Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

31
1. KONDISI PEREKONOMIAN MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Iklim Investasi PERTUMBUHAN EKONOMI : Kontraksi perekonomian global tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif sejalan dengan dampak kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia. Perlambatan ekonomi domestik akibat kontraksi ekspor tersebut, serta suku bunga perbankan yang masih tinggi, pada gilirannya berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi. Dengan penurunan ekspor dan investasi tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 secara umum banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Badan Pusat Statistik, mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 tercatat 4,5 persen, turun dibanding 2008 yang mencapai 6,1 persen. Peran konsumsi secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia tahun 2009 untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,5%. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 6,1%, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4,0%. Namun demikian, badai krisis itu tidak sampai membuat pertumbuhan Indonesia menjadi negatif, bahkan tetap mampu tumbuh 4,5 persen. Sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia (berdasar harga berlaku) pada 2009 ini meningkat menjadi Rp

Transcript of Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

Page 1: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

1. KONDISI PEREKONOMIAN MAKRO

1. Pertumbuhan Ekonomi dan Iklim Investasi

PERTUMBUHAN EKONOMI : Kontraksi perekonomian global tidak dapat dihindari

memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009. Hal itu tidak terlepas

dari pengaruh ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif sejalan dengan dampak

kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia. Perlambatan ekonomi domestik akibat kontraksi

ekspor tersebut, serta suku bunga perbankan yang masih tinggi, pada gilirannya

berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi. Dengan penurunan ekspor dan

investasi tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 secara umum banyak ditopang oleh

kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.

Badan Pusat Statistik, mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009

tercatat 4,5 persen, turun dibanding 2008 yang mencapai 6,1 persen. Peran konsumsi

secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia tahun 2009

untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,5%. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan

tahun 2008 sebesar 6,1%, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 masih lebih tinggi

dibandingkan dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4,0%.

Namun demikian, badai krisis itu tidak sampai membuat pertumbuhan Indonesia menjadi

negatif, bahkan tetap mampu tumbuh 4,5 persen. Sedangkan Produk Domestik Bruto

Indonesia (berdasar harga berlaku) pada 2009 ini meningkat menjadi Rp 5.613,4 triliun

dari Rp 4.951,4 triliun pada 2008. BPS mencatat, selama 2009 pertumbuhan ekonomi

berdasarkan lapangan usaha dari sektor pengakutan dan komunikasi mampu tumbuh 15,5

persen dan menyumbang pertumbuhan sebesar 1,2 persen. Diikuti oleh listrik gas dan air

bersih yang tumbuh 13,8 persen dan menyumbang sebesar 0,1 persen. Kemudian sektor

konstruksi tumbuh 7,1 persen dan menyumbang 0,4 persen pertumbuhan. Lapangan

usaha sektor jasa pada 2009 mampu tumbuh 6,4 persen dan menyumbang pertumbuhan

sebesar 0,6 persen. Diikuti keuangan, real estat dan jasa perusahaan yang tumbuh sebesar

5,0 persen dan menyumbang pertumbuhan 0,5 persen. PDB sektor pertanian, peternakan,

kehutanan dan perikanan pada 2009 mampu tumbuh 4,1 persen dan menyumbang

pertumbuhan ekonomi 0,6 persen. Industri pengolahan hanya tumbuh 2,1 persen, atau

Page 2: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

menyumbang pertumbuhan ekonomi 0,6 persen, sedangkan perdagangan, hotel dan

restoran hanya tumbuh 1,1 persen dan menyumbang pertumbuhan ekonomi 0,2 persen.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 juga lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan

ekonomi negara lain yang sebagian besar mencatat kontraksi.

INVESTASI : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa

realisasi investasi Indonesia 2009 mencapai Rp135,26 triliun, meski pada tahun itu terjadi

krisis finansial global. Adanya nilai Rp135 triliun itu berarti terjadi penurunan sebesar

12,3 persen dibanding 2008. Realisasi investasi tersebut terdiri dari hasil Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) senilai Rp37,8 triliun, dan Penanaman Modal Asing

(PMA) senilai Rp97,47 triliun.

Jika dihitung berdasarkan persentasi, lanjutnya, maka untuk PMDN naik 85,7 persen jika

dibanding 2008 yang hanya senilai Rp20,4 triliun. Sedangkan untuk PMA terjadi

penurunan sebesar 27,2 persen dibanding tahun sebelumnya yang senilai Rp133,83

triliun. Realisasi investasi 2009 tersebut menyerap tenaga kerja sebanyak 303.537 orang,

atau mampu memberikan kontribusi sebesar 0,5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi

Indonesia.

Perbaikan iklim investasi di Indonesia, antara lain tercermin dari membaiknya peringkat

Indonesia pada survei Doing Business yang dilakukan setiap tahun oleh Bank Dunia.

Perbaikan peringkat Indonesia terutama dipengaruhi oleh berkurangnya waktu memulai

usaha yaitu dari 154 hari pada tahun 2008 menjadi 60 hari. Kendala yang masih

mengemuka dari hasil survei tersebut adalah faktor regulasi perpajakan, aturan

perburuhan, dan sistem hukum untuk melindungi investor. Perbaikan daya saing juga

tergambar dari hasil kajian IMD Competitive Centre yang menempatkan Indonesia pada

posisi 42 atau naik dari peringkat 51 pada tahun sebelumnya. Perbaikan peringkat daya

saing menurut kajian IMD Competitive Centre dipengaruhi oleh faktor ketahanan

ekonomi, peningkatan efisiensi bisnis dan Pemerintah Indonesia.

2. Indikator Makro :Inflasi, Nilai Tukar, Neraca Pembayaran

Page 3: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

INFLASI : Tekanan inflasi pada tahun 2009 secara umum cukup minimal. Inflasi IHK menurun

tajam menjadi 2,78% dibandingkan dengan 11,06% pada tahun 2008. Inflasi IHK tahun 2009 juga

berada di bawah sasaran inflasi tahun 2009 sebesar 4,5% ± 1% . Sementara itu, inflasi inti juga

menurun tajam menjadi 4,28% dibandingkan dengan 8,29% pada tahun 2008. Inflasi pada tahun

2009 yang minimal tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan

kepercayaan pasar sehingga nilai tukar rupiah yang berada dalam tren menguat.

Bulan Tahun Tingkat InflasiMei 2010 4.16 %April 2010 3.91 %Maret 2010 3.43 %Februari 2010 3.81 %Januari 2010 3.72 %Desember 2009 2.78 %November 2009 2.41 %Oktober 2009 2.57 %September 2009 2.83 %Agustus 2009 2.75 %Juli 2009 2.71 %Juni 2009 3.65 %Mei 2009 6.04 %April 2009 7.31 %Maret 2009 7.92 %Februari 2009 8.60 %Januari 2009 9.17 %Desember 2008 11.06 %November 2008 11.68 %

Persentase ini merupakan persentase terendah sejak tahun 1999. Tingkat inflasi yang

rendah sepanjang tahun 2009 disebabkan oleh terjadinya deflasi pada barang-barang yang

harganya ditetapkan oleh pemerintah, seperti bahan bakar minyak dan listrik. Selain itu,

penguatan nilai tukar rupiah juga membantu menahan tingkat inflasi, terutama yang

disebabkan oleh inflasi barang-barang impor.

NILAI TUKAR RUPIAH : Krisis ekonomi global yang mengemuka pada pertengahan

tahun 2008 terus berlanjut dengan intensitas yang semakin besar serta dampak yang

semakin meluas, termasuk ke Indonesia, pada akhir periode tahun 2008 dan awal tahun

2009. Pada periode tersebut, perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup

Page 4: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

berat sebagai akibat ketidakstabilan sistem keuangan dan masih tingginya ketidakpastian

perekonomian global. Perkembangan tersebut memberikan tekanan pada kinerja berbagai

indikator di pasar keuangan Indonesia, seperti terlihat pada kenaikan CDS yang sangat

tinggi, anjloknya IHSG, kenaikan yield SUN, dan tekanan depresiasi nilai tukar rupiah

yang disertai dengan tingkat volatilitas yang tinggi.

Untuk mengatasi tekanan yang kuat terhadap pelemahan dan tingginya volatilitas nilai

tukar rupiah, Bank Indonesia terus menempuh kebijakan intervensi di pasar valuta asing

secara terukur dengan menjaga kecukupan cadangan devisa. Kebijakan stabilisasi nilai

tukar rupiah ini sangat penting untuk mempertahankan stabilitas moneter dan sistem

keuangan yang cenderung mendapat ancaman berat dari risiko sistemik krisis ekonomi

dan keuangan global. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini secara bertahap mampu

menstabilkan pergerakan nilai tukar rupiah. Bahkan sejak awal triwulan II 2009, nilai

tukar rupiah terapresiasi sebesar 18,4% dan ditutup pada level Rp9.425 di akhir

Desember 2009, dan tercatat sebagai salah satu mata uang yang berkinerja kuat di dunia

disamping Korea Selatan.

NERACA PEMBAYARAN : Pengaruh kuat gejolak ekonomi global pada perekonomian

domestik pada tahap awal tergambar pada kinerja neraca transaksi berjalan serta neraca

transaksi modal dan finansial. Neraca transaksi berjalan pada tahun 2009 mencatat

surplus 10,6 miliar dolar AS, meningkat dari tahun 2008 sebesar 126 juta dolar AS.

Peningkatan surplus neraca transaksi berjalan tersebut didukung oleh kinerja ekspor, yang

meskipun mengalami kontraksi akibat penurunan pertumbuhan ekonomi global, tercatat

tidak sebesar kontraksi pada impor. Kinerja ekspor tidak terlepas dari pengaruh

permintaan ekspor untuk barang berbasis sumber daya alam, khususnya barang

pertambangan, yang tetap tumbuh positif dalam periode kontraksi ekonomi global.

3. Indikator Perbankan: Perkembangan Tabungan dan Kredit Perbankan

Perkembangan perbankan sepanjang tahun 2009 menunjukkan adanya pemulihan setelah

krisis global yang berlangsung pada pertengahan 2008. Hal tersebut tercermin dengan

Page 5: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

adanya pertumbuhan aset, kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan pada periode

Juni hingga Desember 2009 yang relatif lebih tinggi dibanding semester pertama 2009.

Sepanjang 2009, pertumbuhan aset perbankan mencapai Rp 223 T atau bertumbuh

hampir sebesar 10% yang didorong oleh pertumbuhan kredit yang juga mencapai 10%

atau sebesar Rp 130 T. Pertumbuhan kredit tersebut masih belum menunjukkan

meningkatnya fungsi intermediasi perbankan yang optimal. Rendahnya pertumbuhan

kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap tingginya risiko sektor riil yang

masih terimbas krisis keuangan global. Sebaliknya di sisi lain juga disebabkan aktivitas

ekonomi yang melambat serta tingginya suku bunga. Loan to Deposit Ratio (LDR) yang

merupakan salah satu indikator intermediasi perbankan, pada 2009 menunjukkan

peningkatan rasio yang melambat setelah pada tiga tahun sebelumnya menunjukkan

peningkatan yang relatif baik. LDR sepanjang 2005-2008 terus mengalami peningkatan,

namun pada 2009 LDR mengalami penurunan dari 74,6% pada 2008 menjadi 72,9% pada

Desember 2009.

Walaupun penyaluran kredit tetap mengalami peningkatan pada 2009, akan tetapi kredit

modal kerja mengalami penurunan jika dibandingkan 2008. Kondisi tersebut antara lain

dapat disebabkan penerapan suku bunga perbankan yang tetap tinggi (suku bunga kredit

rata-rata hanya turun sebesar kurang dari 100 basis poin) walaupun Bank Indonesia telah

menurunkan BI rate sepanjang tahun 2009 sebesar 275 basis poin. Kondisi tersebut

dikhawatirkan akan membuat terjadinya keengganan sektor riil dalam menggunakan

fasilitas kredit untuk mendukung pengembangan perusahaannya. Keengganan

penggunaan kredit tersebut juga tercermin dari undisbursed loan perbankan yang

menunjukkan peningkatan sepanjang tahun 2008 hingga 2009. Porsi perbandingan

undisbursed loan dengan kredit pada 2009 mencapai 22,5% yang merupakan rasio

tertinggi sejak 2005.

Dari sisi DPK, pertumbuhan dana masyarakat sepanjang 2009 juga kurang menunjukkan

peningkatan yang tinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang tahun

2009, peningkatan DPK hanya sebesar Rp 220 triliun atau rata-rata meningkat sebesar Rp

18 triliun per bulan. Kondisi tersebut menurun jika dibandingkan rata-rata peningkatan

DPK per bulan di tahun 2008 sebesar Rp 20 triliun dan Rp 19 triliun di tahun 2007.

Page 6: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

Dilihat dari komposisi DPK yang ada, porsi deposito masih memiliki share yang cukup

besar (pada 2008 share deposito mencapai 47% dan pada 2009 sebesar 46%).

4. Indikator Sosial : Ketenagakerjaan dan Tingkat Kemiskinan

Topangan UMKM yang besar di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat menjadi

penyangga dalam menyerap tambahan angkatan kerja. Angka pengangguran terbuka yang

sedikit menurun dari 8,1% pada Februari 2009 menjadi 7,9% pada Agustus 2009.

Sementara itu, jumlah angkatan kerja yang terserap oleh sektor informal pada Agustus

2009 meningkat menjadi 72,7 juta jiwa dibandingkan kondisi Agustus 2008 sebesar 71,4

juta jiwa.

Angka pengangguran terbuka yang menurun serta perkembangan harga yang relatif stabil

berkontribusi pada penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009. Penduduk

miskin di Indonesia pada tahun 2009, menurun menjadi sekitar 14,15% dari jumlah

penduduk (32,53 juta orang), dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2008 yang

mencapai 15,42% dari jumlah penduduk (34,96 juta orang). Beberapa faktor yang

memengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin antara lain meningkatnya penerimaan

upah riil harian buruh tani, menurunnya rata-rata harga beras nasional serta stabilnya

inflasi.

Penurunan kemiskinan juga dipengaruhi perbaikan daya beli yang dipengaruhi oleh

penyaluran BLT, kenaikan Upah minimum, penurunan harga BBM, serta musim panen

raya yang puncaknya terjadi pada Maret 2009.

Page 7: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

2. FORMAT DAN KOMPOSISI APBN

APBN 2009

(dalam miliaran rupiah) APBN

% thd

PDB

A. Pendapatan Negara dan Hibah 985.725,3 18,5

I. Penerimaan Dalam Negeri 984.786,5 18,5

1. Penerimaan Perpajakan 725.843,0 13,6

a. Pajak Dalam Negeri 697.347,0 13,1

b. Pajak Perdagangan Internasional 28.496,0 0,5

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 258.943,6 4,9

a. Penerimaan SDA 173.496,5 3,3

b. Bagian Laba BUMN 30.794,0 0,6

c. PNBP Lainnya 49.210,8 0,9

d. Pendapatan BLU 5.442,2 0,1

II. Hibah 938,8 0,0

B. Belanja Negara

1.037.067

,319,5

I. Belanja Pemerintah Pusat 716.376,3 13,4

A. Belanja K/L 322.317,4 6,1

B. Belanja Non K/L 394.058,9 7,4

Pembayaran Bunga Utang 101.657,8 1,9

a. Utang Dalam Negeri 69.340,0 1,3

b. Utang Luar Negeri 32.317,8 0,6

Subsidi 166.701,6 3,1

a. Subsidi Energi 103.568,6 1,9

b. Subsidi Non Energi 63.133,0 1,2

II. Transfer Ke Daerah 320.691,0 6,0

1. Dana Perimbangan 296.952,4 5,6

a. Dana Bagi Hasil 85.718,7 1,6

b. Dana Alokasi Umum 186.414,1 3,5

c. Dana Alokasi Khusus 24.819,6 0,5

Page 8: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

2. Dana Otonomi Khusus dan Peny. 23.738,6 0,4

a. Dana Otonomi Khusus 8.856,6 0,2

b. Dana Penyesuaian 14.882,0 0,3

C. Keseimbangan Primer 50.315,8 0,9

D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) (51.342,0) (1,0)

E. Pembiayaan (I + II) 51.342,0 1,0

I. Pembiayaan Dalam Negeri 60.790,3 1,1

1. Perbankan dalam negeri 16.629,2 0,3

2. Non-perbankan dalam negeri 44.161,1 0,8

a. Privatisasi 500,0 0,0

b. Hasil Pengelolaan Aset 2.565,0 0,0

c. Surat Berharga Negara (neto) 54.719,0 1,0

d. Dana Investasi Pemerintah dan Rest.

BUMN (13.622,9) (0,3)

II. Pembiayaan Luar negeri (neto) (9.448,2) (0,2)

1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 52.161,0 1,0

a. Pinjaman Program 26.440,0 0,5

b. Pinjaman Proyek 25.721,0 0,5

2. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN (61.609,2) (1,2)

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan 0,0 0,0

3. ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL

TAHUN 2007 : Pada tahun 2007 defisit APBN membesar menjadi Rp49,8 triliun atau 1,3

persen PDB dimana pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707,8 triliun (17,9 persen PDB)

sedangkan belanja negara sebesar Rp757,6 triliun (19,1 persen PDB). Kenaikan defisit anggaran

dalam tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional

terutama harga minyak dunia yang mengakibatkan meningkatnya belanja subsidi yang harus

dibiayai negara. Realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sedikit mengalami penurunan

pada tahun 2007 sebagai akibat adanya beberapa faktor, antara lain penurunan lifting minyak

Page 9: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

bumi, depresiasi nilai tukar rupiah dan adanya kenaikan komponen pengurang (PBB,

Pengembalian PPN, retribusi dan pajak daerah) karena peningkatan aktivitas eksplorasi.

Dalam tahun 2007, realisasi belanja negara mencapai Rp757,6 triliun atau meningkat 13,6 persen

dari realisasi tahun 2006, dimana belanja Pemerintah Pusat meningkat 14,7 persen dan transfer

ke daerah meningkat 12,0 persen. Peningkatan belanja tersebut sangat dipengaruhi oleh

kenaikan subsidi BBM serta pemberian subsidi pajak sebagai insentif untuk memacu investasi di

dalam negeri. Selain itu, dalam tahun 2007 Pemerintah meningkatkan prioritas belanja negara

guna lebih memacu belanja modal dan melakukan penghematan belanja barang dan pengeluaran

yang tidak mendesak.

TAHUN 2008 : Memasuki tahun 2008, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia yang

diikuti oleh krisis di pasar keuangan internasional, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi

dunia menyebabkan terjadinya turbulensi dan krisis ekonomi global yang semakin mendalam.

Keadaan tersebut sangat mempengaruhi perekonomian domestik, baik sektor riil maupun

moneter, serta kesejahteraan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan tersebut serta menjaga

kredibilitas Pemerintah, maka Pemerintah telah merespon cepat melalui perubahan APBN tahun

2008 yang dilakukan lebih awal. Dalam APBN-P tahun 2008, telah dilakukan penyesuaian

kebijakan alokasi belanja, antara lain dengan penajaman prioritas alokasi belanja K/L dan

efisiensi anggaran subsidi energi. Hal ini dimaksudkan agar tujuan alokasi anggaran belanja

dapat tercapai, yaitu mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran

dan kemiskinan.

Pemerintah mengarahkan kebijakan fiskal 2008 pada upaya peningkatan daya beli masyarakat

(dorongan peningkatan konsumsi) dan dorongan investasi guna mencapai pertumbuhan ekonomi

hingga 6,8 persen. Pemerintah menaruh pertumbuhan ekonomi itu didukung dengan kebijakan

fiskal. Ada dua yang paling kritis yaitu konsumsi masyarakat dan dorongan investasi. Di lain

pihak pemerintah berupaya menekan laju inflasi sehingga tingkat bunga tidak meningkat. Yang

terakhir sangat penting karena penerimaan yang naik tidak akan ada artinya apa-apa jika

inflasinya tinggi. Inflasi harus dijaga sehingga income riil masyarakat naik. Pemerintah akan

mengalokasikan jumlah anggaran dengan peningkatan yang cukup signifikan dalam belanja

infrastruktur. P emerintah juga mendorong investasi yang dikembangkan melalui pola public

private partnership (PPP), apakah itu infrastruktur listrik, pengadaan jalan, bandara, pelabuhan,

Page 10: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

dan sebagainya. Dalam pelaksanaan atau pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang

prioritas, pemerintah juga menyediakan pembagian risiko terhadap pihak swasta.Mengenai

ekspor, diharapkan ekspor juga mengalami peningkatan sehingga memberi kontribusi pada

pertumbuhan ekonomi.

TAHUN 2009 : Kebijakan fiskal dalam tahun 2009 tetap diarahkan untuk menstimulasi

perekonomian domestik dengan besaran defisit yang berkesinambungan sesuai dengan batas

kemampuan keuangan negara. Dengan situasi perekonomian global yang tidak menentu yang

diawali oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, naiknya harga komoditi pangan,

minyak mentah dan perlambatan ekonomi global, kebijakan fiskal mempunyai peran lebih

strategis dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan lapangan kerja

untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Dalam APBN 2009 kebijakan fiskal dapat dirinci berdasarkan arah kebijakan, strategi kebijakan,

dan garis besar postur APBN 2009. Berdasarkan arah kebijakan fiskal dimaksudkan untuk

mencapai tiga prioritas utama yaitu: (1) peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan

perdesaan; (2) percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan

ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; dan (3)

peningkatan upaya antikorupsi, reformasi birokrasi, serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan

keamanan dalam negeri.

Sementara itu strategi kebijakan fiskal tahun 2009 meliputi: (1) pengendalian (capping) subsidi

BBM dan listrik; (2) memperhitungkan pelaksanaan amandemen UU PPh dan PPN; (3)

reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM dan subsidi pupuk

sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum

(DAU); (4) pelaksanaan amendemen Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(PDRD); dan (5) belanja kementerian negara dan lembaga (K/L) Rp322,3 triliun.

Defisit / Surplus APBN (% PDB)

Penyerapan anggaran pemerintah di tahun 2009 masih di bawah target. Ditambah rendahnya

realisasi defisit membuat APBN-P 2009 kembali surplus sebesar Rp 38 triliun. Realisasi defisit

pada APBN-P 2009 hanya Rp 87,2 triliun (1,6% PDB) atau lebih rendah dari perkiraan semula

Rp 129,8 triliun (2,4% PDB) akibat rendahnya penyerapan anggaran pemerintah.

Page 11: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

Rasio Hutang Indonesia Terhadap PDB

Rasio utang pemerintah tahun 2009 turun menjadi 30 persen, melampaui target yang ditetapkan

31,8 persen. Rasio utang Indonesia terus turun, dari tahun 2000 yang mencapai 89 persen.

Keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang pada 2009 menjadi 30 persen tercapai seiring

kenaikan nilai tukar rupiah.

Rasio Perpajakan Terhadap PDB

Meski rasio perpajakan tahun 2007 lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, pemerintah terus

berupaya untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak. Tahun 2008 ditargetkan penerimaan pajak

sebesar 13,5-14 persen PDB. Berbagai kebijakan dan langkah perbaikan akan dilaksanakan

untuk mendorong pencapaian sasaran peningkatan penerimaan negara tahun 2008 melalui

peningkatan rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 13,5 sampai 14 persen dengan cara

ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Rasio penerimaan pajak pada tahun 2007

diproyeksikan lebih rendah dari yang sudah ditetapkan dalam APBN 2007. Dalam APBN-P

ditetapkan sebesar 14,4 persen PDB namun karena mengalami penyesuaian rasio pajak jadi turun

menjadi 13,8 persen. Perkembangan arah kebijakan fiskal dan RAPBN tahun 2008 mengalami

perubahan, di 2008 pemerintah masih akan menggunakan APBN sebagai sarana stimulus

pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin dalam defisit anggaran yang mencapai 1,6-1,8

persen. Sementara dari sisi belanja pemerintah pusat, peningkatan belanja akan disertai dengan

peningkatan kualitasnya. Eksekusi belanja akan menyertai prinsip yang prudent dan penyusunan

APBN-P hanya terbatas pada perubahan asumsi untuk hal emergency. Untuk arah kebijakan

belanja ke daerah, pemerintah akan melakukan konsolidasi defisit APBN dan APBD serta

pemantapan desentralisasi fiskal guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah.

Di sisi pembiayaan, pemerintah akan memfokuskan pada sumber pembiayaan dalam negeri serta

sumber lain yang murah dan beresiko rendah. Untuk pertumbuhan PDB diprediksi mencapai 6,6-

7 persen, laju inflasi mencapai 6-6,5 persen, nilai tukar berkisar Rp 9.100-9.400 per dolar AS,

tingkat SBI 3 bulan berkisar 7,5-8 persen, harga minyak internasional mencapai US$ 57-60 per

barel, dan lifting minyak Indonesia (MBCD) berkisar antara 1,034-1,040 juta barrel per hari.

Page 12: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

Keseimbangan primer APBN

Dalam kompesisi APBN, dan tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu :

keseimbangan primer, dan keseimbangan umum. Keseimbangan primer adalah total penerimaan

dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga, sedangkan kesembangan Umum adalah

total penerimaan dikurangi total pengeluaran termasuk pembayaran bunga.

4. KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER (BONUS)

Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai

rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang

terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama

tercermin pada target pencapaian laju inflasi (inflation targeting), sementara aspek kedua

tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan

tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia

serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank

Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran

laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya,

baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Adapun implementasi kebijakan

moneter dilakukan dengan menetapkan suku bunga (BI Rate). Sedangkan perkembangan

indikator moneter dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan

operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum bagi

perbankan.

Kebijakan fiskal (Fiscal Policy) adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan belanja

negara dan perpajakan dalam rangka menstabilkan perekonomian. Adapun tujuan kebijakan

fiskal adalah: Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, untuk

memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran dan untuk menstabilkan harga-harga

barang, khususnya mengatasi inflasi. Adapun jensi kebijakan fiskal yang sering ditempuh adalah

melalui : Pertama, kebijakan fiskal ekspansif (expansionary fiscal policy). Kebijakan ini

Page 13: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

dirumuskan dalam bentuk menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto.

Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli masyarakat . Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan

pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi. Kedua, adalah

kebijakan fiskal kontraktif yang ditempuh dengan cara menurunkan belanja negara dan

menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan

mengatasi inflasi.

Dalam rangka mencapai inflation targeting dengan sasaran utama tercapainya tingkat inflasi yang

rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik, maka syarat utama harus dipenuhi adalah

adanya independensi bank sentral. Hal ini sejalan dengan hasil studi Masson (1997), bahwa

dalam rangka mengendalikan inflasi, perlunya adanya koordinasi yang tinggi antara pihak yang

mempengaruhi harga dan pengambil kebijakan moneter serta tidak adanya dominasi fiskal dalam

kebijakan moneter.

Sudah lama terjadi perdebatan antara kebijakan fiskal dan moneter. Di satu sisi, kebijakan

moneter diarahkan pada pencapaian target menjaga stabilitas tingkat harga. Sementara itu di sisi

lain kebijakan fiskal ditetapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Dari sini nampaknya

muncul trade-off antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam

jangka pendek. Kebijakan defisit fiskal yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi,

sebaliknya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga memberikan dampak negatif

bagi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan

terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku

ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi.

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan

makroekonomi yang memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek dan jangka

panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan

memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabilitas makroekonomi. Keselarasan

kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia pada tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang

baik. Dari sisi kebijakan fiskal, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah mampu

memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Mentri Keuangan dalam setiap mengambil kebijakan fiskal ke depan diharapkan telah

mempertimbangkan dampaknya terhadap moneter. Begitu pula sebaliknya kebijakan moneter

Page 14: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

yang akan diambil oleh Bank Indonesia diharapkan juga telah mempertimbangkan dampaknya

terhadap fiskal.

Kebijakan penempatan ahli moneter di fiskal dan ahli fiskal di monetr akan semakin mampu

menciptakan sinergi yang baik, apabila di level pejabat sebagai pemberi support pada Menteri

Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia juga diikuti dengan pertukaran (magang) atau

pembekalan dasar-dasar pengetahuan terkait dengan moneter dan fiskal. Dengan sistem seperti

ini diharapkan para pejabat di lingkungan Kementrian Keuangan sebagai perencang kebijakan

fiskal memiliki pengetahuan tentang masalah moneter. Begitu pula sebaliknya para pejabat di

Bank Indonesia sebagai pengambil kebijakan moneter diharapkan juga memiliki pengetahuan

tentang fiskal. Jika ini tercapai, maka diharapkan ke depan akan terjalin koordinasi fiskal-

moneter yang semakin efektif.

Intinya, Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

permintaan (demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian

sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, kerjasaama dan koordinasi antara pemerintah dan

BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi sangatlah diperlukan. Sehubungan dengan

hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin

menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain, Bank

Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI untuk

memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait dengan

pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan dalam

penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang

dibahas bersama di DPR. Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia

dalam melakukan pengelolaan Utang Negara.

Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Page 15: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

5. Jelaskan mengenai koordinasi kebijakan monerter dan fiskal secara umum dalam

rangka stabilisasi makro

Semoga pemimpin kita menyadari suasana krisis global dan urgensi melakukan perubahan mendasar agar ekonomi kita tidak mudah terombang-ambing di lautan globalisasi. Sekarang ini dibutuhkan tidak hanya kebijakan makro campuran (policy of mix macro), namun koordinasi kebijakan pada lingkungan meta-ekonomi. Lingkungan meta-ekonomi mencakup antisipasi terhadap kesenjangan alami antara sektoral dan daerah. Sangat diperlukan terintegrasinya kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional.

Berdasarkan data empirik masa lalu, menurut IMF, jika 1 persen saja penurunan pertumbuhan ekonomi di AS akan berakibat menurunkan pertumbuhan ekonomi di Asia sebesar 0,5 -1 persen. Dengan demikian, jelas dampak dari resesi global yang berasal dari resesi di AS akan mempengaruhi proyeksi perekonomian negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Di saat yang sama, perekonomian global diperkirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 0,4 persen, yang sebelumnya sebesar 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 4,8 persen pada tahun 2008.

                  Khusus untuk Indonesia, resesi di Amerika Serikat akan mempengaruhi neraca pembayaran Indonesia dari sisi ekspor maupun impor, serta pasar saham dan pasar uang. Sektor yang paling terbebani adalah neraca pembayaran ekspor Indonesia khususnya sektor manufaktur. Sebenarnya dampak pelemahan perekonomian AS sudah dirasakan Indonesia sejak tahun lalu. Ini terlihat dari trend pertumbuhan ekspor ke AS yang terus mengalami penurunan dalam 4 bulan terakhir. Waktu-waktu sebelumnya pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS rata-rata sebesar 10 persen, pada akhir tahun 2007 lalu hanya sebesar 5 persen.

                  Fluktuatifnya harga minyak dan harga-harga komoditas pangan di akhir 2007 dan awal 2008, jelas akan menambah lagi ''rapor merah'' kinerja perekonomian Indonesia. Bukan saja negara kita yang kena imbasnya, ancaman ini terjadi juga di negara- negara Asia dan Amerika Latin, khususnya negara yang sedang berkembang. Sehingga tampaknya pada tahun ini akan dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan pengetatan moneter di negara-negara yang terkena

Page 16: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

tekanan tersebut. Sebagai contoh real dampak tersebut, Menkeu RI pada awal Februari lalu langsung mengeluarkan beleid pemotongan 15 persen setiap anggaran untuk seluruh departemen pada APBN 2008.

                  Sementara kenaikan harga minyak yang sempat mencapai US$ 100 pada akhir tahun 2007, imbasnya masih akan mempengaruhi perekonomian sepanjang tahun ini, sebab subsidi pasti akan membengkak. Karena faktor politis saja, pemerintah tidak berani menaikkan harga minyak, cuma akan menjalankan pembatasan pemakaian bahan bakar minyak dengan kartu kendali atau smart card dan upaya menekan subsidi.

                  Di sektor pertanian pun kondisinya hampir sama, harga komoditas pertanian naik 2,5 persen di akhir 2007 karena dorongan kenaikan minyak nabati dan berlemak lainnya besarnya sekitar 8 persen. Harga minyak kedelai dunia naik sebesar 12 persen karena suplai menurun. Harga minyak kelapa dan minyak biji sawit (PKO) naik 8,5 persen karena volume perdagangannya yang menipis. Kenaikan juga terjadi pada karet alam dan kopi masing-masing sebesar 8 persen dan 5 persen. Semua itu ikut mendongkrak harga di pasar terbawah, yang langsung dirasakan oleh masyarakat kita.

                  Koordinasi Pemimpin-Pengikut

                  Berbagai gejolak eksternal tersebut jelas merupakan tantangan, tetapi juga sekaligus peluang bagi Indonesia. Deputi Senior Bank Indonesia Miranda S.Goeltom saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI tanggal 15 Desember 2007, menyatakan bahwa indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal. Saat itu Miranda menawarkan model koordinasi pemimpin- pengikut (leader-follower model), yang artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspons oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, misalnya, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi pengikut dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makro ekonomi. Sebaliknya, di tengah gejolak kurs,

Page 17: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

otoritas moneter perlu menjadi pemimpin dengan membuat berbagai upaya dalam melakukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedangkan otoritas fiskal menjadi pengikut, dengan mempersiapkan jaring pengaman (safety net) dan mengurangi dampak lanjutan dari risiko sistemik di sektor finansial.

                  Hanya, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya kebijakan makro campuran (policy of mix macro), namun koordinasi kebijakan pada lingkungan meta-ekonomi. Lingkungan meta-ekonomi mencakup antisipasi terhadap kesenjangan alami antara sektoral dan daerah. Sangat diperlukan terintegrasinya kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya keamanan makanan dan energi (food and energy security).

                  Koordinasi lintas sektor dan daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 propinsi, terlebih lagi di beberapa daerah masih akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mau tak mau akan mengganggu denyut nadi ekonomi daerah tempat berlangsungnya pilkada tersebut. Semoga pemimpin sudah menyadari ancaman krisis global dan urgensi melakukan perubahan mendasar agar ekonomi kita tidak mudah terombang-ambing di lautan globalisasi. Jika tidak, kita siap-siap menerima dampat negatif resesi global ini. Yang paling menderita adalah masyarakat kecil, yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia.

Ketika terjadi lonjakan harga otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedangkan otoritas melakukan kebijakan moneter yang tidak mengganggu stabilitas makro ekonomi.

Indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal.

Page 18: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

5. Jelaskan mengenai koordinasi kebijakan moneter dan fiscal pada tahun tersebut

dalam : Pengendalian Inflasi, Stabilitas Nilai Tukar, Mendorong Pertumbuhan

Ekonomi

Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan

tersebut BI mempunyai 3 tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.

Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, BI berwenang

menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan.

Perlu dikemukakan bahwa tugas pokok BI berubah sejak diterapkannya undang-undang tersebut,

yaitu dari multiple objective (mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja,

dan memelihara kestabilan nilai rupiah) menjadi single objective (mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah). Dengan demikian tingkat keberhasilan BI akan lebih mudah diukur dan

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia.

Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai

mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.

BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur.

Berbagai langkah pemerintah terus dilakukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Terutama menghilangkan berbagai praktek dan kebijakan yang menghambat aktivitas investasi. Salah satunya secara tegas pemerintah terus mendorong upaya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memberantas korupsi.

Hal itu memang merupakan prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan perekonomian. Dalam hal ini pemberantasan korupsi dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat di dalam negeri.

Page 19: Anggito Abimanyu GBE (Monetary and Fiscal Policies)

Di sisi lain, pemerintah juga mulai menyederhanakan berbagai peraturan dan prosedur investasi sehingga akan mampu menarik iklim berinvestasi bagi investor asing untuk datang ke Indonesia. Kendati pembangunan di Indonesia selama ini telah berjalan dengan baik terbukti dengan mampunya bertahan di saat krisis global beberapa saat lalu.

Seperti diketahui pada saat krisis, di saat banyak negara alami pertumbuhan negatif, pemerintah Indonsia masih bisa menciptakan pertumbuhan 6,3 % selama 2008 dan 4,5 % tahun 2009. Sementara pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6% dengan percepatan 7% hingga 8% sampai 2010. Pemerintah juga mengurangi angka pengangguran dari 7,8 % menjadi 5 % dalam 2010.

Untuk mendukung target itu, pemerintah juga mulai menyeleksi sejumlah proyek prioritas, di antaranya pembangunan jalan raya trans Jawa, meningkatkan kemampuan rel kereta api di Jawa, meningkatkan efisiensi pelabuhan, yang dimulai dari Tanjung Priok, serta program pembangunan listrik 10 ribu mega watt. Langkah lain adalah menjalankan kebijakan fiskal yang konservatif dan ketat yang telah menjadi budaya pembuatan kebijakan makro ekonomi.

Berbagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tersebut sejalan dengan survey dari sebuha lembaga investasi dari Singapura, GIC yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia dapat melebihi negara maju dan akan mengkonsentrasikan investasinya di kawasan Asia.

GIC memperkirakan ekonomi-ekonomi berkembang di wilayah Asia akan tumbuh pada rata-rata 8% pada 2010. Sebaliknya, Negara-negara maju diperkirakan berkembang 2,4 % dan ekonomi dunia sebesar 3,8 % tahun ini.

Selanjutnya, lingkungan ekonomi makro selama 10 tahun berikutnya akan ditandai dengan pertumbuhan yang lambat di negara maju. Sementara pertumbuhan yang tinggi di negara berkembang berlanjut dengan peningkatan permintaan domestik, mengimbangi pertumbuhan yang lambat pada permintaan ekspor.