analize.docx

7
BAB II ANALISI KASUS Asma merupakan penyakit obstruktif yang reversibel dan ditandai oleh jalan napas yang hiper-reaktif serta hiper- responsif sehingga terjadi bronkokonstriksi dinamis pada iritasi minimal. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. Untuk mendiagnosis asma, diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang komprehensif. Anamnesis Diagnosis asma pada anamnesis didapatkan gejala beruap batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari, bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Biasanya diawali dengan faktor pencetus yang bersifat individu dan asma berespon terhadap pemberian bronkodilator. Pasien asma biasanya mempunyai riwayat keluarga menderita sakit serupa dan riwayat atopi.

description

asma

Transcript of analize.docx

BAB IIANALISI KASUS Asma merupakan penyakit obstruktif yang reversibel dan ditandai oleh jalan napas yang hiper-reaktif serta hiper-responsif sehingga terjadi bronkokonstriksi dinamis pada iritasi minimal. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. Untuk mendiagnosis asma, diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang komprehensif.

Anamnesis Diagnosis asma pada anamnesis didapatkan gejala beruap batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari, bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Biasanya diawali dengan faktor pencetus yang bersifat individu dan asma berespon terhadap pemberian bronkodilator. Pasien asma biasanya mempunyai riwayat keluarga menderita sakit serupa dan riwayat atopi. Pada pasien ini mengeluh sesak napas yang bertambah berat sejak 2 HSMRS. Pasien juga mengeluh batuk berdahak putih kental, nyeri dada disangkal, demam disangkal, keringat malam disangkal, mual dan muntah disangkal, pasien mengeluh sering pilek warna putih jernih terutama saat cuaca dingin. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien merupakan rujukan dari RS Kustati dengan asma bronkial. Pasien mengeluh sering sesak napas sejak 2 tahun lalu, sesak dirasakan kambuh-kambuhan terutama saat cuaca dingin, terkena debu, ataupun saat kelelahan. Sesak berkurang dengan istirahat dan minum obat Salbutamol dari puskesmas. Pasien memiliki riwayat alergi udang dan dingin. Ada riwayat DM dan asma dari keluarga pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok dengan IB ringan (70).

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik penderita asma didapatkan Takipnea, Ekspirasi yang memanjang dan wheezing pada auskultasi. Pada sebagaian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi, dan hiperinflasi. Pada serangan ringan mengi hanya terdengar waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya hanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu napas. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120x/menit, RR 24x/menit, dan suhu 37,30C per aksiler. Pada pemeriksaan inspeksi didapatkan pengembangan dada kiri = kanan, pada palpasi diadapatkan fremitus raba kiri = kanan, perkusi sonor/sonor, pada auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler, didapatkan wheezing di kedua paru.

Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan gas adarah arterial penderita asma selama serangan PaO2 kerapkali menurun akibat hipoksemia yang terjadi karena ketidakcocokan V/Q. PaCO2 juga berkurang akibat hiperventilasi. Tingkat PaCO2 yeng menjadi normal atau mengalami kenaikan selama suatu serangan asma dapat mengindikasikan semakin parahnya obstruksi jalan napas atau keletihan pasien yang sudah tidak lagi dapat mempertahankan frekuensi pernapasan per menit yang tinggi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hematokrit meningkat yaitu 57% (33-45%), netrofil meningkat menjadi 86,3 % (55-80%), dan limfosit menurun 5,3 % (22-24%). Pada pemeriksaan AGD didapatkan alkalosis metabolik mix respiratorik terkompensasi sempurna.

Arus Puncak Ekspirasi (APE) Manfaat APE dalam diagnosis asma1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/orsl, 2 minggu).2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit.Pada pasien ini, didapatkan reversibilitas 27%.Tatalaksana Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Selama mondok di RSDM pasien ini mendapatkan pengobatan, meliputi O2 2 lpm, Diet TKTP 1700 kkal, Infus NaCl 0.9% 20 tpm, Nebulizer fenoterol:ipratropium bromide 1:0,25/6jam, Inj. metil prednisolon 62,5mg /24jam, NAC 3x 200 mg. Agen yang digunakan dalam terapi asma pada pasien ini adalah 1. Ipratropium merupakan preparat antikolinergik yang secara kompetitif menyekat pengikatan asetilkolin dengan reseptor muskarinik M1, M2 dan M3 pada sel-sel otot polos dan dengan demikian mencegah bronkokonstriksi yang diperantarai oleh asetilkolin. Meskipun bermanfaar pada asma eksaserbasi akut dan COPD, penggunaan dalam jangka waktu lama belum ditetapkan sebagai terapi yang bermanfaat. Efek sampingnya jarang ditemukan mengingat modifikasi kimia yang mengganggu absorpsi sistemik, meskipun terdapat efek antikolinergik di luar target seperti mulut yang kering, sekret bronkus yang kering dan retensi urin.

2. Fenoterol adalah preparat 2 agonist short acting, diberikan lewat metered-dose inhaler atau nebulizer untuk meningkatkan bronkodilatasi dan mengurangi obstruksijalan napas. Efek sampingnya umumnya berhubungan dengan agonisme do luar target pada reseptor adrenergik 1 (dan hingga taraf yang jauh lebih ringan pada reseptor ) yang berupa : hipertensi, serangan angina, vomitus, vertigo, stimulasi sistem saraf pusat (SSP) dan keringnya/iritasi orofaring.

3. Steroid parenteral (metilpredmisolon) digunakan untuk mengurangi respons inflamasi dengan menurunkan pembentukan sitokin yang membuat inaktif nuclear factor kappa light-chain enhancer pada sel-sel B yang aktif (NF-kB), disamping menurunkan permeabilitas mikrovaskular dan mengurangi pelepasan mediator dari sel-sel eosinofil. Preparat sreoid sering disuntikkan secara iV pada eksaserbasi akut asma yang berat dan diberikan secara oral untuk pengendalian jangka panjang. Efek samping pemakaian steroid dalam waktu lama meliputi glaukoma, katarak, kenaikan berat badan (buffalo hump) timbulnya punuk pada bagian posterior leher dan wajah seperti bulan atau moon face, sakit menelan (sore throat), serangan kejang, perubahan emosional (khususnya depresi), konfusion, kedutan otot, shaking (gemeteran), gangguan tidur, peningkatan insiden osteoporosis dan mata yang menonjol. 4. N-asetilsistein atau NAC telah digunakan sejak lama sebagai mukolitik dalam penyakit saluran pernapasan akut, dalam pedoman PDPI dan GOLD yang terbaru, NAC direkomendasikan sebagai antioksidan dalam terapi pasien PPOK dengan eksaserbasi nrekuren, terutama yang tidak diberikan glukokortikoid inhalasi. NAC mempunyai efek antioksidan terhadap radikal bebas dan reactive oxygen species (ROS) tubuh, serta dapat merangsang aktivasi sistem pertahanan tubuh. Zat ini sekarang sering digunakan sebagai manajemen standar PPOK, idiopathic pulmonary fibrosis (IPF), dalam penanganan keracunan asetaminofen, end stage renal disease (ESRD) dengan hemodialisis, preeklampsia, eklampsia, profilaksis Contrast Induced Nephropathy (CIN), sepsis.NAC juga berperan sebagai mukolitik dan akan mengaktifkan mukosiliar saluran pernapasan. NAC juga digunakan sebagai terapi empiris antibiotik pada penyakit pulmoner akut dan kronis karena NAC memiliki efek anti inflamasi dan dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh.