Ancaman Pluralisme.pdf

17
ANCAMAN PLURALISME TERHADAP PEMIKIRAN DAN AQIDAH UMMAH Oleh: Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi Pendahuluan Pluralisme agama adalah istilah dan pahaman yang timbul dari Barat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada masyarakat Barat. Asal usul paham ini boleh ditelurusi dari dua perkara pertama dari konflik agama Katholik yang telah bertahun- tahun lamanya disebabkan oleh sikap-sikap ekslusif (tertutup) pada masing-masing mazhab (sekte) sehingga satu mazhab mengkafirkan yang lain dan oleh itu diperlukan suatu paham pluralism. Kedua dari faham posmodernisme di Barat yang menafikan kebenaran mutlak (absolute truth) atau paham relativisme (kenisbian). Matlamat mereka adalah “All views are true or all views are equally true”. Apabila mereka tidak percaya akan wujud kebenaran mutlak maka mereka pun percaya bahwa kebenaran semua keyakinan adalah sama. Apabila relativism dalam kebenaran atau pluralism itu digunakan untuk memahami agama-agama maka lahirlah daripadanya paham pluralism agama. Paham pluralism agama ini kemudian menjadi teori yang dibagi menjadi dua: Pertama teori pluralism dalam kehidupan kemasyarakatan (sociological pluralism) yang bermakna toleransi. Harvard University, Amerikat Syarikat adalah pusat proyek pengkajian dan penyebaran pluralism ini dan diantara tokoh utamanya adalah Peter L Berger, Diana L Eck, Robert N Bellah, Isaiah Berlin. Kedua teori relativism yang dikaitkan dengan kebenaran agama-agama yaitu pluralism teologi atau pluralism agama. Pengasas pluralisme agama ini adalah teolog Protestan yang bernama John Hick dengan teorinya Global Theology, atau Cantwell Smith dengan konsepnya World Theology. Sementara itu teori lain yang bernama Transcendent Unity of Religions diasaskan oleh oleh Frtijhof Schuon penggagas teori. Tujuan faham pluralism ini pada mulanya adalah untuk menggalakkan kesedaran masyarakat agar bersikap toleran terhadap perbedaan agama, kepercayaan, suku bangsa dan lain-lain. Namun, apabila faham ini menjadi suautu teori dan diperkenalkan secara khusus kepada agama-agama, maka faham ini berubah menjadi faham relativism yang menafikan kebenaran mutlak agama-agama. Pluralism bukan lagi toleransi terhadap wujud agama-agama lain, namun toleransi dan pengakuan (pengiktirafan) terhadap kebenaran agama-agama lain. Karena faham ini menafikan kebenaran mutlak maka ia kemudian digunakan untuk tujuan politik, iaitu untuk melemahkan fundamentalism yang percaya pada kebenaran mutlak sesuatu agama. Peter Berger, tokoh pluralism dari Amerika, menyatakan bahwa karena secularism telah gagal diperkenalkan kedalam pemikiran umat Islam, maka sebagai gantinya kini diperkenalkan faham pluralism agama. Jadi sesungguhnya, pluralism bukanlah faham yang mengajarkan toleransi kepada umat Islam, karena fakta sejarah Islam membuktikan bahwa umat Islam lebih toleran daripada pengikut agama lain.

Transcript of Ancaman Pluralisme.pdf

Page 1: Ancaman Pluralisme.pdf

ANCAMAN PLURALISME TERHADAP PEMIKIRAN DAN AQIDAH UMMAH

Oleh: Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi Pendahuluan Pluralisme agama adalah istilah dan pahaman yang timbul dari Barat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada masyarakat Barat. Asal usul paham ini boleh ditelurusi dari dua perkara pertama dari konflik agama Katholik yang telah bertahun-tahun lamanya disebabkan oleh sikap-sikap ekslusif (tertutup) pada masing-masing mazhab (sekte) sehingga satu mazhab mengkafirkan yang lain dan oleh itu diperlukan suatu paham pluralism. Kedua dari faham posmodernisme di Barat yang menafikan kebenaran mutlak (absolute truth) atau paham relativisme (kenisbian). Matlamat mereka adalah “All views are true or all views are equally true”. Apabila mereka tidak percaya akan wujud kebenaran mutlak maka mereka pun percaya bahwa kebenaran semua keyakinan adalah sama. Apabila relativism dalam kebenaran atau pluralism itu digunakan untuk memahami agama-agama maka lahirlah daripadanya paham pluralism agama. Paham pluralism agama ini kemudian menjadi teori yang dibagi menjadi dua: Pertama teori pluralism dalam kehidupan kemasyarakatan (sociological pluralism) yang bermakna toleransi. Harvard University, Amerikat Syarikat adalah pusat proyek pengkajian dan penyebaran pluralism ini dan diantara tokoh utamanya adalah Peter L Berger, Diana L Eck, Robert N Bellah, Isaiah Berlin. Kedua teori relativism yang dikaitkan dengan kebenaran agama-agama yaitu pluralism teologi atau pluralism agama. Pengasas pluralisme agama ini adalah teolog Protestan yang bernama John Hick dengan teorinya Global Theology, atau Cantwell Smith dengan konsepnya World Theology. Sementara itu teori lain yang bernama Transcendent Unity of Religions diasaskan oleh oleh Frtijhof Schuon penggagas teori. Tujuan faham pluralism ini pada mulanya adalah untuk menggalakkan kesedaran masyarakat agar bersikap toleran terhadap perbedaan agama, kepercayaan, suku bangsa dan lain-lain. Namun, apabila faham ini menjadi suautu teori dan diperkenalkan secara khusus kepada agama-agama, maka faham ini berubah menjadi faham relativism yang menafikan kebenaran mutlak agama-agama. Pluralism bukan lagi toleransi terhadap wujud agama-agama lain, namun toleransi dan pengakuan (pengiktirafan) terhadap kebenaran agama-agama lain. Karena faham ini menafikan kebenaran mutlak maka ia kemudian digunakan untuk tujuan politik, iaitu untuk melemahkan fundamentalism yang percaya pada kebenaran mutlak sesuatu agama. Peter Berger, tokoh pluralism dari Amerika, menyatakan bahwa karena secularism telah gagal diperkenalkan kedalam pemikiran umat Islam, maka sebagai gantinya kini diperkenalkan faham pluralism agama. Jadi sesungguhnya, pluralism bukanlah faham yang mengajarkan toleransi kepada umat Islam, karena fakta sejarah Islam membuktikan bahwa umat Islam lebih toleran daripada pengikut agama lain.

Page 2: Ancaman Pluralisme.pdf

Maka itu pluralisme yang disebarkan ke dalam pikiran umat Islam sesungguhnya bertujuan untuk melemahkan aqidah Islam. Kertas kerja ini membahas secara singkat dua aliran pluralism yaitu Global Theology dan Transcendent Unity of Religon, dan kesannya terhadap pemikiran kegamaan Islam yang terdapat dalam hujjah kaum pluralis Muslim, terutamanya hujjah-hujjah mereka mengenai keselamatan untuk Ahlul Kitab. Pluralisme Agama Globalisasi (kesejagatan) adalah merupakan program dunia Barat untuk menyebarkan sistim masyarakat Barat, seperti ekonomi, politik, budaya, dan bahkan agama, keseluruh dunia. Malahan menurut Walters, globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritai agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Selain itu dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan dogma agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan extra Christos nulla salus (diluar Kristen tidak ada kesalamatan). Tapi karena tuntutan kemasyarakatan sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inklusif inipun akhirnya berganti menjadi pluralisme. Paham pluralisme pertama yang Teologi Global (global theology) yang dicetuskan oleh John Hick, dan World Theology yang diasaskan oleh Wilfred Cantwell Smith, pengasas McGill Islamic Studies. Keduanya membawa paham untuk menyamakan teologi semua agama diseluruh dunia dan mempersatukannya. Hujjah yang digunakan Global Theology ini diasaskan adalah karena perbedaan konsep realitas tertinggi (Ultimate Reality) agama-agama. Mula-mula dia bertanya “Mana yang asli firman Tuhan al-Qur’an, Bible ataukah Bhagavad Gita? Pertanyaan ini menurutnya sudah mengandung keraguan dan satu langkah lagi menuju pernyataan bahwa agama yang berbeda-beda itu tidak dapat benar semuanya. Ia kemudian mengutip pendapat prinsip David Hume “bahwa dalam soal agama, apa saja yang berbeda adalah bertentangan; dan tidak mungkin agama Romawi Kuno, Turkey, Siam, dan Cina semuanya diasaskan atas dasar yang kuat”. Ia kemudian mengakui bahwa ini adalah argumentasi skeptic yang muncul dari klaim kebenaran dunia keimanan yang saling bertentangan. Untuk itu ia menyarakan agar para pengikut agama-agama di dunia ini merubah cara pandang mereka, yaitu dari cara pandang yang saling menyalahkan antara satu dengan yang lain, kepada melihat kehidupan keagamaan manusia sebagai keberlangsungan yang dinamik yang satu membenarkan yang lain. Disini Islam, Kristen, Hindu, Buddha dianggap sebagai fenomena kebudayaan yang bersejarah, dan tidak lagi bisa dihukumi benar dan salah lagi, sebab agama adalah pemahaman manusia terhadap Tuhan. Agar dapat melihat agama sebagai keberlangsungan yang dinamik Hick mengarahkan pembacanya untuk merespon globalisasi. Ia berhujjah bahwa disebabkan oleh adanya sistim komunikasi yang canggih sehingga satu agama atau bangsa saling berhubungan dengan mudah, maka Hick maramalkan bahwa di masa yang akan datang perlahan-lahan akan terjadi converging courses (proses konvergensi cara-cara beragama), sehingga pada

Page 3: Ancaman Pluralisme.pdf

suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai sekte-sekte yang beragam dalam Kristen di Amerika utara atau Eropa saat ini daripada merupakan institusi-institusi yang eksklusif secara radikal. Lebih jelas lagi dalam karyanya yang lain Hick menegaskan However, in the one world of today the religious tradition are consciously interacting with each other in mutual observation and dialogue, and it is possible that their future development may move on gradually converging courses. During the next centuries each will presumably continue to change, and it may be that they will grow closer together… Bahkan ia meramalkan lebih lanjut bahwa suatu hari nanti nama-nama seperti Kristen, Buddha, Islam, Hindu tidak lagi akan menggambarkan pengalaman dan kepercayaan agama manusia yang berbeda-beda, namun merupakan pengalaman yang sama bagi semua. Ini sedikit banyak selari dengan pandangan Smith yang menyatakan bahwa kehidupan keagamaan spiritual manusia tidak akan mati, dan akan terus ada, terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan pikiran manusia. Untuk mempermudah convergensi yang dimaksud, John Hick mempermasalahkan konsep Tuhan agama-agama. Selama ini, pemahaman terhadap konsep Tuhan dan keselamatan masih ekslusif dan karena itu harus direvolusi. Agar dapat diterima oleh agama-agama maka nama-nama tuhan dalam agama-agama juga harus ditukar. Oleh karena itulah Hick menggunakan istilah the Real (Zat yang Nyata) sebagai pengganti istilah God (Tuhan). Kemudian ia bedakan antara “the Real an sich” atau “the noumenal Real” (Zat yang Nyata sebagaimana adanya) dan “the phenomenal Real” (Zat yang Nyata sebagaimana yang tampak oleh manusia melalui tradisi dan agama yang berbeda-beda). Ia kemudian mengkritik bahwa agama-agama itu telah salah apabila menganggap bahwa Tuhan yang diketahui melalui tradisi dan budaya, seperti Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wishnu, Shiwa dan sebagainya adalah Tuhan atau realitas tuhan yang sebenar dan yang Absolut. Lebih salah lagi apabila tuhan agama-agama itu dianggap sebagai pusat dan pangkal keselamatan masing-masing. Padahal yang benar tuhan-tuhan yang dianggap absolute itu hanyalah gambaran saja dari Tuhan yang sebenar. Tuhan yang sebenar adalah The Real yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman manusia yang terbatas. The Real itu adalah Tuhan yang Impersonal atau tuhan yang tidak terjangkau oleh akal manusia, tidak bernama dan tidak terbatas. Tapi anehnya, nama tuhan impersonal ini pun berbeda antara satu agama dengan agama lain. Dalam Islam, misalnya, The Real itu disebut al-Haqq, salah satu nama Allah, dalam agama Hindu disebut Nirguna Brahman adalah sat atau satya, dan dalam agama Buddha Dharmakaya atau sunyata atau tattwa, dan dalam agama China yang tertinggi adalah untuk menyelesaikan masalah diatas Hick menawarkan suatu teori berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografi, kultur, ideologi, teologi, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Pencetus teori ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology). Cantwell Smith misalnya menggunakan teori Newtonian Revolution, dari keyakinan bahwa hukum-hukum alam itu hanya berlaku pada planet bumi, berganti menjadi kepercayaan bahwa seluruh planet adalah sama dalam hukum gravitasi dan pergerakan.

Page 4: Ancaman Pluralisme.pdf

Dalam konteks agama-agama, Smith memunculkan teori barunya bahwa kini agama-agama harus melakukan transformasi orientasi pemusatan agama menuju pemusatan “iman” dan himpunan tradisi. Sementara John Hick menggunakan teori Copernican Revolution yang merubah teori geosentris (bumi sebagai pusat tata surya) menjadi heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya). Maksudnya, agama-agama di dunia ini sekarang perlu melakukan transformasi orientasi pemusatan dari agama menuju pemusatan “tuhan” (transformation of religion centredness to God-centredness). Lihat gambar dibawah ini: Revolusi Copernican dalam teologi mengharuskan umat beragama untuk tidak lagi meyakini bahwa hanya agamanya saja yang benar. Karena sebenarnya seluruh agama menyembah Tuhan yang sama yaitu “The Real”. Dialah yang menjadi pusat dari agama-agama di dunia ini –sebagaimana matahari menjadi pusat planet-plenet–. Dari sini bisa dicatat bahwa Hick yang seorang Kristen, ingin mengajak saudaranya yang beragama Kristen yang masih meyakini “absolutisme Kristen”, untuk merevolusi keyakinannya. Namun ia juga mengharapkan revolusi teologis seperti ini juga diterapkan kepada seluruh agama. Karena menurutnya inilah satu-satunya solusi yang aplikatif dalam membangun kehidupan bersama yang penuh dengan kedamaian, kesetaraan, dan toleransi diantara agama-agama dan budaya yang sangat beragam dan saling bertentangan, sebagai jawaban atas tantangan globalisasi. Jadi semakin jelas bahwa pluralisme agama John Hick merupakan upaya untuk merespon globalisasi dan upaya untuk menglobalkan agama-agama. Globalisasi merupakan gambaran sosiologis dan konseptual bahwa dunia ini tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain, dan karena itu identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Maka dari itu agama-agama juga diperlakukan sama yaitu dihilangkan identitas dan perbedaannya sehingga tidak ada lagi ada batas antara agama satu dengan agama lain sehingga melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology). Dengan kata lain, Hick ingin juga berupaya dengan teorinya agar jalan keselamatan tidak lagi difahami sebagai tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang dilalui manusia sebagai respon terhadap Realitas ketuhanan yang absolut. Teori berbasis relativisme dan skeptisisme inilah yang menjadi landasan penting dalam konsep Teologi Global Hick. Aliran Transenden Kata ‘transendent’ berasal dari kata kerja to transcend berarti to ‘go or lie beyond the limits of experience, knowledge (menuju atau berada di luar jangkauan pengalaman, ilmu); atau to escape inclusion in a category, classification, etc.” (lepas dari cakupan kategori, klasifikasi, dll). To transcend diartikan juga “be beyond the range or grasp of human experience, reason, belief etc.” (berada diluar tingkatan atau jangkauan pengalaman manusia, nalar, kepercayaan, dll). Jadi ‘to transcend’ berarti ‘beyond, over’ (lewat, lebih dari) atau “to rise above or beyond the limits of powers of; to overpass, to exceed; as it transcends one’s comprehension or capacity” (meninggi keatas atau melewati batas-batas kemampuan; menyeberangi, melampaui; seakan-akan di luar kapasitas dan pemahaman seseorang). Perkataaan ini dalam teologi biasanya digunakan untuk merujuk kepada Tuhan Yang Maha Tinggi (the Supreme Being) “to be transcendent to the created universe” (berada

Page 5: Ancaman Pluralisme.pdf

diluar jangkauan alam ciptaan). Tuhan digambarkan sebagai bersifat “transenden, bukan imanen” artinya “Dia Maha Tinggi dari dunia karena kesempurnaanNya dan terpisah darinya dalam ruang yang tak terbatas.” Dalam konteks filsafat, itu berarti “meninggi dari atau menuju ke atas apa yang diberikan atau mampu didapat pada pengalaman”, atau menuju “beyond the limits of all possible experience and hence beyond knowledge” (diluar batas-batas semua pengalaman yang mungkin dilakukan, dan karena itu ia diluar ilmu). Maka dari itu jika realitas itu bersifat “transenden” ia berarti merujuk pada sesuatu yang berada diluar segala kemungkinan pengalaman manusia. Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Aliran Global Theology memakai pendekatan sosiologis, manakala aliran ini memakai pendekatan religious filosofis dan mysticism . Aliran ini membela agama-agama melalui pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam agama-agama. Dari Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Aliran ini menolah globalisasi dan berpandangan bahwa agama tidak dapat diubah agar mengikuti zaman modern ataupun post-modern yang telah mengetepikan agama itu. Agama tidak dapat dilihat hanya dari pandangan sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadi Sanata Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Maknanya agama-agama yang ada sesungguhnya akan mencapai kesatuan pada peringkat batiniyyah. Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon. Karena bersifat mistis, maka landasan teori aliran Transcendent Unity of Religions ini merujuk kepada dua dimensi keberagamaan yaitu dimensi exoteric (lahir/ekternal) dan esoteric (batin/internal). Dalam pandangan Schuon, dimensi lahiriyah (exoteric) adalah dimensi eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral suatu agama. Exoteric berada sepenuhnya di dalam Maya (alam kosmos yang tercipta). Pada dimensi exoteric ini Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Zat (Esensi) yang transcenden, karena eksoterisme berada di dalam Maya yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan exoteric bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, artinya pada tingkat exoteric agama-agama itu secara ekslusif memilki ajaran dan dogmanya sendiri-sendiri yang absolute dan total dalam perspektif agama itu sendiri, namun dari sudut pandang intelek ajaran agama itu adalah relatif.

Page 6: Ancaman Pluralisme.pdf

Menurut Schuon, dimensi exoteric ini bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Meskipun demikian, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah sebuah dogma esklusif atau bentuk (form) suatu institusi agama yang menuntut kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral didalamnya. Dimensi ini diperoleh bukan dari individu, namun muncul dari Tuhan. Suatu agama sebagai form, menurut Schuon, bisa lebih hebat dibanding “form” agama lain, dan ini dapat menjadi klaim masing-masing agama yang bisa dianggap wajar. Kelebihan “form” suatu agama inilah yang menyebabkan orang berpindah dari satu ke agama yang lain. Namun superioritas tersebut, menurutnya, sebenarnya relatif. Schuon mencontohkan, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanata Dharma. Demikian pula “……Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup, mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”. Dimensi kedua dari agama adalah esoteric. Esoteris adalah dimensi batiniyah atau dimensi internal suatu agama yang bersifat metafisis. Aspek ini adalah inti dari suatu keberagamaan, sebab tanpa dimensi batiniyah (esoteric), agama akan hanya bersifat dogmatis-formalistik. Oleh sebab itu dimensi esoteric (batinyah) suatu agama merupakan pelengkap dari dimensi exoteric (Lahiriyah). Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’ agama. Kehidupan beragama yang eksoteris berada pada dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence) pada dimensi esoteris. Jadi Tuhan digambarkan sebagai form of the form (Bentuk dari segala bentuk) persis seperti Tuhan dalam gambaran Aristotles Dengan pembagian keberagamaan menjadi dua seperti tersebut diatas Schuon lalu membuat teori bahwa agama-agama di dunia ini berbeda-beda pada dimensi lahiriyah atau eksoterik yang tidak dapat dipersatukan, namun pada dimensi batiniyah atau eksoterik agama-agama itu bertemu dan menyatu. Bertemunya agama-agama pada dimensi esoteric itu dapat juga dikatakan bersatunya agama-agama itu pada tingkat transcendent. Jadi Transcendent Unity of Religions (Kesatuan Transcenden Agama-Agama) itu berarti bersatunya agama-agama pada tingkat transcendent. Aliran kedua ini mencoba menyatukan tuhan agama-agama pada peringkat yang mereka sebut transcendent. Padahal masing-masing agama memiliki ajaran atau syariah untuk menuju Tuhannya yang berbeda-beda. Bagaimana penganut agama-agama itu boleh sampai kepada Tuhan yang satu dengan cara-cara yang saling bertentangan antara satu ajaran dengan yang lain. Ancaman Terhadap Aqidah Teori mengenai pluralism ini di sebar luaskan oleh pemikir Barat dan orientalis kepada para pemikir dalam agama-agama termasuk agama Islam. Teori dan faham ini akan menjadi ancaman bagi aqidah ummat apabila diantara pemikira umat Islam menerima faham ini dan menggunakannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan menyebarkannya dalam bentuk buku-buku. Pengikut agama Islam yang bersetuju dengan paham ini adalah mereka termasuk dalam golongan yang sekarang ini mendakwa diri dengan nama “Islam liberal”.

Page 7: Ancaman Pluralisme.pdf

Bukti bahwa faham pluralism itu telah merasuk kedalam pemikiran kaum liberal boleh dibaca dalam kenyataan mereka di pelbagai surat kabar. Diantaranya ada yang menyatakan bahwa :”Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar. “Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya”. Selain menyatakan semua agama itu sama-sama benar, pemikir liberal yang lain menyatakan persamaan makna iman bagi semua agama. bahwa pemeluk agama apapaun layak disebut sebagai orang yang beriman, dengan makna orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan…. Siapapun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama dihadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu. Dari sedikit contoh kenyataan kaum pluralis-liberal tersebut diatas telah nampak kesan paham pluralism telah menjadi ancama kuat terhadap aqidah Islam. Kesan yang pasti adalah timbulnya pemikiran baru yang tidak pernah ada dalam pemikiran ulama dimasa lalu. Pemikiran itu terutamanya berkenaan dengan usaha-usaha mereka dalam mencari kesamaan agama-agama atau keselamatan non-Muslim khasnya Ahlul kitab. Untuk lebih jelas mengenai hujjah-hujjah kaum pluralis maka disini disarikan tiga hujjah utama mereka berkenaan dengan keselamatan Ahlul Kitab dan jawaban dari para ulama Ahlussunah mengenai perkara itu. Hujjah Pertama, Tidak semua penganut agama Nasrani percaya kepada teologi Trinitas. Argumen yang digunakan adalah bahwa al-Ma’idah ayat 17, yang menyatakan bahwa penganut Trinitas adalah kafir tidak ditujukan kepada semua orang Kristen. Dengan merujuk Tafsir Jalalayn ayat ini hanya ditujukan kepada Kristen Sekte Ya’qubiyah Najran, dan tidak untuk seluruh umat Kristen. Selanjutnya dengan merujuk pada Tafsir al-Qur’an Rasyid Ridha dinyatakan bahwa orang-orang Protestan Eropah kebanyakan berpendirian bahwa Isa al-Masih atau Yesus Kristus tak lebih dari seorang Nabi atau Rasul dan bukan Tuhan. Untuk itu disimpulkan bahwa tuhan orang Nasrani adalah tuhan umat Islam juga, dengan merujuk kepada kepercayaan orang Arab pada abad ketujuh yang kebanyakan menyebut Allah sebagai Tuhan mereka pula. Ayat yang digunakan adalah : سيح اب%ن م%ري%م ق%ل ف%من ي%ملك م%%ن اهلل ش%%%%%يئا إن أراد أن يه%%لك ل%قد ك%%فر ال%ذي%ن ق%ال%وا إن اهلل ه%%و املرض وم%%ا ب%ينهما يخ%%%لق رض ج%%%%ميعا وهلل م%%لك ال%سماوات واأل سيح اب%ن م%%ري%م وأم%ه وم%%ن في األ امل

ما يشاء واهلل على كل شيء قدير Surah Al Maaidah : Ayat 17 Ayat diatas oleh orang penyokong pluralism dianggap sebagai bukti bahwa tuhan orang Islam, Nasrani dan Yahudi adalah sama. Perbedaannya hanya dalam menggambarkan sifat-sifat ketuhanan. Perbedaan konseps tuhan pada masing-masing agama oleh kaum pluralis disamakan dengan perbedaan konsep Tuhan yang terjadi dalam wacana dalam ilmu kalam, seperti perbedaan antara Mu’tazilah dan Asyariyah.

Page 8: Ancaman Pluralisme.pdf

Jawaban: Dakwaan bahwa al-Ma’idah 17 hanya untuk sekte Ya’qubiyah Najran hanya merujuk dua sumber Tafsir Jalalayn dan Muhammad Nawawi al-Jawi, dan bukan pendapat semua mufassir. Selain itu Tafsir Jalalayn tidak mengkaitkan al-Maidah ayat 73 khusus ditujukan kepada suku Najran, tapi hanya menyebutkan kelompok tertentu dalam agama Kristen. Menurut Tafsir al-Razi, Fakhruddin al-Razi, al-Ma’idah ayat 17 diatas menggambarkan bahwa orang-orang Kristen itu percaya bahwa Allah itu berada di dalam badan manusia tertentu atau dalam ruhnya. Dan untuk ayat 73 jelas disitu maksudnya adalah bahwa Nasrani percaya pada Trinitas dan tidak menyebutkan bahwa ayat ini khusus untuk menggambarkan kepercayaan suku Najran. Jika alasan kaum pluralis bahwa orang-orang Nasrani di zaman Nabi menyebut nama tuhan mereka adalah Allah, tidak dapat diartikan bahwa mereka menerima keimanan dalam Islam atau setuju dengan konsep Allah Yang Maha Esa dalam Islam, sebab orang-orang musyrik di Makkah pun menyebut Allah sebagai salah satu tuhan mereka. Sama dengan orang Nasrani di Indonesia yang menyebut Allah (baca Alah) sebagai Tuhan Bapak. Ini berarti konsep Allah dalam Islam dan Kristen tidak sama. Dan jika mereka beralasan mayoritas umat Nasrani saat ini menolak Trinitas, maka ini bertentangan dengan kesimpulan Karen Amstrong bahwa mayoritas umat Kristen sekarang ini kebanyakan adalah penganut Trinitas dan justru lebih banyak menyebut tuhan Yesus daripada tuhan Bapak. Hujjah Kedua, bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah sama dengan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan nabi-nabi terdahulu, akan tetapi masing-masing agama mempunyai syariatnya sendiri yang berbeda-beda. Meskipun demikian syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan kompilasi dari syariat-syariat nabi sebelumnya. “maka dari itu kehadiran syariat Nabi Muhammad bukan untuk menafikannya melainkan untuk menghimpunnya menjadi satu kesatuan yang kukuh dalam satu agama.” Dari sini upaya penyamaan agama-agama atau mencari titik temu agama-agama dari aspek tujuan syariat. “Tujuan syariatnya bisa sama, tapi bentuk syariatnya boleh jadi berbeda. …. Syariat adalah jalan menuju keselamatan atau Tuhan. Jalan menuju Tuhan itu tak tunggal. Ada banyak jalan yang disediakan Allah menuju kedamaian”. Jawaban: Hujjah ini serupa dengan argumen yang dibawa oleh para pendukung faham filsafat perennial. Gagasan kesatuan agama itu mereka namakan Abrahamic faiths (millah Ibrahim). Dalam kaitannya dengan syariat, pendukung konsep Abrahamic faiths berhujjah bahwa Islam tidak hanya mengakui tapi juga mengikuti syariat Nabi Ibrahim yang hanif. Hal itu menandakan bahwa ketiga agama – Yahudi, Kristen dan Islam – adalah memang satu rumpun. Ini adalah suatu kesalahan, sebab Nabi-nabi seperti Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa tidak membawa agama yang berbeda. Agama nabi-nabi itu adalah Islam. Namun, pengikut nabi-nabi itu mengubah ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi.

Page 9: Ancaman Pluralisme.pdf

Hujjah Ketiga, bahwa agama-agama yang mengikut tradisi Nabi Ibrahim, mempunyai tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan dunia dan akherat, oleh sebab itu pengikut Yahudi dan Nasrani memiliki aqidah yang benar. Dalil yang digunakan kaum pluralis adalah ayat-ayat al-Qur’an surah al-Ma’idah 44, 46 dan 47 berikut ini: إن%%ا أن%%زل%%نا ال%%توراة ف%%%يها ه%%%دى ون%%ور ي%%حكم ب%%%ها ال%%نبيون ال%%ذي%%ن أس%%%%%%لموا ل%%لذي%%ن ه%%%ادوا وال%%رب%%ان%%%يون ح%%%%%بار ب%%%ما اس%%%%%%%تحفظوا م%%%%ن ك%%%%تاب اهلل وك%%%%ان%%%وا ع%%%%ليه شه%%%%داء ف%%%ال ت%%%خشوا ال%%%ناس واخ%%%%شون وال واأل

تشتروا بآياتي ثمنا قليال ومن لم يحكم بما أنزل اهلل فأولئك هم الكافرون Surah Al maaidah : Ayat 44 ن%%جيل ف%%%يه وق%%%فينا على آث%%اره%%%%م بعيسى اب%%ن م%%%ري%%م م%%%صدق%%%ا مل%%%%%%ا ب%%ني ي%%دي%%ه م%%%%ن ال%%توراة وآت%%يناه اإل

ا بني يديه من التوراة وهدى وموعظة للمتقني هدى ونور ومصدقا مل Surah Al Maaidah : Ayat 46

نجيل بما أنزل اهلل فيه ومن لم يحكم بما أنزل اهلل فأولئك هم الفاسقون وليحكم أهل اإلSurah Al Maaidah : Ayat 47 Ayat diatas digunakan untuk membenarkan dakwaan mereka bahwa kitab-kitab para Nabi terdaulu seperti Taurat kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud adalah sama dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Karena pastinya al-Qur’an membernarkan kitab-kitab sebelumnya. Kemudian merujuk kepada ayat 48 disimpulkan bahwa Allah menurunkan syariat kepada setiap ummat, dan karena itu setiap umat memiliki syariat masing-masing. Maknanya aqidah dan syariat yang dari Allah yang diturunkan Allah kepada Nabi-nabi itu adalah sama benarnya dengan al-Qur’an. Untuk memperkuat argumen ketiga ini penyokong faham pluralisme agama merujuk pada al-Ma’idah 69 dan al-Baqarah 62: إن ال%ذي%ن آم%نوا وال%ذي%ن ه%%ادوا وال%صاب%ئون وال%نصارى م%ن آم%ن ب%اهلل وال%يوم اآلخ%%%ر وع%%مل ص%%%%%%%%%ال%حا

فال خوف عليهم وال هم يحزنون Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja[431] (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Surah Al Maaidah : Ayat 69 إن ال%%%%ذي%%%%ن آم%%%%%نوا وال%%%%ذي%%%%ن ه%%%%%ادوا وال%%%%نصارى وال%%%%صاب%%%%%ئني م%%%%%ن آم%%%%%ن ب%%%%%اهلل وال%%%%يوم اآلخ%%%%%%ر وع%%%%%مل

صالحا فلهم أجرهم عند ربهم وال خوف عليهم وال هم يحزنون

Page 10: Ancaman Pluralisme.pdf

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Surah al-Baqarah : Ayat 62 Dari kedua ayat diatas difahami bahwa semua Ahlul Kitab akan selamat masuk tanpa mengikuti syariat Nabi Muhmmad. Untuk menyokong penafsian ini mereka merujuk Tafsir Rasyid Ridha. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Qur’an al-Hakim yang menyatakan ”Tidak ada kesangsian tentang tidak disyaratkannya beriman kepada Nabi Muhammad. Sebab pembahasan ayat tersebut mengenai hubungan Allah dengan setiap kelompok atau umat beriman kepada seorang Nabi dan wahyu dengan kekhususan (masing-masing)” Dari ketiga-tiga hujjah tersebut diatas nampaklah bahwa apabila pluralisme agama masuk kedalam pemikiran golongan liberal ianya menjadi pembahasan dan pembuktian mengenai keselamatan Ahlul Kitab. Untuk itu perlu ditunjukkan bukti-bukti lain dari tafsir para ulama dan juga ayat-ayat lain. Keselamatan Ahlul Kitab Tafsir yang menyatakan bahwa Ahlul Kitab itu selamat dan masuk surga hanya merujuk kepada zahir ayat saja, selain itu tafsir yang sedemikian itu hanya disokong hanya seorang ulama dan meninggalkana ulama lain yang jumlahnya lebih banyak. Untuk membantah argument ketiga ini kita dapat menggunakan beberapa hujjah yang lebih kuat dari berbagai sisi: 1. .Dari sebab turun Q.s. al-Baqarah: 2/62: Menurut Abu Hatim, Al-Thabary (w. 310 H) mengutip dari al-Suddy dan juga Tafsir al-Alusi sabab nuzul daripada Q.s. al-Baqarah: 2/62 ini terkait dengan sahabat Salman al-Farisy. Salman bertanya kepada Nabi mengenai nasib sahabat-sahabatnya yang shalat, berpuasa, beriman bahwa Muhammad akan diutus menjadi Nabi. Setelah Salman selesai menceritakan teman-temannya itu, Nabi kemudian bersabda: “Mereka termasuk penghuni neraka”. Mendengar jawaban Nabi itu Salman berkata, ”Gelap gulitalah bumi bagiku, sekiranya mereka mengetahui engkau, niscaya mereka akan mempercayai dan mengikuti engkau”. Maka turunlah ayat ini. Namun setelah turun ayat ini maka Salman berkata ”kini terang benderanglah dunia bagiku.” (Asy-Syaukani, 1:13-14). M Menurut Al-Thabary ketika ayat ini turun, Rasulullah memanggil Salman dan berkata: “Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan sahabat-sahabatmu”. Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan memeluk agama Nabi Isa sebelum dia mendengar kerasulanku, maka dia berada pada kebenaran. Dan barang siapa telah mendengar kerasulanku namun dia tidak beriman, maka binasa”. Al-Alusi juga menyebutkan bahwa Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud ayat tersebut adalah orang-orang yang mengimani Nabi Isa sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad saw; riwayat yang lain menyatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beriman kepada Nabi Musa, sehingga datangnya Nabi Isa kemudian

Page 11: Ancaman Pluralisme.pdf

mengimaninya; riwayat lain mereka itu adalah penganut agama Salman sebelum masuk Islam. Maknanya jelas bukan Ahlul Kitab yang hidup sesudah kedatangan Nabi Muhammad. 2. Ahlul kitab telah menyimpang dari kitab mereka: untuk memahami hakekat Ahlul Kitab khususnya Yahudi dan Nasrani tidak cukup hanya dari al-Baqarah 62 dan al-Maidah 69. Kedua ayat tersebut harus ditafsirkan dengan melihat ayat-ayat sibaq dan lihaq nya. Pada ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya, Allah mengungkap perilaku pengikut Ahlul Kitab terdahulu dengan berbagai pelanggaran aqidah yang tidak dapat diampuni. Sebelum Q.s. al-Baqarah: 2/62, misalnya, Allah telah banyak mengecam dan mengancam orang-orang Yahudi yang mendurhakai ni’mat-ni’mat Allah. (Lihat Q.s. al-Baqarah: 2/41-61). Begitu juga dengan ayat-ayat setelahnya, Allah mengungkap seraya mengancam perilaku ingkar mereka. (Lihat Q.s. al-Baqarah: 2/63-123). Maka dari itu apabila Ahlul Kitab yang selamat adalah yang belum mendengar risalah Nabi Muhammad atau sebelum kedatangan beliau, maka kedudukan Ahlul Kitab sesudah risalah Nabi tidaklah selamat. Mereka dinyatakan telah melanggar dan melakukan tahrîf (penyimpangan) terhadap ayat-ayat Allah (QS Âli ’Imrân [3]:71).

يا أهل الكتاب لم تلبسون الحق بالباطل وتكتمون الحق وأنتم تعلمون Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan Menyembunyikan kebenaran, Padahal kamu mengetahuinya? 3. Ahlul Kitab dizaman Nabi belum dianggap selamat, karena Nabi mengajak Heraclitus, raja Romawi yang beragama Kristen masuk Islam agar ia selamat. Memang dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim Rasulullah berkirim surat kepada Heraklitus, raja Romawi yang beragama Nasrani. Dalam surat itu Rasulullah menuliskan “Maka sesungguhnya aku mengajakmu kepada seruan Islam. Masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat dan Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Tapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau (berdosa) dan akan menanggung dosa rakyatmu.” Selari dengan surat itu Rasulullah juga menerima wahyu yang memerintahkan agar mengajak Ahlul kitab untuk menyembah Allah dan tidak berbuat syirik. Dalam surah Âli ’Imrân ayat 64 dinyatakan: ق%%ل ي%%ا أه%%%ل ال%%كتاب ت%%عال%%وا إلى ك%%%لمة س%%%%%%واء ب%%يننا وب%%ينكم أال ن%%عبد إال اهلل وال نش%%%%%%رك ب%%ه ش%%%%%%يئا وال

يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون اهلل فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمونKatakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". 4. Ahlul Kitab harus mengikut risalah Nabi Muhammad. Meskipun dalam al-Baqrah 62 dan al-Ma’idah 69 tidak disebutkan bahwa Ahlul Kitab harus mengikuti risalah Nabi

Page 12: Ancaman Pluralisme.pdf

Muhammad, namun dari ayat-ayat lain dapat diketahui bahwa pengikut Nabi-nabi terdahulu itu harus mengikuti Nabi Muhammad, apabila mereka mengetahui kedatangan beliau. Ayat-ayat yang menjelaskan mengenai perkara itu adalah sbb: a. Ahlul Kitab harus beriman pada al-Qur’an dan kitab-kitab terdahulu. Ayat lain yang mengisahkan kesalehan Ahli Kitab adalah Q.s. Alu Imran: 199: إن م%%%%ن أه%%%ل ال%%كتاب مل%%%%%ن ي%%ؤم%%%%ن ب%%%اهلل وم%%%ا أن%%زل إل%%يكم وم%%%ا أن%%زل إل%%يهم خ%%%اش%%%%%%عني هلل ال يش%%%%%%ترون و

بآيات اهلل ثمنا قليال أولئك لهم أجرهم عند ربهم إن اهلل سريع الحساب“Dan sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (Q.s. Alu Imran: 3/ 199). Para Mufassir berbeda pendapat mengenai asbab nuzul-nya ayat ini. Ibn Jauzy (w. 597 H) meringkas setidaknya terdapat 4 pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini: 1. Ayat ini turun berkenaan dengan meninggalnya Najjasyi, Raja Habasyah. Pendapat ini berasal dari Jabir ibn ‘Abdullah, Ibn ‘Abbas, Anas, Al-Hasan, dan Qatadah. 2. Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang mu’min dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini berasal dari Abu Shalih dan Mujahid. 3. Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah ibn Salam dan sahabatnya. Pendapat ini berasal dari Ibn Juraij, Ibn Zayd, dan Maqatil. 4. Menurut ‘Atho’, ayat ini turun berkenaan dengan Islamnya 40 orang Najran, 30 orang Habasyah, 2 orang Romawi. Al-Thabary lebih condong ke pendapat Mujahid, bahwa ayat ini secara umum turun berkenaan dengan orang-orang yang beriman di antara Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Walaupun terjadi pengkhususan turunnya ayat ini kepada Najjasyi, ini maksudnya bahwa hukum yang ditujukan kepadanya ditujukan juga untuk semua hamba-bamba-Nya (Ahli Kitab) yang memiliki sifat seperti dia (Najjasyi), yakni, mengikuti Nabi Muhammad SAW dan mempercayai bahwa ajaran yang dibawanya berasal dari Allah sebagaimana yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Pendapat Al-Thabary di atas menguatkan bahwa sebelum meninggal Najjasyi telah menerima ajaran Nabi Muhammad SAW, masuk Islam. Ini diperkuat dengan jawaban Najjasyi terhadap surat dakwah Nabi SAW yang ditujukan kepadanya. Dalam surat itu Najjasyi bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang jujur dan terpercaya, dan memeluk Islam. Dari ayat-ayat yang menceritakan kesalehan Ahli Kitab, kebanyakan Mufassir berpandangan bahwa ukuran keimanan dan kesalehan mereka adalah pegakuan mereka terhadap kenabian Muhammad. Tidak hanya sampai di situ, pengakuan ini juga menuntut mereka untuk menerima risalahnya dan memeluk agama Islam. Ini sebagaimana ditujukan oleh ‘Abdullah ibn Salam, Najjasyi dan yang lainnya yang mengganti agama mereka dengan memeluk Islam. Mereka inilah yang disebut al-Qur’an sebagai “ummah qoimah” yang beriman kepada Allah, beriman kepada kitab suci mereka dan kepada ajaran yang

Page 13: Ancaman Pluralisme.pdf

dibawa Nabi Muhammad SAW. Karena memang demikianlah anjuran yang terdapat dalam kitab sucinya. a. Ahlul Kitab harus mengimani para rasul Q.s. al-Hadid: 57/ 27. Secara eksplisit ayat ini menginformasikan bahwa di antara pengikut Nabi Isa a.s. (Nasrani) terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah, dan diganjar pahala oleh-Nya. Ayat ini tepatnya berbunyi: ن%جيل وج%%%علنا في ق%لوب ال%ذي%ن ث%م ق%فينا على آث%اره%%م ب%رس%%%%%لنا وق%فينا بعيسى اب%ن م%ري%م وآت%يناه اإلات%%بعوه رأف%%ة ورح%%%%%مة وره%%%%بان%%%ية اب%%تدع%%%%وه%%%%ا م%%%ا ك%%%%تبناه%%%%ا ع%%%%ليهم إال اب%%تغاء رض%%%%%%%%%%وان اهلل ف%%ما رع%%%%وه%%%%ا

حق رعايتها فآتينا الذين آمنوا منهم أجرهم وكثير منهم فاسقون “Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” Para Mufassir berbeda pendapat tentang siapa golongan yang beriman yang diberi pahala oleh Allah pada ayat ini. Ada yang mengartikan mereka adalah yang mengimani Muhammad, ada pula yang mengartikan mereka yang beriman kepada Isa a.s, atau orang-orang yang membuat bid’ah kependetaan. Menurut al-Baghowy (w. 516 H), orang-orang beriman tersebut adalah para pengikut nabi Isa a.s dan tahu akan kedatangan Muhammad, dan kemudian mengimaninya. Orang-orang yang beriman ini memiliki sifat seperti yang dikabarkan al-Qur’an, yakni meng-Esakan Allah, beriman kepada para Rasulullah di setiap zaman. Keimanan ini tidak dicampur adukkan dengan sesuatu yang merusak, seperti meyakini bahwa Isa a.s. adalah tuhan ataupun anak-Nya. Selari dengan al-Baghowy, al-Syaukani mengatakan bahwa mereka adalah pengikut Nabi Isa a.s. dan tetap pada agamanya sampai diutus Nabi Muhammad. Mereka inilah orang-orang yang diberi pahala dua kali. Ini dikarenakan mereka mula-mula mengimani Isa a.s dan selanjutnya mengimani Muhammad SAW. Ini sebagaimana dikatakan Allah SWT dalam Q.s. al-Qashas: 28/54: “Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” Dari keterangan ini disimpulkan bahwa mengimani semua Rasul adalah suatu kewajiban. Karena para Rasul memiliki satu silsilah ajaran yang sama. Ini sebagaimana diungkap dalam kalimat pertama Q.s. al-Hadid: 57/ 27 di atas: “Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami..” Artinya, Allah mengutus seorang Rasul setelah Rasul lain. Ajaran yang dibawa Adam sampai dengan Muhammad adalah satu kesinambungan yang datang dari Allah. Maka dari itu, umat Nabi Isa harus tetap dalam keimanannya sampai datangnya Muhammad SAW. Dan ketika Muhammad telah diutus, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak mengikuti ajarannya. Sebagai Nabi terakhir, Muhammad telah menyeru kepada semua manusia agar mengikuti ajarannya, tidak terlepas penganut Yahudi dan Nasrani. Ini sebagaimana dilakukan beliau

Page 14: Ancaman Pluralisme.pdf

ketika menyeru kepada Raja Habsyah, Najjasyi, dan Raja Romawi, Heraklius. Seruan ini menunjukkan bahwa dalam agama yang dibawanya, terdapat ajaran tentang keselamatan. Dalam surat itu beliau menulis, “Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya engkau akan selamat; dan Allah memberimu pahala dua kali lipat. Namun jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa kaum Assyiriyin.” b. Ahlul Kitab harus beriman kepada Nabi Muhammad Q.s. al-Maidah: 5/65. Ayat ini menginformasikan janji Allah bagi Ahli Kitab yang beriman dan bertakwa kepada-Nya akan surga-surga serta kenikmatan di dalamnya. Redaksi ayat ini tepatnya:

دخلناهم جنات النعيم ولو أن أهل الكتاب آمنوا واتقوا لكفرنا عنهم سيئاتهم وأل “Dan sekiranya ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” Al-Thabary (w. 310 H) mengatakan bahwa kriteria beriman pada ayat ini adalah iman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Beriman kepada Muhammad adalah dengan mempercayainya dan juga mengikuti ajaran yang dibawanya. Ini berarti hanya mempercayai Muhammad sebagai Nabi tidak dikatakan beriman sampai mengikuti ajaran yang dibawanya. Kemudian Al-Thabary melanjutkan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi larangan Allah. Sedang Ibn Abi Hatim (w. 327 H) meriwayatkan dari Qatadah bahwa yang dimaksud beriman di sini adalah beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah, yakni Kitab-kitab-Nya. Sedang orang yang bertakwa adalah yang menjauhi larangan Allah. Menurut Imam al-Razy Ahli Kitab yang beriman dan bertakwa inilah yang niscaya mendapat kemuliaan dunia dan akhirat. Kemuliaan di akhirat yang dijanjikan terdiri dari dua macam bentuk: terbebas dari azab dan mendapat pahala. Terbebas dari azab maksudnya sebagaimana yang dikatakan Allah, “tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka”, sedang mendapat pahala adalah masuk ke dalam surga-Nya, “tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” Imam al-Razy menjelaskan, sebenarnya iman pada seseorang menuntut adanya takwa dan ketaatan terhadap apa yang diimaninya. Dari sini disimpulkan bahwa Ahli Kitab akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah sekirannya mereka beriman kepada-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa iman adalah sesuatu totaliti, tidak setengah-setengah. Iman kepada Allah berarti meliputi semua yang diperintahkan-Nya, yakni beriman kepada adanya Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhir, dan qadha serta qadar-Nya. Iman seperti inilah yang dituntut dari semua hamba-Nya, tidak terkecuali Yahudi dan Nasrani. Maksudnya, tidak ada perlakuan khusus bagi mereka berupa keringanan hanya cukup beriman kepada Musa atau Isa saja. Mereka harus mengimani dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Artinya masuk ke dalam Islam. Jika demikian, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan disebut Muslim. Inilah yang disebut beriman secara kamil yang akan diberi pahala oleh Allah dan diampuni dosanya. Diberi pahala artinya masuk ke dalam surga, dan diampuni dosanya berarti terbebas dari api neraka. Kesimpulannya, hanya dengan memeluk Islam lah para Ahli Kitab akan

Page 15: Ancaman Pluralisme.pdf

selamat. Dan ketika mereka memeluk Islam, mereka tidak lagi disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan Muslim. Maka dari itu, di akhir masa kenabian Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan ayat al-Qur’an terakhir: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Menurut redaksi ayat di atas, agama yang disempurnakan dan diridhoi oleh Allah hanyalah Islam, bukan agama yang lain. Sehingga, umat Islam tidak memerlukan lagi adanya agama selain Islam. Dikarenakan, pada hari itu Allah telah menyempurnakan iman kaum mu’minin, sehingga selamanya tidak diperlukan lagi penambahan, Allah juga telah menyempurnakan agama mereka, sehingga tidak kurang selamanya, dan Allah juga telah meridhoi Islam dan tak akan mencelanya selamanya. Menurut redaksi ayat di atas juga, Allah telah mencukupkan ni’mat-Nya bagi umat Islam. Menurut Ibn Qoyyim, orang-orang yang diberi ni’mat pada ayat ini berhubungan dengan mereka yang tertera pada Q.s. al-Nisa: 4/ 69, yakni mereka yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya. Artinya, umat Islam diberi ni’mat oleh Allah karena keta’atan mereka terhadap Dia dan Rasul-Nya. Ni’mat ini jelas Ibn Qoyyim adalah sa’adah al-abad, yakni surga. Kesimpulannya, surga hanya diberikan kepada umat Islam karena keta’atan mereka terhadap Allah dan Rasul-rasul-Nya. Begitu juga dengan para Ahli Kitab. Mereka akan selamat, diberi ni’mat oleh Allah dan dimasukkan ke dalam surga sekiranya mereka ta’at kepada-Nya dan kepada para Rasul-Nya. Artinya, mereka juga harus mengimani Muhammad sebagai rasul dan mengikuti ajarannya, yakni masuk agama Islam. Ketika mereka masuk ke dalam agama Islam, mereka tidak lagi disebut Yahudi maupun Nasrani. Lebih jelas mengenai perintah mengikuti Risalah Nabi Muhammad dapat disimak dari hadith sahih dibawah ini: ع%ن أبى ه%ري%رة ع%ن رس%ول اهلل صلى اهلل ع%ليه وس%لم ق%ال: وال%ذى نفسى مح%مد ب%يده ال يسمع بى أح%%د م%%ن ه%%ذه األم%%ة ي%%هودى و ال ن%%صرانى ث%%م ي%%موت ول%%م ي%%ؤم%%ن ب%%ال%%لذى أرس%%لت ب%%ه إال ك%%ان

من أصحاب النار. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka." (HR.Muslim). Disamping itu, ada hadits yang menyatakan, "Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku." (HR. Ahmad dan al-Bazzar). Bahkan ajaran-ajaran Nabi terdahulu pun harus ditinggalkan sesudah mengetahui ajaran Nabi Muhammad. Dalam riwayat Ibn Abbas dikisahkan bahwa sekelompok Yahudi kepada datang kepada Rasulullah dan berkata:”Wahai Rasulullah, hari Sabath adalah hari yang kami agungkan. Izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, izinkan kami mengamalkan di malam hari.” Maka turunlah ayat yang berbunyi: يا أيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة وال تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبني

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh nyata bagimu.” (QS al-Baqarah, 208)

Page 16: Ancaman Pluralisme.pdf

Jadi ukuran keimanan Ahlul Kitab adalah pembenaran mereka terhadap Nabi Muhammad dan ajaran yang dibawanya. Hal ini diperkuat oleh Ibn Kathir dalam Tafsirnya bahwa Ahlul Kitab itu tidak mempunyai dasar apa-apa kecuali mengamalkan kandungan Taurat dan Injil serta semua kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi-nabi termasuk mengikuti Nabi Muhammad, mengimani beliau dan mengikuti syariatnya. Penafsiran para mufassir diatas dan mufassir lainnya diperkuat oleh surat Ali Imran ayat 19: س%%%%%%الم وم%%ا اخ%%%تلف ال%%ذي%%ن أوت%%وا ال%%كتاب إال م%%%ن ب%%عد م%%ا ج%%%%%اءه%%%م ال%%علم ب%%غيا إن ال%%دي%%ن ع%%%ند اهلل اإل

بينهم ومن يكفر بآيات اهلل فإن اهلل سريع الحسابSesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam Surah Ali Imran : Ayat 19.

سالم دينا فلن يقبل منه وهو في اآلخرة من الخاسرين ومن يبتغ غير اإل Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi Surah Ali Imran : Ayat 85) Para penyokong faham pluralisme agama mencoba menterjemahkan ”al-Islam” dengan ”berserah diri”, sehingga ayat diatas bermakna bahwa ”agama yang diridhoi Allah adalah berserah diri” . Namun, terjemahan ini malah membingungkan, sebab dengan terjemahan itu maka agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak memiliki nama sama sekali. Padahal agama yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah Islam dan disempurnakan keislamannya dengan datangnya risalah nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu jika pengikut nabi-nabi terdahulu yang mengetahui risalah nabi Muhammad dan kemudian menolak mengikutinya maka Allah tidak akan menerima kepercayaan mereka itu. Penutup Pluralisem agama adalah merupakan faham dari Barat yang diperkenalkan kepada ummat Islam dalam dua gerakan yaitu gerakan ilmiyah dan gerakan sosial atau kemasyarakatan. Kedua-dua gerakan tersebut mempunyai tujuan politik yaitu untuk melemahkan aqidah umat Islam agar tidak ada lagi umat Islam yang meyakini dan mendakwa agamanya adalah benar secara mutlak (absolute). Apabila aqidah Islam telah lemah maka faham-faham Barat yang lain akan mudah dimasukkan kedalam pemikiran umat Islam. Gontor, 15 April 2014

Page 17: Ancaman Pluralisme.pdf