ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO DI …€¦ · 13. Teman-teman Jurnalistik kelas A...
Transcript of ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO DI …€¦ · 13. Teman-teman Jurnalistik kelas A...
ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO DIMEDIA INDONESIA DAN REPUBLIKA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Anisa Indriani
NIM: 1112051100053
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORISSIYONO DI MEDIA INDONESIA DAN REPUBLIKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Anisa Indriani
NIM 1112051100053
Pembimbing
Bintan Humeira, M.Si
NIP. 19771105 200112 2 002
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 28 Januari 2017
Anisa Indriani
iii
iv
ABSTRAK
Anisa IndrianiAnalisis Wacana Kematian Terduga Teroris Siyono di Media Indonesia danRepublika
Pada pertengahan 2016 lalu muncul peristiwa kematian terduga terorisSiyono yang terjadi di Desa Pogung, Klaten. Kematian Siyono diduga karena adakesalahan dalam penanganan yang dilakukan oleh Densus 88. Siyono meninggalpada saat dibawa ke tempat persembunyian senjata yang berlokasi di Prambanan.Hasil visum menyatakan bahwa terdapat tanda-tanda kekerasan yang dialami olehSiyono sebelum meninggal dan hal tersebut menyeret anggota Densus 88 yangbertugas saat itu. Peristiwa kematian Siyono akhirnya diwacanakan secara berbedadi dua media nasional, dalam hal ini yaitu Media Indonesia dan Republika.Pandangan yang berseberangan antara kedua media menjadikan ranah publiksebagai arena pertarungan wacana.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalahmenjawab pertanyaan penelitian mengenai bagaimana media mewacanakan kasuskematian terduga teroris Siyono.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teorimarjinalisasi dan analisis wacana kritis model Theo van Leeuwen. Terdapat empatmacam strategi marjinalisasi, yaitu penghalusan makna, pengasaran bahasa,labelisasi dan stereotipe. Dalam wacana van Leeuwen, ia memusatkan perhatiannyapada bagaimana aktor dimarjinalkan posisinya melalui proses eksklusi dan inklusi.Beberapa teori pendukung seperti ideologi media juga peneliti gunakan untukmemberikan analisis yang lebih mendalam mengenai wacana di bidang media.
Penelitian ini menggunakan metodologi paradigma kritis denganpendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yang dilakukan oleh peneliti adalahmenganalisis data dengan mengumpulkan data yang berhubungan danmengonfirmasi hasil temuan dengan wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Dalam pemberitaan tentang kematian terduga teroris Siyono, mediaindonesia mewacanakan kasus ini dengan memarjinalkan posisi Siyono denganbegitu maka Media Indonesia terlihat cenderung melindungi pihak kepolisian.Sedangkan Republika mewacanakan kasus ini dengan memposisikan Siyonosebagai korban pelanggaran HAM dan dibela oleh tim advokasi yang dibentuk olehPP Muhammadiyah. Keberpihakan media sangat ditentukan oleh ideologi yangdianut oleh media. Jika dilihat dari struktur kekuasaan, Media Indonesia memilikikecenderungan melindungi pemerintah karena pemilik medianya adalah seorangpemimpin partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah yang berkuasa.Sedangkan Republika menyuarakan tim advokasi karena ada Muhammadiyah didalamnya. Pada dasarnya setiap media melakukan upaya hegemoni tidak terkecualiMedia Indonesia dan Republika. Penerimaan publik atas wacana yangdikembangkan oleh industri media adalah tujuan dari setiap media.Kata kunci: Wacana, Media Indonesia, Republika, Siyono, Muhammadiyah,Objektifitas.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW berserta keluarga
dan para sahabatnya.
Setelah proses yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya skripsi ini
dapat terselesaikan. Tidak hanya karena kerja keras dan doa. Namun, banyak pihak
yang turut serta mendukung dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi pada waktu yang tepat. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi
ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu ucapan
terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Bapak Mujirun Budiharjo dan Ibu Siti Julaeha sebagai orang tua penulis yang
tak hentinya memberikan dukungan baik moril dan materil. Memberikan kasih
sayang dan doa yang tak pernah terputus sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dan mendapat gelar sarjana.
2. Bapak Dr. Arief Subhan, M. A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D., M.
A, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Dra. Hj. Roudhonah, M. Ag.,
serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Dr. Suhaimi, M. Si.
vi
3. Bapak Kholis Ridho selaku Ketua Jurusan Jurnalistik dan Ibu Laeli Musfirah
selaku Sekretaris Jurusan yang telah memberi masukan dan membantu penulis
dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi.
4. Ibu Bintan Humeira, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan memberikan pengarahan kepada penulis. Semoga selalu diberikan
kesehatan dan kemudahan dalam segala urusan.
5. Segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
membantu penulis dalam memahami pelajaran di bangku kuliah sehingga
penulis bisa menyelesaikan kuliah di waktu yang tepat. Semoga Allah
senantiasa melindungi dan memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada
mereka.
6. Bapak Usman Kansong selaku Pimpinan Redaksi Media Indonesia yang
menjadi narasumber penulis serta sekretariat Media Indonesia yang membantu
penulis mendapatkan data untuk penelitian.
7. Bapak Fitriyan Zamzami selaku Redaktur Halaman 1 harian Republika yang
bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber peneliti. Semoga
bantuan yang mereka berikan dibalas dengan kemudahan dalam urusannya.
8. Keluarga penulis, Indra Gunawan, Danang Wibisono, Diah Nawang Wulan
dan Lintang Az Zahra, yang selalu mengingatkan penulis agar segera
menyelesaikan kuliah.
9. Kategori sahabat terbaik penulis, Ahmad Faathir dan Lukman Hakim yang
senantiasa berbagi ceria dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10. Teman-teman Grup Penuh Berkah, Rizky Ananda, Dwinda Nur Oceani,
Annisa Rahmah dan Indah Permata Sari yang membantu menyemangati
vii
penulis dan memberikan lawakan-lawakan yang kadang tidak lucu tetapi
menghibur. Semoga kita selalu diberikan keberkahan dan kebahagiaan di setiap
langkah dan keputusan yang kita ambil.
11. Tim penyemangat skripsi, Dziah Adzkia, Rahma Sari, Lilik Nur Cholilah, Ka
Edo, Ka Izul, Ai Munawaroh, Rebecca Safitri, Moudy Lilang Shelita, dan
Ahmad Fauzi. Terima kasih atas waktu dan support-nya semoga kalian
dipermudah segala urusan, studi dan rezekinya.
12. KKN Sigma dan keluarga Ibu Titin yang pernah mengisi hari-hari penulis
selama satu bulan dan memberikan pelajaran hidup.
13. Teman-teman Jurnalistik kelas A dan B angkatan 2012.
Penulis senantiasa berdoa semoga amal baik yang telah diberikan oleh orang-
orang terkasih baik yang tertera di atas atau pun tidak selalu mendapatkan ridha
Allah dalam setiap kegiatan positifnya. Teriring salam dan doa, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya. Aamiin.
Tangerang, 28 Januari 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iLEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iiLEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... iiiABSTRAK .................................................................................................... ivKATA PENGANTAR .................................................................................. vDAFTAR ISI................................................................................................. viiiDAFTAR TABEL ........................................................................................ xDAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiDAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ................................................................ 1B. Rumusan Masalah ........................................................... 6C. Tujuan.............................................................................. 7D. Manfaat Penelitian........................................................... 7E. Tinjauan Pustaka ............................................................. 8F. Metodologi Penelitian ..................................................... 9G. Sistematika Penulisan...................................................... 12
BAB II KERANGKA TEORIA. Analisis Wacana .............................................................. 14B. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen ................... 15
1. Eksklusi ..................................................................... 162. Inklusi ........................................................................ 17
C. Marjinalisasi .................................................................... 21D. Konsep Berita .................................................................. 22E. Konsep Ideologi .............................................................. 24F. Konsep Terorisme ........................................................... 29
BAB III GAMBARAN UMUMA. Sejarah Media Indonesia .................................................. 36
1. Manajemen Baru ........................................................ 392. Visi dan Misi Media Indonesia .................................. 413. Profil Pembaca ........................................................... 42
B. Sejarah Harian Republika ................................................ 431. Perkembangan Harian Republika............................... 452. Visi dan Misi Harian Republika................................. 473. Profil Pembaca ........................................................... 50
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATAA. Hasil Temuan Eksklusi dan Inklusi pada Media Indone-
sia dan Republika ............................................................ 53B. Interpretasi........................................................................ 72
ix
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan...................................................................... 92B. Saran................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pasivasi Teks Media Indonesia dan Republika ...................... 54Tabel 4.2 Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika .............. 55Tabel 4.3 Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika ................ 56Tabel 4.4 Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika ............. 58Tabel 4.5 Determinasi Teks Media Indonesia dan Republika................ 60Tabel 4.6 Kategorisasi Teks Media Indonesia dan Republika ............... 61Tabel 4.7 Asosiasi Teks Media Indonesia dan Republika...................... 63Tabel 4.8 Identifikasi Teks Media Indonesia dan Republika ................. 64Tabel 4.9 Asimilasi Teks Media Indonesia dan Republika .................... 67Tabel 4.10 Abstraksi Teks Media Indonesia dan Republika .................... 68Tabel 4.11 Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika............ 69Tabel 4.12 Konstruksi Makna tentang Densus 88 Menurut Media Indo-
nesia dan Republika................................................................ 74Tabel 4.13 Konstruksi Makna tentang Siyono Menurut Media Indonesia
dan Republika......................................................................... 74
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Jenis Kelamin Profil Pembaca Media Indonesia .................... 42Gambar 3.2 Profesi Profil Pembaca Media Indonesia ............................... 43Gambar 3.3 Usia Profil Pembaca Media Indonesia ................................... 43Gambar 3.4 Jenis Kelamin Profil Pembaca Republika .............................. 50Gambar 3.5 Profesi Profil Pembaca Republika.......................................... 50Gambar 3.6 Usia Profil Pembaca Republika.............................................. 51
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Penelitian Media IndonesiaLampiran 2 Surat Keterangan Penelitian RepublikaLampiran 3 Teks Berita Media IndonesiaLampiran 4 Teks Berita RepublikaLampiran 5 Open Coding Media IndonesiaLampiran 6 Open Coding RepublikaLampiran 7 Axial Coding
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, masyarakat modern tidak bisa dipisahkan oleh informasi yang
disebarkan oleh media massa. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang
semakin pesat dan mempengaruhi kebiasaan hidup masyarakat perkotaan. Hampir
pada setiap aspek kehidupan masyarakat selalu memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan komunikasi massa. Secara sederhana, masyarakat komunikasi
massa adalah suatu masyarakat yang kehidupan atau kesehariannya tidak bisa
dilepaskan dari adanya media massa itu sendiri. Dalam masyarakat ini, kegiatan
seperti mencari informasi, mencari bahan pendidikan, mencari hiburan, membeli
dan menjual barang, serta masih banyak lagi, semuanya dilakukan melalui media
massa. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat kini sangat
bergantung pada informasi yang disajikan oleh media massa, baik secara online
maupun offline.
Media massa yang diproduksi secara offline atau cetak masih memegang
kendali atas isu yang akan disebarluaskan. Keakuratannya yang lebih baik
dibandingkan media online sering menjadi alasan mengapa media cetak lebih layak
untuk diteliti. Para jurnalis media cetak memiliki lebih banyak waktu untuk
mendalami isu yang akan diangkat menjadi laporan utama dan memiliki proses
redaksi yang cukup panjang sehingga tidak sembarang berita yang bisa naik cetak.
Tidak seperti halnya jurnalis online yang lebih mengedepankan kecepatan
dibandingkan keakuratan dari laporannya.
2
Dalam catatan akhir tahunnya, Aliansi Jurnalis Independen merujuk data
Nielsen yang menyebutkan bahwa dari 117 surat kabar yang dilihat, 16 unit media
telah gulung tikar pada 2015.1 Dalam banyak ulasan menyatakan bahwa media
cetak tidak akan bertahan lama dan akan tergantikan dengan media baru (online).
Namun, banyak pula media cetak yang tetap survive untuk mempertahankan
eksistensinya. Diantaranya adalah Media Indonesia dan Republika. Kedua media
besar tersebut hingga kini masih berjalan baik dengan pandangan yang berbeda.
Bagaimana media merespon sebuah isu, tentu tidak hanya berdasarkan nilai-
nilai berita, tetapi apa yang dianggap penting oleh media biasanya juga dipengaruhi
oleh tujuan media itu sendiri. Secara eksplisit, tujuan media bisa dilihat dari visi
misi media tersebut yang akhirnya tertuang di dalam code of conduct perusahaan.
Apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, ditulis, diberitakan wartawan, hingga
sudut pandang isi berita haruslah mencerminkan media yang menaunginya.
Ketika kita berbicara mengenai isi dari sebuah media massa, sesungguhnya
kita telah berbicara mengenai suatu “wacana”. Tanpa disadari, hampir setiap hari
kita telah menelan begitu banyak wacana yang dibentuk oleh publik maupun media
massa itu sendiri. Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan
independen. Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam
kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada
di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Dalam memproduksi berita,
media massa sering dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal.2
Faktor internal antara lain berupa pengaruh individu pekerja media, kebijakan
1 Sumber: http://www.remotivi.or.id/kabar/247/Media-Cetak-yang-Berhenti-Terbit-Tahun-2015-, diakses pada 4 Mei 2016
2 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi CriticalDoscourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h. 2
3
redaksional tertentu mengenai isu-isu sensitif seperti terorisme, kepentingan para
pengelola media, relasi media dengan sebuah nilai-nilai atau kepercayaan tertentu.
Sementara faktor eksternal dapat berupa tekanan pasar pembaca, sistem pers yang
berlaku, iklan dan kekuatan-kekuatan lainnya. Kepentingan-kepentingan eksternal
dan internal inilah yang mengakibatkan media massa sulit menghindari bias dalam
penyampaian beritanya.
Awal tahun 2016 lalu, Indonesia dikejutkan dengan beberapa serangan teror
salah satunya yang terjadi di Jakarta dan pada pertengahan Maret 2016, muncul
berita tentang penangkapan terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh satuan
Densus 88. Siyono yang diduga kuat merupakan pimpinan wilayah Jamaah
Islamiyah di Klaten ditangkap pada 9 Maret di desa Pogung, Klaten. Siyono
meninggal saat dibawa Densus 88 menuju tempat penyimpanan senjata. Namun,
saat diperjalanan terjadi perkelahian antara Siyono dan Densus 88 yang
menyebabkan kematian Siyono. Jamaah Islamiyah (JI) adalah organisasi teroris
Asia Tenggara yang berbasis di Indonesia. JI tetap aktif dalam aktivitas-
aktivitasnya meskipun pada Agustus 2003 terjadi penangkapan atas Hambali, alias
Riduan Isamuddin, seorang operator kunci. JI memiliki lebih 200 anggota yang
terkait atau diduga sebagai jaringan, yang saat ini tengah menjalani penahanan di
Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.3
Pada pemberitaan kematian Siyono, media cetak seperti Kompas, Media
Indonesia, Sindo, Tempo dan Jakarta Post tidak memasukkan isu ini sebagai
headline. Republika yang memasukkan sebanyak empat kali berita Siyono dalam
3 Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan,dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 103
4
headline-nya tentu tidak terlepas dari nilai-nilai yang digunakan dan relasi
kepentingan media itu sendiri. Media Indonesia, walaupun tidak memasukkan
berita ini sebagai headline, tetapi sempat membahas berita ini lewat liputan khusus
dan editorial. Berdasarkan teori agenda media, suatu isu dapat dianggap penting
jika terdapat di bagian depan atau headline, jumlah luas kolom yang diberikan dan
berada di halaman berapa isu tersebut ditempatkan. Jika pengamatan peneliti
dikaitkan dengan teori agenda media yang dijelaskan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa kedua media memberikan perhatian lebih terhadap kasus
kematian terduga teroris Siyono. Apa yang ingin disampaikan oleh media disebut
juga sebagai wacana.
Terkait dengan analisis wacana pada tataran kritis, teks yang diproduksi
oleh media tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi menyangkut
konteks, di mana dalam bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk
di dalamnya praktik kekuasaan. Wacana yang dibangun oleh media juga dapat
menjadi representasi kekuasaan untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok
menjadi tidak benar atau buruk. Dalam pemberitaan kematian terduga teroris
Siyono, sangat mungkin terjadi misrepresentasi dalam penafsirannya. Penghilangan
dan pemunculan aktor sosial yang terjadi dalam artikel bisa jadi merupakan strategi
yang sengaja dibangun oleh media untuk mengarahkan persepsi masyarakat agar
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media.
Berita yang diterbitkan oleh media biasanya diterima sebagai kebenaran
atau realitas yang benar-benar terjadi. Kebenaran dalam media adalah bahwa tidak
ada realitas atau kebenaran mutlak dalam media. Sebaliknya media adalah ruang
dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan
5
kelompok lain yang tidak dominan dalam berita. Kelompok-kelompok yang lebih
lemah dan lebih membangkang mendapatkan pers yang lebih buruk dan
berpengaruh lebih sedikit. Paletz dan Entman memberikan contoh kelompok-
kelompok terpinggirkan yang memiliki akses positif kecil atau kontrol yang kecil
terhadap peliputan media, misalnya pengunjuk rasa tidak resmi, pelaku kerusuhan
urban, ibu-ibu makmur, para mahasiswa militan, kaum reaksioner radikal, dan
miskin.4
Siyono termasuk dalam kelompok yang terpinggirkan karena dianggap
radikal, bagian dari kelompok teroris dan diduga sebagai orang yang memiliki
peran penting dalam memasok senjata kelompok Jamaah Islamiyah. Eksekusi
Siyono yang dilakukan oleh Densus 88 tentu menyalahi aturan karena
bagaimanapun seorang tersangka tidak boleh dihakimi sebelum proses pengadilan
dilaksanakan. Maka dapat dikatakan sebelum ada proses peradilan status Siyono
adalah warga negara biasa dan belum bisa dikatakan bersalah. Seperti yang kita
ketahui bahwa Densus 88 berada dalam institusi kepolisian dan dilindungi oleh
pemerintah, berita tentang terorisme juga sangat dijaga ketat oleh pihak kepolisian
maka besar kemungkinan bahwa kebenaran atas kejadian tersebut terdistorsi oleh
penyaringan berita yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Ketika berita disampaikan oleh kepolisian kepada media, maka terjadilah
interaksi antara wacana dengan pengaruh-pengaruh internal dan eksternal media
seperti yang sudah dipaparkan di paragraf sebelumnya. Sikap kehati-hatian media
dan kepentingan di dalamnya saat memberitakan isu terorisme justru menciptakan
4 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi 6 Buku 2, (Jakarta: SalembaHumanika, 2011), h. 21
6
posisi salah satu aktor menjadi terpinggirkan. Seperti dua media yang menjadi
perhatian penulis, yaitu Media Indonesia dan Republika. Wacana yang disampaikan
oleh kedua media tersebut terlihat berbeda walaupun pada peristiwa atau kejadian
yang sama. Hal ini mengarahkan pada asumsi bahwa kasus ini adalah kasus yang
merepresentasikan kepentingan antara pemerintah dan warga sipil dengan kata lain
kasus ini dijadikan sebagai pertarungan wacana antar media. Berdasarkan asumsi
di atas maka semakin menguatkan asumsi lain yang menyatakan bahwa tidak ada
media yang melahirkan sebuah wacana tanpa adanya subjektivitas.
Melihat dari adanya upaya pemarjinalan kelompok yang dilakukan oleh
kedua media dalam mewacanakan kasus ini, bagaimana lingkaran kepentingan
saling berinteraksi untuk membentuk wacana dan bagaimana ideologi media
mempengaruhi berita maka peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan
judul “Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media
Indonesia dan Republika”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana Media
Indonesia dan Republika mewacanakan kasus kematian terduga Teroris Siyono?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian
ini adalah untuk mengetahui bagaimana Media Indonesia dan Republika
mewacanakan kasus kematian terduga teroris Siyono.
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Pada segi akademis, penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan
teori komunikasi terutama penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
analisis wacana pada tataran kritis. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan mengenai
wacana di media massa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat memberi referensi bacaan untuk
publik. Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi dan data penunjang pengetahuan mengenai studi ilmu komunikasi.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian mengenai analisis wacana isu terorisme khususnya kinerja
Datasemen Khusus 88 pada kasus kematian terduga teroris Siyono, peneliti
melakukan tinjauan pustaka kepada penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian
yang memiliki keterkaitan dengan skripsi ini yaitu:
1. Skripsi yang berjudul “Kepemilikan Media Dalam Mencitrakan Partai Politik
(Analisis Wacana Kritis Berita Partai Politik Nasional Demokrat Dalam
Kolom Indonesia Memilih Harian Umum Media Indonesia)” yang ditulis oleh
Anggy Agustin, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam tahun 2014. Skripsi ini
membahas tentang bagaimana media mencitrakan partai Nasional Demokrat
menggunakan analisis wacana kritis model Teun A. van Dijk. Kesimpulan dari
8
skripsi ini adalah bahwa wacana yang dibentuk oleh Media Indonesia sengaja
dibentuk lebih dominan diantara partai politik lainnya dan dicitrakan secara
positif.
2. Jurnal yang berjudul “Pemberitaan Gubernur Bali, Mangku Pastika, Dalam
Surat Kabar Bali Post: Analisis Strategi Eksklusi-Inklusi Theo Van Leeuwen”
yang ditulis oleh Titan Ratih Bestari, Gd. Artawan, dan I Nyoman Yasa,
mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja yang diterbitkan sebagai e-journal Universitas
Pendidikan Ganesha JPBSI, Volume: Vol 2 No: 1 Tahun 2014. Jurnal ini
mendeskripsikan strategi inklusi dan eksklusi yang dilakukan oleh Bali Post
pada memberitakan Gubernur Bali, Mangku Pastika menggunakan model Theo
van Leeuwen. Kesimpulannya menyatakan bahwa media bersikap tidak netral
dengan cara memilih narasumber yang lebih dominan pada struktur kekuasaan.
Dari skripsi dan jurnal yang peneliti temukan dan peneliti jadikan sebagai
acuan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa belum ada mahasiswa
Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang meneliti tentang kematian terduga
teroris Siyono menggunakan model analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh
Theo van Leeuwen. Maka dari itu peneliti tertarik meneliti permasalahan tersebut
dengan judul “Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada
Media Indonesia dan Republika”
9
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk
menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi
sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah
dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat dipahami. Bogdan
dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.5
Penelitian ini menggunakan pendekatan bahasa kritis yang dikembangkan oleh
Theo van Leeuwen. Pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada
susunan gramatikal yang membentuk suatu pandangan bahwa tata bahasa dapat
digunakan sebagai media penyampai ideologi yang dilakukan oleh kelompok
dominan.
Analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya pengungkapan
maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Metode analisis berbeda dengan analisis isi kualitatif yang lebih menekankan
pada pertanyaan apa (who), analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana
(how) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita
bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga
pesan itu disampaikan dengan melihat bagaimana struktur kebahasan tersebut.6
5 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h.3
6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007). h, 23
10
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah tim redaksi Media Indonesia dan Republika,
sedangkan objek penelitian ini adalah berita mengenai kematian terduga teroris
Siyono di Media Indonesia edisi 5 April dan Republika edisi 2 April 2016.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun tahapan-tahapan dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan
dua metode, yaitu:
a. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara (interview) dengan pihak-pihak
terkait di kedua media, yaitu Usman Kansong selaku pimpinan redaksi
Media Indonesia dan Fitriyan Zamzami selaku redaktur halaman satu
harian Republika.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca, dan
mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau jurnal)
yang terdapat di perpustakaan, internet, atau instansi lain yang dapat
dijadikan referensi analisis dalam penelitian.
4. Teknik Analisis
Teknik analisis data menggunakan analisis bahasa kritis model Theo van
Leeuwen yang membagi perhatian analisisnya menjadi dua, yaitu proses
pengeluaran (exclusion) dan pemasukan (inclusion).
Tahap pertama, penetapan subjek dan objek penelitian. Dalam tahap ini
peneliti berhadapan dengan isi media sebagai subjek penelitian yang menjadi
tempat penggalian atau pengungkapan ideologi dari objek yang
11
direpresentasikan. Tahap kedua, setelah peneliti menetapkan fokus teks yang
akan diteliti berikutnya peneliti melakukan analisis dengan mengidentifikasi
elemen wacana yang muncul tentang permasalahan ideologi yang telah
dirumuskan, kemudian mengkategorikannya sesuai dengan landasan teori atau
fenomena yang ditemukan. Tahap ketiga, merupakan tahap interpretasi
terhadap temuan-temuan mengenai elemen wacana, atau frame, atau kode-
kode yang menunjukkan representasi ideologi, atau perjuangan ideologi atau
dominasi ideologi.7 Tahap keempat, peneliti membandingkan hasil interpretasi
dari kedua media.
Berdasarkan data yang didapat dari tiga tahap tersebut kemudian dianalisis
dengan melewati tiga tahapan analisis data dalam penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu (1) pereduksian data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan
simpulan/pembuktian, (4) perbandingan.
5. Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di kantor Media Indonesia dan Republika. Kantor
Media Indonesia terletak di Jalan Pilar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan,
Komplek Delta Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta 11520 – Indonesia. Website:
mediaindonesia.com, telp. +6221 581 2088, fax. +6221 581 2102 (redaksi) dan
Kantor Republika terletak di Jalan Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan
12510 – Indonesia. Email: [email protected].
7 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), h. 115
12
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai skripsi ini maka penulis
akan menguraikan dalam 5 bab.
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan. Bab ini memberikan gambaran atau kerangka
dari penelitian yang dilakukan.
BAB II KAJIAN TEORI
Pada bab ini peneliti menjelaskan landasan teori yang digunakan
dalam memaparkan kasus yang diteliti. Bab ini meliputi konsep
tentang media, berita, analisis wacana, dan kerangka analisis
wacana.
BAB III GAMBARAN UMUM MEDIA INDONESIA DAN HARIAN
REPUBLIKA
Penulis akan menggambarkan mengenai sejarah berdiri Media
Indonesia dan Harian Republika, Visi dan Misi, dan struktur
organisasi.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini menguraikan proses inklusi dan ekslusi yang
dilakukan oleh Media Indonesia dan Harian Republika dan
menjelaskan data hasil temuan strategi inklusi dan ekslusi yang
digunakan masing-masing media pada pemberitaan mengenai
kematian terduga teroris Siyono.
13
BAB V PENUTUP
Pada bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan mulai dari tahap
awal hingga akhir penelitian. Selain kesimpulan peneliti juga akan
memasukkan saran yang bermanfaat bagi pihak yang terkait dalam
penelitian ini.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Analisis Wacana
Analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan wacana. Analisis
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyelidikan terhadap
suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-baiknya, penguraian suatu pokok
atas berbagai bagian, serta karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami
pertalian antar unsur tersebut.1
Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta wak/wak/uak
yang memiliki arti ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kemudian kata tersebut mengalami
perubahan menjadi wacana. Kata ‘ana’ yang berada dibelakang adalah bentuk
akhiran yang bermakna ‘membendakan’, dengan demikian, kata wacana dapat
dilakukan sebagai perkataan atau tuturan.2
Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli linguistik (ahli
bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa inggris ‘discourse’, kata
‘deiscourse’ sendiri berasal dari bahasa Latin, discursus (lari ke sana lari ke mari).
Kata ini diturunkan dari kata ‘dis’ (dan/dalam arah yang berbeda-beda) dan kata
‘curere’ (lari).3
Dalam kamus bahasa indonesia kontemporer, terdapat tiga makna dari
istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua, keseluruhan tutur
1 Depdikbud, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet ke-1 1998), h. 322 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 33 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, ( Yogyakarta: Kanisius,
1993) h. 3
15
atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar,
terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku,
artikel.4
Dalam buku Aris Badara, Stubs mengatakan, analisis wacana merupakan
merupakan suatu kajian yang meneliti bahasa yang digunakan secara alamiah, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Secara ringkas, analisis wacana yang
menggunakan paradigma kritis bertujuan untuk membongkar relasi kuasa yang
bersembunyi di balik proses bahasa. Melalui pandangan tersebut, wacana selalu
dikaitkan dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk posisi aktor
sosial yang terlibat dan representasi peristiwa yang terjadi di masyarakat.5 Wacana
kritis melihat bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai. Bahasa
dipandang memiliki kekuatan sebagai alat penyebar ideologi dominan. Penempatan
suatu kelompok dalam teks apakah posisinya dimarjinalkan atau tidak merupakan
salah satu indikator adanya kepentingan yang mempengaruhi suatu wacana. Dalam
hal ini berarti wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar,
terkontrol dan bukan sesuatu yang tidak disadari.
B. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen
Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk
mengetahui bagaimana seseorang atau kelompok dimarjinalkan posisinya dalam
suatu wacana. Dalam pandangan Theo, kelompok dominan lebih memegang kuasa
4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Modern English Press, edisi ke -3 2002), h. 1709
5 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 18
16
dalam menafsirkan peristiwa yang terjadi dan berdampak pada pemaknaan secara
buruk kepada kelompok yang tidak dominan.
Analisis Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-
pihak atau aktor ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua fokus dalam analisis
Theo, pertama proses pengeluaran (exclusion), apakah dalam suatu teks berita, ada
kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan bagaimana strategi
wacana yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion). Jika
exclusion berhubungan dengan pertanyaan bagaimana proses suatu kelompok
dikeluarkan dari teks pemberitaan, maka inclusion berbicara sebaliknya, bagaimana
masing-masing pihak ditampilkan lewat pemberitaan. 6
1. Eksklusi
Eksklusi adalah proses pengeluaran aktor dalam suatu berita. Proses ini
secara disadari atau tidak dapat melegitimasi suatu pemahaman tertentu.
Seperti tidak adanya pihak yang dilibatkan atau bisa juga berguna untuk
melindungi suatu aktor atau kelompok tertentu. Strategi eksklusi dapat
diuraikan menjadi tiga, yaitu:
1.1 Pasivasi
Salah satu bagian dari dari eksklusi adalah dengan menggunakan
kalimat pasif. Melalui kalimat pasif, aktor tidak dihadirkan dalam teks.
Biasanya penggunaan kalimat pasif diawali dengan imbuhan di- pada awal
kalimat.
6 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiSYogyakarta, 2009), h.171
17
1.2 Nominalisasi
Salah satu bagian eksklusi yang merupakan strategi untuk
menghilangkan kelompok aktor sosial tertentu bisa juga melalui
nominalisasi. Strategi ini berkaitan dengan pengubahan kata kerja (verba)
menjadi kata benda (nomina). Nominalisasi tidak membutuhkan subjek,
karena nominalisasi pada dasarnya merupakan proses mengubah kata kerja
yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna
peristiwa. Hubungannya dengan wacana pada media, Eriyanto
berpendapat bahwa redaksi umumnya sering kali dan lebih senang
memberitahukan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan
dengan bentuk tindakan. Bentuk nominal umumnya lebih menyentuh
emosi khalayak. Misalnya pada kata kerja dibunuh, jika diganti menjadi
pembunuhan akan berbeda maknanya. Secara tidak sadar, biasanya
pengubahan kata kerja menjadi kata benda ini akan menyembunyikan
aktor atau pelaku dan membuat pembaca tidak kritis.
1.3 Penggantian Anak Kalimat
Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan menggunakan
anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. Alih-alih
menghemat kalimat dan menganggap bahwa semua asumsi pembaca akan
sama, tapi justru akan menyembunyikan aktor.
2. Inklusi
Menurut van Leeuwen, strategi wacana yang digunakan untuk
menampilkan sesuatu, seseorang atau kelompok (inklusi) di dalam teks.
Menurut van Leeuwen, hadirnya peristiwa atau kelompok lain selain yang
18
diberitakan bisa menjadi penanda yang baik bagaimana suatu kelompok atau
peristiwa direpresentasikan dalam teks.
2.1 Diferensiasi – Indeferensiasi
Penggunaan strategi wacana ini dapat diidentifikasi melalui
bagaimana suatu kelompok yang disudutkan dibandingkan dengan cara
menghadirkan kelompok yang lebih dominan dengan wacana yang lebih
baik. Sehingga kelompok yang tidak dominan akan terlihat buruk dan
terpinggirkan.
2.2 Objektivasi – Abstraksi
Menurut van Leeuwen, penyebutan dalam bentuk abstraksi
seringkali berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial disebutkan
dengan memberikan petunjuk yang jelas atau samar-samar. Misalnya
ketika wartawan menyebutkan jumlah massa pada suatu peristiwa
demonstrasi, pilihan kata ‘puluhan ribu demonstran’ dengan ‘sepuluh ribu
demonstran’ tentu akan mempengaruhi persepsi khalayak tentang jumlah
pendemo. Penyebutan dalam bentuk abstraksi biasanya tidak hanya
disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang jelas
tetapi hal tersebut merupakan strategi wartawan untuk menampilkan
sesuatu.
2.3 Nominasi – Kategorisasi
Strategi nominasi – kategorisasi berkaitan dengan bagaimana cara
aktor digambarkan dalam sebuah wacana. Apakah ditampilkan apa adanya
atau dikategorikan (agama, status, bentuk fisik, dsb). Menampilkan aktor
dengan kategori tertentu dapat merepresentasikan bahwa peristiwa tertentu
19
identik dengan suatu kelompok tertentu. Namun, tidak semua penyebutan
memberikan informasi tambahan mengenai aktor. Misalnya penyebutan
‘Habibie’ diubah menjadi ‘suami setia’, pemberian kategori bahwa
Habibie adalah sorang suami yang setia sebenarnya tidak memberikan
pengaruh informasi apa pun tentang peristiwa. Namun, penambahan
kategori ‘suami setia’ akan menambahkan informasi mengenai siapa laki-
laki tersebut.
2.4 Nominasi – Identifikasi
Strategi nominasi – identifikasi hampir mirip dengan kategorisasi,
yaitu berbicara mengenai bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau
tindakan didefinisikan. Perbedaannya terletak pada penambahan anak
kalimat yang bertujuan memberikan penilaian ke arah mana peristiwa yang
akan dijelaskan. Misalnya pada kalimat ‘soekarno yang dikenal sebagai
presiden pertama indonesia, ternyata berasal dari keluarga yang kurang
mampu’. Penambahan anak kalimat menentukan arah pembicaraan,
biasanya penambahan anak kalimat diarahkan kepada wacana yang buruk
sehingga akan mempengaruhi persepsi khalayak.
2.5 Determinasi – Indeterminasi
Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan
secara jelas, tetapi bisa juga disebutkan tidak jelas (anonim). Anonimitas
dapat terjadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk
menuliskannya, sehingga lebih aman untuk menulis secara anonim.
Misalnya, ‘Sandiaga Uno disebut-sebut merupakan calon gubernur terkaya
dibanding saingannya’. Jika dibandingkan dengan kalimat ‘pemuda yang
20
baru terjun ke dunia politik ini disebut-sebut merupakan calon gubernur
terkaya dibanding saingannya’. Pada kalimat kedua penyebutan ‘pemuda
yang baru terjun ke dunia politik’ akan menghasilkan makna jamak.
Sehingga ada dua orang yang dituju, antara Agus Yudhoyono dan
Sandiaga Uno.
2.6 Asimilasi – Individualisasi
Asimilasi – individualisasi adalah sebuah strategi wacana yang
berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial yang diberitakan
ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak. Ketika dalam
pemberitaan yang disebutkan adalah komunitas atau kelompok sosial yang
ditempatkan oleh aktor, itulah yang disebut asimilasi. Misalnya ketika artis
‘Rio Dewanto’ disebut sebagai ‘aktor muda indonesia’, maka persepsi
khalayak akan menjadi bias karena aktor muda indonesia tidak hanya Rio
Dewanto.
2.7 Asosiasi – Disosiasi
Strategi ini berhubungan dengan pertanyaan apakah aktor atau suatu
pihak ditampilkan sendiri ataukah dihubungkan dengan kelompok lain
yang lebih besar. Strategi ini ingin melihat apakah suatu peristiwa atau
aktor sosial dihubungkan dengan peristiwa lain atau kelompok lain yang
lebih luas dan mendapatkan makna yang lebih luas.7
7 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 173
21
C. Marjinalisasi
Marjinalisasi adalah upaya penggambaran secara buruk kepada pihak atau
kelompok lain. Berbeda dengan eksklusi, jika pada eksklusi ada pembagian pihak
kita dan pihak lain. Namun, di marjinalisasi penggambaran secara buruk tidak ada
pemilahan pihak kita dan pihak mereka. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa
sebagai strategi wacana marjinalisasi.
1. Penghalusan makna (eufimisme)
Eufimisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan
kepada masyarakat bawah sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama
menipu masyarakat bawah.
2. Pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme)
Umumnya digunakan untuk menyebut tindakan yang dilakukan
masyarakat bawah. Pemakaian kata kasar seperti “pencaplokan”,
“penyerobotan” membuat realitas perilaku menjadi kasar.
3. Labelisasi
Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh kelas
dominan untuk menundukkan orang yang berada di kelas bawah. Sebutan
“penggarap liar” misalnya, mengasosiasikan di benak khalayak bahwa para
petani penggarap sawah adalah liar dan melanggar hukum. Pemakaian label ini
tidak hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga
memiliki kesempatan bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan
tindakan tertentu.
22
4. Stereotipe
Stereotipe adalah penyamaan kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif
atau positif. Stereotipe adalah praktik representasi yang mengggambarkan
sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif.
Misalnya wanita cantik harus berkulit putih. Stereotipe bahwa wanita cantik
adalah yang berkulit putih, tentu akan meminggirkan wanita yang tidak berkulit
putih menjadi tidak cantik.8
D. Konsep Berita
1. Pengertian Berita
Haris Sumadira mengutip pendapat dari Paul De Manssener menyatakan
bahwa news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik
perhatian serta minat khalayak. Berdasarkan buku Teknik Menulis Berita dan
Faeture yang ditulis oleh Haris Sumadira, Charnley dan James M. Neal
berpendapat bahwa berita adalah laporan tentang suatu peristiwa atau opini,
kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru
dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak.9
Menurut Eni Setiati, berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang
dilaporkan segera yang didapat di lapangan dan siap untuk dilaporkan.
Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa, belum tentu telah
menemukan peristiwa. Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah
memahami proses atau jalan cerita, yaitu harus tau apa (what) yang terjadi,
8 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 1249 AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia: Tekhnik Menulis Berita dan Feature,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64
23
siapa (who) yang terlibat, bagaimana kejadian itu terjadi (how), kapan (when)
terjadi, dimana (where) peristiwa itu terjadi, dan mengapa (why) sampai terjadi.
Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.10
Setelah merujuk kepada beberapa definisi di atas, maka dapat
disimpulkan berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru
yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui
media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau media online internet.11
2. Nilai-nilai Berita
Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita yang
digunakan sebagai patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana
yang pantas untuk diliput, dan mana yang tidak. Kriteria nilai umum berita,
menurut Brian S. Brooks, George Kennedy, Darly M. Moen, dan Doen Ranly
dalam buku “News Reporting and Editing” menunjuk kepada sembilan hal.
Beberapa pakar lain menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks
(sex) dalam segala dimensi, juga termasuk ke dalam kriteria umum nilai berita
yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan editor media
massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris Sumadira dalam
bukunya “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature” yakni:
a. Keluarbiasaan (unsualness)
b. Kebaruan (newsness)
c. Akibat (impact)
d. Aktual (timelines)
10 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: Andi Publisher,2005), h. 18
11 AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia Tekhnik Menulis Berita dan Feature, h. 64
24
e. Kedekatan (proximity)
f. Informasi (information)
g. Konflik (conflict)
h. Orang penting (prominence)
i. Ketertarikan manusiawi (human interest)
j. Kejutan (suprising)
k. Seks (sex).12
Tingkat pentingnya suatu berita atau isu dapat ditunjukkan dengan
melihat dari headline, halaman pertama, judul yang mencolok, frekuensi
pemuatan, rubrik-rubrik utama atau penyajian yang memiliki nilai berita yang
tinggi atau konflik.13
E. Konsep Ideologi
Ideologi sering digunakan dalam praktik kehidupan. Dalam bernegara
istilah ideologi menunjukkan landasan filosofis suatu negara, misalnya pancasila.
Pada masa orde baru, pemerintah menetapkan ideologi yang boleh hidup hanya
ideologi pancasila. Seluruh golongan dan perilaku kehidupan masyarakat harus
berdasarkan ideologi tunggal, yaitu pancasila.
Setelah masa reformasi, setiap lembaga, kelompok masyarakat bahkan
individu diperbolehkan memiliki ideologinya masing-masing kecuali ideologi
komunis yang dinyatakan terlarang. Partai politik memiliki ideologinya masing-
masing yang seperti nilai kerakyatan. Dalam praktik ekonomi, ideologi digunakan
sebagai landasan yang dianut dalam mengatur supply dan demand barang dan jasa.
12 AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia Tekhnik Menulis Berita dan Feature, h. 8013 Hamidi, Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, (Malang: UMM Press, 2007), h. 81
25
Kepemilikan ideologi selain ditujukan kepada negara, kelompok, organisasi
atau perorangan, juga sebagai landasan dan orientasi nilai yang dianut dalam
praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi bisa juga merupakan nilai yang ditetapkan
dan dipaksakan oleh suatu kekuatan atau murni dari refleksi nilai-nilai yang dianut
individu atau kelompok lain.
Thompson dalam bukunya Udi Rusadi berpendapat bahwa konsep ideologi
memiliki sejarah yang panjang dan telah digunakan dalam berbagai analisis pada
kajian ekonomi, politik dan sosial. Konsep-konsep yang berkembang menunjukkan
sesuatu yang ambigu. Pertama, ideologi memiliki pengertian yang netral, yaitu
sebagai sistem pemikiran, sistem keyakinan atau sistem simbol yang berhubungan
dengan tindakan sosial dan praktik politik. Pengertian ideologi dalam perspektif
kritikal memandang ideologi yang secara mendasar merupakan proses pembenaran
relasi kuasa yang tidak seimbang atau digunakan untuk melegitimasi praktik
penguasaan atau dominasi. Konsepsi yang kedua ideologi merupakan sebuah proses
kesadaran yang dipaksakan dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu
orang ke seorang atau sekelompok lain sehingga tercipta suatu dominasi.
Dari banyak definisi yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, Raymon
William sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya John Fiske dan dikutip
kembali ke dalam buku Udi Rusadi, mengemukakan ada tiga definisi utama yang
biasa digunakan, yaitu ideologi sebagai sistem kepercayaan dari suatu kelompok
atau kelas, ideologi sebagai ilusi atau kesadaran palsu dan ideologi sebagai proses
produksi makna.
a. Pengertian pertama berasal dari para pakar psikologi yang memandang
ideologi sebagai pengorganisasian sikap sehingga menjadi suatu bentuk atau
26
pola yang koheren. Artinya, beberapa sikap mengenai suatu objek yang satu
sama lain terkait dan menjadi suatu kepercayaan bersama, menjadi ideologi.
Oleh karena itu, terbentuknya ideologi ditentukan oleh kelompok atau
masyarakat dan bukan hal yang spesifik ditentukan individu tertentu.
b. Ideologi dalam pengertian kedua yaitu sistem keyakinan yang hanya menjadi
sebuah ilusi, atau kesadaran palsu. Dalam pengertian ini ideologi diciptakan
oleh kelas yang berkuasa untuk melanggengkan dominasinya terhadap
kelompok subordinat lainnya. Caranya dengan melakukan pengendalian
berbagai alat utama bagi para pekerja yang tampak seperti alami dan seperti
tampak suatu yang benar. Dalam konteks ini, pihak yang berkuasa melakukan
propaganda dan memberikan “iming-iming” kepada kelompok subordinat
bahwa mereka akan memperoleh keuntungan atau kebaikan.
c. Ideologi pada konsep ketiga digunakan untuk menggambarkan proses produksi
makna. Dalam konteks ini sebagaimana pemikiran Roland Barthes ideologi
merupakan penanda yang memilki makna konotatif yang disebutnya retorika
ideologi yang menjadi sumber pemaknaan tataran kedua. Tataran pertama (first
order signification), ialah tahap pembentukan makna denotatif yang
tahapannya melalui interaksi antara penanda (signifier) dan petanda (signified).
Tataran kedua (second order) merupakan tahapan pembentukan makna
konotasi dan mitos. Oleh karena itu, niilai konotatif dan mitos merupakan
ideologi yang kegunaannya bisa diwujudkan.
Ketiga konsep ideologi tersebut menurut Fiske saling berkaitan. Konsep
ideologi kedua merupakan implementasi dari konsep pertama. Kemudian konsep
satu dan dua berada dalam konsep ideologi yang ketiga yaitu pada proses produksi
27
makna. Dalam konteks yang berkaitan ini, sistem kepercayaan yang terbentuk
misalnya kapitalisme, diimplementasikan untuk pengembangan kesadaran palsu
dalam rangka melakukan penguasaan atau praktik dominasi. Ideologi kapitalisme
dan praktik dominasi direpresentasikan dalam berbagai tanda-tanda sehingga
makna bisa kita baca. Tahapan tersebut merupakan proses peroduksi makna, dalam
pengertian ideologi yang ketiga.14
1. Ideologi Media
Ideologi media memiliki pengertian ideologi yang dimiliki oleh media
sebagai sebuah institusi atau landasan hidup media. Konsep ideologi yang
dapat ditarik dalam tiga kategori ideologi menurut pandangan para pemikir
non-marxis, marxis, dan neo-marxis.
Pandangan non-marxis meilhat ideologi merupakan sistem kepercayaan
bagi setiap individu atau kelompok. Ideologi media dalam pandangan non-
marxis dapat dilihat dari teori normatif tentang media. Teori tersebut
mengemukakan pola kekuasaan yang mengendalikan media, di mana
kekuasaan media dihubungkan dengan struktur kekuasaan di negara di mana
media hidup. Sebagaimana Siebert mengungkapkan bahwa sistem pers ATAU
media di suatu negara akan menyesuaikan dengan sistem politik di mana media
itu berada.
Pandangan teori-teori marxis, yaitu ekonomi politik kritikal, yang
mengkaji kaitan antara relasi sosial dengan permainan kekuasaan. Fokusnya
untuk melihat bagaimana makna yang diungkapkan media dipengaruhi oleh
14 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), h. 51
28
struktur asimetris dari relasi sosial. Ideologi media dalam perspektif ini
dibedakan menurut varian ekonomi kritikal yaitu instrumentalis dan
strukturalisme. Dalam pandangan instrumentalis, kajian media memfokuskan
pada cara-cara kapitalisme menggunakan kekuatan ekonomi untuk menjamin
agar arus informasi sesuai dengan kepentingannya. Dalam hal ini media
dimiliki secara pribadi sebagai instrumen kelas dominan sehingga ideologi
yang menguasainya adalah kapitalisme.
Sedangkan menurut ekonomi politik strukturalisme, media dikuasai dan
dikendalikan oleh struktur yang berlaku yaitu struktur yang dominan. Dalam
pandangan ini yang menguasai bukanlah individu, tetapi aturan-aturan atau
sistem, yaitu sistem negara, sistem kelompok atau penelitian-penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan perspektif Marxis (klasik/fundamentalis) ini
dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti dari proses produksi, distribusi dan
konsumsi pada praktik industri media.
Studi tentang ideologi media menurut perspektif neo-marxis,
sebagaimana dikemukakan oleh Althusser, dilakukan dengan menunjukkan
ideologi sebagai hasil dari proses pengalaman dan merupakan representasi
imajiner dari realitas yang menunjukkan eksistensi suatu individu atau
kelompok. Posisi ideologi tidak selalu ditentukan oleh penguasaan ekonomi,
tetapi ideologi bisa tumbuh otonom dari proses pengalaman. Pemikir neo-
marxis menganut paham bahwa ideologi dalam posisi tidak ditentukan oleh
faktor ekonomi sebagaimana juga para pemikir neo-marxis yang lain seperti
Antonio Gramsci.15
15 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, h. 82
29
F. Konsep Terorisme
Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptkan atau
mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang luas,
dibandingkan hanya jatuhnya korban kekerasan. Dalam perkembangannya lalu
muncul suatu konsep yang memberi pengertian bahwa terorisme adalah cara atau
teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik
tertentu.
Dalam buku Hendropriyono mengutip pendapat Whittaker tentang beberapa
pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang menyatakan, bahwa
terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan
hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan
masyarakat umum. Terorisme adalah penggunaan atau ancaman penggunaan
kekerasan yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik.
Beberapa pengertian lain yang dikutip dari FBI, terorisme adalah
penggunaan kekuatan atau kekerasan secara di luar hukum terhadap manusia dan
harta benda untuk menakut-nakuti suatu pemerintahan, penduduk sipil, atau bagian
dari mereka dengan sasaran lebih lanjut adalah hal yang menyangkut politik atau
sosial.
Dari suatu forum diskusi antara para akademisi, profesional, pakar,
pengamat politik, dan diplomat tertentu, yang diadakan di kantor Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan pada tanggal 15 September 2001,
menyimpulkan pengertian terorisme, sebagai berikut: “Terorisme dapat diartikan
sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstremis, suku
30
bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan, yang tidak dapat dicapai
melalui saluran resmi atau jalur hukum.”
Negara Barat bahkan menuliskan pengertian terorisme secara resmi melalui
undang-undang negara, yang merupakan payung hukum untuk diterjemahkan
kedalam berbagai strategi operasional masing-masing dalam kegiatan-kegiatan
antiterorisme. Amerika Serikat telah mendefinisikan terorisme menurut Kode
Kriminal Federal (Chapter 113B of Part I of Title 18 of the United States Code,
tentang terorisme dan daftar tindakan kriminal yang berhubungan dengan
terorisme). Pada Section 2331 of Chapter 113b, terorisme didefinisikan sebagai
‘kegiatan-kegiatan yang melibatkan kekerasan atau aksi-aksi yang mengancam
kehidupan, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang kriminal
Amerika Serikat atau negara manapun dan yang terjadi karena keinginan untuk (i)
menakut-nakuti atau memaksa penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan
pemerintah dengan intimidasi atau paksaan, atau (iii) memberikan dampak terhadap
langkah suatu pemerintah dengan cara perusakan massal, pembunuhan atau
penculikan; dan terjadi pada mulanya di dalam jurisdiksi teritorial Amerika Serikat
atau terjadi pada mulanya di luar jurisdiksi teritorial Amerika Serikat’.
Inggris mendefinisikan terorisme dalam Terrorism Act 2000, sebagai
penggunaan ancaman yang dirancang untuk memperngaruhi pemerintah atau
menakut-nakuti masyarakat umum atau kelompok masyarakat dan penggunaan
ancaman yang dilakukan untuk kepentingan pengembangan suatu kepentingan
yang bersifat politik, agama atau ideologi yang melibatkan kekerasan secara nyata
(serius) terhadap manusia, melibatkan perbuatan yang merusak harta benda,
membahayakan kehidupan manusia selain dirinya sendiri dan menimbulkan suatu
31
akibat nyata terhadap kesehatan atau keamanan masyarakat umum atau kelompok
masyarakat atau dicancang secara nyata (serius) untuk mengganggu.
Pengertian tentang terorisme dapat dirangkum dari hasil kajian filsafat
analitis bahasa. Sebagai suatu metode berpikir yang radikal (mendalam) dan
bersifat netral, filsafat analitis bahasa tidak memberikan penafsiran tentang realitas
dan tidak ikut campur dalam penggunaan bahasa.
Penerapan verification principle untuk menguji apakah suatu pernyataan itu
dapat dikatakan sebagai bermakna atau tidak, merupakan suatu cara yang
bertentangan dengan prinsip metafisika. Hal tersebut berarti, bahwa analitika
bahasa tidak akan meneliti terorisme dari sisi historis, ideologis ataupun penafsiran
teologisnya. Analisis bahasa hanya melakukan verification (verifikasi) terhadap
ungkapan-ungkapan dari pihak Osama bin Laden, yang mencerminkan
pemikirannya tentang realitas dunia dan mengapa dia melakukan terorisme.
Dari verifikasi tersebut ditemukan letak ketidakterakturan pemikiran Osama
bin Laden. Tugas filsafat adalah melakukan kritik terhadap kekeliruan-kekeliruan
yang terjadi, bukan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada
ungkapan-ungkapan mereka yang selama ini tidak perlu lagi mendapatkan kritik.
Jika konsep analitis diterapkan di sini, maka secara filosofis pengertian
terorisme dapat ditemukan melalui dua pendekatan:
1. Dari segi keseluruhan yang lebih besar, yang di dalamnya terdapat bagian
eksistensi terorisme.
2. Dari segi bagian-bagian yang menyusun suatu kesatuan yang lebih besar, yang
merupakan eksistensi terorisme.
32
Secara sistematik kedua pendekatan tersebut digunakan sebagai kerangka
penelitian filosofis agar dapat menjawab pertanyaan yang sederhana tentang esensi
makna dari terorisme.
Pendekatan pertama, terorisme merupakan suatu ide tentang tindak
kekerasan atau ancaman kekerasan. Terorisme dalam konteks ini merupakan bagian
dari suatu wacana besar tentang ilmu perang, seperti perang terbatas maupun perang
total, perang terbuka maupun clandestine campaign (kampanye tertutup,
klandestin, gerakan bawah tanah) serta filsafat perang. Pendekatan kedua, terorisme
merupakan suatu konsep yang tersusun dari prinsip: 1. Ketidakteraturan pikiran dan
masalah dalam kepribadian manusia. 2. Psikologi massa (public), baik publik yang
ketakutan maupun publik yang menaruh simpati buta.
Pelembagaan terhadap penghalalan segala cara dan penggalangan opini
publik inilah yang merupakan eksistensi terorisme. Terorisme merupakan suatu
realitas dan realitas di dunia tersebut diwujudkan dalam bahasa, yang merupakan
ungkapan pemikiran dari seseorang yang hidup dalam kemajemukan
lingkungannya. Bahasa dalam terorisme digunakan sebagai ungkapan pemikiran
Osama bin Laden dan George Walker Bush di dalam refleksinya menghadapi
realitas. Suatu konsep dinyatakan dalam bentuk ungkapan dan ungkapan pemikiran
adalah suatu bahasa. Ekspresi dalam terorisme menggunakan bahasa yang menjadi
masuk akal, karena digunakan manusia untuk menyampaikan pesan mereka kepada
manusia lain.
Pelaku terorisme bukan hanya perorangan atau jaringan seperti Al Qaeda,
tetapi juga termasuk negara. Tindak kejahatan dengan kekerasan yang dilakukan
mereka baik secara fisik ataupun psikologis, berlaku terhadap siapa saja tanpa
33
batasan atau tidak terkecuali, baik terkait ataupun tidak terkait dengan hal yang
sedang dipermasalahkan. Keberhasilan atau kegagalan terorisme tergantung kepada
opini publik yang terbentuk untuk mendukung eksistensinya.
Kebutuhan dukungan publik yang dilontarkan oleh Osama bin Laden
tampak dari tindakan bahasa yang bertujuan untuk mempengaruhi dapat dilihat dari
kutipan sebagai berikut “...the american people rose against their government’s
war in Vietnam. They must do the same today. The american people should stop the
massacre... by their government.” (Rakyat Amerika dulu bangkit menentang
pemerintahannya dalam perang di Vietnam. Mereka harus melakukan hal yang
sama sekarang ini. Rakyat Amerika harus menghentikan pembunuhan yang
dilakukan oleh pemerintah mereka).
Dari ungkapan Osama bin Laden tersebut terlihat bahwa ia menginginkan
rakyat Amerika bergerak seperti yang terjadi di masa perang Vietnam dahulu,
sehingga membuat Amerika Serikat menderita kekalahan. Bahasa yang digunakan
Osama bin Laden merupakan bahasa orang yang mengharapkan sesuatu, dari
kenyataan yang pernah berlaku di Vietnam. Kenyataan hidup manusia berada dalam
satu keanekaragaman, sebagaimana dalam bahasa yang dijumpai sehari-hari.
Keanekaragaman yang dimaksud oleh Wittgenstein bukanlah bermacam-macam
bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Jepang,
dan semacamnya, serta juga bukan bahasa kedokteran, bahasa sastra, bahasa
filsafat, dan semacamnya, melainkan keanekaragaman bahasa yang kita jumpai
dalam hidup sehari-hari.
Menurut Wittgenstein bahwa permainan kata-kata itu meliputi bahasa
perintah untuk dipatuhi, bahasa lelucon atau komedi, bahasa pertanyaan, bahasa
34
orang berterima kasih, bahasa berdoa, bahasa orang memaki, dan sejenisnya. Setiap
ragam permainan bahasa itu mengandung aturan tertentu yang mencerminkan ciri
khas dari corak permainan bahasa yang bersangkutan. Sebagaimana seperti
biasanya dalam sebuah permainan, orang yang terlibat dalam permainan catur
misalnya, mempunyai aturan sendiri yang tidak sama dengan permainan sepak bola,
begitu pula halnya yang terjadi dalam tata permainan bahasa, masing-masing
mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak mungkin terhadapnya diberlakukan
aturan yang berlaku secara umum. Sebagai suatu relaitas kehidupan, terorisme
adalah ungkapan dari pemikiran atau perasaan para pelakunya sehingga merupakan
suatu bahasa, yang mempunyai aturan sendiri.
Tujuan para pelaku terorisme dan motivasinya di masa lalu beragam, yaitu
demi keuntungan ekonomi (gold), memperoleh gengsi sosial (glory), memaksakan
ideologi, penafsiran keyakinan atau eksploitasi agama, kebudayaan, hegemoni,
kekuasaan, dominasi kultural, atau pemaksaan konsep filsafat.
Terorisme tidak mempunyai nilai, karena nilai dalam aksiologi terdiri atas
etika (baik atau buruk), norma moral (salah atau benar), dan nilai estetika (elok atau
tidak elok). Bahasa dalam terorisme adalah bahasa universal, yang penilaian
terhadapnya juga bersifat universal. Oleh karena itu, nilai dari terorisme
ternegasikan secara penuh oleh jatuhnya korban manusia yang tidak bersalah.
Terorisme menggunakan suatu bahasa dalam mengungkapkan pikiran atau
keyakinan pihak pelaku yang menimbulkan panik dan ketakutan di kalangan
masyarakat luas. Caranya adalah melalui kekerasan ataupun ancaman kekerasan,
baik secara fisik ataupun psikis terhadap siapa saja tanpa terkecuali. Ketakutan yang
meluas itu diharapkan dapat menjadi suatu dukungan publik, untuk menekan
35
sasarannya. Bagi terorisme yang penting adalah mencapai tujuan, walaupun dengan
menghalalkan segala cara.
Dari pembahasan di atas, dapat diperoleh bagian dari sebuah pengertian
tentang terorisme, yaitu terorisme merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh
pihak yang nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Kebenaran yang
dimaksud adalah kebenaran dari sumber pengetahuan para teroris, seperti halnya
semua sumber pengetahuan juga bernilai pasti benar, jika saja alat-alat penerapan
mereka bekerja secara normal.16
16 A. M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: PTKompas Media Nusantara, 2009), h. 25
36
BAB III
GAMBARAN UMUM MEDIA INDONESIA DAN HARIAN REPUBLIKA
A. Sejarah Media Indonesia
Harian umum Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada tanggal 19
Januari 1970 dengan motto “Pembawa Suara Rakyat”, berdasarkan Surat Izin Terbit
(SIT) No. 0856/SK/Dir-PK/SIT/1969 yang dikeluarkan oleh Departemen
Penerangan pada tanggal 6 Desember 1969 dengan ketentuan sebagai berikut:
Pemimpin umum/redaksi perusahaan : Teuku Yousli Syah
Misi penerbitan : Umum/independen
Periode terbit : 7x seminggu
Oplah pertama : 5.000 eksemplar
Jumlah halaman : 4 halaman
Sistem cetak : Letter press
Bahasa : Indonesia
Pada tahun-tahun pertama penerbitan, harian umum Media Indonesia
bukanlah suatu harian yang memuat berita politik atau bisnis, tetapi merupakan
sebuah harian yang pemberitaannya lebih banyak ke bidang hiburan, seperti cerita
artis dan lain sebagainya. Tak heran pada saat itu harian umum Media Indonesia
dikatakan sebagai koran kuning yaitu koran yang penuh dengan cerita gossip.
Dalam rangka memajukan penerbitan harian umum Media Indonesia, ketua
badan yayasan penerbit telah melakukan konsolidasi dan usaha pembenahan di
segala bidang untuk menigkatkan mutu penerbitan Harian Umum Media Indonesia
37
dengan meningkatkan jumlah halamannya dari empat halaman menjadi delapan
halaman setiap harinya.
Perjalanan hidup Harian Umum Media Indonesia seperti kehidupan pers
nasional pada umumnya yaitu tidak lepas dari berbagai kendala dan kesulitan baik
di bidang sumber daya manusia maupun keuangan. Untuk mempertahankan hidup
dari berbagai kesulitan, Harian Umum Media Indonesia sempat pernah mengambil
alternatif terbit secara tidak teratur.
Selanjutnya karena jaman yang semakin kritis dan kehidupan semakin sulit,
maka harian umum Media Indonesia terpaksa harus menghentikan penerbitannya
setiap hari dan diganti dengan terbit satu kali seminggu sehingga nama yang
digunakan tidak lagi surat kabar harian tetapi menjadi surat kabar mingguan.
Sebagai konsekuensi terbit tidak teratur pada tahun 1981 Departemen
Penerangan mengeluarkan sanksi dengan menerbitkan Surat Pembatalan Sementara
terhadap Surat Izin Terbit (SIT) Harian Media Indonesia melalui Surat Keputusan
Menteri Penerangan RI No. 36/SK/Ditjen-PPG/1981, tanggal 1 Desember 1981.
Berdasarkan keputusan sidang pleno XXXI Dewan Pers 1988 di pulau
Batam, Riau, dalam membantu penerbit pers yang masih dalam keadaan lemah
dengan memberikan kesempatan kepada penerbit pers nasional untuk melakukan
kerjasama baik di bidang teknik, manajemen maupun permodalan dengan pihak
lain. Pada akhirnya tahun 1988, Teuku Yously Syah selaku Ketua Yayasan penerbit
“Yayasan Warta Indonesia” melakukan kerjasama dengan Surya Paloh mantan
pemimpin umum harian “Prioritas” yang dibredel tahun 1986. Kerjasama tersebut
berjalan dibidang permodalan dan manajemen baru Harian Umum Media
Indonesia.
38
Tindak lanjut kerjasama manajemen baru Harian Umum Media Indonesia
telah ditingkatkan status badan hukum penerbit dari “Yayasan Warta Indonesia”
menjadi perseroan terbatas PT. Citra Media Nusa Purnama dengan susunan dewan
direksi dan komisaris sebagai berikut:
Komisaris utama : Harry Kuntoro
Komisaris : Teuku Yously Syah
Direktur Utama : Surya Paloh
Direktur : Lestari Luhur
Diikuti dengan perubahan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
sebagai berikut:
Pemimpin umum : Teuku Yously Syah
Pimpinan redaksi : Teuku Yously Syah
Pimpinan perusahaan : Lestary Luhur
Periode terbit :7 x seminggu
Halaman : 16 – 20 halaman
Penerbitan : Berwarna
Kerjasama itu tidak hanya memberikan suntikan modal bagi
berlangsungnya penerbitan Harian Umum Media Indonesia akan tetapi juga
memberikan dampak pada kualitas sumber daya manusia dengan merekrut tenaga-
tenaga profesional muda. Isi penerbitan pun disesuaikan dengan motto ‘Pembawa
Suara Rakyat’ dengan porsi berita sama besarnya antara berita politik dan ekonomi.
Peningkatan kualitas produk berita dilakukan seiring dengan perubahan segmentasi
sasaran pembaca yaitu dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas.
39
Kemudian pada tahun 1992, harian umum Media Indonesia melakukan
inovasi baru yang belum pernah dilakukan oleh harian yang lain yaitu menerbitkan
suplemen berita real estate yang terbit setiap hari jumat dan kemudian disusul
dengan suplemen berita keuangan, otomotif, konsumen, wisata dan delik hukum.
Ternyata inovasi tersebut membawa hasil dengan semakin diterimanya harian
umum Media Indonesia oleh pembaca.
Pada tahun 1995, harian umum Media Indonesia memindahkan tempat
usahanya dari Jalan Gondangdia Lama, Menteng, Jakarta Pusat ke Jalan Pilar Mas
Raya, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
1. Manajemen Baru
Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa
terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT.
Haryono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal.
Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman.
Sementara itu terjadi perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan.
Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada
realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus
tumbuh sebagai badan usaha.
Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988 Teuku Yously
Syah selaku pendiri Media Indonesia bergandeng tangan dengan Surya Paloh,
mantan pimpinan surat kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini pada tahun yang
sama lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru di bawah PT Citra
Media Nusa Purnama.
40
Awalnya tahun 1955, bertepatan dengan usianya ke-25 Media Indonesia
menempati kantor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav.
A-D, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung ini, semua kegiatan di bawah
satu atap, mulai dari redaksi, usaha, percetakan, pusat dokumentasi,
perpustakaan, iklan, sirkulasi dan distribusi serta fasilitas penunjang karyawan.
Sejarah panjang serta motto “Pembawa Suara Rakyat” yang dimiliki oleh
Media Indonesia bukan menjadi motto kosong tanpa arti, tetapi menjadi
sumber semangat dan pegangan sampai kapan pun. Sejak Media Indonesia
ditangani oleh tim manajemen baru di bawah payung perusahaan PT Citra
Media Nusa Purnama dan terjun pertama kali dalam industri pers tahun 1986
dengan menerbitkan harian Prioritas. Namun, Prioritas memang kurang
bernasib baik karena belum lama menjadi koran alternatif bangsa, SIUPP-nya
dibatalkan Departemen Penerangan. Antara prioritas dengan Media Indonesia
memang ada “benang merah”, yaitu dalam karakter kebangsaannya.
Surya Paloh sebagai penerbit harian umum Media Indonesia, tetap gigih
berjuang mempertahankan kebebasan pers. Wujud kegigihan ini ditunjukkan
dengan mengajukan kasus penutupan Harian Prioritas ke pangadilan, bahkan
menuntut Menteri Penerangan untuk mencabut Peraturan Menteri No. 01/84
yang dirasakan membelenggu kebebasan pers di tanah air.
Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya
sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin
beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum
LKBN Antara, dipercaya oleh Surya Paloh untuk memimpin Media Indonesia
dengan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaf
41
dipercaya sebagai corporate advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini
adalah direktur utama yang dijabat oleh Rahni Lowhur Schad, direktur
pemberitaan dijabat oleh Saur Hutabarat dan di bidang usaha dipimpin oleh
Alexander Stefanus selaku Direktur pengembangan bisnis.
2. Visi dan Misi Media Indonesia
Visi:
Menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya, dan paling
berpengaruh.
Uraian Visi:
a. Independen, yaitu menjaga sikap non partisipan; di mana karyawan tidak
menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang
dapat mempengaruhi objektivitas dan mempunyai keberanian bersikap
beda.
b. Inovatif, yaitu terus menerus menyempurnakan dan mengembangkan
kemampuan teknologi dan sumber daya manusia, serta terus menerus
mengembangkan rubrik, halaman dan penyempurnaan perwajahan.
c. Lugas, yaitu menggunakan bahasa yang terang dan langsung.
d. Terpercaya, yaitu selalu melakukan check dan recheck, meliputi berita dari
dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi dan
pendalaman.
e. Paling Berpengaruh, yaitu dibaca oleh para pengambil keputusan, memiliki
kualitas editorial yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan,
mampu membangun kemampuan antisipasif, mampu membangun network
narasumber, dan memiliki pemasaran atau distribusi yang andal.
42
Misi:
Misi Harian Media Indonesia adalah:
a. Menyajikan informasi terpercaya secara nasional dan regional serta
berpengaruh bagi pengambil keputusan.
b. Mempertajam isi yang relevan untuk pengembangan pasar.
c. Membangun sumber daya manusia dan manajemen yang profesional dan
unggul, mampu mengembangkan perusahaan penerbitan yang sehat dan
menguntungkan.
3. Profil Pembaca
3.1 Jenis Kelamin
Gambar 3.1 Jenis Kelamin Profil Pembaca Media IndonesiaSumber: Litbang Media Indonesia
Perempuan;13%
Laki-laki;87%
43
3.2 Profesi
Gambar 3.2 Profesi Profil Pembaca Media IndonesiaSumber: Litbang Media Indonesia
3.3 Usia1
Gambar 3.3 Usia Profil Pembaca Media IndonesiaSumber: Litbang Media Indonesia
B. Sejarah Harian Republika
Harian Umum Republika diterbitkan atas tujuan untuk mewujudkan media
massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni
1 Data Internal Media Indonesia
Peg. Swasta;52%
Mahasiswa;11%
Pengusaha;4%
TNI-Polri; 1%
Ekspatriat;2%
Peg. BUMN;14%
PNS; 13% Lainnya ; 3%
35-44; 29%
45-55; 12%
>55; 2%17-24; 12%
25-34; 45%
44
bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilai-
nilai spiritualitas sebagai perwujudan pancasila sebagai filsafat bangsa, serta
memiliki arah gerak seperti yang digariskan UUD 1945. Kehendak melahirkan
masyarakat demikian searah dengan tujuan, cita-cita dan program Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 5 Desember 1990.
Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh Indonesia, antara lain,
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program peningkatan 5 K, yaitu: kualitas
iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya, dan kualitas pikir.2
Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita, dan program ICMI di atas, beberapa
tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi dan komitmen pada
pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang beragama Islam akhirnya
membentuk Yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian
menyusun tiga program utamanya yaitu (1) pengembangan Islamic Center; (2)
pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies); (3)
penerbitan Harian Umum Republika.
Pendirian Yayasan Abdi Bangsa awalnya beranggotakan 48 orang, terdiri
dari beberapa menteri, pejabat tinggi negara, cendekiawan, tokoh masyarakat, serta
pengusaha. Mereka antara lain, Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, H. Harmoko, Ibnu
Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal Bakrie,
dan lain-lain. Sedangkan H. Muhammad Soeharto, Presiden RI, berperan sebagai
pelindung yayasan. Sementara Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, yang juga menjabat
Ketua Umum ICMI yang juga dipercaya sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan
Abdi Bangsa.
2 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
45
Untuk mewujudkan programnya menerbitkan sebuah koran harian, pada 28
November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikian PT. Abdi Bangsa. Melalui
proses kemudian yayasan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)
dari Departemen Penerangan Republik Indonesia, sebagai modal awal penerbitan
Harian Umum Republika. SIUPP ini bernomor
283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992.3
Nama Republika sendiri berasal dari ide Presiden Soeharto yang
disampaikannya saat beberapa pengurus ICMI Pusat menghadap padanya untuk
menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelumnya, koran ini
akan diberi nama “Republik”.
Republika terbit pada 4 Januari 1993, yang lahir dalam keadaan Indonesia
yang terus berubah. Perubahan tersebut hampir melanda semua aspek kehidupan
baik dibidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial serta
budaya. Republika memilih untuk ikut mempersiapkan masyarakat Indonesia untuk
memasuki pembangunan dinamis.4
1. Perkembangan Harian Republika
Begitu Harian Umum Republika terbit pada 4 Januari 1993, penjualan
oplahnya terus meningkat. Hanya dalam sepuluh hari sejak terbit, oplah koran
Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Hal tersebut berarti
peningkatan 2,5 kali lipat dari rencana awal terbit dengan oplah rata-rata
40.000 eksemplar per hari pada semester pertama tahun 1993. Hingga akhir
semester kedua, pada Desember 1993, oplah Republika sudah mencapai
3 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
46
130.000 eksemplar per hari. Harian Umum Republika tersebar di seluruh
Indonesia. Namun, sebagian oplahnya beredar di Jakarta dan Jawa Barat
dengan pembagian Jakarta 50.31%, Jawa Barat 17.30%, Jawa Tengah 6.90%,
Jawa Timur 4.36%. sisanya tersebar di daerah-daerah lain.5
Selain itu, Penjualan saham Republika tergolong unik, yaitu 1 lembar
saham dijual kepada satu keluarga sehingga penjualan saham ke publik ini
merupakan sebuah terobosan baru dalam sejarah pers nasional. Dengan kata
lain Republika akan dimiliki sekurang-kurangnya 2,9 juta muslim di Indonesia.
Apabila melihat fenomena yang ada, biasanya kepemilikan saham hanya
dimiliki oleh penanam modal dan karyawan pers saja. Strategi penjualan saham
ke publik ini secara langsung maupun tidak langsung menciptakan citra bahwa
masyarakat muslim akan merasa memiliki koran tersebut.
Pada bulan Agustus 1993, penjualan Republika mencapai angka 125.000
eksemplar. Dengan pencapaian angka seperti itu, Parni Hadi selaku pemimpin
Redaksi mengklaim bahwa sudah ada 1,3 juta lembar saham yang terjual. Tidak
dapat dibantah lagi bahwa Republika dapat dikelompokkan sebagai koran
berkualitas, yang diproduksi secara profesional, berwawasan liberal dan
diinformasikan dengan nilai-nilai islam progresif.6
Pada pertengahan Oktober 1993 Republika menjadi juara pertama dalam
lomba perwajahan media cetak yang diselenggarakan oleh Serikat Grafika
Pers. Pada tahun 1995, Republika membuka situs website di internet dan pada
tahun 1997 Republika pertama kali mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh
5 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 20166 Junarto Imam Prakoso, Sikap Netralitas Pers dalam Pemerintahan Habibie dalam
Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, hlm. 118
47
(SCJJ). Pendekatan juga dilakukan kepada komunitas pembaca dan menjadi
salah satu koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah.
Hingga pada akhir tahun 2000 saham Republika dipegang oleh
kelompok Mahaka Media, yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh keluarga
Erick Tohir. PT. Abdi Bangsa selanjutnya menjadi perusahaan induk, dan
Republika berada dibawah bendera PT. Republika Media Mandiri, salah satu
anak perusahaan PT. Abdi Bangsa. Di bawah Mahaka Media , kelompok ini
juga menerbitkan majalah Golf Digest Indonesia, Majalah Parent Indonesia,
Radio Jak FM, Radio Gen FM, Radio Delta FM, Female Radio, Prambors,
Jak TV, Alif TV. Meskipun berganti kepemilikan, Republika tak menaglami
perubahan visi dan misi. Sentuhan bisnis dan independensi membuat
Republika semakin kuat dalam menghidupkan kegiatan ekonominya.
2. Visi dan Misi Republika
Republika adalah sebuah surat kabar yang lahir di tengah perubahan yang
sangat cepat di Indonesia. Dalam perubahan yang melanda hampir semua aspek
kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, iptek, sosial, budaya, “keterbukaan”
menjadi kata kunci. Republika memilih berposisi untuk turut mempersiapkan
masyarakat Indonesia memasuki masa dinamis tanpa perlu kehilangan segenap
kualitas yang telah dimilikinya.
Motto Republika “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” menunjukkan
semangat mempersiapkan masyarakat memasuki era baru. Meski demikian,
mengupayakan perubahan (yang juga berarti pembaharuan) tidak mesti harus
mengganggu stabilitas yang telah susah payah dibangun. Keberpihakan
Republika terarah kepada seluruh penduduk negeri ini, yang mempersiapkan
48
diri bagi sebuah dunia yang lebih baik dan adil. Republika sebagai media
massa, hanya jadi penopang agar langkah itu bermanfaat bagi kesejahteraan
bersama.7
Visi
1. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
2. Membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat
3. Mengkritisi tanpa menyakiti
4. Mencerdaskan, emndidik, dan mencerahkan
5. Berwawasan kebangsaan
Misi8
a. Politik
Dalam bidang politik, Republika mengembangkan demokrasi,
memaksimalkan peran lembaga-lembaga Negara, mendorong partisipasi
politik semua lapisan masyarakat, mengutamakan kejujuran dan moralitas
dalam politik, penghargaan terhadap hak-hak sipil, dan mendorong
terbentuknya pemerintahan yang bersih.
b. Ekonomi
Mendukung keterbukaan dan demokrasi ekonomi menjadi kepedulian
Republika, mempromosikan profesionalisme, berpihak pada kepentingan
ekonomi domestik dari pengaruh globalisasi, pemerataan sumber daya
ekonomi, mempromosikan etika dan moral dalam berbisnis,
7 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 20168 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
49
mengembangkan ekonomi syariah, dan berpihak pada usaha menengah,
kecil, mikro, dan koperasi (UMKMK).
c. Budaya
Republika mendukung sikap kritis-apresiatif terhadap bentuk-bentuk
ekspresi kreatif budaya yang berkembang di masyarakat, mengembangkan
bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat, mencerdaskan,
menghaluskan perasaan, dan mempertajam kepekaan nurani, menolak
bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian yang merusak moral, akidah, dan
mereduksi nilai-nilai kemanusiaan, dan menolak pornografi dan pornoaksi.
d. Agama
Dalam bidang ini Republika ingin mensyiarkan Islam, mempromosikan
semangat toleransi, mewujudkan “Islam rahmatan lil alamin” dalam segala
bidang kehidupan, dan membela, melindungi, dan melayani kepentingan
umat.
e. Hukum
Dalam bidang hukum, Republika mendorong terwujudnya
masyarakat sadar hukum, menjunjung tinggi supremasi hukum,
mengembangkan mekanisme check and balances pemerintah-masyarakat,
menjunjung tinggi HAM, dan mendorong pemberantasan KKN (korupsi,
kolusi dan nepotasi) secara tuntas.
50
3. Profil Pembaca
3.1 Jenis kelamin
Gambar 3.4 Jenis Kelamin Profil Pembaca RepublikaSumber: Mediakit Republika Koran
3.2 Profesi
Gambar 3.5 Profesi Profil Pembaca RepublikaSumber: Mediakit Republika Koran
Perempuan; 30%
Laki-laki;70%
Peg. Swasta -Profesional;
28%
PNS; 16%
Dosen/Guru;15%
Wiraswasta;14%
IbuRumahTangga;
9%
Pelajar/Mahasiswa;
8%
Lainnya; 10%
51
3.3 Usia
Gambar 3.6 Usia Profil Pembaca RepublikaSumber: Mediakit Republika Koran
15-19; 6%20-29; 26%
30-39; 26%40-49; 21%
>50; 20%
52
BAB IV
HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pada pertengahan bulan Maret 2016 lalu, muncul sebuah kasus tentang
kematian terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh Densus 88 pada saat proses
penangkapannya di Desa Pogung, Klaten. Dalam perkembangannya, kasus ini
mendapat banyak perhatian baik dari organisasi masyarakat, lembaga HAM, hingga
media-media nasional. Pengelompokan mana yang benar dan mana yang salah
mulai ditunjukkan melalui penyajian fakta yang diberikan oleh media.
Pembentukan tim advokasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang
menunjukkan keyakinan bahwa Siyono tidak bersalah adalah bukti bahwa adanya
perbedaan kebenaran yang diyakini antara pemerintah dan warga sipil.
Pemarjinalisasian suatu kelompok pada akhirnya menjadi strategi media untuk
menyampaikan pandangannya guna melegitimasi wacana yang dibuat atas dasar
pertimbangan nilai-nilai yang dianut dalam institusi masing-masing media.
Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi
dan meneliti proses pemarjinalan seseorang atau kelompok dalam suatu wacana.
Kenyataan bahwa suatu kelompok dominan memegang kendali dalam menafsirkan
suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya lebih
rendah cenderung terus-menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan
secara buruk. Pada konteks tersebut, ada hubungan antara wacana dan kekuasaan.
Kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui jalur-jalur formal – hukum dan institusi
negara – yang dengan kekuasaan melarang dan menghukum, tetapi juga beroperasi
53
melalui wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok sebagai tidak
benar atau buruk.1
Berdasarkan deskripsi di atas maka ada keterkaitan antara isu yang akan
diteliti dengan teori yang digunakan. Peneliti ingin melihat bagaimana aktor sosial
yang terdapat dalam kasus ini diposisikan dalam artikel yang diterbitkan oleh
Republika dan Media Indonesia. Sebagai dua media nasional yang memiliki
pandangan berbeda atas kematian terduga teroris Siyono, maka hal ini menjadi
menarik untuk diteliti. Di mana ada perbedaan wacana pada satu isu yang baik
secara sadar atau tidak sadar dikonstruk oleh media untuk mempengaruhi persepsi
pembaca dan mengarahkan bagaimana audiens menerima suatu realitas.
A. Hasil Temuan Eksklusi dan Inklusi pada Media Indonesia dan Republika
Dalam pemberitaan yang diterbitkan oleh Media Indonesia, mereka
menempatkan Siyono sebagai objek pemberitaannya. Di mana Siyono
dianggap bersalah karena ia bagian dari kelompok separatis Jamaah Islamiyah
dan memiliki peran penting di dalamnya. Berita yang berjudul “Siyono
Berposisi Penting di Jaringan JI” terbit pada 5 April 2016 memuat berita
tentang kematian terduga teroris Siyono yang ditangkap oleh Densus 88
dengan menyajikan empat narasumber, yaitu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti,
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Kepala BNPT Tito Karnavian.
Sedangkan Harian Republika dalam artikel “Densus 88 bisa Dipidana” yang
terbit pada tanggal 2 April menggunakan beberapa narasumber, yaitu Wakil
1 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiSYogyakarta, 2009), h.171
54
Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman, Ketua Umum PP Muhammadiyah
Haedar Nashir, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi
Prayitno, dan Peneliti Pusah Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko
Ginting.
1.1 Eksklusi
1.1.1 Pasivasi
Tabel 4.1 Pasivasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaPasivasi Jenazah Siyono,
Minggu (3/4),diautopsi tim dokterforensik berjumlah10 orang.
Menurut dia, petugaspolisi juga dapatmelakukan tindakanseimbang jika adaperlawanan dariterduga teroris.
Berdasarkan tabel 4.1 di atas Media Indonesia menunjukkan
adanya kalimat dengan strategi pasivasi, tim advokasi yang dibentuk
untuk membela Siyono tidak dimasukkan ke dalam pemberitaan dan
tidak disebutkan secara eksplisit oleh penulis. Penggunaan imbuhan
di- pada kata kerja autopsi membuat bentuk kalimat tersebut menjadi
pasif. Melalui penghilangan atau penyembunyian tim advokasi
sebagai pembela Siyono, pembaca akan menerima fakta bahwa tim
autopsi yang berjumlah 10 orang dibentuk oleh pihak kepolisian,
bukan dari tim advokasi karena common sense masyarakat bahwa
tim dokter forensik dibentuk oleh pihak kepolisian. Penghilangan
tim advokasi dalam kalimat ini memicu penilaian bahwa tidak ada
pihak yang membela secara penuh hak almarhum Siyono. Padahal
pada kenyataanya, dokter forensik yang terdiri dari 10 orang berasal
55
dari pihak PP Muhammadiyah yang berjumlah 9 orang dan satu
orang dari pihak Polda Jawa Tengah.2 Ditambah lagi dengan
pengungkapan tentang pihak yang membela Siyono hanya terbatas
pada satu paragraf.
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, Republika menyatakan bahwa
siapa yang memberi pernyataan dihilangkan dengan kata ganti ‘dia’,
sehingga aktor dalam paragraf tersebut yang seharusnya tertuju
kepada Komjem Dwi Prayitno menghilang dan menjadi pendapat
anonim. Penggunaan kata ‘dia’ yang dilakukan oleh wartawan
Republika ditempatkan pada awal paragraf. Penggunaan kata ‘dia’
seharusnya tidak berada di awal paragraf, tetapi ditempatkan sebagai
anak kalimat sehingga penggunaan kata ‘dia’ dapat merujuk kepada
subjek yang disebutkan di awal kalimat.
Upaya menyembunyikan aktor ini membuat pembaca menjadi
tidak kritis dan hanya berfokus kepada pernyataan selanjutnya yang
membicarakan bahwa tindakan petugas polisi diperbolehkan untuk
mengimbangi perlawanan teroris dan hal tersebut memang tertulis
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1.1.2 Nominalisasi
Tabel 4.2 Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaNominalisasi Menurut Miko,
kematian Siyonomerupakaanpenyiksaan yangberujung kematian
2 “Komnas HAM: Siyono tak Melawan”, Republika, 12 April 2016, h.1
56
Tabel 4.2 Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaNominalisasi dan masuk sebagai
tindak pidana
Berdasarkan hasil temuan pada tabel 4.2 di atas menyatakan
bahwa ciri strategi nominalisasi adalah adanya pengubahan kata
kerja menjadi kata benda yang bermakna peristiwa, biasanya
berimbuhan pe-an. Pada potongan kalimat di atas yang terbit di
halaman Republika terdapat kata ‘penyiksaan’ yang menyebabkan
tidak eksplisitnya subjek yang melakukan predikat berupa tindakan
menyiksa yang berujung pada kematian. Nominalisasi yang
dilakukan oleh wartawan berefek pada hilangnya pelaku atau aktor,
baik secara sengaja atau tidak dan pada akhirnya menyembunyikan
aktor yang melakukan penyiksaan yaitu, Densus 88.
1.2 Inklusi
1.2.1 Diferensiasi
Tabel 4.3 Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaDiferensiasi Siyono ditangkap
petugas Densus 88pada Selasa (8/3) lalu.Dua hari kemudian,keluarganya diberitahu bahwa yangbersangkutan tewassetelah berusahamelawan petugas.
Diferensiasi Penjelasan kepolisianselama ini, menurutBenny, dinilai masihsepihak. Sebab, darihasil
57
Tabel 4.3 Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaDiferensiasi investigasi Komnas
HAM, ada dugaanpelanggaran HAMyang dilakukan densusdalam penangkapanSiyono.
Diferensiasi Untuk itu, ia memintakasus kematianSiyono dibawa kejalur hukum.Dengan begitu bisadiperjelas dugaanpelanggaran HAMyang terjadi serta adahukuman bagi pelaku.
Berdasarkan tabel 4.3 di atas menyatakan bahwa strategi ini
digunakan ketika ingin menyudutkan satu pihak dengan cara
menghadirkan wacana lain yang bertentangan. Penghadiran wacana
lain ini secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa kelompok
tidak bagus dibandingkan dengan kelompok lain. Dengan kata lain,
strategi ini memperlihatkan wujud kontras dari aktor-aktor yang
berlawanan.
Pada kalimat pertama artikel yang diterbitkan oleh
Republika dikatakan bahwa Siyono ditangkap oleh Densus 88 pada
hari Selasa. Kalimat kedua menjelaskan bahwa setelah dua hari
ditangkap Siyono tewas setelah berusaha melawan petugas. Teks ini
memarjinalkan Densus 88, dengan seakan Densus 88 menyiksa
Siyono yang akhirnya menewaskan Siyono yang berusaha melawan.
Penghalusan kata (eufimisme) ‘berusaha melawan’ yang merupakan
58
salah satu cara marjinalisasi ini digunakan oleh wartawan untuk
melindungi Siyono dari prasangka khalayak bahwa Siyono adalah
teroris yang berbahaya dan memutarbalikkan pandangan bahwa
Densus 88 lah yang bersifat arogan.
Penggunaan strategi ini terbukti cukup ampuh karena dapat
menggiring interpretasi pembaca sesuai dengan tujuan yang
disebutkan di paragraf sebelumnya, yakni membuat satu kelompok
terlihat lebih baik dibandingkan kelompok lain. Dalam kasus
kematian terduga teroris Siyono, strategi ini menunjukkan bahwa
pihak kepolisian tidak menjalankan tugasnya dengan benar dan
dikoreksi oleh tim advokasi dengan menunjukkan letak kesalahan
yang dilakukan. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa
representasi pihak kepolisian tidak lebih baik dibandingkan dengan
pihak tim advokasi.
1.2.2 Indeterminasi
Tabel 4.4 Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaIndeterminasi “... Kalau
pelanggaranmeninggal ditembak,itu pidana. Kitabelum tahuhasilnya,” terangBadrodin.
Indeterminasi “... Mereka adaprosedur kerja yangtidak ingin merekalanggar,” terangLuhut...
Indeterminasi Terkait denganupaya penangkapankelompok teroris
59
Tabel 4.4 Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaSantoso di Poso,Badrodinmengatakan parapengikut Santosokini tinggalmenyisakan 29orang.
Berdasarkan tabel 4.4 Indeterminasi Teks pada kolom Media
Indonesia di atas menyatakan bahwa wartawan memberikan
informasi secara eksplisit siapa yang mendukungnya dalam
menguatkan berita dan siapa saja yang melegitimasi laporan
wartawan pada artikel tersebut. Semakin berpengaruh tokoh yang
dimasukkan ke dalam laporannya maka akan semakin mudah
pendapat tersebut mempengaruhi pembaca, apalagi jika narasumber
yang digunakan memiliki background dari pihak berwenang seperti
kepolisian dan pemerintah.
Pemilihan narasumber yang terdiri dari Kapolri dan Menko
Polhukam tentu bukan hal yang dilakukan secara tidak sengaja.
Kapolri dan Menko Polhukam adalah sumber utama dalam kasus ini
dari pihak pemerintah. Perlu diketahui Luhut Binsar adalah pernah
berkarir di bidang militer dan sempat menjadi komandan pertama
datasemen 81 atau yang disebut datasemen penanggulangan teror
81.3 Latar belakang jabatan yang dimilikinya secara otomatis akan
3 “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hingga Menteri”, diaksespada 5 Januari 2017 darihttp://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam.Luhut.Pandjaitan.dari.Militer.Pengusaha.hingga.Menteri
60
mempengaruhi pendapatnya mengenai kasus kematian terduga
teroris Siyono. Usaha melindungi kekuasaan yang dilakukan oleh
kedua tokoh yang disebutkan di atas tentu bukanlah hal yang tidak
disengaja mengingat asal institusi dan latar belakang mereka
masing-masing.
1.2.3 Determinasi
Tabel 4.5 Determinasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaDeterminasi Polri tetap
melakukanpenyelidikan internaloleh Div PropamPolri untukmenyelidikikematian Siyonosetelah ditangkaptim Densus 88Antiteror..
Determinasi Kepolisian NegaraRepublik Indonesiamemastikan Siyonomerupakan salahsatu target operasiyang sudah lamadiincar DatasemenKhusus 88 Antiteror.
Determinasi Kapolri meyakinidalam waktu dekatSantoso akan segeraditangkap.
Berdasarkan tabel 4.5 di atas tentang determinasi teks di
Media Indonesia, peneliti menemukan adanya penyebutan aktor
yang disebutkan berdasarkan komunitas di mana aktor itu berada.
Determinasi adalah penyebutan aktor secara anonim atau tidak jelas.
61
Sering kali justru aktor sosial yang dimaksud disebutkan dengan
menggunakan nama kelompoknya, misalnya penggunaan kata
‘Pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia’ adalah bentuk
anonim yang mengeneralisasikan aktor sosial. Generalisasi seperti
yang disebutkan di atas bisa menimbulkan pemahaman dan
anggapan bahwa semua pihak yang berada dalam institusi kepolisian
telah menyetujui bahwa Siyono terlibat langsung dalam kegiatan
terorisme dan menyetujui apa yang dilakukan oleh kepolisian,
padahal belum tentu semua anggota sepakat dan memiliki pendapat
lain. Kejelasan siapa yang menyatakan pendapat tersebut juga tidak
dituliskan sehingga peneliti bisa berasumsi bahwa adanya data yang
tidak akurat terhadap laporan yang diberikan. Generalisasi yang
diberikan oleh wartawan dapat berdampak pada pemahaman
masyarakat bahwa apa yang dilakukan kepolisian adalah benar dan
pendapatnya telah mendapat persetujuan dari semua pihak yang
terlibat. Kemungkinan penerimaan wacana juga akan lebih besar
jika melibatkan efek generalisasi karena yang digunakan sebagai
alat legitimasi bukan lagi perseorangan tetapi satu kelompok atau
institusi.
1.2.4 Kategorisasi
Tabel 4.6 Kategorisasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaKategorisasi Siyono merupakan
anggota separatisJamaah Islamiyah(JI) pimpinan AbuBakar Baasyir.
62
Berdasarkan tabel 4.6 di atas tentang hasil temuan strategi
kategorisasi pada teks Media Indonesia, peneliti mengelompokkan
strategi tersebut sebagai upaya marjinalisasi yang dilakukan oleh
media terhadap Siyono sebagai kelompok yang tidak dominan. Hal
tersebut dapat dilihat dari pemberian kategori di belakang predikat
yang merupakan informasi tambahan mengenai siapa aktor atau
pelaku, dalam hal ini Siyono. Biasanya kategori ini bisa bermacam-
macam, yang menunjukkan ciri penting dari seseorang, bisa berupa
agama, status, bentuk fisik, dan sebagainya. Pada kalimat tersebut,
penggunaan kata ‘separatis’ adalah upaya labelisasi gerakan JI yang
diberikan oleh wartawan Media Indonesia untuk merepresentasikan
bahwa JI adalah gerakan pemberontakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, separatis adalah
orang (golongan) yang menghendaki pemisahan diri dari satu
persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapatkan dukungan.4
Pemberian kategori dapat menunjukkan hendak dibawa kemana
pemberitaan tersebut. Kategori apa yang ingin ditonjolkan dalam
pemberitaan, menurut van Leeuwen, sering kali menjadi informasi
yang berharga untuk mengetahui lebih dalam ideologi dari media
yang bersangkutan.
Labelisasi juga termasuk salah satu cara marjinalisasi.
Penggunaan kata ‘separatis’ akan menimbulkan pengasosiasian
makna di benak khalayak bahwa semua yang berada di bawah
4 Sumber: kbbi.web.id/separatis diakses pada 3 November 2016, pukul 14.50 WIB
63
jaringan JI, khususnya Siyono adalah orang yang seharusnya
diperangi dan dibenci.
1.2.5 Asosiasi
Tabel 4.7 Asosiasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaAsosiasi Komnas HAM
mencatat bahwasejauh ini adasebanyak 121warga termasukSiyono, yangditewaskanDensus 88 dalamoperasipemberantasanterorisme.
Berdasarkan tabel 4.7 di atas menyatakan bahwa wartawan
Republika menggabungkan Siyono ke 121 warga yang tewas akibat
pemberantasan terorisme. Padahal pada upaya penangkapan Siyono
sebagai terduga teroris hanya menewaskan Siyono. Tetapi jika
dihubungkan dengan 120 warga lain yang tewas akibat
pemberantasan terorisme, persepsi pembaca akan mengarah pada
pelanggaran lain yang dilakukan oleh Densus 88 dan lolos tanpa
proses peradilan. Ketika redaksi memberi asosiasi semacam ini,
representasi Siyono menjadi berbeda karena disatukan dengan 120
warga lain yang tidak dijelaskan dalam artikel apakah mereka semua
adalah orang tidak bersalah atau tersangka teroris.
Strategi asosiasi dimanfaatkan oleh wartawan Republika
untuk menciptakan makna yang lebih besar (glorifikasi) dengan
64
menghubungkan suatu peristiwa atau aktor lain ke konteks yang
lebih luas. Dalam konteks ini berarti Republika ingin menekankan
bahwa banyak kasus pemberantasan teroris yang sudah menyalahi
hukum. Kasus ini akan menjadi kasus individu yang hanya
menewaskan Siyono jika tidak dikaitkan dengan 120 korban yang
lain. Namun, karena wartawan mengaitkan dengan sejarah
penangkapan Densus 88 sebelumnya maka pembaca akan menerima
pemahaman bahwa pihak kepolisian tidak tegas terhadap
anggotanya yang menyalahi aturan dan telah bertindak semena-
mena dengan terduga teroris. Maka, dengan demikian pembaca
diarahkan untuk mengesampingkan operasi Densus 88 yang berhasil
dan hanya berfokus pada kesalahan yang dilakukan oleh Densus 88.
1.2.6 Identifikasi
Tabel 4.8 Identifikasi Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaIdentifikasi Siyono yang tercatat
sebagai warga asliKlaten, JawaTengah, memilikiperan sentral dalamstruktur organisasitersebut.
AnggotaDatasemen Khusus(Densus) 88 yangterbukti melanggarhukum dapatdiadili secarapidana.Pelanggaran yangdimaksud termasukproses penahananyang membuatseorang terdugateroris meninggaldunia.
Identifikasi Namun, Badrodinbelum tahu jabatanapa yang diembanSiyono sejakbergabung dengan JI
Muhammadiyahmemiliki tanggungjawab moralmelakukanadvokasi demi
65
Tabel 4.8 Identifikasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia Republikapada 2001. “Kalaudi struktur, berartidia orang
menegakkankeadilan atas namakemanusiaan.Haedar
Identifikasi penting,” katanya. menegaskan,negara wajibmenjunjung nilai-nilai kemanusiaandenganmelindungi setiapwarganya.
Berdasarkan tabel 4.8 yang menjelaskan hasil temuan
strategi identifikasi pada teks Media Indonesia, dapat dilihat
susunan kalimat terdiri dari beberapa anak kalimat. Proposisi kedua
atau anak kalimat yang ditempatkan penulis berperan sebagai
penjelas atau identifikasi atas kalimat sebelumnya.
Pengidentifikasian seperti yang tertera di atas memberikan sugesti
makna atau penilaian atas seseorang, dalam kasus ini Siyono bahwa
ia berperan penting dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Walaupun
sebenarnya Badrodin sendiri masih belum mengetahui jabatan
Siyono dalam jaringan tersebut. Penegasan atas posisi Siyono yang
memiliki peran sentral disebutkan sebanyak dua kali di paragraf
yang berbeda, hal tersebut berarti bahwa ada penekanan atas fakta
bahwa Siyono teridentifikasi positif seorang anggota kelompok
teroris.
Penambahan anak kalimat yang menjelaskan bahwa Siyono
memiliki peran penting merupakan definisi atas peran Siyono dalam
66
organisasi Jamaah Islamiyah. Penggunaan kata ‘peran penting atau
peran sentral’ merupakan teknik penghalusan makna pada strategi
marjinalisasi atau eufimisme. Jika seseorang dikaitkan dengan kata-
kata memiliki ‘peran sentral’ maka makna yang akan timbul di
benak khalayak adalah bahwa orang yang disebutkan merupakan
orang penting dan memegang kendali. Hal tersebut akan berakibat
pada posisi Siyono yang semakin terpojok dan secara tidak disadari
khalayak akan melegitimasi pandangan Media Indonesia yang
memandang bahwa apa dilakukan pihak kepolisian adalah tindakan
yang benar.
Berdasarkan pada tabel 4.8 di atas menunjukkan strategi
identifikasi yang digunakan oleh Republika. Pada proposisi pertama
memberikan keterangan bahwa Densus 88 dapat diadili dan
disambung dengan kalimat pelanggaran terhadap kesalahan proses
sehingga menyebabkan terduga teroris meninggal dunia. Penjelasan
pada kalimat kedua berperan sebagai penegasan sekaligus
pendefinisian atas pernyataan kalimat pertama. Hubungan sebab-
akibat yang ditegaskan pada kedua proposisi ini merupakan hal yang
buruk dan bersifat melegitimasi pandangan bahwa Densus 88
melakukan kesalahan dan harus diproses secara hukum walaupun
ada pernyataan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh Densus
adalah bentuk pertahanan diri.
67
1.2.7 Asimilasi
Tabel 4.9 Asimilasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaAsimilasi Selain itu, Komisi
III akanmenjadikan kasustersebut sebagaicatatan ketikamembahas revisiUndang-UndangNomor 15 ...
Asimilasi Pihak kepolisianselalumenggunakanalasan bahwapihak-pihak yangdiduga terlibatorganisasiterorisme tersebutmelakukanperlawanan.
Asimilasi Namun, diamemintapemerintahmenjalankanseluruh prosesnyasecara transparan.
Berdasarkan tabel 4.9 di atas menyatakan bahwa adanya
penggunaan strategi bentuk asimilasi yang digunakan oleh
Republika. Strategi ini biasanya digunakan untuk memberi
pernyataan tidak jelas atau generalisasi dari identitas aktor sehingga
yang ditulis oleh wartawan adalah komunitas atau kelompok sosial
di mana seseorang tersebut berada.
Misalnya pada kalimat di atas yang merujuk kepada
himbauan ke pemerintah agar melakukan prosesnya secara
transparan, penyebutan pemerintah adalah strategi asimilasi.
68
Ketidakjelasan siapa yang dimaksud akan mempengaruhi persepsi
pembaca bahwa kasus ini menyangkut segala sisi pemerintahan,
padahal tidak semua pemerintah membahas kasus ini. Selain itu,
penyebutan kalimat dengan strategi asimilasi akhirnya akan
menyinggung semua aspek pemerintahan, tidak hanya penegak
hukum untuk melakukan semua prosesnya secara transparan.
Asimilasi pada dasarnya adalah perangkat bahasa di mana
seakan-akan terjadi efek generalisasi yang dalam penggunaannya
dapat memancing emosi dan menipu khalayak. Padahal tidak semua
anggota kelompok yang berada dalam kelompok tersebut
menyetujui dan akan menjadikan kasus kematian terduga teroris ini
sebagai prioritas. Penggunaan kata ‘pemerintah’ menunjukkan
bahwa wartawan Republika menampilkan aktor secara nonmandiri,
tetapi memilih komunitas atau kelompok tempat aktor itu berada
sehingga makna yang diterima lebih luas yaitu merujuk pada segala
bagian dari pemerintah.
1.2.8 Abstraksi
Tabel 4.10 Abstraksi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaAbstraksi Sejauh ini,
advokasi tersebutjuga didukungPusat Studi HAMUniversitas IslamIndonesia, KomnasHAM, LSMKontras, dansejumlah lembagalainnya.
69
Berdasarkan tabel 4.10 di atas menyatakan bahwa strategi ini
berhubungan dengan informasi yang masih samar atau tidak jelas.
Kata ‘sejumlah’ yang digunakan oleh wartawan menunjukkan
ketidaktahuan wartawan tentang berapa LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang mendukung Siyono atau bisa juga keinginan
wartawan untuk menunjukkan bahwa banyaknya pendukung Siyono
hingga tidak dapat disebutkan satu persatu.
Efek yang diharapkan dari penggunaan strategi ini adalah
banyaknya simpati yang didapatkan untuk mendukung tim advokasi
Siyono. Selain itu, dengan menggunakan strategi abstraksi juga
dapat meyakinkan pembaca bahwa apa yang dilakukan oleh tim
advokasi adalah sesuatu yang benar dan memiliki banyak dukungan.
Semakin banyak dukungan yang diberikan oleh LSM, organisasi,
atau komunitas maka tingkat penerimaan wacana juga akan
meningkat. Jika tingkat kepercayaan pembaca terhadap suatu isu
yang dikeluarkan tinggi, maka proses hegemoni dapat berjalan
dengan baik.
1.2.9 Individualisasi
Tabel 4.11 Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia RepublikaIndividualisasi Polri tetap
melakukanpenyelidikaninternal oleh DivisiProfesi danPengamanan(Propam) Polri.Hasil penyelidikantersebut nantinya
“Sangat bisadiproses pidana,siapa pun bisa,”kata Wakil KetuaKomisi III DPRBenny K Harmanmenegaskankepada Republika,Jumat (1/4).
70
Tabel 4.11 Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika
Strategi Media Indonesia Republikaakan disampaikanke publik.
Individualisasi “... pemeriksaansaksi-saksi yangsudah tersangka,dan dia (Siyono)termasuk jaringanJI,” kata KapolriJenderalBadrodin Haiti diKantorKementerian ...
Pihak keluarga,terutama istriSiyono, Suratmi(29), takmemercayai haltersebut.
Individualisasi Pelaksanaanautopsi dihadiriKetua PPMuhammadiyahBusyro Muqoddasdan komisionerKomnas HAMHafid Abbas.
Ketua UmumPengurus Pusat(PP)MuhammadiyahHaedar Nashirmenyatakan,pemberantasanterorisme ...
Individualisasi ...kita tidak tahu itutersangka teroris,”ujar mantan KetuaUmum PPMuhammadiyahDin Syamsuddindi Jakarta, kemarin.
InspekturPengawasanUmum (Irwasum)Polri Komjen DwiPrayitnomengatakan, padaprinsipnya,pihaknya akanmenindak ..
Individualisasi Hal senadadiungkapkankepala BNPT TitoKarnavian. “Sayasudah berdiskusidengan aparat TNIdan Polri di sana,para komandan.Saya kira(penangkapanSantoso) ini tinggalmenunggu waktusaja.”
peneliti PusatStudi Hukum danKebijakan(PSHK)Indonesia, MikoGinting,meragukanpemeriksaan DivisiProfesi danPengamanan...
71
Berdasarkan tabel 4.11 hasil temuan pada strategi
Individualisasi di atas, penyebutan aktor dengan menempelkannya
pada jabatan yang dipegang akan memudahkan proses legitimasi
pembaca atas wacana yang dikembangkan oleh media. Hal tersebut
penting untuk mengetahui peran apa yang dilakukan oleh aktor
tersebut.
Pada Media Indonesia contoh penyebutan Din Syamsuddin
sebagai mantan ketua PP Muhammadiyah penting disebutkan
karena bisa saja tidak semua orang tahu siapa Din Syamsuddin.
Terkait pemilihan narasumber Din Syamsuddin, peneliti melihat
adanya kejanggalan mengapa yang dimasukkan adalah pendapatnya
Din Syamsuddin bukan Haedar Nashir. Mengingat seharusnya yang
menjadi narasumber adalah Haedar Nashir karena ia menjabat
sebagai ketua PP Muhammadiyah saat ini. Peneliti berasumsi
pemunculan Din Syamsuddin yang dilakukan oleh Media Indonesia
bertujuan untuk mengeluarkan wacana tandingan kepada Republika
bahwa ada tokoh Muhammadiyah yang memandang kasus ini secara
netral tanpa ada kepentingan harus berpihak kepada tim advokasi.
Berdasarkan tabel 4.11 kolom Republika di atas menyatakan
bahwa keterangan Miko Ginting merupakan peneliti dari Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan adalah penting untuk diketahui
pembaca. Untuk menyajikan berita yang terpercaya, maka media
harus melakukan pemilihan narasumber yang memiliki kredibilitas.
Kredibilitas yang di sini merupakan persepsi masyarakat tentang
72
seseorang yang diyakini memiliki kemampuan. Sehingga semakin
dipercaya memiliki kemampuan, maka kepercayaan masyarakat
terhadap berita yang diterbitkan juga akan tinggi.
Strategi ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor
sosial ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak. Dalam
individualisasi kategori aktor sosial dituliskan secara jelas sehingga
tidak menyebabkan misrepresentasi di kalangan pembaca. Siapa
narasumber yang dimunculkan dan bagaimana latarbelakangnya
menjadi penting disebutkan untuk menambah kepercayaan pembaca
bahwa kutipan atau pendapat yang dikeluarkan berasal dari orang
yang berpengaruh.
Pemilihan narasumber menjadi sesuatu yang penting untuk
dipertimbangkan. Misalnya pemilihan Benny K. Harman, wakil
ketua komisi III DPR sebagai salah satu narasumber. Perannya
sebagai wakil ketua di komisi III DPR, latarbelakang karir serta
pendidikannya yang mengambil studi hukum hingga tingkat
doktoral, tentu mempengaruhi pendapatnya mengenai kasus
kematian terduga teroris Siyono.
B. Interpretasi
Dari hasil temuan yang dipaparkan di atas, terlihat perbedaan
penekanan wacana yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Republika.
Secara umum dapat dilihat dari bagaimana kedua media memandang isu
terorisme khususnya kematian terduga teroris Siyono. Jika Media Indonesia
73
lebih melihat titik berat masalah ini berada di pihak kepolisian dan pemerintah
sedangkan Republika menekankan fokus beritanya kepada tim advokasi. Hal
ini disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh yang menyeleksi harus
seperti apa dan harus memenuhi kriteria apa saja ketika sebuah realita
digambarkan. Praktik tersebut senada dengan pernyataan bahwa organisasi
media cenderung mereproduksi secara selektif menurut kriteria yang sesuai
dengan tujuan dan kepentingan mereka sendiri.5
Jika diperhatikan mulai dari penyusunan teks di media, maka
terciptanya sebuah berita adalah proses dari pembentukan realitas yang
diterjemahkan melalui kata dan terhubung menjadi kalimat dan paragraf.
Analisis wacana dengan paradigma kritis melihat bahwa bahasa adalah
seperangkat alat penyampai pesan yang tidak bebas nilai. Media dipandang
sebagai ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya. Teks
yang terdapat pada media adalah praktik konstruksi realitas yang telah
dipengaruhi oleh ideologi dan kepentingan-kepentingan kelompok dominan.
Pemilihan kata, susunan kalimat merupakan hasil dari generalisasi
dan kategorisasi fakta. Theo van Leeuwen menganalisis sebuah praktik wacana
dengan mengelompokkan menjadi dua, yaitu inklusi dan eksklusi. Dari
penjabaran temuan teks di kedua media, kita bisa melihat arah kecenderungan
masing-masing media. Masing-masing media mencoba memberikan makna
yang berbeda terhadap aktor sosialnya seperti contoh di bawah ini adalah
makna yang dibentuk oleh Media Indonesia dan Republika,
5 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, (Jakarta: SalembaHumanika, 2011), h. 65
74
Tabel 4.12 Konstruksi Makna tentang Densus 88 Menurut Media Indonesiadan Republika
Media Indonesia RepublikaKepolisian berusaha melakukanpenyelidikan internal
Densus 88 dapat dipidana
Kepolisian berusaha bersikap adil Melakukan tindakan penyiksaanDibela oleh Luhut Dituntut untuk diproses secara
hukumUpaya kepolisian untukmemberantas teroris tetap dilakukan
Melakukan pelanggaran HAM
Menghilangkan peran tim advokasi Lalai
Tabel 4.13 Konstruksi Makna tentang Siyono Menurut Media Indonesia danRepublika
Media Indonesia RepublikaTarget Densus 88 Korban penyiksaan densus 88Tersangka teroris Lemah dan tidak berdayaAnggota jaringan teroris Korban pelanggaran HAMMemiliki peran penting di jaringanJamaah Islamiyah
Statusnya masih dianggap sebagaiwarga biasa dan bukan tersangka
Didukung moril oleh ketua umumPP Muhammadiyah
Wajar untuk dibela
Masing-masing media memberikan makna yang berbeda tentang
pihak kepolisian. Jika Media Indonesia mengajak pembaca untuk
menempatkan dirinya dalam posisi pihak kepolisian sedangkan Republika
sebaliknya, yaitu mengajak pembaca menempatkan dirinya di pihak Siyono.
Pandangan mana yang akan diterima oleh masyarakat nantinya akan
disesuaikan dengan ideologi mana yang dianut oleh pembaca. Jika ideologi
yang diproduksi media memiliki kesamaan dengan ideologi pembaca, maka
pembaca akan menerima realitas dengan apa adanya sesuai yang digambarkan
dalam teks berita tanpa ada yang dipertanyakan.
Bagaimana media memahami sebuah realitas hingga terbentuk ke
dalam sebuah teks berita memerlukan proses yang panjang. Proses inilah yang
75
nantinya akan menyebabkan bias. Bias yang terjadi disebabkan adanya
pengaruh dari faktor internal dan eksternal. Seperti yang dikemukakan oleh
Shoemaker dan Reese bahwa dalam menentukan berita terdapat faktor-faktor
yang mempengaruhi isi media. Faktor internal dapat berupa pengaruh dari
individu pekerja media, rutinitas media, pengaruh dari organisasi media, dan
ideologi. Faktor eksternal misalnya pengaruh dari kontrol pemerintah,
narasumber, pangsa pasar dan iklan.6
Perbedaan kebijakan redaksional yang termasuk ke dalam faktor
pengaruh internal memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi
pengemasan berita. Ada dua cara yang digunakan oleh media untuk memaknai
realitas. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini berdasarkan asumsi
wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua,
menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih
disajikan kepada khalayak melalui kata, kalimat, proposisi, grafik dan
sebagainya.7 Realitas yang ingin ditampilkan oleh Media Indonesia adalah
bahwa upaya penangkapan Siyono merupakan salah satu cara dalam
menuntaskan terorisme di Indonesia dan Densus 88 tidak bisa langsung
disalahkan karena petugas juga dapat melakukan tindakan seimbang jika ada
perlawanan dari terduga teroris. Sedangkan Republika menggambarkan
realitas bahwa banyak lembaga yang menyayangkan kinerja Polri dalam hal ini
Densus 88 dan Siyono adalah korban dari sifat arogan kepolisian. Dalam
analisis wacana, media dilihat sebagai alat konstruksi realitas. Berdasarkan
6 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi CriticalDoscourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h. 2
7 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiSYogyakarta, 2009), h. 116
76
perbandingan di atas tentang apa yang ingin dikonstruksi oleh masing-masing
media menunjukkan bahwa realitas yang disampaikan oleh media adalah
realitas subjektif.
Perbedaan memaknai realitas berimplikasi pada pemilihan
narasumber. Misalnya Media Indonesia lebih banyak menggunakan pendapat
pemerintah, sedangkan Republika lebih banyak menonjolkan pendapat dari tim
advokasi. Pemilihan narasumber yang mayoritas dari pihak pemerintah bagi
Media Indonesia adalah salah satu upaya melawan terorisme. Berikut kutipan
hasil wawancara peneliti dengan Usman Kansong selaku pimpinan redaksi
Media Indonesia,
“Strategi melawan terorisme ini bermacam-macam, memang sumberutama adalah pemerintah, dalam konteks ini kan Polri yangmelakukan pemberantasan terorisme secara langsung. Tapi di sisilain kita juga kadang-kadang meminta pendapat para pakarterorisme, tokoh masyarakat begitu. Kebijakan kita ini memangjarang mewawancarai istrinya teroris dan itu tidak boleh. Kita tidakmau mewawancarai itu, kenapa? karena biasanya yang tampil ituadalah pembelaan-pembelaan.”8
Berdasarkan kutipan di atas, pihak Media Indonesia sengaja
memasukkan kutipan-kutipan yang berasal dari pemerintah. Hal ini
dikarenakan kebijakan media yang tidak mewawancarai korban atau keluarga
teroris. Kebijakan tersebut secara tidak langsung berakibat pada
pemarjinalisasian korban dan membuat berita tidak berimbang. Di sisi yang
berbeda, pandangan Republika dalam meliput suatu kasus terorisme tidak bisa
hanya berpegang pada satu sumber yaitu pemerintah saja, karena pada
kenyataannya banyak peristiwa yang dihilangkan ketika berita terorisme turun
8 Wawancara Pribadi dengan Usman Kansong, Jakarta, 9 Agustus 2016
77
dari kepolisian ke pers. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan Fitriyan
Zamzami selaku redaktur halaman utama Republika,
“Memang keluarga kebanyakan akan membela, tapikan kita punyahak untuk menampilkan kedua suara. Kalau kasus terorisme inibanyak penindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalamkegelapan. Misalnya mereka tiba-tiba sudah mati baru diberitakanke pers. Ini masalah di jurnalisme kita, di Indonesia bahwapenanganan tentang terorisme itu sangat sulit diberitakan secaraobjektif karena sejauh ini informasi masih dipegang erat olehkepolisian, banyak stigma yang kita dapatkan ketika kita cobamenggali hal-hal di luar versi resmi dari kepolisian.”9
Berdasarkan kutipan di atas, Republika memandang penulisan berita
tentang teroris juga harus dilakukan secara sama seperti peliputan kasus lain
yang mewawancarai kedua belah pihak yang terkait. Republika juga
berpendapat bahwa informasi dari pihak kepolisian adalah informasi yang tidak
orisinil dan banyak yang dihilangkan sehingga Republika merasa harus
meninjau ulang informasi tersebut dengan melakukan konfirmasi terhadap
korban-korban yang tidak dimunculkan oleh pihak kepolisian. Melalui
kecenderungan pemilihan narasumber yang dilakukan oleh kedua media, sudah
dapat terlihat wacana apa yang sebenarnya akan disampaikan oleh Media
Indonesia dan Republika.
Hal di atas senada dengan tulisan Fishman yang menyatakan kalau
sebagian besar peneliti berasumsi bahwa berita dapat mencerminkan atau
mendistorsi realitas, dan bahwa realitas terdiri atas fakta dan peristiwa di luar
sana yang ada secara independen dari bagaimana pekerja media berpikir
mengenainya dan memperlakukannya dalam proses produksi berita.10 Praktik
mengesahkan peliputan berita oleh rujukan terhadap sumber yang terpercaya
9 Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 201610 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 46
78
secara umum akan menaikan tingkat kepercayaan masyarakat atas berita yang
diproduksi. Hal ini merupakan bentuk yang paling sulit dihindari dari bias yang
tidak disengaja dalam media berita sebagai arus utama, tetapi berujung kepada
bias ideologis yang konsisten dan tersembunyi di balik topeng objektivitas.11
Pihak Siyono dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai kelompok
minoritas yang lemah dan lebih sering mendapatkan perlakuan buruk karena
dinilai memberikan pengaruh yang sedikit. Hal ini senada dengan contoh yang
diberikan oleh Peletz dan Entman mengenai kelompok yang lemah dan lebih
sering mendapatkan perilaku pers yang buruk. Peletz dan Entman memberikan
contoh kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan memiliki akses kecil atau
kontrol kecil terhadap peliputan media, misalnya pengunjuk rasa tidak resmi,
pelaku kerusuhan urban, para mahasiswa militan, kaum reaksioner radikal, dan
orang miskin.12 Maka dari itu posisi Siyono sangat mungkin menjadi korban
atas praktik ideologis dari pemegang kekuasaan.
Di era modern saat ini, meskipun objektivitas dipandang penting
sebagai norma di tiap negara, tetapi maknanya sangat bervariasi. Umumnya,
standar normal dari objektivitas atau keberimbangan membutuhkan
keseimbangan dalam pilihan dan penggunaan sumber, sebagaimana juga
mencerminkan sudut pandang yang berbeda dan juga penyajian dari dua (atau
lebih) sisi di mana penilaian atau fakta diperbandingkan.13 Namun, pada
kenyataannya walaupun nilai berita sudah diterjemahkan untuk menentukan
peristiwa apa yang paling utama dan lebih penting, kembali lagi kepada
11 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 5812 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 2113 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 97
79
pernyataan Shoemaker dan Reese bahwa sebuah peristiwa yang akan muncul
ke dalam suatu pemberitaan tidak luput dari proses seleksi dan pengaruh dari
ideologi media di mana berita tersebut diproduksi. Proses seleksi yang
dilakukan oleh media secara tidak langsung akan mendistorsi realitas yang ada.
Apa yang seharusnya diketahui oleh khalayak tentang kebenaran berubah
menjadi apa yang seharusnya diketahui oleh khalayak menurut media, terlepas
hal tersebut benar atau salah.
Setiap institusi media memiliki urutan nilai berita tersendiri yang
nantinya akan mempengaruhi penting atau tidaknya suatu peristiwa dan agenda
media itu sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Republika, pada saat-saat
tertentu ketika tidak ada isu nasional, mereka bebas memasukkan agenda
medianya untuk ditampilkan ke dalam headline dan halaman depan.
“Kita tidak punya kriteria baku karena tidak seperti media lain.Republika lebih suka menonjolkan isu dia sendiri. Katakanlahseperti kasus Siyono, itu kan kasusnya tiba-tiba, proximitasnya jugatidak jauh hanya di Klaten saja, beritanya juga tidak terlalu besar,tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Tapi kamiterus maju saja dan walaupun media lain tidak mengikuti masabodoh kita maju karena kita anggap ini penting. Republika jarangsekali buat headline berdasarkan selera pasar, kami usahakan sepertiitu kecuali kasus atau peristiwa yang benar-benar nasional sepertireshuffle kabinet. Kalau kondisi sedang landai seperti ini kami lebihmemperjuangkan agenda kami, jadi apa yang mau dimasukkan yasuka-suka kami saja, mau koran tidak ada yang memberitakan, TVtidak ada yang beritakan, mau orang-orang tidak baca, kamiberitakan kasus itu sampai selesai.”14
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa nilai berita tidak berlaku
secara universal. Pengaruh internal media lebih memegang peran daripada
definisi nilai berita itu sendiri. Akibatnya ketika berita turun ke publik, akan
memunculkan bias. Tiap-tiap media memiliki pihak mana yang akan didukung
14 Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 2016
80
dan pihak mana yang akan dimarjinalkan posisinya. Maka dari itu sesuai
dengan asumsi dasar analisis wacana yang melihat bahwa teks dalam media
merupakan tempat perepsentasian aktor. Mengingat media memiliki peran
yang strategis untuk membentuk persepsi masyarakat tentang apa yang sedang
terjadi, siapa yang salah, dan siapa yang bertanggungjawab maka pemberitaan
yang muncul harus jauh dari bias.
` Bias dalam konten berita dapat merujuk pada realitas yang
terdistorsi, memberikan gambaran negatif terhadap kelompok-kelompok
minoritas, mengabaikan atau salah menanggapi peranan wanita dalam
masyarakat, atau secara berbeda-beda mendukung partai politik atau filsafat
tertentu. Terdapat banyak jenis bias berita yang berupa kebohongan,
propaganda atau ideologi.15 Beberapa poin yang sudah dijabarkan diatas
tentang pemilihan narasumber, penentuan nilai berita dan objektivitas adalah
bentuk-bentuk dari berjalannya sebuah sistem kepercayaan atau ideologi dari
suatu media.
Berdasarkan pemilihan narasumber yang tertera pada berita Media
Indonesia dan Republika, peneliti berasumsi bahwa pemilihan narasumber
yang dilakukan oleh kedua media berdasarkan relasi kekuasaan masing-masing
media. Seperti apa yang dilakukan oleh Republika yang banyak menggunakan
pendapat dari Muhammadiyah, hal tersebut dikarenakan adanya kedekatan
antara Republika dan Muhammadiyah.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Nasihin Masha selaku pimpinan
redaksi Republika juga menguatkan asumsi bahwa terdapat relasi antara
15 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 99
81
Muhammadiyah dan Republika, berikut kutipan artikel yang dilansir dari
website Muhammadiyah,
“Nasihin Masha dalam pertemuan tersebut mengungkapkanbahwa, Republika adalah milik Muhammadiyah karena dalamperjalanan awalnya Republika tidak mungkin berdiri tanpa adacampur tangan tokoh - tokoh Muhammadiyah.”16
Kutipan berita di atas menguatkan asumsi bahwa pemilihan
narasumber didominasi oleh relasi antara media dengan aktor tersebut. Tidak
berbeda jauh dengan Republika, penggunaan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai
salah satu narasumber di Media Indonesia juga bukan tidak disadari. Luhut
memiliki relasi yang kuat pada pemerintahan saat ini, apalagi jika ditengok
kebelakang bahwa ia pernah menjadi bagian dalam tim sukses pemenangan
Jokowi-JK pada tahun 2014 dan melepas jabatannya sebagai Dewan Penasihat
Golkar demi mendukung pasangan tersebut.17 Kesamaan latar belakang antara
Luhut dan Surya Paloh menguatkan asumsi bahwa adanya relasi antara
narasumber dengan media. Dalam analisis wacana kritis, pemaparan di atas
merupakan bentuk kontrol kekuasaan atas konteks, siapa yang boleh atau harus
berbicara sementara siapa yang hanya bisa mendengar.
Sebuah organisasi tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara
organisasi tersebut memandang dunia dan yang menjadi landasan hidup
organisasi tersebut. Bagi Althusser, seorang pemikir strukturalis, ideologi
16 Muhammadiyah, “Sosialisasi Muktamar, PP Muhammaditah Kunjungi Republika”,diakses pada tanggal 17 Desember 2016 dari http://www.Muhammadiyah.or.id/id/news-4545-detail-sosialisasi-muktamar-pp-Muhammadiyah-kunjungi-republika.html
17 Icha Rastika, “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hinggamenteri”, diakses pada tanggal 10 Januari 2017 darihttp://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam.Luhut.Pandjaitan.dari.Militer.Pengusaha.hingga.Menteri
82
merupakan representasi dari proses pengalaman individu atau golongan, atau
kelompok atau organisasi sampai eksis. Dengan konsep ini maka ideologi
media merupakan nilai-nilai yang berkembang sejak media didirikan. Jadi,
struktur yang terbangun oleh media merupakan ideologi media.18 Surat kabar
nasional Republika misalnya akan merefleksikan visi misi serta berbagai
aktivitasnya ketika surat kabar Republika dilahirkan. Demikian halnya dengan
Media Indonesia, yang memiliki latar belakang yang berbeda saat dilahirkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa lahirnya Media Indonesia awalnya
adalah karena Teuku Yously Syah selaku ketua yayasan penerbit Media
Indonesia mengalami kesulitan dan akhirnya menjalin kerjasama dengan Surya
Paloh, mantan pemimpin harian Prioritas yang dibredel pada tahun 1986. Lalu
pada tahun 2011, Surya Paloh mendirikan partai politik Nasional Demokrat
dan mengadopsi ideologi pancasilais dan memiliki tujuan menciptakan
kehidupan seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi 1945.19 Sedangkan
Republika dilahirkan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada
tahun 1991 untuk menciptakan sebuah media massa dengan nuansa keislaman.
Hal ini sesuai dengan pernyataan B.J. Habibie sebagai ketua Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mengatakan bahwa “perang terhadap
kebodohan dan kemiskinan adalah tugas cendekiawan muslim”. Seiring
berjalannya waktu, Republika yang diambang kebangkrutan dibeli pada tahun
2001 oleh Erick Tohir selaku pemilik Mahaka Group.
18 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta:Rajawali Pers, 2015), h. 84
19 Somya Samita, “Profil Surya Paloh”, diakses pada 31 Agustus 2016 darihttp://profil.merdeka.com/indonesia/s/surya-paloh/
83
Perbedaan latar belakang sejarah masing-masing media turut
mempengaruhi ideologi yang diproduksi di masing-masing media. Hal tersebut
tidak bisa terhindarkan oleh tiap-tiap media dalam merepresentasikan realitas.
Seperti keterangan wawancara peneliti dengan Usman Kansong selaku
pimpinan redaksi Media Indonesia berikut kutipannya,
“Misalnya berita tentang Arcandra media akan berbeda-beda caramemberitakannya, Kompas akan berbeda dengan Media Indonesia,Republika dengan MI akan berbeda. Objeknya sama kan? Tapi bisaberbeda-beda itu menunjukkan subjektivitas. Ada momen yangsama, tapi kemudian begitu turun sebagai berita itu akan berbeda-beda. Kalau beritanya objekif maka akan sama hasilnya ketika jadiberita. Pada dasarnya, tidak ada berita yang objektif karenadipengaruhi juga oleh ideologi. Tapi ada prinsip-prinsipkeberimbangan, tapi soal porsinya kan urusan kita, tergantungkemana kita berpihak.”20
Berdasarkan kutipan di atas, Media Indonesia berpendapat bahwa
setiap media tidak memproduksi setiap peristiwa dengan objektif. Subjektivitas
selalu hadir di tengah-tengah hasil liputan wartawan. Hal itu disebabkan karena
adanya nilai-nilai ideologis yang menjadi pegangan wartawan dalam melihat
dan menilai suatu peristiwa. Hal senada juga diungkapkan oleh Republika
ketika ditanya mengenai seberapa besar pengaruh ICMI dalam pemberitaan
terkait kematian terduga teroris Siyono, berikut kutipannya,
“Secara prinsipnya masih, tapi secara keorganisasian kan sejak 2001kami sudah diambil alih oleh Mahaka Group. Jadi walaupun secarakeorganisasian kami sudah tidak terikat lagi tapi secara visi dan misimasih ada. ICMI tidak bisa lepas dari Republika, Republika jugatidak bisa lepas dari ICMI karena mereka yang membidani kami jadidalam satu dan lain hal pola pikir ICMI yang sering kamijawantahkan dalam pemberitaan soal islam yang harus bermandiri,soal umat islam yang harus berdaya, islam moderat yang lebih
20 Wawancara Pribadi dengan Usman Kansong, Jakarta, 9 Agustus 2016
84
santun, yang pro terhadap kemajuan, yang pro terhadap kebangsaan,hal tersebut yang masih terbawa sampai sekarang di Republika.”21
Kutipan di atas membuktikan adanya pengaruh besar dari siapa yang
membangun media. Ideologi yang diproduksi dari sejarah bagaimana dan siapa
yang membidani tiap-tiap institusi telah menjadi sebuah kesadaran kolektif
yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana seharusnya berita diliput,
ditulis, dimuat dan disebarluaskan. Representasi realitas yang disajikan oleh
media adalah realitas yang sudah direproduksi, diseleksi dan disesuaikan
dengan situasi institusi di mana konten tersebut diproduksi. Ideologi yang
hidup di dalam institusi media memiliki pengaruh yang besar, walaupun
ideologi tersebut tidak selalu berbentuk aturan-aturan. Artinya, para wartawan
bagaimanapun tidak dapat bebas sesukanya menyuguhkan berita tanpa
mengaitkan dengan masalah ‘ideologi’ media dan kepentingan industri media
yang bersangkutan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Reese dan
Shoemaker dalam penelitiannya tentang sosiologi media, di mana “faktor
ideologi” merupakan salah satu yang mempengaruhi isi media.22
Menurut Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, ideologi bisa
ditemukan di tiga tempat. Pertama, ada dalam bahasa, teks dan representasi.
Hal ini sering dilakukan dalam kajian media berkaitan dengan makna ideologis
yang ada dalam isi media. Kedua, ada pada kelembagaan material dan dalam
praktik-praktik yang berlangsung. Ketiga, ada di dalam kepala dan hati kita.23
21 Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 201622 Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara,
2004), h. 6023 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), h. 105
85
Pada analisis hasil temuan teks, dapat disimpulkan bahwa Media
Indonesia menunjukkan sikap melawan terorisme dengan cara menggunakan
kata ‘separatis’ yang memojokkan jaringan Jamaah Islamiyah. Selain itu upaya
menyembunyikan tim advokasi juga terjadi pada penggunaan strategi pasivasi
di mana Theo mengelompokkan strategi tersebut ke dalam eksklusi atau
pengeluaran aktor dari pembicaraan. Pada sisi kelembagaan, seperti yang kita
tahu Surya Paloh memiliki latar belakang sebagai pemimpin ikatan putra-putri
ABRI, pernah menjadi Dewan Penasihat Golkar dan pendiri partai politik
bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X secara otomatis akan mempengaruhi
bagaimana cara ia sebagai pemimpin memandang realitas. Cara mentransfer
nilai-nilai kebangsaan yang dianutnya dapat dengan mudah mempengaruhi
pemberitaan melalui aturan-aturan kode etik perusahaan dan berimplikasi pada
pembentukan citra kepolisian selaku perwakilan dari institusi pemerintah
sebagai aktor sosial yang dibela dalam wacananya.
Berbeda dengan apa yang dilakukan Media Indonesia, Republika
justru memberikan lebih banyak ruang kepada tim advokasi dibandingkan
kepolisian, memperluas kasus dengan mengaitkan jumlah korban Densus 88
yang tidak diproses secara hukum dan membuat aktor sosial Siyono menjadi
tampak tidak berdaya adalah cara untuk menunjukkan arah wacana yang
disampaikan oleh Republika. Latar belakang bahwa Republika adalah media
yang bernuansa islami yang didirikan oleh ICMI secara langsung
mempengaruhi berita kematian Siyono. Mengingat Siyono bagian dari
komunitas islam dan mengalami pelanggaran HAM dalam proses
penyelidikannya, maka pembaca diarahkan untuk menerima realita bahwa
86
kasus ini adalah pelanggaran HAM, dan bukan upaya pemberantasan
terorisme. Memasukkan pendapat dari Wakil Ketua Komisi III DPR juga
menjadi salah satu strategi Republika untuk melegitimasi pandangan media
yang berpendapat bahwa kasus kematian teroris Siyono adalah pelanggaran
HAM.
Hal yang direpresentasikan adalah pandangan-pandangan tertentu
dari kelompok-kelompok sosial, pandangan inilah yang secara tidak sadar kita
terima sebagai sesuatu yang normal dan mengesampingkan pandangan-
pandangan alternatif.24 Kesadaran kolektif pekerja media tentang bagaimana
berita harus dibuat dan sudut pandang apa yang digunakan adalah bentuk
bahwa ideologi yang diciptakan oleh media telah menjadi kesadaran palsu dan
diikuti sebagai kebenaran.
Pada teori level pengaruh, salah satu yang memengaruhi media
adalah level organisasi. Level organisasi ini berkaitan dengan struktur
manajemen organisasi pada sebuah media. Kebijakan sebuah media dan tujuan
dari media itu sendiri. Jadi, pemberitaan media bukanlah hasil kerja yang
bersifat perseorangan, melainkan kerja tim yang menunjukkan aspek
kolektivitas. Tujuannya seperti memproduksi konten yang berkualitas,
melayani publik, mendapatkan pengakuan profesional sengaja dibangun
dengan tujuan utama sebenarnya yaitu mencari keuntungan untuk media.
Analisis pada level organisasi media menunjukkan bagaimana sepertinya sulit
membuat berita yang sesuai dengan ‘rata-rata’ realitas.
24 Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kepada Kajian Media,(Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 114
87
Kebutuhan akan sumber berita yang berkuasa dan persyaratan ‘nilai
berita’ merupakan sumber dari distorsi realitas yang ada.25 Media yang
memfokuskan kepada nilai kebangsaan yang berdasarkan pancasila akan
memproduksi konten berita yang lebih umum dan memandang isu dari sudut
pandang kenegaraan juga memilih narasumber yang berasal dari kalangan
pemerintah. Media yang memfokuskan nilai-nilai keislaman dan berusaha
membela kepentingan umat islam akan berusaha memproduksi konten berita
yang mayoritas berdasarkan ideologi keagamaan dan memiliki kesamaan latar
belakang.
Wacana kematian terduga teroris Siyono merupakan salah satu
kasus pertarungan ideologi. Di mana satu realita diwacanakan secara berbeda
karena dipengaruhi oleh ideologi media di mana berita tersebut diproduksi.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci yang melihat media
sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu
sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi
dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi
alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun
kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga
bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun
kultur dan ideologi tandingan.26
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya sangat sulit untuk meyakini bahwa media adalah saluran yang bebas
25 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h, 1011 26 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 30
88
nilai dan netral. Pada praktiknya, wacana yang disebarluaskan adalah hasil dari
pemilihan fakta dan realita yang dilakukan oleh organisasi media. Proses
seleksi yang dilakukan oleh media dipengaruhi oleh hirarki kekuasaan internal
maupun eksternal. Pemarjinalisasian suatu kelompok dalam sebuah
pemberitaan adalah salah satu implikasi dari pengaruh ideologi media dan
menciptakan bias yang nyata. Ideologi-ideologi yang paling berkuasa
mencerminkan nilai-nilai dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang kuat
secara politik dan ekonomi dalam suatu masyarakat.27 Tujuannya yaitu untuk
memperoleh legitimasi dan kepercayaan masyarakat bahwa apa yang
disampaikan oleh media adalah benar dan untuk kepentingan kebaikan mereka
meskipun dalam praktek sebenarnya bisa jadi tidak.
Jika pembaca telah menerima sebuah wacana dengan suatu proses
yang damai dan menerima apa adanya tanpa ada hal yang dipertanyakan, maka
hal tersebut dapat dijelaskan melalui konsep hegemoni yang diperkenalkan
oleh Antonio Gramsci. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat
disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Hegemoni terlihat wajar,
khalayak akan menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemonik
itu menyatu dan tersebar dalam praktik, kehidupan, persepsi dan pandangan
dunia sebagai sesuatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.28
Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan
cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar,
sementara wacana lain dianggap salah. Di sini, secara tidak sengaja media
27 James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 12
28 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 104
89
menjadi alat bagaimana wacana yang dipandang dominan disebarkan dan
menjadi konsensus bersama. Misalnya, pada pemberitaan mengenai kematian
terduga teroris Siyono, wacana yang dikembangkan oleh Media Indonesia
adalah bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas terorisme di
Indonesia. Kesalahan yang dilakukan oleh Densus 88 dilihat sebagai bentuk
pertahanan diri. Dominasi seperti yang dijelaskan diatas menyebabkan citra
Siyono dipandang tidak benar, ditambah lagi dengan penulisan fakta bahwa
Siyono memiliki peran sentral di Jaringan Jamaah Islamiyah. Begitu pun
sebaliknya juga dilakukan oleh Republika, di mana Siyono digambarkan
sebagai pihak yang tidak berdaya dan kepolisian telah bertindak secara arogan
dalam menyelesaikan kasus terorisme.
Dalam produksi berita, proses hegemoni itu terjadi melalui cara
yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak
sebagai suatu kebenaran. Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam
lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik.
Dalam studi kasus kematian terduga teroris Siyono di Media Indonesia dan
Republika, keduanya melakukan hegemoni.
Dalam teks yang diproduksi oleh Media Indonesia, terlihat adanya
upaya hegemoni yang dilakukan. Mulai dari ideologi nasionalis yang dianut
dalam institusi media dan akhirnya turun ke dalam pemberitaan yaitu
pemberitaan yang menunjukkan sikap membela pemerintah dan
memarjinalisasikan terduga teroris Siyono. Agar diterima oleh masyarakat,
Media Indonesia menggunakan penilaian nalar awam atau common sense
masyarakat tentang bagaimana seharusnya teroris ditindak. Dalam
90
pengetahuan umum, teroris adalah pelaku tindak kejahatan luar biasa dan
membahayakan masyarakat umum. Maka dimunculkanlah peran Siyono di
dalam Jaringan Islamiyah, menyebut JI sebagai kelompok separatis, dan apa
yang dilakukan oleh densus 88 adalah bentuk pertahanan diri. Pembaca tidak
akan mempertanyakan apakah sebuah tindakan yang membuat tahanan
kehilangan nyawa adalah termasuk pelanggaran hukum dan siapa yang
memulai perkelahian terlebih dahulu antara Siyono dan pihak Densus 88.
Ketika pandangan ini diterima oleh pembaca yang juga menekankan bahwa
terorisme harus dituntaskan dan mempercayakan prosesnya kepada pemerintah
maka hegemoni telah berjalan dengan baik.
Selain itu, Media Indonesia juga memasukkan kutipan dari mantan
ketua umum PP Muhammadiyah, mengingat Muhammadiyah adalah
komunitas yang mengadvokasi pihak Siyono. Ketika media ingin mendapatkan
penerimaan dari khalayak, maka media tersebut harus mendapatkan legitimasi
dari pihak-pihak yang terkait dalam kasus tersebut. Dalam hal ini Media
Indonesia memasukkan pendapat dari Kapolri, Menko Polhukam, kepala
BNPT dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah.
Jika dilihat dari struktur kekuasaan, Media Indonesia adalah media
yang dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik, yaitu Surya Paloh. Pada
pemilu 2014 lalu, partai politik yang dipimpin oleh Surya Paloh menyatakan
dukungannya terhadap pemerintahan yang berkuasa dan bergabung ke dalam
Koalisi Indonesia Hebat yang akhir tahun kemarin mengganti nama menjadi
Partai-partai Pendukung Pemerintah. Melalui kaitan tersebut, maka secara
otomatis Media Indonesia tidak mengkritik secara keras apa yang dilakukan
91
oleh pemerintah, bagaimana pun ketakutan struktural akan selalu ada jika
Media Indonesia yang mendukung pemerintahan justru menerbitkan
pandangan yang berlawanan. Sebisa mungkin media yang berpihak pada satu
kekuasaan akan berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara
melindungi dan tidak memberitakan hal-hal yang sensitif mengenai
kekurangan-kekurangan pihak yang berkuasa.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Media
Indonesia, Republika juga melakukan upaya hegemoni terhadap wacana
kematian terduga teroris Siyono. Upaya tersebut dapat dilihat dari pemilihan
narasumber yang tidak seimbang antara kepolisian, dan tim advokasi. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh pendapat redaktur halaman utama Republika
yang menyatakan bahwa kasus ini bukan pertarungan ini bukan antara
pemerintah dan Republika semata tetapi pemerintah dan Muhammadiyah
karena Muhammadiyah-lah yang secara tidak sengaja dipilih oleh keluarga
Siyono untuk mengusut kematian Siyono.
Media Indonesia dan Republika adalah dua media yang
mengupayakan wacana yang dikembangkannya mendapatkan penerimaan oleh
khalayak tanpa adanya pertanyaan dan dianggap sebagai kebenaran.
Penggunaan narasumber yang memiliki kesamaan latar belakang dimanfaatkan
oleh kedua media untuk melegitimasi pandangan masing-masing media. Kasus
kematian terduga teroris Siyono yang muncul ke publik menciptakan wacana
yang berbeda-beda. Media Indonesia yang mewacanakan pembelaan
pemerintah mendapatkan perlawanan dari Republika yang mewacanakan kasus
ini adalah pelanggaran HAM. Pada tahap inilah dapat disimpulkan adanya
92
upaya penyebaran ideologi institusi media melalui wacana yang dikembangkan
oleh masing-masing media. Apa yang dilakukan oleh kedua media merupakan
indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan. Media yang seharusnya
memberitakan secara objektif berubah menjadi subjektif, disesuaikan dengan
keinginan media dan definisi baik-buruk menurut media.
Tetapi bagaimana pun, apa yang dilakukan oleh Media Indonesia
dan Republika adalah upaya kontraterorisme yang diterjemahkan kembali oleh
masing-masing media. Terlepas dari perbedaan upaya kontraterorisme yang
dilakukan oleh kedua media, keragaman media dalam menyampaikan berita
dan analisisnya tentang peristiwa justru dibutuhkan untuk menjaga demokrasi
itu sendiri. Pada akhirnya, semua kembali lagi ke masyarakat. Mereka akan
menilai dan memilih mana di antara pemberitaan itu yang layak dijadikan
pegangan dan mana yang dijadikan sebagai second opinion.
Mengingat peran media yang cukup besar dalam merepresentasikan
sebuah peristiwa, maka penting untuk selalu mematuhi kode etik jurnalistik
yang berlaku. Ketika media tidak mematuhi aturan kode etik, akhirnya media
hanya akan mempengaruhi khalayak untuk bersimpati kepada kelompok yang
dianggap benar oleh satu media dan berantipati kepada kelompok yang
dimarjinalkan posisinya. Hal tersebut tidak dibenarkan dan telah menyalahi
kode etik jurnalistik pasal 1 yang menyatakan bahwa wartawan indonesia
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk.29 Selama wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik
dalam peliputan beritanya, maka subjektivitas dan bias dapat diminimalisir.
29 Dewan Pers, “Kode Etik Jurnalistik”, diakses pada 26 November 2016 darihttp://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik
93
Wartawan yang selalu berimbang dalam pemberitaan, jauh dari intervensi
pihak manapun, dan menginformasikan kebenaran dengan fakta adalah kriteria
yang harus dimiliki setiap wartawan.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pemberitaan kematian terduga teroris Siyono terdapat
wacana yang berbeda antara Media Indonesia dan Republika. Hal tersebut
dapat dilihat dari bagaimana susunan kalimat, pemilihan narasumber yang
terdapat pada artikel yang terbit di Media Indonesia dan Republika. Dari
susunan kalimat, pemilihan narasumber dan bagaimana masing-masing
media melihat isu ini berdampak pada pemarjinalisasian aktor sosial yang
dilakukan. Jika Media Indonesia meminggirkan Siyono dalam pemberitaan,
justru sebaliknya dilakukan oleh Republika. Republika memposisikan
Siyono sebagai korban arogansi polisi dan mendesak pemerintah agar
Densus 88 yang melakukan kesalahan dipidana.
Berdasarkan hasil penelitan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
frame yang dibangun oleh kedua media untuk memaknai masing-masing
kelompok yang terlibat. Perbedaan cara memandang suatu peristiwa
dipengaruhi oleh ideologi yang menjadi panutan di masing-masing media.
Media Indonesia memiliki ideologi nasionalis yang melatarbelakangi
penciptaan artikel yang melindungi pemerintah sedangkan Republika
memproduksi ideologi keislaman yang akhirnya mengeluarkan artikel yang
mengkritik kinerja pemerintah melalui kasus pelanggaran HAM yang
dialami oleh Siyono. Siyono memiliki tim advokasi yang terdiri dari PP
Muhammadiyah, Komnas HAM, Kontras dan Pusham UII tentu lebih
95
mendapatkan ruang di Republika karena memiliki kesamaan agenda, yaitu
membela Siyono dan mengkritik pemerintah.
Dampak dari bias ideologi ini akhirnya menciptakan berita yang
tidak objektif. Perbedaan pandangan antara kedua media menjadikan ruang
publik sebagai arena pertarungan wacana. Publik disajikan wacana yang
berbeda atas peristiwa yang sama. Upaya penerimaan bias ideologi yang
dilakukan oleh media salah satunya dengan cara sama-sama memasukkan
narasumber terkait yang melegitimasi wacana mereka. Misalnya Media
Indonesia dan Republika sama-sama memasukkan pendapat dari tokoh PP
Muhammadiyah yang memberikan respon berbeda terhadap isu kematian
terduga teroris Siyono. Media Indonesia mengutip pendapat dari mantan
ketua PP Muhammadiyah yang menghimbau untuk netral dalam menyikapi
masalah ini. Sedangkan Republika menggunakan pendapat dari ketua PP
Muhammadiyah yang menyatakan dukungannya terhadap Siyono. Upaya
memperebutkan penerimaan dari khalayak inilah yang disebut hegemoni
oleh Antonio Gramsci. Hegemoni bertujuan untuk melanggengkan
kekuasaan dengan menyebarkan ideologi melalui wacana berita yang
diterbitkan dan berharap bahwa wacana tersebut dapat diterima sebagai
kebenaran oleh khalayak.
B. Saran
1. Mengingat peran media yang strategis dalam merepresentasikan
peristiwa, seharusnya baik Media Indonesia dan Republika memegang
prinsip keberimbangan dan kode etik jurnalistik sehingga bias dari pihak
96
internal maupun eksternal dapat dihindari. Media sebagai sarana
pembentuk realitas seharusnya harus bebas dari intervensi berbagai
pihak.
2. Dalam pemberitaan isu terorisme media juga harus berhati-hati dalam
menyampaikannya. Jangan sampai justru malah ikut menyebarkan
paham radikal yang memicu tumbuhnya teroris-teroris baru.
3. Masyarakat juga diharapkan dapat menjadi audiens yang cerdas dalam
melihat suatu peristiwa. Tidak hanya dari satu sisi dan memiliki
pemikiran terbuka karena apa yang disampaikan media tidak seluruhnya
sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
4. Kritis terhadap wacana yang dikembangkan oleh media adalah penting.
Adanya kritik dan masukan dari khalayak diharapkan dapat membantu
media menciptakan berita yang lebih berkualitas dan jauh dari bias.
DAFTAR PUSTAKA
BukuBadara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana
Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007.Burton, Greame. Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kepada Kajian
Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko-politis, Peran Media,
Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka OborIndonesia, 2010.
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiSYogyakarta, 2009.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah StudiCritical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit,2004.
Hamidi. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press, 2007.Hendropriyono, A.M. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2009.Lull, James. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997.McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi 6 Buku 2. Jakarta:
Salemba Humanika, 2011.Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta:
Kanisius, 1993.Rusadi, Udi. Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode.
Jakarta: Rajawali Pers, 2015.Sadono, Bambang (ed). Profil Pers Indonesi: 50 Tahun PWI Mengabdi Negeri.
1996.Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press, 2002.Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: Andi
Publisher, 2005.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya,2001.
Sumadira, AS Haris. Jurnalistik Indonesia: Tekhnik Menulis Berita dan Feature.Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005.
Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LkiS PelangiAksara, 2004.
InternetDewan Pers. “Kode Etik Jurnalistik”. diakses 26 November 2016 dari
http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik
http://www.kbbi.web.id/separatis diakses pada 3 November 2016
Muhammadiyah. “Sosialisasi Muktamar, PP Muhammaditah Kunjungi Republika.”diakses 17 Desember 2016 dari http://www.Muhammadiyah.or.id/id/news-4545-detail-sosialisasi-muktamar-pp-Muhammadiyah-kunjungi-republika.html
Rastika, Icha. “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hinggaMenteri.” diakses 10 Januari 2017 darihttp://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam.Luhut.Pandjaitan.dari.Militer.Pengusaha.hingga.Menteri
Samita, Somya. “Profil Surya Paloh.” diakses 31 Agustus 2016 darihttp://profil.merdeka.com/indonesia/s/surya-paloh/
Utomo, Prasetya Wisnu. “Media Cetak yang Berhenti Terbit Tahun 2015.” diakses4 Mei 2016 dari http://www.remotivi.or.id/kabar/247/Media-Cetak-yang-Berhenti-Terbit-Tahun-2015-
Lain-lain“Komnas HAM: Siyono tak Melawan”, Republika, 12 April 2016.Company profile Media IndonesiaCompany Profile Harian Umum RepublikaWawancara Pribadi dengan Usman Kansong. Jakarta, 9 Agustus 2016.Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami. Jakarta, 29 Agustus 2016.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
OPEN CODING – TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber 1 (Media Indonesia)
Topik riset : Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016
Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 9 Agustus 2016 pukul 12.00 – 13.30 WIB
Konsep : Kode Etik Jurnalistik, Nilai-Nilai Berita, Ideologi, Marjinalisasi, Kebijakan Media, Objektivitas
No Refleksi diri peneliti Isi transkrip Keterangan Kategori / konsep1 Perkembangan media
indonesiaP: pertama-tama saya mau nanya tentangperkembangan media indonesia. Oplah, prestasidan sebagainya.NS: Kalau oplah 280.000-an, kemudian dua tahunterakhir ini kita sedang mengembangkan beberapalini bisnis lagi, seperti penerbitan buku, kemudianmedia sosial, media online, kita juga membuat satuprogram namanya Kotak Musik, band-band indiekita panggil ke kantor terus mereka main kitanonton tidak dibayar kemudian kita masukkan keaplikasi kita, kita sebarkan lewat youtube danmedia online kita, ini kreasi teman-teman. Lalukemudian kita juga baru membuat lembaga risetnamanya Media Riset Center untuk quick count,riset-riset politik, riset melalui FGD. Kalauprestasi saya kira fotografer kita pernahmemenangi penghargaan Adinegoro, kemarin juga
Oplah media indonesiaperhari sebesar 280.000eksemplar.
Media indonesia sedangmengembangkan beberapalini bisnis sepertipenerbitan buku, mediaonline, media sosial danlembaga riset.
Media indonesia pernahmenjuarai beberapakategori lomba jurnalistik.
Wartawan media indonesiaada yang melanjutkan
Ekonomi media
menang lomba foto yang diselenggarakan olehSampoerna atau Djarum saya lupa. Ada tigawartawan kita yang sedang sekolah di luar, satungambil S3 di Australia, satu S2 di Russia dan satubelajar bahasa mandarin satu tahun di Taiwan.Mereka mencari baesiswa sendiri tapi kamirekomendasikan lah sampai nanti mereka selesaitetap menjadi karyawan kita, tp yang di Taiwan,pemerintah Taiwan meminta saya untuk mengirim,kemarin Korea juga tapi tidak sempat. Laluprestasi kita, kemarin salah satu wartawan kitamemenangi lomba untuk liputan pemanasan globalatau global warming untuk yang kedua kalinya.
P: oh sudah sering ya?NS: . Kita termasuk media yang paling sering lahmemenangi lomba dan temen-temen memangconcern di bidang itu. Selain itu ada peningkataniklan walaupun kondisi ekonomi sedang tidakbagus. Peningkatan dari tahun lalu adapeningkatan sekitar 8%.
studi di luar negeri.
Tahun 2015 lalu iklan dimedia indonesia naikhingga 8%
2 P: bagaimana alur redaksional di media indonesia?NS: Jadi, wartawan ya ke lapangan, tidak sepertijaman saya dulu, mereka tidak perlu lagi balik kekantor, mereka tinggal kirimkan melalui online.Kita punya program namanya GPRS, yaitu sistemkomputer di hp mereka semua, kecuali di HP saya,nanti mereka tinggal send aja kesitu, semuanyaada. Sama semua, metro tv juga punya sistem itu.jadi di Media Group sudah terintegrasi semua, jadikita bisa melihat berita Metro, Media Indonesia.Mau ambil berita Metro untuk Media Indonesia
Media indonesia memilikiaplikasi yang bernamaGPRS yang menghimpunberita dari seluruhwartawan Media Group.
Kalau ada perubahan padalast minute, yang ikutmengambil keputusanbiasanya di level asistenredaktur pelaksana ke atas.
Konvergensi media danrutinitas media
boleh begitu juga sebaliknya. Karna kita sedangmengembangkan konvergensi media, sistem yangterintegrasi. Kalau sehari-harinya, malamnyateman-teman redaktur menugaskan reporter kalauada penugasan tapi tidak setiap hari karna kalauada peristiwa dadakan kan kita tidak tahu. Jam10.30 WIB pagi kita ada rapat budget, jadipimpinan menerima laporan rubrik megapolitanmeliput apa, polhukam meliput apa, ekonomimeliput apa itu yang kita tulis di layar lebar.Setelah itu kita mulai mereka-reka apa kira-kiraheadline-nya. Jam 12.00 WIB kita rapat lagingecek hasil rapat yang barusan jam 10.00 WIBsudah seperti apa, apa yang perlu ditambahkan, ideapa yang masuk. Nah, di rapat yang jam 12.00WIB itu kita juga mengevaluasi hasil koran beritayang terbit hari ini, kurangnya apa, kelemahannyaapa. Kok koran lain bisa dapet berita ini kitaengga, oh ada yang kurang harusnya judulnyatidak begini, ada bahasa indonesia yang salah.Evaluasi ini kita adakan untuk memperbaikisupaya kita tidak mengulangi kesalahan lagibesoknya. Nah 14.30 WIB kita baru rapat final, itusudah ketahuan headlinenya apa, judulnyaheadlinenya juga sudah kita rumuskan apa, secondheadline apa, berita halaman keduanya apa itusudah kita rumuskan sampai detail.
P: Oh jadi headline untuk besok itu sudah tau darisore ya?NS: Iya, semua laporan yang sudah dikumpulkannanti terlihat di layar besar pada saat rapat, semua
Tiap redaktur sudah bisamelihat layout beritanyadan berapa karakter yangharus dipenuhi karenalayout sudah diberikanpada sore hari oleh timartistik.
Nantinya semua wartawanmedia indonesia dan metrotv akan tergabung menjadiwartawan Media Group.
perkembangan kita tulis semua disitu.
P: kalau tiba-tiba pada malam hari ada perubahanatau peristiwa yang lebih besar terjadi, bagaimana?NS: misalnya ada peristiwa atau kejadian jam 6sore, nah biasanya kita rapat kecil saja, hanyabeberapa orang, biasanya di level asisten redakturpelaksana ke atas, kadang kalau saya tidak ikutrapat mereka laporan ke saya kalau ada perubahan.Kalau tidak saya yang mengecek, itu bisa lastminute kok berubah.
NS: ... Setelah itu masuk ke layout. Dari reportermasuk ke sistem GPRS, lalu redaktur mengambil,mengelola, memilih, digabungkan atau dipisahkan,kemudian mereka sudah tentukan judulnya,halamannya baru mereka masukkan ke dalamlayout. Sebenarnya sudah ada layoutnya dan itusudah dibagikan oleh tim artistik ke redakturdalam bentuk softcopy. Jadi mereka bisa lihat sayabesok layoutnya seperti apa, berapa karakter itusudah ada, seperti template tp berubah-ubah setiaphari. Beritanya dimasukkan kedalam softcopy itukemudian diperiksa oleh tim artistik setelah itubaru di print baru diperiksa secara manual.Redaktur ada yang bertugas setiap malam untukmengecek ada yang salah atau tidak, hurufnya adayang ketinggalan atau tidak.
P: Jadi dicetak dummy-nya dulu ya baru di cetak?NS: Iya, karena kalau mengecek lewat komputersuka ada yang kelewat.
P: Jadi nanti wartawan metro tv tergabung menjadiwartawan media indonesia dan begitu sebaliknya?NS: Ya memang begitu, nanti jadi satu sebagaiwartawan Media Group. Dan memang itu sedangdimatangkan. Nantinya Metro TV dan MediaIndonesia akan jadi satu gedung dan itu sedangdipikirkan. Jadi wartawan harus bisa jadi jurnaliscetak, jurnalis online, jurnalis tv. Tinggal dirubahsaja bahasanya, kan berita semuanya sudah masukke dalam satu sistem.
3 P: Biasanya kriteria berita yang masuk headlineversi media indonesia itu yang seperti apa?NS: Berdasarkan nilai berita aja, misalnya inimenyangkut keterkenalan karena presiden bicara,atau beritanya menyangkut tentang keluarbiasaanmisalnya ada berita banjir besar, atau tsunami acehitu kami tentukan sesuai dengan nilai berita. Selainitu juga apa yang sedang jadi pembicaraan publikdan nilai berita apa yang terdapat dalam peristiwaitu dan itu melalui perdebatan dan diskusi, bukansaya yang menentukan, saya kadang-kadang tidakikut rapat. Semua orang boleh berpendapat, orangboleh membantah saya, itulah yang disebutdemokrasi dalam rapat. Kita menentukan bersamaapa yang menjadi headline.
Kriteria yang akan masukheadline adalahberdasarkan nilai beritadan diskusi pada saatrapat.
Nilai-nilai berita
4 P: Nah, terkait isu terorisme sendiri. bagaimanapandangan media indonesia atas terorisme?NS: Nomor satu kita melawan terorisme, kita tidaksetuju dengan terorisme dan kita mengkritik kerasterorisme, kita juga berusaha mencegah supayaterorisme tidak terjadi. Katakanlah kebijakan kita
Secara umum mediaindonesia melawan danmemerangi tindakanterorisme dan mencegahagar terorisme tidakterjadi.
Ideologi media
berperang melawan terorisme.5 P: Bagaimana strategi media indonesia dalam
memerangi terorisme? Apakah denganmemasukkan banyak kutipan dari pemerintah?NS: Ya macam-macam, memang terutamapemerintah, dalam konteks ini kan Polri yangmelakukan pemberantasan terorisme secaralangsung. Tapi di sisi lain kita juga kadang-kadangmeminta pendapat para pakar terorisme, tokohmasyarakat begitu. Kebijakan kita ini memangjarang mewawancarai istrinya teroris dan itu tidakboleh. Kita tidak mau mewawancarai itu. kenapa?karena biasanya yang tampil itu adalah pembelaan-pembelaan. Padahal kita sudah yakin betul bahwaapa yang mereka lakukan adalah pelanggaran,pelanggaran kemanusiaan, melanggar agama juga,mereka kan mengatasnamakan agama, merekasebenarnya menunggangi nama agama. Jadibiasanya istri akan membela “Oh suami sayaorang baik kok, saya tidak tahu...”. Pernahmisalnya pada tahun 2008 waktu eksekusi AmroziCS, kita memutuskan untuk tidak meliputpemakamannya itu, karna ada informasi bahwarakyat disana menyambut seperti seorangpahlawan. Kita tidak meliput karna itu memangbukan ideologi kita, bukan kebijakan kita, karnaada glorifikasi, pengagung-agungan, seakanpahlawan masuk surga, disambut tujuh bidadari,tidak kita liput, eksekusi mati, selesai.
P: Oh jadi itu tidak hanya berlaku kepadaterororisme saja tetapi kepada seluruh kelompok
Memasukkan kutipan daripemerintah dan pakarterorisme termasuk strategimedia indonesia dalammemberitakan isuterorisme.
Media indonesia memilikikebijakan untuk tidakmewawancarai keluargateroris.
Media indonesia tidakmemberikan kesempatankepada kelompok yangmereka anggapmenyerukan kekerasan dankeributan.
Kebijakan media
yang sering ada ribut-ribut itu ya pak?N: Iya, Itu sikap kita. Sikap kita tegas, kita tidakmau memberikan panggung kepada mereka yangmengobarkan kekerasan, termasuk kelompok-kelompok yang kalian sebut seperti FPI, manapernah ada di Media Indonesia atau metro masukkita wawancarai itu jarang, paling kalau ada hanyasekedar konfirmasi. Tapi kita tidak maumemberikan panggung kepada mereka, terlalumahal, terlalu istimewa halaman koran kita untukkelompok itu. karna kalau kita memberi panggungkepada mereka berarti kita ikut juga menyebarkankekerasan. Secara umum, kita berperang melawanterorisme dalam pemberitaan kita.
6 P: Lebih khususnya lagi kita akan bahas tentangkematian terduga teroris Siyono ya pak.Bagaimana media indonesia memandang kematianterduga teroris Siyono?NS: Siyono ini agak spesifik, agak khusus, kitajustru membela siyono. Kita bahkan dalameditorial pernah menuliskan kritik kepada Densus,polisi agar jangan gegabah, kita wawancaraiMuhammadiyah, karna dia yang mengadvokasi,kita mewawancarai salah satu tim advokasi,keluarganya, kita meliput hasil visumnya. Lainkalau siyono ini, karna dia salah, polisi terlalucepat memutuskan itu.
P: Tapi pada kenyataannya kan media indonesiajuga memasukkan keterangan kalau siyono adalah
Secara umum mediaindonesia mengkritik carakerja densus 88 dankepolisian dalammenangani teroris.
Media Indonesia setujukalau Siyono tersangkateroris. namunmenyayangkan carapenangkapan yang dinilaigegabah.
tersangka teroris.NS: Iya itukan dari versi kepolisian, tapikankemudian ada proses yang tidak benar. Nomorsatu, menurut kita terlalu cepat polisimenyimpulkan. Nomor dua, dalam prosesnya adakesalahan, ada kekerasan, kalau dia bersalah,ditangkap, ya sudah, kan dia tidak melakukanperlawanan tapi kalau ada kekerasan yangmenyebabkan ia meninggal. Kemudian yangketiga belakangnya polisi merasa bersalah kok,buktinya mereka ngasih uang ke keluarganya. Nahhal tersebut yang membuat kita memberikanperlakuan kita agak berbeda dalam konteksSiyono. Walaupun dia ada indikasi teroris. Tapikalau sudah ditangkap, ya sudah tangkap, tapijangan dibunuh dong, kira-kira begitu. Kalaudibunuh kalo dia benar melawan, tembak. Kanudah banyak juga polisi nembak orang yangngelawan. Nah itu, beda konteksnya kalau dengansiyono itu. kita support polisi, kita support densus88 kalau cuma sampe ditangkap, tapi sampai matidia, ada kekerasan, kan tidak boleh orangdieksekusi sebelum diadili. Tapi karna konteks iniadalah teroris, maka kita kritik polisi, tidak bolehbegitu dan tetap harus mengedepankan hak asasimanusia. Kita inikan mau mengubah Undang-Undang Teroris dan kewenangan polisi diperluasbahkan baru indikasi saja bisa ditangkap, kitasetuju dengan itu, karna teroris jangan sampai diamelakukan dulu baru kita tangkap.
7 P: Dalam artikel tanggal 6 April, yang berjudul“Siyono Berposisi Penting di Jaringan JI”, Media
Media indonesiamembenarkan kalau
Objektivitas
Indonesia banyak memasukkan pendapat daripemerintah, apakah itu salah satu penerapanstrategi dari melawan terorisme versi MediaIndonesia?NS: Kan berita itu ada contunuity adakeberlanjutan nah mungkin dalam satu berita kalaukita analisis satu item itu, hasilnya seperti itu. Tapimungkin kalau kita lihat secara keseluruhan akanberbeda. Inikan ada urut-urutan, adaperkembangan dalam pemberitaan kita. Mungkinpada saat itu, iya. Karna cukup sampai segitu, tapicoba lihat berita besoknya atau sebelumnya, sayakira secara keseluruhan akan menggambarkansikap kita. Saya juga tidak begitu tahu detil sepertiapa, tapi memang benar sebagian besar daripemerintah, tapi lihatlah pertanyaan atau jawabandari mereka, pasti pertanyaan kita mungkin kritis.Ketika polisi bilang Siyono teroris, kan kita tidakbisa menulis kalau Siyono bukan teroris. Dalamsatu item memang benar pernyataan banyak daripemerintah tapi kalau dilihat secara keseluruhankelihatan kok sikap kita yang dalam tanda kutipmembela Siyono.
kutipan yang dimasukkankebanyakan daripemerintah.
8 P: dalam kasus ini kan ada dua kubu antara Siyonodan Densus 88. Tapi yang saya lihat kenapa yanglebih banyak ditonjolkan adalah densus 88 nya yapak dibandingkan Siyono?NS: Ya mungkin seperti itu ya, kalau hasil analisiskamu seperti itu saya tidak bisa membantah karnamemang seperti itu. Sebetulnya, ada benarnya kitadi sisi kepolisian tapi ada kritik disitu. Kitawawancara Busyro Muqoddas juga,
Media indonesiamengkritik kepolisianuntuk terlihat seolah-olahmembela siyono.
Media indonesia jugaberhati-hati dalammemberitakan kasus inikarna bagaimanapun
Keberpihakan
Muhammadiyah juga, Din Syamsudin, kitawawancara mereka juga, mungkin porsinya yangtidak seimbang, karna kita mengkritik polisi jadibahasanya kita tidak membela siyono tapimengkritik polisi dalam konteks cara-cara merekamenangani teroris. Karna kita kritik polisi makanarasumber kebanyakan dari pemerintah dalamarti kita mempertanyakan secara kritis juga kepadapolisi “kok begini sih?”.
siyono memiliki indikasisebagai teroris.
9 P: Karna teroris ini berita yang sensitif. Bagaimanamedia menjaga keobjektifan dalam sebuahpemberitaan?NS: Kan ideologi kita menolak terorisme, kitamembela Siyono secara tidak langsung yangsecara langsung itu kita mengkritik polisi. Jadi,bagaimana agar berita objektif maka bahasa yangpaling tepat barangkali kita mengkritik polisidengan demikian toh kita juga dalam tanda kutipkelihatan seolah-olah membela siyono secara tidaklangsung karna dia ada indikasi kan, diawal-awalkita juga mengatakan itu.
P: Jadi? Beritanya tetap menekankan hanya padasatu kelompok saja dong?NS: Jadi gitu, coba misalnya berita tentangArcandra media akan berbeda-beda caramemberitakannya, Kompas akan berbeda denganMedia Indonesia, Republika dengan MI akanberbeda. Objeknya sama kan? Tapi bisa berbeda-beda itu menunjukkan subjektivitas. Ada momenyang sama, tapi kemudian begitu turun sebagaiberita itu akan berbeda-beda. Kalau beritanya
Media indonesiamenyatakan bahwa beritaitu bersifat subjektif dantidak ada berita yangobjektif karenadipengaruhi ideologimedia itu sendiri.
Hierarki pengaruh, bahwaideologi mempengaruhipemberitaan.
objekif maka akan sama hasilnya ketika jadi berita.Pada dasarnya, tidak ada berita yang objektifkarena dipengaruhi juga oleh ideologi. Tapi adaprinsip-prinsip keberimbangan, tapi soal porsinyakan urusan kita, tergantung kemana kita berpihak.
10 Peneliti tidakmenanyakan lebihlanjut apakah adasanksi jika adapelanggaran dalampenulisan berita tentangterorisme.
P: tapi dalam penulisan berita, ada peraturan yangdiberikan oleh pemerintah atau tidak sihbagaimana cara menulisnya, sudut pandang manayang harus dipakai?NS: Ada dari AJI itu ada buku pedoman untukmenulis berita tentang terorisme dan ada bukucode of conduct itu juga bagus untuk menjadipedoman
Media indonesiamenggunakan bukupedoman penulisanterorisme yangdikeluarkan oleh AJI danbuku etikaperusahaan/code ofconduct
Kode etik jurnalistik
11 P: menurut anda, bagaimana cara penulisan beritaterorisme yang baik? Atau mendekati objektif lah.NS: Mengikuti buku pedoman yang diberikan olehAJI, itu salah satu cara yang bagus, saya baca bukuitu dan saya kutip juga isi buku itu. Nomor satu,saya kira semua media punya kebijakan dalammeliput terorisme tapi yang jelas adalah duaprinsip itu saya kira kita harus ada bersama-samanegara dalam memberantas terorisme. Kedua, kitatidak memberi ruang kepada mereka secaraberlebihan, sebab jika kita memberi ruang kepadateroris, keluarga atau pendukungnya, itu kita ikutmenyebarkan terorisme sebetulnya dan kita kanpunya tanggung jawab sosial, saya kira cukup duahal itu saja yang kita terapkan.
Agar berita tentangterorisme bersifat objektif,media indonesia mengikutipedoman dari AJI.Pertama, media harusbersama pemerintahmemerangi terorisme dantidak memberi ruangsecara berlebihan kepadateroris.
Kode etik jurnalistik
12 P: dalam artikelnya, media indonesia menuliskelompok JI adalah kelompok separatis. Apakahitu merupakan salah satu strategi untukmemojokkan kelompok tersebut?
Media indonesiamengkonfirmasi bahwapemakaian kata separatismemang untuk
Marjinalisasi
NS: Iya, mengkritik mereka, menyerang mereka,melawan mereka, karna kan tadi ideologi kitakebangsaan. Kalau dia separatisme dalam artianingin mendirikan negara islam itu harus kitatentang, bertentangan dengan ideologi yang kitaanut.
memojokkan kelompok JI.
13 P: Tadi kan katanya, Media Indonesia sebenarnyamembela siyono dan kasus ini unik. Bagaimanadengan kebijakan MI yang tidak mewawancaraikeluarga teroris? apa keluarga siyono tetap tidakmendapatkan ruang?NS: Bisa, tapi tidak dalam konteks terlalumendalam, terlalu luas, paling kita hanyamengkonfirmasi memenuhi asas keberimbangantadi. Tapikan kita melihat perlu gak sih. Kalaudiperlukan ya kita wawancara, tapi seperti apapertanyaan-pertanyaan kita, karna kalau kitamemberikan kesempatan mereka, mereka akanmemanfaatkan kita sebagaimana merekamenunggangi demokrasi untuk merebutkekuasaan.
P: Kenapa sangat jarang muncul pendapat dari timadvokasi? Apa mereka terlalu mendalammembahas kasus ini?NS: Saya kira persoalan ini adanya bukan di timadvokasi, tapi ada di pemerintah sehingga kitalebih banyak mempertanyakan kenapa sikappemerintah malah menembak dan sebagainya.Dalam proses kasus Siyono ini saya kira MediaIndonesia juga hati-hati karena dia ada indikasi diaitu teroris, jangan sampai ada kesan kita membela
Media indonesia bisa sajamemberikan ruang kepadakeluarga siyono kalau itubenar-benar diperlukan.Jika ada, sifatnya hanyauntuk konfirmasi.
Media indonesia melihatbahwa titik berat kasus iniadalah kepolisian, bukantim advokasi. Jadipendapat tim advokasisangat sedikit.
Prinsip keberimbanganberita,
terorisme tapi sebetulnya kita ingin mengkritikcara-cara polisi dalam menangani orang yangdiduga teroris.
14 P: Bagaimana cara Media Indonesia memastikankalau Siyono memang teroris? Data yangdiberikan oleh polisi dalam bentuk apa? Karnainformasi seperti ini kan tidak diberitahukansecara terbuka.NS: Mereka ada konferensi pers, wawancara dandoor stop juga ada. Siyono ada indikasi teroriskarna sudah ada indikasi kuat, tapi tetap belum adapersidangan. Data yang diberikan polisi ke kita(pers) juga lumayan kuat indikasinya, mulai daricara berpakaian dan memang ada indikasi yangkuat dan polisi saya kira tidak salah tangkap. Diamenangkap benar karna ada indikasi itu, tapi diasalah dalam prosesnya, mungkin dipaksa mengakuatau emosi kita tidak tahu.
Media indonesiamendapatkan informasitentang siyono darikonferensi pers danwawancara pihakkepolisian.
Siyono memiliki indikasiyang kuat sebagai terorisjika dilihat dari laporankepolisian.
15 P: Jika ditinjau dari siapa pemilik MediaIndonesia, yaitu Surya Paloh dan backgroundbeliau (pendiri Forum Komunikasi Putra-putriABRI, pemilik Media Group yang di dalamnyaada Metro dan Media Indonesia, Koran Lampungdsb. Pendiri Partai Nasdem). Lalu sayamenyimpulkan bahwa Media Indonesia sangatmungkin menjadi media untuk menyampaikankepentingan-kepentingan pemilik dalam hal inisudut pandang dalam melihat kasus Siyono? Apabenar begitu?NS: Tidak, tidak ada campur tangan Surya Palohsama sekali, karna beliau memang sudah tidakpernah ke kantor. Kalaupun pernah beliau hanya
Media indonesia menganutideologi yang dimiliki olehpemiliknya yaitu SuryaPaloh, yaitu menghargaikebangsaan dankeberagaman. Ideologitersebut yangmempengaruhipemberitaan.
Ideologi media
menyarankan dan selebihnya dikembalikan padapeserta rapat, siapa saja boleh berpendapat danberdebat. Lagipula jadi ketua forum komunikasiABRI itu kan sudah lama. Beliau membebaskankepada kita asalkan ideologi dan pandangankebangsaan, menghargai keberagaman, dan nilai-nilai atau pandangan beliau tetap digunakansebagai acuan.
Lampiran 6
OPEN CODING – TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber 2 (Republika)
Topik riset : Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016
Wawancara dilakukan pada hari Senin, 29 Agustus 2016 pukul 13.30 – 14.30 WIB
Konsep : Fungsi Media, Objektivitas, Ideologi, Hierarki Pengaruh, Kode Etik Jurnalistik
No Refleksi diri peneliti Isi transkrip Keterangan Kategori / konsep1 Perkenalan diri peneliti P: pekenalkan pak, saya Anisa mahasiswa UIN
Jakarta, jadi saya sedang mengerjakan skripsi yangmembahas tentang analisis wacana kematianterduga teroris Siyono. Langsung saja ya pak.NS: Iya silakan.
P: bagaimana alur pemberitaan dalam republika?NS: Biasanya kalau ada pemberitaan seperti itu,malam hari setelah selesai ngedit, selesai layout,selesai percetakan kami adakan rapat kecil untukmenentukan agenda besok berita apa yang akannaik. Kemudian kami kirimkan agenda tersebut kenewsroom. Newsroom itu disini badan yangmengatur lalu lintas reporter, lalu newsroom yangmembagi-bagikan agenda ini kepada reporteruntuk dicari beritanya. Nanti sekitar jam 12 siangkita rapat lagi untuk menanyakan bagaimana
Alur berita di republikamenggunakan sistemnewsroom.
Peserta rapat yangmenentukan berita darilevel redaktur hinggaredpel lalu diberikan kekepala newsroom untukdibagikan ke reporter.
Tugas pimred lebih kehubungan media denganpihak eksternal.
Keputusan berita yangakan naik ada pada diskusi
Rutinitas media
perkembangan berita ini atau kami juga tanya adaberita yang lebih bagus atau tidak daripada agendayang sudah kami tetapkan. Kalau tidak ada nantijam 14.00 WIB kita rapat lagi untuk menuntaskanagenda tersebut, misalnya kita menemukanperkembangan baru atau ada peristiwa baru itunanti kami pastikan diganti atau tidak, seperti itu.Yang ikut rapat untuk menentukan agenda itu dariredaktur sampai redpel. Jadi pimred tugasnya lebihke hubungan media dengan pihak eksternalwalaupun tidak melepaskan kewenangan diinternal.
P: Biasanya dalam rapat, siapa pemegangkeputusan tertinggi dalam rapat? Misalnya dalammenentukan headline dan berita yang akan masukbesok?NS: Tentu jika secara hierarkis dan struktural,secara de jure nya pimred, tapi secara de factobiasanya kami punya suara yang sama besar.Biasanya pimred hanya mengecek akhir-akhir saja,dia jarang ikut rapat. Kalau ada diskusi yangbenar-benar besar kita akan kasih report dan itupun jarang sekali. Lebih sering kita berdebatsecara sehat siapa yang paling masuk akal dia yangmenang. Yang menentukan biasanya waredpel.Perserta rapat biasanya ada rapat waredpel,asredpel, dan redaktur juga. Tapi tidak dalamsetiap kesempatan pendapatnya redpel dipakai,kami masih bisa membantah dan menggantipandangan. Siapa argumennya yang paling kuatdan yang paling masuk akal. Hanya beberapa kali
dan pemegang keputusantertinggi rapat ada padawaredpel.
yang saya ingat pimred memberikan titah besokberitanya akan seperti apa.
2 P: Biasanya berita yang masuk halaman depanatau jadi headline itu kriterianya apa saja sih?NS: Kita tidak punya kriteria baku karena tidakseperti media lain. Republika lebih sukamenonjolkan isu dia sendiri. Katakanlah sepertikasus Siyono, itu kan kasusnya tiba-tiba,proximitasnya juga tidak jauh hanya di Klatensaja, beritanya juga tidak terlalu besar, tidak terlalumenjadi perhatian masyarakat Indonesia. Tapikami terus maju saja dan walaupun media laintidak mengikuti masa bodoh kita maju karena kitaanggap ini penting. Republika jarang sekali buatheadline berdasarkan selera pasar, kami usahakanseperti itu kecuali kasus atau peristiwa yang benar-benar nasional seperti reshuffle kabinet. Kalaukondisi sedang landai seperti ini kami lebihmemperjuangkan agenda kami, jadi apa yang maudimasukkan ya suka-suka kami saja, mau korantidak ada yang memberitakan, TV tidak ada yangberitakan, mau orang-orang tidak baca, kamiberitakan kasus itu sampai selesai. Republika lebihmemilih isu kita sendiri daripada harus ikut-ikutanorang lain. Katakanlah Siyono salah satunya,dengan dorongan Republika jadi ada autopsi dansegala macam. Jadi, yang masuk di halaman depanadalah isu yang kami perjuangkan dan kamianggap penting.
Republika tidak memilikikriteria khusus untukmenentukan berita apayang akan masuk headlinedan memiliki agendasendiri. Tapi hal tersebuttidak berlaku jika ada isunasional yang sangatpenting seperti reshufflekabinet.
Nilai-nilai berita
3 P: beberapa kali republika menjadikan kasussiyono ini sebagai headline, apa alasannya?NS: Sebenarnya soal konsistensi saja. Kalau
Alasan republikamemasukkan beritatentang Siyono ke dalam
Ideologi media terhadapterorisme
Republika kan bagaimanapun pandangan kamiterhadap terorisme itu kriminal. Dari awal beritaterorisme yang kita sepakati adalah terorismeharus dipandang sebagai kriminalitas luar biasatapi kita tidak sepakat dengan cara-cara AmerikaSerikat, Singapura, Malaysia dimana merekamenganggap ini sebagai kondisi kedaruratanbangsa dimana TNI bisa turun, penahanan tanpabatas bisa diberlakukan, tindakan-tindakan vonishukum bisa dilakukan. Republika memandang haltersebut bisa menambah simpatisan teroris. Jadiseperti itu, kami khawatir jika kasus-kasus sepertiSiyono ini dibiarkan akan menjadi banyak orangyang melakukan simpati terhadap terorisme.
P: Kalau terorisme dilihat sebagai kriminalitas,lalu kenapa beritanya kebanyakan adalah Siyono?Bukannya Siyono adalah aktor yang disebutteroris?NS: Iya karena disini kita mendapatkan kasus yangbenar-benar ada saksi mata dan mengkonfirmasibahwa ia dibunuh tanpa proses hukum.Sebelumnya sudah banyak dan kami seringmembuat rekapitulasi soal berapa banyak terdugateroris yang mati tanpa proses hukum, yangdihilangkan nyawanya dengan extrajudicialkilling, diluar keadilan, diluar ada keputusanbahkan belum disangkakan. Masyarakat harus tahubahwa di Indonesia tidak punya status terduga.Mengapa? Karena kita menganut asas praduga takbersalah, yang ada hanya tersangka. Nah orang-orang yang dibunuh kemudian adalah warga
headline karena republikaingin mengkritik pihakpemerintah danmenunjukkanketidaksepakatannyadengan aturanpemberantasan terorismedengan cara-cara sepertiAmerika.
Dalam pemberitannyaRepublika inginmemberitahukan bahwadensus 88 seringkalibertindak sewenang-wenang terhadap terdugateroris dan banyakberitanya yang tidakdiangkat ke publik padahalhal tersebut adalahpelanggaran HAM
negara biasa karna mereka secara hukum belumdapat status tersangka, sementara kita secarahukum tidak ada status terduga, walaupun merekasalah.
Siyono ini sebenarnya hanya puncak gunung es,kami sudah melihat kecenderungan ini sejak 2009atau 2008, kita memang sudah cukup lamamemperhatikan Densus 88 melakukan hal sepertiini. Kita sering mendapat cerita di Poso, Lombok,Makassar, di Tangerang dengan alasan bahwa para“terduga” memegang senjata kemudian dibunuholeh polisi.
4 P: Menurut informasi yang saya baca, siyonomemiliki indikasi yang kuat sebagai teroris, ikutgerakan JI dan gerakan tersebut termasuk gerakanseparatis, apakah hal tersebut tidak dilihat olehrepublika?NS: Sekarang apakah indikasi polisi sudahmenjadi produk hukum yang sah di Indonesiasebelum ada keputusan dari pengadilan. Polisi punjuga banyak melakukan SP3 misalnyamemberhentikan kasus karena apa yang disebutpolisi itu bukan menjadi hukum, tapi baru dugaanatau sangkaan mereka. Bagaimana caramembuktikan dugaan tersebut? Bawa kepengadilan, itu yang kami sorot dari kasus Siyono.Kenapa kasus Siyono ini kemudian jadi demikianmassive? Karena ada Muhammadiyah yangbergerak total bilang “cukup, kita tidak bisaseperti ini lagi” sebagai negara kita tidak bisamelakukan hal seperti ini karena secara kematian
Republika berpendapatbahwa indikasi polisibelum bisa dijadikanpijakan yang sah untukmengambil keputusaneksekusi dan men-capseorang bersalah.
Karena indonesia adalahnegara hukum, makaterduga teroris sepertiSiyono juga patutmendapatkan perlindunganhukum dan prosespengadilan sebelumdieksekusi.
Republika setuju untukmemberantas terorisme
Siyono benar-benar mencurigakan, ditangkap laluditemukan luka-luka setelah diautopsi ada tandakekerasan dan hal seperti itu.
Sebenarnya dalam banyak hal, Republika tidakhanya berbicara tentang Siyono semata, kamiberbicara soal mengembalikan tanggungjawabDensus 88 untuk melakukan penindakan secaraprosedural dan proses hukum yang pantas.Kadang-kadang penindakan terorisme itu kanmelekat dengan ketakutan masyarakat, saatmasyarakat takut dengan terorisme, kerap kaliaparat keamanan seperti memiliki justifikasi untukmelakukan hal-hal yang diluar hukum yangsemestinya. Hal tersebut terjadi di Amerika,bagaimana mereka mengaku negara demokrasitetapi menahan begitu banyak orang-orang yangtanpa disidang dimasukkan ke tahanan. Kemudiandengan Malaysia dia punya ISA (Internal SecurityAct), mereka bisa menahan orang-orang tanpadakwaan dan sangkaan dalam waktu-waktutertentu. Hal-hal seperti itu kami pikir katakanlahkita takut dan masyarakat takut akan terorisme,dan kemudian kita berhak memberikan cekkosong kepada aparat keamanan untuk melakukantindakan-tindakan seperti itu, penindakan yangsangat potensial untuk mengganggu kebebasankita secara hakiki, kita punya kebebasan hak asasimanusia, kebebasan kita sebagai warga negara, haltersebut yang coba kami kawal.
Oke kita sepakat untuk memberantas terorisme,
tapi dengan cara-cara yangdilakukan harus beradadalam koridor yang benar.
Siyono tetap dinilai tidakbersalah karena diadieksekusi sebelum adapersidangan. WalaupunSiyono memiliki indikasiyang kuat tapi tetap tidakterbukti secara hukumkalau dia teroris.
tapi kita juga sepakat bahwa pemberantasantersebut harus berada dalam koridor yang benar.Melakukan hal baik dengan cara yang tidak baikkita tidak tahu dampaknya akan seperti apa.
P: Jadi menurut republika siyono ini tidakbersalah?NS: Saya tidak bisa bilang tidak, tapi Siyonobelum bersalah. Karena demikian kita punyaprosedur hukum, kita tidak bisa bilang orangbersalah sebelum hakim mengatakan dia bersalah.
P: Kalau ternyata siyono terbukti bersalah,bagaimana tanggapan anda?NS: Tidak masalah, kita tidak akan membela.Yang kita soroti bukan salah tidaknya Siyono, tapikenyataan bahwa dia dibunuh sebelum adaketentuan yang pasti bahwa dia salah atau tidak.Kalaupun Siyono salah, silahkan bawa kepengadilan, hukum mati kalau perlu jika diabersalah. Tapi dilakukan dengan cara-cara yangprosedural, yang kita tahu dan transparan sehinggamasyarakat tidak bertanya-tanya lagi.
P: Jadi secara umum pandangan republikamelawan terorisme tapi dengan mengawasibagaimana cara densus melakukannya?NS: Iya hal itu juga yang kami sarankan ke MabesPolri, mereka kemudian membuat konferensi pers,dibilangnya orang yang membela Siyono membelateroris. Kami pikir cara-cara seperti itu miripsekali dengan cara-cara orde baru, benar-benar
Amerika. You’re either against us or with us, kaumelawan kami atau bersama kami. Padahal tidakseperti itu, kita negara hukum, kita punya daerahabu-abu disitu, kita tidak bisa berbuat apa-apasebelum terbukti bersalah, itu yang mau kitategakkan.
5 P: Dengan memasukkan banyak pendapat dariLSM, tim advokasi Siyono, memangnya tidaktakut dibilang pro terorisme karena kan basisRepublika juga media islam dan Siyono orangislam?NS: Saya pikir kepolisian tahu dan paham rekamjejak Republika, kepolisian sangat concerntentang pemberitaan terorisme pasti merekamemantau pemberitaan Republika dari jaman dulusampai sekarang. Saya pikir mereka juga tahuRepublika bukan pro terorisme dan tahubagaimana kami justru berada di garda palingdepan dan bagaimana kami termasuk salah satuyang paling mendorong bagaimana radikalisme ituditekankan dengan cara-cara yang soft power.Mereka pasti paham, jadi kami tidak takutdibilang koran yang pro terorisme karena kamipercaya diri memiliki rekam jejak yang mapansoal perlawanan terhadap terorisme. Jadi samasekali tidak ada ketakutan dan kami jelaskan disitukita menggunakan narasumber memang bukanpersoalan kita pro atau kontra terhadap terorisme.Kita pro sama hak asasi manusia.
Republika tidak adakekhawatiran akan di capsebagai media yang prodengan terorisme karenamenurutnya republikasudah memiliki jejak yangmapan tentangperlawanannya terhadapterorisme.
Republika lebih menyorotibahwa ini kasuspelanggaran HAM.
6 P: Republika menuntut revisi Undang-UndangTerorisme. Hal apa yang ingin Republika tuntutdari RUU Terorisme tersebut?
Dalam wacana perubahanRUU terorisme republikamemberikan
Kritik terhadap pemerintah– fungsi media
NS: Republika tidak mendorong revisi undang-undang terorisme. Darimana saya bisa katakan ini,satu saat bom Thamrin meledak kita memberikanasumsi dasar kami tidak takut. Kenapa kami tidaktakut? Agar ketakutan kami tidak dipakaipemerintah untuk merevisi dan mengeluarkanregulasi-regulasi yang berdasarkan ketakutan kitakarena itu berbahaya. Saat kita takut lalumelakukan tindakan-tindakan tertentu saya kirabanyak potensi bahwa kita melakukan hal itudengan irasional dan saat kita mengeluarkanregulasi-regulasi didasari sifat-sifat sepertiketakutan, kebencian, kemarahan outcome-nyaakan mengerikan. Kita abai tiba-tiba saat kitasadar, kita sudah tidak takut dan kita baru sadarkalau itu salah, itu yang kami katakan “kami tidaktakut”. Jika anda lihat dua hari kemudian kamimengeluarkan headline soal revisi UU Terorisme,banyak kami buat batasan-batasan disitu,katakanlah kita susah menahan gelombangrevisinya. Tapi kita perlu memberikan batasanjuga mana yang harus direvisi dan mana yangtidak. Jangan membuat penanganan yang terlalurepresif, hati-hati melibatkan TNI seperti itu yangkami sampaikan.
pandangannya bahwapenindakan terorismeharus diberikan batasan-batasan, dan hal tersebutyang ditegaskan olehrepublika. Sehinggajangan sampaimemberikan tindakan yangterlalu represif dan berhati-hati dalam melibatkanTNI.
7 P: Jadi bisa dikatakan kalau dalam kasus initerbagi menjadi dua kubu ya antara Siyono danpihak kepolisian?NS: Sebenarnya bukan dengan Siyono, tapidengan Muhammadiyah karena pernah ada kabardari polisi kalau keluarga sudah tidak maudiautopsi. Tapi kan aktivis HAM dari UI,
Menurut republika kasusini melibatkan kubumuhammadiyah/ timadvokasi dan pemerintah.
Republikamempertahankan berita ini
Muhammadiyah, dari Komnas HAM, Kontrasmereka yang membuat koalisi dan kalau maudilihat antagonis dan protagonis ini polisimewakili pemerintah dan Muhammadiyah sertatim advokasi mewakili keluarga Siyono danmereka sebenarnya bukan soal keluarga Siyonoyang menuntut keadilan semata tapi lembaga-lembaga HAM ini yang mempertanyakan absahtidak sih cara penanganan seperti ini. Jadi bukansekedar salah atau tidaknya Siyono. Jadi yangkelihatan mengkritik sebenarnya tim advokasibukan keluarga Siyono.
Keluarga Siyono saya pikir seperti kebanyakankeluarga terduga teroris lainnya yang dibunuhyang mengikhlaskan anggota keluarganyameninggal. Jadi kenapa Republika bisa bertahanlama memberitakan ini karena pergerakan dariMuhammadiyah dan Tim Advokasi ini begitugencar, mereka bisa membuat kontinuitas daripemberitaan. Kalau hanya dari tim keluargamungkin sudah selesai satu hari esok kita tidaktahu mau ngomong apa lagi.
karena adanya perjuanganyang dilakukan secarakonsinsten oleh timadvokasi.
8 P: Apakah ada kaitan antara berita yangdikeluarkan oleh republika dengan visi misirepublika yang “membela kepentingan umatislam”?NS: Jelas, saya tidak bisa menyembunyikan haltersebut karena kan terus terang saja umat islamakan menjadi komunitas yang paling dirugikanjika perlawanan terorisme dilakukan secaraserampangan. Bahkan BNPT dan Densus 88
Republikamengkonfirmasi bahwaada kaitan antara beritayang dikeluarkan denganvisi misi republika.
BNPT dan densus 88memiliki kategori soalterorisme yang
Ideologi
punya kategori soal terorisme yaitu terorismeadalah radikalisme yang didasari ideologikeagamaan, bukan kita yang menekankan itu, tapiBNPT dan Densus 88 sendiri yang melekatkan itudengan islam. Mereka tidak bilang itu islam tapikita tahu itu islam.
Bukan hanya orang islam sebenarnya tapi banyakkomunitas yang akan disasar jika kita membiarkanaparat bersikap seperti itu. banyak orang-orangislam yang mungkin tidak bersalah bisa masukpenjara, saya pikir disitu kaitannya dengankepentingan ummat.
memojokkan islam.Walaupun sebenarnyabukan hanya islam, tapiakan banyak komunitasyang disasar jika aparatdibiarkan bersikap sepertiitu.
9 P: Kalau untuk menulis berita, adakah bukupedoman yang digunakan oleh republika untukmenulis isu terorisme?NS: Kalau saya dan beberapa teman saya yang lainsudah tergolong sering ikut seminar BNPT.Mereka biasanya mengadakan seminar setahunsekali tentang jurnalisme teroris, bagaimanamenulis berita tentang terorisme. Sayangnyamemang terkadang yang melanggar kriteria itupemerintah sendiri. Katakanlah tidak bolehmenyebut teroris dengan terduga teroris, tapi itumereka lakukan. Harusnya langsung sebut nama.Kita tidak bisa bilang terduga dan kita tidak bisaberspekulasi tentang terorisme tapikan pihakkeamanan sendiri yang membuat cap-cap sepertiitu untuk melegitimasi tindakan mereka yangkadang diluar kewajaran.
Republika seringmengikuti seminar tentangbagaimana memberitakanisu terorisme yangdiadakan oleh BNPT.
Sangat disayangkan bahwapihak pemerintah yangsering melanggarperaturan tersebut.
Kode etik pemberitaan
10 P: lalu kalau begitu, bagaimana cara menulis beritaterorisme yang objektif?
Sulit menulis beritaterorisme yang objektif
Objektivitas
NS: Itu yang sukar, saya pikir pemberitaan tentangterorisme adalah berita yang paling tidak objektifdi Indonesia karena hampir semua media hanyamendapatkan sumber hanya satu saja daripemerintah. Saat kita mencoba mengambil sumberselain pemerintah, katakanlah Republika dalamkasus Siyono malah dicap sebagai pro terorisme.Itu yang mengkhawatirkan, kalau kita tidakketergantungan terhadap polisi itu akan menjadiberita yang bagus sekali. Waktu itu kami pernahpunya wartawan yang menulis berita tentangpenangkapan teroris tanpa sekalipun mengutippihak polisi dan hanya mengutip dari saksi matadan keluarga, hasilnya sangat bagus dan anehnya360 berbeda dengan versi kepolisian dan benar-benar cerita yang lain.
P: Tapi bukankah hal yang wajar ya pak kalaukeluarga memberikan keterangan yang cenderungmembela?NS: Memang keluarga kebanyakan akan membela,tapikan kita punya hak untuk menampilkan keduasuara. kalau kasus terorisme ini banyakpenindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalamkegelapan. Misalnya mereka tiba-tiba sudah matibaru diberitakan ke pers. Ini masalah di jurnalismekita, di Indonesia bahwa penanganan tentangterorisme itu sangat sulit diberitakan secaraobjektif karena sejauh ini informasi masihdipegang erat oleh kepolisian, banyak stigma yangkita dapatkan ketika kita coba menggali hal-hal diluar versi resmi dari kepolisian. Beberapa
karena ketika pihak mediamengambil keterangandari pihak selainpemerintah akan di capsebagai media yang proterorisme.
Republika berusahamelakukan investigasisendiri terkait pelakuteroris dan seringmenemukan fakta yangberlawanan dengan versikepolisian.
Menampilkan suara darikeluarga Siyono adalahupaya republika untukmenyuarakan opini pihakyang dipojokkan.
Menurut investigasi yangdilakukan republika,latarbelakang para terorisbukan pada pemahamanagama yang radikal tetapilebih kepada sisiperekonomian.Kebanyakan para pelakuteroris adalah orang cerdasdan berbakat tetapi tidakmemiliki akses untuk
wartawan kami juga pernah dikuntit sama polisikarna mereka mencoba menanyai keluargaterduga. Yang bisa kita lakukan hanyalahmengambil dari tepian kasus, dari kasus bomThamrin kita belajar melakukan hal tersebutseperti misalnya kita pernah membuat tulisanpanjang cerita tentang bom tersebut denganmenggali informasi dari keluarga-keluarga pelakuwalaupun hasilnya tidak jauh berbeda dengankepolisian tapi banyak hal yang kita dapat ketikamelakukan investigasi sendiri, karena narasikepolisian kebanyakan pelaku itu karena didorongoleh radikalisme agama, didorong olehpemahaman yang salah tentang agama. Tapisetelah kita telusuri ke keluarga pelaku banyakdari mereka yang menganggap ini masalahperekonomian, keputusasaan bahwa mereka punyapotensi tapi tidak bisa maju hidupnya. Jadi kitamembuat narasi lain karna kita mendapatkankenyataan dan latar yang mengejutkan seperti itubahwa orang ini bukan hanya ekstremis agama tapimereka orang yang berbakat yang dipangkaskesempatan untuk majunya.
menunjukkan bakat dankemampuannya sehinggamerasa stuck padakehidupan yang itu-itusaja.
11 P: Jadi mewawancarai keluarga korban adalah halyang dilakukan oleh republika untuk katakanlahmembela ummat?NS: Membela ummat adalah kata-kata yang terlalubesar, tapi niatan kami seperti itu, membantuummat yang posisinya terpojok. Kita mencobamemberitakan yang terbaik untuk ummat.
P: Apakah pandangan untuk memberitakan ummat
Dengan pemberitaan yangseperti ini, republikamembantu kelompok yangposisinya terpojok.
Pandangan tersebutdipengaruhi juga olehICMI sebagai salah satupendiri republika.
Ideologi
yang terpojok ini dipengaruhi oleh pendiriRepublika seperti ICMI atau visi misi Republika?NS: Sukar dikatakan karena evolusi kami ini kansudah sedemikian panjang dari tahun 1991 sampaisekarang. Entah kenapa nilai-nilai seperti ituseperti sudah ada saja, jadi kalau anda lihat disiniorang beragam tapi saat jatuh ke pemberitaan, tibasaatnya menulis berita hasilnya sama seperti yangkita sepakati sama-sama karena kita berbicara atasnama Republika terlepas dia berlainan pendapatdan berdebat saat rapat. Alhamdulillah berita yangkeluar menghasilkan berita yang sesuai denganvisi misi atau prinsip.
Secara garis besar moderasi, islam kebangsaanadalah Republika kan, kita moderat kita islammoderat kita mengutamakan kebangsaan. Tapi,seperti hal yang tidak tertulis saja susah dijelaskandan sudah menjadi kesadaran kolektif yang secaratidak sadar ada dalam diri kami sendiri. Jadi ketikaada wartawan ke lapangan melihat suatu peristiwatidak melihat dari mata dia sendiri, tapi sudahmelihat dari mata Republika. Manfaatnya memilikiinstitusi yang agak lama ya seperti itu.
Memiliki institusi yangcukup lama berpengaruhpada bagaimana wartawanmelihat suatu berita. Jadiketika ada sebuahperistiwa yang terjadi,sudut pandang yangdigunakan adalah sudutpandang republika.
12 P: Apakah benar narasumber yang kebanyakandari Tim Advokasi memang sengaja dibuat sepertiitu untuk mendukung Siyono dan kalaupun adadari pemerintah yaitu yang mendukung kalauDensus bisa dipidana?NS: Iya, itu pilihan yang sadar yang menurut kamimemiliki etika jurnalistiknya, ada polisi dan timadvokasi soal porsinya itu urusan kami. Karena ini
Tim republika memangberniat mengangkat timadvokasi dalampemberitaannya.
Republika mengatakanbahwa tidak ada beritayang objektif. Yang
Objektivitas
kan bukan cuma soal keberpihakan, ini kan soalSiyono yang menggugat bukan soal polisi yangmenggugat dan kita dalam hal ini memang sayatidak bisa bohong bahwa kami mencobamengangkat tim advokasi, kita coba kasih suarademikian jadi pemilihan narasumbernya kamisesuaikan dengan agenda. Tentu kami jugamengikuti etika-etika jurnalistik.
P: Jadi kalau begitu menurut anda berita itu tidakada yang objektif?NS: Tidak ada lah, yang objektif itu metodenya.Harus bisa dibedakan antara objektivitas tonepemberitaan dengan objektivitas metode. Kalauobjektivitas dalam metode itu kami harus ikut dankita tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Intinyakami adalah entitas yang harus tunduk pada haltersebut, objektivitas metode. Tapi tidak ada mediayang punya objektivitas tone atau kecenderunganobjektivitas agenda. Itu kami nilai sebagaiprivilage, katakanlah wartawan kami tahu lebihdulu daripada masyarakat. Jadi kadangsombongnya media seperti itu, mereka merasamemiliki hak untuk memberi porsi tertentuterhadap kecenderungan tertentu.
objektif adalah metodenya.
13 P: bukannya seharusnya media ada bersamapemerintah untuk memberantas terorisme?NS: Oke kita sepakat dengan hal itu, tapimasalahnya ada perbedaan pandangan soalbagaimana cara yang paling efektif untukmemberantas terorisme. Apakah dengan carapemerintah dengan bunuh-bunuhin orang atau
Republika memiliki carasendiri untuk memberantasterorisme. Menurutnyadengan cara merangkulorang-orang dan mengajakkembali ke jalan yanglebih damai adalah cara
dengan cara Republika yang lebih damai, mencobamerangkul orang kemudian mengajak merekakembali ke jalan yang lebih damai atau denganpenegakan hukum yang saklek yang tidakmelanggar HAM, apakah mau melibatkan TNI?Kan ada banyak cara. Sekarang tujuannya sama-sama memberantas teroris tapikan upaya seperti itudalam beberapa hal bisa memunculkan teroris-teroris baru.
P: Kalau Republika banyak memberitakan Siyonodengan mengatakan itu pelanggaran HAM, apakahtidak akan memunculkan teroris-teroris baru yangakan melindungi dirinya atas nama pelanggaranHAM?NS: Justru sebaliknya, saat kita membiarkanpemerintah berlaku seperti kepada Siyono,katakanlah jika mereka salah anak-anak Siyono,anak-anak TK yang melihat Densus mengobrak-abrik rumahnya Siyono, anda pikir mereka tidakada potensi menjadi teroris bila cara-cara inidilakukan terus? Katakanlah umat islam yang diPoso yang islamnya moderat lalu tiap hari melihattentara membunuh orang islam, apakah merekajadi teroris? Kalau kita membiarkan pemerintahyang sewenang-wenang ini apakah kemudianteroris akan habis? Buktinya tidak kan. Kita sudahmelakukan pemberantasan seperti ini sejak tahun2010 dan hasilnya malah tambah banyak. Itu yangkami lihat bahwa penindakan yang total dengankekerasan seperti itu berbahaya dan akanmemunculkan teroris baru.
yang lebih baik.
Menurutnya,pemberantasan terorismedengan cara yang agresifdapat menumbuhkanteroris-teroris baru.
Dengan memberikan ruangkepada perjuangan yangdilakukan oleh timadvokasi diharapkan dapatmengajak orang-orangyang putus asa terhadaphukum bisa percaya danyakin bahwa kesewenang-wenangan pemerintah bisadilawan melalui cara yanglegal.
Nah, saat kita menggunakan cara-cara hukumseperti yang dilakukan oleh Tim Advokasi Siyonodan keluarganya, sebagian orang yang putus asadengan hukum mungkin berpikir bahwa merekabisa menggunakan cara-cara yang legal untukmelawan kesewenang-wenangan seperti itu. kitatidak harus terjun dengan cara-cara yang brutal,dengan cara-cara yang kontraproduktif, dengancara-cara yang malah melukai orang-orang yangtidak bersalah. Kami ingin menunjukkan ke orang-orang bahwa ini negara hukum, kalian tidak perlumenjadi teroris untuk membela hak-hak, suara danpendapat kalian. Ada cara-cara yang legal sepertiyang dilakukan keluarga Siyono untukmemidanakan petugas polisi yang melakukankesewenang-wenangan. Jadi jangan menyerahdengan lari ke hutan dan bikin kelompokbersenjata, ada cara-cara legal yang bisa kitatempuh untuk memperjuangkan suara kalian,apapun suara itu, kalian mau bikin syariat islam yabikin parpol jangan ikut perang, itu yang inginkami tunjukkan.
Memang debatable cara mana yang paling baikuntuk memberantas terorisme. Tapi kami yakinkami juga sedang melakukan pemberantasandengan cara kami sendiri.
14 P: Waktu berdirinya Republika itu ada peran ICMIyang cukup besar di dalamnya apakah hal tersebutmempengaruhi pemberitan?NS: Secara prinsipnya masih, tapi secara
Refleksi pola pikir ICMImasih digunakan olehrepublika dalam menulisberitanya.
Hierarki pengaruh
keorganisasian kan sejak 2001 kami sudah diambilalih oleh mahaka group. Jadi walaupun secarakeorganisasian kami sudah tidak terikat lagi tapisecara visi dan misi masih ada. ICMI tidak bisalepas dari Republika, Republika juga tidak bisalepas dari ICMI karena mereka yang membidanikami jadi dalam satu dan lain hal pola pikir ICMIyang sering kami jawantahkan dalam pemberitaansoal islam yang harus bermandiri, soal umat islamyang harus berdaya, islam moderat yang lebihsantun, yang pro terhadap kemajuan, yang proterhadap kebangsaan, hal tersebut yang masihterbawa sampai sekarang di Republika.
P: Apakah ada campur tangan atau intervensi dariErick Thohir sebagai pemilik dari Mahaka Group?NS: Jarang sekali, apalagi untuk hal-hal yangteknis apalagi tentang pemberitaan di bidangpolhukam dan ekonomi. Seringnya di olahraga,yang dia senang kalau kita mengangkat tentangprestasi bangsa. Tapi tidak jarang juga kami kritikdi olahraga. Kalau tentang pemberitaan tidaksedemikian ketat. Kadang-kadang hal itu yangmembuat kami bersyukur karena kami punyapemilik tidak ikut partai atau parpol, dia tidakpunya perusahaan yang menggurita, jadi kamitidak punya kewajiban membela apa-apa. Kamitidak perlu takut untuk menaikkan berita tentangmuhammadiyah. Paling waktu olimpiade, Erick itukan ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOIL).Nah, waktu berita penyambutan nama dia gak adasama sekali, disitu enaknya, kami tidak terikat
Tidak ada campur tanganpemilik (Erick Tohir)dalam menentukan angleberita kategori polhukam.Kalaupun ada, biasanyahanya pada kategoriolahraga.
Ketidakikutsertaan ErikTohir dalam parpol danketiadaan perusahaan yangmenggurita menjadi halyang disyukuri olehrepublika sehinggarepublika tidak adatekanan beritanya harusberpihak kemana.
dengan hal-hal seperti itu. Jadi mau siapa punpresidennya baik itu SBY atau Jokowi sekarangkita melakukan kritis yang sama tajamnya karenatidak ada kedekatan. Kalau bisa dibilang Erick itusangat dekat dengan Jokowi dan pemerintahansekarang tapi dia tidak pernah menahan kamiuntuk melakukan kritik terhadap pemerintah.
Selama saya tiga tahun memegang halaman satu,tidak habis dihitung sebelah jari dia mengarahkanuntuk membuat berita ini dibuat lebih damai dong,yang ini dibikin lebih soft dong, jangan mengadu-adu domba dong, paling hanya begitu-begitu sajakomentar dia. Kalau di polhukam dia tidak pernahmengatur-atur pemberitaan.
Lampiran 7
AXIAL CODING
“Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016”
Dimensi: Rutinitas Media, Nilai Berita, Kebijakan Media, Ideologi, Objektifitas, Keberpihakan, Kode Etik Jurnalistik, Hierarki Pengaruh
No. Kategori Dimensi Media Indonesia (Narasumber 1) Republika (Narasumber 2)1 Latar Belakang Nama: Usman Kansong
Jabatan: Pimpinan RedaksiNama: Fitriyan ZamzamiJabatan: Redaktur halaman 1
2 Rutinitas Media Alur berita Media indonesia memiliki aplikasiyang bernama GPRS yangmenghimpun berita dari seluruhwartawan Media Group.
Kalau ada perubahan pada lastminute, yang ikut mengambilkeputusan biasanya di level asistenredaktur pelaksana ke atas.
Tiap redaktur sudah bisa melihatlayout beritanya dan berapa karakteryang harus dipenuhi karena layoutsudah diberikan pada sore hari olehtim artistik.
Nantinya semua wartawan mediaindonesia dan metro tv akantergabung menjadi wartawan MediaGroup.
Alur berita di republika menggunakansistem newsroom.
Peserta rapat yang menentukan beritadari level redaktur hingga redpel laludiberikan ke kepala newsroom untukdibagikan ke reporter.
Tugas pimred lebih ke hubunganmedia dengan pihak eksternal.
Keputusan berita yang akan naik adapada diskusi dan pemegang keputusantertinggi rapat ada pada waredpel.
3 Nilai Berita Kriteria berita yangmasuk headline
Kriteria yang akan masuk headlineadalah berdasarkan nilai berita dan
Republika tidak memiliki kriteria khususuntuk menentukan berita apa yang akan
diskusi pada saat rapat. masuk headline dan memiliki agendasendiri. Tapi hal tersebut tidak berlakujika ada isu nasional yang sangat pentingseperti reshuffle kabinet.
4 Ideologi Pandangan mediaterhadap isu terorisme
Secara umum media indonesia melawandan memerangi tindakan terorisme danmencegah agar terorisme tidak terjadi.
Republika setuju untuk memberantasterorisme tapi dengan cara-cara yangdilakukan harus berada dalam koridoryang benar.
5 Kebijakan media Strategi untuk melawanterorisme
Memasukkan kutipan daripemerintah dan pakar terorismetermasuk strategi media indonesiadalam memberitakan isu terorisme.
Media indonesia memiliki kebijakanuntuk tidak mewawancarai keluargateroris.
Media indonesia tidak memberikankesempatan kepada kelompok yangmereka anggap menyerukankekerasan dan keributan.
Republika memiliki cara sendiri untukmemberantas terorisme. Menurutnyadengan cara merangkul orang-orangdan mengajak kembali ke jalan yanglebih damai adalah cara yang lebihbaik.
Menurutnya, pemberantasan terorismedengan cara yang agresif dapatmenumbuhkan teroris-teroris baru.
Dengan memberikan ruang kepadaperjuangan yang dilakukan oleh timadvokasi diharapkan dapat mengajakorang-orang yang putus asa terhadaphukum bisa percaya dan yakin bahwakesewenang-wenangan pemerintahbisa dilawan melalui cara yang legal.
6 Ideologi Pandangan mediaterhadap berita kematiansiyono
Secara umum media indonesiamengkritik cara kerja densus 88 dankepolisian dalam menangani teroris.
Media Indonesia setuju kalau Siyonotersangka teroris. namunmenyayangkan cara penangkapanyang dinilai gegabah.
Siyono tetap dinilai tidak bersalahkarena dia dieksekusi sebelum adapersidangan. Walaupun Siyonomemiliki indikasi yang kuat tapi tetaptidak terbukti secara hukum kalau diateroris.
Karena indonesia adalah negarahukum, maka terduga teroris seperti
Siyono juga patut mendapatkanperlindungan hukum dan prosespengadilan sebelum dieksekusi.
7 Objektivitas Pemilihan narasumber Media indonesia membenarkan kalaukutipan yang dimasukkan kebanyakandari pemerintah.
Tim republika memang berniatmengangkat tim advokasi dalampemberitaannya.
8 Keberpihakan Pembagian dua kubuyang menjadi aktordalam pemberitaan(Siyono/tim advokasi danpemerintah/kepolisian)
Media indonesia mengkritikkepolisian untuk terlihat seolah-olahmembela siyono.
Media indonesia melihat bahwa titikberat kasus ini adalah kepolisian,bukan tim advokasi. Jadi pendapattim advokasi sangat sedikit.
Menurut republika kasus inimelibatkan kubu muhammadiyah/ timadvokasi dan pemerintah.
Republika mempertahankan berita inikarena adanya perjuangan yangdilakukan secara konsinsten oleh timadvokasi.
9 Kode etik jurnalistik Pedoman penulisanberita terorisme
Media indonesia menggunakan bukupedoman penulisan terorisme yangdikeluarkan oleh AJI dan buku etikaperusahaan/code of conduct
Republika sering mengikuti seminartentang bagaimana memberitakan isuterorisme yang diadakan oleh BNPT.
Sangat disayangkan bahwa pihakpemerintah yang sering melanggarperaturan tersebut.
10 Objektifitas Menulis berita yangobjektif mengenai isuterorisme
Agar berita tentang terorisme bersifatobjektif, media indonesia mengikutipedoman dari AJI. Pertama, mediaharus bersama pemerintah memerangiterorisme dan tidak memberi ruangsecara berlebihan kepada teroris.
Sulit menulis berita terorisme yangobjektif karena ketika pihak mediamengambil keterangan dari pihakselain pemerintah akan di cap sebagaimedia yang pro terorisme.
Republika berusaha melakukaninvestigasi sendiri terkait pelakuteroris dan sering menemukan faktayang berlawanan dengan versikepolisian.
11 Hierarki pengaruh Pandangan mediaterhadap objektifitas
Media indonesia menyatakan bahwaberita itu bersifat subjektif dan tidak adaberita yang objektif karena dipengaruhi
Republika mengatakan bahwa tidak adaberita yang objektif. Yang objektif adalahmetodenya.
ideologi media itu sendiri.12 Ideologi Ideologi yang
mempengaruhipemberitaan media
Media indonesia menganut ideologiyang dimiliki oleh pemiliknya yaituSurya Paloh, yaitu menhargaikebangsaan dan keberagaman. Ideologitersebut yang mempengaruhipemberitaan.
Refleksi pola pikir ICMI masihdigunakan oleh republika dalammenulis beritanya.
Tidak ada campur tangan pemilik(Erick Tohir) dalam menentukan angleberita kategori polhukam. Kalaupunada, biasanya hanya pada kategoriolahraga.