ANIMISME DALAM RITUAL ADAT (ANALISIS SEMIOTIKA...
Transcript of ANIMISME DALAM RITUAL ADAT (ANALISIS SEMIOTIKA...
ANIMISME DALAM RITUAL ADAT (ANALISIS SEMIOTIKA
FOTO MANGONGKAL HOLI, SEBUAH PENGHORMATAN
BAGI YANG TELAH PERGI KARYA ANDRI GINTING DI
BERITAGAR.ID)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Agung Suryono
NIM. 1113051000197
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Agung Suryono
NIM : 1113051000197
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANIMISME DALAM
RITUAL ADAT (ANALISIS SEMIOTIKA FOTO MANGONGKAL HOLI,
SEBUAH PENGHORMATAN BAGI YANG TELAH PERGI KARYA
ANDRI GINTING DI BERITAGAR.ID)” secara keseluruhan adalah hasil
penelitian/karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya
cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 22 Juli 2020
Agung Suryono
NIM 1113051000197
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
ANIMISME DALAM RITUAL ADAT (ANALISIS SEMIOTIKA FOTO MANGONGKAL HOLI, SEBUAH PENGHORMATAN BAGI YANG
TELAH PERGI KARYA ANDRI GINTING DI BERITAGAR.ID)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Agung Suryono
NIM. 1113051000197
Pembimbing
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA
NIP. 197104122000032001
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul “ANIMISME DALAM RITUAL ADAT (ANALISIS
SEMIOTIKA FOTO MANGONGKAL HOLI, SEBUAH
PENGHORMATAN BAGI YANG TELAH PERGI KARYA ANDRI
GINTING DI BERITAGAR.ID)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tanggal 27 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar program Strata Satu (S1) pada jurusan Konsentrasi
Jurnalistik.
Jakarta, 27 Juli 2020
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Kholis Ridho, M.Si Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, MA
NIP. 19781142009121002 NIP. 197104122000032001
Anggota
Penguji I Penguji II
Dr. Rubiyanah, MA Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 197308221998032001 NIP. 197705132007012018
Pembimbing
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A
NIP. 197104122000032001
v
ABSTRAK
Nama : Agung Suryono NIM : 1113051000197 Animisme Dalam Ritual Adat (Analisis Semiotika Foto Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi Karya Andri Ginting di Beritagar.id) Animisme adalah salah satu keyakinan tertua yang pernah dianut oleh manusia. Tidak terkecuali di Indonesia yang memili banyak suku dengan beragam keyakinan. Seorang fotografer melalui karya fotonya berhasil mengabadikan salah satu upacara adat yaitu mangongkal holi milik suku Batak Toba. Karya foto tersebut mengulas prosesi upacara mangongkal holi yang berkaitan erat dengan leluhur. Upacara yang sarat akan unsur animisme tersebut hidup di tengah masyarakat Batak yang mayoritas menganut agama monoteis.
Riset ini bertujuan untuk menjawab masalah penelitian yaitu, bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos dalam foto Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi karya Andri Ginting di Beritagar.id melalui analisis semiotika Roland Barthes.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika Roland Barthes, di mana terdapat tiga tahapan dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi, serta mitos. Penelitian ini dibatasi dengan lima foto dari total 10 foto yang ada.
Kesimpulan dari penelitian ini ialah foto cerita yang dimuat oleh Beritagar.id merepresentasikan animisme dalam wujud rasa hormat masyarakat Batak Toba terhadap leluhur mereka dalam setiap prosesi upacara mangongkal holi, namun dalam waktu yang bersamaan tidak menyimpang dari agama monoteis yang mereka yakini. Perpaduan dua keyakinan tersebut menimbulkan sinkretisme dari dua keyakinan yaitu animisme dan ajaran Kristen.
Kata Kunci: Animisme, Fotografi, Semiotika, Mangongkal Holi
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT karena atas nikmat dan karuniaNya penelitian skripsi ini dapat
berjalan dengan baik tanpa halangan yang berarti. Shalawat dan serta salam juga
tidak lupa ditunjukkan kepada Rasulullah Muhamad SAW.
Begitu banyak kesan dan manfaat yang dirasakan oleh penulis saat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga
mendapatkan pelajaran bahwa tanpa adanya usaha dan kerja keras maka tidak
akan membuahkan hasil.
Setelah perjuangan beberapa bulan dalam mengerjakan penelitian ini,
penulis mendapat beragam tantangan dalam pengerjaannya. Namun, dengan
adanya dukungan dan semangat dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dr. Suparto, M.Ed., Wakil Dekan Bidang
Akademik, Dr. Siti Napsyiah, Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum dan Keuangan, Dr. Sihabuddin Noor, M.Ag., dan Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan, Drs. Cecep Sastra Wijaya, M.A.
2. Ketua Program Studi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si., Sekertaris
Program Studi Jurnalistik, Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A yang
begitu bijaksana, sabar, dan telah meluangkan waktunya untuk
berkonsultasi dan membantu dalam hal perkuliahan.
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A, sebagai Dosen Pembimbing yang
telah memberikan ilmu dan waktunya kepada penulis di tengah
vii
kesibukannya yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar
hingga skripsi ini selesai dengan baik.
4. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat dan senantiasa sabar dalam memberikan membelajaran.
5. Orang tua tercinta, Bapak Wadiyono dan Ibu Suratmi yang telah
berjuang dan mendukung sekuat tenaga agar saya meraih pendidikan
setinggi-tingginya, berkat usaha dan doa mereka saya bisa
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Mas Ari 2H Production yang telah medukung serta memberi banyak
ilmu di bidang fotografi komersil.
7. Kawan-kawan Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
angkatan 2013 yang telah membantu dan tetap menyemangati saya
untuk menyelesaikan skripsi.
8. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa Journo Liberta. Terima
kasih sudah memberikan penulis kesempatan untuk belajar serta
menjadi bagian dari keluarga LPM Journo Liberta.
9. Teman-teman Yobok Supmak, Fakhri, Ejon, Dolah, Denny, Bisri,
Arief, Singgih, Boja, Rizal, Kalingga, Irhas, Fathra, Arfan yang telah
berjuang bersama-sama sampai titik darah penghabisan.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi civitas akademika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta maupun bagi khalayak luas.
Jakarta, 22 Juli 2020
Agung Suryono
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Metodologi Penelitian .............................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 12
A. Animisme ............................................................................................... 12
1. Pengertian Animisme ............................................................................. 12
2. Animisme, Dinamisme dan Sinkretisme ................................................ 15
B. Semiotika ............................................................................................... 17
1. Pengertian Semiotika .............................................................................. 17
2. Semiotika Roland Barthes ...................................................................... 19
C. Fotografi ................................................................................................ 24
ix
1. Pengertian Fotografi ............................................................................... 24
2. Fotografi Jurnalistik ................................................................................ 27
BAB III GAMBARAN UMUM .......................................................................... 33
A. Profil Andri Ginting ............................................................................... 33
B. Gambaran Umum Beritagar.id ............................................................... 34
C. Foto Upacara Mangongkal Holi di Beritagar.id ..................................... 37
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA .................................................... 46
A. Foto 1 ...................................................................................................... 46
B. Foto 2 ...................................................................................................... 52
C. Foto 3 ...................................................................................................... 57
D. Foto 4 ...................................................................................................... 61
E. Foto 5 ...................................................................................................... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 66
A. Kesimpulan ............................................................................................. 66
B. Saran ....................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69
LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk dengan masyarakatnya yang
terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok dengan ciri khas
kesukuan yang memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa
berbeda. Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1.128 suku bangsa
yang bermukim di setiap wilayah dan tersebar di ribuan pulau dari Sabang hingga
Merauke.
Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia salah satunya adalah suku
Batak Toba. Suku Batak adalah penduduk asli di Provinsi Sumatra Utara.
Menurut tarombo (dongeng-dongeng suci yang masih berkembang di daerah
Batak) menceritakan bahwa orang Batak Toba merupakan sumber dan asal-usul
semua sub-suku Batak di Sumatra Utara. Pertimbangannya adalah semua orang
Batak berasal dari satu moyang yang bernama Si Raja Batak yang pada masa
purba tinggal di pulau Samosir.1
Masyarakat Batak Toba mayoritas menganut agama Kristen Protestan.
Meski demikian mereka tetap menegakkan pedoman dan prinsip kehidupan nenek
moyang, bahkan menganut kepercayaan terhadap roh leluhur yang hidup
berdampingan di alam berbeda. Setiap tindakan yang dilakukan terdapat andil dari
roh leluhur. Penghormatan terhadap leluhur dan keluarga yang lebih tua
menimbulkan efek keharmonisan dan mempererat ikatan persaudaraan Batak
Toba. Masyarakat Batak sepakat meneladani tata hidup para leluhurnya yang
1 Simanjuntak, Bungaran Anhonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001) h. 2.
2
dapat ditunjukkan dengan jelas melalui pepatah dan peribahasa Batak yang
menjadi rujukan atau upacara bahkan pertemuan orang-orang Batak.2
Keyakinan terhadap roh disebut dengan animisme. Makna kata animisme
berasal dari bahasa Latin “anima” yang berarti “roh”.3 Kepercayaan animisme
memiliki komponen-komponen yang memiliki peran tersendiri namun memiliki
sistem kesatuan yang erat; keyakinan, ritus upacara, peralatan ritus dan upacara
umat beragama, hal-hal tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi hingga
bertemu pada satu titik komponen utama yaitu emosi keagamaan.
Dalam ilmu agama, fenomena hubungan leluhur dengan orang yang masih
hidup dianggap sebagai suatu cabang yang besar dari agama manusia, dan
merupakan sebuah kenyataan agamawi yang sangat penting, bahkan animisme
dianggap sebagai dasar dari semua agama. Di Indonesia sendiri sebelum ajaran
agama monoteisme atau agama modern masuk, setiap wilayah dan setiap suku
memiliki animisme dengan versinya masing-masing. Bahkan ketika monoteisme
telah mendominasi, animisme masih melekat pada masyarakatnya sebagai kultur.
Salah satu prosesi adat Batak Toba yang berkaitan erat dengan leluhur
adalah upacara mangongkal holi. Secara terminologi kata tersebut berasal dari
mangongkal yang berarti menggali dan holi yang berarti tulang-belulang. Ritual
membongkar kembali dan memindahkan tulang belulang ke suatu tempat ini
sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang suku bangsa Batak.
Upacara mangongkal holi memiliki proses panjang mulai dari penggalian
hingga pada prosesi pesta yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari.
2 W. E. Tinambunan, Simbol-Simbol Tradisional Ulos Tujung dan Ulos Saput Proses
Pemakaman Adat Batak Toba, (Pekanbaru: Yayasan Sinar Kalesan, 2010) h. 11. 3 Caroline Pooney, African Literature, Animism and Politic, (London: Routledge, 2001) h. 10.
3
Lamanya proses penggalian sampai acara pemestaan akan menimbulkan
terjalinnya kembali sistem kekerabatan yang semakin erat dari generasi yang
tertua sampai generasi termuda. Tidak kalah pentingnya dalam horja (pesta)
terdapat holong yang bermakna kasih sayang. Hal ini tercermin ketika seluruh
keluarga menari tor-tor bersama serta saling memberikan salam dan memegang
pipi.
Upacara mangongkal holi pun turut menjadi prosesi untuk membahagiakan
orang tua serta tempat berkumpul semua generasi marga, sehingga
memungkinkan untuk saling mengenal satu sama lain, mengenalkan silsilah
keluarga besar, sarana edukasi adat Batak dan sebagainya. Selain sebagai suatu
kewajiban, ternyata upacara ini pula sebagai sarana untuk mengangkat martabat
sebuah marga. Melalui upacara inilah hasangpon atau kemuliaan dapat tercapai
dan sebagai bukti sah bahwa seseorang telah menjadi suku Batak yang
mendatangkan kemuliaan bagi marganya.4
Tradisi turun temurun di tanah Batak Toba ini pun menarik perhatian
seorang pewarta foto Andri Ginting untuk mengabadikan momen tersebut. Andri
yang menjabat sebagai kontributor foto media daring Beritagar wilayah Medan ini
mendokumentasikan upacara mangongkal holi dalam format foto cerita untuk
situs Beritagar.id. Andri Ginting memulai karir sebagai pewarta foto sejak tiga
tahun silam dan karya-karyanya telah menghiasi rubrik foto di beberapa media.
Beberapa penghargaan pun pernah ia raih, salah satunya adalah penghargaan
Adiwarta tahun 2012.
4Malau Gens G, Aneka Ragam Budaya Batak (Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara
Taotoba Nusa Budaya, 2000) h. 289.
4
Beritagar.id adalah media daring yang terbentuk sejak 2015, merupakan
gabungan dari situs kurasi publik, Lintas.me (2011), dengan situs kurasi
Beritagar.com (2012). Mengusung visi yang sama, "Merawat Indonesia”,
keduanya sepakat membangun sebuah media baru berbasis teknologi, yang
kemudian diberi nama Beritagar.id, di bawah payung PT Lintas Cipta Media
(LCM) yang merupakan salah satu anak perusahaan Global Digital Prima (GDP)
Venture.5
Dalam situsnya, Beritagar.id seringkali mengunggah berita-berita baik tulis
maupun foto yang berkaitan tentang agama dengan balutan budaya. Hal tersebut
menandakan bahwa isu keagamaan cukup diminati. Jika dilihat dari situs
alexa.com, saat ini beritagar.id menduduki peringkat 1.138 situs yang sering
dikunjungi di Indonesia.6
Peter L. Berger pada buku Kisah Mata karya Seno Gumira Ajidarma
mengungkapkan, bahwa sebuah foto menahan aliran waktu di mana peristiwa
yang dipotret pernah ada. Setiap foto menyajikan dua pesan: pesan menyangkut
peristiwa yang dipotret; dan menyangkut sentakan diskontinuitas.7 Andri Ginting
dengan karyanya mengabadikan momen upacara mangongkal holi selain menjadi
sarana informasi publik, setiap foto tersebut juga menjadi saksi sejarah sebuah
wilayah dan juga sebuah kejadian.
Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengetahui nilai-nilai animisme
yang terkandung melalui simbol-simbol yang dapat dieksplorasi dalam foto cerita
karya Andri Ginting berjudul Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang
5 Diakses dari beritagar.id - https://beritagar.id/tentang-kami. 6 Alexa.com merupakan situs untuk mengetahui peringkat kepopuleran sebuah situs 7 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 29.
5
Telah Pergi yang dimuat oleh Beritagar.id pada 8 Juli 2019 dengan menggunakan
teori semiotika Roland Barthes yang terkenal melalui tiga tahap pemaknaan, yaitu
makna denotasi, makna konotasi, dan mitos.8
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Animisme dalam Ritual Adat (Analisis Semiotika Foto
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi Karya Andri
Ginting di Beritagar.id)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak keluar konteks penulis
membatasi masalah ini hanya pada foto cerita karya Andri Ginting berjudul
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di
Britagar.id. Foto tersebut bercerita tentang prosesi upacara pemindahan
tulang belulang leluhur masyarakat adat suku Batak Toba. Penulis hanya
meneliti 5 dari 10 foto yang ditampilkan.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana makna
denotasi, konotasi dan mitos pada foto "Mangongkal Holi, Sebuah
Penghormatan Bagi yang Telah Pergi" karya Andri Ginting di Beritagar.id
menurut Roland Barthes?
8 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya) h. 69.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto cerita
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di Beritagar.id.
Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif bagi pengembang wacana keilmuan khususnya di bidang media
serta komunikasi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu
menjadi referensi bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
wartawan, mahasiswa komunikasi, dan pemerhati foto serta kepada
pembaca pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat
bagi seluruh lapisan masyarakat yang ingin belajar mengenai analisis
semiotika dengan pendekatan teori Roland Barthes.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah cara atau metode mendasar untuk berpikir, menilai,
mempersepsi sesuatu yang berkaitan dengan visi realitas.9 Penulis
9 Ardianto Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 154.
7
menggunakan paradigma konstruktivis untuk penelitian ini mulai dari pra
penelitian, penelitian, hingga pasca penelitian.
Pemikiran konstruktivisme merupakan pelengkap epistimologis.
Paradigma konstruktivisme melihat fenomena realitas sebagai produk dan
penciptaan kognitif manusia.10 Kebenaran suatu realitas sosial bersifat tidak
mutlak dan sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.11
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk menjelaskan sebuah fenomena
melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.12 Temuan hasil pengamatan
berupa data akan dideskripsikan dan ditinjau kembali untuk dianalisis.
Metode deskriptif didefinisikan sebagai metode yang hanya
memaparkan situasi dan peristiwa. Melalui pendekatan ini penulis
memaparkan temuan dari hasil pengamatan dan analisa terkait makna
kebudayaan pada foto cerita karya Andri Ginting berjudul Mangongkal
Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di Beritagar.id.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah foto cerita berjudul Mangongkal Holi,
Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di Beritagar.id. Sedangkan
yang menjadi objek penelitian adalah lima foto pilihan dari 10 foto yang
dapat mewakilkan secara keseluruhan rangkaian foto tersebut.
10 Berger, Peter L, Thomas Luckmann, Die gesellschaftliche Konstruktion der
Wirklichkeit, (Frankfurt, 1969), h. 1. 11 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2011), hal 11. 12 Rachmat Krisyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta:Prenada Media Group, 2006), h. 58.
8
4. Sumber dan Jenis Data
Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat, penulis membagi
data penelitian menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui foto cerita
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di
beritagar.id.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil wawancara dengan fotografer,
Andri Ginting. Selain itu, daftar pustaka seperti, buku-buku, artikel,
dan informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian menjadi data
sekunder dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang paling
alamiah dan paling banyak digunakan baik dalam aspek keilmuan
maupun aspek kehidupan.13 Dalam penelitian ini penulis melakukan
observasi dengan mengumpulkan data dan informasi terkait foto cerita
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi,
kemudian terpilih lima foto yang paling sesuai dengan batasan
masalah penelitian.
b. Dokumentasi
13 Imam Suprayoga dan Tabroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 167.
9
Dokumentasi dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan data dan mendapatkan informasi melalui jurnal, buku,
internet, media massa dan berbagai sumber lainnya yang berkaitan
dengan foto cerita Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang
Telah Pergi.
c. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui
interaksi baik lisan maupun tulisan terhadap seseorang yang disebut
narasumber.14 Dalam penelitian ini wanwancara dilakukan dengan
Andri Ginting, fotografer dari foto cerita Mangongkal Holi, Sebuah
Penghormatan Bagi yang Telah Pergi sebagai narasumber utama,
untuk mendapatkan data-data pendukung.
6. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes untuk
mengungkap makna dan tanda denotasi, konotasi dan mitos pada foto cerita
Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi di
Beritagar.id. Teori ini digunakan untuk menganalisa masing-masing foto
yang yang telah dipilih sebelumnya.
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum memulai penelitian, penulis mengkaji terlebih dahulu sejumlah
penelitian yang memiliki kajian yang sama dengan penelitian penulis baik dari
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
maupun Universitas lainnya. Hal ini bertujuan agar penelitian yang peneliti tulis
14 Wardi Bachtiar, Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah, (Jakarta: Iogos, 1997), h. 71.
10
berbeda penelitian yang sudah ada sebelumnya, juga sebagai tambahan referensi
yang dibutuhkan untuk penelitian ini. Adapun beberapa skripsi tersebut
diantaranya:
1. Skripsi atas nama Rizky Solehudin mahasiswa Jurusan Jurnalistik
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017. Berjudul “Representasi Nasionalisme Eksil 1965 (Analisis
Semiotika Foto Exile Karya Rosa Panggabean)”. Penelitian ini membahas
tentang nilai nasionalisme pada korban-korban pengasingan pada 1965.
Skripsi ini sama-sama menggunakan analisis semiotika Roland Barthes,
perbedaan dengan skripsi ini adalah dalam subjek dan objek penelitian.
2. Jurnal atas nama Ricky Warman Putra mahasiswa pasca sarjana Program
Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia
Padangpanjang, 2016. Berjudul “Animisme Dalam Kesenian Saluang
Sirompak”. Sama-sama membahas tentang animisme dalam kearifan
lokal suatu masyarakat, adapun perbedaan penelitian ini terletak pada
metode analisis yang digunakan, subjek dan objek penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan pada penelitian skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan
karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sesuai
dengan yang telah disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta press, tahun
2007.
BAB 1 : Bab ini terdiri dari pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan penelitian skripsi ini, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian (paradigma
11
penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, subjek dan
objek penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data),
tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
BAB 2 : Bab ini membahas tentang makna animisme, penjelasan mengenai
fotografi serta teori semiotika Roland Barthes.
BAB 3 : Bab ini memaparkan profil Andri Ginting, gambaran umum media
daring Beritagar.id dan foto Mangongkal Holi, Sebuah
Penghormatan Bagi yang Telah Pergi karya Andri Ginting di
Beritagar.id
BAB 4 : Bab ini berisi pemaparan temuan data dan analisis semiotika
tentang foto Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang
Telah Pergi karya di Beritagar.id melalui tahap pemaknaan
denotasi, konotasi dan mitos.
BAB 5 : Bab ini merupakan tahap akhir dari skripsi yang berisi terkait
dengan kesimpulan dan saran.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Animisme
1. Pengertian Animisme
Animisme adalah salah satu kepercayaan tertua yang dianut oleh manusia
sejak zaman primitif. Nama animisme berasal dari bahasa Latin dengan dasar
kata "anima" yang berarti roh.1 Dengan kata lain animisme adalah kepercayaan
terhadap roh yang menghuni alam semesta.
Unsur utama dalam animisme yaitu roh. Konsep pemahaman roh oleh
masyarakat primitif berbeda dengan pemahaman masyarakat modern.
Gambaran perwujudan roh yang bersifat tidak material tidak bisa dibayangkan
oleh masyarakat primitif, roh terbentuk dari unsur yang sangat halus, memiliki
bentuk, umur, dan mampu makan dan minum.2 Hal tersebut yang mendasari
adanya sesembahan berupa makanan yang disajikan oleh masyarakat primitif
sebagai bentuk penghormatan terhadap roh.
Awal mula teori animisme dikemukakan oleh seorang ahli antropologi
yang juga profesor di Universitas Oxford di Inggris benama Edward Burnett
Tylor. Tylor berpendapat bahwa animisme merupakan gambaran dari bentuk
kepercayaan masyarakat primitif. Pada perkembangannya animisme dipercaya
sebagai awal mula dari terbentuknya agama primitif, yang memuat unsur dasar
dari suatu agama yaitu iman atau kepercayaan.
1 Caroline Pooney, African Literarture, Animism and Politic, (London: Routledge, 2001), h. 10. 2 Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h. 46.
13
Keabsahan animisme sebagai agama masih diperdebatkan. Tylor
mengungkapkan ada empat tahap proses yang dilalui animisme untuk bisa
diakui sebagai agama primitif. Tahap pertama, masyarakat primitif
mengkhayalkan adanya hantu jiwa (ghost-soul) orang mati yang mengunjungi
orang hidup. Hantu jiwa inilah yang mengganggu orang-orang yang masih
hidup. Tahap kedua, jiwa menampakkan diri. Tahap ketiga, timbul
kepercayaan dalam masyarakat tersebut bahwa segala sesuatu berjiwa. Tahap
keempat, dari yang berjiwa itu ada yang menonjol, seperti pohon atau batu
yang memiliki keanehan. Akhirnya, yang paling menonjol dari kesemuanya itu
disembah.3
Sistem keagamaan primitif seperti animisme lebih mudah diterima dan
dipahami oleh masyarakat tanpa terlebih dahulu menjelaskan elemen-elemen
lain dari agama yang lebih tua darinya. Hakikat religius manusia lebih
diperlihatkan oleh animisme dibandingkan agama lain termasuk agama
modern, sebab animisme mampu menghadirkan aspek kemanusiaan yang
paling fundamental dan permanen dalam memahami inti dari kepercayaan
tersebut.4
Animisme merupakan suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang
hidup di balik semua benda. Animisme tidak hanya memberikan penjelasan
melalui suatu fenomena saja, tetapi juga memungkinkan manusia memahami
keseluruhan dunia dan akhirnya dapat membedakan dua hal, yaitu roh dan
3 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 63. 4 Daniel L. Plas, Seven Theories of Religion, (England: Oxford University Press, 1996), h. 91.
14
badan (materi). Roh dalam badan tersebut yang mengatur dan mengendalikan
badan, badan akan dianggap mati ketika roh terlepas dari badan.
Aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi dapat terjadi
berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut dengan emosi
keagamaan. Emosi keagamaan inilah yang menyebabkan bahwa sesuatu benda,
suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat dan dianggap
sakral.5 Reaksi manusia atas emosi kegamaan tersebut yang pula menjadikan
sesuatu hal yang tidak keramat menjadi keramat, terutama hal yang berkaitan
dengan unsur alam seperti pohon, laut, matahari dan lain sebagainya.
Masyarakat penganut animisme mempercayai bahwa roh akan tetap
hidup ketika seseorang telah mati. Roh akan bergentayangan atau menetap
pada suatu materi. Roh tersebut dipercaya dapat memberikan pertolongan
maupun membawa bahaya. Oleh karena itu diadakan ritual atau upacara sakral
yang ditujukan untuk roh-roh tersebut.
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat
yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia ritual memiliki arti sebagai hal ihwal tatacara dalam upacara
keagamaan.6 Hal ini didukung dengan adanya unsur dan komponen, yaitu
waktu, tempat upacara dilakukan, alat-alat upacara, serta orang-orang yang
menjalankan upacara.7
Ritual merupapakan perpanjangan dari ritus yang dilakukan secara
berulang-ulang. Ritual cenderung berkaitan terhadap keyakinan dan
5 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 376. 6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Idonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1386. 7 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h. 56.
15
kepercayaan spiritual dengan tujuan tertentu. Ritual keagamaan yang dilakukan
oleh masyarakat berdasarkan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya.
Kepercayaan seperti inilah yang mendorong manusia untuk melakukan
berbagai perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan
dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual, baik ritual keagamaan maupun
ritual-ritual adat lainnya yang dirasakan oleh masyarakat sebagai saat-saat
genting, yang bisa membawa bahaya gaib, kesengsaraan dan penyakit kepada
manusia maupun tanaman.8
2. Animisme, Dinamisme dan Sinkretisme
Pemikiran terkait animisme masih bersifat luas sehingga melahirkan
pemikiran yang kemudian dikenal dengan dinamisme. Dinamisme adalah
keyakinan terhadap kekuatan yang berada dalam zat suatu benda yang diyakini
mampu memberikan suatu manfaat dan marabahaya. Unsur dinamisme lahir
lahir dari ketergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada
di luar dirinya. Manusia tersebut mencari zat lain yang akan ia sembah, karena
memberikan rasa tenang dan nyaman ketika berada dekat dengan zat tersebut.9
Penganut paham dinamisme sering kali menyajikan persembahan untuk sesuatu
yang dipujanya, demi mendapatkan keselamatan dan keberkahan.
Sinkretisme merupakan campuran antara unsur-unsur keagamaan dan
kebudayaan dari berbagai sunber dengan latar sejarah kontraatif, yang
8 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, h. 246. 9 Edward B. Tylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom 7th Edition (New York: Brentano’s Publishers, 1924), h.160.
16
disatukan dan dipadukan dengan cermat. Pengintergrasian sinkretistik itu
tercipta tatkala terjadi peralihan simbolik dalam lingkup adat setempat.10
Masyarakat Indonesia telah mengenal animisme sebelum agama modern
seperti Hindu-Budha masuk ke tanah Nusantara. Pada zaman itu masyarakat
Indonesia sudah percaya dengan adanya dewa, roh hingga kekuatan
supranatural. Ajaran animisme di Indonesia diduga dibawa oleh bangsa
Tiongkok dengan ajaran Taoismenya.
Perkembangan pemikiran agama masyarakat Indonesia tidak serta merta
menghilangkan pemikiran animisme dalam kepercayaan agama modern
mereka sehingga timbul sinkretisme. Sinkretisme sendiri berasal dari Bahasa
Yunani "Sunkretamos" yang bermakna "kesatuan". Perpaduan antara dua
kepercayaan atau lebih itulah yang disebut sinkretisme. Sinkretisme sendiri
berasal dari Bahasa Yunani “Sunkretamos” yang bermakna “kesatuan”.
Namun menurut pandangan Islam, keyakinan atau keimanan tidak bisa
dicampur adukkan. Hal tersebut dapat menimbulkan sifat musyirik atau
menduakan tuhan. Dalam ajaran Islam tindakan menyekutukan tuhan juga tidak
dibenarkan. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an membahas tentang perbuatan
musyrik dan peribntah untuk menjauhinya. Allah berfirman:
ائیش ھب اوكرشت لاو H اودبعاو
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun.” (QS. An-Nisa’ ayat 36).
10 John Mansford Prior, "Agama Pusat, Agama Pinggiran, Siapa yang Menentukan Jatidiri Jemaat?", dalam Jurnal Orientasi Baru, (Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, 1993), h. 32.
17
B. Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Secara harfiah semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang
berarti tanda. Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika,
retorika dan poetika.11 Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda
(sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda tersebut yang
didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas
konvensi sosial.
Sumber lain mengatakan pengertian semiotika sebagai ilmu yang
mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir dalam kehidupan
dilihat sebagai tanda atau sesuatu yang harus diberi makna. Pada
perkembangannya semiotika menjadi perangkat teori yang digunakan untuk
mengkaji kebudayaan manusia.12
Bidang keilmuan semiotika dicetuskan oleh dua tokoh utama yaitu
Ferdinand de Saussure dan Charles Sender Pierce. Latar belakang keilmuan
Saussure adalah linguistik degan teori semiology-nya, sedangkan latar belakang
keilmuan Pierce adalah filsafat dengan teori semiotics-nya.
Semiologi dari sudut pandang linguistik menurut Saussure didasarkan
pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem
pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna tersebut. Saussure juga
11 Kurniawan, Sosiologi Roland Barthes (Magelang: Anggota IKAPI, 2001) h. 49. 12 Hoed, Benny H, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu 2011), h. 3-5.
18
menegaskan bahwa dalam memaknai suatu tanda perlu adanya kesepakatan
sosial. Tanda-tanda yang dimaksud berupa bunyi-bunyian dan gambar.13
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified
(petanda). Secara sederhana signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan
yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis
atau dibaca. Sementara itu signified adalah gambaran mental, yakni pikiran
atau konsep aspek mental dari bahasa.14
Sedangkan Pierce dengan latar belakang ilmu filsafat mengungkapkan,
semiotika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan logika.15 Ia
mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda, objek, dan
makna.16 Penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Tanda mewakili
objek yang ada di dalam pikiran orang yang menginterprestasikannya. Dalam
pikiran Pierce logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan
pada segala macam tanda.
Semiotika terbagi ke dalam tiga cabang penelitian yaitu semantik,
sintatik dan pragmatik. Pertama, semantik adalah istilah yang digunakan untuk
bidang linguistik,17 membahas bagaimana tanda berhubungan dengan
referennya atau apa yang diwakili oleh suatu tanda. Kedua, sintaktik adalah
cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu
13 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) h. x. 14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 125. 15 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), h. 3. 16 Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 33. 17 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 2.
19
tanda dengan tanda-tanda yang lainnya.18 Sintaktik juga bisa dikatakan bagian
atau cabang dari ilmu bahasa tentang seluk-beluk wacana. Ketiga, pragmatik
adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara
tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai tanda-tanda.
Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi,
khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes merupakan tokoh penerus pemikiran Saussure yang
dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis dan aktif mempraktekkan model
linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes lahir pada 1915 di Cherbourg, ia
menghabiskan masa kecilnya di Bayonne, barat daya Prancis. Ayahnya
merupakan seorang angkatan militer, namun meninggal dalam pertempuran
ketika Barthes masih kanak-kanak.19
Karya-karya buah pemikiran Barthes banyak digunakan sebagai rujukan
dalam studi semiotika di Indonesia. Buku-buku karya Barthes, antara lain: Le
Degree Zero de Zecriture atau nol derajat di bidang menulis (1953),
Mythologies (1957), Critical Essays (1964), Elements of Semiology (1964), The
Fashion System (1967), S/Z (1970), A lovers discourse: Fragments (1977),
Camera Lucida: Reflections on Photography (1980), dan lain-lain.20
Roland Barthes dalam teorinya masih memperlihatkan teori signifiant-
signifie milik de Saussure dengan istilah expression (ekspresi) untuk signifiant
18 Akhmad Muzaki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, h. 11 19 Edith Kurzweil, Jaring Kuasa Strukturalisme, (Bantul: Kreasi Wacana, 2010), h. 246. 20 Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2019), h. 198-200.
20
dan content (isi) untuk signifie.21 Barthes melontarkan gagasan tentang order of
significant atau tatanan penandaan. Barthes menjelaskan signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified
(petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, Barthes
menyebutnya sebagai denotasi. lalu, konotasi menunjukan signifikasi tahap
kedua. Ketika signifikasi sudah masuk tahap kedua atau yang berhubungan
dengan isi, tanda akan bekerja melalui mitos.22
Signifikasi tahap pertama, denotasi adalah penggunaan bahasa dengan
arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Namun menurut Barthes, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yaitu apa yang digambarkan
tanda terhadap sebuah obyek. Denotasi didapat melalui pengamatan langsung
dari tanda-tanda yang ada yang menghasilkan makna nyata atau makna yang
sebenarnya hadir. Dalam hal ini, digambarkan bahwa denotasi lebih menitik
beratkan pada ketertutupan makna.23 Secara sederhana denotasi merupakan
suatu hubungan tanda sederhana atau makna yang paling nyata dan
menghasilkan makna eksplisit yang sudah pasti.
Signifikasi tahap kedua, konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit yang memiliki banyak kemungkinan.24
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari,
namun di lain sisi juga mengembangkan penerapan tanda secara kreatif.
21 Benny H. Hoed, "Strukturalisme de Saussure di Prancis dan Perkembangannya." dalam Prancis dan Kita, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003), h. 19. 22 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 118. 23 John Fiske, Cultural and Communication Studies, h, 122. 24 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261.
21
Analisa makna konotasi khususnya terkait dengan fotografi perlu
diterapkan enam prosedur konotasi citra. Menurut Barthes prosedur untuk
membangkitkan konotasi dalam proses produksi suatu foto terbagi menjadi dua
bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi
langsung terhadap realita itu sendiri (trick effect, pose, dan object) dan konotasi
yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (photogenia, aestheticism dan
syntax).25
a. Trick effect merupakan teknik manipulasi foto atau menambahkan
maupun mengurangi objek guna mendapatkan pemaknaan
khusus.
b. Pose ialah gaya, gestur, posisi, sikap dan ekspresi dari objek foto.
c. Object adalah isi dari foto atau sesuatu yang difoto, dalam
fotografi jurnalistik biasa dikenal dengan point of interest.
d. Point of interest tersebut didampingi dengan objek lain guna
menguatkan makna konotasi suatu foto.
e. Photogenia yaitu teknik dalam pengambilan gambar, berupa
lighting (pencahayaan), panning (efek latar dinamis), moving
(efek objek dinamis), freeze (efek beku), depth of field (ruang
ketajaman), angle (sudut pandang) dan sebagainya.
f. Aesteticism adalah keindahan yang dihasilkan dari komposisi
sebuah foto atau gambar.
g. Syntax merupakan keseluruhan dari rangkaian makna konotasi
dari suatu foto atau gambar.26
25 Sunardi, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 173. 26 Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, h. 6-10.
22
Pada tahap selanjutnya, mitos merupakan sebuah sistem komunikasi
bahwa mitos adalah sebuah pesan. Mitos adalah mode penandaan yang
juga sebuah wujud atau benda. Menurut Barthes mitos tidak ditentukan
oleh materialnya, melainkan oleh pesan yang disampaikan.27 Mitos juga
dapat dimaknai sebagai suatu hasil dari tahap konotasi yang sangat
dipercayai dan menyebar dalam masyarakat.28 Bagi Barthes mitos juga
merupakan makna konotasi yang mendenotasi sesuatu hal lainnya.
Konsep semiotika Barthes yang dikenal dengan two way
signification (signifikansi dua tahap), digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes29
Signifier
(Penanda)
Signified
(Petanda)
Denotative Sign
(Tanda Denotatif)
Connotative Sign
(Penanda Konotatif)
Conotative Signified
(Petanda Konotatif)
Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Dari gambaran peta tersebut dapat dilihat bahwa tanda denotatif
berkaitan dan terdiri dari penanda dan petanda. Tanda denotatif secara
tidak langsung merupakan bagian dari penanda konotatif. Tanda konotatif
27 Okke Zaimar, Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 58. 28 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), h. 79. 29 Alex Sobur, Semiotika Kmunikasi, h. 69.
23
hadir atas dasar tanda denotatif yang akan menghasilkan pemaknaan-
pemaknaan seterusnya.
Bekerjanya tanda dalam tahapan yang lebih mendalam yaitu mitos.
Mitos dianggap tidak dibentuk melalui penyelidikan, akan tetapi melalui
anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan.
Barthes berpikiran bahwa mitos merupakan cara berpikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengonseptualisasikan atau
memahami sesuatu. Mitos yang biasanya dipahami masyarakat cenderung
sebagai mitos-mitos budaya tradisional yang berkembang secara turun
temurun, sedangkan mitos yang dimaksud oleh Barthes ialah sebagai mata
rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan tatanan kedua
dari penanda, mitos merupakan tatanan kedua dari petanda.30
Dalam konteks visual atau lebih spesifiknya fotografi, Barthes
berpendapat bahwa sebuah foto beroperasi sebagai sistem tanda.
Selayaknya dalam semiotika, tanda memiliki arti eksistensial.31 Oleh
karena itu pemaknaan fotografi tidak bisa dilepaskan dari konteks yang
mengelilinginya. Aspek-aspek dasar dalam fotografi digunakan sebagai
bahan analisis untuk memaknai pesan yang terkandung dalam sebuah foto.
30 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, h. 121. 31 Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 52.
24
C. Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Fotografi berasal dari bahasa Yunani, photos yang berarti cahaya dan
graphen yang berarti melukis.32 Fotografi merupakan seni dan proses
penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.
Artinya, fotografi adalah teknik melukis menggunakan cahaya.33
Sejarah mencatat konsep fotografi dipelopori oleh seorang ilmuwan Arab
bernama Ibnu Al Haitam pada abad ke 10 yang secara tidak sengaja melihat
citra gambar dari lubang tendanya. Konsep tersebut terus berkembang dan
disempurnakan oleh ilmuwan-ilmuwan lain seperti Roger Bacon, Leonardo da
Vinci, Battista Della Porta, Thomas Wedgewood hingga Joseph Nieephore
Niepee yang berhasil membuat foto pertama secara sempurna.34 Seriring
perkembangan teknologi, berkembang pula medium rekam fotografi dari yang
awalnya film negatif hingga sensor digital saat ini.
Sejarah fotografi di Indonesia tak lepas dari nama Kassian Chephas,
meskipun fotografi pertama kali dibawa masuk oleh seorang pegawai
kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich. Kassian Chepas merupakan
fotografer profesional pertama di Indonesia. Ia lahir pada 1815 dan menjadi
fotografer resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah takhta
Sultan Hamengkubuwana IV sejak 1871. Chepas juga terkenal dengan karya
foto Candi Borobudur ketika bagian relief Karmawibhangga ditemukan pada
1855, yang membuatnya ditunjuk sebagai anggota luar biasa Bataviaasch
32 Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 19. 33 Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h. 2. 34 R. M. Soelarko, Fotografi untuk Pelajar, (Yohyakarta: Penerbit Binacipta, 1984) h. 15
25
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atas hasil pekerjaannya sebagai
"fotografer dan praktisi arkeologi Hindia".35
Fotografi pada dasarnya dapat diartikan sebagai seni. Fotografi sebagai
teknik yaitu menguasai teknik-teknik dalam proses produksi sebuah foto, baik
berupa pencahayaan maupun pengolahan gambar yang benar. Sedangkan
fotografi sebagai seni yaitu berkaitan dengan estetika yang mencerminkan
perasaan dan pemikiran dari fotografer yang ingin menyampaikan pesannya
melalui sebuah foto.36
Pada praktiknya fotografi membekukan waktu ke dalam sebuah gambar
dan mengabadikan suatu momen atau peristiwa yang tidak akan terulang.
Fotografi lebih dari sekedar sebuah saran ide komunikasi faktual. Seorang
fotografer yang juga penemu zone system dalam fotografi, Ansel Adam
berpendapat bahwa fotografi adalah sebuah seni kreatif. Fotografi sebagai
media berekspresi dan komunikasi yang kuat, menawarkan berbagai persepsi,
interpretasi dan eksekusi yang tak terbatas.
Fotografi digolongkan ke dalam beberapa aliran sesuai dengan
spesialisasinya masing-masing, berikut beberapa aliran dalam fotografi:37
1. Portrait Photography, menjadikan ekspresi wajah sebagai objek
utama foto. Ekspresi wajah mengandung makna tersirat yang beragam
sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh fotografernya.
35 Gerrit Knapp, Chepas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan, (Leiden: Royal Netherlands Institut of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1999) h. 6-18. 36 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2013) h. 7. 37 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2012), h. 80.
26
2. Journalism Photography, foto yang mengandung unsur berita atau
5W+1H di dalamnya. Digunakan oleh pewarta foto untuk menyajikan
informasi dengan visual agar lebih menari pembaca.
3. Landscape Photography, aliran fotografi yang menunjukkan
keindahan alam. Aliran ini juga terbagi menjadi beberapa kategori,
diantaranya landscape untuk daratan, seascape untuk pemandangan laut,
skyscape menampilkan pemandangan langit dan terakhir cityscape
berkaitan dengan pemandangan urban.
4. Commercial Photography, yaitu fotografi ditujukan untuk
kebutuhan media promosi dan periklanan. Sebuah foto diperlukan oleh
suatu produk maupun jasa sebagai visualisasi hingga citra produk (brand
image).
5. Fine Art Photography, pada aliran ini fotografi dianggap sebagai
seni murni. Tidak ada aturan khusus yang membatasi suatu karya seni,
sehingga fotografer bisa bebas bereksplorasi.
6. Food Photography, menjadikan makanan sebagai objek utamanya.
Aliran ini memiliki keterkaitan dengan commercial photography.
Dibutuhkan keahlian khusus dalam penataan objek agar terlihat menarik.
7. Wildlife Photography, yaitu aliran fotografi yang fokus untuk
mendokumentasikan aktivitas hewan di alam liar sesuai dengan habitat
aslinya.
8. Documentary Photography, merupakan aliran fotografi yang
menjadi asal mula dari fotografi itu sendiri. Fotografi sebagai alat untuk
27
mendokumentasikan dan menjadi saksi visual atas berbagai peristiwa,
kehidupan serta budaya.
9. Street Photography menampilkan objek yang diambil secara diam-
diam (candid) atau tanpa pengarahan di ruang publik. Budaya urban
menjadi tema umum dari street photography dengan sentuhan surealis
dalam komposisinya.
2. Fotografi Jurnalistik
Fotografi jurnalistik merupakan salah satu dari beberapa aliran fotografi.
Dalam dunia jurnalistik, foto menjadi hal yang paling penting untuk mewakili
sebuah pemberitaan atau informasi yang tidak dapat disampaikan hanya
dengan sebuah tulisan.38 Sesuai dengan namanya, fotografi jurnalistik
mengedepankan realita.
Fotografi jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang
dihasilkan oleh wartawan selain produk jurnalistik berupa tulisan dan video.
Foto jurnalistik juga dapat dikatakan sebagai foto yang bernilai berita atau foto
yang menarik bagi pembaca tertentu, dan informasi tersebut disampaikan
kepada masyarakat sesingkat mungkin.39 Suatu foto bisa dikategorikan sebagai
foto jurnalistik jika mengandung unsur 5W+1H di dalamnya.
Seorang pionir jurnalisme foto modern, Henri Cartier-Bresson
mengungkapkan bahwa foto jurnalistik berkisah dengan gambar,
38 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 100 39 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 17.
28
melaporkannya dengan kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya
berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkapkan sebuah cerita.40
Asal usul fotografi jurnalistik bermula ketika surat kabar harian The
Daily Graphic di New York menampilkan foto kebakaran hotel dan salon yang
dimuat di halaman muka pada 16 April 1877.41 Dari hal tersebut kemudian foto
jurnalistik kian populer di media massa.
Kepopuleran foto jurnalistik mulai melesat pada 1930-1950 yang
menjadi masa keemasan dan lahirnya era foto jurnalistik modern. Beberapa
terbitan surat kabar seperti Sport Illustrated, Vu, dan Life menyajikan porsi
lebih untuk foto. Nama-nama pewarta foto pada era keemasan tersebut pun
mulai bermunculan, seperti Robert Capa, Alfred Eisenstaedt, Margaret Bourke-
White, David Seymour, hingga W. Eugene Smith. Lalu Henri Cartier-Bresson
dengan gaya candid dan dokumenternya.42
Sementara itu, era foto jurnalistik di Indonesia melekat erat dengan nama
sosok-sosok seperti Alex Mendur yang menjabat sebagai kepala divisi foto
kantor berita Domei. Ia bersama Frans Soemarto Mendur, JK Umbas, FF
Umbas, Alex Manurung dan Oscar Ganda kemudian mendirikan IPPHOS
(Indonesian Press Photo Service) di Jakarta pada 2 Oktober 1946.43
Alex dan Frans Mendur merupakan sosok yang berjasa atas
pendokumentasian presiden Soekarno ketika sedang memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Namun ketika tentara Jepang mengetahui adanya
bukti dokumentasi peristiwa proklamasi tersebut kemudian merampas dan
40 Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 166. 41 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 1. 42 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 4-5. 43 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 8-9.
29
menghancurkan negatif film milik Alex Mendur. Untungnya Frans Mendur
berhasil menyembunyikan negatif filmnya yang dikuburkan sebelum tentara
Jepang menggeledahnya. Sehingga kini masyarakat Indonesia memiliki bukti
nyata bahwa Indonesia pernah Merdeka.44
Dapat dilihat bahwa foto jurnalistik memiliki dampak yang besar,
terbukti dari ketakutan tentara Jepang atas foto-foto milik Mendur bersaudara.
Edwin Emery mengungkapkan fungsi dari foto jurnalistik, antara lain yaitu
untuk menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan
menghibur (to intertain).45
Fotografi jurnalistik terbagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan
jenisnya. Berikut merupakan acuan dari organisasi fotografi jurnalistik dunia,
World Press Photo untuk mengkategorikan foto berita46:
a. General News Photo adalah foto dari peristiwa yang terjadwal.
Temanya bisa bermacam-macam, yaitu: politik, ekonomi dan humor.
b. Spot Photo adalah foto dari peristiwa yang tidak terjadwal, suatu
kejadian yang bisa tiba-tiba terjadi, seperti bencana alam, kecelakaan
dan sebagainya. Jenis foto ini biasanya segera dipublikasi untuk
menjaga aktualitas innformasinya.
c. People in The News Photo adalah foto tentang orang atau
masyarakat dalam suatu berita. Foto tersebut menampilkan pribadi
atau sosok orang yang menjadi berita itu.
44 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 10. 45 Asep Saeful Muhadi M.A, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), h. 102. 46 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 8.
30
d. Daily Life Photo adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia,
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
e. Portrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close
up. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki
atau kekhasan lainnya.
f. Sport Photo adalah foto yang dibuat ketika ada peristiwa olahraga.
g. Science and Technology Photo adalah foto yang diambil dari
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan teknologi dan ilmu
pengetahuan.
h. Art and Culture Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni
dan budaya.
i. Social and Environment adalah foto tentang kehidupan sosial
masyarakat serta lingkungan hidupnya.
Serupa seperti jurnalistik pada umumnya, foto jurnalistik juga memiliki
aturan maupun syarat guna menjaga karya tersebut tetap sesuai dengan kaidah
hukum yang berlaku. Di Indonesia, foto jurnalistik diatur dalam Kode Etik
Jurnalistik, tertera pada pasal 2 dan3 dengan isi sebagai berikut:
“Pasal 2 berisi pertanggungjawaban yang antara lain: wartawan
Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat
merugikan bangsa dan negara, hal-hal yang dapat menimbulkan
kekacaukan, hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama,
kepercayaan atau keyakinan seseorang atau sesuatu golongan yang
dilindungi undang-undang. Sementara pada Pasal 3 berisi cara
pemberitaan dan menyatakan pendapat, antara lain disebutkan bahwa
wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk
memperoleh bahan-bahan berita. Wartawan Indonesia meneliti
kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkannya dengan
31
juga memperhatikan kredibilitas sumber berita. Di dalam menyusun
suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta)
dan pendapat (opini).”47
Dalam buku Jurnalistik Foto, Taufan Wijaya juga menyinggung soal
kode etik fotografi jurnalistik. Ia menjelaskan bahwa etika dikaitkan dengan
hal-hal etis, seperti kesopanan dan kelayakan sebuah foto untuk disajikan.48
Hal tersebut yang akan menjadi acuan bagi seorang pewarta foto untuk bijak
ketika proses pengambilan foto.
Taufan juga mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
pemberitaan serta penyajian pada era jurnalistik saat ini terdapat jenis foto
feature dan foto cerita. Foto feature seperti membawa gambaran kehidupan di
sekeliling kita. Sesuatu yang kadang berupa “adonan” dari cerita yang dekat
dengan berita, atau penggalan hidup yang teradang luput dari penglihatan
banyak orang. Oscar Matulloh dalam sebuah diskusi mengatakan, “foto feature
pada sebuah peristiwa ibarat mata uang yang dilihat dari sisi sebaliknya”.49
Foto cerita dalam penyajiannya terbagi menjadi dua jenis, yaitu foto
tunggal (single photo) dan foto seri (story photo). Foto tunggal adalah
foto.yang memiliki informasi yang cukup lengkap dan lugas secara visual
sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat foto lainnya. Sedangkan
foto seri atau foto cerita terdiri atas serangkaian foto yang tersusun dan memili
alur cerita. Gaya penyampaian foto cerita pertama kali disajikan dalam majalah
47 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 9-10 48 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 83. 49 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 73-74.
32
Muncher Illustrierte Presse berjudul "Politische Potrats" pada 1929 di
Jerman.50
Sejatinya bentuk penyajian foto cerita dalam lingkup internasional lebih
beragam, diantaranya berupa descriptive, narrative dan photo essay.
Descriptive merupakan gaya penyajian hasil observasi fotografer yang bisa
dipaparkan tanpa susunan yang runut namun tetap tidak mengubah isi alur
cerita. Narrative merupakan kebalikan dari decriptive, susunan foto memiliki
alur paten agar tidak melenceng dari cerita. Sedangkan essay yaitu gaya
penyampaian foto cerita dari sudut pandang tertentu yang bersisi argumen atau
opini dari fotografer. Foto essay lebih condong mengandung analisa dibanding
laporan dari suatu gejala, peristiwa, atau issue tertentu.51
Dalam penyajiannya, foto cerita biasanya didampingi dengan caption
atau keterangan. Keterangan pada foto cerita berfungsi sebagai penjelasan
informasi tambahan yang tidak termuat dalam visual, pun menjadi panduan
agar pembaca tetap pada jalur pemaknaan konotasi yang diinginkan oleh
fotografer.
50 Taudan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 79. 51 Di akses dari artikel Tentang Photo Story: Catatan Terbuka untuk Arbain Rambey, Elearning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_ARBAIN RAMBEY_.
33
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Profil Andri Ginting
Andri Ginting adalah seorang pewarta foto asal Medan, Sumatra Utara.
Andri mengawali karirnya dalam bidang fotografi sejak tahun 2010 di Harian
Sumut Pos, anak perusahaan Jawa Pos Grup untuk wilayah Sumatra Utara.
Selama lima tahun Andri Ginting menjabat sebagai fotografer di Harian Sumut
Pos hingga 2015, kemudian pada 2017 menjadi fotografer kontributor area
Sumatra Utara untuk Beritagar.id.
Pada pertengahan masa kerjanya di Harian Sumut Pos, Andri Ginting
meraih penghargaan Adiwarta tahun 2012. Adiwarta adalah sebuah ajang
penghargaan bergengsi tahunan tingkat nasional yang ditujukan untuk pewarta.
Melalui karya foto dalam kategori olahraga ia mampu mengungguli kandidat lain
yang tidak hanya berasal dari kantor berita nasional saja, tetapi juga dari kantor
berita internasional. Bahkan Andri menjadi satu-satunya perwakilan wilayah
Sumatra Utara dalam debut tahun pertamanya tersebut di ajang Adiwarta.
Andri Ginting juga menjadi salah satu dari 36 fotografer dan 17 negara
dalam perayaan fotografi JIPFest 2019 yang diselenggarakan di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Dalam acara tersebut Andri menampilkan karya foto cerita
bertajuk 'Perempuan Karo nan Tangguh'. Dalam rangkaian foto tersebut Andri
ingin merepresentasikan identitas perempuan Karo di kaki Gunung Sinabung.
Meskipun awal debut Andri Ginting dalam bidang fotografi jurnalistik baik,
ia mengaku lebih banyak mempelajari fotografi lebih dalam secara otodidak
34
sembari menamatkan studinya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Medan.52
Ketertarikan Andri Ginting pada bidang fotografi bermula ketika ia ingin
memutuskan sebuah pekerjaan yang cocok dengan jati dirinya yang bersifat
bebas. Fotografi dijadikan media berekspresi Andri Ginting untuk berkarya.
Baginya, sebuah karya yang mendapat apresiasi merupakan suatu kebanggan dan
kepuasan.
Selain menjadi kontributor untuk media daring Beritagar.id selepasnya dari
Harian Sumut Pos pada 2017, Andri Ginting juga menjadi kontributor untuk
kantor berita asal China, Xinhua News. Andri Gnting bekerja untuk Beritagar.id
selama dua tahun hingga akhir 2019, dan menjadi kontributor untuk beberapa
kantor beritas salah satunya adalah The Jakarta Post.
B. Gambaran Umum Beritagar.id
Beritagar.id dientuk pada 2015, merupakan gabungan dari situs kurasi
publik, Lintas.me (2011), dengan situs kurasi Beritagar.com (2012).
Mengusung visi yang sama, "Merawat Indonesia”, keduanya sepakat
membangun sebuah media baru berbasis teknologi, yang kemudian diberi nama
Beritagar.id, di bawah payung PT Lintas Cipta Media (LCM) yang merupakan
salah satu anak perusahaan Global Digital Prima (GDP) Venture. GDP Venture
adalah perusahaan investasi yang didirikan pada 2010 dan merupakan bagian
perusahaan Djarum yang fokus dalam bidang teknologi.
Situs Beritagar.id digagas di antara lebih dari 300 media daring berbahasa
Indonesia yang menerbitkan berita setiap hari. Beberapa di antaranya bahkan
terbit sepanjang hari, 24 jam sehari.
52 Wawancara langsung dengan Andri Ginting pada tanggal 15 Juli 2020.
35
Dibutuhkan teknologi untuk mengumpulkan dan menganalisis beragam
konten yang bertebaran sebagai data untuk diolah dan diceritakan kembali. Inilah
computer-assisted reporting, teknologi pelaporan dengan bantuan komputer.
Teknologi ini berperan penting dalam proses produksi konten di Beritagar.id.
Dikembang oleh Rekanalar, melalui ilmuwan komputer Jim Geovedi yang
kini menjabat sebagai Direktur Penelitian, sejak November 2013 teknologi
berbasis Machine Learning (ML) dan Natural Language Processing (NLP) ini
pertamakali diujicobakan pada situs kurasi berita, Beritagar.com.
Sebagai catatan, NLP adalah bidang ilmu komputer yang berhubungan
dengan kecerdasan buatan dan komputasi linguistik, seputar interaksi antara
bahasa manusia dan komputer. Sedangkan ML adalah bagian ilmu komputer yang
berfokus pada pengenalan pola dan pembelajaran oleh kecerdasan buatan.
Pada dasarnya Beritagar.id melakukan agregasi, yang menurut KBBI III,
bermakna pengumpulan sejumlah benda yang terpisah-pisah menjadi satu. Namun
Beritagar.id tidak sekadar membuat daftar tautan, seperti yang dikenal selama ini
tentang situs agregasi. Redaksi berperan menyunting dan menceritakannya
kembali kepada pembaca. Jika datanya tak cukup atau meragukan, maka redaksi
akan melakukan verifikasi dan melengkapinya dari sumber lain yang kredibel.
Selain teknologi pelaporan dengan bantuan komputer, Beritagar.id juga
dilengkapi teknologi Rekanalar lainnya untuk menyajikan konten yang relevan.
Mesin rekomendasi Rekanalar mampu secara pintar memprediksi konten atau
iklan yang relevan dengan pembaca, tanpa merasa terganggu dengan
keberadaannya.
36
Beritagar.id juga menyajikan laporan berbasis data. Pada era digital ini,
banyak data publik yang dapat dikemas ulang baik dalam bentuk tulisan,
infografik maupun videografik. Kumpulan data ini dipandang penting untuk
memberi perspektif yang lebih luas bagi pembaca terhadap sebuah isu.
Pusat data Beritagar.id bernama Lokadata, yang dikumpulkan dari berbagai
sumber yang kredibel, dan berstatus data publik. Publik dapat turut menggunakan
data di dalamnya, sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku di Lokadata.53
Pada 2 Desember 2019 Beritagar.id tampil dengan wajah baru dan
mengubah nama menjadi Lokadata.id dengan sajian yang lebih segar dan lebih
mudah dicerna,54 dengan tetap menjaga visi misi awal dan berkonsepkan
jurnalisme data.
Struktur Redaksi Beritagar.id:
1. Pimpinan
a. Pemimpin Umum : Herman Kwok
b. Pemimpin Perusahaan : Didi Nugrahadi
2. Dewan Redaksi
a. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Dwi Setyo Irawanto
b. Wakil Pemimpin Redaksi : Rahadian Prajna Paramita
c. Redaktur Senior : Antyo Rentjoko, Yayan Sopyan
d. Sidang Redaksi : Elisa Valenta Sari, Merary Tasya Mutiara
Simatupang, Rabiatul Adawiyah
3. Tim Data
53 Diakses dari beritagar.id Tentang Kami, https://beritagar.id/tentang-kami 54 Diakses dari lokadata.id Ikhtiar Menyajikan Informasi Bergizi, https://lokadata.id/artikel/ikhtiar-menyajikan-informasi-bergizi
37
Agung Setyo Nugroho, Ahmad Suwandi, Anindhita Maharani, Astari
Kusumawardhani, Cahaya Harahap, Cornelius Agung B, Doddy Farhan,
Imron Fauzi, Islahuddin, Iyan Kushardiansah, Kaka Enindhita Prakasa,
Markus Deni Kuncoro, Muhamad Yogi, Muhammad Nafi', Nanang
Syaifudin, Ryane Andika Kristianto
Alamat Kantor
Alamat : Jl. Jatibaru No. 28 Jakarta Pusat 10160
Telp. +6221 351 4123
Faks. +6221 351 4122
Surel. [email protected]
C. Foto Upacara Mangongkal Holi di Beritagar.id
Tanah Batak secara geografis terletak di sekitar Danau Toba, Sumatra Utara
dan dihuni oleh masyarakat Batak yang meliputi Kangkat Hulu, Deli Hulu,
Dataran Tinggi Karo, Serdang Hulu, Toba, Simalungun, Tapanuli Tengah, dan
Mandailing. Masyarakat Batak dapat diartikan sebagai masyarakat yang terdiri
dari Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak (Dairi), Pasisir, Angkola,
Mandailing.55 Setiap wilayah merupakan sub suku yang menginduk pada Suku
Batak secara keseluruhan.
Kebudayaan yang terlahir di Tanah Batak senantiasa dijaga kelestariannya
oleh generasi-generasi penerus masyarakat Batak. Tradisi adat dan sistem
kekeluargaan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Batak. Hal itu melekat erat
pada aktivitas sehari-hari maupun pada momen tertentu seperti upacara-upacara
kebudayaan yang disepakati dan diwariskan secara turun temurun.
55 Gens Malau, Aneka Ragam Budaya Batak, (Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara Taotoba Nusantara Budaya, 2000), h. 31.
38
Masyarakat Batak menerapkapkan falsafah dalihan na tolu, yang menjadi
pedoman sistem kekerabatan atau kekeluargaan.56 J. P. Sitanggang dalam buku
Raja Napogos menjelaskan bahwa dalihan na tolu memiliki tiga unsur yang
diantaranya adalah; somba marhulahula atau hormat terhadap marga istri, elek
marboru atau mengayomi anak perempuan, dan manat mardongan tubu atau
hubungan antar teman semarga. Dalihan na tolu inilah yang digunakan nenek
moyang masyarakat Batak sebagai pedoman dalam aspek sosial bermasyarakat
dan diteruskan oleh anak cucu suku Batak hingga kini, baik yang berada di
bonapasogit (daerah asal) maupun yang berada di perantauan.
Penerapan nilai saling menghargai oleh masyarakat Batak tidak hanya
diterapkan kepada sanak saudara yang masih hidup saja, mereka juga begitu
menghormati famili yang telah mati. Masyarakat Batak mempercayai roh yang
terbagi atas tiga bagian; tondi, sahala, dan begu.
Tondi adalah penggerak tubuh (raga) yang didapat dari mulajadi na bolon
(tuhan) baik dari orang yang masih hidup maupun yang telah mati. Sahala adalah
kekuatan tondi, kekuatan untuk memiliki keturunan, pemikiran, pengetahuan atau
bakat. Sahala orang yang telah mati dipercaya bisa diturunkan kepada mereka
yang masih hidup. Begu adalah roh yang mendiami suatu tempat.
Bentuk penghormatan terhadap roh tersebut dihadirkan dalam prosesi
upacara adat, salah satunya adalah mangongkal holi. Dalam Kamus Bahasa Batak
Toba, mangongkal berarti menggali dan holi berarti tulang atau tulang belulang.57
Upacara mangongkal holi berarti sebagai kegiatan menggali tulang-belulang
56 Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan: Armanda, 1992), h. 60. 57 Richard Sinaga, Meninggal Adat Dalihan Natolu, (Jakarta: Dian Utama, 1999), h. 112.
39
orang meninggal untuk dikuburkan kembali ke tempat lain. Mangongkal holi
sudah diadakan sejak era pra-Kristen di tanah Batak.
Upacara mangongkal holi diadakan ketika salah satu anggota keluarga yang
masih hidup bertemu dengan leluhur yang telah mati, baik secara pengelihatan
maupun dalam mimpi. Hal itu yang menjadi penanda dan dimulailah prosesi
penggalian makam sementara dan dipindahkannya tulang-belulang ke makam
keluarga yang berbentuk tugu.
Penghormatan terhadap orang tua dalam tradisi budaya Batak sangat
dijunjung tinggi, bahkan kepada mereka yang telah mati. Hal itu dilakukan
dengan cara mengadakan upacara kematian hingga membuat makam sekunder
untuk menyimpan tulang-belulang leluhur yang disebut batu napir.58 Selain
sebagai bentuk penghormatan, upacara mangongkal holi juga bertujuan untuk
mempererat hubungan kekeluargaan yang saling gotong royong dan
mempersatukan sanak saudara yang jauh dari tanah rantau.
Prosesi upacara mangongkal holi diawali dengan telah tersedianya tujuan
pemindahan tulang-belulang, yaitu makam batu napir yang berbentuk tugu. Dalam
pembangunan tugu makam tersebut diadakan pula upacara khusus yang ditujukan
untuk sumangot (roh leluhur yang dianggap berkuasa), dengan sajian makanan
sebagai persembahan dan diletakkan pada sebuah altar atau pangombari untuk
didoakan oleh tetua adat.59 Setelah persiapan makam selesai, kemudian makam
lama siap digali dan dipindahkan tulang-belulangnya dengan serangkaian tata cara
khusus.
58 Richard Sinaga, Meninggal Adat Dalihan Natolu, h. 118. 59 H. Gultom, Penggalian Tulang-belulang Leluhur, (Jakarta: Gunung Mulia,1991), h. 14.
40
Pelaksaan upacara mangongkal holi tidak hanya proses pemindahan tulang
saja, namun ada tata cara dan aturan yang sudah disepakati oleh tetua adat dan
masyarakat Batak sejak zaman nenek moyang mereka. Berikut adalah alur
upacara mangongkal holi:
1. Manopot angka hula hula ni si okkalon, yaitu berkumpulnya tiga
pihak keluarga, yaitu:
a. Ima bona ni arina (kelompok marga istri yang akan digali atau tiga
tingkatan di atas pihak yang memiliki acara).
b. Hula-hula nan i okal (keluarga kandung atau satu marga atau klan
pihak istri yang akan digali).
c. Tulang na (pihak paman dari anak atau cucu yang ingin melakukan
upacara).
Tujuan dari pemanggilan ketiga pihak ini antara lain untuk
memberitahukan atau meminta restu serta mengundang mereka turut hadir
dalam upacara yang akan dilakukan.
2. Martonggoraja. Proses persiapan dari pihak keluarga terkait waktu
pelaksanaan, biaya yang diperlukan, undangan untuk dongan tobu,
tulang, dongan sahuta serta tetua adat atau pemuka agama. Anak atau
semua keturunan dari yang akan digali makamnya adalah panitia dari
prosesi martonggoraja ini. Salah satu dari pihak paman akan ditunjuk
sebagai pembaca doa untuk keselamatan dan kelancaran proses
penggalian makam.
3. Proses penggalian makam. Setelah mencapai mufakat ketika
martonggoraja, seluruh kerabat dalihan na tolu acara di rumah
41
keluarga yang melaksanakan upacara mangongkal holi pada waktu
yang telah ditentukan. Sebelum menggali makam pihak hula-hula
melakukan iibadah atau doa terlebih dahulu. Kemudian langkah-
langkah yang dilakukan ketika penggalian makam adalah sebagai
berikut:
a. Pemuka agama membuka cara di pemakaman dan memandu
pemanjatan doa-doa dan melantukan pujian-pujian terhadap
Tuhan demi kelancaran acara penggalian. Kemudian pemuka
agama melakukan cangkulan pertama dan dilanjutkan oleh pihak
keluarga.
b. Bona ni ari (paman dari pihak mendiang yang akan digali)
sebagai pembuka setelah pemuka agama.
c. Selepas pembukaan kemudian bonu ni ari mencangkul sebanyak
tiga kali.
d. Pencangkulan oleh pihak mertua sebanyak tiga kali.
e. Pihak anak satu perut atau anak kandung serta anak kesayangan
atau anak terakhir melanjukan pencangkulan sebanyak tiga kali.
f. Pihak anak menyampaikan kepada pihak boru (keturunan
perempuan atau suami dari keturunan perempuan) agar
melanjutkan mencangkul hingga tulang-belulang ditemukan.
g. Setelah tulang-belulang ditemukan, maka pihak boru hasuhutan
(suami dari anak perempuan kandung, bukan karena marga)
diberitahukan untuk mengangkat tulang-belulang.
42
Di dekat makam pihak dari keturunan laki-laki sudah berjaga dan
siap menerima tulang-belulang yang diangkat dari bawah oleh pihak
suami dari saudara perempuannya. Setelah tulang-belulang terangkat
dan dibersihkan maka selanjutnya pihak keluarga anak tertua dari
keturunan yang makamnya digali akan mengumumkan bahwa
penggalian sudah selesai. Acara penggalian ditutup dengan pihak anak
menyampaikan sepatah, dua patah kata kepada pihak paman untuk
memberikan ulos timpus (kain khas Batak yang melapisi atau
membungkus tulang-belulang).60
4. Upacara serah terima tulang. Setelah makam lama digali, langkah
selanjutnya yaitu pihak paman membersihkan dan membungkus
tulang-belulang tersebut. Kemudian pihak paman akan menyerahkan
tulang-belulang kepada pihak keturunan. Pihak keturunan menerima
dengan ucapan terimakasih serta ajakan untuk mengikuti acara
memasukan tulang ke dalam tugu sebagai bentuk rasa hormat kepada
pihak paman dari kakek.
5. Upacara mangongkal holi. Setelah upacara serah terima maka
dilanjutkan dengan pengucapan terimakasih serta penghormatan
terhadap pihak paman selaku pihak yang paling dihormati dalam
kekerabatan keluarga Batak. Kemudian tulang belulang yang sudah
bersih dan dibungkus kain ulos dimasukkan ke dalam peti dan dibawa
oleh pihak istri (jika masih ada, jika sudah tidak ada maka digantikan
oleh anak perempuan tertua) dengan menaruh peti di atas kepala.
60 T.M. Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat, (CV. Tulus Jaya, 1989). h. 241-242.
43
Penyampaian kata-kata penutup yang ditujukan untuk semua
keturunan yang menghadiri upacara, dilanjutkan dengan memasukkan
tulang-belulang ke dalam tugu yang telah disediakan. Doa dan pemberkatan
diberikan oleh penatua gereja, atau jika penatua gereja berhalangan akan
digantikan oleh pendeta yang ditunjuk pihak gereja, karena mayoritas
masyarakat Batak beragama Kristen Protestan.
Masuknya agama modern sebagai keyakinan masyarakat Batak tidak serta
merta menghilangkan esensi keadatan yang diwariskan oleh leluhur mereka,
meskipun hal tersebut bertolak belakang dengan ajaran agama modern. Menurut
Aritonang, seorang teolog Kristen, mengungkapkan bahwa bagi masyarakat
Batak, adat adalah sesuatu yang bersifat totalitas. Adat bagi masyarakat Batak
bukanlah sekadar tata tertib sosial atau kebiasaan, melainkan sesuatu yang
mencakupi seluruh dimensi kehidupan, baik jasmani maupun rohani, masa kini
dan masa depan, dan hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos.61
Persoalan adat bagi masayakat Batak adalah hal yang serius. Kesalahan dan
kekeliruan yang terjadi dalam adat ataupun melalaikan adat dipercaya
mengakibatkan bencana dan marabahaya, seperti ketidaksuburan tanah, kegagalan
panen dan datangnya wabah penyakit.62 Hal tersebut yang kemudian menjadi
kontra dengan agama modern.
Menurut segi keagamaan masyarakat Batak yang mayoritas menganut
agama Kristen, ada ayat yang mengatakan "Jangan ada padamu Allah lain di
hadapan-Ku." (Keluaran 20:3) dalam Sepuluh Perintah Allah. Ayat tersebut
61 J.S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 47-48. 62 P.B. Pedersen, Batak Blood and Protestan Soul: The Development of National Batak Churches in North Sumatra, (Michigan: William B. Eardmans Publishing Company, 1970), h. 36.
44
ditunjang oleh ayat selanjutnya yang berbunyi, "Jangan membuat bagimu patung
yang menyerupai apapun yang di langit, atau di bumi," (Keluaran 20:4) dan
"Jangan sujud menyembah kepadanya dan beribadah kepadanya," (Keluaran
20:5).
Berdasarkan beberapa ayat tersebut dalam ajaran Kristen tidak dibenarkan
untuk menyembah selain Allah. Dalam upacara mangongkal holi prosesi
penyembahan roh leluhur telah dihilangkan agar tidak terjadi pertentangan dengan
agama yang sedang dianut masyarakat Batak Toba saat ini. Namun penghormatan
terhadap leluhur yang menjadi dasar upacara ini tetap terjaga.
Kepercayaan animisme terkait roh-roh dari manusia yang telah mati dan
menempati benda-benda di bumi juga berbanding terbalik dengan ajaran Kristen.
Salah satunya tertulis dalam Alkitab, yaitu "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat
tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku
pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." (Yohanes 14:2). Menurut
penganut Kristen mereka yakin bahwa jiwa orang mati akan berpindah menuju
tempat khusus di dimensi lain dan bukan di bumi.
Agama dalam kehidupan manusia tidak saja dipengaruhi oleh aturan dogma
atau nilai-nilai dari ajaran agama saja, tetapi juga sistem nilai yang berlaku di
masyarakat yang terkadang serupa dengan ajaran agama ataupun terkadang juga
bertentangan.63 Ajaran adat yang tidak bertengan dengan agama modern tetap
dapat dilakukan hingga saat ini sebagai kebudayaan.
Upacara mangongkal holi sendiri merupakan bagian dari praktik adat yang
diwariskan dari generasi ke generasi sejak agama modern belum memasuki tanah
63 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 8.
45
Batak. Praktik adat tersebut juga merupakan bagian dari realisasi agama suku
Batak Toba, yang disebut oleh misionaris sebagai hasipelebeguan.64 Kepercayaan
terhadap dewa dalam mitologi Batak Toba dan kepercayaan pada roh leluhur atau
nenek moyang juga merupakan bagian dari hasipelebeguan.65
Dalam sebuah kesempatan Andri Ginting, seorang fotografer asal Medan
mendokumentasikan upacara mangongkal holi dalam bentuk foto cerita. Foto-foto
tersebut dimuat pada media daring Beritagar.id pada Minggu, 7 Juli 2019. Setiap
prosesi dari upacara mangongkal holi digambarkan dalam foto-foto tersebut.
64 J. Pardede, The Question of Christianity, Islam and Batak Culture in North Sumatra, (Berlin: Dietrich Reimer Verlag, 1987), h. 237. 65 J.C Vergouwen, The Social Organisation and Customary Law of The Toba-Batak of Northern Sumatra, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1986), h. 79.
46
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada analisia semiotika Roland Barthes menyebutkan tiga tahap konsep
pemaknaan semiotika. Pertama tahap denotasi, penulis akan menjabarkan elemen
yang terdapat dalam foto. Kedua tahap konotasi, terdapat enam komponen yang
akan menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen pada foto, yakni trick
effect (efek tiruan), pose, objek, photogenia (teknik foto), aestheticism (komposisi
gambar), dan sintaksis. Lalu tahapan ketiga yaitu menentukan mitos. Melalui tiga
tahap pemaknaan tersebut penulis akan menjabarkan pesan-pesan animisme
melalui tanda-tanda dalam foto.
A. Foto 1
Caption: MAKAM | Pada tanah-tanah lapang di kawasan Toba, Sumatra
Utara, makam-makam berdiri bak rumah yang ditempati. Ada yang besar, ada
pula yang kecil, bangunan itu dibuat sebagai bentuk penghormatan kepada yang
47
lebih dulu pergi. Dalam bangunan makam itu lebih dari satu jasad disimpan,
kebanyakan memiliki ikatan darah yang dekat.
1. Makna Denotasi
Dalam foto ini terlihat sebuah tambak dan seorang laki-laki di sudut
kanan. Tambak adalah kuburan yang biasanya berbentuk tugu dan berisi
jenazah atau tulang-belulang orang tua dan leluhur. Tambak tersebut berdiri
di atas hamparan rumput dan di belakangnya terlihat perairan serta
perbukitan. Dari latar belakang dalam foto tersebut, menunjukkan bahwa
lokasi foto ini diambil di tepi danau Toba Sumatra Utara.
Bagian atas bangunan tambak yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan tulang-belulang terbuat dari kayu dengan bentuk menyerupai
rumah adat masyarakat Batak yaitu rumah Bolon. Sedangkan bagian bawah
yang menjadi pondasi terbuat dari beton. terlihat pula unsur keagamaan
berupa salib yang berdiri di samping bangunan utama tambak, serta simbol
salib patonce pada bagian depan pondasi tambak.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Foto pertama ini telah melalui proses trick effect dengan
menyesuaikan kontras pada warna, fungsi penyuntingan gambar
dilakukan untuk tujuan eksplorasi estetika serta menunjukkan bentuk-
bentuk makna dalam cahaya. Selain itu dengan melakukan perbaikan
warna fotografer juga bisa menciptakan dimensi yang ada dalam foto.1
1 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 44.
48
Menurut penulis penyuntingan foto tersebut tidak dengan
manipulasi untuk menambahkan atau menghilangkan objek yang dapat
mengubah pesan dari sebuah foto. Foto ini tergolong dalam kategori foto
jurnalistik, sehingga manipulasi berlebihan tidak diperkenankan dan
tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik yang bersifat faktual.
b. Pose
Pose adalah gaya, posisi, ekspresi dan sikap subjek foto. Pada foto
pertama terlihat satu subjek yaitu seorang laki-laki yang terletak di
bagian kanan bawah dari foto. Laki-laki tersebut menunjukkan sikap
tubuh sedang berjalan ke arah kanan. Pose menghadap kanan yang
ditunjukkan pada subjek merepresentasikan kelanjutan, yaitu
melanjutkan adat yang diwariskan turun-temurun dari leluhur mereka.
c. Objek
Objek dapat dipahami sebagai benda-benda yang dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu
juga merupakan point of interest atau pusat perhatian dalam foto.2 Pada
point of interest inilah pandangan tertuju dan menjadi inti cerita dari
sebuah foto.
Objek utama pada foto pertama ini adalah sebuah bangunan tambak
dan seorang laki-laki yang sedang berjalan. Bangunan tambak yang
menyerupai rumah Bolon tersebut memiliki makna bagi masyarakat
Batak sebagai tempat tinggal roh leluhur yang tulangnya disemayamkan
2 Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta, Kanal, 2002), h. 167.
49
di dalamnya. Hal tersebut didasari atas kepercayaan masyarakat Batak
terhadap roh-roh yang mendiami suatu benda.
Selain point of interest tersebut terlihat pula objek-objek
pendukung seperti padang rumput di tepi danau Toba dan pulau Samosir.
Objek-objek pendukung tersebut menunjukkan tempat kelahiran suku
Batak Toba.
d. Photogenia
Secara teknis pengambilan foto ini menggunakan lensa dengan
focal lenght yang luas yaitu 17-40 mm. Penggunaan lensa ini bertujuan
agar mendapatkan sudut pandang yang luas tanpa menimbulkan distorsi
yang berlebihan. Meskipun foto ini menampilkan pemandangan namun
diafragma yang digunakan adalah f/4, hal ini bertujuan untuk
memberikan sedikit efek blur pada latar belakang agar pandangan tetap
terfokus pada objek utama. Dengan adanya objek yang bergerak maka
kecepatan yang digunakan adalah 1/4000 detik agar objek dapat
ditangkap dengan jelas. Untuk mendapatkan pencahayaan yang cukup
maka ISO diatur pada angka 500.
e. Aestheticism
Dari segi aestheticism, komposisi foto pertama ini menggunakan
rule of third3 yang mana 1/3 foto memuat langit, dan 2/3 foto sisanya
memuat objek daratan dan perairan. Tiga objek yang menonjol pada foto
ini yaitu perbukitan pulau Samosir, bangunan tambak dan seorang lelaki
membentuk garis diagonal.
3 Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai, (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2019), h.76.
50
f. Sintaksis
Foto pertama yang berjudul "Makam" dilengkapi dengan caption
yang menjelaskan tentang makam adat masyarakat Batak, mulai dari
bentuk hingga fungsi dari makam yang disebut tambak. Caption tersebut
juga menjelaskan tambak memiliki beragam bentuk, disesuaikan dengan
banyaknya jumlah tulang-belulang anggota keluarga yang ingin
ditempatkan dalam tambak. Pada perkembangannya bentuk tambak juga
menjadi tolak ukur derajat dari suatu keluarga. Kawasan Toba, Sumatra
Utara yang dijadikan lokasi pengambilan gambar juga dipertegas melalui
caption.
Dalam makna kononasi selain memperlihatkan pengambilan foto
secara teknis juga dapat dimaknai bahwa masyarakat Batak Toba dikenal
sebagai masyarakat yang taat kepada adat dan istiadat. Hal tersebut
didukung dengan pemilihan objek-objek dalam foto, latar belakang foto
berupa danau Toba dan pulau Samosir sebagai simbol lokasi, sebuah makam
tradisional sebagai simbol upacara mangongkal holi dan objek manusia
sebagai simbol masyarakat Batak Toba itu sendiri.
3. Makna Mitos
Orang tua maupun leluhur masyarakat Batak Toba sejak dulu selalu
menekankan pada keturunannya agar memiliki tanah dan tinggal di tanah
kelahirannya. Ketika orang tua atau leluhur mereka meninggal di tanah
perantauan, maka jenazah maupun tulang-belulangnya harus dibawa
51
kembali ke tanah kelahirannya,4 sesuai dengan falsafah kekeluargaan
masyarakat Batak yaitu dalihan na tolu.
Tempat khusus yang ditujukan sebagai tempat tinggal roh-roh leluhur
dibuat agar tetap terjalinnya hubungan antara anggota keluarga yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal. Roh atau jiwa mereka yang telah
meninggal dipercaya akan berpindah menuju benda atau bahkan orang lain.5
Hal ini yang telah ditanamkan oleh leluhur masyarakat Batak dan
diwariskan melalui adat dan senantiasa dijalankan oleh generasi penerusnya.
Menurut penuturan tetua masyarakat Batak, ritual mangongkal holi
dilakukan dengan memindahkan tulang-belulang leluhur dari makam batu
lama menuju makam batu baru, dikenal dengan istilah batu napir.6 Pada
perkembangannya makam batu napir mulai berganti dengan makam baru
yang lebih besar dan megah, yang disebut tugu atau tambak. Seberapa
megah bentuk dari tambak menandakan strata sosial keluarga pemiliknya.
Dalam foto pertama terlihat sebuah tambak dengan bentuk yang tidak
terlalu besar, disampingnya juga terdapat simbol agama yang berbentuk
salib. Masuknya ajaran Kristen dalam kehidupan masyarakat Batak
melahirkan sebuah paham yaitu sinkretisme. Sinkretisme hadir sebagai
pencampuran antara dua tradisi atau lebih dan terjadi lantaran masyarakat
mengadopsi suatu kepercayaan dan berusaha untuk tidak terjadi benturan
4 Supsiloani dan F. Sinaga, Fungsi Tanah dan Kaitannya dengan Konflik Tanah pada Masyarakat Batak Toba, dalam Antrhopos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 2, (Medan: Universitas Negri Medan, 2006), h. 15. 5 P.B. Pedersen, Batak Blood and Protestan Soul: The Development of National Batak Churches in North Sumatra, (Michigan: William B. Eardmans Publishing Company, 1970), h. 30. 6 B. Simanihuruk dan M. Muchtar, Analysis of Translation Technique And Shift of Batak Toba Cultural Terms in Inside Sumatra: Tourism and Life Style Magazine, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013), h. 197.
52
dengan gagasan dan praktik budaya lama.7 Hal tersebut membuktikan
bahwa paham agama modern tidak serta-merta menghilangkan esensi
kepercayaan lokal yang lebih dahulu diyakini masyarakatnya.
B. Foto 2
Caption: GARIS PEREMPUAN | Dalam prosesi ritual Mangongkal Holi,
pihak keluarga dari garis keturunan perempuan yang memiliki hak memegang dan
membersihkan tulang-belulang leluhur mereka. Untuk melaksanakan ritual tradisi
masyarakat Batak ini tidaklah mudah. Selain memerlukan biaya yang tidak
sedikit, setiap keturunan juga harus menyetujui dilaksanakannya ritual tradisi ini.
Itulah yang menyebabkan ritual ini jarang kali terjadi.
1. Makna Denotasi
Pada foto kedua tampak peti berisi tulang-belulang leluhur diangkat
oleh seorang perempuan yang memiliki garis keturunan dengan leluhur yang
7 Niels Mulder, "Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara", Basis, Edisi Agustus, h. 285.
53
tulangnya dipindahkan. Hal tersebut merupakan salah satu bagian dari
rangkaian acara mangongkal holi. Tampak juga sanak saudara di sekeliling
yang turut diundang untuk menghadiri upacara tersebut. Garis keturunan
perempuan memiliki hak untuk memegang, mengangkat serta
membersihkan jasad para leluhur.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Foto kedua ini telah melalui proses trick effect dengan melakukan
penyesuaian warna, proses penyuntingan tersebut dilakukan untuk
menampakkan objek yang tidak terpapar cahaya. Proses penyuntingan
warna tidak menghilangkan atau mengubah objek pada foto. Keindahan
tersebut menurut penulis dapat dilakukan oleh seorang jurnalis foto,
selama tidak mengubah informasi yang terkandung dalam foto
jurnalistiknya.
b. Pose
Pada foto kedua, terlihat pose dari subjek utama yang mengangkat
peti di atas kepala. Di depan subjek utama terlihat seorang pria yang
berjaga menjaga peti agar tidak terjatuh. Raut wajah tersenyum lebar
terlihat dari keduanya, hal ini menjukkan ekspresi bahagia yang juga
tampak dari orang-orang yang menghadiri upacara tersebut.
Keluarga yang mengadakan upacara mangongkal holi berbahagia
sekaligus merasa bangga dengan diadakannya upacara tersebut.
Kebahagiaan itu muncul atas terlaksananya amanat leluhur dan telah
54
menyediakan tempat peristirahatan terakhir untuk keluarga yang mereka
cintai.
c. Objek
Terdapat beragam objek pada foto kedua ini, namun bagian yang
menjadi point of interest adalah peti leluhur lengkap dengan nama yang
ditaruh tepat diatas kepala seorang perempuan. Selain itu, pada foto ini
memperlihatkan dominasi perempuan yang hadir dalam prosesi serah
terima tulang.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto ini menggunakan kecepatan 1/200 detik
untuk membekukan objek dan tidak melewatkan momen tertentu.
Dengan diafragma f/4,5 yang difokuskan kepada objek yang berada di
depan, dan sedikit buram pada bagian belakang latar. Untuk
meminimalisir noise pada gambar maka ISO yang digunakan yaitu 200.
Ketiga pengaturan tersebut dipertimbangkan dengan kondisi
pencahayaan di lokasi yang tertutup dan menghalangi sumber cahaya.
e. Aestheticism
Secara komposisi foto kedua ini diambil dengan sudut pandang eye
level yang memposisikan kamera lurus sejajar dengan mata subjek
utama. Teknik pengambilan foto freezing dengan menggunakan
kecepatan bukaan rana juga digunakan untuk mendapatkan momen dan
menghindari efek guncangan pada kamera.
55
f. Sintaksis
Caption pada foto kedua ini menguatkan informasi yang
menjelaskan prosesi setelah tulang-belulang berhasil digali dari makam
lama. Andri Ginting, fotografer menulis bahwa proses tersebut dilakukan
pleh pihak keluarga dari garis keturunan perempuan yang memiliki hak
memegang dan membersihkan tulang-belulang leluhur mereka. Momen
upacara Mangongkal Holi jarang ditemui dikarenakan membutuhkan
banyak biaya dan banyak pihak yang terlibat.
Berdasarkan teknis pengambilan foto kedua maka makna konotasi
yang terlihat adalah masyarakat Batak Toba sangat menghormati leluhur
mereka. Simbol penghormatan tersebut terlihat pada pose mengangkat peti
berisi tulang-belulang orang tua atau leluhur mereka. Hubungan atara
anggota keluarga telah diatur dengan baik melalui sistem kekerabatan
sehingga ikatan yang terjalin akan semakin erat. Masyarakat Batak percaya
bahwa dengan terjalinnya hubungan kekerabatan yang baik maka akan
memberikan berkah satu sama lain.
3. Makna Mitos
Pada praktik upacara mangongkal holi memperlihatkan bahwa
hubungan antara satu sama lain akan teratur baik dalam upacara adat
maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari.8 Persiapan upacara mangongkal
holi turut mengundang sanak saudara atau kerabat dari keluarga yang
mengadakan upacara tersebut.
8 Mangihut Siregar. Ketidaksetaraan Gender dalam Dalihan na Tolu dalam Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.1: h.13
56
Foto kedua memperlihatkan seorang perempuan yang membawa peti
berisi tulang-belulang leluhurnya di atas kepala. Hal tersebut menandakan
bahwa andil perempuan dibutuhkan dalam prosesi upacara adat mangongkal
holi. Pada prosesi ini yang bertugas sebagai pembawa peti adalah keluarga
dari pihak istri, namun jika tidak ada maka digantikan oleh anak perempuan
tertua. Pengangkatan peti di atas kepala dimaksudkan untuk menjunjung
tinggi, dimaknai sebagai penghormatan terhadap leluhur.
Peran anak perempuan dalam upacara mangongkal holi menyesuaikan
dengan sistem kekerabatan dalihan na tolu. Dalam dalihan na tolu dua dari
tiga unsurnya yaitu hula-hula dan boru diperoleh dari keberadaan
perempuan setelah melalui hubungan perkawinan.9 Perempuan dalam tradisi
matrilineal dianggap mulia dan mendapatkan tempat terhormat dalam sistem
kekerabatan mulai dari keluarga inti, keluarga besar hingga tingkat suku.
Maka peran perempuan yang mengangkat peti berisi tulang belulang
disimbolkan sebagai ikon kehormatan, penghormatan terhadap leluhur.
9 Rajamarpondang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan: Media Sarana, 1992), h. 61
57
C. Foto 3
Caption: PENCUCIAN | Dalam prosesi Mangongkal Holi, tulang belulang
leluhur yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah dicuci dengan air
jeruk. Agar tampak bersih tulang-tulang yang telah dicuci kemudian dilumuri oleh
air kunyit. Setelah dikeringkan, barulah tulang-tulang leluhur mereka kembali
dimasukkan ke dalam peti.
1. Makna Denotasi
Pada foto ketiga tampak proses pencucian tulang belulang yang
sebelumnya telah digali dari makam lama. Tulang-belulang tersebut
diletakkan pada sebuah wada berisi air dan potongan jeruk limau. Pencucian
ini bertujuan utnuk membersihkan tulang dari debu dan serpihan kayu yang
berasal dari peti.
58
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Foto ketiga ini proses trick effect yang dilakukan adalah
penyesuaian warna. Proses penyuntingan warna tersebut bertujuan untuk
lebih mempertajam warna pada objek. dan menunjukkan tekstur dari
objek. Foto ini tidak mengalami manipulasi berlebihan seperti
menghilangkan objek ataupun menambahkan objek.
b. Pose
Pada foto ketiga ini yang menjadi subjek adalah si pencuci tulang-
belulang. Meskipun tidak ditampilkan secara utuh namun terlihat bahwa
subjek sedang duduk bersila di hadapan wadah mencuci. terlihat pose
subjek yang sedang mencuci tulang belulang pada sebuah wadah bersisi
air dan potongan jeruk.
Pose yang menguatkan bahwa subjek sedang membersihkan tulang
adalah posisi tangan yang masing-masing menggenggam tulang dan
potongan jeruk secara berdekatan.
c. Objek
Terdapat beragam objek pada foto ketiga diantaranya sebuah
wadah air yang berisi rendaman tulang-belulang dengan beberapa
potongan jeruk. Terlihat tulang belulang dari beberapa bagian tubuh,
terutama tengkorak kepala. Penulis memaknai objek yang ditonjolkan
tersebut menandakan jika itu adalah tulang-belulang manusia.
59
d. Photogenia
Dalam foto ini momen yang ingin ditangkap yaitu ruang ketajaman
yang bertujuan untuk mendapatkan detail dari setiap objek. Maka
diafragma yang digunakan adalah f/4. Sedangkan kecepatan yaitu 1/5000
detik dan ISO 640 untuk menyesuaikan kondisi pencahayaan di lokasi
pengambilan foto. Foto ini diambil dengan menggunakan kamera Canon
5D Mark II dengan lensa Canon EF 17-40mm f/4L USM.
e. Aestheticism
Secara komposisi foto ketiga diambil dengan sudut pandang bird
eye. Ketika proses pengambilan gambar kamera diposisikan tepat di atas
objek utama. Sudut pandang bird eye dipilih untuk mendapatkan
gambaran objek paling jelas yang kurang didapatkan ketika mengambil
dari sudut pandang lain. Penempatan point of interest tepat berada di
tengah-tengah bingkai foto. Unsur bentuk lingkaran dalam elemen visual
juga terlihat dari objek wadah air tersebut.
f. Sintaksis
Caption pada foto ketiga ini menguatkan informasi yang
menjelaskan prosesi pencucian tulang-belulang leluhur. Andri Ginting,
fotografer menulis bahwa dalam prosesi mangongkal holi, tulang
belulang leluhur yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah
dicuci dengan air jeruk. Agar tampak bersih tulang-tulang yang telah
dicuci kemudian dilumuri oleh air kunyit. Setelah dikeringkan, barulah
tulang-tulang leluhur mereka kembali dimasukkan ke dalam peti.
60
Konotasi pada foto ketiga dapat dimaknai dengan kesucian. Pose
subjek yang sedang membersihkan tulang-belulang leluhur merupakan salah
satu simbol penghormatan dalam upacara mangongkal holi. Hal tersebut
dilakukan agar ketika menempati makam baru tulang-belulang leluhur
dalam kondisi yang suci.
3. Mitos
Makna simbol air jeruk perut selain sebagai pembersih tulang
belulang, air jeruk perut dipercik ketanah kuburan yang akan digali, agar
proses penggalian dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan pada kunyit
berfungsi untuk mencegah atau menjaga agar warna tulang-belulang tidak
pudar. Air jeruk purut dan kunyit memiliki arti sebagai simbol kesucian
maupun kemakmuran untuk semua keluarga yang melaksanakan upacara
mangongkal holi.10
Prosesi pembersihan tulang belulang milik leluhur bertujuan untuk
mensucikan sesuatu yang dianggap sakral. Di dalam masyarakat, terdapat
pandangan yang berbeda-beda mengenai mana benda yang suci, dan benda
yang biasa, atau yang sering dikemukakan orang benda sakral. Sesuatu yang
disakralkan dapat berupa benda yang tampak dan tidak dapat diraba seperti,
wujud yang suci tersebut adalah tuhan, roh, malaikat dan hantu yang
semuanya itu dikeramatkan dan dikagumi.11
10 Fransiska Dessy Putri, "Makna Simbolik Upacara Mangongkal Holi Bagi Masyarakat Batak Toba di Desa Simanindo Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara", Jurnal Online Mahasiswa FISIP Universitas Riau Volume 2 No. 2, Edisi Oktober 2015, h. 10. 11 Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h. 167-168.
61
D. Foto 4
Caption: LIMPAHAN | Kepada para sesepuh atau hula-hula, mereka
yang lebih muda membagikan rezeki sebagai bentuk bakti dan penghormatan.
Kepada kaum tua pula permintaan doa agar diberi limpahan berkat, berupa banyak
keturunan, panjang umur, kehormatan dan kekayaan menjadi harapan.
1. Makna Denotasi
Pada foto keempat tampak dua orang yang berhadapan dan memegang
beberapa lembar uang. Di belakang mereka berbaris beberapa orang yang
terlihat berusia lanjut. Orang-orang dalam foto ini mengenakan pakaian
formal seperti kemeja dan kebaya, juga terlihat kain ulos yang merupakan
kain khas suku Batak.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Foto keempat ini telah melalui proses trick effect dengan
melakukan penyesuaian warna dan pencahayaan. Proses penyuntingan ini
62
masih dalam batas wajar dan tidak menambahkan atau menghilangkan
objek dalam foto.
b. Pose
Pada foto keempat, terlihat pose subjek yang sedang berhadapan
memegang beberapa lembar uang. Dari pose tangan yang memegang
uang tersebut dapat diketahui bahwa salah satu orang membagikan dan
satu orang lainnya menerima. Di belakangnya beberapa orang sedang
berbaris seolah menunggu giliran. Dari beberapa orang yang berada
dalam foto ini hanya satu orang yang terlihat wajahnya secara utuh, yaitu
seorang wanita paruh baya di bagian tengah foto.
c. Objek
Foto keempat lebih dominan menampilkan subjek dibandingkan
objek. Objek dari foto keempat adalah uang kertas dan kain ulos. Kain
ulos adalah kain adat suku Batak yang sering dijumpai hampir dalam
setiap upacara adat suku Batak.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto keempat besar diafragma yang digunakan
adalah f/4, sehingga ruang tajam difokuskan kepada objek di latar depan
dan tampak buram di latar belakang. Pada prosesi ini juga dibutuhkan
kecepatan bukaan rana yang tinggi dengan mempertimbangkan objek
yang terus bergerak, maka digunakan kecepatan 1/4000 detik. ISO
disesuaikan agar cahaya yang diterima sensor cukup dengan besar 800.
63
e. Aestheticism
Untuk menonjolkan point of interest dalam foto keempat
diterapkan ruang tajam sempit yang berfokus pada objek bagian depan
yaitu dua orang yang memegang uang, sedangkan latar belakang dibuat
buram. Terlihat juga garis imajiner diagonal yang dapat ditarik antara
uang yang dipegang orang di sebelah kiri dengan uang yang dipegang
orang di sebelah kanan.
f. Sintaksis
Caption pada foto keempat menyatakan makna salah satu prosesi
dalam upacara mangongkal holi, yaitu saling berbagi uang dengan sanak
saudara. Anggota keluarga yang lebih muda berbagi uang dengan
anggota keluarga yang lebih tua. Uang dimaknai sebagai rezeki dan
sebagai bentuk rasa hormat kepada yang lebih tua. Sedangkan anggota
keluarga yang lebih tua diharapkan untuk memberikan doa agar diberi
limpahan berkat, berupa banyak keturunan, panjang umur, kehormatan
dan kekayaan.
Selain detail pengambilan foto secara teknis, konotasi dalam foto
keempat dimaknai bahwa ikatan kekeluargaan tidak akan putus meskipun
telah mati. Pose dua orang yang memperlihatkan sedang berbagi uang dan
sirih juga merupakan simbol penghormatan terhadap anggota keluarga yang
lebih tua. Uang dan sirih melambangkan berkah rezeki yang diberikan oleh
mereka yang lebih muda, dan anggota keluarga yang lebih tua memberikan
berkah doa sebagai gantinya.
64
3. Mitos
Prosesi berbagi uang kerap ditemui dalam beberapa upacara adat suku
Batak. Prosesi ini juga dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Hal
tersebut sesuai dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba atau
biasa disebut dalihan na tolu.
Dalihan na tolu yang terwujud dalam hubungan kekerabatan yang
sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan perkawinan
yang berlaku secara turun-temurun hingga sekarang ini. Dalihan na tolu
berfungsi sebagai pedoman yang mengatur, mengendalikan dan memberi
arah kepada tata laku (perilaku) dan perbuatan (sikap atau pola tindak)
masyarakat Batak. Nilai yang terkandung dalam dalihan na tolu dijadikan
tatanan hidup dan sekaligus menjadi sumber motivasi berperilaku.
Masyarakat Batak menghayati dalihan na tolu sebagai satu sistem nilai
budaya yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi, dan dan definisi
terhadap kenyataan atau realitas.12
Sistem kekerabatan dalihan na tolu yang merupakan warisan leluhur
suku Batak senantiasa diterapkan oleh generasi penerus mereka hingga saat
ini. Dalihan na tolu secara langsung mengatur hubungan sosial antara
mereka yang masih hidup, dan secara tidak langsung juga menjaga
hubungan dengan leluhur yang telah mati.
Dalam kepercayaan tradisional Batak Toba ada sebuah konsepsi
tentang jiwa (tondi/hosa). Jiwa dipercayai memiliki kekuatan yang luar
biasa, ketika jiwa masih bersatu dengan raga ditandai adanya kehidupan,
12 Harahap H Basyral, Siahaan Hotman M, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987), h. 4.
65
tetapi sewaktu jiwa melepaskan diri dengan raga yang terjadi adalah
kematian. Oleh karena itu dikonsepsikan bahwa setiap manusia harus
dilekati oleh tiga unsur dalam dirinya, yaitu tondi/hosa (nyawa), mudar
(darah), dan sibuk (urat/daging). Apabila salah satu unsur lepas berarti tidak
ada keseimbangan dalam diri manusia, sehingga yang ada kematian.13
E. Foto 5
Caption: IKATAN | Tradisi Mangongkal Holi memang amat mahal. Namun
sebagai bakti, setiap marga pasti akan melakukannya walau itu berlangsung entah
di waktu kapan. Sebagai sebuah tradisi, mangongkal holi adalah pengikat ikatan,
karena dalam ritual tradisi ini mereka yang jauh pun berjuang untuk datang.
1. Makna Denotasi
Pada foto kelima tampak seorang laki-laki yang sedang beriri di depan
pintu masuk sebuah ruangan. Lelaki dengan kain ulos di pundaknya itu
13 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1985), h. 221.
66
memegang matanya seperti sedang menahan kesedihan. Dalam ruangan
tersebut disandarkan beberapa papan salib yang berjajar.
2. Makna Konotasi
a. Trick Effect
Foto ini telah melalui proses trick effect dalam batas wajar seperti
penyesuaian warna dan pencahayaan. Tidak ada penyuntingan berlebihan
yang dapat mengubah pesan yang terkandung dari foto seperti
menambahkan atau menghilangkan objek.
b. Pose
Pose dalam foto kelima yaitu seorang laki-laki yang berdiri
menyandarkan tubuhnya pada salah satu sisi pintu sebuah ruangan.
Lelaki tersebut menunduk dan memegang bagian matanya seperti sedang
menyeka air mata. Dari gerak tubuh yang ditunjukkan dapat diketahui
emosi yang sedang dirasakan oleh subjek tersebut, yaitu kesedihan.
c. Objek
Tidak banyak objek yang terlihat dalam foto kelima, yaitu manusia
dan juga papan salib. Namun objek yang menjadi point of interest dalam
foto ini adalah manusia yang berdiri di ujung ruangan.
d. Photogenia
Teknis pengambilan foto kelima menggunakan diafragma f/4 agar
ruang tajam berfokus pada objek di bagian tengah dan menciptakan
dimensi dalam foto. Kecepatan yang digunakan yaitu 1/320 detik
dikarenakan objek tidak bergerak banyak. Untuk mendapatkan
pencahayaan yang sesuai maka digunakan ISO 800.
67
e. Aestheticism
Secara komposisi foto kelima menggunakan teknik framing. Point
of interest diposisikan dalam lubang pintu yang seolah-olah membingkai
objek tersebut. Perspektif dari susunan papan salib dan bentuk ruangan
juga membentuk leading line yang memandu pandangan menuju point of
interest.
f. Sintaksis
Caption pada foto kelima menjelaskan tentang biaya besar yang
dibutuhkan dalam upacara mangongkal holi, namun sebagai bentuk bakti
terhadap orang tua upacara ini diusahakan tetap dilaksanakan meskipun
belum pasti waktu pelaksaannya. Sebagai sebuah tradisi, mangongkal
holi adalah pengikat ikatan, karena dalam ritual tradisi ini mereka yang
jauh pun berjuang untuk datang. Selain kesiapan dari segi biaya, juga
diperlukan kesiapan waktu seluruh anggota keluarga untuk berkumpul di
kampung halaman.
Selain detail pengambilan foto secara teknis, konotasi dalam foto
keempat dimaknai bahwa upacara mangongkal holi yang kental akan unsur
animisme telah mengalami penyesuaian dengan modernitas kepercayaan
masyarakat Batak Toba. Hal tersebut terlihat pada foto kelima yang terdapat
objek salib di makam. Salib juga menjadi simbol identitas masyarakat Batak
Toba yang religius.
3. Mitos
Masyarakat Batak dikenal dengan kultur merantaunya. Sebuah
pepatah mengatakan, "ndang marimbar tano hamateon" yang berarti "tidak
68
berbeda tempat untuk mati" dan menjadi semboyan masyarakat Batak yang
merantau ke daerah lain. Merantau dalam masyarakat Suku Batak
merupakan suatu keharusan pada setiap masyarakat khususnya pemuda
pemudi yang akan membangun keluarga, dan diharapkan dapat membangun
kerajaan pribadi (sahala harajaon) dan harga diri (sahala hasangapon) yang
lebih baik dari daerah asal.
Dalam upacara mangongkal holi tercipta momen berkumpulnya sanak
saudara hingga yang berada jauh diperantauan bisa kembali ke tanah
kelahirannya. Perasaan haru dan suka cita dirasakan ketika bertemu dengan
anggota keluarga yang lama tidak bertemu. Emosi kesedihan juga timbul
karena bisa melihat tulang-belulang leluhur untuk terakhir kalinya sebelum
dipindahkan ke makam baru.
Upacara mangongkal holi diwariskan oleh leluhur suku Batak sejak
zaman belum masuknya agama monoteis. Nilai budaya dominan, yang
diungkapkan dalam upacara mangongkal holi mewakili orientasi nilai
kearifan lokal yang berbasis kepada adat dan agama. Jauh sebelum
Parmalim dan ajaran Kristen masuk ke tanah Batak, leluhur suku Batak
telah memiliki kepercayaan yaitu animisme.
Warisan adat leluhur yang kental dengan unsur-unsur animisme
pergesekan dengan agama modern yang masuk di tengah masyarakat Batak.
Hasil dari pergesekan dua unsur yang saling bertolak belakang tersebut
menimbulkan adanya sinkretis. Seperti yang terlihat dalam upacara
mangongkal holi yang merupakan warisan leluhur suku Batak kini terdapat
69
unsur keagamaan seperti simbol salib dan dipimpin oleh pemuka agama
atau pendeta.
Esensi utama kepercayaan tradisional asli suatu daerah yang telah
melekat pada masyarakatnya tidak tergusur oleh ajaran kepercayaan yang
baru masuk. Serupa dengan budaya, kebudayaan yang lebih tinggi atau yang
mendominasi dan aktif dalam masyarakat tersebut akan mempengaruhi
budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya.14 Agar dapat
diterima oleh masyarakat suatu ajaran baru berusaha untuk menyesuaikan
dengan ajaran terdahulu di suatu daerah. Jika keduanya dapat diterima oleh
masyarakat maka budaya dan keagamaan akan saling berhubungan.
14 Winarno Hermanto, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara,2011), h. 78.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data serta pembahasan terhadap rangkaian foto
berjudul "Mangongkal Holi, Sebuah Penghormatan Bagi yang Telah Pergi" karya
Andri Ginting di Beritagar.id dengan teori semiotika Roland Barthes, penulis
mendapat kesimpulan sebagai berikut.
1. Makna Denotasi
Pada dasarnya denotasi adalah cara memahami suatu objek dalam foto
berdasarkan apa yang terlihat oleh pandangan mata, dengan kata lain makna
eksplisit dapat diasumsikan serupa oleh orang banyak ketika melihat foto
tersebut. Dari lima foto yang penulis pilih memberikan gambaran prosesi
upacara mangongkal holi. Upacara mangongkal holi yang telah ada sejak lama
sarat akan pengaruh kepercayaan leluhur suku Batak yaitu animisme. Dari
setiap foto juga menunjukkan keterkaitan upacara mangongkal holi dengan
roh leluhur yang menjadi tujuan diadakannya upacara ini. Prosesi yang ada
dalam foto ini juga menunjukkan interaksi antara anggota keluarga dengan
leluhurnya, mulai dari bentuk makam, pemindahan tulang-belulang,
pembersihan tulang-belulang, pesta serta keharuan.
2. Makna Konotasi
Makna konotasi yang ingin disampaikan fotografer belum tentu sama
dengan yang diartikan oleh orang lain. Konotasi adalah cara memandang suatu
objek dalam foto dengan arti implisit sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman orang yang melihat foto tersebut.
67
Terdapat beragam makna konotasi yang muncul dalam lima foto ini.
Adapun makna konotasi pada foto pertama adalah latar lokasi upacara
mangongkal holi yang merupakan kearifan lokal wilayah tersebut. Foto kedua
sarat akan pesan penghormatan oleh anggota keluarga terhadap leluhurnya
yang akan dipindahkan makamnya, tergambar dari pose subjek yang sedang
mengangkat peti berisi tulang-belulang leluhur di atas kepalanya. Foto ketiga
memperlihatkan interaksi anggota keluarga yang membersihkan tondi leluhur,
bermakna kesucian. Foto keempat pesan penghormatan yang tidak hanya
ditujukan kepada roh leluhur, tetapi juga kepada anggota keluarga yang masih
hidup. Foto kelima memperlihatkan ekspresi kesedihan yang timbul akibat
kerinduan anggota keluarga terhadap leluhurnya yang sudah meninggal.
3. Makna Mitos
Tahap mitos merupakan tahap selanjutnya dari tahapan denotasi dan
konotasi. Mitos merupakan gambaran yang telah disepakati oleh sebagian atau
sekelompok masyarakat yang mempercayainya, dengan kata lain mitos lahir
karena adanya pesan konotasi yang lalu dipercaya oleh banyak orang dalam
suatu wilayah atau budaya tertentu.
Hubungan masyarakat Batak dengan roh leluhur tetap terjaga dengan
adanya upacara mangongkal holi. Terjalinnya hubungan antara anggota
keluarga yang masih hidup dengan leluhur yang telah meninggal melalui
interaksi langsung dengan tondi tempat roh ketika masih hidup. Namun aspek
animisme yaitu pemujaan kepada roh leluhur diminimalisir seiring dengan
keyakinan monoteis yang mayoritas dianut suku Batak. Dengan kata lain
telah tercipta sinkretis dari dualisme keyakinan antara animis dengan
68
monoteis. Penulis memaknai kelima foto ini sebagai wujud penghormatan
masyarakat Batak terhadap leluhur mereka yang telah meninggal, serta
menjunjung keadatan warisan leluhur.
B. Saran
Fotografi sebagai karya seni tidak hanya sebatas dinikmati keindahannya
sebatas pengelihatan (denotasi), tetapi mempunyai pesan yang terkandung di
dalamnya (konotasi) tergantung dari latar belakang pelihat foto. kemudian hal
tersebut akan menjadi suatu mitos jika telah dipercayai oleh banyak orang atau
sekumpulan masyarakat, sesuai dengan pernyataan Roland Barthes dengan teori
semiotikanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan agar
penelitian ini tidak berhenti pada analisis ini saja dan dapat terus berkembang di
kalangan mahasiswa progam studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khalayak umum yang menyukai dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik.
Dengan demikian, penelitian-penelitian tentang semiotika dan fotografi dapat
dilakukan dengan lebih baik lagi.
69
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:
Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press
Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan
Manusia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Aritonang, J. S. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Audi, Alwi Mirza. 2004. Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto
ke Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara.
Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah. Jakarta: Iogos.
Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik, Teks. Yogyakarta: Jalasutra.
Basyral, Harahap H. dan Siahaan Hotman. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya
Batak. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1969. Die gesellschaftliche Konstruktion
der Wirklichkeit. Frankfurt.
Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Bungin, Burhan. 2011. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Darajat, Zakiah. 1985. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara.
Darmawan, Ferry. 2019. Dunia dalam Bingkai. Graha Ilmu, Yogyakarta
70
Dharmawan, Bagas. 2012. Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q-Anees. 2011. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Gani, Rita dan Ratri Riski Kusumalestari. 2013. Jurnalistik Foto Suatu
Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Giwanda, Grind. 2001. Panduan Praktis Belajar Fotografi. Jakarta: Puspa Swara.
Gultom, H. 1991. Penggalian Tulang-belulang Leluhur (Mangongkal Holi) di
Daerah Tapanuli dan Sekitarnya. Jakarta: Gunung Mulia.
Hadiwijono, Harun. 2000. Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Hermanto, Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta:
Komunitas Bambu.
__________. 2003. "Strukturalisme de Saussure di Prancis dan
Perkembangannya." dalam Prancis dan Kita. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra.
Kaelan, 2019. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigma.
71
Knapp, Gerrit. 1999. Chepas, Yogyakarta: Photography in the Service of the
Sultan. Leiden: Royal Netherlands Institut of Southeast Asian and
Caribbean Studies
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Krisyanto, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada
Media Group.
Kurniawan. 2001. Sosiologi Roland Barthes. Magelang: Anggota IKAPI.
Kurzweil, Edith. 2010. Jaring Kuasa Strukturalisme. Bantul: Kreasi Wacana,
2010.
Malau, Gens G. 2000. Aneka Ragam Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina
Budaya Nusantara Taotoba Nusantara Budaya.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana
Muchtar M. dan B. Simanihuruk. 2013. Analysis of Translation Technique And
Shift of Batak Toba Cultural Terms in Inside Sumatra: Tourism and Life
Style Magazine. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Muhtadi, Asep Saiful. 1999. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mulder, Niels. 1992. "Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggara", Basis,
Edisi Agustus.
Muzaki, Akhmad. 2007. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.
Malang: UIN Malang Press.
72
Pardede, J. 1987. The Question of Christianity, Islam and Batak Culture in North
Sumatra. Berlin: Dietrich Reimer Verlag.
Pedersen, Paul B. 1970. Batak Blood and Protestan Soul: The Development of
National Batak Churches in North Sumatra. Michigan: William B.
Eardmans Publishing Company.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra.
Plas, Daniel L. 1996. Seven Theories of Religion. England: Oxford University
Press.
Pooney, Caroline. 2001. African Literarture, Animism and Politic. London:
Routledge.
Prasetya, Erik. 2014. On Street Photography. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Putri, Fransiska Dessy. 2015. "Makna Simbolik Upacara Mangongkal Holi Bagi
Masyarakat Batak Toba di Desa Simanindo Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara". Jurnal Online Mahasiswa
FISIP Universitas Riau Volume 2 No. 2.
Rajamarpodang, Gultom. 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak.
Medan: Armanda.
Sihombing, T. M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. CV. Tulus Jaya.
Simanjuntak, Bungaran Anhonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak
Toba, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001).
Sinaga, Richard. 1999. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama.
73
Siregar, Mangihut. 2018. Ketidaksetaraan Gender dalam Dalihan na Tolu dalam
Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.1.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soelarko, R. M. 1984. Fotografi untuk Pelajar. Yogyakarta: Penerbit Binacipta.
Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta, Kanal.
Supsiloani dan F. Sinaga. 2006. Fungsi Tanah dan Kaitannya dengan Konflik
Tanah pada Masyarakat Batak Toba, dalam Antrhopos: Jurnal Antropologi
Sosial dan Budaya 2. Medan: Universitas Negri Medan.
Tabroni dan Imam Suprayoga. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Idonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tinambunan, W. E, Simbol-Simbol Tradisional Ulos Tujung dan Ulos Saput
Proses Pemakaman Adat Batak Toba, (Pekanbaru: Yayasan Sinar Kalesan,
2010) h. 11.
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. 2015. Antropologi Agama, Ciputat: UIN
Press.
Tylor, Edward. B. 1924. Primitive Culture: Researches into the Development of
Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom 7th Edition.
New York: Brentano’s Publishers.
Vergouwen, J. C. 1986. The Social Organisation and Customary Law of The
Toba-Batak of Northern Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff.
Wijaya, Taufan. 2014. Jurnalistik Foto. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
74
Zaimar, Okke. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Wawancara
Wawancara langsung dengan Andri Ginting melalui telfon, 15 Juli 2020.
Situs Web
Tentang Photo Story: Catatan Terbuka untuk Arbain Rambey,
http://learning.upnjatim.ac.id/Tentang_Photostory_Catatan_terbuka_untuk_
ARBAIN RAMBEY_.
Tentang Kami, https://beritagar.id/tentang-kami
Ikhtiar Menyajikan Informasi Bergizi, https://lokadata.id/artikel/ikhtiar-
menyajikan-informasi-bergizi
73
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Narasumber : Andri Ginting
Jabatan : Fotografer Kontributor Beritagar.id
Hari/Tanggal : Rabu, 15 Juli 2020
1. Awal mula ketertarikan bang Andri dengan fotografi?
Awal mula sih dari kecil udah suka motret pakai kamera biasa itu kan,
bawa-bawa tustel gitu. Jadi kadang ada kumpul keluarga terus foto-fotoin.
Mulai lebih tertarik mulai pas SMA lah. Pas SMA tuh kepikiran apa sih
pekerjaan yang istilahnya kita bisa kerja kemana-mana, pakaian juga bebas dan
segala macam. Jadi mulai tertariknya tuh pas kuliah lah.
Kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan Medan, jurusan
ilmu komunikasi. Cuman sama juga paling kayak Agung kan, pas semester tiga
tuh dibagi ada public relation sama jurnalistik, nah aku ambil jurnalistiknya.
Sebenernya aku dari kampus tuh fotografi gak dapat, otodidak aku.
Nah ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) namanya Potret. Kebetulan
waktu aku masuk kampus selama tiga semester mereka ga buka angkatan baru.
Jadi aku kemarin masuk kampus itu karna mau masuk itu (UKM Potret). Untuk
mendalami fotografi aku masuk kampus ini karna ada UKM Potret. Rupanya
setelah daftar terus masuk kuliah ternyata semester satu, semester dua mereka
ga buka perekrutan baru, vakum mereka. Mereka baru buka tuh sekitar
semester empat. Akhirnya ga jadi masuk.
74
2. Lalu belajar fotografinya gimana?
Sebenernya banyak belajar kemaren tuh, pertama kemaren tuh belajar
fotografi ya googling lah ya kan. Biasa lah searching dasar-dasar fotografi,
teknik-teknik fotografi. Belajar pencahayaannya gimana, latarnya gimana,
posisinya gimana, baru lah liat-liat foto di website fotografi. Dulu juga belum
tau ada Times, Getty, belum tau situs-situs fotografi lah. Cuma sebatas ketik di
Google terus klik gambar yang keluar.
Baru setelah itu tanya-tanya sama senior di kampus yang mereka itu orang
Potret. Tanya-tanya senior minta diajarin lah. Bang ini maksudnya gimana,
speed ini gimana, diafragma maksudnya gimana. Baru minta, bang nanti kalau
jalan hunting awak ikut lah. Nah baru disaranin banyak-banyak liat foto, cari
referensi. gini-gini. Mereka lah yang mengajari di luar kampus sambil ngopi,
ngobrol-ngobrol santai non formal lah. Terus ikut-ikut mereka, numpang
mereka kalo lagi ikut hunting.
3. Jadi awal mulai tertarik jadi fotografer pas SMA ya bang?
Belum, belum. Tapi apa ini pekerjaan yang bisa bawa aku kemana-mana
gitu. Kalo kita masuk PNS atau karyawan swasta harus rapi dan berdiam di
satu tempat. Nah baru pas mau masuk kuliah ada abang teman aku dari SMP,
abang dia bekerja sebagai jurnalis foto, dari situ terinspirasi. Oh, ini aja aku
kuliah ambil ini aja. Kemungkinan nanti pekerjaannya ini bisa bawa aku
kemana-mana. Dari situ kan nanti ada pilihannya di kampus macam radio, TV,
segala macam, nah aku lebih tertarik di fotografi. Ya suka aja mengabadikan
momen-momen dan mengeksplor diri. Gayanya keren gitu kan hahahaha. Kalo
sekarang kita lebih milih yang simple-simple kan, cuma bawa satu kamera,
75
satu lensa, bawa tas kecil, mungkin faktor usia kan, Gung. Kalo dulu masih
keren bawa ransel gede, kamera dikeluarin, kayaknya keren aja. Itulah karena
aku rasa keren, bisa berekspresi bagaimana gambar itu mau kita bua. Abis itu
ketika kita berhasil menangkap sebuah momen yang mungkin bersejarah atau
foto kita diapresiasi oleh seseorang itu ada kepuasan tersendiri yang mungkin
gabisa digantiin dengan duit. Ketika kita buat karya kemudian diapresiasi
orang, senang aja gitu ada kebanggaan, kepuasan dalah hati.
4. Kapan memulai profesi sebagai pewarta foto?
Dulu tahun 2010 di Harian Sumut Pos, Sumut Pos tuh anak perusahaannya
Jawa Pos Grup meskipun setiap daerah sudah manajemen masing-masing. Di
Riau ada Riau Pos, di Batam ada Batam Pos, di Jakarta ada 2 malah Indo Pos
dengan Jawa Pos sendiri gitu kan. Di Makasar juga ada, nah kita di Medan ada
Sumut Pos.
Kalau kami dulu di Sumut Pos fotografernya itu kan, Medan lah umumnya
itu paling banyak 2 fotografernya. Di Medan itu kalau dulu bisa kita rasain lah
setiap media di Medan itu 2 fotografernya sampai 3, 3 pun jarang.
Fotografernya ngambil semua isu, ga ada desk khusus gitu kalu untuk
fotografer. Beda dengan yang tulis, ada khusus kesehatan, olahraga, ekonomi
gitu. Nah kita dulu di Medan berdua satu media itu. Kadang kita hari ini
mungkin pagi kita bisa motret ekonomi, siang mungkin kita bisa motret
pertistiwa atau spot news lah kita bilang, baru sore mungkin kita bisa motret
olah raga, malem kita bisa ke rumah sakit. Gado-gado lah yang difoto gado-
gado. Kalo lagi padet maksudnya banyak yang harus difoto ya keteteran.
Umpamanya tiba-tiba ada biasa kan liputan di daerah kan ada demo atau ada
76
kecelakaan atau ada peristiwa mana tau ada penangkapan narkoba segala
macem. Bisa jadi kita ke Polda Sumut dulu pagi-pagi kan, terus dapet telfon
dari kantor disuruh pindah lagi bisa jadi kita ke rumah sakit, kadang waktunya
bersamaan. Lagi di Polda umpamanya tiba-tiba ada kebakaran. Karena berdua
kadang temen satu lagi ada kerjaan gabisa diganggu, kita lah ngebackup. Udah
ada beberapa foto di Polda, kita berangkat ke lokasi kebakaran. Karena cuma
berdua itu kan jadi cuma kita berdua yang ngebackup semua peristiwa yang
terjadi di Medan.
Kalau di Beritagar dari 2017 nampaknya aku. Ya, dari 2017. Mereka kan
buka tahun 2015 kalau gak salah itu. Dari Lintas.me dulu mereka kan. Baru
tahun 2017 aku masuk. Semenjak berubah dari Lokadata. Kemungkinan
kebijakan mereka berubah konten publikasi ya kan, mereka lebih ke jurnalisme
data atau apalah istilahnya aku gak paham kali istilahnya. Artinya karena aku
sendiri kemarin karena ada beberapa temen di daerah juga termasuk editornya
juga ya keluar lah. Kemarin aku terakhir ngirim ke Jakarta Post. Baru kalo
news itu biasa kayak temen-temen yang lain kan kayak ke AFC, lebih sering
kadang ke Xinhua. Terakhir kemaren yang naik ke Xinhua yang waktu bom
bunuh diri di Polresta Medan, kantor berita Cina.
5. Masuk ke pertanyaan soal foto, bagaimana latar belakang
pengambian foto upacara mangongkal holi ini?
Latar belakangnya sebenarnya kemarin ada info dari temen di grup
Whatsapp bahwa tanggal 24, 25 Juli itu 2019, eh bulan Juni itu kalau gak salah
akhir bulan Juni 2019. Ya dapet info dari grup whatsap ada upacara ritual
mangongkal holi di Panguruan di Samosir, dia di pulau Samosir itu, ya Toba
77
lah, kawasan danau Toba. Jadi dapet info itu karena ini juga sudah jarang
dilakukan, jadi tertarik untuk mengambil foto ceritanya, untuk
mengabadikannya lah. Karena udah jarang dilakukan oleh masyarakat daerah
situ. Jadi tertarik lah untuk kesana.
6. Dalam foto-foto ini aspek apa yang ingin bang Andri lebih tonjolkan?
Sebenarnya yang ingin aku tonjolkan itu utamanya sih kebudayaannya.
Karena kan kebudayaan itu kan semacam jati diri suatu kelompok atau
golongan atau ras bisa dibilang. Apalagi kebudayaan itu jarang dilakukan. Jadi
kita ini loh masyarakat Toba punya kebudayaan seperti ini tradisi dari leluhur
mereka. Dan sekarang sudah jarang dilakukan, karena faktor agama berperan
juga. Karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Karena ibaratnya itu
kan mendualismekan tuhan. Makanya kemarin posisinya itu kenapa dia jarang
dilakukan lagi banyak faktor sih. Karena membuat acara itu prosesi itu dalam
keluarga itu harus satu hati artinya semua setuju, gitu. Ada beberapa anggota
keluarga mereka semua harus setuju. Kalau satu aja gak setuju itu gak bisa
dilakukan, karena mereka percaya prosesi itu tidak akan sempurna. Jadi
keturunan mereka harus setuju semua. Dan untuk mengumpulkan itu kan juga
sulit, ada yang mungkin ada di luar Toba, ada yang mungkin di Jawa, ada yang
mungkin di Kalimantan, di mana. Abis itu setiap anggota keluarga itu punya
tingkat keyakinan berbeda-beda kan. Ada yang sudah, ah sudahlah gausah lah,
itu begini. Kadang untuk menyatukan itupun sulit. Belum lagi faktor ekonomi.
Karena upacara itu kan menghabiskan banyak duit.
Itupun macam pendeta itu hadir supaya kegiatan itu tidak menyimpang
dari agama. Artinya sejenis mengkawal lah, mendampingi lah. Mendampingi
78
prosesi itu suapaya tidak syirik. Jadi pemuka agama hadir mereka membawa
doa sesuai dengan kepercayaan mereka. Lalu mereka dilarang mereka
meminta-minta disitu, di tulang-belulang itu. Mereka dilarang megasih
sesembahan yang gimana-gimana gitu. Jadi mereka mengkawal itu supaya
tidak berujung syirik.
Mereka membawa doa sesuai dengan kepercayaan mereka ya seperti
hajatan pernikaha ya ada doanya tapi merekka dilarang menyembah apa itu
menangis berlebihan, meminta-minta kepada arwah leluhur umpamanya untuk
diberikan kesehatan segala macem. Mereka hadir sebagai itu istilahnya saya
bilang tadi menjaga agar tidak berujung, budayanya tetap dijalankan tetapi
dengan masuknya agama jangan sampai berujung mendualisme kan tuhan.
7. Kita lanjutkan soal foto-foto ini, bisa bang Andri jabarkan bagaimana
proses kreatifnya?
Ini hari kedua. Ini beda makam ini. itu hari kedua, jadi dari lokasi upacara
kami berjalan 30 menit keliling lah naik mobil sama teman. Karena kemarin
ingin menunjukkan bahwa ini ada di Toba. Simbol masyarakat Toba,
Masyarakat di danau Toba. Karena yang di makam upacara itu nggak nampak
view danau Toba. Identitas dari upacara itu, menunjukkan itu lah. Jadi kalau
kita ambil makam di upacara itu gak tau ini dimana. Bisa jadi di Medan, bisa
jadi di Aceh, di mana gitu. Jadi aku harus cari di tepian danau Toba yang ada
dia tugunya. Jadi aku keliling aku cari, kemarin ini sore. Sengaja keliling sore
tengok cahayanya bagus tingal cari view gimana yang kita mau. Baru kita
tunggu lah orang biar ada subjeknya aku tunggu sekitar setengah jam lah.
79
Kendala kemarin sebenernya lebih ke teknis sih. Kebetulan kemarin
baterai flash habis, kan dua hari kan. Baterai flash habis mau pergi keluar
warung jauh, disitu kita takut ketinggalan momen. Jadi dimaksimalkan lah
apa yang ada. Mau ga mau Isonya dinaikin, shutter speednya direndahin.
Kendalanya sih sebenernya karena ini kan di bawah tenda lah mereka kan,
jadi lebih ke latarnya juga. Kita sebenernya di belakang tuh ada rumah adat
Batak kan jadi ga keliatan ditutupin tenda. Jadi aku pengennya lebih clear gitu
kan. Artinya motret ini dengan latar bersih dengan latar rumah adat Batak
nampak. Karena ini momennya bergerak terus kan berjalan terus ini prosesi
dia ngangkat kayak gini kan. Kesulitannya mengambil komposisi tadi.
Cahaya juga agak keras disini karena siang hari. Karena batre flash juga habis
jadi lebih ke teknis.
8. Bagaimana dengan foto kedua, yang prosesi lagi angkat peti?
Ibaratnya ini kegembiraan mengantarkan tulang belulang ini kan simbol
leluhur mereka kan, ke tempat yang istilahnya diagungkan lah dinaikan
derajatnya dari leluhur mereka. Kegembiraan, kebanggaan. Lebih ke situ sih.
Suka cita karena mengangkat tulang-belulang itu. Ini kan prosesi terakhir ini
prosesi pengangkatan tulang belulang itu, setelah diambil, dibersihkan,
dijalankan prosesi adatnya baru petinya diangkat kembali itulah yang diantar
ke kuburnya itu.
9. Selanjutnya yang foto pencucian tulang ini, menurut bang Andri
apakah terlalu sensitif tidak?
Kalau menurut aku tergantung orang menilainya. Kalau menurut aku sih
ngga. Karena ini adalah salah satu frame atau gambar menunjukkan prosesi
80
itu. Itulah identitasnya membersihkan tulang belulang itu. Jadi kalau ngga ada
frame yang ini jadi ngga lengkap. Ini kan kembali ke orang yang melihat tapi
yang ini tidak ada darah, tidak ada tindakan sadisme kan.
Ngga dibikin hitam putih karena lebih ingin menunjukkan warnanya sih.
Kadang kita motret ini kan di momen ini kita membuat cerita ini ya aku gak
pengen membuat hitam putih aja. Dan ini juga ga ada darah. Ada frame di
dalam kubur tapi ga ada disini. Waktu proses pembongkaran itu kan aku
masuk ke dalam juga, masuk ke dalam kuburan juga. Fotonya tidak dinaikkan.
Mungkin itu yang terlihat sadis karena di dalam itu aku ikut ke dalam begitu
dibuka kuburannya, di akan kuburannya semen di atas permukaan tanah kan.
Jadi dibuat semen jadi kemaren pake martil itu, ikut ke dalam aku. Jadi ada
petinya, dibuka petinya, masih lengket tulang-belulang masih lengket
pakaiannya, tulang belulang campur dengan peti yang udah rapuh itu.
Mungkin ini kemarin kan editor yang menentukan dinaikkan atau ngga,
seperti itu.
Artinya kita freelance kan dalam pikira kita ada ini kemungkinan ga
dipake, ini dipake. Itu semua kan tergantung editornya kan. Dan aku setuju ini
dipake. Cuma satu frame ini, tulang belulang ini. Untuk menghindari seperti
yang Agung bilang tadi. Lagipula supaya ngga monoton gambarnya. Kalau
kita bicara tulang-belulang ada dia waktu dibuka makamnya, waktu
dibersihkan, banyak proses lah. Jadi kita harus pilih salah satu mewakili itu,
supaya tidak berulang, frame itu tidak berulang dalam satu rangkaian cerita
itu.
81
10. Untuk foto selanjutnya gimana bang?
Ini hanya beberapa ini dikasih seperti mewakili semua. Jadi dikasih itu kan
hua-hulanya ada satu kasta lah di dalam adat itu. Jadi ini orang yang mewakili,
tidak semua. Prosesi ini waktu sebelum dibuka makamnya. Ini awal ini. Ini
sebelum dibuka ini. Setelah ada kumpul mereka ada acara dari gereja doa-doa
lah supaya acara itu diberkati. Jadi sebelum makam dibuka inilah acaranya.
Prosesi adat yang panjang, itu yang bikkin lama sih. Rangkaian upacara adat
itu lah.
11. Foto terakhir bagaimana proses kreatifnya?
Ini lah bentuk makam yang dibongkar itu. Itulah ada di dalam bentuk
makamnya. Karena tergantung keluarga, ini kan di lokasi ini ada lima makam
ya lima jasad disini, satu keluarga, ada lima disisi nih. Cuma disatuin dia ini
makamnya, di dalam juga ada sekat juga. Dipisah-pisah dia kan cuma dari luar
tampak satu itu kan, tapi banyak ini jasadnya di dalamnya ini.
12. Pendekatan bang Andri dalam pengambilan foto ini apakah
dokumenter, jurnalistik, atau etnografi, atau yang lain?
Lebih ke dokumenter sih.
13. Bagaimana soal penyuntingan foto-foto ini?
Sebenernya ini kan bakalan dipublikasi di media, jadi gimana foto itu
kalau dilihat menarik. Dan kondisinya juga kan ada yang dia ruang agak
tertutup. Jadi aku memang ingin menampilkan warna seperti ini. Kamera juga
ada aku atur sedikit macem brightnesenya di kamera kan. Abis itu aku
pertajam lagi di komputer. Dicropping, diedit, di pertajam lah.
82
14. Gimana proses kurasi di Beritagar.id?
Jadi aku kirim beberapa frame sekitar 15 sampai 20 lah frame yang
menurut aku, sebenernya kan ini foto story kan, aku punya konsep awalnya
begini, nanti endingnya begini, simbol daerahnya ada, ekspresinya ada. Jadi
aku pilih dulu lah sekitar 20 fram baru aku kirim ke editor.
15. Untuk pemilihan isu liputan, ide dari bang Andri atau dari redaktur?
Kalau kemarin di Beritagar.id isu dari aku sendiri. Kalau di Beritagar.id
kemarin sekitar 80% dari aku sendiri. 20% ada sesekali penugasan dari
editornya, buat ini dong, gitu. Sisanya dari aku sendiri. Jadi nih Gung aku
kirim 20 foto kan, lalu editor yang milih mana yang publish ditayangkan,
dengan pertimbangannya. Tapi kita udah tau gambarannya apa yang mau kita
buat. Dia yang menentuka ini layak, ini engga, ini gimana. Semua kebijaknnya
editor kan. Kecuali kita web pribadi kan. Yang penting setor aja. Udah ada
badan cerita dari kita, udah ada frame-frame juga, belum tentu kalau nanti kita
lempar ke media lain begini juga urutannya kan. Beda editor beda selera kan.
Sebenernya kita bebas tapi hak publish kan ada di dia. Hampir semua kayak
gitu.
83
Dokumentasi wawancara dengan fotografer foto Mangongkal Holi, Sebuah
Penghormatan Bagi yang Telah Pergi, Andri Ginting melalui telefon pada Rabu,
15 Juli 2020.