anemia
-
Upload
sheinny-herliandry -
Category
Documents
-
view
141 -
download
2
description
Transcript of anemia
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, terutama
di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang
menderita anemia. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan
ekonomi serta kesehatan fisik.
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala dari
berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga penting dalam
pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari, anemia tidak
dapat diberikan terapi yang tuntas.
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi Standar
Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat menegakkan diagnosis
anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik) berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi besi, dokter umum harus mampu melakukan
penanganan. Untuk anemia megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap
merujuk serta mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan
dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1 ERITROPOESIS
1.1 Definisi
Eritropoesis adalah proses pembentukan sel darah merah yang dibentuk dalam sumsum
tulang dengan rangsangan hormon eritropoetin (ginjal), dirangsang oleh kadar O2 rendah
(hipoksia).
1.2 Faktor–faktor yang diperlukan untuk eritropoesis
Zat besi
Zat besi penting untuk sintesis hemoglobin oleh eritrosit. Kebutuhannya 2 mg/hari untuk
wanita, sedangkan untuk pria 4 mg/hari untuk pria. Zat ini diabsorbsi dari makanan sehari–
hari dan disimpan di berbagai jaringan, terutama di hati. Cadangannya disimpan 60% (Hb),
10% (mioglobin enzim) 30% (feritin, hemosiderin). 6-8% diserap di duodenum, dipengaruhi
oleh Hcl dan vitamin C.
Tembaga (Cu)
Bagian esensial dari protein yang diperlukan untuk mengubah besi feri (Fe3+) menjadi besi
fero (Fe2+).
Vitamin tertentu seperti asam folat, vitamin C, dan Vitamin B12
Vitamin untuk sintesis DNA (protein), berperan penting dalam pertumbuhan normal dan
pematangan eritrosit. Vitamin B12 tidak dapat disintesis dalam tubuh dan harus didapat dari
makanan. Agar vitamin B12 dapat diabsorbsi dari saluran pencernaan, lapisan lambung
harus memproduksi faktor intrinsik (sel parietal lambung).
Eritropoetin
Produksi eritrosit diatur oleh eritropoetin, suatu hormon glikoprotein yang diproduksi
terutama oleh ginjal. Kecepatan produksi eritripoetin berbanding terbalik dengan persediaan
oksigen dalam jaringan.
Hormon lain
2
Hormon lain seperti kortikoson, hormon toroid dan hormon pertumbuhan juga
mempengaruhi pertumbuhan eritrosit.
2 ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian tentang anemia maka kita perlu
menetapkan definisi anemia:
a. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
b. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal kadar hemoglobin, hitung
eritrosit dan hematokrit (packed red cell).
2.2 Kriteria anemia
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar
hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara
fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana
kita anggap terdapat anemmia. Di negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki–
laki adalah 14gr/dl dan 12gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain
memberikan angka yang berbeda yaitu 12gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa,
11gr/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13gr/dl untuk laki dewasa. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti terlihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al 2001)
3
Kelompok kriteria Anemia (Hb)
Laki – laki dewasa
Wanita dewasa tidak hamil
Wanita hamil
< 13 gr/ dl
< 12 gr/dl
< 11 gr/dl
Tabel 1
Untuk keperluan klinik (rumah sakit dan praktik dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau
dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin
kurang dari 10 gr/dl sebagai awal dari work up anemia atau di india dipakai angka 10-11 gr/dl.
2.3 Klasifikasi anemia
Klasifikasi anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau happusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan
(1) Anemia hipokromik mikrositer apabila MCV < 80 fl dan MCH < 27 fl
(2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl
(3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl
4
Gambar 1
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel
darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar.
Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah
merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu
menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit
kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-
penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti
ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi
hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat
DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada
kemoterapi kanker, sebab agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel. Kategori
anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya
menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan
sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia
(penyakit hemoglobin abnormal kongenital).
Klasifikasi etiologi dan morfologi anemia bila digabungkan (lihat tabel 2) akan sangat
menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
5
I . Anemia hipokromik mikrositer
a. anemia defisiensi besi
b. thalasemia major
c. anemia akibat penyakit kronik
d. anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik nomositer
a. anemia pasca perdarahan akut
b. anemia aplastik
c. anemia hemolitik di dapat
d. anemia akibat penyakit kronik
e. anemia pada gagal ginjal kronik
f. anemia pada sindrom mielodisplastik
g. anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. bentuk megaloblastik
anemia defisiensi asam folat
anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. bentuk non-megaloblastik
anemia pada penyakit hati kronik
anemia pada hipotiroidisme
anemia pada sindrom mielodiplastik
Tabel 2
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab utama yang
dipikirkan adalah:
(1) Meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
(2) Penurunan atau gangguan pembentukan sel.
6
Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh
penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat pardarahan
kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoroid atau menstruasi.
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila
gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek hidupnya atau karena perubahan
lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah
merah itu sendiri terganggu adalah:
1. Hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misalnya anemia sel sabit
2. Gangguan sintesis globin misalnya talasemia
3. Gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter
4. Defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga disebabkan
oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan respon imun. Respon
isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi
darah yang tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah
merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab
yang diketahui setelah pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida,
L-dopa atau pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus
eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya
diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –antibodi
tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia hemolitik berat ketika
sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel
darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang terkena
akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa. Hipersplenisme (pembesaran limpa,
pansitopenia, dan sumsum tulang hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis
7
akibat penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika
kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah yang
berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum
tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
(1) Keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel mieloma;
obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
(2) Penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit
infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat
mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan anemia.
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi.
2.4 Patofisiologi dan gejala anemia
Gejala anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul
pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena :
1. Anoksia organ
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik) apabila kadar hemoglobin telah
turun ddibawah 7gr/dl. berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada:
1. Derajat penurunan hemoglobin
2. Kecepatan penurunan hemoglobin
3. Usia
4. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :
Gejala umum anemia
8
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan kadar hemoglobin sampai
kadar tertentu (Hb ,7gr/dl) sindrom anemia tediri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia tidak besifat
spesifik karena dapat ditimbulkan aleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7gr/dl).
Gejala khas masing – masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing – masing jenis anemia. Sebagai contoh :
Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia)
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda – tanda infeksi.
Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang :
sakit perut, pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat
penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia
untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagmosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium.
9
2.5 Pendekatan diagnosis dan pendekatan terapi
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis
anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap–tahap dalam diagnosis anemia adalah :
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menetukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan
Terdapat bermacam–macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain adalah
pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fingsional dan probabilistik, serta pendekatan
klinis. Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah :
Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)
Berat ringannya derajat anemia
Gejala yang menonjol
Berikut gambar algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia :
Anemia hipokromik mikrositer
10
Gambar 2
Anemia normokromik normositer
11
Gambar 3
Anemia makrositer
12
Gambar 4
Pendekatan terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia adalah:
1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
telebih dahulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3. Pengobatan anemia dapat berupa :
Terapi untuk keadaan darurat :
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan
(PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut. Dalam keadaan
demikian, spesimen untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfusi harus
13
diambil terlebih dahulu, seperti apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan besi
sserum, dan lain – lain.
Terapi suportif
Terapi khas untuk masing – masing anemia :
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya preparat besi
untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk anemia defisiensi asam folat, dan lain
– lain.
Terapi untuk mengobati penyakit dasar :
Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika
tidak, anemia akan kambuh kembali.
4. Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantus) pada terapi jenis ini penderita harus
diawasi dengan ketat. Jika terdapat respons yang baik terapi diteruskan tetapi jika tidak
terdapat respons maka harus dilakukan evaluasi kembali.
5. Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda – tanda
hemodinamik.
Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang yang dapat
menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai.
Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan
trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung
retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang
disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan
lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen
penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan
ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan.
Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon
tubuh terhadap pengobatan. Anemia aplastik lebih sering terjadi di negara Timur, dimana insiden kira-kira 7 kasus
14
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk diMalaysia.
Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden
ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang
Asia yang tinggal di Amerika.
Etiologi dan patogenesis anemia aplastik
Pada lebih dari separuh kasus, anemia aplastik muncul tanpa penyebab yang jelas
sehingga disebut idiopatik. Pada kasus yang lain, terjadi pajanan ke suatu zat mielotoksik atau
pemakaian obat mielotoksik. Obat dan zat kimia merupakan penyebab tersering anemia aplastik
skunder. Untuk beberapa bahan, keusakan sumsum tulang dapat diperkirakan, terkait dosis, dan
biasanya reversible. Yang termasuk dalam kategoi ini adalah obat antineoplastik (misal:
antimetabolit), benzena, dan kloramfenikol. Anemia aplastik kadang–kadang timbul setelah
infeksi virus tertentu, terutama hepatitis vius yang ditularkan di masyarakat. Proses patogenik
yang menyebabkan kegagalan sumsum tulang masih belum jelas, tetapi semakin banyak dugaan
yang mengarah pada peran penting sel T autoreaktif.
Anemia aplastik mengenai semua usia dan kedua jenis kelamin. Granulositopenia
mungkin hanya bemanifestasi sebagai infeksi minor yang berulang dan persisten atau oleh onset
mendadak mengigil, demam, dan letih lesu. Anemia aplastik perlu dibedakan dengan anemia
akibat infiltrasi sumsum tulang (anemia mieloftisik) “leukemia aleukemik”, dan penyakit
granulomatosa. Manifestasi klinik mungkin sulit dibedakan. Pada anemia aplastik sumsum
tulang hiposeluler akibat kegagalan sel bakal. Splenomegali jelas tidak tejadi pada anemia
aplastik.
Gejala-gejala anemia aplastik
Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang
berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1)Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
15
(2)Epistaksis (perdarahan hidung)
(3)Perdarahan saluran cerna
(4)Perdarahan saluran kemih
(5)Perdarahan susunan saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi.
Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang
kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan
kematian dan infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun
penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada
perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan
yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting
untuk mencegah perdarahan dan infeksi.
Pencegahan dan terapi yang dilakukan pada anemia aplastik
Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran
udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan
dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah,
granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen
diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia aplastik
kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang
periodik.
Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel
induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok
(saudara kandung dengan antigen leukosit manusia [HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang
dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang
mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi
semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak
mempunyai saudara kandung yang cocok.
16
Terapi standar anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang
(TST). Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik. Pasien berusia lebih dari
20 tahun dengan hitung neutrofil 200–500/mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari
imunosupesi dibandingkan TST, secara umum pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah
cenderung lebih baik dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi
neutropenia (akan membaik 6 bulan dengan imunosupresif). Untuk pasien usia menengah yang
memiliki donor yang cocok, rekomendasi terapi harus dibuat setelah memperlihatkan kondisi
kesehatan pasien secara menyeluruh, deajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit .
Adapun terapi penyelamatan. Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG petama dapat
berespons terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, angka
penyelamatan yang bermakna pada pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus
kedua ATG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat menginduksi respons pada
pasien yang tidak berespon terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan tearpi penyelamatan dapat
menunda transplantasi sumsum tulang. Namun dampaknya masih kontraversial.
Anemia Defisiensi Besi
Kompartemen besi dalam tubuh
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, seperti senyawa besi fungsional, besi
cadangan, dan besi transport. Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas
(free iron), tetapi selalu berkaitan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan,
mempunyai sifat seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang lelaki dewasa mempunyai
kandungan besi 50mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35mg/kgBB.
Absorbsi besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi
dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorbsi. Absorbsi besi paling banyak terjadi
pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absobsi besi
dibagi menjadi 3 fase :
17
Fase luminal :
Besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum.
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu :
besi heme : terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi tidak
dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
besi non-heme : berasal dari sumbe tumbuh – tumbuhan, tingkat absorbsinya
rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga
bioavailabilitasnya rendah.
Fase mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Besi dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Sel
absorptif terletak pada puncak dari vili usus (apical cell). Pada brush border dari sel
absorftif, besi feri dikonversi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin
dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui
membran difasilitasi oleh divalent metal transpoter (DMT1). Setelah besi masuk dalam
sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui
basolateral transporter (ferroprotin disebut juga sebagai IREG 1) ke dalam kapiler usus.
Pada proses ini terjadi reduksi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hapseitin, yang identik dengan seruloplasmin pada metabolisme tembaga), kemudian
besi (feri) diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Besi heme diabsorbsi melalui
proses yang berbeda yang mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Besi heme
dioksidasi menjadi hemin, yang kemudian diabsorbsi secara intak (utuh) diperkirakan
melalui suatu reseptor. Absorbsi besi heme jauh lebih efisien dibandingkan dengan besi
non-heme. Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke
basolateral diatur oleh “set point” yang sudah diset saat enterosit berada pada dasar
kripta liberkhun, kemudian pada waktu pematangan bemigrasi ke arah puncak vili
sehingga siap sebagai sel absorbtif.
18
Gambar 5
Fase korporeal
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus,
memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferin. Tansferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.
Satu molekul transfein dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat
pada transferin (Fe2-Tf) akan diikat oleh reseptor transferin (transferin receptors = Tfr)
yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas. Komplek Fe2-TfTfr akan
terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin – coated pit),
cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton
menurunka pH dalam endosom, menyebabkan perubahan konformasional dalam protein
sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan
dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT1, sedangkan ikatan apotransferin dan
reseptor transferin mengalami siklus kembali ke pemukaan sel dan dapat dipergunakan
kembali.
Mekanisme regulasi absorbsi besi
Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus :
o Regulator dietetik
19
Absorbsi besi dipengauhi oleh jenis diet dimana besi terdapat. Pada
dietary regulator juga dikenal mucosal block, yaitu suatu fenomena dimana
setelah beberapa hari dari suatu bolus besi dalam diet, maka eritrosit resisten
terhadap absorbsi besi beriutnya.
o Regulator simpananan
Penyerapan besi diatur melauli besarnya cadangan besi dalam tubuh.
Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan
besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Mekanisme regulasi ini bekerja
belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cell programming
sehubungan dengan respon saturasi transferin plasma dengan besi.
o Regulator eritropoetik
Besar absorbsi besi berhubungan kecepatan eritropoesis. Erythropoestic
regulator. Mekanisme eryhtropoetic regulator ini belum diketahui dengan pasti.
Siklus besi dalam tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh
besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi
yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2mg, eksresi besi terjadi dalam jumlah yang
sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung
dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam susmsum tulang sebesar 22mg untuk
dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24mg per hari. Eritrosit yang terbentuk
secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerluka besi 17mg, sedangkan besi
sebesar 7mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif
(hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada besi yang beredar, setelah mengalami
proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17mg.
Sehingga dengan demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed circuit) yang sangat
efisien, seperti yang dilukiskan pada gambar berikut.
20
Gambar 6
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik
hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan
penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia subur, sekunder karena
kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
Penyebab lain defisiensi besi adalah:
(1)Asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka
sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur-
sayuran saja;
(2)Gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan
(3)Kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena
polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g besi,
bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat dalam
21
hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut melalui transferin
plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil
dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan dalam hati,
limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-
kebutuhan lebih lanjut.
Etiologi dan Patofisiologi anemia defisiensi besi
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10-20 mg besi, hanya sampai 5%-10% (1-2 mg) yang
sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut
diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan
duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi
diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat
penyimpanan di jaringan. 4. Kekurangan zat besi akan ditimbulkan dari setiap kondisi dimana
asupan zat besi tidak memenuhi kebutuhan tubuh.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan
absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
o Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
tambang.
o Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia
o Saluran kemih: hematuria
o Saluran napas: hemoptisis
Faktor nutrisi akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavailibilitas) besi yang tidak baik ( makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging.
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
22
Berikut daftar penyebab kekurangan zat besi
Tabel. 3
Patogenesis terjadinya anemia defisiensi besi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron
balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyedian besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia
secara klinis beum terjadi, keadaan ini disebut sebagai : iron deficient erythropoesis. Pada fase
ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kada free protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir – akhir ini
parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila
jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin
23
mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficency
anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang
dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faing serta berbagai gejala lainnya.
Tanda dan gejala anemia pada penderita defisiensi besi
Gejala dan tanda kekurangan zat besi sebagian dijelaskan dengan adanya anemia.
Termasuk pucat, kelelahan, toleransi exercise yang buruk, penurunan daya kerja. Namun, ada
juga efek langsung dari kekurangan zat besi pada sistem saraf pusat. Kekuangan zat besi juga
dapat dikaitkan dengan koilonikia dan sindrom Plummer-Vinson, tetapi kondisi ini sangat jarang.
Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali,
dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan 15
sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama hamil,
kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil
meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang
pada waktu melahirkan.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi yang
berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut
yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk seperti
sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin,
mengkilat, merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-
pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan
kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan
hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:
Gejala umum anemia
24
Gejala anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia
defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8mg/dl. Gejala ini berupa
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang – kunang, seta telinga berdenging.
Gejala khas Defisiensi Besi
Gejala khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah:
o Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris – garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
o Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang.
o Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
o Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
o Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
o Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat, es,
lem dll.
Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala–gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami.
Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab dasar
anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif
yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin
diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan
atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet dapat menambah
besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan
hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral.
25
Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat.
Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai
insidens besar terjadi reaksi yang merugikan.
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat renana pemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi adalah:
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan caccing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan,
kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
Terapi besi oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman.
Preparat yang tesedia adalah Ferrous Sulphat (sulfas ferous) merupakan preparat pilihan
pertama oleh karena paling murah dan efektif. Dosis anjuran adalah 3x200mg. Setiap 200mg
sulfas ferrous mengandung 66mg besi elemental. Pembeian sulfas ferrous 3x200mg
mengakibatkan absorbsi besi 50mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua
sampai tiga kali nomal.
Berikut beberapa jenis preparat besi oral:
Preparat Tablet Elemen
besi tiap
tablet
Dosis lazim untuk
dewasa
(Σ tablet/hari)
Fero sulfat
(hidrat)
Fero glukonat
Fero fumarat
325 mg
325 mg
200 mg
65 mg
36 mg
66 mg
3-4
3-4
3-4
26
Fero fumarat 325 mg 106 mg 2-3
Tabel 4
Preparat besi sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering
dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi,
sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan. Efek samping utama besi
peroral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15-20%, yang sangat
mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi.
Untuk mengurangi efek sampingg besi diberikan saat makan atau dosis dikuangi menjadi
3x100mg. Pengobtana besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai
12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100-200 mg. Jika diberikan dosis pemeliharaan, anemia
seing kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat
vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang
banyak mengandung hati dan daging yyang banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral
Terpai besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besr dan harganya
lebih mahal. Oleh karena risiko lebih besar dan harganya lebih mahal maka besi parenteral
hanya diberikan atas indikasi tertentu.
Indikasi pemberian besi pareteral adalah:
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Kepatuhan terhadap obat rendah
3. Gangguan pencernaan
4. Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastektomi
5. Keadaan dimana kehilangan darah banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh
pembeian besi oral
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trimester
tiga atau sebelum operasi
7. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pembeian eritropoetin pada anemia gagal
ginjal kronik anemia akibat penyakit kronik.
27
Preparat yang tesedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang
lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam ata IV pelan. Pemberian
secara IM memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang
dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah
flebritis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Dosis dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
Mengingat adanya risiko reaksi hipersensitivitas, dosis uji yang kecil dari iron dextran
perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum pemberian dosis penuh secara IM atau IV. Pasien
dengan riwayat alergi dan pasien yang sebelumnya pernah mendapat preparat besi secara
suntikan lebih besar kemungkinannya untuk mengalami reaksi hipersensitivitas.
3. Pengobatan lain
a. Diet; sebaiknya diberikan makanan begizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani
b. Vitamin C; vitamin C diberikan 3x100mg per hari untuk meningkatkan absorbsi
besi
c. Transfusi darah; ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah :
i. Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
ii. Anemia sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok
iii. Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepatt seperti
pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (Packed Red Cell) untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid IV.
28
Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia
makrositik. Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang
berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam
folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraseluler. Bila kedua zat tesebut mengalami
defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA, hematopoiesis sangat sensitif
pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik.
Klasifikasi anemia megaloblastik
Anemia defisiensi kobalamin (B12), termasuk anemia Pernisiosa
Gambaran klinis defisiensi kobalamin melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan sistema
nervorum.
Manifestasi hematologis sepenuhnya selalu berakibat anemia. Keluhan dari anemia dapat
terungkap seperti rasa lemah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan
yang berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari pasien dengan defisiensi
kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata. Peningkatan kadar
bilirubin ada kaitannya dengan tingginya pelipat gandan sel –sel eritrioid dalam sumsum tulang.
Nadi denyutnya cepat, dan jantung mungkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar
bising sistolik.
Manifestasi gastrointestinal keluhan nyeri lidah, papil lidah halus dan kemerahan. Anorexia,
kemungkinan bersamaan dengan diare . diare merupakan bagian dari megaloblastosis dari epitel
usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi.
Manifestasi gangguan neurologis, perubahan patologi awal adalah diemilinisasi, kemudia
diikuti oleh degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neuronal. Dan stadium akhir dari
perjalanan penyakit ialah tak dapat pulih. Keluhan dan gejalan termasuk mati rasa dan parestesia
pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia. Kemungkina terjadi gangguan daro sfingter. Reflek–
29
refleks mungkin hilang atau meningkat. Tanda romberg dan babinsky mungkin dapat positif dan
rasa sikap serta getaran biasanya hilang.
Anemia asam folat
Para pasien dengan defisiensi asal folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi
kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat
dari anemia pernisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun,
berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik.
Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan atu atau lebih faktor seperti: asupan
yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi.
Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat
yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena
malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan
postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik.
Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan segar
yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B12 dari
makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik. Walaupun anemia pernisiosa merupakan
prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik.
Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alcohol
atau pada remaja dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan
dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan
penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.
Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.
Defisiensi kobalamin
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan
menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan terapi
30
pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. Penderita kecanduan alkohol yang
dirawat di rumah sakit sering memberi respon “spontan” bila di berikan diet seimbang.
Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi
spesiffik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatarbelakangi, misalnya adanya pertumbuhan
bakteri yang belebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk
defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu
malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, teutama dalam bentuk suntikan
kobalamin intramuskular.
Awalnya pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu sampai
8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup
pasien, defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan
kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari, namun ketidakpatuhan lebih besar pada terapi oral
dibanding terapi i.m.
Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan
defisiensi kobalamin. Kadang–kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disetai pula
gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi.
Darah harus diberikan pelan–pelan dalam bentuk PRC (Packed Red Cell), dan harus selalu dalam
pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari
masalah gagal kardiovaskular akut.
Dikenal tiga jenis suntikan vitamin B12 yaitu larutan sianokobalamin yang berkekuatan
10 - 1000µg/ml, larutan ekstrak hati dalam air dan suntikan depot vitamin B12. Selain sediaan–
sediaan diatas tedapat pula suntikan hidroksokobalamin 100µg yang memberikan efek lebih lama
dari pada sianokobalamin, sehingga interval penyuntikan dapat diperpanjang. Pada terapi awal
diberikan dosis 100µg sehari parenteral selama 5-10 hari. Dengan terapi ini respons hematologik
baik sekali, tetapi respons dapat kurang memuaskan bila terdapat keadaan yang menghambat
hematopoesis misalnya infeksi, uremia atau penggunaan kloramfenikol. Respons yang buruk
dengan dosis 100µg/hari selama 10 hari, mungkin juga disebabkan oleh salah diagnosis atau
potensi obat yang kurang. Progresi kerusakan neurologik pada anemia pernisiosa dapat
dihentikan dengan sempurna, sedangkan perbaikan yang nyata dari kerusakan yang telah dimulai
31
sedini mungkin. Terapi penunjang dilakukan dengan memberikan dosis pemeliharaaan 100-
200µg sebulan sekali sampai diperoleh remisi yang lengkap yaitu jumlah eritrosit dalam darah
±4,5 juta/mm3 dan morfologi hematologi berada dalam batas–batas normal. Kemudian 100µg
sebulan sekali cukup untuk mempertahankan remisi. Pemberian dosis pemeliharaan setiap bulan
ini penting sebab retensi vitamin B12 terbatas, walaupun diberikan dosis sampai 1000µg.
Defisensi folat
Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis
yang lazim diberikan adalah 1mg per hari oral, namun dosis tinggi sampai 5mg per hari mungkin
diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteal
jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi
pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadi retikulosis yang nyata setelah kurang lebih
4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama
terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Pada pasien dengan keperluan yang terus
menerus meningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi
atau malnutrisis kronik. Hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan
diet yang optimal dengan kecukupan folat.
Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik
Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata.
Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran
berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga diperlukan untuk
menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara
memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi dari duodenum dan jejunum bagian atas,
terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan dalam hati.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari normal akibat kerusakan sel eritrosit
yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
32
Etiologi dan Klasifikasi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1) Defek molekular: hemoglobinopati dan enzimopati
2) Abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran
3) Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibody
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :
1. Anemia Hemolisis Herediter, yang termasuk kelompok ini :
O Defek enzim/enzimopati
Defek jalur Embden Meyerhof - d e f i s i e n s i p i r u v a t k i n a s e - d e f i s i e n s i
g l u k o s a f o s f a t i s o m e r a s e - d e f i s i e n s i f o s f o g l i s e r a t k i n a s e
Defek jalur heksosa monofosfat- d e f i s i e n s i g l u k o s a 6 f o s f a t d e h i d r o g e n a s e ( G -
6 P D ) - d e f i s i e n s i g l u t a i o n r e d u k t a s e
oHemoglobinopati
Thalassemia
Anemia sickle cell
Hemoglobinopati lain
oDefek membran (membranopati): sferositosis herediter
2. Anemia Hemolisis Didapat, yang termasuk kelompok ini adalah :
O Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan
autoimun,infeksi, transfusi
O Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom
Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), preeklampsia,
eklampsia,hipertensi maligna, katup prostetik
O Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah pasien, anemia hemolisis
dapat dikelompokkan menjadi:
1) A n e m i a h e m o l i s i s i n t r a k o r p u s k u l a r .
33
Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien
yang kompatibel,sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah pasien.
2) A n e m i a h e m o l i s i s e k s t r a k o r p u s k u l a r . Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup
di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi seleritrosit yang kompatibel normal
tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.Berdasarkan ada tidaknya
keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis
dikelompokkan menjadi:
1. Anemia Hemolisis Imun
Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau IgM yang spesifik
untuk antigen eritrosit pasien (disebut autoantibodi)
2. Anemia Hemolisis Non-Imun
Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek
molekular, a b n o r m a l i t a s s t r u k t u r m e m b r a n , f a k t o r l i n g k u n g a n
y a n g b u k a n a u t o a n t i b o d i s e p e r t i h i p e r s p l e n i s m e , k e r u s a k a n
m e k a n i k e r i t r o s i t k a r e n a m i k r o a n g i o p a t i a t a u i n f e k s i y a n g
mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme
imunologi seperti malaria, babesiosis dan klostridium.
Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular tergantung pada
patologi yang m e n d a s a r i s u a t u p e n y a k i t . P a d a h e m o l i s i s
i n t r a v a s k u l a r , d e s t r u k s i e r i t r o s i t t e r j a d i l a n g s u n g d i sirkulasi darah.
Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau
i n f e k s i y a n g l a n g s u n g m e n d e g r a d a s i d a n m e n d e s t r u k s i
m e m b r a n s e l e r i t r o s i t . H e m o l i s i s intravaskular jarang terjadi. Hemolisis
yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisis
ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial
karena sel eritrosit yang mengalami perubahan membran tidak dapat
melintasi sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag.
34
Manifestasi Klinis
Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien juga
mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian
obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang
harus ditanyakan saat anamnesis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapatkan pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat
dapat ditemukan takikardi dan aliran murmur pada katup jantung.
Pemeriksaan Laboratorium
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis
mencerminkan adanya hiperplasia eritrosit di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum
tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari
setelah penurunan hemoglobin.
Diagnosis banding retikulositosis adalah pedarahan aktif, mielotisis dan perbaikan
supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis
meningkatkan ukuran m e a n c o r p u s c u l a r v o l u m e . M o r f o l o g i e r i t r o s i t d a p a t
m e n u n j u k k a n a d a n y a h e m o l i s i s d a n penyebabnya. Misalnya sferosit pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun, sel target p a d a t h a l a s s e m i a ,
h e m o g l o b i n o p a t i , p e n y a k i t h a t i ; s c h i s t o s i t p a d a m i k r o a n g i o p a t i ,
p r o s t h e s i s intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain,
peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutamaLDH 2 dan SGOT dapat menjadi bukti adanya
percepatan destruksi eritrosit.
Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular, meningkatkan katabolisme heme
dan p e m b e n t u k a n b i l i r u b i n t i d a k t e r k o n j u g a s i . H e m o g l o b i n b e b a s h a s i l
h e m o l i s i s t e r i k a t d e n g a n haptoglobin. Hemoglobin-haptoglobin ini segera
dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi.
Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar
haptoglobinsehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerolus dan direabsorpsi oleh tubulus
proksimal dan mengalami metabolisme.
35
Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan
simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan
terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas
absorpsi hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin
dalam bentuk hemoglobinuria.
BAB III
KESIMPULAN
Anemia hanyalah suatu sindrom bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Anemia merupakan
kelaianan yang sering dijumpai untuk penelitian lapangan umumnya dipakai kriteria anemia
menurut WHO sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kiteria Hb<10gr/dl atau hematokrit
<30%. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etiopatogenesisnya ataupun berdasarkan
morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifikasi ini sangat bermanfaat untuk diagnosis. Dalam
pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorik yang terdiri dari
pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan sum-sum tulang; pemeriksaan
khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara klinis, tetapi juga lebih baik ialah
dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratotik. Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan
atas indikasi yang jelas. Tetapi dapat diberikan dalam bentuk terapi darurat, terapi suportif, terapi
yang khas untuk masing – masing anemia dan terapi kausal.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. bhakta, I made. 2007. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakita Dalam FKUI jilid II. Jakarta : FKUI
2. Murray, Robert K. Granner, Daryl K. Mayes, Peter A. Rodwell, Viktor W. 2003.
Biokimia harper edisi 25. Jakarta : EGC
3. Lauralee Sherwood. 2006. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC
4. Price, Sylvia A. M Wilson, Lorraine. Patofisiologi (konsep klinis proses – proses
penyakit edisi 6. 2006. Jakarta : EGC
5. Bhakta, I made. 2006. hematologi dasar klinik ringkas. Jakarta : EGC
6. Young NS. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. (Online) (Accessed
2012April). Avaliable from: (www.ishapd.org/1996/1996/078.pdf).
7. Robbins, Cotran, Kumar. 2007. Buku ajar patologi Edisi7 volume 2. Jakarta : EGC
8. Bakta, I made ; Suega, Ketut ; Gde Dharmayuda, tjokorda. 2006. Anemia Defisiensi Besi
dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : FKUI p. 634-640
9. Setiabudy , Rianto. 2008. Farmakologi dan terapi Edisi 5 (cetakan ulang dengan
perbaikan, 2008). Jakarta : FKUI. p . 795-803
10. Soenarto. 2006. Anemia Megaloblastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
jakarta : FKUI p. 643-649
11. http://www.scribd.com/doc/80904189/11/ANEMIA-HEMOLITIK
37