ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

5
Halaman 1 ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon... 28/01/2011 0:35:27 http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-... ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditulis oleh Dr. Agus Aris Munandar Senin, 02 November 2009 10:35 ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indonesia Dr. Agus Aris Munandar I Artefak dalam arti yang luas adalah benda tinggalan dari masa lalu, walaupun biasanya artefak selalu dihubungkan dengan peninggalan yang berupa benda bergerak (mudah dipindahkan), namun dalam pengertian umum artefak juga meliputi monumen yang merupakan bangunan dari masa silam. Artefak Islam adalah tinggalan dari masa silam baik yang berupa benda bergerak atau monumen yang berasal dari masa perkembangan dan meluasnya agama Islam di Nusantara. Pada banyak artefak Islam Nusantara terdapat ciri-ciri atau atribut yang bentuknya sama dengan ciri-ciri yang biasa terdapat pada benda-benda dari era Hindu-Buddha Nusantara, ciri atau atribut itulah yang kemudian disebut dengan anasir kebudayaan Hindu-Buddha yang mengendap pada artefak Islam. Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa periode, yaitu: 1. Periode Prasejarah berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 40.000 tahun yang lalu hingga abad ke-4 M ketika tulisan pertama ditemukan di wilayah Indonesia. 2. Periode Hindu-Buddha atau disebut juga zaman Klasik Indonesia, berkembang antara abad ke-4 – 15 M. Dalam zaman ini tonggak- tonggak peradaban Indonesia mulai ditancapkan, dan beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini. 3. Periode masuk dan berkembangnya agama Islam, masa ini berbeda-beda di berbagai wilayah Indonesia, namun pada umumnya terjadi antara abad ke-15—17 M 4. Periode penjajahan Belanda atau zaman Kolonial terjadi antara abad ke-17—1945 5. Periode Republik Indonesia Sebenarnya setiap daerah mempunyai pembabakan yang agak berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi umumnya mereka mengalami beberapa tahapan perkembangan sejarah kebudayaan seperti yang telah disebutkan itu. Akan halnya pengaruh kebudayaan Cina tidak dapat dinyatakan pernah berkembang antara abad-abad tertentu dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia, karena tidak ada bukti nyata bahwa pengaruh anasir budaya Cina itu diterima secara meluas oleh penduduk Nusantara dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh anasir budaya Cina baru dirasakan oleh masyarakat Nusantara ketika zaman penjajahan Belanda, itu pun terbatas di beberapa kota besar di pulau tertentu saja. Pemerintah penjajahan Belanda pada masanya memerlukan cukup banyak tenaga kerja murah, maka dari itu didatangkanlah sejumlah buruh etnik Cina yang bekerja di sector perkebunan dan jasa. Sejak itulah dikenal pengaruh budaya Cina dalam dinamika kebudayaan Indonesia, walaupun memang hanya sedikit saja. Demikianlah perkembangan kebudayaan Indonesia dewasa ini sebenarnya merupakan hasil akumulasi perkembangan berbagai kebudayaan dalam sejarah. Pengaruh mempengaruhi adalah hal yang wajar dalam kebudayaan. Ketika agama Hindu-Buddha dikenal meluas di Pulau Sumatra dan Jawa, terdapat pula anasir prasejarah di dalamnya. Misalnya sudah dimaklumi oleh para ahli kebudayaan kuno bahwa bentuk berundak pada Candi Borobudur sebenarnya melanjutkan saja bentuk punden berundak megalitik, hanya saja pada Candi Borobudur dilengkapi dengan nafas kebuddhaan yang sangat kentara. Maka tidak juga mengherankan ketika dalam masa Islam Indonesia dihasilkan bermacam artefak sezaman, namun di dalamnya mengendap anasir-anasir Hindu-Buddha yang pernah berkembang dalam zaman sebelumnya. Pengamatan yang paling mudah dilakukan terhadap adanya anasir Hindu-Buddha dalam artefak Islam adalah terhadap bentuk-bentuk ornamennya. Ornamen dari masa perkembangan Islam (terutama di Jawa) nyata sekali meneruskan ornament yang dikenal dalam era sebelumnya. Berbagai bentuk ornamen tersebut dapat dikaji lebih lanjut untuk membahas adanya akulturasi damai yang telah terjadi adalam masa transisi masuknya agama Islam ke tengah-tengah masyarakat yang saat itu masih memeluk agama Hindu-Buddha. Tentu saja pengaruh Hindu-Buddha tersebut tidak hanya mengendap pada wujud artefak konkret, terdapat juga dalam bentuk karya lainnya misalnya dalam susastra, sistem pemerintahan, falsafah kehidupan, seni pertunjukan, dan lain-lain. Mengenai adanya anasir Hindu-Buddha pada kebudayaan yang tanbenda (bukan tak benda!) itu (intangible culture) sepatutnya diperbincangkan dalam tema yang khusus lagi. II

Transcript of ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Page 1: ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Halaman 1ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

28/01/2011 0:35:27http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-...

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Maknadan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah KebudayaanIndonesiaDitulis oleh Dr. Agus Aris Munandar Senin, 02 November 2009 10:35

ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM:

Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indonesia

Dr. Agus Aris Munandar

I

Artefak dalam arti yang luas adalah benda tinggalan dari masa lalu, walaupun biasanya artefak selalu dihubungkan dengan peninggalan yangberupa benda bergerak (mudah dipindahkan), namun dalam pengertian umum artefak juga meliputi monumen yang merupakan bangunan darimasa silam. Artefak Islam adalah tinggalan dari masa silam baik yang berupa benda bergerak atau monumen yang berasal dari masaperkembangan dan meluasnya agama Islam di Nusantara. Pada banyak artefak Islam Nusantara terdapat ciri-ciri atau atribut yang bentuknyasama dengan ciri-ciri yang biasa terdapat pada benda-benda dari era Hindu-Buddha Nusantara, ciri atau atribut itulah yang kemudian disebutdengan anasir kebudayaan Hindu-Buddha yang mengendap pada artefak Islam.

Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya beberapa periode, yaitu:

1. Periode Prasejarah berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 40.000 tahun yang lalu hingga abad ke-4 M ketika tulisan pertamaditemukan di wilayah Indonesia.

2. Periode Hindu-Buddha atau disebut juga zaman Klasik Indonesia, berkembang antara abad ke-4 – 15 M. Dalam zaman ini tonggak-tonggak peradaban Indonesia mulai ditancapkan, dan beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini.

3. Periode masuk dan berkembangnya agama Islam, masa ini berbeda-beda di berbagai wilayah Indonesia, namun pada umumnya terjadiantara abad ke-15—17 M

4. Periode penjajahan Belanda atau zaman Kolonial terjadi antara abad ke-17—19455. Periode Republik Indonesia

Sebenarnya setiap daerah mempunyai pembabakan yang agak berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi umumnya mereka mengalami beberapatahapan perkembangan sejarah kebudayaan seperti yang telah disebutkan itu. Akan halnya pengaruh kebudayaan Cina tidak dapat dinyatakanpernah berkembang antara abad-abad tertentu dalam pembabakan sejarah kebudayaan Indonesia, karena tidak ada bukti nyata bahwa pengaruhanasir budaya Cina itu diterima secara meluas oleh penduduk Nusantara dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh anasir budaya Cina barudirasakan oleh masyarakat Nusantara ketika zaman penjajahan Belanda, itu pun terbatas di beberapa kota besar di pulau tertentu saja.Pemerintah penjajahan Belanda pada masanya memerlukan cukup banyak tenaga kerja murah, maka dari itu didatangkanlah sejumlah buruhetnik Cina yang bekerja di sector perkebunan dan jasa. Sejak itulah dikenal pengaruh budaya Cina dalam dinamika kebudayaan Indonesia,walaupun memang hanya sedikit saja.

Demikianlah perkembangan kebudayaan Indonesia dewasa ini sebenarnya merupakan hasil akumulasi perkembangan berbagai kebudayaandalam sejarah. Pengaruh mempengaruhi adalah hal yang wajar dalam kebudayaan. Ketika agama Hindu-Buddha dikenal meluas di PulauSumatra dan Jawa, terdapat pula anasir prasejarah di dalamnya. Misalnya sudah dimaklumi oleh para ahli kebudayaan kuno bahwa bentukberundak pada Candi Borobudur sebenarnya melanjutkan saja bentuk punden berundak megalitik, hanya saja pada Candi Borobudur dilengkapidengan nafas kebuddhaan yang sangat kentara. Maka tidak juga mengherankan ketika dalam masa Islam Indonesia dihasilkan bermacam artefaksezaman, namun di dalamnya mengendap anasir-anasir Hindu-Buddha yang pernah berkembang dalam zaman sebelumnya.

Pengamatan yang paling mudah dilakukan terhadap adanya anasir Hindu-Buddha dalam artefak Islam adalah terhadap bentuk-bentukornamennya. Ornamen dari masa perkembangan Islam (terutama di Jawa) nyata sekali meneruskan ornament yang dikenal dalam erasebelumnya. Berbagai bentuk ornamen tersebut dapat dikaji lebih lanjut untuk membahas adanya akulturasi damai yang telah terjadi adalammasa transisi masuknya agama Islam ke tengah-tengah masyarakat yang saat itu masih memeluk agama Hindu-Buddha.

Tentu saja pengaruh Hindu-Buddha tersebut tidak hanya mengendap pada wujud artefak konkret, terdapat juga dalam bentuk karya lainnyamisalnya dalam susastra, sistem pemerintahan, falsafah kehidupan, seni pertunjukan, dan lain-lain. Mengenai adanya anasir Hindu-Buddha padakebudayaan yang tanbenda (bukan tak benda!) itu (intangible culture) sepatutnya diperbincangkan dalam tema yang khusus lagi.

II

Page 2: ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Halaman 2ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

28/01/2011 0:35:27http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-...

Perkembangan kebudayaan Indonesia diawali dan didasari pada kebudayaan prasejarah. Tahapan prasejarah yang paling penting di Indonesiaadalah masa bercocok tanam tingkat lanjut yang bersamaan dengan berkembangnya kepandaian perundaian. Masa tersebut sangat mungkindimulai sekitar tahun 500 SM hingga ditemukannya aksara pertama dalam prasasti di wilayah Indonesia (sekitar abad ke-4 atau ke-5 M).

Dalam periode tersebut mulailah terbentuk komunitas-komunitas yang teratur dipimpin oleh ketua kelompok. Sang pemimpin didampingi olehseseorang yang dituakan, dianggap mempunyai banyak pengalaman, dan luas wawasannya, kepada tokoh itulah masyarakat bertanya perihalberbagai hal, fenomena alam, langkah kehidupan dan lain-lain. Kemudian terdapat masyarakat biasa yang menjadi rakyatnya. Pendudukkepulauan Indonesia masa itu telah menetap dan membentuk perkampungan, rumah-rumah mereka panggung. Kontak-kontak dengan paramusafir dari India dan Cina sangat mungkin mulai terjadi di awal tarikh Masehi. Sudah barangtentu para niagawan dari India atau Cina tersebutberkunjung ke komunitas-komunitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dapat dianggap berinteraksi. Jadi mereka tidak mungkin datang kewilayah-wilayah yang sepi penduduknya.

Dalam kondisi peradaban masyarakat yang relatif maju seperti itulah pengaruh kebudayaan luar mulai diperkenalkan oleh para musafir India.Nenek moyang bangsa Indonesia merasa tertarik dan perlu untuk menerima kebudayaan dari India oleh karena itu mereka menerimanya. Hanyatiga anasir budaya yang sebenarnya diterima dari kebudayaan India, yaitu (1) agama Hindu-Buddha, (2) aksara Pallava, dan (3) sistempenghitungan tahun Saka. Ketiganya benar-benar merupakan sesuatu yang baru, artinya tidak pernah dimiliki sebelumnya oleh nenek moyangkita. Zaman berkembangnya pengaruh India dalam masyarakat Indonesia kuna itu lazim dinamakan dengan zaman Hindu-Buddha atau zamanKlasik Indonesia.

Berdasar kepada ajaran agama Hindu-Buddha maka berkembanglah sistem pemerintahan kerajaan, dalam hal ini raja dianggap sebagai dewayang menjelma ke dunia. Kemajuan arsitektur bangunan suci juga didasarkan pada kaidah keagamaan Hindu atau Buddha, dalam hal inibentuk-bentuk arsitektur candi yang tidak pernah sama antara satu bangunan dengan lainnya (unikum), bangunan petirthaan (bangunan air suci),dan bangunan pahat batu (rock-cut) yang digarap secara baik.

Kemahiran menulis yang dimulai dari aksara Pallava kemudian dikembangkan menjadi huruf lokal turunannya Akibat adanya kemampuanmenulis itu maka keluarlah berbagai prasasti titah raja dan karya sastra. Prasasti umumnya ditulis pada batu, logam perunggu atau emas, bagian-bagian bangunan suci, atau juga pada benda-benda keperluan upacara. Prasasti batu biasanya ditegakkan di suatu tempat agar mudah untukdibaca oleh masyarakat umum, isinya sangat ringkas, dan umumnya berkenaan dengan pembebasan suatu wilayah (desa) dari kewajibanmembayar pajak kepada raja. Sedangkan prasasti logam dibentuk berupa lempeng-lempeng yang ditulisi pada kedua sisinya depan-belakang(recto-verso). Prasasti logam disimpan oleh seseorang yang kepadanyalah anugerah raja tersebut diberikan.

Uraian karya susastra zaman Hindu-Buddha bermacam-macam, umumnya memerikan perihal kisah-kisah kepahlawanan (epos), ajarankeagamaan, uraian tentang raja-raja, kisah roman percintaan, kisah-kisah sejarah secara tradisional dan lain-lain. Kisah-kisah dari masa Hindu-Buddha yang digubah oleh masyarakat Jawa Kuna tersebut dapat bertahan hingga sekarang berkat adanya penyalinan dan apresiasi darimasyarakat Hindu-Bali. Berkat adanya hal itu maka dapat diketahui bahwa khasanah kesusastraan masa Hindu-Buddha sudah sangat maju.

Sekitar pertengahan abad ke-13 di wilayah Sumatra bagian utara telah berdiri kerajaan Islam pertama di Nusantara, bernama Samudra Pasai.Seraya itu di Pulau Jawa masih berdiri kerajaan Singhasari yang bercorak Hindu-Buddha, dan di bagian-bagian lain Indonesia mungkin masihdalam zaman proto-sejarah (beberapa daerah telah dicantumkan dalam kakawin Nagarakrtagama yang selesai digubah oleh Mpu Prapanca tahun1365 M). Islam tidak berkembang dalam kurun waktu yang bersamaan di Nusantara, namun perkembangannya semakin merata mulai abad ke-15M. Berdasarkan sumber-sumber tradisi dapat diketahui bahwa wilayah Indonesia Timur (Nusa Tenggara dan Maluku) menerima Islam karenaupaya para mubaligh dari pesantren-pesantren di Jawa Timur. Sumber tradisi juga menyebutkan adanya peranan para ulama dari wilayahSumatra Barat yang aktif menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, dan wilayah Kalimantan Timur. Hubungan niaga yang ramai antara wilayahIndonesia barat dan timur turut mempercepat proses penyebaran agama Islam.Dalam jalur niaga tersebut turut serta para ulama penyebar Islam,bahkan niagawan itu sendiri adalah ulama penyebar Islam.

Sebelum kedatangan Islam di wilayah-wilayah tersebut telah ada komunitas-komunitas membentuk sistem pemerintahan tradisional yang masihbercorak tradisi perundagian. Religi yang berkembang pun secara hipotetis masih merupakan pemuliaan terhadap arwah nenek moyang. Dengandemikian perkembangan kebudayaannya dapat dinyatakan dari masa prasejarah (protosejarah) sejarah dengan masuknya Islam, tanpa melaluisistem kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagaimana halnya di Jawa.

Cukup banyak peradaban Nusantara yang mendapat pembaharuan dalam zaman awal perkembangan agama Islam, selain ajaran agama itusendiri terdapat beberapa perolehan lainnya, misalnya digunakannya huruf Arab, dikenalnya tahun Hijriah, cara berpakaian yang hampirmenutup seluruh tubuh, diperkenalkannya sistem persenjataan dengan mesiu, dan terbentuknya kota-kota pelabuhan baru tempat bermukimnyamasyarakat yang telah memeluk agama Islam. Di beberapa wilayah Nusantara terdapat masyarakat yang sampai sekarang memeluk agama Islamsecara taat, tanpa adanya bentuk akulturasi dengan kebudayaan yang berkembang sebelumnya.

Lain halnya di Jawa, tempat merebaknya kebudayaan Hindu-Buddha yang relatif lama, maka terdapat fenomena adanya bentuk-bentuk akulturasiantara Islam dengan tradisi yang telah dikenal dalam agama Hindu-Buddha. Walaupun demikian di Jawa juga terdapat daerah-daerah yangkeislamannya relatif menonjol dengan sedikitnya pengaruh dari tradisi lama. Secara kebudayaan bentuk-bentuk akulturasi tersebut sebenarnyaturut memperkaya khasanah peradaban yang ada.

III

Pada bangunan-bangunan masa awal perkembangan Islam di Indonesia (contoh yang baik terdapat di Jawa) antara abad ke-15—16 terdapatbentuk-bentuk ragam hias tertentu, walaupun ragam hias itu tidak mengisi bangunan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada bangunanmasa Islam terdapat bentuk ragam hias yang telah dikenal sebelumnya, ketika agama Hindu-Buddha masih dipeluk oleh masyarakat secarameluas. Bentuk ragam hias itu misalnya motif sulur daun, dapat dijumpai pada nisan kubur Islam, cungkup, pintu gerbang, bingkai mihrab,mimbar kayu, batu-batu umpak di masjid dan lain sebagainya. Begitupun bentuk lainnya misalnya motif tapak dara (dalam kepustakaan

Page 3: ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Halaman 3ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

28/01/2011 0:35:27http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-...

arkeologi Indonesia dinamakan juga Salib Portugis) dijumpai pada kaki suatu bangunan serta pagar keliling masjid kuna, pagar kelilingkompleks makam serta di tempat lainnya.

Kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ragam hias sulur daun dengan berbagai variasinya dari era Hindu-Buddha, dalam banguna-bangunan masa Islam terus digunakan. Hampir seluruh bangunan masa awal Islam di Jawa mempunyai ragam hias sulur-suluran atau ikal mursalatau juga motif floral dalam wujud yang raya. Sebenarnya penggunaan hiasan yang berlebihan pada bangunan Islam (masjid atau makam) dalamhokum Islam dianggap makruh, namun kaidah tersebut agaknya tidak mengurangi hasrat seniman masa itu untuk mengekspresikan kerativitasseninya yang diungkapkan pada berbagai media (Ambary 1983: 130).

Umumnya hiasan sulur atau ikal mursal terdapat dalam berbagai bidang kosong melebar atau sempit yang mungkin untuk diisi dengan jenishiasan tersebut. Misalnya bidang nisan di Troloyo (Bernet Kempers 1959: 343), bersama dengan sulur-suluran juga terdapat bentuk meander,mengisi bidang medallion pada dinding masjid kuno Mantingan (Soekatno, Gambar 139), serta menghias pula gunongan makam Kalajung Lautdi Pamekasan serta kompleks pemakaman keluarga Cakraningrat di Bangkalan, Madura (Bernet Kempers 1959, Plate 352; Soekatno 1980,Gambar 140). Masih banyak contoh penggunaan ragam hias sulur daun dan berbagai variasinya dalam masa Islam, tetapi karena keterbatasantempat tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Selain hiasan sulur daun pada kepurbakalaan Islam juga dikenal bentuk hiasan medallion. Bentuk hiasan medallion yang sangat impresif terdapatpada dinding masjid kuno Mantingan, Jepara. Bentuknya sangat mirip dengan medallion di Candi Induk Panataran, sedangkan yangmembedakannya adalah pada (1) bahan, (2) bentuk, (3) gaya pemahatan relief. Bahan medallion Candi Panataran adalah batu kali (andesit),sementara itu medaion-medalion pada masjid Mantingan adalah batu kapur (tufa) yang relative lebih lunak. Bentuk medallion Candi Panataransemuanya merupakan lingkaran, sedangkan bentuk di Masjid Mantingan ada yang lingkaran, medallion busur (atau panil cermin) yang berupapanil relief lebar (Bernet kempers 1959, Plate 347—8, Soekatno 1980, Gambar 138). Di Masjid Mantingan terdapat juga bentuk panil-panil kecilseperti kelelawar terbang, dipasang berderet di dinding candi dari atas ke bawah. Gaya pemahatan medalion juga mempunyai perbedaan antaradi Candi Induk Panataran dengan yang dijumpai di Masjid Kuno Mantingan. Jika pada medalion Candi Panataran yang digambarkan adalahbentuk-bentuk binatang secara naturalis, medalion Mantingan diisi dengan gambaran binatang yang telah distilasi atau disamarkan (Kusen 1989:123).

Pada bangunan menara Kudus dan dinding pagar keliling sitinggil Keraton Kasepuhan Cirebon terdapat juga bentuk-bentuk medalion. Hanyasaja pada bangunan-bangunan tersebut bagian tengah medalion ditutup dengan bentuk piring keramik Cina. Bentuk medalion yang “tertutup”piring keramik tersebut seakan menjadi cirri khas pada kepurbakalaan Islam di Cirebon

Bentuk ragam hias tumpal/simbar yang pada dasarnya merupakan bentuk setiga sama kaki cukup dikenal dalam masa islam, bahkah terusbertahan hingga kini antara lain dalam motif hias batik. Hal yang menarik adalan bentuk ragam hias tersebut menjadi sangat dikenal dalamperiode Klasik muda, karena hampir semua bangunan candi di Jawa Timur dihias dengan bentuk-bentuk simbar. Kepupoleran tersebut terusbertahan hingga masa Islam, karena hampir sebagian besar kompleks bangunan dalam masa awal Islam pasti memiliki bentuk ragam hias tumpal/simbar. Suatu kesatuan antara bentuk dan ragam hias tumpal dengan karya arsitektur terhadap pada bagian pipi tangga yang berujung volut(ikalan). Pada bagian depan ujung volut pipi tangga candi-candi dan gerbang dari periode Klasik Muda hampir seluruhnya dihias dengan bentuktumpal. Keadaan ini terus dipertahankan pada bangunan-bangunan masa awal islam yang dilengkapi dengan pipi tangga berujung volut. Padabagian depan bulatan ujung pipi tangga dihias pula dengan bentuk tumpal, seperti pada karya arsitektur yang didirikan dalam masa Hindia-Buddha. Misalnya di Menara Kudus, Sendang Duwur (Wiryoprawiro 1986; Gambar 222b), makam Sunan Giri, gapura sibak Sunyaragi Cirebon,dan makam tembayat di Klaten.

Sementara itu dapat dikatakan bahwa ragam hias tapak dara tidak dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah dalam periode Klasik Tua.Berdasarkan pengamatan yang dilakukan hingga kini dapat disimpulkan bahwa bentuk ragam hias tapak dara baru dikenal pada candi-candiKlasik Muda, terutama dari era Singasari-Majapahit (abad ke13-15 M). bentuk ragam hias tapak dara ada yang sederhana seperti terlihat padadinding batur di atas Gua Selamangleng Tulungagung; bentuknya hanya berupa tapak dara tunggal yang diletakkan berderet. Ada yang jugabentuk tapak dara yang agak digayakan, dibuat bertumpuk semakin mengecil di bagian tengah, misalnya terdapat pada dinding batur di depanCandi Bangkal (Soekatno 1980, Gambar 110), juga pada dinding kaki Candi Sawentar (Bernet Kempers 1959, Plate 214; Soekatno 1980,Gambar 96).

Pada bangunan-bangunan masa awal Islam ragam hias tapak dara sangat umum dijumpai. Bentuk tersebut menghias kaki bangunan, baturmakam, kaki pintu gerbang, pagar keliling, dan lain-lain. Tidak seperti bentuk tapak dara dalam masa Klasik Muda yang terbagi dua, umumnyaragam hias tapak dara pada bangunan-bangunan masa awal Islam bentuknya digayakan. Misalnya terdapat di komplek makam Ratu Kalinyamat,Mantingan dan gapura sibak makam Tembayat (Soekatno 1980, Gambar 137, 142). Bahkan pada batur pemakaman Gending Suro, Palembang(abad ke-15 M) juga dihias dengan bentuk tapak dara (Soekatno 1980, Gambar 145). Pada berbagai kepurbakalan Islam di Cerebon, motif hiastapak dara sangat umum dijumpai, misalnya terdapat di komplek Sitinggil Kesepuhan, Sitinggil Kanoman, Masjid Agung Ciptarasa, dan makamSunan Gunung Jati. Jadi ragam hias tapak dara pun merupakan salah satu ragam hias yang umum terdapat pada bangunan-bangunan awal Islamdi Jawa, walaupun titik pangkal perkembangannya baru dimulai pada candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur.

Bentuk ragam hias pra-Islam lainnya yang kadang muncul pada bangunan-bangunan Islam adalah ceplok bunga, sisi awan, batu karang, belahketupat, dan beberapa ragam lainnya. Hanya saja jenis-jenis ragam hias tersebut tidak banyak dijumpai pada setiap bangunan awal Islam yangpenting, dan kemunculannya pun mendalam pada kajian ini.

IV

Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan masa awal Islam di Jawa ternyata sebagian besar merupakan kelanjutan saja dari berbagai bentukhisan yang telah dikenal sebelumnya pada candi-candi zaman Hindia-Buddha. Menurut R. Soekmono (1986) secara arsitektur candi-candi diJawa tidak terlalu rumit, namun kelemahan dalam bidang arsitektur tersebut diimbangi secara baik dengan pemberian hiasan dan ukiran yangserasi. Hal itu membuktikan diterapkannya tradisi lama dalam bidang seni hias. Kitab Silpasastra yang merupakan pedoman bagi pembangunan

Page 4: ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Halaman 4ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

28/01/2011 0:35:27http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-...

bangunan suci tidak memberikan ketentuan serta peraturan yang ketat dalam penerapan hiasan. Dengan demikian para seniman Jawa Kunamemanfaatkan kesempatan dalam menerapkan hiasan tersebut tanpa menyimpang dari peraturan umum yang berkenan dengan pembangunancandi (Soekmono 1986; 239-40).

Ketika Islam mulai berkembang di Jawa, para seniman yang sudah beragama Islam tetap mengekspresikan kreativitas seninya dalam pemberianpada berbagai bangunan. Tentu saja ragam hias yang diterapkan pada bangunan-bangunan masa awal Islam itu adalah jenis ragam hias yangtelah mereka kenal dalam kurun waktu sebelumnya, yakni ragam hias tradisional Jawa masa Hindu-Buddha. Seniman masa Islam dalammenghasilkan karya seni berusaha menonjolkan mutu karyanya tanpa melanggar ketentuan keagamaan (Ambary 1983; 135).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa pada masa permulaan Islamisasi di Indonesia, khususnya di Jawa, hal yang paling berkembangsebenarnya bukan bidang arsitektur, melainkan bidang kesenirupaan seperti seni pahat, relief, keris, wayang dan sebagainya (Subarna 1987; 101). Pendapat ini mungkin didasarkan pada kenyataan bahwa cukup banyak contoh dalam bidang seni rupa yang turut dikembangkan atauberkembang bersamaan dengan proses Islamisasi. Sebagian besar bidang seni rupa itu sebenarnya merupakan kelanjutan belaka dari masa pra-Islam, masa Hindu-Buda.

Dalam bagan diberikan contoh gambaran kesinambungan seni rupa masa Hindu-Buda pada bangunan-bangunan masa awal Islam di Jawa. Bagantersebut hanya menyebutkan beberapa jenis ragam hias terkenal yang kerap dijumpai pada berbagai bangunan masa Hindu-Buddha dan masaIslam . berdasarkan bagan tersebut diketahui ragam hias sulur daun/ikal mursal dengan bermacam variasinya sejak masa Klasik Tua telah dikenaldan terdapat pada banyak bangunan candi. Ragam hias tersebut terus bertahan bahkan cenderung semakin menjadi raya dalam periode KlasikMuda dan dalam masa awal Islam.

Bentuk hiasan medalion cenderung semakin muda kronologinya semakin menjadi raya dan rumit. Pada masa Klasik Tua hanya dijumpai hiasanmedalion polos, tetapi pada masa Klasik Muda sudah ada yang berhias. Tiba pada periode awal Islam bentuk medalion makin bervariasi, bahkandihias dengan bermacam ukiran atau piring keramik Cina.

Ragam hias tapak dara baru dikenal pada periode Klasik Muda, yang kemudian terus bertahan dalam masa awal Islam. Sementara bentuk tumpalhampir merata dikenal dalam berbagai bangunan candi dalam masa Klasik Muda, walaupun bentuk tumpal/simbar sebagai jenis ragam hiasornamental langka didapatkan pada candi-candi Klasik Tua. Pada bangunan masa Islam bentuk tumpal/simbar juga masih tetap dijumpaimenghias berbagai bagian bangunan. Masih ada satu jenis ragam hias lagi yang dalam masa Klasik Tua belum muncul, yaitu bentuk belahketupat berderet. Bentuk demikian baru muncul pada periode candi-candi zaman Majapahit, kemudian masih dapat dijumpai misalnya padakompleks makam Ratu Kalinyamat, Mantingan.

Dari bagan tersebut terlihat adanya kesinambungan beberapa bentuk ragam hias. Ragam hias tertentu telah dipergunakan untuk memperindahcandi-candi Klasik Tua di Wilayah Jawa Tengah, kemudian pada waktu candi-candi Klasik Muda di Jawa Timur dibangun muncul pula ragamhias yang sama dan ada juga bentuk-bentuk ragam hias yang baru. Ketika agama Islam mulai dikembangkan di Tanah Jawa, dan parapemeluknya mendirikan berbagai bangunan, ragam hias yang sama yang telah dikenal dalam masa Hindu-Buddha tetap terus dipergubakanuntuk menghias bangunan-bangunan tersebut.

V

Bentuk-bentuk ragam hias pada bangunan-bangunan Islam awal di Jawa berdasarkan kajian ini dapat diketahui berasal dari zaman Hindu-Buddha. Ragam hias tersebut semula menghiasi bangunan candi atau bangunan yang bersifat monumental lainnya. Ketika Islam mulaiberkembang, ragam hias yang sama tetap dipakai mengisi berbagai bidang kosong dalam bangunan masa Islam. Kesinambungan tersebut dapatterjadi karena beberapa faktor, antara lain (1) seniman masa awal Islam masih akrab dengan bentuk-bentuk ragam hias dari masa Hindu-Buddha,(2) penggunaan ragam hias itu tetap diperbolehkan sejauh tidak bertentangandengan kaidah agama Islam; caranya antara lain dengan teknikstilasi.

Seniman masa awal Islam di Jawa semula beragama Hindu-Buddha telah akrab dengan bentuk-bentuk karya seni rupa yang tumbuh danberkembang dalam religi Hindu-Buddha. Ketika Islam dikembangkan di Jawa terdapat aturan untuk menghindari penggambaran makhluk hidupsecara naturalis. Dengan demikian bentuk-bentuk ragam hias yang berupa sulur daun/ikal mursal dan berbagai motif geometris tetap dapatdipertahankan, tetapi penggambaran relief cerita dilarang sama sekali. Kebiasaan pemahatan relief cerita yang semula dikenal umum dalammasa pra-Islam terhenti begitu saja. Bahkan di masjid kuna Mantingan terdapat bukti-bukti penggunaan ulang batu dari panil relief ceritaRamayana untuk dipahati sisi utuhnya dengan ragam hias yang sesuai denhan agama Islam (Kusen 1986).

Bentuk ragam hias yang benar-benar baru sama sekali, dan mulai dikembangkan seiring dengan meluasnya agama Islam di Nusantara adalahkaligrafi dengan huruf arab. Semula huruf yang diterakan di nisan-nisan kubur ketika Islam baru saja berkembang adalah huruf dan angka JawaKuna, di samping huruf-huruf arab. Dalam masa yang lebih kemudian di Cirebon, kaligrafi Arab itu dipergunakan untuk stilasi tokoh-tokohdewata Hindu dan tokoh-tokoh wayang dari epos Mahabharata yang bernafaskan agama Hindu (Pringgodigdo 1982)

Kembali membuktikan suatu pendapat yang telah umum dikenal bahwa agama Islam berusaha melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempatdi mana agama itu datang dan berkembang. Di Jawa adaptasi tersebut tampak berhasil dengan baik.Dengan memperhatikan kesinambunganbentuk ragam hias yang dikenal dalam masa Hindu-Buddha hingga masa Islam, dapat diketahui bahwa agama Islam tidak menolak bentuk sulurdaun yang umumnya berupa tanaman teratai (padma) untuk menghiasi masjid-masjid. Dalam zaman Hindu-Buddha bunga padma selaludikaitkan dengan kehidupan para dewa yang kerap diarcakan dan dipuja oleh umatnya.Dengan mengabaykan simboliknya ragam hias sulur daunyang bentuk dasarnya dari tanaman teratai tetapi digunakan dalam masa Islam, bahkan untuk membentuk figur mahluk yang disamarkan sepertiyang terdapat pada dinding Masjid Mantingan (Bernet Kempers 1959: plate 347) selain ragam hias sulur daun, ragam hias lainnya pun yangsemula memperindah bangunan candi masih tetap dipertahankan untuk menghias bangunan-bangunan pada masa awal Islam. Hal itu kembalimembuktikan bahwa memang benar ragam hias pra-Islam (Hindu-Buddha) terus dapat digunakan pada bangunan-bangunan Islam pada awalperkembangannya di Jawa sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Page 5: ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM_ Makna dan Metode

Halaman 5ANASIR HINDU BUDDHA PADA ARTEFAK ISLAM: Makna dan Metode Penelitiannya dalam Bingkai Sejarah Kebudayaan Indon...

28/01/2011 0:35:27http://www.warnaindonesia.com/index.php?view=article&catid=109%3Aarkeologi-islam&id=1170%3Aanasir-hindu-buddha-...

Add New SearchComments (0)

Name:Email:

Title:Message:

DAFTAR ACUAN

Ambary, Hasan Muarif (1983), “Beberapa Ciri Krativitas yang Dimanifestasikan Melalui Seni Hias dan Seni Bangunan Masa Indonesia (abadke-14-19 M),”dalam S. Takdir Alisjahbana (penyunting), Kreativitas. Jakarta: Dian Rakyat; h. 127-137

Bernet Kempers, A. J.(1959), Ancient Indonesian Art. Amsterdam; C.P.J. van der Peet.

Holt, Claire (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca dan London: Cornell University Press.

Kusen (1989), “Relief Dua-Sisi Mantingan Sebagai Data Kesenian Masa Transisi hindu-Islam di Jawa Tengah abad XVI”, dalam PertemuanIlmiah Arkeologi V; buku IIA: Kajian Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia; h.116-142.

Soekatno, T. W. (Redaksi) (1986), Album Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Jilid II. Jakarta; Proyek Media Pendidikan, Direktorat jenderalkebudayaan depdikbud.

Soekmono, R. (1986), “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia,” dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian BudayaBangsa Local Genius. Jakarta: Pustaka Jaya; h. 228-246.

Krom, N. J. (1923), Inleiding tot de Hindie-Javaansche kunst (III). ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Pringgodigdo, Suleiman (1982), Hiasan Dinding,” dalam Paramita R. Abdurachman (Penyunting), Cerbon. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan; h.105-112.

Subarna, Abay D. (1987), “Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam,” dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi II: Estetika dalam ArkeologiIndonesia. Jakarta: IAAI; h. 48-116.

Wiryoprawiro, Zein M. (1986), Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina ilmu.

Artikel ini disampaikan pada :

Seminar dan Diklat Penelitian Arkeologi KeagamaanDEPARTEMEN AGAMA R.I.BADAN LITBANG DAN DIKLATPUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA TEKNIS KEAGAMAANTanggal 26 Oktober s.d. 30 November 2009 Kampus PusdiklatDepartemen Agama, Jl. Ir. H. Juanda No. 37, Ciputat.

Write comment

Your Contact Details:

Comment:

Security

Please input the anti-spam code that you can read in the image.

Send

Powered by !JoomlaComment 4.0 beta2