fitriasari
2012).
Penelitian tentang kinerja keuangan daerah di Indonesia ada beberapa variasi, seperti
pengaruh fiscal stress terhadap kinerja keuangan (Hariyadi 2002), perbedaan kinerja
keuangan sebelum dan sesudah otonomi daerah (Azhar 2008), dan pengaruh karakteristik
pemerintah daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja keuangan (Mustikarini dan
Fitriasari 2012). Variasi di luar Indonesia diantaranya adalah pengaruh manajemen kinerja
terhadap kinerja (Verbeeten 2008; Yang dan Modell 2013), dan pengaruh perubahan
manajemen politik terhadap kinerja pemerintah daerah di Inggris (Fenwick dan Miller 2012).
Berdasar penelusuran oleh peneliti, hubungan antara korupsi dan kinerja keuangan
daerah di Indonesia, bahkan di dunia, belum pernah diuji dan dibuktikan secara empiris.
Penelitian sebelumnya, seperti diuraikan diatas, menggunakan variabel selain korupsi sebagai
determinan kinerja pemerintah daerah. Variabel korupsi digunakan dalam beberapa penelitian
sebagai variabel dependen/ terikat oleh (Picur dan Belkaoui 2006), Sulistiyowati (2007),
Malagueno, Albrecht, Ainge, dan Stephens (2010), dan Mistry (2012). Sebagai variabel
independen/bebas, variabel korupsi digunakan oleh Mauro (1996), Tanzi dan Davoodi
(1997), dan Gupta dkk (1998). Semua penelitian diatas menggunakan level pemerintah pusat
(Negara), kecuali Sulistyowati (2007) yang menggunakan pemerintah daerah. Penelitian ini
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh korupsi terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah, terutama di Indonesia.
Banyak pembahasan tentang pengukuran kinerja sektor publik yang telah dipublikasi
pada jurnal akademik dengan kajian organisasi sektor publik di Eropa, Amerika Utara,
Australia, dan Selandia Baru. Akibatnya, relatif sedikit yang bisa diketahui tentang
pengukuran kinerja sektor publik dalam konteks negara sedang berkembang (Mimba, Helden
dan Tillema 2007). Sistem pengukuran kinerja sektor publik di negara berkembang seperti
Indonesia masih harus terus dikaji dan dilakukan inovasi sesuai dengan perkembangan yang
terjadi. Hasil penelitian oleh Akbar, Pilcher dan Perrin (2012) menunjukkan bahwa
pemerintah daerah di Indonesia mengembangkan indikator kinerja hanya untuk memenuhi
peraturan daripada untuk membuat organisasi semakin efektif dan efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan
korupsi terhadap kinerja keuangan daerah di Indonesia. Karakteristik pemerintah daerah dan
korupsi sebagai variabel independen. Karakteristik pemerintah daerah yang digunakan adalah
ukuran organisasi (size) yang diproksi dengan total aktiva, realisasi belanja modal, kualitas
implementasi tehnologi informasi di pemerintahan (E-Government), jumlah satuan kerja
perangkat daerah (SKPD), dan jumlah penduduk. Variabel dependen adalah kinerja
keuangan daerah yang diproksi dengan derajat desentralisasi fiskal. Variabel korupsi, diukur
dengan indeks persepsi korupsi, digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja
keuangan daerah mengingat tindak pidana korupsi di Indonesia sudah pada taraf masif dan
mengkhawatirkan. Tahun 2013 Indonesia mendapat rangking 118 dari 137 negara yang
disurvei oleh Transparency International.
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat terhadap pemahaman tentang
kinerja keuangan di organisasi sektor publik dan faktor yang mempengaruhinya.
Hubungan antara korupsi dan kinerja keuangan pada pemerintah daerah di Indonesia
belum pernah diuji secara empiris, sehingga dapat menambah literatur dalam agenda
penelitian masa mendatang. Kontribusi praktis diharapkan pemerintah jeli dalam
membuat program dan menentukan indikator kinerja bagi pencapaian program
tersebut agar ekonomis, efisien, efektif, dan akuntabel. Pengaruh korupsi terhadap
kinerja keuangan diharapkan memberi pembelajaran penting bagi pemerintah daerah
untuk secara serius mengurangi dan memberantas praktek korupsi.
2. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Teori Organisasi
Setiap organisasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Gibson,
Ivancevich, dan Donelly (2001) menyatakan bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang
yang saling bekerjasama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mencapai
tujuannya, organisasi mempunyai fungsi-fungsi pengelolaan yang dijabarkan dalan struktur
sesuai dengan kebutuhan. Fungsi-fungsi tersebut meliputi fungsi perencanaan, koordinasi,
komunikasi, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan yang
optimal maka fungsi-fungsi dalam organisasi harus berjalan dengan baik.
Salah satu tujuan organisasi adalah mencapai kinerja tertentu. Kinerja dapat bersifat
keuangan dan non keuangan. Pada organisasi bisnis kinerja keuangan dapat berupa laba,
pertumbuhan penjualan, peningkatan harga saham dan lainnya. Pada organisasi non bisnis,
misal pemerintahan, kinerja keuangan dapat berupa pertumbuhan pendapatan asli daerah,
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
derajat desentralisasi fiskal, efisiensi belanja, dan lainnya (Halim dan Kusufi 2012). Kinerja
yang bersifat non keuangan pada organisasi bisnis adalah kepuasan pelanggan, peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia, inovasi, dan lainnya. Pada organisasi pemerintahan kinerja
non keuangan dapat berupa efektifitas program, stabilitas politik, dan lainnya.
Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer
dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar
kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan tetapi meliputi kemampuan
menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan
efektif (Bastian 2010). Untuk itu dibutuhkan sistem pengukuran kinerja sektor publik yang
bertujuan membatu pemimpin atau manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui
alat ukur keuangan maupun non keuangan.
Perubahan sistem politik dan sosial kemasyarakatan akibat arus deras reformasi telah
menuntut pengelolaan pemerintahan untuk lebih baik. Pengelolaan dan administrasi
pemerintahan memfokuskan bagaimana kebijakan publik diimplementasikan dan pelayanan
publik dilakukan (Osborne 2010), yang menyangkut perilaku dan kontribusi pada kinerja
pemerintahan (Hill dan Lynn Jr 2004), dan peran penting warga masyarakat dalam partisipasi
atas kerja-kerja pemerintah (Bingham, Nabatchi dan OLeary 2005).Reformasi dalam pelayanan publik telah menciptakan keragaman dalam rancangan tata kelola untuk
pembuatan dan penyampaian kebijakan publik (Skelcher 2008).
Beberapa aspek dalam pemerintahan berperan dalam upaya peningkatan pelayanan
publik dan kinerja, terutama kinerja keuangan. Patrick (2007) mengemukakan ada 3
komponen penting organisasi pemerintah daerah terkait dengan proses organisasi yaitu
budaya organisasi, struktur organisasi, dan lingkungan eksternal organisasi. Pemerintahan
yang satu dengan lainnya mempunyai ciri yang berbeda mengenai budaya, struktur, dan
ketergantungan organisasi.
Penelitian empiris bidang manajemen publik cenderung mengikuti satu dari tiga dasar
strategi penelitian. Pertama, strategi untuk mengadopsi secara historis, deskriptif, dan
orientasi institusional. Kedua, strategi untuk mengidentifikasi praktik terbaik melalui studi kasus terhadap masalah-masalah aktual dari pengelolaan organisasi. Ketiga, mempelajari
manajemen publik menggunakan teori formal, model, metoda, dan data sosial dan ilmu
keperilakuan untuk mengkaji proses kepemerintahan dan untuk mengembangkan
pengetahuan empiris (Hill dan Lynn Jr 2005).
Dalam konteks Indonesia, reformasi manajemen publik oleh pemerintah diwujudkan
dalam desentralisasi pemerintahan. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No
32 dan 33 tahun 2004 (tentang pemerintah daerah dan perimbangan keuangan) yang memberi
kewenangan dan tanggung jawab bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerah dan
pelayanan publik tersendiri yang disebut dengan otonomi daerah. Dikeluarkannya undang-
undang tersebut bertujuan agar daerah bisa mandiri dan dapat mengelola kekayaan daerah
secara efektif, ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.
Otonomi daerah sebagai upaya pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan
dalam pengelolaan keuangan dan pelayanan publik kepada pemerintah daerah masih perlu
dievaluasi lagi efektivitasnya. Hasil penelitian oleh Hariyadi (2002) dan Azhar (2008)
membuktikan bahwa desentralisasi fiskal yang merepresentasi kemandirian daerah semakin
menurun setelah otonomi daerah. Desentralisasi fiskal merupakan indikator penting kinerja
keuangan daerah, tidak hanya masalah indikasi ketergantungan pada pemerintah pusat, tetapi
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
juga seberapa optimal pemerintah daerah berupaya untuk menggali potensi daerah untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah.
2.2. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau
kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
perencanaan stratejik suatu organisasi (Mardiasmo 2002). Istilah kinerja digunakan untuk
menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok. Kinerja bisa
diketahui karena individu atau kelompok tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang
telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu
yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target kinerja individu atau organisasi tidak
dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya.
Kinerja organisasi bisa diketahui dengan jika ada ukuran-ukuran tertentu yang jelas,
sehingga dibutuhkan suatu pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja adalah suatu proses
penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya,
termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan
jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan pada pelanggan dan
sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud
yang diinginkan dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Verbeeten 2008). Sistem
pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran
kinerja diperkuat dan dipertegas dengan menetapkan sistem konpensasi dan sanksi (reward
and punishment system).
Manajemen dan pengukuran kinerja telah menjadi fokus dan kunci bagi pemerintah
dalam menghadapi isu-isu mengenai reformasi sektor publik, transparansi dan akuntabilitas
(Greiling 2005; Goh 2012). Pemerintah perlu mengunakan sistem pengukuran kinerja untuk
meningkatkan efisiensi dan menciptakan nilai agar bisa menghindarkan diri dari korupsi dan
penyalahgunaan sumberdaya milik masyarakat. Jarrar dan Schiuma (2007) menyatakan
bahwa sekarang transparansi dan akuntabilitas menitikberatkan pada penilaian kinerja
menggunakan key performance indicator (KPI). Indikator kinerja kunci merupakan
sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat
keuangan maupun non keuangan untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit
bisnis/organisasi. Indikator kinerja digunakan sebagai indikator pelaksanaan strategi yang
telah ditetapkan.
Kinerja keuangan merupakan penilaian prestasi atau hasil kerja yang dicapai organisasi
yang dilihat dari sisi keuangannya (Halim dan Kusufi 2012). Kinerja keuangan daerah
menjadi salah satu aspek penting dalam menilai kemajuan suatu daerah. Analisis kinerja
keuangan daerah dilakukan dengan cara mengevaluasi kinerja pada masa lalu untuk
mendapatkan gambaran nyata pemerintah daerah dan potensi-potensi daerah yang akan
berlanjut.
Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola daerah
sepenuhnya termasuk masalah keuangan. Salah satu parameter kinerja keuangan pemerintah
daerah adalah derajat desentralisasi fiskal. Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan
tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
kemandirian menggali dan mengelola pendapatan serta melaksanakan pembangunan. Azhar
(2008) membuktikan bahwa terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam desentralisasi fiskal
sebelum dan sesudah otonomi diberlakukan. Sesudah otonomi, kinerja keuangan pemerintah
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
daerah dalam desentralisasi fiskal menjadi turun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih tinggi.
Derajat desentralisasi fiskal diukur dengan menggunakan rasio pendapatan asli daerah
(PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD). Adapun kriteria untuk menetapkan derajat
desentralisasi fiskal dikategorikan seperti dalam tabel berikut:
Tabel 2.1. Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal
Prosentase PAD terhadap TPD Derajat Desentralisasi Fiskal
0,00 10,00 Sangat Kurang
10,01 20,00 Kurang
20,01 30,00 Sedang
30,01 40,00 Cukup
40,01 50,00 Baik
>50,00 Sangat Baik
Sumber: Tim Litbang Depdagri FISIPOL UGM 1991 (Bisma dan Susanto 2010)
2.3. Karakteristik Pemerintah Daerah
Karakterisitik adalah sesuatu yang menunjukan sifat-sifat khusus yang berbeda dari
lainnya (Badudu dan Zain 2001). Karakteristik pemerintah daerah merupakan ciri-ciri khusus
yang melekat pada pemerintah daerah, menandai sebuah daerah, dan membedakannya dengan
daerah lain (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011). Karakteristik pemerintah daerah
merupakan faktor yang bisa mempengaruhi kinerja keuangan daerah. Penelitian oleh
Mustikarini dan Fitriasari (2012) membuktikan bahwa karakteristik pemerintah daerah
memiliki pengaruh terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007
sehingga mampu menjelaskan besarnya kinerja yang dicapai.
Banyak yang bisa diidentifikasikan sebagai karakteristik pemerintah daerah, seperti:
size/ukuran organisasi (Patrick 2007; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan
Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari 2012), populasi atau jumlah penduduk (Martani dan
Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012), kualitas e-government (Patrick 2007), status daerah
(Martani dan Lestari 2010; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011), jumlah SKPD (Patrick
2007; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan Martani 2012), belanja daerah
(Mustikarini dan Fitriasari 2012), kekayaan daerah (Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan
Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari 2012), dan ketergantungan pemerintah daerah
(Patrick 2007; Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari
2012). Penelitian ini menggunakan ukuran PEMDA/size, belanja modal, e-government,
jumlah penduduk dan jumlah SKPD sebagai proksi dari karakteristik pemerintah daerah.
2.3.1. Ukuran PEMDA (Size)
Ukuran organisasi adalah seberapa besar organisasi tersebut (Patrick 2007). Semakin
besar ukuran organisasi, maka tuntutan untuk pertanggungjawaban dan kinerja juga semakin
besar. Tantangan dalam optimalisasi ukuran pemerintah daerah adalah: 1) kapasitas, ukuran
pemerintah berperan dalam kecukupan keuangan atau kapasitas manajerial, dan 2)
fragmentasi dapat melemahkan efisiensi sehingga menghalangi perlunya koordinasi untuk
persaingan dalam ekonomi regional (Warner 2012). Ukuran organisasi yang besar
menunjukkan kemampuan organisasi untuk melakukan banyak hal dalam upaya peningkatan
pendapatan atau peningkatan kinerja. Han (2000) menyatakan ukuran organisasi yang lebih
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
besar membuat organisasi menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan dan
selanjutnya berdampak pada pencapaian kinerja yang lebih baik.
2.3.2. Belanja Modal
Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal
yang sifatnya menambah aktiva tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya
mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aktiva
(PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan). Belanja modal merupakan
salah satu upaya pemerintah melayani masyarakat dan menciptakan pendapatan dengan cara
membangun atau memperbaiki infrastruktur yang dibutuhkan sehingga kegiatan ekonomi
masyarakat dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 pasal 53 ayat 2
menyebutkan bahwa nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar
harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan
pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kemudian pada ayat 4
disebutkan bahwa kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar
pembebanan belanja modal selain memenuhi batas minimal juga pengeluaran anggaran untuk
belanja barang tersebut harus memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal merupakan investasi bagi pemerintah daerah.
2.3.3. Kualitas E-Government
Perkembangan tehnologi informasi juga merambah ke sektor pemerintahan.
Pemerintahan yang dilakukan dengan media tehnologi informasi ini sering disebut sebagai e-
government. E-government merupakan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan kerja sama
dengan masyarakat agar masyarakat dapat memantau aktivitas pemerintah (Bertot, Jaeger dan
Grimes 2012). Penerapan e-government bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi,
penyampaian pelayanan masyarakat, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Tujuan
dari e-government adalah untuk memberi pelayanan ke masyarakat tanpa adanya intervensi
dari pegawai pemerintahan dan mengurangi sistem antrian yang panjang, selain itu
penggunaan tehnologi informasi dapat mempermudah askes informasi oleh masyarakat
sehingga dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
(Sarikas dan Weerakkody 2007; Petrakaki, Hayes dan Introna 2009).
2.3.4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota adalah bagian dari pemerintah daerah
yang melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Jumlah SKPD
menggambarkan jumlah urusan yang menjadi prioritas pemerintah daerah dalam membangun
daerah (Hilmi dan Martani 2012). Banyaknya masalah yang diurusi dan diselesaikan
menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam memberi pelayanan publik. Peningkatan
pelayanan akan memberi dampak pada pemerolehan pendapatan daerah melalui retribusi dan
pajak.
2.3.5. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah keseluruhan orang yang mendiami suatu wilayah tertentu.
Jumlah penduduk memberi kontribusi terhadap besarnya pendapatan yang diperoleh suatu
pemerintah daerah. Semakin banyak penduduk maka semakin besar potensi yang bisa digali
oleh pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan dari retribusi dan pajak. Studi empiris
di Indonesia menunjukkan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan pada laporan keuangan (Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012).
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
2.4. Korupsi
Adanya tuntutan akan kesejahteraan masyarakat yang meningkat, membuat seluruh
pemangku kepentingan bersama-sama mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih
dan berwibawa. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa sering diidentikan dengan
pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi terjadi karena adanya
kewenangan dan kekuasaan yang disalahgunakan oleh pegawai atau pejabat demi
kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi, korupsi merupakan gejala salah urus dan salah
pakai sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan kewenangan dan kekuasaan
yang dimilikinya (Budima 2006; Mistry 2012). Di Afrika Selatan, korupsi telah menjadi
penyakit sosial yang menjangkiti pelayanan publik (Pillay 2004). Lain hal dengan China,
motif dan kesempatan yang berjalan di sistem korupsi telah mengakibatkan China kehilangan
2% hingga 3% dari gross domestic bruto-nya (Yuliantoro 2007).
2.5. Karakteristik Pemerintah Daerah dan Kinerja Keuangan Daerah
Setiap organisasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu pada saat dibentuk dan dijalankan,
termasuk pemerintah daerah. Salah satu tujuan organisasi adalah tercapainya kinerja yang
bagus. Dalam pencapaian kinerja sebuah pemerintah daerah dapat mengoptimalkan
sumberdaya yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya harus didahului dengan perencanaan
dan penyusunan program agar tujuan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan baik oleh
pemerintah daerah maupun oleh pemangku kepentingan lainnya (Mardiasmo 2002).
Kinerja keuangan daerah bisa dipengaruhi oleh karakteristik pemerintah daerah. Setiap
potensi yang dimiliki oleh pemerintah daerah dapat dipergunakan dalam mencapai kinerja
yang telah ditentukan. Potensi itu dapat berupa aset, sumberdaya manusia, perangkat
tehnologi, dan konsumen yang dilayani. Aset yang banyak memudahkan pemerintah daerah
dalam membuat program pelayanan kepada masyarakat dan menyediakan infrastruktur yang
memadai bagi usaha-usaha ekonomi oleh masyarakat (Patrick 2007). Jika masyarakat
berdaya secara ekonomik, maka akan memudahkan bagi pemerintah dalam menarik pajak
dan retribusi sebagai sumber pendapatan.
2.6. Korupsi dan Kinerja Keuangan Daerah
Korupsi merupakan isu yang sering dibicarakan dalam berita-berita seputar
pemerintahan di media massa. Sejak dibentuk lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan disahkanya Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2011, isu
korupsi menjadi topik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap orang yang ingin
menjadi pejabat publik, diwajibkan menyerahkan daftar kekayaan untuk mengetahui adanya
indikasi tindak korupsi yang dilakukan.
Meski para pelaku tindak korupsi telah banyak dijatuhi vonis dan masuk penjara, tetapi
ini tidak menjadi hal yang menakutkan bagi para calon pelaku berikutnya. Modus korupsi
yang dilakukan mulai dari mark up proyek, item anggaran fiktif, penggunaan fasilitas secara
berlebihan, hingga penyalahgunaan wewenang. Akibatnya anggaran daerah menjadi sangat
terbebani karena biaya-biaya yang tidak seharusnya terjadi, sehingga otonomi daerah
(ditandai dengan desentralisasi fiskal) yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan
mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat menjadi tidak tercapai.
Pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme diyakini dapat mencapai
kinerja yang memuaskan seluruh pemangku kepentingan. Survei mengenai persepsi terhadap
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
korupsi telah dilakukan oleh Transparency International Indonesia. Dengan skala 0 - 10,
pemerintah daerah disebut semakin bersih jika yang mempunyai angka indeks mendekati 10,
dan sebaliknya disebut semakin korup.
2.7. Pengembangan Hipotesis
2.7.1. Ukuran PEMDA (Size)
Ukuran organisasi yang besar memungkinkan organisasi melakukan upaya yang lebih
dalam menciptakan pendapatan dan mencapai kinerja. Sumber daya yang mencukupi
memudahkan organisasi untuk memilih alternatif-alternatif program kerja dengan lebih
leluasa dan lebih fleksibel (Han 2000). Penelitian oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012)
menunjukkan bahwa ukuran organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah
daerah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007. Dalam konteks pengungkapan wajib dalam
laporan keuangan, ukuran organisasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib
dalam laporan keuangan (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan Martani 2012),
tetapi ukuran organisasi menjadi prediktor yang signifikan pada inovasi akuntansi (Patrick
2007).
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H1: Ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
daerah.
2.7.2 Belanja Modal
Pemerintah yang mengalokasi belanja modal lebih banyak maka akan semakin besar
potensi pemerintah untuk menciptakan pendapatan. Studi empiris di Indonesia membuktikan
bahwa belanja modal berpengaruh secara positif terhadap pendapatan asli daerah (Halim dan
Abdullah 2003; Harianto dan Adi 2007). Temuan di Fiji juga menunjukkan pengaruh positif
belanja pemerintah terhadap pendapatan pemerintah (Gounder, Narayan dan Prasad 2007).
Studi lain oleh Mallik dan Chowdhury (2002) dengan obyek negara Australia, Kanada,
Finlandia, Selandia Baru, Spanyol dan Swedia membuktikan bahwa belanja pemerintah
berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Mustikarini dan Fitriasari (2012)
menemukan belanja daerah (terdiri dari belanja rutin dan belanja modal) berpengaruh negatif
terhadap kinerja pemerintah daerah. Mereka merekomendasi agar penelitian selanjutnya
menggunakan belanja modal saja sebagai prediktor kinerja.
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H2: Belanja modal berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.
2.7.3. E-Government
Situs (website) menjadikan pemerintah daerah mudah berkomunikasi dengan
masyarakat dan lingkungan eksternal. Sebuah situs merupakan alat komunikasi yang unggul
yang menggambarkan budaya dan daya tanggap pemerintah daerah kepada masyarakat
(Patrick 2007; Deakins, Dillon, Namani, dan Zhang 2010). Penelitian oleh Patrick (2007)
membuktikan bahwa kualitas situs berpengaruh terhadap inovasi organisasi.
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H3: E-government berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.
2.7.4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
SKPD menunjukan diferensiasi fungsional suatu pemerintah daerah (Patrick 2007).
Kebutuhan untuk melayani masyarakat akan membentuk seberapa banyak SKPD yang harus
ada di pemerintah. Masyarakat bisa terlayani dengan baik dan lancar jika setiap urusan
ditangani oleh unit khusus yang ada di pemerintahan, sehingga hal ini membuat masyarakat
percaya dan menaruh respek kepada pemerintah. Kepercayaan masyarakat yang tinggi akan
meningkatkan kepatuhan untuk mambayar pajak sehingga pendapatan pemerintah juga
meningkat. Hasil penelitian oleh Patrick (2007) menunjukkan bahwa jumlah SKPD
berpengaruh positif terhadap inovasi akuntansi, dan dalam konteks pengungkapan pada
laporan keuangan secara empiris terbukti bahwa jumlah SKPD tidak berpengaruh pada
pengungkapan wajib dalam laporan keuangan (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi
dan Martani 2012).
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H4: Jumlah SKPD berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.
2.7.5. Jumlah Penduduk
Semakin banyak penduduk maka semakin besar potensi yang bisa digali oleh
pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan dari retribusi dan pajak. Jumlah penduduk
juga menunjukkan seberapa banyak pengawasan yang dilakukan terhadap pemerintah saat
menjalankan programnya. Sistem politik di Indonesia dalam menentukan jumlah anggota
dewan perwakilan rakyat daerah menggunakan jumlah penduduk sebagai dasar. Fungsi
pengawasan yang baik oleh anggota dewan diharapkan dapat memacu pemerintah untuk
dapat meningkatkan kinerja. Studi empiris di Indonesia menunjukkan jumlah penduduk
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan pada laporan keuangan (Martani dan
Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012).
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H5: Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.
2.7.6. Korupsi
Dibutuhkan reformasi di sektor publik, khususnya pemerintahan, agar korupsi tidak
merajalela dan mempengaruhi pencapaian kinerja. Meskipun reformasi seperti New Public
Management (NPM) masih belum jelas apakah pendekatan NPM ini efektif dalam mencapai
tujuan tersebut (Fitzsimons 2009). Alternatif pendekatan lain adalah dengan meningkatkan
kepatuhan pajak (Picur dan Belkaoui 2006), mengimplementasikan e-governance (Mistry
2012), atau meningkatkan kualitas akuntansi dan audit dengan mengembangkan standar
akuntansi dan audit (Malagueno, Albrecht, Ainge, dan Stephens 2010). Hasil penelitian
Malagueno dkk. (2010) menunjukkan bahwa negara-negara dapat mengurangi tingkat
persepsi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi pelaporan keuangan melalui
pengembangan standar akuntansi dan audit. Penelitian Picur dan Belkaoui (2006)
membuktikan bahwa negara-negara berkembang perlu mengurangi tingkat korupsi untuk
menciptakan kepatuhan pajak. Kepatuhan pajak akan meningkatkan pendapatan pemerintah
dari sektor pajak.
Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:
H6: Indeks persepsi korupsi berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
2.8. KERANGKA BERPIKIR
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan
korupsi terhadap kinerja keuangan daerah. Karakteristik pemerintah daerah terdiri dari
ukuran organisasi PEMDA (size), belanja modal, E-Government, satuan kerja perangkat
daerah (SKPD), dan jumlah penduduk. Berikut ini merupakan kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini:
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 2.1 : Kerangka pemikiran
3. METODA PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan individu, kejadian, atau sesuatu yang akan dijadikan
obyek penelitian dan mempunyai sifat yang sama (Sekaran 2003). Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pemerintah daerah di Indonesia pada tahun 2010 yang disurvei oleh
Transparency International Indonesia dalam penyusunan indeks persepsi korupsi yang
berjumlah 50. Tahun 2010 dipilih karena pada tahun tersebut data tersedia sesuai yang
dibutuhkan dalam model penelitian.
Sampel adalah bagian dari anggota populasi yang sudah dipilih (Sekaran 2003).
Menurut Sekaran (2003) penentuan kriteria sampel diperlukan untuk menghindari timbulnya
miss-specification dalam penentuan sampel penelitian yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap hasil analisis. Tipe dari purposive sampling yang dipilih adalah judgement sampling.
Pilihan ini didasari oleh tujuan untuk mendapatkan informasi yang relevan dan ketersediaan
data dari lembaga tertentu. Dalam penelitian ini seluruh anggota populasi dipilih untuk
menjadi sampel.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan realisasi
anggaran pemerintah daerah pada situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
H5 +
H6 +
H4 +
H3 +
H2 +
H1 +
Korupsi
Kinerja Keuangan
PEMDA
Jumlah Penduduk
Jumlah SKPD
E-Government
Belanja Daerah
Ukuran PEMDA
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dari laporan posisi keuangan (neraca) pada situs
Kementerian Dalam Negeri, dari indeks pemeringkatan kualitas e-government oleh
Universitas Gunadarma, dari data jumlah penduduk pada situs Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia, dari data SKPD pada situs masing-masing pemerintah daerah yang menjadi
sampel, dan dari indeks persepsi korupsi dari situs Transparency International Indonesia
tahun 2010.
3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
3.3.1. Variabel Terikat
Kinerja Keuangan Daerah Kinerja keuangan daerah adalah ukuran pencapaian tujuan pemerintah daerah dengan
indikator keuangan (Mardiasmo 2002). Penelitian ini menggunakan derajat desentralisasi
fiskal sebagai proksi untuk kinerja keuangan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan
pelimpahan kewenangan bagi daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah agar
mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Variabel ini diukur dengan derajat
desentralisasi fiskal seperti formulasi yang digunakan oleh Azhar (2008) yaitu:
Pendapatan asli daerah
Derajat desentralisasi fiskal = Penerimaan daerah
3.3.2. Variabel Bebas
a. Ukuran PEMDA (size)
Ukuran organisasi (size) adalah seberapa besar organisasi tersebut (Patrick 2007).
Untuk mengukur size bisa digunakan total aktiva, jumlah karyawan, dan tingkat produksi
(Damanpour 1991) atau nilai penjualan dan kapitalisasi pasar (Okada 2006). Penelitian ini
menggunakan total aktiva sebagai proksi untuk ukuran organisasi pemerintah daerah. Total
aktiva merupakan keseluruhan sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah yang digunakan
dalam kegiatan operasional pelaksanaan progam dan pelayanan masyarakat. Variabel ini
diukur dengan angka total aktiva yang ada di neraca pemerintah daerah tahun 2010. Untuk
kepentingan analisis, akan digunakan log angka total aktiva.
b. Belanja Modal
Menurut PP No 71 Tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi. Belanja modal dilakukan oleh pemerintah daerah untuk investasi penambahan dan
pemeliharaan aktiva tetap sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.
Variabel ini diukur dengan angka total belanja modal di laporan realisasi anggaran tahun
2010. Untuk kepentingan analisis, akan digunakan log angka belanja modal.
c. E-Government E-Government adalah penggunaan tehnologi komunikasi dan informasi dalam
administrasi publik (Sarikas dan Weerakkody 2007). E-Government merupakan upaya
pemerintah untuk berinteraksi dengan masyarakat, sehingga pemerintah bisa melayani
masyarakat dengan lebih efisien dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas,
disamping itu masyarakat bisa memantau aktivitas pemerintah. Variabel ini diukur dengan
indeks pemeringkatan kualitas e-government yang dilakukan oleh Universitas Gunadarma
tahun 2010. Angka dalam indeks ini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Kualitas e-
government semakin bagus jika angka indeks mendekati 1.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
d. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) merupakan bagian dari pemerintah daerah yang
melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Menurut UU No 32 tahun 2004
Pasal 120, perangkat daerah terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah,
lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Variabel ini diukur dengan jumlah SKPD
yang dimiliki oleh masing-masing pemerintah daerah.
e. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati suatu wilayah atau ruang
tertentu (http://id.wikipedia.org). Pendapatan pemerintah daerah sebagian besar dari
masyarakat pengguna jasa pemerintahan melalui pembayaran pajak dan retribusi. Variabel ini
diukur dengan banyaknya jumlah penduduk masing-masing daerah berdasar sensus penduduk
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
f. Korupsi Korupsi adalah tindakan untuk melakukan sesuatu yang tidak benar dengan cara
pemberian suap atau cara lain yang melanggar hukum atau cara yang tidak dibenarkan
(Indriantoro 1995), dan digunakan untuk kepentingan pribadi (Jain 2001). Isu korupsi di
sektor publik sering dikaitkan dengan clean government. Clean government merupakan
pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Variabel ini diukur
dengan indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparency International Indonesia
tahun 2010. Angka dalam indeks ini berkisar antara 0 sampai dengan 10. Pemerintahan
semakin bersih jika angka indeks mendekati 10, dan disebut semakin korup jika angka indeks
mendekati 0.
3.4. Uji Kualitas Data
Dalam analisis regresi linier berganda perlu menghindari masalah regresi yaitu
permasalahan asumsi klasik yang biasanya terdapat pada penelitian yang menggunakan dua
data atau lebih variabel penjelas/independen (Gujarati dan Porter 2010). Untuk mengetahui
apakah hasil estimasi regresi yang dilakukan benar-benar terbebas dari adanya asumsi klasik
maka dalam penelitian ini dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas,
multikolinieritas, dan heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini sifat amatan adalah
cross section, sehingga tidak diperlukan uji autokorelasi. Menurut Gujarati dan Porter (2010),
uji autokorelasi diperlukan untuk pengamatan antar waktu yang berbeda atau amatan yang
bersifat deret waktu (time series).
3.5. Uji Hipotesis
Analisis data dilakukan secara statistik yang dimulai dengan statistik deskriptif atas
data dari masing-masing variabel. Kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan
regresi linier berganda.
3.5.1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memberi gambaran mengenai variabel dan data
yang dilihat dari mean (rerata), standar deviasi, maksimum, minimum, varian dan sebagainya
(Sekaran 2003).
3.5.2. Analisis Regresi Linier Berganda
Untuk menguji hipotesis yang diajukan, metode yang digunakan adalah analisis regresi
linier berganda (Gujarati dan Porter 2010). Adapun persamaan regresinya adalah sebagai
berikut:
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
KKDA = 0 + 1SIZE + 2BMOD + 3EGOV + 4SKPD + 5PODA + 6IPKO + Dimana:
KKDA = Total PAD / Total Penerimaan
SIZE = Log Total Aktiva (ukuran PEMDA)
BMOD = Log Belanja Modal
EGOV = Indeks Peringkat E-Government
SKPD = Jumlah SKPD
PODA = Jumlah Penduduk
IPKO = Indeks Persepsi Korupsi
0 = Konstanta 1,2n = Koefisien Regresi = error term
3.5.3. Tahap Uji Hipotesis
a. Uji koefisien secara serentak (F-Test) dan Parsial (T-test)
Pengujian ini dimaksudkan untuk menganalisis kepastian model dari enam variabel
independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama dan secara parsial. Dengan kata
lain pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar semua variabel independen
secara bersama-sama dapat mempengaruhi variabel dependen, dan secara parsial bagaimana
pengaruh masing-masing variabel independen.
Hipotesis yang digunakan dalam F- test yaitu dengan taraf signifikansi sebesar 5 %
adalah sebagai berikut:
- Ho : 1 = 2 = 0, apabila Ho = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen.
- Ha : 1 2 0, Apabila Ha 0, artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen.
Kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan pada pengujian regresi linier
berganda ini adalah:
- Jika nilai signifikan < 5% (p-value < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima. - Jika nilai signifikan > 5% (p-value > 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak.
b. Pengujian Koefisien Determinasi (R2)
Pengujian koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mengetahui tingginya derajat
hubungan antara semua variabel independen (X) secara bersama-sama terhadap variabel
dependen (Y). Kecocokan model akan baik apabila R2 semakin besar atau mendekati nilai
satu, maka pengaruh dari variabel independen akan semakin besar. Adapun rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut (Gujarati dan Porter 2010):
)(.
)()....(22
233221102
Yyn
YYXYXYXYnR
Batas nilai R2 adalah 0 < R
2 < 1
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4..1 Deskripsi Penelitian
4.1.1. Deskripsi Obyek Penelitian
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Obyek penelitian ini adalah pemerintah daerah yang disurvei oleh Transparency
International Indonesia yang terdiri dari pemerintah kota sebanyak 45, pemerintah kabupaten
sebanyak 4, dan pemerintah provinsi ada 1. Jadi total obyek penelitian yang digunakan adalah
50 pemerintah daerah (lampiran 1).
4.1.2. Statistik Deskriptif
Tahap ini menyajikan statistik deskriptif untuk variabel dependen (terikat) dan variabel
independen (bebas). Statistik deskriptif menggambarkan data numerik dan menyajikan
informasi mengenai keseluruhan data yang digunakan (Patrick 2007). Statistik deskriptif
meliputi statistik dasar seperti mean, minimum, maximum, dan standar deviasi. Pembahasan
dimulai dari variabel dependen terlebih dahulu, yaitu kinerja keuangan daerah. Variabel
independen dibahas secara berturut-turut mulai dari ukuran organisasi, belanja modal, e-
government, SKPD, populasi, dan korupsi. Tabel statistik deskriptif disajikan berikut ini:
Tabel 4.1. Statistik Deskriptif
Var N Minimum Maksimum Mean Standar Deviasi
KKDA 50 0,034 0,533 0,133 0,090
SIZE 50 11,640 14,610 12,396 0,486
BMOD 50 10,357 12,831 11,122 0,474
EGOV 50 0,000 0,800 0,236 0,208
SKPD 50 1,613 2,554 2,005 0,234
POPU 50 4,979 6,992 5,734 0,394
IPKO 50 3,610 6,710 4,930 0,665
Sumber: data diolah
4.1.2.a. Variabel Dependen
Otonomi daerah dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurangi
ketergantungan dan meningkatkan kemandirian terhadap pemerintah pusat. Penelitian ini
menggunakan derajat desentralisasi fiskal sebagai proksi untuk kinerja keuangan daerah.
Ukuran yang digunakan adalah persentase, dimana semakin tinggi nilai persentasenya maka
pemerintah daerah dikatakan semakin mandiri. Statistik deskriptif menunjukkan, dengan
sampel sebanyak 50, rerata (mean) kinerja keuangan pemerintah daerah adalah 13,36% yang
berarti tingkat kemandiriannya masih rendah dan tingkat ketergantungan dengan pemerintah
pusat masih tinggi. Nilai rerata derajat desentralisasi fiskal sebesar 13,36% berada di kategori
kurang (lihat tabel 2.1). Nilai persentase terendah adalah 3,4% (Kabupaten Manokwari) dan
tertinggi 53,3% (Provinsi DKI Jakarta).
Dengan tingkat rerata yang rendah, maka pelaksanaan otonomi daerah bisa
dikatakan belum mencapai tujuannya. Hasil penelitian Azhar (2008) bahkan menunjukkan
kinerja keuangan daerah di kabupaten/kota se Aceh dan Sumatera Utara dalam bentuk
desentralisasi fiskal cenderung menurun setelah pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah
pusat perlu membuat formulasi yang tepat agar tingkat kemandirian daerah menjadi tinggi
sesuai yang diharapkan dan melakukan evaluasi terus menerus. Pemerintah daerah juga
diharapkan bisa lebih inovatif dan kreatif dalam menggali potensi-potensi pendapatan daerah.
4.1.2.b. Variabel Independen
Ukuran PEMDA Ukuran PEMDA dalam penelitian ini diproksi dengan total aktiva pemerintah
daerah. Untuk kepentingan olah dan analisis data digunakan log total aktiva. Rerata total
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
aktiva 50 pemerintah daerah adalah 12,39 (Rp 11.665.302.197.048,20). Total aktiva terkecil
adalah 11,64 (Rp 436.631.945.274,65) dimiliki oleh Pemerintah Kota Serang, dan terbesar
14,61 (Rp 407.096.408.253.177,00) dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh seberapa besar pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pemerataan pembangunan yang belum optimal
menyebabkan ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi, pemerolehan pendapatan dan
kepemilikan aset pemerintah daerah.
Belanja Modal Belanja modal merupakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka
menyediakan infrastruktur untuk pelayanan masyarakat. Untuk kepentingan olah dan analisis
data digunakan log belanja modal. Rerata belanja modal 50 pemerintah daerah adalah 11,12
(Rp 351.103.220,00). Belanja modal terkecil adalah 10,35 (Rp 22.739.000,00) oleh
Pemerintah Kota Padangsidempuan, dan terbesar adalah 12,83 (Rp 6.774.979.000,00) oleh
Provinsi DKI Jakarta. Nilai belanja modal secara umum menunjukan realitas yang hanya
diatas kertas saja. Kejadian-kejadian yang terungkap mengindikasikan bahwa belanja modal
telah dinaikan (mark up) dari nilai yang sebenarnya pada anggaran daerah sebagai akibat
perilaku oportunistik anggota dewan dan pejabat pemerintah daerah (Abdullah dan Asmara
2007).
E-Government E-Government adalah upaya pemerintah melakukan komunikasi dengan
masyarakat melalui tehnologi dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
Variabel ini diukur dengan indeks perangkingan e-government yang dilakukan oleh
Universitas Gunadarma Jakarta. Indeks berkisar antara 0 hingga 1, sehingga angka indeks
yang mendekati 1 menunjukkan implementasi e-government sudah baik.
Rerata Indeks e-government 50 pemerintah daerah adalah 0,23. Angka tersebut
masih jauh dari memadai dan menunjukkan implementasi e-government belum baik.
Pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana yang lebih besar lagi untuk implementasi e-
government dan mempunyai kemauan politik yang lebih tinggi lagi dalam upaya
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Indeks terendah adalah 0,00
(Kota Pematangsiantar, Kota Lhoksumawe, Kota Tanjung Pinang, Kota Pangkal Pinang,
Kota Sorong, Kota Jayapura, dan Kota Kupang), dan tertinggi adalah 0,80 (Kota Banda
Aceh).
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) SKPD menunjukan urusan yang ditangani dan juga merupakan diferensiasi
fungsional oleh pemerintah daerah. Variabel ini diukur dengan banyaknya jumlah SKPD
yang dimiliki oleh suatu pemerintah daerah. Untuk kepentingan olah dan analisis data
digunakan log jumlah SKPD. Rerata jumlah SKPD 50 pemerintah daerah adalah 2,00 (117,06
SKPD). Jumlah SKPD terkecil adalah 1,61 (41 SKPD) dimiliki oleh Kota Tanjungpinang,
dan terbesar adalah 2,55 (358 SKPD) dimiliki oleh Kabupaten Banyumas. Jumlah SKPD
dipengaruhi oleh banyak hal seperti: letak geografis, jumlah penduduk, dan lainnya.
Jumlah Penduduk Populasi atau jumlah penduduk merupakan kumpulan manusia yang mendiami
wilayah dan ruang tertentu. Variabel ini diukur dengan total jumlah penduduk berdasar
sensus penduduk oleh BPS. Untuk kepentingan olah dan analisis data digunakan log jumlah
penduduk. Rerata jumlah penduduk 50 pemerintah daerah adalah 5,73 (901.347,82 jiwa).
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Jumlah penduduk terkecil adalah 4,97 (95.185 jiwa) berada di bawah naungan pemerintah
daerah Kota Sibolga, dan terbesar adalah 6,99 (9.809.857 jiwa) berada di Kota Jakarta.
Distribusi jumlah penduduk tidak merata di setiap wilayah di Indonesia. Kebijakan
pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur dan sentra ekonomi kurang memikirkan
pola migrasi dan pemerataan jumlah penduduk.
Korupsi Korupsi menyebabkan pemerintahan tidak efisien dan efektif. Semakin tinggi
tingkat korupsi maka dapat menurunkan kinerja suatu pemerintahan. Variabel ini diukur
dengan indeks persepsi korupsi yang dibuat oleh Transparency International Indonesia atas
survey yang telah dilakukannya. Indeks berkisar antara 0 sampai dengan 10. Jika angka
indeks mendekati 10 maka pemerintahan dikatakan semakin bersih, dan sebaliknya jika
mendekati 0 maka dikatakan semakin korup. Rerata indeks persepsi korupsi 50 pemerintah
daerah adalah 4,93. Indeks terkecil adalah 3,61 (Kota Pekanbaru dan Kota Cirebon), dan
indeks terbesar adalah 6,71 (Kota Denpasar).
Rerata indeks menunjukan bahwa tingkat korupsi di pemerintahan daerah cukup
tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena semangat otonomi dan good governance
yang diharapkan akan membawa pemerintahan ke arah yang lebih baik menjadi terkendala.
Strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan agar pemerintahan
berjalan dengan baik dan masyarakat lebih sejahtera. Pencegahan bisa dilakukan dengan
meningkatkan standar akuntansi dan auditing (Malagueno dkk 2010), atau dengan cara
melakukan reformasi birokrasi (Mistry 2012).
4.2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan regresi linier berganda, maka
perlu dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi Normalitas, Multikolineritas dan
Heterodekasiditas. Uji ini dimaksudkan agar model regresi terbebas dari masalah-masalah
asumsi klasik.
Normalitas bisa dideteksi dengan melihat sebaran data (titik) pada garis diagonal di
grafik. Pada grafik normal P-P Plot (lampiran 3) bisa disimpulkan bahwa model regresi
memenuhi asumsi normalitas karena titik-titik menyebar di sekitar dan mengikuti arah garis
diagonal.Menarik kesimpulan dengan metode grafik saja akan menimbulkan bias karena
gafik mungkin dipersepsikan lain oleh pengamat atau pembaca. Uji Nonmetrik Kolmogorov-
Smirnov dilakukan untuk mengatasi persepsi yang mungkin bisa lain antar pengamat, selain
itu juga untuk memperkuat hasil dari metode grafik. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
(lampiran 3) menunjukkan bahwa seluruh variabel mempunyai nilai Asymptotic Significant >
0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal.
Uji multikolinieritas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi
ditemukan korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik tidak terdapat
korelasi antar variabel independen. Hasil Uji Multikolinieritas (lampiran 3) menunjukkan
nilai tolerance semua variabel independen diatas 0,1 dan variance inflation factor (VIF)
dibawah 10. Berdasar kriteria pengambilan keputusan maka disimpulkan bahwa antar
variabel independen tidak terjadi multikolinieritas.
Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi
terdapat ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya.
Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas bukan heteroskedastisitas, maka
disyaratkan variance dan residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya bersifat tetap dan
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
tidak berbeda. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan scatter plot (lampiran 3)
terlihat titik-titik menyebar diantara angka nol pada sumbu Y dan membentuk pola yang tidak
beraturan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dan model regresi
adalah baik. Penelitian ini menggunakan analisis statistik Spearmans rho untuk memperkuat hasil dari metode grafik scatterplot dalam mendeteksi heteroskedastisitas. Hasil analisis
menggunakan Spearmans rho (lampiran 3) menunjukkan nilai signifikansi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (unstandardized residual) semua di atas 0,05
yang berarti tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.
4.3. Pengujian Hipotesis
4.3. 1. Pengujian serentak dan parsial
Pengujian hipotesis menggunakan metode regresi linier berganda dengan sifat data
cross section. Tujuan pengujian hipotesis untuk membuktikan secara empiris pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil pengujian menggunakan regresi linier
berganda dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 4.2 Uji Regresi Linier Berganda dan Koefisien Determinasi
Variabel Koefisien t Sig
(Constant) -1.728 -7.548 0.000
Ukuran PEMDA (size) 0.108 3.153 0.003*
Belanda modal 0.004 0.140 0.889
e-government 0.044 1.073 0.289
Jumlah SKPD -0.118 -2.297 0.027*
Jumlah Penduduk 0.110 2.808 0.007*
Indeks Persepsi Korupsi 0.026 2.146 0.038*
R Square 0.691
Adjusted R-Square 0.648
F 16.005
Sig 0.000a
a. Predictors: (Constant), IPKO, SKPD, EGOV, BMOD, POPU, SIZE
b. Dependent Variable: KKDA
* signifikan pada tingkat alpha 5%
Hasil pengujian secara statistik menunjukan nilai signifikansi F adalah 0.000 lebih
kecil daripada 0,05 yang berarti bahwa secara serentak (bersama) seluruh variabel
independen: ukuran organisasi, belanja modal, e-government, SKPD, populasi, dan korupsi
berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan daerah (variabel dependen).
Pengujian berikutnya adalah pengujian secara parsial (uji t). Tujuan dari pengujian
ini untuk membuktikan secara empiris apakah variabel independen mempunyai pengaruh
terhadap variabel dependen secara individual. Hasil perhitungan statistik pada pengujian
secara parsial/individual menunjukan bahwa variabel yang nilai signifikansinya lebih kecil
dari alpha 0,05 adalah ukuran PEMDA /size (0,003), SKPD (0,027), populasi (0,007) dan
indeks persepsi korupsi (0,038), yang berarti variabel-variabel tersebut secara individual
berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan daerah. Pengaruh variabel belanja modal
(0,889) dan e-government (0,289) tidak nyata terhadap kinerja keuangan daerah, karena nilai
signifikansinya lebih besar dari alpha 0,05.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
4.3.2. Pembahasan Berdasar penghitungan statistik pada tabel 4.2 maka model persamaan regresi,
dengan nilai konstanta dan koefisien regresi, dapat dituliskan sebagai berikut:
KKDA = -1,782 + 0,108SIZE + 0,004BMOD + 0,044EGOV 0,118SKPD + 0,110POPU + 0,026IPKO
Variabel Independen
Ukuran PEMDA / size Nilai koefisien regresi variabel ukuran PEMDA/size adalah 0,108 yang artinya jika
variabel ini naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan naik sebesar 0,108,
ceteris paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel ukuran organisasi
PEMDA adalah nyata dan menunjukan arah positif terhadap kinerja keuangan daerah dengan
nilai signifikansi 0,003 (0,05)
sehingga hipotesis kedua (H2) ditolak. Hasil ini berbeda dengan temuan Mustikarini dan
Fitriasari (2012) bahwa belanja daerah, terdiri dari belanja modal dan belanja rutin,
berpengaruh secara nyata tetapi arah koefisiennya negatif terhadap kinerja pemerintah
daerah. Hasil penelitian ini juga tidak mendukung temuan Harianto dan Adi (2007) maupun
Abdullah dan Halim (2003) bahwa belanja modal berpengaruh nyata dan positif terhadap
kinerja (pendapatan asli daerah).
Belanja modal adalah pengeluaran pemerintah daerah yang digunakan untuk
penyediaan dan perawatan infrastruktur dan sarana prasarana. Menurut Harianto dan Adi
(2007), infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai di daerah akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi daerah yang ditandai dengan produktivitas masyarakat yang
meningkat dan bertambahnya investor. Peningkatan belanja modal oleh pemerintah daerah
diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan selanjutnya meningkatkan
partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang tercermin dari peningkatan pendapatan
asli daerah (Mardiasmo 2002). Hasil penelitian ini yang menunjukkan belanja modal tidak
berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan mungkin disebabkan kurangnya pemerintah
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
daerah secara optimal dalam membangun infrastruktur dan sarana prasarana. Pengerjaan yang
dilakukan banyak praktek tidak sehat seperti mark-up proyek, manipulasi spesifikasi
bangunan, analisis kebutuhan yang tidak sesuai, dan sejenisnya.
E-Government
Variabel e-government memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,044 yang artinya
jika variabel ini naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan naik sebesar
0,044 satuan. Tetapi, hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel e-government
tidak nyata terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,289 (>0,05)
sehingga hipotesis ketiga (H3) ditolak. Hasil penelitian ini tidak mendukung temuan oleh
Deakins et al. (2010) bahwa e-government berpengaruh pada peningkatan kinerja pemerintah
daerah di China, New Zealand, Oman dan Inggris. Dalam konteks yang berbeda, temuan
Patrick (2007) menunjukan bahwa e-government berpengaruh nyata terhadap inovasi
organisasi berupa adopsi governmental accounting standard board (GASB) statement No 34.
Penelitian ini memberi bukti bahwa e-government tidak berpengaruh nyata terhadap
kinerja keuangan daerah. Beberapa penyebab bisa dikemukakan, antara lain: belum semua
informasi disajikan dalam website, administratornya belum terlatih, konstruksi dan running
website tidak dinamis, sarana akses yang kurang memadai, dan sebagainya. Hal tersebut yang
mungkin membuat masyarakat tidak berminat mengakses website pemerintah daerah untuk
keperluan-keperluan terkait, sehingga interaksi yang diharapkan menjadi tidak optimal.
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Nilai koefisien regresi variabel SKPD adalah -0,118 yang artinya jika variabel ini
naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan turun sebesar 0,118, ceteris
paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel SKPD adalah nyata terhadap
kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,027 (
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
0,026, ceteris paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel indeks persepsi
korupsi adalah nyata dan menunjukan arah positif terhadap kinerja keuangan daerah dengan
nilai signifikansi 0,038 (
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Penelitian ini mencoba menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh
karakteristik pemerintah daerah dan persepsi korupsi, terhadap kinerja keuangan daerah tahun
2010 di Indonesia. Karakteristik pemerintah daerah terdiri dari ukuran organisasi (size),
belanja modal, e-government, jumlah SKPD, jumlah penduduk. Berdasarkan uraian,
penjelasan, dan analisis yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Hasil uji t (individual) menunjukan variabel ukuran PEMDA (x1), jumlah SKPD (x4),
jumlah penduduk (x5), dan indeks persepsi korupsi (x6) berpengaruh secara nyata
terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi, berturut-turut, sebesar
(0,003), (0,027), (0,007) dan (0,038). Variabel belanja modal (x2) dan e-government
(x3) tidak berpengaruh secara nyata terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai
signifikansi, berturut-turut, sebesar 0,889 dan 0,289.
2. Hasil uji F (serentak) menunjukan seluruh variabel independen yaitu ukuran PEMDA
(x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah SKPD (x4), jumlah penduduk (x5),
dan indeks persepsi korupsi (x6) secara serentak berpengaruh secara nyata terhadap
kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,000.
3. Variabel ukuran PEMDA (x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah penduduk
(x5), dan indeks persepsi korupsi (x6) koefisien regresinya bertanda positif (+)
menandakan hubungan yang searah, dengan kata lain peningkatan pada ukuran
organisasi (x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah penduduk (x5), dan
indeks persepsi korupsi (x6) akan meningkatkan kinerja keuangan daerah. Variabel
jumlah SKPD (x4) saja yang mempunyai koefisien regresi bertanda negatif (-) yang
menandakan hubungan tidak searah, dengan kata lain adanya peningkatan jumlah
SKPD akan menurunkan kinerja keuangan daerah.
4. Koefisien determinasi atau angka R square adalah sebesar 0,691. Gujarati dan Porter
(2010), menyatakan untuk regresi linear berganda sebaiknya menggunakan R square
yang sudah disesuaikan atau Adjusted R square, karena disesuaikan dengan jumlah
variabel independen yang digunakan, dimana jika variabel independen 1 (satu) maka
menggunakan R square dan jika telah melebihi 1 (satu) menggunakan adjusted R
square. Adjusted R square adalah sebesar 0.648 hal ini berarti 64,8% dari variasi
variabel dependen (kinerja keuangan daerah) yang dapat dijelaskan oleh variabel
independen (karakteristik pemerintah daerah dan persepsi korupsi), sedangkan sisanya
sebesar 0,352 atau 35,2% (1 - 0,648 atau 100% - 64,8%) dijelaskan oleh variabel-
variabel lain diluar variabel yang ada (model).
5. Analisis tambahan dilakukan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan daerah
dari faktor ukuran organisasi dan korupsi pada pemerintah daerah. Hasil analisis
menggunakan uji beda paired sample T-Test untuk faktor ukuran organisasi
menunjukan nilai signifikan 0.000 (0.05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan kinerja keuangan
antara pemerintah daerah yang bersih dengan pemerintah daerah yang korup.
Penelitian ini menyajikan bukti empiris mengenai karakteristik pemerintah daerah
dan persepsi korupsi sebagai penentu kinerja keuangan daerah di Indonesia. Peneliti
menemukan bukti bahwa ukuran PEMDA, jumlah penduduk, dan persepsi korupsi
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
merupakan prediktor penting untuk peningkatan kinerja keuangan daerah. Bukti empiris juga
menunjukan bahwa banyaknya jumlah SKPD dapat mengakibatkan inefisiensi organisasi
yang dapat menurunkan kinerja keuangan daerah. Hasil penelitian secara umum
menunjukkan bahwa karakteristik PEMDA dan korupsi berpengaruh terhadap kinerja
keuangan daerah.
5.2. Keterbatasan dan Saran
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang bisa dipertimbangkan dalam
melakukan interpretasi atas hasil analisis, yaitu:
1. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yang tersedia pada sumber-sumber yang relevan. Ada hal lain yang bisa dijadikan variabel penentu/independen dengan
data primer yang bisa didapat melalui survei atau wawancara, misalnya reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya dari pemerintah pusat
untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Model penilaian terhadap reformasi
birokrasi yang dilakukan saat ini adalah penilaian mandiri. Penelitian berikutnya
bisa menggunakan reformasi birokrasi sebagai prediktor kinerja keuangan daerah.
2. Pemerintah daerah yang menjadi obyek dalam penelitian ini hanya 50, sehingga hasil penelitian tidak bisa digeneralisir karena jumlah PEMDA di Indonesia saat ini
berjumlah 33 PEMDA tingkat I dan 496 PEMDA tingkat II. Sampel yang diperoleh
mengacu pada kebutuhan akan data dalam model penelitian yang disusun. Penelitian
berikutnya bisa menggunakan sumber data yang lain sehingga bisa meningkatkan
jumlah sampel yang digunakan, semakin banyak sampel akan semakin baik dalam
menginterpretasi hasil penelitian.
3. Periode amatan hanya satu tahun, yaitu tahun 2010. Akibatnya, tren atau dinamika masing-masing variabel yang digunakan dalam model penelitian tidak bisa terlihat.
5.3. Implikasi
Penelitian ini memberi implikasi pada praktik akuntansi dan pengelolaan organisasi
pemerintahan, terutama dalam masalah kinerja keuangan pemerintah daerah. Implikasi-
implikasi yang dimaksud adalah:
1. Penggunaan aset daerah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan terus ditingkatkan karena akan memberi kepuasan dan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
2. Pengalokasian belanja modal harus lebih memperhatikan aspek-aspek kelayakan seperti aspek tehnis, aspek ekonomi dan finansial, aspek distribusi, dan aspek sosial
budaya. Hal yang penting adalah penganggaran tidak berdasar oportuniti sehingga
nilai belanja modal menjadi tinggi tetapi kualitasnya rendah.
3. Penggunaan e-government dalam pelaksanaan pemerintahaan diyakini akan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas karena kemudahan interaksi antara
masyarakat dengan pemerintah dan pemantauan oleh masyarakat terhadap
pemerintah. Pemerintah di Indonesia belum memanfaatkan dengan baik e-
government sebagai sarana dalam menjalankan program-program dan kebijakan
publik dalam melayani masyarakat.
4. Pemerintahan yang efisien akan memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam mencapai tujuan. Efisiensi bisa dilakukan dengan perampingan struktur organisasi
berdasar kebutuhan. Struktur organisasi di pemerintahan daerah yang dimaksud
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
adalah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), yang disusun berdasar kebutuhan
masing-masing daerah sesuai karakteristik yang dimiliki.
5. Jumlah penduduk perlu dikelola dan dikendalikan dengan baik. Peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan melalui peningkatan anggaran pendidikan dan
kesehatan. Masyarakat yang cerdas akan mudah untuk mematuhi kewajiban-
kewajibannya termasuk dalam membayar pajak untuk kepentingan pembangunan
daerah.
6. Pemberantasan korupsi mutlak harus dilakukan secara terus menerus. Dukungan dari semua elemen masyarakat akan mempercepat upaya-upaya menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pendapatan pemerintah daerah bisa
lebih difokuskan ke arah permasalahan dasar masyarakat seperti pendidikan,
kesehatan, dan kemiskinan.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., dan A. Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota
di Jawa dan Bali. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VI Surabaya Komisi F:
1140-1159.
Abdullah, S., dan J.A. Asmara. 2007. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran
daerah: Bukti empiris atas aplikasi agency theory di sektor publik. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia 10 (1): 20-41.
Akbar, R., R. Pilcher, dan B. Perrin. 2012. Performance measurement in Indonesia: The case
of local government. Pacific Accounting Review 24 (3): 262-291.
Azhar, M.K.S. 2008. Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum
dan setelah otonomi daerah. Tesis tidak dipublikasi Program Magister Akuntansi
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Badudu, J.S., dan S.M. Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Bastian. I. 2010. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Bingham, L.B., T. Nabatchi, dan R. OLeary. 2005. The new governance: Practice and processes for stakeholder and citizen participation in the work of government. Public
Administration Review 65 (5): 547-558.
Bisma, I.D.G., dan H.Susanto. 2010. Evaluasi kinerja keuangan daerah provinsi Nusa
Tenggara Barat tahun anggaran 2003 2007. Ganes Swara 4 (3): 75-86.
Budima, G. 2006. Can corruption and economic crime be controlled in developing
economies, and if so, is the cost worth it? Journal of Financial Crime 13 (4): 408-419.
Damanpour, F. 1991. Organizational Innovation: A meta-analysis of effects of determinants
and moderators. Academy of Management Journal 34 (3): 555-590.
Deakins, E., S. Dillon, H.A. Namani, dan C. Zhang. 2010. Local e-government impact in
China, New Zealand, Oman and the United Kingdom. International Journal of Public
Sector Management 23 (6): 520-534.
Fenwick, J., dan K.J. Miller. 2012. Political management and local performance: A testing
relationship? International Journal of Public Sector Management 25 (3): 221-230.
Fitzsimons, V.G. 2009. A troubled relationship: Corruption and reform of the public sector in
development. Journal of Management Development 28 (6): 513-521.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Gibson, J.L., J.M. Ivancevich., dan J.H. Donnelly. 2001. Organisasi: Perilaku, Struktur dan
Proses. Edisi ke - 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Goddard, A. 2005. Reform as regulation accounting, governance, and accountability in UK local government. Journal of Accounting & Organizational Change 1 (1): 27-44.
Goh, S.C. 2012. Making performance measurement systems more effective in public sector
organizations. Measuring Business Excellence 16 (1): 31-42.
Gounder, N., P.K. Narayan, dan A. Prasad. 2007. An empirical investigation on the
relationship between government revenue and expenditure: The case of Fiji Islands.
International Journal of Social Economics 34 (3): 147-158.
Governmental Accounting Standard Board. 2008. GASB proposal to amend concept
statement 2 reflect recent developments in SEA performance reporting. Diunduh dari
www.gasb.org pada 3 Januari 2013.
Gujarati, D.N., dan D.C. Porter. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi ke-5. Jakarta:
Salemba Empat.
Gupta, S., H. Davoodi, dan R.A. Terme. 1998. Does corruption affect income inequality and
proverty? Working Paper of the International Monetary Fund No 76.
Greiling, D. 2005. Performance measurement in the public sector: the German experience.
International Journal of Productivity and Performance Management 54 (7): 551-567.
Halim, A., dan M. Kusufi. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.
Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Han, C.C. 2000. Organizational size, flexibility, and performance: A system dynamics
approach. Working Paper Departement of Public Administration, Tamkang University,
Taiwan.
Harianto, D., dan P.H. Adi. 2007. Hubungan antara dana alokasi umum, belanja modal,
pendapatan asli daerah, dan pendapatan per kapita. Proceeding Simposium Nasional
Akuntansi X Makassar ASPP 15: 1-26.
Haryadi, B. 2002. Analisis pengaruh fiscal stress terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten / kota dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah (Suatu kajian empiris
di Propinsi Jawa Timur). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi V Semarang:
234-242.
http://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 2 Januari 2013 Jam 09.10 WIB
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Hill, C.J., dan L.E. Lynn Jr. 2004. Governance and public management, an introduction.
Journal of Policy Analysis and Management 23 (1): 3-11.
Hill, C.J., dan L.E. Lynn Jr. 2005. Is hierarchical governance in decline? Evidence from
empirical research. Journal of Public Administration Research and Theory 15 (2): 173-
195.
Hilmi, A.Z., dan D. Martani. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
pengungkapan laporan keuangan pemerintah propinsi. Proceeding Simposium Nasional
Akuntansi XV Banjarmasin.
Hood, C. 1995. New public management in the 1980s: Variations on a theme. Accounting,
Organization and Society 20: 93-109.
Indrawati, Y. 2007. Reformasi akuntansi sektor publik: Mewujudkan pelayanan publik yang
lebih baik melalui pelaporan keuangan pemerintah yang akuntabel. Working Paper
LPPM UPN Veteran Surabaya.
Indriantoro, N. 1995. Bertanggungjawabkah akuntan untuk mencegah dan mendeteksi kolusi
dan korupsi? Kajian Bisnis 6: 1-8.
Jain, A.K. 2001. Corruption: A Review. Journal of Economic Surveys 15 (1): 71-121.
Jarrar, Y., dan G. Schiuma. 2007. Measuring performance in the public sector: Challenges
and trends. Measuring Business Excellence 11 (4): 4-8.
Kusumawardani, M. 2012. Pengaruh size, kemakmuran, ukuran legislatif, dan leverage
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Indonesia. Accounting Analysis
Journal 1(1):27-35.
Malagueno, R., C. Albrecht, C. Ainge, dan N. Stephens. 2010. Accounting and corruption: A
cross-country analysis. Journal of Money Laundering Control 13 (4): 372-393.
Mallik, G., dan A. Chowdhury. 2002. Inflation, government expenditure and real income in
the long-run. Journal of Economic Studies 29 (3): 240-250.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Martani, D. dan A. Lestari. 2010. Local government financial statement disclosure in
Indonesia. Conference Proceedings of Annual Meeting and Conference Asian
Academic Accounting Association (AAAA) at Bangkok Thailand, Hosted by
Thammasat Business School.
Mauro, P. 1996. The effects of corruption on growth, investment, and government
expenditure. Working Paper of the International Monetary Fund No 96.
-
Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan
Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014
Mimba, N.P.S.H., G.J. Helden, dan S. Tillema. 2007. Public sector performance
measurement in developing countries: A literature review and research agenda. Journal
of Accounting & Organizational Change 3 (3): 192-208.
Mistry, J.J. 2012. The role of e-governance in mitigating corruption. Accounting and the
Public Interest 12: 137-159.
Mustikarini, W.A., dan D. Fitriasari. 2012. Pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan
temuan audit BPK terhadap kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia
tahun anggaran 2007. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi XV Banjarmasin.
Okada, K. 2006. Size effect and firm size: New relationship with the value effect. Security
Analysts Journal 44 (7): 1-24.
Patrick, P.A. 2007. The determinants of organizational innovativeness: The adoption of
GASB 34 in Pennsylvania Local Government. Unpublished Dissertation The Graduate
School of Public Affairs The Pennsylvania State University.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Petrakaki, D., N. Hayes dan L. Introna. 2009. Narrowing down accountability through
performance monitoring technology: E-government in Greece. Qualitative Research in
Accounting & Management 6 (3): 160-179.
Picur, R.D., dan A.R. Belkaoui. 2006. The impact of bureaucracy, corruption and tax
compliance. Review of Accounting and Finance 5 (2): 174-180.
Pilcher, R. 2005. Local government financial key performance indicators not so relevant, reliable and accountable. International Journal of Productivity and Performance
Management 54 (5): 451-467.
Pillay, S. 2004. Corruption the challenge to good governance: a South African perspective. International Journal of Public Sector Management 17 (7): 586-605.
Sadjiarto, A. 2000. Akuntabilitas dan pengukuran kinerja pemerintahan. Jurnal Akuntansi &
Keuangan 2 (2): 138-150.