Antologi Puisi Potret Hitam Putih fileAntologi Puisi Potret Hitam-Putih v | Darwin Badaruddin...
-
Upload
truongkhue -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
Embed Size (px)
Transcript of Antologi Puisi Potret Hitam Putih fileAntologi Puisi Potret Hitam-Putih v | Darwin Badaruddin...

Antologi PuisiPOTRET HITAM – PUTIHDarwin Badaruddin
Sadasiva, YogyakartaCetakan Pertama, Februari 2011
Copyright © 2011 by Darwin BadaruddinHak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved
Pengantar Yudhistira SukatanyaDesain Sampul & Layout Wahyudi Muslimin
Penerbit Sadasiva, YogyakartaJl. Taman Siswa Gg. Permadi No. 1591Nyutran MG II Yogyakarta 55151Surat-e:[email protected]
Perpusataan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)Badaruddin, DarwinAntologi Puisi Potret Hitam Putih, Cet. 1. YogyakartaSadasiva, 2011, 91 Hlm; 21 cm
Antologi Puisi
Potret Hitam Putih
Darwin Badaruddin
j
j

Antologi Puisi Potret Hitam-Putihv
| Darwin Badaruddin
“Kupersembahkan kepada Ibu, Ayah, Istri, anak-anakku, tanah airku,
sahabat-sahabatku, masa laluku, masa depanku, dan kepada diriku sendiri.”
S A T U
BICARA riwayat Puisi bisa juga dengan menghayati riwayat air.
Lahir dari mata air, jernih, gurih, indah. Kemudian bulir-bulir air
bertemu cahaya, warna, rasa. Lalu menyusur tanah, terus mengalir
di batang dan reranting sungai, menyentuh benda-benda, riwayat,
waktu, bercampur aroma, menyatu merekam ragam nuansa,
merekam liat pengalaman, terus menuju muara, menemui riak-riak
ombak yang bergelombang datang. Tapi perjalanan itu belum lagi
akhir.
Di muara air bertemu asinnya aneka kehidupan, jazad
renik, karang, renang ikan, plankton, rumput laut. Kemudian
air menyandang rasa baru. Mengecapnya pada sedikit takar bisa
beroleh aneka rasa, irupan aroma. Jika meneguknya tergesa-gesa,
terlebih dalam jumlah tak tertakar dapat mencekik kerongkongan.
Menelannya pun memang perlu cara tersendiri. Proses. Sabar,
PengantarAir Mata Air Telah Mengalir ke MuaraTiga respons atas penerbitan buku puisi “ Potret Hitam Putih” Darwin Badarudin

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihvi
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihvii
| Darwin Badaruddin
cermat, mereka-reka, menghayati segala unsur dikandungan air
itu. Setelah menikmati rasa dan aroma, pada riak air siapa pun bisa
berkaca, mematut-matut, mereguk nikmat telan apa yang disuka,
atau segera memuntahkan sesuatu yang mengganggu kenikmatan
pencernaannya. Perjalanan itu belum lagi akhir.
Begitulah Puisi, pada mulanya adalah kata-kata yang bermata
cipta dari benak penyair, kata jadi kalimat setelah bertaut. Kalimat
bisa menyandang riwayat, kisah benda-benda, sapihan saripati
rasa manusia, rumus golak pikir, matematika waktu. Kemudian
bergelut, berpadu lagi, menyatu jadi larik langgam rangkai kalimat,
potret aneka pengalaman, peristiwa, renungan yang mengalir lalui
tatah jemari, menelusuri lorong-lorong penciptaan, menembus
halang rintang berliku. Selanjutnya dirancang maujud di celah-
celah kemungkinan. Adalah rangkaian bait, batang tubuh kuplet,
menampilkan sosok jepret potret pilihan. Tapi itu pun tentu belum
lagi akhir.
Di muara penciptaan Puisi, kumpulannya akan terbit, bertemu
ombak aneka apresiasi. Orang-orang awam, akademisi, praktisi
sastra. Gelombang timbang para kritisi. Masing-masing mematut-
matut dari berbagai sisi, membanding dengan cara dan sudut telaah
sendiri. Adalah kesan, adalah rasa, adalah paham, adalah ukuran,
adalah penghayatan dalam endapan kontemplasi di aneka kadar.
Tapi juga belum lagi akhir.
Akan selalu ada pengingkaran atas status berakhir yang berhakiki
selesai. Selalu ada metamorfosa imajinasi, janin lain, kelahiran baru.
Ada kehadiran berbeda dalam bentuk aneka cipta. Itulah rekayasa
alami, impian, harapan. Selalu hadir lagi, bertunas lagi, berkembang
lagi di ladang-ladang penciptaan yang maha multi dimensi.
D U A
Adalah antologi puisi “ Potret Hitam Putih” (PHP) karya Darwin
Badarudin. Puisi-puisi hadir dan mengalir dari hulu ke hilir. Terbit
dan menjelang muaranya di ranah gelombang sambutan pembaca.
Antologi PHP menayang sejumlah puisi, ragam tema, disajikan
dalam elegi, religi, soliloqui juga kritik sosial. Inilah sejumlah perasan
dari pencermatan penyair atas situasi yang bergerak disekelilingnya
dalam kurun waktu melewati beberapa dasa warsa 1978 - 2010.
Rekam jejak itu menyematkan penanda bagi pembaca, tentang apa-
apa yang penyair anggap perlu berbagi.
Menyimak judul kumpulan puisi “Potret Hitam Putih” sepertinya
penyair telah dengan siaga, sengaja menggiring pembacanya untuk
menyimak sejumlah potret masa ke masa. Memilih kata potret
bukannya foto, tentu pilihan yang telah digodok dalam kawah
intelektualitas penyairnya. Tentunya, Hitam putih juga adalah
sedikit pilihan atas nilai juga makna yang dijajakan. Rekaman
kesadaran atas peristiwa yang dilihat, dialami, direnungi, kemudian
berkontemplasi di rahim penciptaan untuk kelahiran senarai puisi.
Di segmen elegy, simaklah bagian ini: ..........................................Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,ketika ombak masih setia memainkan buih,ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,ketika persatuan belum dibumihanguskan,ketika sajak-sajak masih punya aksara,ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihviii
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihix
| Darwin Badaruddin
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racundan benih-benih kematian.
Satu saja yang tersisa hari ini ;Kita telah kehilangan.
( puisi ; Kita Telah Kehilangan )
Dalam puisi KITA TELAH KEHILANGAN ini, pembaca
dimanjakan dengan lirik prosais. Penyairnya tidak genit
menyembunyikan ungkapan dengan menggunakan metafora
pelik. Hadirnya seperti pencerita lisan, langsung menjamu jantung
persoalan. Suara anak bangsa yang meradang. Meski sederhana,
bersahaja, kita tidak lalu jadi kehilangan matra keindahan dalam
sastra. Demikian pula pada TOBATKU DI ATAS TOBA :
Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai patung kayu si Gale-gale**),lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi,tanpa batas,karena maut dan kehidupan tengah bersandingdalam dingin Samosir
Parapat, 2001
Seseorang dihadapan budaya Batak, coba membuka dialog
budaya. Disisi lain sebenarnya penyair kita ini berasal dari
lingkungan alam dan masyarakat yang maha kaya. Potensi budaya
yang kuat. “Mandar”. Suku bangsa yang punya karakter khas putra
laut. Orang-orang yang sejak kecil diajari mengenali tantangan laut,
segala belai kemanjaan sekaligus garang keganasannya. Simaklah
ungkapan lirik SKETSA SANDEQ
dengan sandeq aku mengenalmu di antara cericit burung laut,dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta,kutitip lewat syair badai teluk mandar,dan menyimpannya di setiap butir pasir.dengan sandeqaku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku,negeri kita kujadikan mahar tak ternilaihingga ke tepi zaman.
dengan sandeqaku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamuyang kelak akan melahirkan anak-anak lautyang candanya pecah di hempasan ombak
dengan sandeqkelak aku akan mengajakmu pulangke rumah tuhanPolewali, 2 Agustus 2010
*) Sandeq adalah sejenis perahu tradisional masyarakat Mandar yang sangat tangguh mengarungi lautan dan menjadi andalan para pelaut.
Sebuah potret melankolia yang mendebarkan dari Tanah
Mandar. Alas cinta sekaligus tantangan untuk anak-anak laut yang
kuat, berani menyongsong hadang kehidupan....... dengan sandeq
kelak aku akan mengajakmu pulang ke rumah tuhan sungguh
suatu keteguhan dalam pernyataan yang giris tapi manis. Ditangan
penyair kegarangan jadi melodi syair yang indah. Ungkapan senada
terbaca pada DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK Dalam dingin yang menghujam, aku telah kehilangan sujud-sujudku,tengadah memandang langit-langit hampa,menembus detik,dan lagi aku kehilangan zikir

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihx
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxi
| Darwin Badaruddin
Pagi,kueja salam,begitu hambar, dalam lafal yang beku,hanyut di antara batuan dan gemuruh,lalu,kucoba menangis,tapi di mataku ada kemarau,kering,meranggas. Mamasa 2004
*) Mamasa adalah suatu perkampungan di wilayah Mandar, bertempat di ketinggian pegunungan yang sulit diakses orang luar. Hawanya dingin
menyengat dapat menyesakkan dada.
Penggambaran suasana religiusitas yang kental. Bentuk
pengakuan kepapaan ini jangan disalah tafsir. Kehilangan sujud-
sujudku, kehilangan zikir dikebekuan suhu udara, tentu adalah
peristiwa berat yang sangat mungkin terjadi, apalagi terhadap insan
yang lemah iman. Tetapi bila mencoba mengatasinya sungguh
upaya yang luar biasa. Tentu bukan semata sekedar penanda tentang
insan yang kehilangan keimanan melainkan penegas kesadaran
betapa papanya pun manusia ketika kekeringan iman mendera
jiwa raganya, ia tetap harus bisa berusaha bangkit meski untuk
melafal sepatah salam. Tanpa mengenali kegarangan alam Mamasa
di wilayah ketinggian, kampung sulit dikunjungi, yang mesti
ditaklukkan dengan kekuatan jiwa dan raga, tentulah sulit memahami
kedalaman makna puisi ini. Tetapi dengan menemukenali Mamasa
akan menjadi gambaran sempurna memahami lirik menyentuh
ini. Sebuah pencapaian estetik panyairnya yang mempertautkan
renungan dengan lingkungan sekitarnya. Potensi lingkungan
seperti ini, sesungguhnya begitu mempesona, akhirnya mencuatkan
pertanyaan , mengapa hanya beberapa yang diusung dalam antologi
puisi PHP ini.
Coba, geledah lagi puisi yang ini ATAS NAMA NYANYIAN
tanpa menemukenali Mak Cammana, akan mempersulit menyelami
kedalaman maknanya. Kesetiaan pada pilihan.
ATAS NAMA NYANYIANatas nama nyanyian,ada yang datang berkali-kali membawa dukanyaduka bulan yang kesepianbertahun-tahun melukis bayangnya sendiridi pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa kekasihnya entah ke mana atas nama nyanyian,ada yang tak pernah datangtapi rindunya melekat di dinding-dinding waktumenghitung purnamadi atas bukit dekat rumahmu.atas nama nyanyian,ada yang akan datang menemuimumembawa rebana tua yang bakal menemani tidurmumenyeruak dari belukar zaman yang terhampar luasmembawa cahayanyayang menerangi heningdi gunung,di hulu,di sungai,di batu,di muara,di laut,di ombak,di pohon,di daun,di sujud,di puncak hening,

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxii
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxiii
| Darwin Badaruddin
lengking suaramu,getarkan rindu,berabad-abad. (kepada bunda Cammana*)
*) Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia
Polewali, 2010
T I G A
Ungkapan-ungkapan bernuansa lokalitas sesungguhnya adalah
potensi luar biasa yang masih terasa minim hadir dalam antologi
puisi PHP ini. Patut disayangkan, sebab lirik-lirik yang bernuansa
dan berjiwa lokal adalah suatu pembeda dengan lainnya. Kekhasan
lokal yang hanya bisa disanding tak bisa dibanding dengan yang lain.
Kekayaan lokal selalu menjadi ladang petualangan yang menantang
bagi pembaca sastra untuk lebih mengenali kekayaan budaya suatu
suku bangsa. Mengenali keragaman manusia. Eksplorasi ke khasan
lokal ibaratnya mengasah berlian tinggal menunggu kilapnya.
Akhirnya antologi puisi PHP ini sudah ada di muara, dimana
pembaca akan bergelombang mengapresiasinya. Asam, garam, pahit
manis, hitam, putih adalah citra yang ditawarkan dari balik bingkai
hasil jepretan potret masa lalu sang penyair. Ia sudah berbagi,
silahkan menerima sebagaimana adanya.
*) Yudhistira Sukatanya, lahir di Bandung, 17 Desember. Pendiri Sanggar Merah Putih Makassar, pernah jadi Sekretaris BKKNI Sulsel, Dewan Kesenian Sulsel, Dewan Kesenian Makassar, kini mengabdi di LPP RRI.
Daftar Isi
Halaman Judul ...............................................................iiHalaman Persembahan ................................................iiiPengantar Air Mata Air Telah Mengalir ke Muara ........................................... vDaftar Isi ................................................................... xiii
Puisi-Puisi Darwin Badaruddin
SUNYI ...........................................................................................17
RAHASIA .....................................................................................18
DI BAWAH BULAN ..................................................................19
DI DALAM BUS .........................................................................19
DI GETAR NAFAS ....................................................................19
TOBATKU DI ATAS TOBA ...................................................20
DI ATAS BUKIT GUNDALING ...........................................21
KITA TELAH KEHILANGAN .............................................22
DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR .............................24
SKETSA PARANG TRITIS ...................................................25
( Episode 1 )

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxiv
Antologi Puisi Potret Hitam-Putihxv
| Darwin Badaruddin
SKETSA PARANG TRITIS ...................................................26
( Episode 2 )
JAKARTA .....................................................................................27
BIARKAN ZIKIRKU ................................................................28
PERJALANAN OMBAK ..........................................................29
SKETSA PARANG TRITIS ...................................................30
( Episode 3 )
MALIOBORO ..............................................................................31
MIMPI ...........................................................................................32
KAREBOSI ...................................................................................33
MAUT ............................................................................................34
KIAMAT ......................................................................................35
ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH .........................36
GURUKU BERNAMA WULAN ..........................................37
DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK ..................38
SAMUDERA ...............................................................................39
DI TERMINAL KEBERANGKATAN ................................40
32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO ..............................41
PRASASTI ....................................................................................42
LANGIT ........................................................................................43
BOUGENVILLE .........................................................................44
BERI KAMI SEKOLAH ...........................................................45
PEREMPUAN ITU
MENEMUI TUHANNYA ......................................................46
(Catatan harian seorang anak)
MI’RAJ .........................................................................................48
SKETSA SANDEQ ..................................................................49
DOSA .............................................................................................50
DOA PENYAIR KAMPUNG..................................................51
DOA SEORANG PELACUR ...................................................52
ALIF ..............................................................................................54
PUISI CINTA .............................................................................55
PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN ..........................56
ATAS NAMA NYANYIAN .....................................................57
(kepada bunda Cammana
SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI .............59
BULAN RINDU .........................................................................60
KUN FAYAKUUN .....................................................................61
BATU .............................................................................................63
Apresiasi PuisiDi antara Harapan dan Kecemasan ........................................66Drs. Subriadi BakriSebuah Interpretasi .....................................................................76Ety Sabaryati D. PalontjongiSisi Lain Darwin Badaruddin ...................................................79H. Mahyuddin IbrahimPotret Hitam-Putih Kehidupan ................................................81HalimahMelawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk Personal .....85Muhammad Syariat Tajuddin

Antologi Puisi Potret Hitam-Putih17
| Darwin Badaruddin
Puisi-Puisi
Darwin Badaruddin
j
j
SUNYI
Duduk aku sendiri,
Di bawah langit-Mu aku kembara ,
Menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya,
Menghitung bebatuan di padang pasir,
menghitung nafas,
tak berbatas.
Polewali, 1978

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih18
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih19
| Darwin Badaruddin
RAHASIA
Cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa,
kehidupan,
Cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan,
rahasia
Polewali, 1980
DI BAWAH BULANDI DALAM BUSDI GETAR NAFAS
Dan terminal pun tertinggal jauh,
bulan menapaki langit kelam,
angin terbang dari keterasingan menebarkan gerimis,
dan kita mereguknya.
Di bawah bulan,
di dalam bus,
di getar nafas,
aku menyelam ke dasar sukmamu,
lalu engkau terbenam dalam mimpi-mimpi
yang tak pernah dapat kueja.
Polewali, 1984

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih20
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih21
| Darwin Badaruddin
TOBATKU DI ATAS TOBA
Tabuhan taganing*) melengking mengiringi gerak gemulai
patung kayu si Gale-gale**),
lalu seutas tali mengikat kita dalam gerak tanpa kemudi,
tanpa batas,
karena maut dan kehidupan tengah bersanding
dalam dingin Samosir
Parapat, 2001
*) Sejenis alat musik perkusi tradisonal di Sumatera Utara**) Patung kayu di Samosir yang bisa menari dengan menggerakkan tali
DI ATAS BUKIT GUNDALING*)
Mimpi panjang baru saja aku gelar di atas permadani hijau
sengaja kutangkap bayang-Mu
ketika pepohonan karet merangkai ruku’ dan sujud
dalam ruang tanpa jarak
dalam detik tanpa waktu
dalam lelah tanpa keluh
dalam jerit tanpa suara
dalam tangis tanpa isak
dalam dingin tanpa getar
dalam sujud tanpa tasbih
aku biarkan angin berlalu
Berastagi, 2001
*)nama bukit di Berastagi, Sumatera Utara

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih22
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih23
| Darwin Badaruddin
KITA TELAH KEHILANGAN
Satu saja yang tersisa hari ini,
kita telah kehilangan.
Kezaliman telah mencabik cakrawala,
bulan pecah di atas ubun-ubun
sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk
hingga tetes terakhir ;
kita telah kehilangan.
Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot,
yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani,
bukan memangsa daging saudara sendiri ;
kita telah kehilangan.
Ke manakah denting kecapi
yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,
ketika ombak masih setia memainkan buih,
ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,
ketika persatuan belum dibumihanguskan,
ketika sajak-sajak masih punya aksara,
ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,
ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,
ketika wajah kita belum pucat pasi ;
kita telah kehilangan.
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,
oleh perang saudara dan ledakan bom,
sementara sukma kita dibubuhi racun
dan benih-benih kematian.
Satu saja yang tersisa hari ini ;
Kita telah kehilangan.
Polewali, 2 Nopember 2002

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih24
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih25
| Darwin Badaruddin
DALAM DIAM STUPA BOROBUDUR
Dalam diam arca,
kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahari
kupersembahkan sesaji pertanyaan ;
“Siapakah yang menyimpanmu di sini?”
Dalam diam stupa,
kusentuh jemarimu bersama sukma angin
yang telah membawaku ke sini.
Borobudur, 10 Juni 2003
SKETSA PARANG TRITIS( Episode 1 )
Di atas kanvas biru Pantai laut selatan,
kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala,
dan menghempas di dinding-dinding karang,
menebar bersama butiran pasir,
hilang,
entah ke mana.
Kucari engkau,
Wahai,
garis putih yang lahir dari rahim sukmaku yang papa,
dalam deru ombak yang terus menjulurkan maut,
dalam hiruk pikuk canda ria,
dalam desah nafas birahi percintaan,
dalam kembara panjang yang meletihkan.
Lalu,
kutemukan engkau,
dalam tembang,
dalam kanvas yang terkoyak,
dalam kesendirian,
sepi.
Parang Tritis, 12 Juni 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih26
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih27
| Darwin Badaruddin
SKETSA PARANG TRITIS( Episode 2 )
Gerimis itu telah meneteskan warna-warni di setiap jengkal
langkah,
tak ada lagi yang tersisa
ketika mataku nanar memandang sepasang kekasih
melukis harapan di atas pasir.
Saksikanlah;
air mataku telah menjadi samudera
bagi sampan-sampanmu yang bakal karam
karena ombakku adalah kerinduan yang hampa,
nafasku telah menjadi badai
bagi rumah-rumahmu yang bakal porak-poranda
karena hembusanku adalah kerinduan
bagi sajak-sajak tanpa aksara.
Parang Tritis, 12 Juni 2003
JAKARTA
Beri aku sepiring nasi,
dan kuberi engkau bintang
yang telah kugantung di setiap sudut kamarku
dan membawamu terbang
mengitari ladang-ladang berbunga;
dosa
Jakarta, 16 Juni 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih28
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih29
| Darwin Badaruddin
BIARKAN ZIKIRKU
Biarkan zikirku mengembara bersama angin,
menuju negeri tanpa tirai,
menusuki dinding-dinding waktu,
perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan
di atas laut terpagar batas pandang
Biarkan zikirku,
menembus laut kelam,
yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik,
segala terangkai,
dalam getar sujudku yang melahirkan embun,
menetes,
kering,
lenyap.
KM. Ciremai, 17 Juni 2003
PERJALANAN OMBAK
Dari mana ombak
menempuh perjalanan,
pecah di buritan,
menjilati sampan pelaut gagah berani,
menuai hidup tanpa batas.
Dari mana angin
menempuh perjalanan,
bertualang,
hingga ke kaki langit
yang telah kubuat dalam garis tipis.
Bersama ombak,
aku berangkat menjemputmu,
dalam hingar bingar dermaga.
Tanjung Priuk, 17 Juni 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih30
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih31
| Darwin Badaruddin
SKETSA PARANG TRITIS( Episode 3 )
Entah,
kali ini aku begitu rindu pada kesendirian
memandangmu menyusuri pantai
dan deru angin menerbangkan harapan.
Entah,
berapa lama lagi aku menikmati kesendirian,
ketika engkau berlalu,
meninggalkan jejak di jantungku.
Parang Tritis, 7 Juli 2003
MALIOBORO
Duduklah di sini,
mengurai bayang kusut masa silam,
menyimak nyanyian anak jalanan,
dan izinkan kulukis danau bening di matamu.
Duduklah di sini,
kekasih para penyair,
dan jangan pergi
sebelum kutulis lagi satu puisi.
Yogyakarta, 8 Juli 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih32
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih33
| Darwin Badaruddin
MIMPI
Gaun merahmu kusingkap,
dan aku mengembara di atas padang pasir
menebar kesenyapan dalam gelora badai,
mengejar fatamorgana.
Jakarta, 12 Juli 2003
KAREBOSI
Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu,
menembus kegelapan,
meneteskan amarah di sudut jalan,
sumpah serapah,
lalu tertidur pulas,
menikmati khianat dari sepotong pizza.
Makassar, 7 September 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih34
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih35
| Darwin Badaruddin
MAUT
Kepada siapa biduk kita tambatkan
Karena malam telah membenamkan
sajak para penyair
Jalan panjang,
Berliku,
Luka,
Tak juga sembuh.
Polewali, 14 Oktober 2003
KIAMAT
Seorang kiyai memainkan tasbih menunggu iqomat ashar,air matanya jatuh di atas ubin putih,dingin.
Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang menenggelamkan istri, anak, cucu dan buyutnya.
Air mata itu jatuh lagi,dan membentuk danau,semakin banyak,semakin dalam.
Tak terhitung lagi berapa banyak danau yang menenggelamkan orang-orang yang dicintainya.
Menjelang magrib ia kembali dan memandangi langit-langit masjid yang kusam,di depan mihrab ia duduk bersimpuh menghembuskan nafas,dan nafas itu berubah menjadi topan,meremukkan tulang orang-orang di sekelilingnya.
Nafas itu berhembus lagi,menjadi topan,semakin kencang,semakin garang.
ketika ia berbalik,masjid tetap sepi.
Polewali, 28 Nopember 2003

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih36
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih37
| Darwin Badaruddin
ANTARA BUKIT SAFA DAN MARWAH
Dalam ihram langit bening,
ternyata aku tak lagi perkasa,
oleh cinta
Antara Bukit Safa dan Marwah,
aku berlari mencari bayang-bayang di antara pilar,
semakin dekat
semakin lekat
semakin pekat
dekat tak berjarak.
Antara bukit Safa dan Marwah
terjerat aku dalam nikmat jaring putih
Makkah, 2004
GURUKU BERNAMA WULAN
Dalam temaram lampu dan hingar bingar nyanyian,
engkau mengajarkan bagaimana mensyukuri pemberian
meski sebesar zarrah
dan aku tengadah,
menatap arasy,
mencari wajahku,
yang sekian lama terbenam dalam keangkuhan.
Lalu,
engkau mendesah,
ada danau bening di matamu,
syahdu.
kugenggam jemarimu,
dan kau sebut namamu ;
Wulan,
lalu mengajariku tentang bagaimana melahirkan tawa
meski dalam tangis lirih
Mamuju, 2004

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih38
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih39
| Darwin Badaruddin
DI MAMASA KUTEMUKAN SATU DETIK
Dalam dingin yang menghujam,
aku telah kehilangan sujud-sujudku,
tengadah memandang langit-langit hampa,
menembus detik,
dan lagi aku kehilangan zikir
Pagi,
kueja salam,
begitu hambar,
dalam lafal yang beku,
hanyut di antara batuan dan gemuruh,
lalu,
kucoba menangis,
tapi di mataku ada kemarau,
kering,
meranggas.
Mamasa 2004
SAMUDERA
Di sini telah kuteteskan air mata
membentang samudera menggenang rinduku
biarkan lelah jadi aroma
bagi dosa-dosaku,
dan aku bermain dalam badai
batu hitam
dalam semerbak cinta,
berikan aku samudera yang akan kualirkan ke muara tak bertepi
tak pernah sepi
karena sepi telah dilumat api
dan terkubur dalam terik.
Samudra itu membawaku dalam badai
puisi tak bertepi
tiada henti
hanyut dalam tawaf
Makkah, 2004

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih40
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih41
| Darwin Badaruddin
DI TERMINAL KEBERANGKATAN
yang lalu lalang berlari mengejar harapan
entah sampai dimana
yang duduk termenung menunggu berita
entah sampai kapan
yang tengadah memandang langit
yang tertunduk menatap tanah
lalu lalang memandang langit
duduk termenung memandang tanah
menghitung jarak
menghitung waktu
tak terbilang
dalam kuasa tuhan
Cengkareng, 16 September 2004
32.000 KAKI DI ATAS MASALEMBO
ada gelegar panas dalam dingin malam,
menjulurkan sepi di antara hiruk pikuk,
langit pucat pasi,
semua terkulai,
gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam,
pecah dalam gelegar halilintar,
sendiri kita melintasi hidup di seberang maut,
tak ada lagi aroma parfum dari perempuan yang berseliweran,
alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana,
segalanya lenyap dalam degup jantung
32.000 kaki di atas masalembo,
kita pun berbalik arah,
memilih hidup yang semu,
ketimbang maut yang abadi.
Surabaya-Makasar, 23 Desember 2004

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih42
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih43
| Darwin Badaruddin
PRASASTI
Entah siapa,
datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup
air sungai mengalir,
tiada henti,
karena hidup memang harus patahkan ranting-ranting
yang menghalangi setiap langkah,
menuliskan makna,
bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup.
entah siapa,
menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam,
dan malu-malu memetik cinta
dari mimpi yang tersisa.
Polewali 20 januari 2005
LANGIT
teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru, tempat kita
pernah menyimpan bara api dan buah khuldi, menuangnya dalam
cawan bersama anggur dan aku mencarimu hingga ke arsy tak
bertepi.
esok mungkin engkau akan pulang dan mencari mata air yang
pernah kita gali, membenamkan cinta kasih di dasar danau,
lalu diam,
sejak itu aku tahu matamu sembab dalam bait-bait sajak,
kenangan telah kita kuburkan di sini,
di langit tak bertepi.
Polewali, 28 Januari 2006

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih44
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih45
| Darwin Badaruddin
BOUGENVILLE
Pernah kusimpan setangkai bogenville di belakang rumahmu
dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya,
menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan
lagu asmara dari mimpi-mimpi panjang.
Kini bogenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma
menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni, dan kita
pun sepakat mengakhiri mimpi.
Polewali, 5 Pebruari 2006
BERI KAMI SEKOLAH
Beri kami sekolah meski tanpa dinding dan bangku
karena kami telah mengenal angin dari segenap penjuru ketika
duduk disela bebatuan,
Beri kami sekolah meski tanpa guru berhitung
karena kemiskinan telah mengajarkan kami bagaimana mengenal
angka dan menghitungnya dari hari ke hari
Beri kami sekolah agar kami dapat belajar tentang ketiadaan yang
menyesakkan dada,
agar di lereng ini kami bisa memilih:
menanam padi ladang atau menganyam harapan.
Beri kami sekolah,
agar kami bisa menyeruak kegelapan,
meski dengan obor yang kian redup.
Polewali, 2006

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih46
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih47
| Darwin Badaruddin
PEREMPUAN ITU MENEMUI TUHANNYA(Catatan harian seorang anak)
Perempuan itu melahirkan tujuh orang anak, berangkat menemui
Tuhan-Nya di pagi buta. Sesaat sebelum menghembuskan
nafasnya yang terakhir, perempuan Perkasa itu menuntaskan
sujud Tahajjud terakhirnya. Wajah damainya mengulum senyum,
meninggalkan waktu dan kehidupan duniawi yang semu.
Ia “PERKASA”, bukan karena semasa hidupnya ia memanggul
senjata, atau berdiri tegap menghadang sang Penjajah ketika
umurnya masih belia. Tidak...dan Bukan itu. Tapi...ia perkasa
karena telah berhasil menuntaskan baktinya sebagai Ibu bagi
anak-anaknya. Betapa tidak....ketika cintanya tumbuh merona
bersama suami yang dicintainya, tiba-tiba ia harus berhadapan
dengan kenyataan untuk ditinggalkan oleh seorang suami sebagai
kepala rumah tangga.
Awalnya....ia bagai tersungkur menemui kenyataan getir itu,
tapi anak-anaknya sedang berlari mengejar cita-cita mereka. Ia
pun kemudian tengadah, memandang ke langit masa depan.
Hidup tak sampai disini, ujarnya di tengah matanya yang
sembab. Dirajutnya satu demi satu benang-benang kusut yang
membelenggu diri dan anan-anaknya, dia merawat anak-anak
titipan suami dan Tuhannya. ia merangkai doa-doa dalam sujud
malam dan pagi, ia menangis dalam taubatnya, ia terus mencari
benih-benih kehidupan yang halalan thoyyiban bagi anak-
anaknya.
Kini, Perempuan perkasa itu tiada lagi. Ia berangkat menemui
Tuhannya, ketika anak-anaknya tertidur lelap.
(Ibu.....maafkan...aku tak sanggup menulis banyak untukmu,
jujur...aku tak seperkasa kamu)
Polewali, 29 April 2009

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih48
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih49
| Darwin Badaruddin
MI’RAJ
malam itu tak ada kata yang bisa terangkai dan cahaya gemintang
merangkulnya dalam senyap,
lelaki itu menjadi tamu agung para nabi di gerbang langit merajut
rindu,
dan ia pun bergegas menapak waktu,
tak terhitung.
malam itu tak ada yang sanggup menebar wangi langit,
merebak mengiring cahaya di atas cahaya,
wahai….lelaki itu bersimpuh,
mengeja takbir dalam sujud, ruku’ dan tuma’nina,
dalam cinta tiada tara.
dan ketika jubah fajar tersingkap,
lelaki itu kembali ke biliknya yang sepi,
mengulang takbir,
sujud,
ruku’
tuma’nina,
dan menitipnya pada zaman.
Polewali, 20 Juli 2009
SKETSA SANDEQ
dengan sandeq
aku mengenalmu di antara cericit burung laut,
dengan sandeq aku kirimkan mantra-mantra cinta,
kutitip lewat syair badai teluk mandar,
dan menyimpannya di setiap butir pasir.
dengan sandeq
aku melamarmu menjadi darah daging dan belahan jantungku,
negeri kita kujadikan mahar tak ternilai
hingga ke tepi zaman.
dengan sandeq
aku teteskan cinta ke dalam rahim sukmamu
yang kelak akan melahirkan anak-anak laut
yang candanya pecah di hempasan ombak
dengan sandeq
kelak aku akan mengajakmu pulang
ke rumah tuhan
Polewali, 2 Agustus 2010

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih50
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih51
| Darwin Badaruddin
DOSA
susah payah kuseka darah yang menetes
di sajadahku
entah darah siapa
atau mungkin darahku sendiri yang nadinya pecah
karena tak kuasa mengurai dosa
tapi aku ingin sujud Tuhanku,
ajarkan aku makna kesunyian langit
yang akan kulafadzkan dalam tasbih berkali-kali
meski tak pernah lalai
aku melupakan-Mu
Polewali, 2 Nopember 2010
DOA PENYAIR KAMPUNG
Surau ini masih seperti dulu
dindingnya kusam
di sini aku pernah meminangmu pada Tuhan
maharnya hanya selembar sajadah kusam
tapi langit terus meneteskan hujan
dan menyimpannya
di danau
di sisi surau.
Aku hanya bisa melahirkan anak-anak kita
dari kata-kata
mengasuhnya menjadi puisi
karena impianku menjadi penyair tak pernah pupus
meski tak bisa membedakan
do’a dan puisi
karena doaku untuk langit
karena puisiku untuk langit
karena langit selalu ada
untuk kita.
Polewali, 2010

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih52
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih53
| Darwin Badaruddin
DOA SEORANG PELACUR
Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat
lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya,
mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku
ke gerbang pesantren.
Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan
meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi.
Malam ini,
Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan
oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku
yang tak pernah kuberi nama.
Tuhanku.....!,
Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong
beri aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah
kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada
semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku
berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya.
Tuhanku....!,
Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong
jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa
aku ingin mencintai-Mu,
tapi jazadku berlumur nanah.
Tuhanku....!,
Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu,
akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering,
yang terus menyimpan bayang bulan purnama,
sedetik saja,
meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku,
karena kutahu :
cinta ibuku,
adalah serpihan cinta-Mu.
Polewali, 2010

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih54
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih55
| Darwin Badaruddin
ALIF
I ?I ?I ?kutanya apapada siapa alif menghadap langitalif menghujam bumialif di langit alif di bumi alif di bulan alif di awanalif di lautalif di ombak alif di daun alif di semut alif di baraalif di salju alif di tawa alif di tangisalif di makkah alif di mandar alif di mana saja tapi alif masih juga satutidak beranaktidak diperanakkanbahkan oleh alif sendirikarena alifsegala sebab.
Polewali, 10 Nopember 2010
PUISI CINTA
Dulu
perempuan itu menyematkan kembang di rambutnya
tergerai hingga ke bahunya yang lancip
menebar aroma cinta,
dan malam ini,
ketika rambut perempuan itu kubelai,
beberapa helai rambutnya mulai memutih,
kuhitung bersama waktu
aroma cinta itu masih lekat,
tapi waktu semakin renta :
(kekasih...
biarkan lampu pijar itu terus menyala
menemani kita ke batas fajar).
Polewali, 13 Oktober 2010

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih56
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih57
| Darwin Badaruddin
PESTA MALAM BERSAMA FIR’AUN
berapa banyak fir’aun yang membangun singgasananya di sini
singgasana bagi pesta anggur di malam pengantin
yang bakal menyisakan mimpi di kelopak bunga
mimpinya sendiri
berapa lama fir’aun akan duduk di sini
menghitung pelangi pucat pasi yang warnanya tak perawan lagi
karena telah direnggut oleh malam
malamnya sendiri
berapa lagi fir’aun yang bakal lahir dari rahim tanpa tali pusar
yang menyambung ikrar :
qolu bala syahidna
karena tuhan-tuhan mereka telah datang menuang anggur
anggurnya sendiri.
Polewali, 2010
ATAS NAMA NYANYIAN(kepada bunda Cammana*) atas nama nyanyian,
ada yang datang berkali-kali membawa dukanya
duka bulan yang kesepian
bertahun-tahun melukis bayangnya sendiri
di pasir sambil menunggu perahu yang telah membawa
kekasihnya entah ke mana
atas nama nyanyian,
ada yang tak pernah datang
tapi rindunya melekat di dinding-dinding waktu
menghitung purnama
di atas bukit dekat rumahmu.
atas nama nyanyian,
ada yang akan datang menemuimu
membawa rebana tua yang bakal menemani tidurmu
menyeruak dari belukar zaman yang terhampar luas
membawa cahayanya
yang menerangi hening

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih58
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih59
| Darwin Badaruddin
di gunung,
di hulu,
di sungai,
di batu,
di muara,
di laut,
di ombak,
di pohon,
di daun,
di sujud,
di puncak hening,
lengking suaramu,
getarkan rindu,
berabad-abad.
Polewali, 2010
*) Bunda Cammanaq adalah penabuh rebana perempuan dari Limboro, Polewali Mandar yang pada tahun 2010 telah ditetapkan sebagai Maestero seni tradisional rebana oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia
SAJAK PENDEK BUAT KIKIM KOMALASARI
pahlawan itu mati di medan perang
melawan sumpah serapah
menemui Tuhannya di tong sampah.
Polewali, 19 Nopember 2010

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih60
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih61
| Darwin Badaruddin
BULAN RINDU
bulan rindu
menghias malam-malam yang bopeng
luka lama
bertahun-tahun
sengaja kusimpan
karena aku lebih pintar dari pada pikiranku sendiri
bulan rindu
nyanyian madu
sayup-sayup mengitari langit ketujuh
menghitung berapa banyak goresan kuku iblis
gurat luka
bertahun-tahun
bulan rindu
bulan para nabi
yang menitip lapar di kampung-kampung para penyair
duka lama
duka lara
tanpa puisi
bulan rindu
bulan cinta :
dua orang lelaki menghunus badik
membunuh dendam
dengan tikaman yang sama
di malam yang sama
Polewali, Desember 2010
KUN FAYAKUUN
jadilah mata air dari kun
karena fayakuun maka jadilah air mata
jadilah hulu dari kun
karena fayakuun maka jadilah muara
jadilah asal dari kun
karena fayakuun maka jadilah akhir
jadilah fira’aun dari kun
karena fayakuun maka jadilah musa
jadilah maryam dari kun
karena fayakuun maka jadilah isa
jadilah hati dari kun
karena fayakuun maka jadilah cinta
jadilah tanah dari kun
karena fayakuun maka jadilah tubuh

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih62
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih63
| Darwin Badaruddin
jadilah angin dari kun
karena fayakuun maka jadilah ruh
jadilah api dari kun
karena fayakuun maka jadilah nafsu
jadilah air dari kun
karena fayakuun maka jadilah darah
jadilah sepi dari kun
karena fayakuun maka jadilah waktu
jadilah nur dari kun
karena fayakun maka jadilah muhammad
jadilah muhammad dari kun
karena fayakuun maka jadilah semua
Polewali, 24 Nopember 2010
BATU
ada batu seperti hati
ada hati seperti batu
batu seperti hati tempatnya di etalase
hati seperti batu tempatnya di comberan
batu di kuburan
nisan namanya
batu di kali
batu kali namanya
batu di laut
batu karang namanya
batu di palestina
intifada namanya
batu di ka’bah
hajar ashwad namanya
batu di etalase
permata namanya
batu di ginjal
batu ginjal namanya
batu dibakar
batu bata namanya

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih64
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih65
| Darwin Badaruddin
batu di mina untuk melontar jamarat
melontar nafsu
melontar dosa
batu di kampus untuk melempar polisi
batu menerkam polisi
polisi menerkam demonstan
batu
membatu
batu
membuta
batu
buta
karena batu tak punya mata
tak punya hati
karena hati yang batu
tak punya mata
buta hati
buta
hati
buta
batu
Polewali, 2010
APRESIASI
jj

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih66
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih67
| Darwin Badaruddin
dapat berbahaya jika “Intuisi” pribadi mengarah pada “apresiasi”
yang bersifat emosional hingga hasil akhir berujung pada subyektivitas
total. Penekanan pada individualitas dan keunikan karya sastra
– walaupun merupakan reaksi sehat terhadap kecenderungan main
generalisasi – dapat membuat orang lupa bahwa tak ada satu karya
sastra pun yang seratus persen “unik”.
Perlu diingat bahwa setiap karya sastra pada dasarnya bersifat
indiviual dan sekaligus bersifat umum. Individual yang dimaksudkan
tidak sama dengan unik atau khusus. Seperti setiap manusia – yang
memiliki kesamaan dengan umat manusia lainnya, dengan sesama
jenisnya, dengan bangsanya, dengan kelasnya, dengan rekan-rekan
seprofesinya.
Sastra tidak memakai sistem tanda tunggal untuk menyampaikan
secara konsisten suatu sistem abstraksi. Tapi obyek dan tanda dalam
puisi dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem di
luar puisi. Begitu pula halnya dengan Darwin Badaruddin dalam
Antologi Puisi “Potret Hitam Putih”.
II
Cara dan atau Pencitraan yang bisa diartikan sebagai reproduksi
mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan
persepsi. Pencitraan tidak selalu bersifat visual. Pencitraan ada yang
berkaitan dengan cita rasa pencicipan, penciuman, serta suhu dan
tekanan (gerak, sentuhan, dan rasa empati). Pada sisi lain pencitraan
juga bisa sebagai analogi dan perbandingan. Ezra Pound menjabarkan
citra bukan sebagai gambaran fisik, melainkan sebagai “sesuatu yang
dalam waktu sekejap dalam menampilkan kaitan pikiran dan emosi
yang rumit”. Suatu penggabungan ide-ide yang berlainan.
Aku-lirik dalam “Potret Hitam Putih” dengan jeli memanfaatkan
pencitraan sebagai perwujudan dari kehalusan cita rasa penciuman
Di antara Harapan dan Kecemasan Darwin Badaruddin dalam Antologi Puisi Potret Hitam-Putih
Oleh : Drs. Subriadi Bakri*)
I
BAGAIMANAKAH menelaah karya sastra secara ilmiah? Apakah
bisa? Kalau bisa, bagaimana caranya? Salah satu jawaban yang pernah
diberikan adalah dengan menerapkan metode yang dikembangkan
oleh ilmu-ilmu alam pada studi sastra. Misalnya, sikap-sikap ilmiah
seperti objektifitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat, yang biasanya
hanya terbatas pada pengumpulan fakta-fakta yang netral saja.
Usaha lain adalah meniru metode genetik melalui studi sumber, dan
kausalitasnya. Dalam prakteknya memperbolehkan penelusuran
hubungan apa saja, asalkan bersifat kronologis. Kausalitas ilmiah
semacam ini digunakan untuk menjelaskan fenomena sastra dengan
mengacu pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik.
Pada dasarnya, secara ekstrim ada dua cara yang bisa ditempuh
untuk menelaah karya sastra. Pertama, mengikuti pola ilmiah
dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta yang berkaitan dengan
karya sastra itu. Kedua, adalah menekankan subyektivitas dan
individualitas, serta keunikan karya sastra itu. Cara yang kedua ini

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih68
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih69
| Darwin Badaruddin
sebagaimana yang tergambar dalam puisi yang berjudul “32.000
kaki di atas Masalembo”;..........................gumpalan awan membenamkan nyali dalam gelap malam,pecah dalam gelegar halilintar,sendiri kita melintasi hidup di seberang maut,tak ada lagi aroma Parfum dari perempuan yang berseliweran,alangkah malangnya kita yang kerap terpasung fatamorgana,segalanya lenyap dalam degup jantung,..........................
Dalam puisi yang berjudul “Prasasti”, dengan sangat apik,
Aku-lirik, mengemas imaji penglihatan dan pendengaran dalam
konstruksi daya ungkap yang padu;Entah siapa,datang menembus kabut pagi dalam nyanyian sayup-sayup air sungai mengalir,tiada henti,karena hidup memang harus patahkan ranting-rantingyang menghalangi setiap langkah,menuliskan makna,bahwa maut tak pernah tinggalkan hidup.Entah siapa,menoreh prasasti lalu bersembunyi dalam gelap malam,dan malu-malu memetik cintadari mimpi yang tersisa
Barangkali Aku-lirik beranjak dari pemikiran tentang
ketidakjelasan prinsip dasar matra dan masih bayaknya terminalogi
yang kacau sehingga dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih”,
Aku-lirik sepertinya mengabaikan eksistensi matra sebagai salah
satu elemen penting susunan puisi sebagaimana yang diungkapkan
oleh Coleridge dalam “Biographia Literaria” bahwa ada dua prinsip
yang mendasari susunan sebuah puisi, yaitu matra dan metafora. Di
sisi lain, puisi kontemporer kerap menisbikan eksistensi penyusunan
baris sajak yang berkaitan dengan ukuran jumlah, panjang, atau
tekanan suku kata seperti pada puisi-puisi lama yang kerap diajarkan
di bangku-bangku sekolah.
Antologi puisi “Potret Hitam Putih” yang ditulis oleh Darwin
Badaruddin meskipun sangat akrab dengan pemakaian personifikasi,
hiporbola, eufimisme, serta metonimia, ia tak melupakan unsur
metafora sebagai sebuah perlambang yang bertujuan membandingkan
atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lainnya yang berbeda
karakter dan bentuk – dengan stylishnya yang estetis ia munculkan
dalam puisinya yang berjudul “Sketsa Parang Tritis (episoe I)”: di atas kanvas biru pantai laut selatan,kutarik garis putih tegak lurus menembus cakrawala,dan menghempas di dinding-dinding karang, menebar bersama butiran pasir,hilang, entah ke mana.
Seperti citra atau imaji, simbol muncul dalam konteks yang
sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol
adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika,
dan epistomologi. Dalam teori kesusastraan, simbol digunakan
sebagai obyek yang mengacu kepada obyek lain, tetapi juga
menuntut pada dirinya sendiri sebagai sebuah perwujudan. Untuk
antologi puisi “Potret Hitam Putih” agak sulit menemukan simbol
yang jelas terebab memang ada kecenderungan jika citra dipertajam
melalui metafora dan metonimia maka perwujudannya akan hampir
sama dengan simbol. Aku-lirik menggunakan “simbolis pribadi”
sebagaiman halnya yang dilakukan oleh penyair modern lainnya.
Berikut beberapa puisinya menggambarkan hal itu.
1. Biarkan DzikirkuBiarkan dzikirku mengembara bersama angin,Menuju negeri tanpa tirai, menusuki dinding-dinding waktu,Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandang
.......................................................................

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih70
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih71
| Darwin Badaruddin
2. Dalam Diam Stupa BorobudurDalam diam arca,Kubaca kesetiaan abadi meski terpanggang matahariKupersembahkan sesaji pertanyaan ;Siapakah yang menyimpanmu di sini?Dalam diam stupa,Kusentuh jemarimu bersama sukma angin Yang telah membawaku ke sini.
3. Langit Teramat jauh tangan menggapai bayang-bayang biru,Tempat kita pernah menyimpan bara api dan khuldi,Menuangnya dalam cawan anggurDan aku mencarimu hingga ke arasy tak bertepi..........................................................................
Aku-lirik dengan jeli memilah dan memilah diksi alam, budaya,
dan lingkungan secara cermat sebagai perwujudan cita rasa yang
estetis. Meskipun demikian, dalam konteks diksi sebagai pilihan kata
yang berkolerasi dengan semantik dan semiotika, Aku-lirik mungkin
terdorong oleh keinginan menuntaskan informasi, membuat
beberapa larik dari beberapa puisinya jadi kehilangan daya sugesti
dan imajinatif. Pada puisi yang berjudul Antara Bukit Safa dan
Marwah, bait ketiga Antara Bukit Safa dan Marwah / terjerat aku
dalam nikmat jaring putih. Bukankah Aku-lirik berpakaian serba
putih ketika berlari-lari kecil di antara bukit Safa dan Marwah? Dan
ketika “Sang Terdamba” telah begitu dekat, bukankah ada nuansa
kenikmatan yang menggeliat?
Begitu pula halnya pada puisi yang berjudul Jakarta. Larik
ketiga serasa mengganggu tersebab idiom-idiom yang seyogyanya
melahirkan keluasan interpretasi dan apresiasi justru jadi terbatas
pada keberadaan ruang dan waktu. Jika idiom alam berupa bintang
telah memberi keluasan nilai, mengapa harus mengekangnya dengan
sudut kamar?
III
Jika ditilik dari cara bertutur puisi-puisi Darwin Badaruddin
dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” maka terlihat
kecenderungan bersifat lirik-naratif. Dalam puisi liris, kita seringkali
hanya berhadapan dengan citra-citraan, bayang-bayang, gambar
imajinatif yang tidak jelas acuan maknanya, tetpi suasana tertentu bisa
kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran
pada setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan
namun amat terasakan. Bukankah kita seringkali merasakan sesuatu
yang tak bisa terkatakan? Misalnya, puisi Darwin Badaruddin yang
berjudul “Karebosi” berikut ini (Antologi Puisi “Potret Hitam
Putih”, 2010:1);Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu,menembus kegelepan,meneteskan amarah di sudut jalan,sumpah serapah,lalu tertidur pulas,menikmati khianat sepotong pizza.
Terhadap puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap
pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan
pertanyaan (“Subagio Sastrowardoyo”, 1982:218);
...apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan
tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang dan angan-
angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan
tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surrealisme, seperti
mimpi yang tidak mampu memberi makna?
Masalah kualitas atau kematangan puisi memang tidak
bergantung pada masa penulisan, juga kemampuan mengaplikasikan
segala fenomena sekitar. Puisi adalah puisi, ia bertutur – bertindak
– bersikap melampaui segala yang bernama indikator, bahkan
linguistik yang menjadi mediumnya tak dapat memenjarakannya

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih72
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih73
| Darwin Badaruddin
dalam kaidah kebahasan. Itulah sebabnya, dengan enjoynya puisi
memanfaatkan semiotika dalam wujudnya tanpa peduli apakah
bentuk idiom dalam metafora, eufimisme, simbolisme, alegori, dan
berbagai bentuk majas lainnya yang digunakan telah klop dengan
pemahaman dasar sebagaimana yang berlaku secara umum.
Pada awalnya saya berpikir akan bertemu dengan sejumlah
puisi yang banyak menyuarakan denotatif maupun konotatif soal
keganasan laut, desiran ombak, keperkasaan nelayan, kegigihan
perempuan-perempuan marginal, bahkan keindahan panorama
bahari sebagaimana letak geografis yang menjadi tempat kelahiran
sang penulis.
Aku-lirik dalam antologi puisi “Potret Hitam Putih” meskipun
di hampir seluruh puisi-puisinya meneriakkan lagu tentang cinta
dan kerinduan bahkan nyeletuk tentang religi tetapi terasa Aku-lirik
seolah terjebak di antara harapan dan kecemasan. Harapan pada
suatu kondisi yang dapat menenggelamkan jiwa pada kedamaian.
Damai bagi diri, damai bagi lingkungan, dan damai bagi negeriku.
Harapan aku-lirik secara tersirat dikemas oleh penyair dalam puisi
berjudul “Samudera” :
SAMUDERAdi sini telah kuteteskan air matamembentang samudera menggenang rindukubiarkan lelah jadi aromabagi dosa-dosaku,dan aku bermain dalam badaibatu hitamdalam semerbak cinta,berikan aku samuderayang akan kualirkan ke muara tak bertepitak pernah sepikarena sepi telah dilumat api
dan terkubur dalam terik.Samudera itu membawaku dalam badai puisitak bertepihkantiada hentihanyut dalam tawaf
Pada sisi yang lain, ada kecemasan pada realitas kekinian di mana
hampir tak ada lagi belahan lain dari bumi ini yang tidak terkoyak
oleh ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidaklainnya
yang masuk di ranah nilai kebaikan dan keagungan yang seharusnya
menjadi acuan makhluk Tuhan yang diberi amanah sebagai khalifah
mulia yang bernama manusia. Hampir tak ada lagi tempat berpijak
yang tak tersentuh oleh kemaksiatan.
Kecemasan Aku-lirik pada segala hal yang kini mengoyak
nurani kemanusiaan membuat penyair mencari tahu bahkan
berupaya mencari solusi alternatif, kendati pada akhirnya Aku-lirik
menyadari bahwa kita telah kehilangan segala-galanya. Marilah
kita nikmati harapan dan kecemasan penyair dalam puisinya yang
berjudul; “Kita Telah Kehilangan” berikut ini :
KITA TELAH KEHILANGANSatu saja yang tersisa hari ini,kita telah kehilangan.
Kezaliman telah mencabik cakrawala,bulan pecah di atas ubun-ubunsedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat teregukhingga tetes terakhir ;kita telah kehilangan.
Dengan apa membangunkan tulang-belulang para patriot,yang dengan gagah perkasa mengoyak tirani,bukan memangsa daging saudara sendiri ;kita telah kehilangan.

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih74
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih75
| Darwin Badaruddin
Ke manakah denting kecapi yang mengiringi nyanyian anak-anak nelayan,ketika ombak masih setia memainkan buih,ketika tangan dan wajah kita masih terbasuh cinta kasih,ketika persatuan belum dibumihanguskan,ketika sajak-sajak masih punya aksara,ketika anak-anak kita belajar tentang budi pekerti,ketika mahasiswa sibuk di ruang praktikum,ketika wajah kita belum pucat pasi ; kita telah kehilangan.
Dengan apa harus menyembuhkan jiwa raga yang terkoyak,oleh perang saudara dan ledakan bom, sementara sukma kita dibubuhi racundan benih-benih kematian.
Satu saja yang tersisa hari ini ;Kita telah kehilangan.
Polewali, 2 Nopember 2002
Saya ingin menutup uraian ini dengan mengutip satu puisi
Darwin Badaruddin yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan
kecemasan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan
perasaan dengan realitas kekinian, dan khususnya kecemasan dalam
mengontrol dan memilih diksi yang tepat. Dengan kecemasan
itulah puisi senantiansa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi
dengan demikian tampaknya bukan terutama untuk menyampaikan
makna, pesan, atau amanat. Kalau lukisan dan musik tidak
bertugas menyampaikan pesan dan amanah, kenapa puisi harus
memikulnya?
MIMPI
Gaun merahmu kusingkapDan aku mengembara di atas padang pasirMenebar kesenyapan dalam gelora badaiMengejar fatamorgana(Jakarta, 12 Juli 2003)
Sekian....tabeq diii.... Campalagian, 13 Nopember 2010
*) Drs. Subriadi Bakri, lahir tanggal 17 April 1963 di Polmas, Alumni IKIP Ujung Pandang pada Fakultas Bahasa dan Seni. Dengan nama samaran Asriadhy JH-JR, pernah aktif menulis diberbagai media cetak seperti; Pedoman Rakyat, Harian Fajar, Horison Sastra, Sarinah dalam bentuk artikel, esai, cerpen dan puisi. Bersama Sri Musdikawati dan teman-teman alumni SMA Negeri 1 Polewali menerbitkan tabloid “Banniq”. Kini bertugas sebagai penanggungjawab kolektif pada SMA Negeri 1 Alu Kabupaten Polewali Mandar

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih76
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih77
| Darwin Badaruddin
Potret Hitam Putih Darwin Badaruddin
Sebuah InterpretasiOleh: Ety Sabaryati D. Palontjongi*)
LELAKI kekar paruh baya itu lahir di tengah lingkungan yang buta-
tuli ilmu kesastraan, miskin spirit, papah motivasi. Ia membesarkan
diri di lingkungan yang tak pernah melazimkan penghargaan untuk
sebuah karya sastra dalam bentuk apapun.
Tapi, apapun itu, Antologi puisi Potret Hitam Putih karya
Darwin Badaruddin (DeBe) seakan tak terbendung untuk lahir dari
perkawinan sukma religius dan balada romantik. Sungguh renyah
untuk konsumsi nurani yang haus akan perenungan dalam.
Puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya.
Setidaknya inilah kesan awal yang saya temui pada sosok penciptaan
kinarya DeBe. Sajak-sajak Debe adalah sajak nada rendah nan
sarat makna tersirat yang dibaptis dari tuturan sehari-hari yang
dipadatkan. Sehingga menjadi sebuah idiom yang sangat menarik
lagi sarat makna. Semua dironceh dan disajikan dalam bahasa yang
sederhana dan tidak berbelit belit. Cetusan-cetusan emosi kalbunya
seakan mengalir lebih deras lagi tatkala raganya tanpa sadar
berada di suatu tempat, ruang dan waktu tertentu, sebagai bukti
mari kita simak judul karyanya yang bertajuk “Karebosi”, “32.000
kaki di atas Masalembo”, “Tobatku di atas Toba”, Antara Bukit
Safa & Marwah”, “Dalam Diam Stupa Borobudur”, “Di Mamasa
Kutemukan satu detik”. Setidaknya Inilah rahasia karakter seorang
DeBe yang dapat saya tukil dari perjalanan singkat membedah karya
ini.
Persoalan sastra adalah persoalan manusia di dalam menghadapi
kehidupan ini, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat. Inilah yang terkadang dapat menyebabkan kita lupa
apa yang sedang terjadi. Pengalaman dalam menghadapi kehidupan
ini sangat menarik, demikian juga yang terjadi dalam diri DeBe,
terkesan seakan mengalami goncangan-goncangan hebat dalam
mengarungi kehidupan. Puisinya seolah lahir dari rentetan gumam
yang ditulis tanpa memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras
atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru lebih mewakili penggambaran
suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras atau kesibukan di
luar. DeBe memilih diam dan memenangkan diam sehingga lebih
nampak sebagai sebuah misteri atau rahasia kehidupan pribadinya.
Seperti yang tersaji dan sangat terasa dalam puisinya yang berjudul
“Guruku Bernama Wulan”, “Di Mamasa Kutemukan Satu Detik”,
“Mimpi”, dan “Jakarta”.
Puisi dan pengalaman DeBe seakan menyadarkan dan
menggiring kita mengarungi aspek aspek kehidupan yang mungkin
belum pernah kita rasakan atau alami ataupun jika pernah kita
rasakan, hal itu tidak sedalam apa yang disampaikannya, penuh kias
dan pengandaian tingkat tinggi.
Perhelatan potret hitam putih dalam kehidupan DeBe pun
melahirkan puisi-puisi religi, gambaran-gambaran yang memberi
kesan gerak terasa mempunyai arti imajinal tentang ketidakpastian
dan kefanaan seperti yang terasa ketika mencoba menggerayangi
rentetan puisinya yang berjudul ”Terminal”, “Maut”, “Sunyi”,
“Rahasia”, dan “Dosa”. Makna yang sangat mendalam, dalam
kebeningan intuitif menangkap hidup dalam helaannya..

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih78
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih79
| Darwin Badaruddin
Secara umum, Antologi ini terbilang sukses mewakili rasa
pengarangnya, sehingga hampir tak terdapat cela. Sebagai masukan
untuk kinarya DeBe selanjutnya mungkin tak ada salahnya jika
dalam menyusun halaman demi halamannya kiranya berpedoman
pada proses kejadian atau waktu lahirnya puisi per puisi sehingga
aliran lava kreatifitas bersastra penulis dapat lebih berkesan teratur
dan sistematik hingga sanggup makin menghayutkan pembacanya
ke ruang-renung masing-masing.**)
Akhirnya, Selamat datang untuk sebuah karya baru, ini adalah
salah sebuah bentuk sumbangsih bagi geliat dunia sastra khususnya
di Sulawesi Barat. Diharapkan karya ini mampu menjadi perangsang
bagi tumbuhnya karya-karya baru demi meramaikan kancah
dunia susastra. Untuk kemudian dikemas lebih apik dan lux lalu
diterbit-edarkan sebagai suplemen kurikulum alternatif bagi dunia
pendidikan dan konsumsi umum.
*) Ety Sabaryati D. Palontjongi, salah satu tenaga edukatif SMA Negeri 1 Polewali,Jadi PNS sejak thn 1999. Lahir di Polewali tanggal 26 April 1975, SD (1987), SMP (1990). SMA (1993), IKIP Ujung Pandang sekarang Univesitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan, Bahasa dan Sastra Indonesia tamat 1997, pernah mengikuti lomba menulis cerpen, cerita rakyat yang diselenggarakan Balai Pusat Bahasa, sebagai salah satu tim Balai bahasa Ujung Pandang pada program pemetaan bahasa daerah dan gerakan cinta bahasa Indonesia untuk wilayah Sulbar. Karya : Jerigen Tak Bertutup (cerpen) Untuk apa Aku Menutup Aurat (cerpen). Jelagah (cerpen) Perempuan (antologi Puisi) nyanyian Jiwa (antologi Puisi). Dialek Pattaeq (penelitian bahasa) Dialek Pannei (penelitian bahasa) Dialek Dakka (penelitian bahasa), dialek Jawa Trans (penelitian bahasa).
**) usulan telah diakomodir
Potret Hitam-Putih;
Sisi Lain Darwin BadaruddinH. Mahyuddin Ibrahim*)
MENCENGANGKAN....!! sepenggal kata itu terucap tanpa saya
sadari pada saat memulai membuka dan menyimak satu demi satu
rangkaian puisi yang tertulis dalam Antologi Puisi “Potret Hitam-
Putih” karya Darwin Badaruddin.
Mencengangkan bagi diri saya, karena jujur saya katakan sosok
Darwin Badaruddin belum lama saya kenal, sehingga pemahaman
saya terhadap beliau dan segala yang terpendam dalam dirinya masih
sangat terbatas. Kesan yang mendalam selama saya mengenal beliau
sosok Darwin Badaruddin memeiliki banyak kelebihan, supel dan
gampang bergaul, pribadi yang humoris serta enak diajak bicara dan
diskusi. Tapi ternyata di balik kelebihan-kelebihan yang beliau miliki
masih tersimpan kelebihan lain seperti potensi seni yang luar biasa
khususnya seni sastra yang langka dilahirkan di jazirah Mandar.
Saya tidak dalam kapasitas untuk menilai puisi-puisi beliau
di mana kelebihan dan kekurangannya termasuk membandingkan
dengan karya orang lain, tapi yang pasti sosok Darwin Badaruddin
memiliki naluri seni yang tinggi, mengalir dari kekagumannya
terhadap keindahan dan fenomena alam semesta di manapun ia

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih80
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih81
| Darwin Badaruddin
berada, kecintaannya terhadap sesama, keyakinannya terhadap
hukum sebab-akibat, serta ketaatannya terhadap agama dan
Tuhannya, semua terangkai menjadi penyejuk bagi dunia sastra
yang telah lama gersang di Jazirah ini, karena dalam kurun waktu
yang begitu lama tidak pernah lagi melahirkan seorang sastrawan.
Menjadi sastrawan membutuhkan jalan yang panjang, tapi bukan
mustahil seorang sastrawan lahir kembali di Jazirah Mandar lewat
sosok Darwin Badaruddin dan bila hal itu menjadi kenyataan saya
berharap jangan lahir hanya sebatas menjadi kebanggaan saja tapi
jadilah kebanggaan yang terbungkus rasa memiliki lewat interaksi
sosial dan karya yang sarat dengan suasana ke-Mandar-an.
Polewali, 12 Nopember 2010
*) H. Mahyuddin Ibrahim, Inspektur Inspketorat Kab. Polewali Mandar
Potret Hitam-Putih KehidupanHalimah*)
BERBAGAI macam rasa bisa muncrat dalam puisi. Sedih, kecewa,
marah, gelisah, getir, gembira, bahagia, cinta, dan sejenisnya sudah
biasa kita temukan dalam puisi. Tidak berlebihan rasanya bila
sejarah puisi, karya sastra umumnya, adalah sejarah kesedihan,
kekecewaan, kemarahan, kegelisahan, kegetiran, kebahagiaan umat
manusia ketika bersentuhan dengan dunia di dalam dirinya maupun
dunia sekelilingnya. Puisi adalah suara penyair, suara zaman yang
memantulkan berbagai potret suatu zaman, mungkin potret itu terang
benderang, remang-remang, sedikit mencong, zig-zag, tumpang
tindih, terbalik, bahkan jungkir-balik berhadapan dengan realitas di
sekitarnya. Pada titik ini, selain menikmati kreativitas bahasa, ruang
dalam diri penyair, membaca puisi bisa jadi merupakan kegiatan
membaca kondisi masyarakat dan perjalanan sejarah suatu tempat.
Sekurang-kurangnya Antologi Puisi “Potret Hitam-Putih” karya
Darwin Badaruddin (selanjutnya disebut penyair) memperlihatkan
gambaran suatu masyarakat dan karena kita sesungguhnya tengah
membaca masyarakat itu sendiri. Penyair dalam antologi puisinya
menyebut suatu tempat yang cukup dikenal, penyair menyebutnya
“Karebosi”, kemarahan dikatakannya begini /Menyaksikan kaki-kaki berdebu menerjang waktu/ menembus kegelapan/ meneteskan amarah

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih82
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih83
| Darwin Badaruddin
di sudut jalan/ sumpah serapah/. Seperti masyarakat kita sekarang
penuh kemarahan. Sedikit saja pemicu yang menimbulkan rasa
kecewa dalam dirinya, maka akan menumpahkan rasa kecewa itu
dengan kemarahan yang tiada tara, sumpah serapah. Tak siang, tak
malam, penuh pekik dan teriak, penuh kepal dan kata-kata yang
sebal dan kecewa, berkelahi dan berperang dengan saudara sendiri
telah menjadi kebiasaan.
Kondisi tersebut diperjelas lagi dalam puisi “Kita telah
Kehilangan”. Penyair mengungkapkan begini /kezaliman telah mencabik cakrawala/ bulan pecah di ubun-ubun/ sedang darah dan nanah menjadi begitu nikmat tereguk/ hingga tetes terakhir/. Sungguh suatu
gambaran masyarakat yang tidak diinginkan tentunya. Kita telah
kehilangan rasa persaudaraan, kekeluargaan, tolong-menolong, dan
cinta sesama yang telah diwariskan nenek moyang kita. Kehidupan
yang indah telah sirna. Semua itu kini berganti dengan rasa kecewa,
marah, sedih, dan getir tumpah ruah. Namun, kondisi tersebut
ternyata belum berakhir. Penyair masih menulis tentang “Maut”.
Itulah sebabnya penyair mengatakan /kepada siapa biduk kita tambatkan/ karena malam telah membenamkan sajak para penyair/ jalan panjang/ berliku/ luka/ tak juga sembuh/.
Semua yang terjadi tampaknya belum kunjung usai, kacau-
balaunya kondisi ternyata bak kiamat. Tak dapat lagi dilukiskan
dengan kata-kata manusia. Sehingga penyair mengungkapkannya
dengan “Qiamat”. /Air mata itu kemudian berubah menjadi danau yang/ menenggelamkan istri, anak, cucu, dan buyutnya/. Sungguh memilukan
dan memiriskan hati. Rasanya tak ada nestapa yang lebih pedih dari
perbuatan yang mengorbankan keluarga sendiri. Akankah kondisi
itu akan berlangsung lama dan terus menerus? Atau tak ada lagikah
ikhtiar yang dapat kita lakukan untuk membalik keadaan? Atau
siapakah yang dapat melakukan perubahan dan mampu menerobos
gelapnya malam hingga menemukan siang?
Suasana dan rasa kecewa serta marah yang mencekam tentu
tidak diinginkan untuk berlangsung selamanya, sehingga penyair
mengungkapkan perlu adanya pengakuan terhadap dosa-dosa
yang telah dilakukan. Seperti dalam puisi “Dosa” dan mengatakan /tapi aku ingin sujud Tuhanku/ ajarkan ku makna kesunyian langit/. Keinginan agar semua elemen masyarakat segera menyadari semua
kesalahan dan kekeliruan yang terjadi. Semua harus meninggalkan
kemarahan dan kegetiran berlarut-larut yang selama ini telah
dirasakan. Oleh karena itu, kita semua perlu “Mi’raj”. Sebagaimana
makna umum kata mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW.
untuk menerima shalat lima waktu. Mampu untuk menciptakan
kedamaian dalam diri dan lingkungan sekitar, kita harus kembali
memaknai kata mi’raj tersebut. Penyair mengungkapkan /mengeja takbir dalam sujud, ruku’, dan tuma’nina/ dalam cinta tiada tara/. Sungguh imbauan yang menyejukkan hati. Segala masalah tak perlu
diselesaikan dengan menumpahkan darah atau mereguk nanah dari
luka saudara sendiri. Hanya dengan kembali bersujud kepada Sang
Pencipta siang dan malam, kita dapat menghilangkan kekecewaan
serta kemarahan, dan selanjutnya akan menemukan cinta abadi dan
indah.
Ajakan penyair untuk bertobat juga terungkap dalam “Tobatku
di Atas Toba”. Penyair menyadari bahwa dalam hidup ada dua hal
yang memang tidak dapat dipisahkan, maut dan kehidupan, sedih
dan gembira, silih berganti.
Selain ungkapan kecewa, sedih, marah, getir, dan berbagai
ungkapan duka yang lain, dalam antologi puisi “Potret Hitam-Putih”
penyair juga masih mengungkapkan tentang sisi indahnya negeri ini.
Dengan menyebut beberapa tempat indah seperti Borobudur, Parang
Tritis, Malioboro, dan bunga indah bernama bougenville. Bahkan
dengan “Sketsa Sandeq”, penyair bercerita tentang keindahan Teluk
Mandar, keriangan anak-anak nelayan. Sungguh negeri yang indah.

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih84
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih85
| Darwin Badaruddin
Dan terakhir, antologi puisi ditutup dengan kenangan terindah
kepada “Ibu” yang telah menghadap Sang Khalik.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, segala yang
diungkapkan oleh penyair dalam antologi puisi “Potret Hitam-
Putih” lebih menggambarkan kondisi pada kehidupan masyarakat
yang lebih luas, meskipun puisi-puisi yang ada seakan-akan menjadi
potret perjalanan hidup pribadi penyair. Pemberian judul “Potret
Hitam-Putih” pun dinilai tepat karena telah menggambarkan sisi
hitam dan sisi putihnya kehidupan manusia dalam mengarungi
samudera hidupnya sampai menghadap kembali ke Penguasa
Alam.
Polewali, 30 November 2010
*) Halimah, S.Pd., M.Pd. Lahir di Soppeng, 31 Desember 1970, Pendidikan formal SD, SMP, SPG diSoppeng, S1 Bahasa Indonesia IKIP Ujung Pandang (1998), S2 Pendidikan Indonesia UNM Makassar (2006). Tahun 2000 mengajar di SMPN 4 Campalagian. Tahun 2008 mengajar di SMA Negeri 1 Polewali. Tahun 2009 menjadi Finalis Lomba Menulis Cerpen, yang diselenggarakan oleh Depdiknas.
Melawat ke Titik Singgah, Memasuki Ceruk PersonalOleh : Muhammad Syariat Tajuddin*)
DISEPAKATI atau tidak, setiap karya sastra yang terlahirkan
membutuhkan respon pembacaan untuk menangkap kelahirannya
tidak hanya sebagai sebuah kesia-siaan, sekaligus untuk memahami
kehadirannya sebagai sebuah momentum kelahiran yang padanya
bisa diurai rangkai prosesnya.
Selain itu, melalui respon pembacaan kita akan bisa memahami
deret jarak panjang ketelatenan dan beban keringat yang serba
melelahkan dalam mengawalnya menuju muara dan menemukan
nasibnya sebagai sejatinya karya. Dan sebagai amsal muara,
kelahiran karya adalah etape akhir sekaligus awal. Terlebih, jika
upaya menyatukan karya sastra yang terserak dalam sebuah buku
kumpulan puisi dapat disebut sebagai kegiatan “pengawetan”
karya.
Sampai disini, sebagai momentum kelahiran dan kehadiran,
setiap penerbitan buku karya sastra juga seyogyanya diamati sebagai
perayaan proses lepas pisah dari cangkang imajinasi pekaryanya
untuk segera menjadi milik publik. Disini perjalanan baru saja
diakhiri, tetapi sekaligus juga dimulai.

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih86
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih87
| Darwin Badaruddin
Sebagaimana karya sastra selalunya dipahami memiliki tugas
sejati untuk menjadi penyampai dan pelontar idea dan atau gagasan
kepada khalayak pembacanya. Ia merdeka untuk mengungkapkan
apa saja yang lahir sebagai ilham dan imajinasi, atau sebagai
respon nyata atas setiap fenomena dan gejala yang ditangkap
oleh penyairnya. Sehingga ia menjadi tak “terkekang” untuk
diberikan tafsiran pula arsiran oleh pembacanya. Keduanya sama
merdekanya.
Tentu saja dengan satu catatan bahwa, untuk menangkap
dan menyalami kandungan keindahan dalam setiap puisi yang
merupakan hasil kerja keras penyairnya, akan menjadi fungsional
jika pembacanya sungguh-sungguh menyelam masuk ke dalam diri
puisi dengan mata dan hati yang terbuka lebar.
Nah, khusus di Buku Kumpulan Puisi Hitam Putih karya
Darwin Badaruddin yang ada ditangan pembaca ini, secara nyata
dan tegas tengah menyuarakan, minimal dua hal, yakni sebuah
upaya merefleksikan kenyataan alam luar sekaligus menarasikan
secara sufistik alam dalam. Yang tentu saja berangkat dari setiap
gejala yang kemudian ditelan bulat dan diendapkan lalu menjadi
karya sastra yang bernama puisi.
Melongok Ruang, Mendedah Diri
Tesis diatas tentu saja tidak lalu seluruhnya benar, namun untuk
kedua ihwal yang ada itu, kentara sekali betapa Darwin Badaruddin
begitu piawai “menyulap” tempat ia berada sebagai pijakan, untuk
“menggorengnya” lalu menyajikannya sebagai karya imajinatif.
Walau dalam waktu yang bersamaam dirinya juga tengah berbicara
dengan dirinya sendiri.
Pada puisi Jakarta, misalnya : beri aku sepiring nasi, dan kuberi engkau bintang yang telah kugantung di setiap sudut kamarkudan membawamu terbang mengitari ladang-ladang berbunga dosa
Tampak nyata betapa penyairnya tengah menemukan dirinya
remuk redam tanpa daya dan mencoba membangun pemberontakan
dan menyuarakan ketidaksetujuannya melalui capaian leterer.
Sebagaimana Mathew Arnold mengatakan, bahwa puisi selalu
membuka kemungkinan untuk tampil sebagai kritik atas kehidupan.
Hal yang sama dari bentuk ini, juga dapat ditemu kenali pada puisi
berjudul Malioboro : duduklah disini, mengurai banyak kusut masa silam, menyimak nyanyian anak jalanan,dan izinkan kulukis danau bening di matamu
duduklah disini kekasih penyair, dan jangan bergi sebelum kutulis lagi satu puisi
Puisi ini mengisyaratkan, bahwa kota dan tempat atawa ruang
seakan menjadi kenyataan yang memaksakan dan seakan selalu
“mencubitnya” untuk menulis puisi. Hanya saja, capaiannya acapkali
tak terlalu memperhitungkan secara matang kedalaman penyelaman
atas ruang tempat dimana ia melahirkan karya. Sehingga jadilah
kemudian karya-karya itu murni dan secara sungguh-sungguh
sebagai dialog personal penyairnya. Dan meninggalkan kesan,
bahwa penyairnya tidaklah begitu menerima kenyataan ruang yang
ditandanginya, kendati ia telah berusaha untuk “mengais” gagasan

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih88
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih89
| Darwin Badaruddin
dari ruang itu, namun hanya sebagai titik singgah belaka, bukan titik
pijak bagi penciptaan karya.
Kendati demikian, penyair cukup diuntungkan dan diselamatkan
ketajamannya untuk mengolah dunia dalam, sebagai mata pisau
untuk mengiris-iris setiap kedatangannya pada setiap tempat sebagai
perangkat puitiknya. Artinya penyair kita yang satu ini, telah berhasil
untuk setia menelan bulat-bulat setiap kunjungannya tanpa berupaya
untuk menyisakan sedikit ruang bagi kemungkinan pencapaian daya
ungkap yang baru berdasarkan kekhasan ruang yang didatanginya
itu.
Kenyataan ini kian menguat, tatkala kita melongok ke dalam
puisi Biarkan Dzikirku :
Biarkan dzikirku mengembara bersama angin, Menuju negeri tanpa tirai, Menusuk dinding waktu, Perjalanan panjang adalah anggur yang memabukkan Di atas laut terpagar batas pandangBairkan dzikirku Menembus laut kelam, Yang telah memadamkan lampu-lampu diskotik, Segala terangkai, Dalam getar sujudku yang melahirkan embun, Menetes, Kering, Lenyap.
Pada puisi ini, yang tampak kemudian adalah ketidak berhasilan
penyair untuk mewakilkan ruang yang didatanginya. Tentu saja
tanpa ia harus terjebak untuk melahirkan karya yang terkesan
hanya sebagai reportase. Bila kecenderungan ini terpelihara, kelak
akan beresiko untuk terjebak pada formalitas yang cenderung kaku.
Dimana setiap karya yang terlahirkan pada ruang yang berbeda
melulu hanya akan menjadi semacam imajinasi yang menyalak dari
ruang personal penyairnya. Namun mengembara jauh dan lepas
bahkan tercerabut dari ruang pijak penciptaan karya itu sendiri.
Padahal disisi lain, jelas terbaca bahwa sang penyair kita ini,
juga tidak mau begitu saja melewatkan setiap kedatangan dan
perjumpaannya dengan setiap ruang. Itu terbaca pada kalimat
puitiknya pada puisi Malioboro diatas tadi, “dan jangan pergi
sebelum kutulis lagi satu puisi”. Pun demikian pada karya berjudul
"Mimpi" berikut ini : Gaun merahmu kusingkap Dan aku mengembara di atas padang pasir Menebar kesenyapan dalam gelora badai Mengejar fatamorgana
Pada puisi inipun sekali lagi kita bertemu dengan kenyataan
itu, kita seakan menemukan otentisitas keterwakilan ruang yang
didatanginya meraib, tertutupi oleh kekuatan bacaan dari dunia
dalam yang jauh sebelumnya telah terpatron sebelum kedatangan
penyairnya ke tempat itu. Bukan penjelasan tandas dunia luar atau
titik pijak yang ditandanginya.
Perjalanan Ombak dan Aroma Sublim
Namun kesan ini, amat berbeda pula kontras dengan puisi-
puisinya tentang laut. Yang jelas seakan tengah menyatakan kepada
kita betapa fasihnya penyair ini untuk merentangkan “pukat” dan
“jalanya” dalam pencapaian sublimitasnya pada laut pula pantai. Hal
ini lalu kemudian menjadi semacam “gamitan” kepada kita bahwa
sungguh Darwin Badaruddin adalah anak yang lahir, “ditimang-
timang” dan dibesarkan oleh atmosfere pantai dan laut. Sehingga
jadilah puisi-puisi yang beraroma laut itu serasa menjadi semacam
“Perjalanan Ombak,” sebagaimana judul salah satu puisi yang ada
dalam kumpulan ini.

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih90
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih91
| Darwin Badaruddin
Artinya kita seakan diperhadapkan pada bacaan “suara anak
laut” yang memang tidak asing dan tidak tengah mengada-ada. Pada
karya, selain Perjalanan Ombak itu sendiri, Sketsa Parang Tritis
yang dibuat dalam tiga episode dan Samudera serta pada puisi yang
berjudul Sketsa Sandeq hal yang samapun kita temukan.
Khusus, pada puisi Samudera misalnya, kita menemukan
capaian Darwin yang unik sekaligus menarik, “samudera itu membawaku dalam badai/ puisi tak bertepi/ tiada henti/ hanyut dalam tawaf”. Puisi ini meyakinkan kita bahwa menemui Tuhan sekaligus
suasana transendental itu amat memungkinkan dilakukan pada laut.
Dan ini nyata sekali pada pilihan-pilihan diksi yang ia gunakan,
semisal, dalam badai, ke muara tak bertepi dan kesemua itu
terwakilkan pada “dari mana ombak / menempuh perjalanan / pecah di buritan / menjilati sampan pelaut gagah berani / menuai hidup tanpa batas / dari mana angin / menempuh perjalanan / bertualang / hingga ke kaki langit / yang kubuat dalam garis tipis”. Pesan perjalanan yang
berpiling kelindan dalam ruang terdalam yang serba personal. Dan
karenanya ia menjadi transendental.
Suasana sublim yang cenderung sufistik kemudian kian menguat,
tatkala kita melongok pada puisi-puisi Darwin Badaruddin yang
lahir di kampung pijakan atau tanah ibu yang menjadi sejatinya
ruang tempat penyair banyak menandaskan waktunya di Polewali
yang dalam peta merupakan wilayah pesisir.
Tampak telah jauh membawanya untuk sungguh-sungguh masuk
ke relung puisi dengan menggunakan perangkat diksi puitik. Bahkan
sesekali menukik begitu tajam dan menohok ke ceruk terdalam, dan
itu terbaca pada penggunaan diksi yang acap kali menjadi pilihan
memberikan warna khusus, walau untuk urusan yang satu ini, tak
melulu bisa digeneralisir secara serampangan. Taruh misal dalam
karya "Sunyi" berikut ini:
duduk sendiri di bawah langit-Mu aku kembara,menghitung dedaunan kering yang luruh di tiap rimbaraya,menghitung bebatuan di padang pasir, menghitung nafas, tak terbatas.
atau pada puisi rahasia :
cuma satu yang tersisa dari sebuah peristiwa, kehidupan, cuma satu yang tersisa dari sebuah kehidupan, rahasia
Penyairnya sungguh telah bermain-main dengan perangkat
literernya namun begitu tajam mengiris hingga ke suasana yang tak
lagi sekedar jelaga pula absurd, tetapi disini aroma otentisitas ke-
Ilahia-an menemui dirinya dalam puisi.
Selain itu, kesan romantikpun tak pelak menjadi wilayah
garapan yang coba dimainkan oleh penyair kita ini, seperti dalam
karya, Bougenville : Pernah kusimpan setengah bougenville di belakang rumahmu dan berharap suatu saat kelak kita akan memetik bunganya, menaburkan di setiap jengkal tanah yang kita lalui, menyanyikan lagu asmara dari mimpi-mimpi
panjanag.
Kini bougenville itu telah menjadi belukar, menebar aroma menyesakkan dada, tak ada nyanyian, juga warna-warni dan kita pun sepakat mengakhiri mimpi
Kesan bermain-main pada ihwal yang serius inipun sesungguhnya
menyisakan rasa simpatik kita pada laku kata untuk menyiasati
sebuah kenyataan dengan jalan yang amat piawai. Artinya, kendati

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih92
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih93
| Darwin Badaruddin
romantis dan sejatinya serius, namun di tangan Darwin Badaruddin,
kesan kenes tidak kita temui. Sungguh sebuah pencapaian yang
membutuhkan proses kreatif yang panjang dan tak instan.
Pada puisi Doa Seorang Pelacur-pun Darwin Badaruddin
menyatakan kesungguhannya sebagai penyair yang banyak
menggunakan perangkat spiritual-sufistik kendati judul dan gagasan
yang diangkat cukup menggoda untuk di ekplorasi dengan jalan
menelusurinya secara detail setiap lekukan. Artinya kesan pertama
begitu membaca judulnya, boleh jadi, pembaca akan menengarai
bahkan menunggu kemunculan perangkat simbolik seorang
pelacur, minimal pada penggunaan diksinya. Namun bagi Darwin
Badaruddin hal itu ternyata tidak kita temui, selain aroma sublim.
Berikut Puisi Doa Seorang Pelacur : Hari ini aku ingin sholat magrib meski dari menara masjid dekat
lokalisasi tempatku mengais hidup sudah terdengar adzan isya, mukenaku masih putih bersih hadiah dari ibu ketika mengantarku ke gerbang pesantren.
Biarlah kucukupkan sujudku karena malam ini aku takkan meminta apapun dari lelaki yang berseliweran hingga pagi.
Malam ini,Aku ingin berdoa, tapi tak persis sama dengan doa yang diajarkan
oleh guru-guruku, karena aku telah belajar pada guru terakhirku yang tak pernah kuberi nama.
Tuhanku.....!,Jika kelak aku tak cantik lagi untuk jadi pelengkap birahi, tolong beri
aku kesempatan duduk di pinggir kali yang membelah kota ini, karena aku tahu di atas sampah yang mengapung ada semut yang pernah mendengar desah nafasku dan tawa manjaku berharap mendapat bayaran lebih dari biasanya.
Tuhanku....!,Jika kelak Engkau masukkan aku ke dalam neraka-Mu, tolong
jangan sumpal mulutku dengan bara amarah-Mu, karena betapa aku ingin mencintai-Mu,
tapi jazadku berlumur nanah. Tuhanku....!,Jika kelak Engkau masukkan aku ke syurga-Mu,akan kucari telaga airmata ibuku yang tak pernah kering,yang terus menyimpan bayang bulan purnama,sedetik saja,meski sesudah itu Engkau bakar tubuhku,karena kutahu :cinta ibuku,adalah serpihan cinta-Mu.
Tidak itu saja, dalam beberapa puisi, kita juga menemukan
kemampuannya untuk meniadakan hal-hal yang cengeng pada
hal ihwal yang semestinya menguras air mata. Kenyataan ini bisa
kita temukan pada puisi Perempuan itu Menemui Tuhannya. Puisi
naratif ini nyata sekali tengah mencoba membangun kesan sekaligus
kesadaran lain pada sebuah kematian yang biasanya dirayakan
dengan tumpahan tangis dan lelehan duka.
Namun di tangan Darwin Badaruddin, kita justru diminta
untuk “mengejanya” seraya menangkap pesan dan nilai lain. Yakni
aroma patriotik dan humanis yang syarat dengan suasana religiusitas
dalam teksnya. Sebagaimana Julia Kristeva pernah menyetir bahwa,
teks sastra adalah juga mosaik dan kutipan-kutipan yang merupakan
penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain.
Khusus, suasana religiusitas yang magis inipun kian menegas
dengan gaya teriakan yang parau pada puisi Alif berikut ini :

| Darwin Badaruddin
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih94
Antologi Puisi Potret Hitam-Putih95
| Darwin Badaruddin
I ?I ?I ?kutanya apapada siapaalif menghadap langitalif menghujam bumialif di langitalif di bumialif di bulanalif di awanalif di lautalif di ombakalif di daunalif di semutalif di baraalif di saljualif di tawaalif di tangisalif di makkahalif di mandaralif di mana sajatapi alif masih juga satutidak beranaktidak diperanakkanbahkan oleh alif sendirikarena alifsegala sebab.
Akhirnya apapun yang ada pada buku Kumpulan Puisi Hitam
Putih ini seakan tengah meminta kita untuk tidak sekedar melihat
segenap persoalan hidup dengan frame berfikir hitam putih atau
“kaca mata kuda” belaka. Sebab di tangan seorang penyair yang telah
mematang rentangkan garis hidupnya dalam dunia kepenyairan,
boleh jadi akan menjadi berbeda. Sebagaimana yang kita baca dalam
buku kumpulan puisi ini.
Selebihnya catatan ini kiranya tidak tengah dimandatkan dirinya
untuk menjadi “guide” bagi pembaca, sebab biarlah kemerdekaan
penciptaan pada karya-karya yang ada dalam buku ini juga
berbanding sebangun dengan kemerdekaan pembaca untuk memilih
gaya merespon, membaca, mentafsir dus mengapresiasinya.
Dan tak usalah catatan ini terlalu panjang dan merepek begitu
liar, menyita ruang serta waktu kita semua. Kepada para pembaca,
bersegeralah membaca karya ini, sebab hanya dengan begitu kita akan
segera menangkap suasana kebatinan dan imaji yang sebelumnya
telah dibaca pikirkan oleh penyairnya.
Selamat merayakan perjumpaan itu, tidak hanya sebagai
terminal persinggahan belaka. Tetapi sebagai upaya untuk masuk
dan berdiam dalam wilayah yang sungguh personal sebagaimana
yang telah dilakukan oleh penyairnya, sekaligus diharapkan mampu
menyulut persepsi kita sebagai pembaca. Sebagaimana sejatinya kita
membaca sastra untuk membangun persepsi dan mencecap nilai
kemuliaan kemanusiaan.
Dan begitulah puisi yang sejatinya adalah ruang meditatif.
Semoga katarsis !
*) Muhammad Syariat Tajuddin, Sastrawan Muda Mandar, Kini tinggal di Mandar dan ikut mengelolah media online www.suaramandar.com