Anemia Defisiensi Besi Blok Pendek
-
Upload
henderina-doko-rehi -
Category
Documents
-
view
102 -
download
2
Transcript of Anemia Defisiensi Besi Blok Pendek
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Henderina Welmince Doko Rehi*
*Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Alamat korespondensi :
Jalan Terusan Arjuna Utara No.6, 11510
Email : [email protected]
Pendahuluan
Defisiensi besi merupakan penyebab anemia tersering pada semua negara di dunia, dan
merupakan etiologi terpenting dari anemia mikrositik hipokrom, di mana terjadi penurunan dari
2 indikator sel darah merah yaitu MCV (Mean Corpuscular Volume), dan MCH (Mean
Corpuscular Haemoglobin), serta hapusan darah menunjukkan adanya sel darah merah yang
kecil (mikrositik) dan pucat (hipokromik). Penampakan seperti ini disebabkan karena adanya
defek dari sintesis hemoglobin.1
Pembahasan
a. Anamnesis
Defisiensi besi tanpa terjadi anemia tidak akan menyebabkan gejala apa-apa.Setengah
dari pasien yang menderita defisiensi besi mengalami pagophagia. Biasanya pasien akan
lebih suka mengunyah atau mengemut es, dan lebih senang sayur-sayuran beku.
Sering juga didapatkan kram kaki saat sedang menaiki tangga. Terkadang pasien dapat
menerangkan dengan jelas kapan gejala-gejala tsb mulai muncul. Adanya kelelahan dan
berkurangnya kemampuan dalam melakukan pekerjaan yang berat. Selain itu mungkin
pula didapat perubahan perilaku, dan resistensi terhadap infeksi berkurang .Yang perlu
dicari dalam anamnesis kasus anemia defisiensi besi adalah riwayat kehilangan darah,
riwayat diet, dan riwayat malabsorbsi.
Riwayat diet penting, di mana vegetarian lebih rawan terkena anemia defisiensi besi,
kecuali jika makanan mereka disuplementasikan zat besi. Yang penting adalah, defisiensi
zat besi dalam diet saja tidak cukup untuk menyebabkan anemia defisiensi
besi yang signifikan secara klinis, di mana harus dicari pula sumber perdarahan yang
1
dapat menyebabkan keadaan tsb. Terdapat hubungan antara anemia defisiensi besi dan
keracunan timbal, oleh karena itulah pada setiap anak yang didiagnosa menderita
keracunan timbal harus dicari juga kemungkinan menderita anemia defisiensi besi.
Perdarahan adalah penyebab tersering dari defisiensi besi. Pasien mungkin melaporkan
adanya riwayat perdarahan dari banyak orifisium (hematuria, hematemesis, hemoptisis)
sebelum mereka menderita anemia defisiensi besi kronik. Penting juga dicari
kemungkinan adanya perdarahan gastrointestinal dan perdarahan menstruasi yang
berlebih. Dapat ditanyakan riwayat spesifik adanya gumpalan, kram, dan penggunaan
pembalut dalam jumlah yang lebih banyak pada saat menstruasi.
b. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Fisik
Anemia menyebabkan membrane mukosa memucat tidak spesifik. Dapat ditemukan
kelainan-kelainan jaringan epitel misalnya esophageal webbing, koilonikia, glositis,
stomatitis angularis, dan atrofi gaster. Splenomegali dapat ditemukan pada anemia
yang berat, persisten, dan yang tidak tertangani.2
- Pemeriksaan Penunjang
Penunjang diagnosis Anemia Defisiensi Besi terutama menggunakan pemeriksaan
laboratorium.
Hitung darah lengkap
Hitung darah lengkap berfungsi melihat seberapa beratnya anemia. Pada anemia
defisiensi besi kronik, indeks eritrosit menunjukkan eritropoiesis mikrositik
hipokrom, yang dapat dilihat dari Mean Corpuscular Volume/MCV (normal 83-97
fL) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration/MCHC (normal 32-36 g/dL)
yang berada di bawah nilai normal.2
Sebelum anemia terjadi, indeks eritrosit sudah mengalami penurunan dan akan
semakin menurun bila anemianya bertambah berat.1
Seringkali hitung trombosit mengalami peningkatan (lebih dari 450.000/µL) yang
akan kembali normal setelah terapi zat besi. Hitung leukosit biasanya dalam batas
normal namun dapat pula meningkat.2
Hapusan darah tepi
Hapusan darah tepi memperlihatkan gambaran anemia hipokrom dengan kadang juga
ditemukan sel target dan poikilosit sel pensil (gambar 1). Gambaran hapus darah
yang dimorfik dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi yang terjadi bersamaan
2
dengan defisiensi folat ataupun vitamin B12, di mana akan terlihat adanya campuran
sebaran gambaran anemia mikrositik hipokrom dan makrositik. Gambaran dimorfik
ini juga dapat ditemukan pada pasien dengan anemia defisiensi besi yang baru saja
menerima terapi zat besi dan menghasilkan populasi eritrosit baru berukuran normal
dan berhemoglobin.1
Gambar 1. Anemia mikrositik hipokrom dimorfik dengan anisositosis
dan poikilositosis pada anemia defisiensi Fe
Sumber: http://img.medscape.com/fullsize/migrated/570/981/ajcp570981.figl.gif
Keberadaan eritrosit berbentuk pensil dan sel target dapat membedakan defisiensi
besi dari talasemia, di mana sel pensil adalah khas pada defisiensi besi sedangkan sel
target berhubungan dengan talasemia.
Hitung retikulosit
Hitung retikulositnya memberikan hasil yang rendah dan berhubungan dengan derajat
anemia.
Pemeriksaan sumsum tulang
Jumlah zat besi yang disimpan dalam sel-sel retikuloendotelial dapat diperkirakan
dengan memberikan pewarnaan biru Prussia pada partikel aspirat sumsum tulang.
Pewarnaan sumsum tulang ini juga dapat dipergunakan untuk melihat hantaran zat
besi ke dalam precursor eritroid. Dalam keadaan normal, 40-60% precursor eritrosit
memiliki granula besi dalam sitoplasmanya, yang menggambarkan kelebihan zat besi
yang tidak digunakan dalam pembentukan hemoglobin. Sel-sel ini disebut
sideroblas.3
Besi serum dan daya ikat besi total
Besi serum dan daya ikat besi total digunakan untuk menghitung persen saturasi
transferrin (BS/DIBT), di mana pada keadaan normal berkisar 20-50%. Jika nilai tsb
turun menjadi kurang dari 20%, sumsum eritroid mendapat kesulitan untuk
memperoleh zat besi yang cukup guna eritropoiesis. Pada anemia defisiensi besi, besi
serum menurun dan daya ikat besi total meningkat sehingga daya ikat besi total
menjadi kurang dari 10% yang tersaturasi.1
Reseptor transferrin serum
3
Kadar normal reseptor transferrin serum adalah 5-9 µg/L.3 Pada anemia defisiensi
besi, reseptor transferrin terlepas dari sel dan masuk ke plasma. Didapatkan
peningkatan reseptor transferrin serum.1
Ferritin serum
Sedikit ferritin tubuh bersirkulasi di dalam serum, di mana konsentrasinya tergantung
dari cadangan zat besi dalam jaringan dan sistem retikuloendotelial.1 Kadar ferritin
serum berguna untuk mengetahui cadangan total zat besi dalam tubuh, di mana pada
laki-laki dewasa normal kadarnya adalah 50-200 µg/L.3 Pada anemia defisiensi besi,
kadar ferritin serum sangat rendah (kurang dari 25 µg/mL).1,5 Pemeriksaan ferritin
serum adalah pemeriksaan yang paling akurat.5
Elektroforesis hemoglobin
Elektroforesis hemoglobin dan/atau DNA gen globin berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya trait talasemia dan kelainan hemoglobin lainnya.6
Pemeriksaan untuk mencari etiologi
Pada perempuan premenopause, menoragia dan/atau kehamilan yang berulang
biasanya merupakan penyebab dari defisiensi, dan jika tidak didapatkan keduanya
maka harus dicari etiologi lain. Pada beberapa pasien dengan menoragia, didapatkan
kelainan dari pembekuan atau trombosit (misalnya penyakit von Willebrand). Pada
pria dan wanita post-menopause, etiologi tersering adalah perdarahan gastrointestinal
dan harus dicari melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan rectum, tes darah samar,
dan menggunakan endoskopi dan/atau radiologi (misalnya CT pneumokolon). Untuk
mencari kemungkinan gluten-induced enteropathy, dapat digunakan uji antibody
endomisial dan transglutaminase serta biopsy duodenum. Telur cacing tambang dapat
dicari pada tinja pasien yang tinggal di daerah di mana infestasi cacing terjadi.
Setelah mengeluarkan kemungkinan adanya perdarahan gastrointestinal, dapat juga
dicari kemungkinan hilangnya zat besi melalui urin sebagai hematuria atau
hemosiderinuria (akibat hemolisis intravascular kronis). Adanya gambaran roentgen
paru yang normal menyingkirkan kemungkinan adanya hemosiderosis pulmonar.1
c. Epidemiologi
Epidemiologi secara umum
4
Di negara-negara Amerika dan Eropa, anemia defisiensi besi lebih sering didapat pada
wanita premenopause pada usia seksual aktif, dan kebanyakan disebabkan karena
perdarahan, di mana prevalensinya berkisar 4-8%. Defisiensi besi akibat kurangnya
asupan besi dalam diet sangat jarang ditemukan pada negara yang banyak mengkonsumsi
daging, sedangkan pada negara-negara lain yang kurang mengkonsumsi daging,
prevalensi defisiensi besi meningkat hingga 6-8 kali karena besi non-heme lebih sulit
diabsorbsi dibandingkan dengan besi heme. Pada area tertentu, adanya infeksi parasit
usus (terutama cacing tambang) memperburuk defisiensi besi karena adanya perdarahan
gastrointestinal dan lebih banyak didapatkan pada anak-anak dan wanita premenopause.
Epidemiologi berdasarkan usia
Neonatus sehat memiliki kadar besi tubuh total sebesar 250 mg (80 ppm) yang didapat
dari ibunya. Nilai ini akan berkurang menjadi sekitar 60 ppm pada 6 bulan pertama
kehidupan di mana bayi meminum susu yang kekurangan zat besi. Bayi yang
mengkonsumsi susu sapi memiliki resiko yang lebih tinggi menderita defisiensi besi
karena susu sapi memiliki kadar kalsium yang tinggi yang akan bersaing dengan zat besi
dalam absorbsinya. Karena itulah, anak yang sedang bertumbuh harus mendapat asupan
zat besi sebesar 0.5 mg atau lebih mempertahankan kadar zat besi normal 60 ppm.
Insiden neoplasma gastrointestinal bertambah setiap dekadenya, di mana dapat sering
didapat gejala berupa perdarahan gastrointestinal okulta dalam waktu lama sebelum
akhirnya dapat dideteksi. Biasanya, neoplasma dari organ lain dalam tubuh tidak
menyebabkan perdarahan okulta, sehingga menyebabkan pasien mencari pertolongan
medis lebih awal.
Epidemiologi berdasarkan jenis kelamin
Pria dewasa yang sehat rata-rata menyerap dan kehilangan zat besi sebesar 1 mg per
harinya, di mana kehilangan dapat terjadi di epitel yang terkelupas, sekresi dari kulit dan
mukosa usus, dan dari perdarahan kecil gastrointestinal yang terjadi setiap hari (0.7 mL
per hari). Laki-laki dengan hemosiderosis berat dapat mengalami kehilangan zat besi
sebesar 4 mg per hari melalui rute yang sama tanpa perlu kehilangan darah. Wanita
dewasa dalam usia seksual aktif mengalami kehilangan zat besi sebesar 2 mg per hari,
dan 500 mg pada setiap kehamilan. Kehilangan zat besi dari menstruasi sangat bervariasi,
5
mulai dari 10-250 mL (4-100 mg zat besi) setiap periodenya. Hal ini menyebabkan
wanita memerlukan penyerapan zat besi 2 kali lebih banyak daripada pria.
Epidemiologi berdasarkan ras
Ras tidak memiliki peranan yang signifikan dalam terjadinya anemia defisiensi besi,
namun karena factor diet dan sosioekonomi, penyakit ini perlu ditemukan pada
penduduk-penduduk area miskin.2
d. Diagnosis
- Working Diagnosis
Pada kasus ini, diagnosis yang diambil adalah anemia defisiensi
besi, diagnosis anemia defisiensi besi diperoleh terutama dari
pemeriksaan laboratorium, dan tidak terdapat kriteria diagnosis
khusus. Diagnosis ini didasarkan atas gejala yang dialami pasien
berupa lemas (salah satu gejala anemia, disebabkan adanya
hipoksia akibat penghantaran oksigen yang inadekuat), dan
pemeriksaan fisik yang berupa tampak sakit sedang, konjungtiva
anemis,tidak terdapat hepatosplenomegali, serta pemeriksaan
laboratorium berupa : Hb 8 g/dL (anemia berat), Ht 25% (menurun),
MCV 60fL (menurun). Kesemua temuan tsb sebenarnya belum
dapat dipergunakan untuk membuat diagnosis anemia defisiensi
besi, mengingat pada scenario tidak disertakan hasil pemeriksaan
besi lainnya (misalnya besi serum, DIBT).
Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi: tahap pertama adalah
menentukan anemia dengan mengukur kadar hemoglobin (tabel 1) atau hematokrit,
tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, tahap ketiga adalah
menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Anemia mikrositik hipokrom pada hapusan darah tepi, atau MCV kurang dari 80fL
dan MCHC kurang dari 31% dengan salah satu dari keempat poin:
Dua dari tiga parameter di bawah ini
- Besi serum kurang dari 50 mg/dL
- DIBT lebih dari 350 mg/dL
- Saturasi transferrin kurang dari 15%, atau Ferritin serum kurang dari 20 mg/l, atau
6
Pengecatan sumsum tulang dengan biru Prussia menunjukkan cadangan besi
(hemosiderin) negative, atau dengan pemberian ferrous sulfat 3x200 mg/hari (atau
preparat besi yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin
lebih dari 2 g/dL.6
- Diferrential Diagnosis (tabel 1)
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium differential diagnosis anemia defisiensi Fe
Sumber: Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009, dengan perubahan
Talasemia
Termasuk dalam kelainan hemoglobinopati, di mana didapatkan kelainan pada
struktur maupun sintesis molekul Hb. Pada keadaan ini yang abnormal hanya
globinnya saja sedangkan hem nya normal.4 Talasemia merupakan gangguan genetic
(autosomal resesif) yang disebabkan oleh berkurangnya kecepatan sintesis rantai α
dan β dari globin.4,6 Talasemia dapat juga dikelompokkan ke dalam kelompok
anemia hemolitik herediter yang paling banyak dijumpai, terutama di daerah Laut
Tengah (Mediteranea).4
Pada orang dewasa normal, susunan Hb adalah sebagai berikut:
Hb A 97% (α2β2)
Hb A2 2-3% (α2δ2)
Hb F 1% (α2γ2)
Defek genetic mengakibatkan pengurangan atau peniadaan sintesis satu atau lebih
rantai globin HbA, di mana keadaan ini dapat menyebabkan:
7
Pembentukan tetramer Hb berkurang sehingga terjadi anemia mikrositik
hipokrom
Sebagian rantai globin tidak mendapat pasangan, bebas, tak larut (insoluble) dan
tidak mampu mengikat oksigen. Akumulasi rantai globin yang bebas ini
mengakibatkan lisis eritrosit intramedular (eritropoiesis inefektif).
Pada talasemia α, terjadi kelebihan rantai globin β dan sebaliknya. Rantai bebas tsb
tidak stabil dan akan mengalami presipitasi dalam eritrosit dan membentuk badan
inklusi sejak eritrosit masih muda, sehingga eritrosit ini harus dihancurkan. Eritrosit
yang lolos ke sirkulasi darah akan dihancurkan di limpa, dengan akibat terjadi
splenomegali sampai hipersplenisme. Ketidakseimbangan rantai α dan β ini
berkurang bila talasemia α dan β terjadi bersamaan dan dengan demikian gambaran
klinisnya lebih ringan.4
Talasemia α
Pada keadaan normal, ada 4 gen globin, di mana masing-masing terdapat 2 pada
kromosom 16. Derajat keparahan talasemia α tergantung dari gen α yang tidak ada,
atau disfungsional.
Hidrops fetalis
Pada hidrops fetalis, keempat gen α inaktif. Fetus tidak dapat membuat Hb A fetal
(α2γ2) maupun dewasa (α2β2). Terjadi kematian in utero (stillbirth) atau neonatal
death.6 Secara klinis bayi dengan kelainan ini tampak pucat (anemia berat), bengkak,
kalaupun mampu lahir hidup hanya untuk beberapa saat saja. Abdomen membesar,
hepatosplenomegali, hemopoiesis ekstramedular, sumsum tulang hiperplastik,
hemolisis berat, dan terdapat endapan hemosiderin dalam RES. Sering disertai
kelainan congenital lainnya.
Hasil pemerisaan laboratoriumnya adalah Hb rendah (3-10g/dL),anemia mikrositik
hipokrom, hitung retikulosit meningkat, aniso-poikilositosis berat, banyak eritrosit
berinti. Pada elektroforesis Hb dengan buffer alkalis ditemukan Hb Bart’s 80-90%
sedangkan Hb F nihil.1
8
Hb H disease
Disebabkan delesi atau gangguan dari 3 dari 4 gen α. Didapatkan anemia mikrositik
hipokrom yang menonjol (Hb 6-11.0 g/dL), dan splenomegali. Tidak terjadi
deformitas tulang dan gejala kelebihan zat besi. Elektroforesis hemoglobin
menunjukkan 4-10% hemoglobin H (β4) dan pewarnaan supravital menunjukkan sel
golf ball.6
Trait talasemia α
Didapatkan delesi dari 1 atau 2 gen α dengan eritrosit mikroskopik hipokrom dengan
peningkatan hitung eritrosit (lebih dari 5.5x109/L). Terjadi anemia ringan pada
beberapa kasus dengan delesi dari 2 gen α.6 Delesi dari 1 gen α akan menunjukkan
hasil Hb A dan Hb F yang normal, tidak terjadi anemia, namun nilai-nilai MEV
menurun.4
Talasemia β
Talasemia β mayor/Cooley’s anemia/Mediterranean anaemia. Adanya kegagalan
sintesis rantai β baik subtotal (β+) maupun total (β0) akibat 200 mutasi titik berbeda
atau delesi dari gen β globin pada sekuens pengontrolnya pada kromosom 11.6
Didapatkan ketidakseimbangan berat dari rantai α:β+γ dengan deposisi dari rantai α
pada eritroblas. Kelainan ini didapat dari perkawinan sepasang suami-istri dengan
trait talasemia β.4
Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah eritropoiesis inefektif, anemia berat,
hepatosplenomegali, timbunan besi, dan hemopoiesis ekstramedular.4,6
Sumsum tulang akan mengalami hyperplasia dan sumsumnya berekspansi ke tulang,
di mana pada wajah akan tampak sebagai thalassaemic facies. Terjadi penipisan
korteks tulang, kecenderungan terjadi fraktur patologik. Pada foto cranium terdapat
ekspansi dari tulang dengan gambaran hair-on-end appearance.4
Dari sediaan darah tepi ditemukan gambaran anemia mikrositik hipokrom berat (Hb
2-6 g/dL), eritrosit berinti, retikulositosis, sel sasaran, basophilic stippling, eritroblas,
dan sering mielosit.
9
Dalam elektroforesis ditemukan Hb A sangat kurang atau nihil, Hb F meningkat dan
Hb A2 normal atau agak meningkat. Rasio rantai α/β meningkat. Analisis DNA
memperlihatkan mutasi atau delesi spesifik.6
Penatalaksanaannya adalah dengan transfusi packed red cell secara teratur untuk
mempertahankan hemoglobin di atas 9-10 g/dL (leukodeplesi untuk mengurangi
risiko sensitisasi HLA dan transmisi penyakit, misalnya CMV), terapi chelating agent
dengan deferoxamine subkutan selama 8-12 jam (5-7 malam setiap minggu) dibantu
vitamin C dan diganti dengan deferipron bila respon tidak adekuat, splenektomi guna
mengurangi kebutuhan akan transfusi darah (sebaiknya ditunda sampai usia 5 tahun),
transplantasi sumsum tulang yang HLA nya cocok, serta pengobatan komplikasi
overload besi.4,6
Transfusi darah berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya timbunan besi di
jaringan, dengan akibat kerusakan hepar, organ-organ endokrin sehingga terjadi DM,
gangguan pertumbuhan, dll. Timbunan besi pada jaringan otot jantung
mengakibatkan gangguan irama dan gagal jantung.6
Thalasemia intermedia
Lebih ringan dari talasemia mayor dengan onset lebih lama dan ditandai dengan
anemia mikrositik hipokrom yang memerlukan sedikit transfuse atau tidak sama
sekali. Terjadi defek rantai β yang lebih ringan daripada talasemia mayor,dengan
peningkatan rantai γ atau penurunan sintesis rantai α. Dapat terjadi
hepatosplenomegali, hemopoiesis ekstramedular, anemia, dan deformitas tulang, juga
overload besi akibat transfusi berulang.
Trait talasemia β
Anemia mikrositik hipokrom dengan peningkatan jumlah eritrosit (lebih dari
5.5x1012/dL) dan peningkatan kadar Hb A2 (lebih dari 3.5%). Simpanan besi
normal. Diagnosis yang akurat memungkinkan dilakukannya konsultasi genetic dan
terapi besi yang tidak sesuai.6
Anemia akibat penyakit kronis
Merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita pada pasien dengan penyakit
inflamasi kronis dan malignansi. Inflamasi kronis dapat disebabkan oleh infeksi (misalnya
10
abses paru, pneumonia, TB paru) dan penyakit bukan infeksi (misalnya rheumatoid
arthritis, SLE, sarkoidosis, penyakit Crohn). Penyakit keganasan yang dapat menyebabkan
anemia diantaranya adalah limfoma, karsinoma, dan sarcoma.4
Dapat ditemukan:
• Morfologi eritrosit normokromik, normositik, atau hipokromik ringan (MCV jarang
kurang dari 75 fL)
• Anemia ringan dan non-progresif (hemoglobin jarang kurang dari 9.0 g/dL) di mana
beratnya anemia tergantung dari penyakit dasarnya.
• Besi serum dan daya ikat besi total berkurang, reseptor transferrin serum normal
• Ferritin serum normal atau meningkat
• Elektroforesis Hb normal
• Simpanan zat besi retikuloendotelial sumsum tulang normal namun zat besi
eritroblas berkurang.
Anemia ini tidak berespon terhadap terapi zat besi dan harus diterapi penyakit dasarnya, di
mana eritropoietin rekombinan dapat memperbaiki anemianya dalam beberapa kasus. Pada
beberapa kasus, anemia ini dapat diperberat dengan adanya anemia akibat etiologi lain
(misalnya defisiensi besi, vitamin B12 dan folat, gagal ginjal, kegagalan sumsum tulang,
hipersplenisme, gangguan endokrin, anemia leukoeritroblastik).1
Anemia sideroblastik
Merupakan anemia yang refrakter di mana pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan
peningkatan zat besi yang terlihat sebagai granul yang tersusun membentuk cincin sekitar
nukleus dari eritrosit yang sedang berkembang (ringed sideroblast), setidaknya pada 15%
sel.6 Normalnya, granula zat besi tersebar secara acak pada eritroblas.1
Anemia sideroblastik terbagi menjadi beberapa tipe, dan yang paling sering adalah defek
pada sintesis hem. Pada bentuk yang herediter, anemianya biasanya ditandai dengan
gambaran mikrositik hipokrom yang sangat jelas, di mana mutasi yang paling sering
adalah pada gen ALA-S yang terkait kromosom X. Subtipe yang paling sering dari tipe
primer yang didapat adalah jenis myelodisplasia. Pada beberapa pasien dengan tipe
herediter berespon terhadap terapi piridoksin. Dapat juga dicoba terapi folat pada
defisiensi folat. Terapi lain yang telah dicoba pada myelodisplasia (misalnya eritropoietin)
juga dapat dicoba pada tipe acquired primer. Pada kasus yang berat, transfusi darah
11
berulang dapat merupakan satu-satunya metode yang mempertahankan kadar hemoglobin
yang memuaskan namun hati-hati pada terjadinya kelebihan zat besi akibat transfusi.
Keracunan timbal dapat menghambat sintesis hem dan globin serta menghambat
pemecahan RNA dan menyebabkan akumulasi RNA terdenaturasi dalam eritrosit
(gambaran basophilic stippling pada pewarnaan Romanowsky). Anemianya dapat berupa
hipokromik dengan predominan hemolitik, dan dapat ditemukan ringed sideroblast pada
sumsum tulang.1
e. Etiologi
Kehilangan darah kronis, terutama dari uterus atau traktus gastrointestinal, merupakan
penyebab utama. Pada kehilangan darah kronis, meskipun terjadi peningkatan
penyerapan zat besi dari makanan pada tahap awal penyakit, dapat ditemukan balans zat
besi yang negatif.
Adanya kebutuhan zat besi yang meningkat terjadi pada saat bayi, laktasi, dan saat
menstruasi. Neonatus memiliki cadangan zat besi yang diperoleh dari pemotongan
umbilikus yang tertunda dan pemecahan dari eritrosit yang berlebih. Pada usia 3-6 bulan
lebih cenderung terjadi balans zat besi yang negatif akibat pertumbuhan. Dari usia 6
bulan, adanya suplementasi susu formula dan makanan campur, terutama makanan yang
diperkaya dengan zat besi, dapat mencegah defisiensi besi. Pada kehamilan, perlu zat
besi lebih karena adanya peningkatan massa eritrosit sebesar 35%, dan transfer zat besi
kepada fetus sebesar 300 mg, dan karena adanya kehilangan darah saat melahirkan.
Terapi zat besi diberikan apabila kadar hemoglobin berada di bawah 10 g/dL atau MCV
kurang dari 82 fL pada trimester ketiga.1
f. Patofisiologi
Zat besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk ion bebas, tetapi selalu
berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan dengan sifat seperti
radikal bebas. Dalam keadaan normal, seorang pria dewasa mempunyai kandungan besi
50 mg/kgBB sedangkan wanita 35 mg/kgBB.
Tubuh memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyerap zat besi dan kehilangan zat
besi akibat pendarahan adalah hal yang sangat umum. Pemindahan dan penyimpanan zat
besi dalam tubuh banyak dimediasi oleh 3 protein: transferrin, reseptor transferrin 1
(TfR1) dan ferritin. Transferrin mengantarkan zat besi ke jaringan yang memiliki
reseptor transferrin, terutama eritroblas pada sumsum tulang yang memasukkan zat besi
12
ke dalam hemoglobin. Transferrin kemudian akan digunakan kembali. Ketika eritrosit
memasuki RES untuk dihancurkan, zat besi akan terlepas dari hemoglobin dan memasuki
plasma untuk berikatan kembali dengan transferrin. Hanya sebagian kecil zat besi plasma
yang diperoleh dari diet zat besi dan hasil penyerapan duodenum dan jejunum. Sejumlah
zat besi disimpan dalam makrofag dalam bentuk ferritin dan hemosiderin, di mana
kadarnya tergantung kadar zat besi dalam tubuh. Ferritin adalah kompleks protein-zat
besi yang larut air, dimana 20% dari beratnya mengandung zat besi, serta tidak dapat
dilihat dengan mikroskop cahaya. Sedangkan hemosiderin adalah kompleks protein-zat
besi yang tak larut air dengan komposisi bervariasi dan 37% dari beratnya mengandung
zat besi, di mana hemosiderin dapat dilihat berada dalam makrofag dengan menggunakan
mikroskop cahaya setelah pewarnaan dengan Prussian blue. Zat besi dalam ferritin dan
hemosiderin berada dalam bentuk ferri, dan akan didistribusikan setelah direduksi
menjadi bentuk ferro, dibantu oleh vitamin C. Sedangkan seruloplasmin mengkatalisa
oksidasi zat besi menjadi bentuk ferri guna berikatan dengan transferrin plasma.
Kadar ferritin dan TfR1 tergantung dari kadar zat besi tubuh, dimana kelebihan zat besi
akan menyebabkan peningkatan ferritin jaringan dan penurunan jumlah TfR1, sedangkan
kekurangan zat besi akan menyebabkan penurunan ferritin jaringan dan peningkatan
jumlah TfR1. Ketika kadar zat besi plasma meningkat dan transferrin tersaturasi, akan
terjadi peningkatan distribusi zat besi ke dalam sel-sel parenkim (misalnya hati, organ
endokrin, pancreas, dan jantung) sehingga merupakan dasar dari perubahan patologis
yang berhubungan dengan kelebihan zat besi.
Zat besi juga terdapat dalam otot sebagai mioglobin dan pada kebanyakan sel-sel tubuh
dalam enzim yang mengandung zat besi (misalnya sitokrom, succinic dehydrogenase,
katalase), di mana zat besi dalam jaringan ini lebih sulit berkurang dibandingkan dengan
hemosiderin, ferritin, dan transferrin dalam keadaan defisiensi besi.
Hepsidin, merupakan polipeptida yang diproduksi oleh sel hati, yang merupakan protein
fase akut dan regulator hormonal yang dominan dalam homeostasis zat besi. Hepsidin
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag, sel-sel epitel usus, dan dari
sinsitiotrofoblas plasenta. Produksi hepsidin akan meningkat akibat inflamasi, dan akan
menurun bila terdapat anemia defisiensi besi (diperantarai oleh reseptor transferin),
hipoksia, dan eritropoiesis inefektif. Zat besi berada dalam makanan dalam bentuk ferri
hidroksida, kompleks ferri-protein, dan kompleks hem-protein, di mana secara umum
dapat dikatakan bahwa daging –terutama hati – merupakan sumber zat besi yang lebih
baik daripada sayur-sayuran, telur, maupun produk susu. Zat besi organic yang terdapat
13
dalam diet sebagian akan diserap sebagai hem dan sebagian akan dipecahkan menjadi
besi inorganic di usus, di mana hem kemudian akan dicerna untuk melepaskan zat besi.
Sedangkan absorbsi besi inorganic dipengaruhi oleh factor seperti asam (HCl dan
vitamin C) dan agen-agen pereduksi (asam amino; glutation) yang menyebabkan zat besi
dalam lumen usus tetap berada dalam bentuk ferro daripada ferri. Yang tergolong sebagai
zat penghambat adalah tanat, fitat, dan serat (fibre). Ferri reduktase berada pada
permukaan apikal villi usus dan berguna untuk mengubah zat besi dari ferri menjadi
ferro, dan enzim lain yaitu hephaestin (yang mengandung tembaga) mengubah ferro
menjadi ferri pada permukaan basal sebelum berikatan dengan transferrin.1,4
Perdarahan kronis menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan zat besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance, ditandai oleh kadar ferritin serum menurun dan peningkatan
absorbsi zat besi dalam usus, serta pewarnaan besi dalam sumsum tulang negative.
Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus, cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang tetapi anemia secara klinis belum terjadi,
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini, kelainan yang pertama
ditemukan adalah adanya peningkatan protoporfirin bebas atau zinc protoporphirin dalam
eritrosit. Saturasi transferrin menurun dan DIBT meningkat, juga peningkatan reseptor
transferrin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin menurun, timbul anemia mikrositik hipokrom
(iron deficiency anemia). Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
g. Gejala Klinis
Ketika terjadi defisiensi besi, kadar zat besi dalam ferritin dan hemosiderin akan
berkurang terlebih dahulu sebelum terjadi anemia. Dan seiring berjalannya kondisi tsb,
pasien mungkin menunjukkan tanda dan gejala sistemik dari anemia. Dapat ditemukan
sesak nafas terutama saat beraktivitas, lemah, letargi, palpitasi, tinnitus, berkunang-
kunang, dan nyeri kepala.1,6
Membran mukosa yang pucat terjadi bila kadar hemoglobin lebih rendah dari 9-10 g/dL.
Warna kulit bukan merupakan tanda yang dapat dijadikan patokan. Adanya sirkulasi
yang hiperdinamik (takikardia, denyut nadi yang menghentak, kardiomegali, dan murmur
sistolik terutama pada apeks). Pada pasien yang lebih tua, mungkin ditemukan gejala
gagal jantung, angina pektoris, klaudikasio intermiten, atau konfusio.Gejala-gejala tsb di
14
atas merupakan gejala umum dari anemia (sindrom anemia), yang pada defisiensi besi
berjalan kronik mungkin gejalanya tidak akan terlalu menonjol.6
Sedangkan gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah terjadi glositis yang tak nyeri
(berupa atrofi papil lidah), stomatitis angularis (cheilosis), disfagia (karena kerusakan
epitel hipofaring), kuku yang rapuh, bergelombang, dan berbentuk seperti sendok atau
koilonikia (gambar 3), rambut yang menipis, terbentuknya esophageal web (sindrom
Paterson-Kelly atau Plummer-Vinson) (gambar 4), atrofi mukosa gaster sehingga
menyebabkan akhloridia, dan selera makan yang aneh (pica).1,6
Penyebab dari perubahan epitelial masih belum jelas namun mungkin berhubungan
dengan defisiensi enzim yang mengandung zat besi. Pada anak-anak, defisiensi besi lebih
jelas terlihat karena menyebabkan iritabilitas, fungsi kognitif yang buruk, dan
perkembangan psikomotor yang terhambat.1
Selain itu, dapat pula ditemukan gejala penyakit dasar yang dapat ditemukan pada
anemia defisiensi besi, misalnya dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak
tangan berwarna kuning pada infeksi cacing tambang, dan gangguan kebiasaan buang air
besar pada kanker kolon.5
h. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
- Gangguan jantung
Kardiomegali hingga gagal jantung akibat jantung harus bekerja lebih keras dalam
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik .
- Masalah kehamilan
Berhubungan dengan kelahiran premature dan berat badan lahir rendah.
- Masalah pertumbuhan
Pada bayi dan anak-anak, defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan,
disertai dengan resiko lebih rawan terkena infeksi.4
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan anemia defisiensi besi tergantung dari derajat anemianya,
penyebab defisiensi besi, dan kemampuan pasien untuk mentolerir preparat zat besi.
15
- Non medica mentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa meliputi penanganan perdarahan, diet, pembatasan
aktivitas, dan transfusi darah.
Penanganan perdarahan
Penangananan perdarahan dapat berupa pembedahan untuk memperbaiki defek dasarnya,
meliputi penyakit dasar baik neoplastik maupun non-neoplastik seperti traktus
gastointestinal, uterus, dan paru. Reserve transfusion packed red blood cells untuk pasien
yang menderita perdarahan akut atau dalam bahaya hipoksia dan/atau insufisiensi koronaria.
Diet
Diet merupakan predisposisi mayor dari defisiensi besi. Pasien dengan diet randah zat besi
harus diidentifikasi dan dikonseling untuk meninggalkan kebiasaan diet rendah zat besi, serta
mengumpulkan orang-orang tsb bersama komunitas yang dapat menyediakan setidaknya 1
menu bernutrisi setiap harinya. Sebaiknya diberikan makanan bergizi tinggi protein terutama
yang berasal dari protein hewani.6
Pembatasan aktivitas
Pembatasan aktivitas biasanya tidak diperlukan, di mana pembatasan aktivitas harus didasari
dari beratnya anemia dan keadaan komorbid yang dimiliki pasien. Pasien dengan anemia
defisiensi besi berat dan gangguan kardiopulmonar signifikan perlu dibatasi aktivitasnya
hingga anemianya tertangani dengan terapi zat besi. Jika pasien menjadi hipoksia dan terlihat
kemungkinan insufisiensi koronaria, pasien harus dirawat di rumah sakit dan istirahat penuh
hingga terdapat perbaikan dari anemianya sehingga bisa ditransfusi dengan packed red blood
cells.2
Transfusi darah
Jarang diperlukan pada anemia defisiensi besi. Jenis darah yang diberikan adalah packed red
cell untuk mengurangi bahaya overload, di mana sebagai premedikasi dapat diberikan
furosemide IV. Tatacara transfusinya tidak berbeda dengan yang untuk anemia tipe lain.
Indikasinya adalah:
• Adanya penyakit jantung anemic dengan ancaman payah jantung
• Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat
menyolok
16
• Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan
trimester akhir atau preoperasi.2
- Medica mentosa
Selain mengobati penyakit dasarnya, dapat juga diberikan zat besi guna memperbaiki
anemia dan mengembalikan simpanan zat besi dalam tubuh.1
Preparat zat besi oral
Preparat zat besi oral tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan eliksir (tabel 2), di mana
yang paling murah dan banyak dipakai adalah ferrous sulfat. Carbonyl iron memiliki
efikasi sebesar 70% dari ferrous sulfat namun karena pelepasannya di usus lambat
sehingga dapat ditoleransi lebih baik pada pasien dengan efek samping gastrointestinal.
Pada umumnya, jika sediaan tsb diberikan 3 hingga 4 kali sehari sebelum makan, sekitar
40 hingga 60 mg zat besi akan diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam sumsum eritroid,
sehingga membantu produksi di sumsum hingga 3 kali lipat normal pada orang dengan
anemia sedang hingga berat.
Tabel 2. Sediaan zat besi oral
Sumber: Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. 4th ed. United States: The McGraw-Hill Companies; 2005
Preparat oralTablet (kadar zat besi)
(mg)
Eliksir (kadar zat besi)
(mg)
Ferrous sulfate
Ferrous gluconate
Ferrous fumarate
Carbonyl iron
Polysaccharide-iron
325 (65)
325 (38)
300 (99)
50 (50)
150(150)
300/5 mL (60)
300/5 mL (35)
100/5 mL (33)
100/5 mL (100)
Beberapa sediaan juga mengandung substansi yang mempermudah penyerapan zat besi,
misalnya vitamin, asam amino, dan bahan-bahan lainnya, di mana yang banyak dipakai
adalah asam askorbat dalam kadar 200 mg atau lebih. Pada saat yang bersamaan,
peningkatan asupan juga menyebabkan peningkatan efek samping, sehingga kurang
berguna bagi pasien.
Anemia defisiensi besi sedang dan berat harus diterapi dengan besi elemental sebanyak
150-200 mg per hari (2-3 mg/kg). Untuk anak-anak dengan berat badan 15-30 kg, dosisnya
17
dikurangi setengah. Anak-anak yang lebih kecil dan bayi biasanya dapat mentolerir dosis
hingga 5 mg/kg. Kepatuhan pasien merupakan kunci dari respon sumsum yang efektif
terhadap terapi zat besi. Preparat oral yang terbaik adalah bila diberikan beberapa kali
sehari, mengingat absorbsi dari setiap dosisnya terbatas hanya untuk beberapa jam saja.
Untuk memperoleh hasil yang maksimum, zat besi perlu dikonsumsi sebelum makan,
namun hal ini dapat menyebabkan meningkatnya resiko intoleransi gastrointestinal.
Regimen zat besi oral yang tipikal adalah 1 tablet zat besi 3 sampai 4 kali sehari sebelum
makan dan sebelum tidur, di mana dosis terakhir sangat penting untuk mempertahankan
kadar besi serum saat malam hari hingga tidak berada di bawah kadar 50 µg/dL.
Kecepatan pertambahan kadar hemoglobin sebagai respon terhadap
terapi zat besi akan berjalan lambat, menggambarkan kurangnya
stimulasi eritropoietin seiring dengan hilangnya anemia. Ketika kadar
hemoglobin darah sudah mencapai 10-12 g/dL, kecepatan
penyembuhan akan berlangsung lebih lambat lagi dan tidak tergantung
dari dosis zat besi oral yang diberikan, sehingga pengurangan dosis dapat membantu
mempertahankan compliance pasien dalam minum obat. Setidaknya
diperlukan terapi zat besi selama 6 bulan guna mengembalikan
cadangan zat besi dalam sistem retikuloendotelial.
Pada pasien dengan anemia defisiensi sedang hingga berat, target
peningkatan hemoglobin yang diharapkan adalah 2-3 g/dL dalam 3-4
minggu. Jika anemia tidak terlalu berat dan hemoglobin di atas 10 g/dL,
respon peningkatan hemoglobin akan lebih rendah karena stimulasi
eritropoietin yang berkurang.3
Respon retikulosit dapat terlihat setelah 7 hari.6
Pada semua situasi, dosis zat besi yang diberikan harus disesuaikan
berdasarkan toleransi pasien. Dosis 150-200 mg per hari dapat
menyebabkan keluhan nausea dan nyeri abdomen atas, sehingga dosis
perlu dikurangi. Pada umumnya, toleransi terhadap zat besi oral akan
meningkat seiring dengan berjalannya terapi. Gejala konstipasi dan
diare juga merupakan keluhan yang umum saat terapi zat besi, namun
tidak berhubungan dengan dosis dan harus diterapi simtomatik. Dosis
zat besi yang besar tidak diperlukan pada pasien dengan anemia ringan
18
atau bila ingin mengembalikan simpanan zat besi. Hal ini disebabkan
karena terbatasnya absobsi zat besi.
Ketika respon terhadap terapi zat besi oral inadekuat, harus dicari seberapa
besar compliance pasien terhadap terapi yang diberikan, mengingat untuk memperoleh
hasil yang maksimum diperlukan asupan zat besi oral yang konstan. Jika
compliance pasien bagus, harus dicari kemungkinan adanya sumber
perdarahan berkelanjutan dan adanya penyait inflamasi (menyebabkan
hambatan absorbsi dan pelepesan zat besi dari simpanan
retikuloendotelial). Terapi zat besi oral tidak boleh dilanjutkan lebih dari
3-4 minggu bila tidak terdapat respon yang adekuat. Selain itu,
suplementasi zat besi sebaiknya tidak diresepkan secara rutin selama
lebih dari 6 bulan tanpa ada alasan yang jelas guna menghindari
kemungkinan adanya kelebihan zat besi jika pasien memiliki trait
hemokromatosis.3
Preparat zat besi parenteral
Diberikan pada pasien dengan intoleransi gastrointestinal berat akibat
preparat zat besi oral, ada malabsorbsi gastrointestinal, compliance
rendah, kehilangan darah banyak yang tidak cukup diterapi dengan
preparat oral, kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, dan
defisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoietin pada
anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.4
Iron dextran
Cara pemberian yang dianjurkan adalah dengan bolus injeksi IV
sebanyak 500-2000 mg (dengan kemasan 50 mg/mL). Total kebutuhan
zat besi yang diperlukan oleh pasien dapat dihitung dengan rumus sbb:
Kebutuhan besi (mg) =BB (kg) x 2.3 x (15-Hb pasien dalam g/dL) + 500 mg
(untuk simpanan)
Namun penggunaannya harus hati-hati guna mengantisipasi reaksi
anafilaktik pada pasien yang alergi dekstran. Teknik pemberiannya
yaitu injeksi inisial sebanyak kurang dari 0.5 mL selama 5-10 menit
19
sambil mengobservasi pasien. Pemberian harus segera dihentikan bila
terdapat keluhan gatal, sesak, nyeri dada, atau nyeri punggung.
Tekanan darah juga harus dimonitor pada jam pertama guna melihat
adanya hipotensi mendadak. Jika dosis awal dapat ditoleransi, dosis
sisanya dapat diberikan perlahan. Bila diberikan 500-1000 mg dalam
sekali pemakaian, sebaiknya diencerkan dalam 250 mL solusio natrium
klorida 0.9% dan diberikan dalam 30-60 menit.
j. Prognosis
Anemia defisiensi besi adalah suatu gangguan yang mudah diterapi
dengan prognosis yang sangat baik. Namun, prognosis yang buruk
mungkin dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi penyerta
maupun komorbiditas yang berat, seperti neoplasia dan penyakit arteri
koronaria. Anemia defisiensi besi kronik yang sedang maupun berat
dapat menyebabkan hipoksia yang menyebabkan kambuhnya
gangguan pulmonar maupun kardiovaskular yang dimiliki pasien.
Kematian akibat hipoksia dapat terjadi pada pasien yang menolak
diberi transfusi darah karena alasan religious, atau pada pasien
dengan perdarahan akut yang berat.
Pada anak yang lebih muda, anemia defisiensi besi berhubungan
dengan IQ yang lebih rendah, kurangnya kemampuan belajar, dan
kecepatan pertumbuhan yang suboptimal.2
Daftar Pustaka
1. Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE, editor. Essential haematology. 5th
ed. Massachusets: Blackwell Publishing; 2006.p.21-2, 28-37,40-1
2. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. 4th ed.
United States: The McGraw-Hill Companies; 2005.p. 56-9, 60-3
3. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun
patologi klinik hematologi. Cetakan ke-3. Jakarta: Bagian Patologi Klinik
FK UKRIDA; 2009.h.30, 111, 132-4
4. Killip S, Bennett JM, Chambers MD. Iron deficiency anemia. Am Fam
Physician 2007;75(5):672-4
20
5. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi [terjemahan]. Edisi
ke-2. Jakarta: Erlangga; 2008. H. 26-7, 29, 40-1, 84-5
6. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. H.
1130-3, 1135-6
21