Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan Dengan Contingent Valuation Method
-
Upload
andistya-oktaning-listra -
Category
Documents
-
view
1.111 -
download
7
Transcript of Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan Dengan Contingent Valuation Method
ANALISIS VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN DENGAN CONTINGENT
VALUATION METHOD (CVM) SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK
PENAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN TIMUR
(Studi Kasus PT. Y dengan Masyarakat X di Kabupaten Z,
Kalimantan Timur)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Andistya Oktaning Listra
0910210022
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan swasta PT. Y adalah perusahaan yang didirikan oleh Korea-
Indonesia Resources Development Coorporation pada bulan Mei 1982.
Perjanjian kerja antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Korea
disahkan melalui kontrak karya PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusahaan
Pertambangan Batubara) selama 30 tahun (terhitung sampai tahun 2022). Yang
mengesahkannya adalah pemerintah pusat. Pada bulan September 1982
dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan PT Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero) dan mendapat izin usaha dari Departemen
Pertambangan dan Energi pada bulan Juni 1987. Kemudian pada bulan
Desember 1989 PT. Y memulai Persiapan Konstruksi dan Rencana Tambang
dan melakukan ekspor percobaan (Trial Cargo) pada April 1992. PT.Y
melakukan produksi perdana pada tahun 1992, dimulai dengan kapasitas
produksi satu juta ton/tahun. Luas total area kuasa pertambangan PT. Y sebesar
50.339 Ha (Tabel 5) yang mencakup empat lokasi, yaitu Roto-Samurangau,
Samu, Susubang dan Pinang Jatus (Sabara, 2006).
Tabel 1.1 : Lokasi dan Luas Area Tambang Batubara PT. Y
Nama Lokasi (KP) Luas (Ha)
Roto – Samurangau 27.434
Samu 7.875
Susubang 9.000
Pinang Jatus 6.090
Total 50.399
Sumber : Sabara, 2006
Dipilihnya Kabupaten sebagai tempat beroperasinya penambangan
batubara PT. Y karena secara geografis sebagai salah satu daerah penghasil
batubara, Kabupaten Paser mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap
batubara pada tahun 2005 eksport batubara Kabupaten Paser sebesar
9.552.779 Mton dengan nilai US$226.437.301,79 dan pada tahun 2006
mengalami peningkatan sebesar 19.040.269,72. PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (ADHK) pada tahun 2009 diproyeksikan Rp4,83 triliun lebih, Jika
dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2008 sebesar Rp4,48 triliun lebih,
PDRB ADHK tahun 2009 diproyeksikan meningkat 7,68% lebih tinggi dari
realisasi tahun 2008. (Paserkab, 2012).
Dalam hal ini meskipun kegiatan penambangan batubara PT. Y cukup
memberikan pengaruh signifikan pada peningkatan PDRB Kabupaten Z namun
kenyataannya berdasarkan penelitian terdahulu yaitu Intip Hutan (2003) terdapat
permasalahan yang harus dihadapi terutama mengenai dampak penambangan
batubara terhadap masyarakat X. Beberapa permasalahannya terkait
perampasan dan eksploitasi tambang di tanah keramat yang memiliki nilai
religius serta Land Clearing (pembersihan lahan) dan perampasan tanah di desa
Samurangau tepatnya di sungai Ruto dan berangsur-angsur merambat ke desa
lain dan menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Pencemaran
lingkungan ditandai oleh banyaknya asap, debu, danau bekas galian dan
tumpukan-tumpukan tanah yang mengandung polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy
yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat Dayak Paser (Wikipedia,
2012).
Berbeda dengan penelitian terdahulu yang hanya mengkaji dampak dari
penambangan batubara di Kalimantan Timur tanpa solusi ekonomi sumberdaya
alam dan lingkungan di Kabupaten Z, maka penelitian ini akan lebih
memfokuskan pada sejauh mana peran valuasi ekonomi lingkungan dengan
Contingent Valuation Method (CVM) dalam meminimalisir dampak penambangan
batubara di Kalimantan Timur dengan studi kasus pada PT. Y dengan
masyarakat X di Kabupaten Z, Kalimantan Timur. Oleh karena itu, berdasarkan
latar belakang dan penelitian terdahulu maka penelitian ini mengambil judul
“Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan Dengan Contingent Valuation Method
(CVM) Sebagai Upaya Meminimalisir Dampak Penambangan Batubara di
Kalimantan Timur (Studi Kasus PT. Y dengan Masyarakat X di Kabupaten Z,
Kalimantan Timur)”.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana meminimalisir dampak penambangan batubara yang dilakukan
PT. Y terhadap masyarakat X melalui pendekatan valuasi ekonomi ekonomi
lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) ?
1.3 Tujuan
Mengetahui peran valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent
Valuation Method (CVM) dalam meminimalisir dampak penambangan batubara
yang dilakukan PT. Y terhadap masyarakat X.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pentingnya Batubara Dalam Mobilitas Ekonomi Nasional
Batubara merupakan salah satu komoditas pertambangan terbesar di
Indonesia selain minyak bumi dan gas alam. Potensi sumberdaya batu bara di
Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera,
sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah
kecil dan belum dapat ditentukan nilai ekonomisnya, seperti di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua, dan Sulawesi (Wikipedia, 2012). Menurut World Energy Council
(2009) dalam Anonim (2009), Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 4,3
miliar ton atau sekitar 0,5% dari total cadangan batubara.
Terkait ketersediaan cadangan batubara dengan pertumbuhan konsumsi
batubara maka berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Bank BNI diketahui
bahwa konsumsi batubara di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari 13,2 juta ton pada tahun 1997 mencapai 45,3 juta ton pada tahun
2007. Pertumbuhan tersebut diikuti oleh pertumbuhan perusahaan batubara di
Indonesia yang pada tahun 2003 sudah mencapai angka 251 perusahaan.
Masing-masing perusahan tersebut tersebar di berbagai titik penghasil batubara
di Indonesia dimana terdapat sentra-sentra produksi batubara seperti Kalimantan
dan Sumatera (Anonim, 2009).
Tabel 2.1 : Data Cadangan Batubara di Indonesia
Nama Daerah Sumber Daya (Juta Ton) Cadangan (Juta Ton)
Banten 13,31 -
Jawa Tengah 0,82 -
Jawa Timur 0,08 -
Nangroe Aceh Darusalam
443,45 -
Sumatera Utara 26,97 -
Riau 2.085,32 16,54
Sumatera Barat 724,85 36,07
Jambi 1.862,39 18
Bengkulu 198,65 21,12
Sumatera Selatan 23.197,88 2.679
Lampung 106,95 -
Kalimantan Barat 527,52 -
Kalimantan Tengah 1.612,83 48,59
Kalimantan Selatan 9.101,38 1.867,84
Kalimantan Timur 21.076,98 2.071,68
Sulawesi Selatan 231,12 -
Sulawesi Tengah 1,98 -
Papua 151,26 -
Sumber : Tekmira ESDM, 2009 dalam Anonim, 2009
Dari Tabel 2.1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar cadangan
batubara rata – rata terdapat di Kalimantan. Kalimantan memang menjadi pusat
tambang batubara di tingkat nasional. Hal tersebut dapat tercermin dari besarnya
jumlah kuasa pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten
di berbagai provinsi di Kalimantan. Bisa terlihat dari tabel hingga tahun 2009,
empat provinsi di Kalimantan memiliki proporsi terbesar dalam pertambangan
batu bara yaitu kurang lebih 2.047 dimana Kalimantan Timur berada di posisi
pertama dalam hal mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa
pertambangan (BKPRN, 2009 dalam Anonim, 2009).
Terkait perdagangan internasional, batubara menjadi komoditas
pertambangan non migas yang turut diperhitungkan hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan eksportir batubara kedua terbesar di dunia setelah
Australia. Berdasarkan laporan ESDM, Indonesia merasa cukup optimis dengan
posisinya sebagai produsen batubara terbesar Grafik di bawah ini
memperlihatkan bahwa pada tahun 2007, ekspor Indonesia berjumlah sekitar
202 juta ton. Ekspor ini ditujukan untuk negara-negara seperti Jepang (terbesar),
Taiwan, India dan Korea Selatan (Anonim, 2009).
Grafik 2.1 : Eksportir Batubara Terbesar di Dunia, 2007
Sumber : Modifikasi BNI, 2007 dalam Anonim, 2009
Grafik 2.2 : Neraca Perdagangan Batubara Indonesia (Ton)
Sumber : Media Rilis, 2007 dalam Anonim, 2009
Produksi batubara di Indonesia selain dijadikan komoditas ekspor dalam
perdagangan internasional juga menjadi salah satu komoditas yang
diperdagangkan di domestik terutama untuk sektor industri. Dipilihnya batubara
sebagai sumber energi karena batubara relatif lebih murah dibanding minyak
bumi. Khususnya di Indonesia yang memiliki sumber batubara yang sangat
melimpah, batubara menjadi sumber energy alternatif yang potensial. Oleh sebab
itu, penggunaan batubara di Indonesia meningkat pesat setiap tahunnya. Data
menunjukkan bahwa penggunaan batubara di Indonesia mencapai 14,1% dari
total penggunaan energi lain pada tahun 2003. Diperkirakan penggunaan energi
batubara ini akan terus meningkat hingga 34,6% pada tahun 2025 (Fatakh, 2008
dalam Anonim, 2008).
Tabel 2.2 : Konsumsi Batubara Menurut Jenis Industri di Indonesia Tahun 1998 – 2005
Jenis Industri 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
PLTU 10.991.341 13.047.717 13.943.613 19.16.256 21.902.161 23.810.054 23.492.328 25.132.174
Semen 1.279.973 2.762.831 3.763.884 5.938.172 5.355.460 5.068.194 6.070.825 6.023.248
Industri Tekstil
- - - - - 274.160 381.440 1.307.610
Industri Kertas
692.737 805.397 766.549 804.202 471.751 1.680.204 1.106.227 2.272.443
Metalurgi 144.907 123.226 134.393 220.666 236.802 225.907 122. 827 160.490
Briket 29.963 38.302 36.799 31.265 24.708 24.976 23.506 28.267
Lain - lain 2.600.550 2.573.355 5.545.609 2.407.667 3.792.481 4.715.840 5.237.639 417.583
Jumlah 15.659.471 19.350.828 24.190.847 28.567.228 31.783.364 35.799.436 36.434.791 35.341.816
Sumber : Hasil Survei Puslitbang TEKMIRA, 2006 ; DPPMB, 2006 dalam Anonim, 2009
Dalam hal ini dari Tabel 2.2 batubara di Indonesia lebih banyak digunakan
untuk pembangkit tenaga listrik (PLTU). Namun sejumlah kritik beredar terkait
dengan isu pemadaman bergilir yang dilakukan di sejumlah daerah yang memiliki
persediaan batubara. Kritik yang baru-baru beredar di media adalah ketika terjadi
pemadaman bergilir di Kalimatan Timur, padahal provinsi tersebut merupakan
produsen batubara terbesar di Indonesia. Kritik juga muncul ketika dilakukan
survei pada beberapa kelompok masyarakat sipil di Kalimantan yang
menunjukkan bahwa tidak sedikit daerah yang menjadi produsen batubara justru
belum menikmati pasokan energi (Anonim, 2009).
2.2 Peran Batubara Sebagai Komoditas Strategis di Kalimantan Timur
Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan propinsi terkaya ketiga di
Indonesia, yang mempunyai banyak kekayaan alam sumber daya alam yang
berupa: hutan, perkebunan, minyak, tambang, laut, keanekargaman hayati, dan
lain-lainnya (Kotijah, 2011). Namun dalam hal ini sumberdaya alam yang paling
potensial di Kaltim adalah sektor pertambangan baik migas dan non migas.
Dengan latar belakang semacam itu, dapat dimaklumi jika Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) di Kalimantan Timur banyak dipengaruhi oleh kekayaan
sumber dayanya. Secara lebih rinci, PDRB daerah tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.3 : Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Yang
Berlaku
No Lapangan Usaha(Industrial Sectors)
2001 2002 2003 2004
1 Pertanian 6.101 6.674 7.439 8.455
2 Pertambangan 32.763 32.206 40.364 51.280
3 Industri Pengolahan 37.768 37.574 38.938 49.480
4 Listrik, Gas, Air 211 255 345 488
5 Bangunan (Kontruksi) 2.457 2.787 3.128 3.539
6 Perdagangan, Hotel, Restauran
5.866 6.247 6.805 8.124
7 Pengangkutan & Komunikasi
3.097 3.666 4.266 4.801
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
1.779 1.947 2.186 2.561
9 Jasa - jasa 1.847 2.410 2.981 3.127
PDRB (inc. Migas) 91.890 93.769 106.453 131.857
PDRB (excl. Migas) 35.911 41.265 46.250 52.561
Sumber : BPS Prov. Kalimantan Timur, 2004 dalam Harinowo, 2006
Dari Tabel 2.3 tersebut di atas tampak secara jelas peranan minyak dan
gas dalam perekonomian di Propinsi Kalimantan Timur. Dari kegiatan tersebut,
minyak bumi dan gas alam merupakan hasil tambang yang sangat besar
pengaruhnya dalam perekonomian Kalimantan Timur khususnya dan Indonesia
pada umumnya, karena hingga kini kedua hasil tambang tersebut merupakan
komoditi ekspor utama (BPS Kaltim, 2009). Jika tanpa Migas, maka PDRB
Propinsi Kalimantan Timur di tahun 2001 adalah sebesar Rp. 35.911 milyar, atau
hanya sekitar sepertiga dari PDRB yang memasukkan Migas di dalamnya. Ini
berarti bahwa peranan Migas dalam pembentukan PDRB Kalimantan Timur
adalah sebesar dua pertiganya (Harinowo, 2006).
Peranan yang sedemikian besar tersebut memiliki arti yang besar setelah
Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mulai memberikan
pembagian hasil yang besar bagi penghasil Sumber Daya Alam. Tahun 2005
sendiri, Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur memperoleh alokasi dana
desentralisasi sebesar Rp. 8 trilyun, yang terbagi untuk Pemerintahan Propinsi
maupun Kabupaten yang menghasilkan sumber daya tersebut. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 3 juta, maka
jumlah dana desentralisasi setiap penduduk hampir mencapai Rp. 3 juta sendiri,
suatu jumlah yang lumayan besar bagi penduduk daerah (Harinowo, 2006).
Selain minyak dan gas yang memilki peranan penting dalam
perekonomian di Kalimantan Timur, Harinowo (2006) menambahkan bahwa dari
perhitungan secara profit akibat investasi dalam negeri dan asing komoditas
batubara merupakan primadona baru yang turut menyokong pertumbuhan
ekonomi Kalimantan Timur dimana banyak berkembang perusahaan batubara
dalam skala yang besar maupun kecil sehingga mampu membuat propinsi
Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara terbesar bagi Indonesia.
Tabel 2.4 : Produksi Batubara Beberapa Perusahaan Terpenting
No Nama Perusahaan 2004 2005 20061 Kaltim Prima Coal 21.4 30.0 40.02 Berau Coal Mining 10.0 11.0 12.03 Kideco 16.9 18.0 19.04 Tanito Harum 3.0 6.0 7.05 Indominco Mandiri 7.8 8.3 8.06 Kitadin 1.8 1.6 1.67 Bukit Baiduri 4.0 4.0 4.08 Banpu Indonesia 12.5 15.3 17.8
Total 77.4 94.2 109.4
Dilihat dari Tabel 2.3 tersebut maka ”perekonomian batubara” di daerah
Dari Tabel 2.4 terlihat bahwa produksi batubara di Kalimantan Timur
tampaknya lebih besar dari yang terangkum dalam data statistik PDRB.
Sementara itu, berdasarkan observasi langsung di lapangan, masih banyak lagi
perusahaan tambang batubara yang belum termasuk daftar tersebut namun
sudah berdiri dan bahkan sudah berproduksi dan melakukan ekspor. Paling tidak
dewasa ini ada 2 perusahaan yang secara gabungan memiliki ekspor sekitar 8
juta ton per tahun yang belum terdata disini. Fakta ini pada akhirnya memberikan
Sumber : Laporan Tahunan BEJ dan Data Internal, 2006 dalam Harinowo, 2006
indikasi bahwa perekonomian di Kalimantan Timur sebetulnya jauh lebih besar
daripada yang terekam dalam data statistik yang ada saat ini. Ini berarti bahwa
untuk melihat potensi yang ada pada perekonomian Kalimantan Timur, data yang
ada sebetulnya adalah data yang sangat konservatif. (Harinowo, 2006).
Dalam hal ini peran batubara sebagai komoditas strategis dalam
perekonomian di Kalimantan Timur adalah terciptanya kesejahteraan masyarakat
di wilayah pertambangan secara umum terlihat meningkat karena efek domino
dari keberadaan perusahaan telah mampu mendorong dan menggerakkan sendi
– sendi ekonomi masyarakat (Raden et.al, 2010). Berdasarkan penelitian
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kalimantan Timur merupakan
produsen batu bara terbesar di Indonesia serta tercatat sebagai daerah nomor
dua terbesar dalam hal cadangan batu bara. Menurut Ketua Badan Promosi dan
Investasi Daerah (BPID) Kaltim, Ichwansyah mengatakan bahwa :
“Potensi batubara di Kaltim sangat besar yakni mencapai 22 milyar metrik ton dan hingga kini yang di produksi rata-rata sekitar 40 juta juta ton/tahun. Perkembangan produksi batu bara sejak tahun 2004 terus meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2009 produksi batubara mencapai 123.256.163 ton” (Anonim, 2009).
2.3 Dampak Penambangan Batubara di Kalimantan Timur Terhadap
Lingkungan dan Sosial Ekonomi Masyarakat
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks
dan sangat rumit, sarat risiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang,
melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan membutuhkan aturan regulasi
yang dikeluarkan oleh beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan
mempunyai daya ubah lingkungan yang besar sehingga memerlukan
perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang.
Seharusnya pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami
bagaimana menutup tambang yang menyesuaikan dengan tata guna lahan
Pembangunan
Dampak Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Dampak Biofisik
Kenaikan Kesejahteraan
Dampak Biofisik
Dampak, Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Kegiatan
Tujuan
Dampak Primer
Dampak Sekunder
pasca tambang sehingga proses rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat
progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Dasar rencana dan
implementasi seperti ini, harus dilakukan di menghentikannya karena sifat
alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan didefinisikan
sebagai suatu perubahan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu dan
atau kegiatan. Sementara itu, Soemarwoto (2005) dalam Raden et.al (2010)
mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat
suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia,
fisik, dan biologi. Seharusnya pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebagaimana yang termuat
dalam pasal 15-18, dimana KLHS berfungsi untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah berupa kebijakan, rencana, dan program (Jaringan
Advokasi Tambang Kaltim, 2011).
Gambar 2.1 : Dampak yang Timbul Akibat Aktivitas Pembangunan
Sumber : Raden et.al, 2010
Dalam hal ini posisi Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara
terbesar di Indonesia memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap pencemaran
lingkungan karena batubara dapat menghasilkan limbah gas seperti CO2, SO2,
NOx dan CxHy dan limbah padat. Limbah padat tersebut berupa abu, yaitu abu
layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Menurut Kementrian Lingkungan
Hidup (2006) dalam Anonim (2008), limbah abu layang yang dihasilkan mencapai
52,2 ton/hari, sedangkan limbah abu dasar mencapai 5,8 ton/hari. Limbah abu ini
bila ditimbun akan menghasilkan gas metana (CH4) yang mudah terbakar atau
meledak dengan sendirinya (self burning dan self exploding). Selain itu, abu ini
berbahaya untuk kesehatan khususnya pada sistem pernafasan dan kulit. Oleh
sebab itu menurut peraturan PP85/1999, limbah abu layang dan abu dasar ini
dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) (Anonim,
2008).
Ditinjau dari metode yang digunakan dalam produksi batubara methode
open pit mining yang rata – rata digunakan perusahaan pertambangan di
Kalimantan Timur maka berefek pada meningkatnya kerusakan hutan tropis atau
penyumbang meluasnya deforestrasi hutan. Dengan methode open pit mining ini
dilakukan pembabatan hutan yang kemudian dilanjutkan dengan blasting
(peledakan) untuk mendapatkan langsung batubara dengan cara yang lebih
cepat namun dampaknya adalah kerusakan lahan hutan yang bisa bersifat
permanen. Dengan metode ini pembukaan hutan menjadi keharusan apabila
diperkirakan ada deposit batubara di bawah hutan, tak perduli dengan apa yang
ada diatasnya. Padahal untuk menumbuhkan tanaman menjadi sebuah pohon
besar memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun (Kaltim
Post, 2011 dalam Trizilo, 2012).
Terkait hal ini, dalam laporan Kementrian Lingkungan Hidup tahun
2005, 56 persen wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh pertambangan di Kaltim
belum direstorasi. Bahkan setiap kali saya naik pesawat Dash 7 PKT dari dan
ke Bontang dan Balikpapan, terlihat dengan jelas lubang-lubang hitam yang
besar dan juga ada danau-danau buatan akibat kegiatan tambang-tambang
terbuka. Pemandangan ini tak hanya di areal yang dilintasi Dash 7, areal yang
lain yang lebih besar. Lubang-lubang hitam besar buatan manusia itu
seharusnya direklamasi dengan reforestasi oleh para pemegang konsesi
tambang, namun kenyataannya banyak yang ditinggalkan begitu saja mengingat
tidak mudah dan perlu biaya besar untuk melakukan kegiatan reklamasi tersebut.
Dan pada akhirnya lubang-lubang hitam besar itu terisi air hujan atau anak
sungai sehingga menjadi danau-danau besar yang juga tidak mudah bagi satwa
air untuk bertahan hidup (Trizilo, 2012).
Sebagai contoh, menurut laporan Green Peace (2011) dalam Trizilo
(2012) dahulu sebelum pertambangan batubara, di Desa Makroman, Samarinda
Ilir dikenal sebagai lumbung padi bagi Kota Samarinda. Namun predikat itu
sudah pudar sejak perusahaan pertambangan batubara beroperasi di sekitar
Desa tersebut. Belasan hektar lahan persawahan penduduk mengalami
kerusakan parah karena sumber mata air bagi persawahan tersebut sudah
tercemar limbah pertambangan batubara yang dibuang ke aliran sungai. Hal ini
cukup dilematis mengingat kawasan transmigrasi L2 Tenggarong Seberang
memiliki kejayaan di era tahun 90-an, dimana pada masa itu produksi hasil
pertanian khususnya padi menjadi komoditas pertanian Kalimantan Timur yang
cukup diperhitungkan namun kondisi itu berubah seiring dengan meningkatnya
alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan pertambangan batubara.
Berbagai dampak potensial di sektor sosial dan ekonomi dapat terjadi
akibat adanya penambangan batubara di suatu wilayah, baik dampak positif
maupun dampak negatif. Berbagai dampak positif diantaranya tersedianya
fasilitas sosial dan fasilitas umum, kesempatan kerja karena adanya penerimaan
tenaga kerja, meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat sekitar tambang,dan
adanya kesempatan berusaha. Disamping itu dapat pula terjadi dampak negatif
diantaranya munculnya berbagai jenis penyakit akibat menurunnya kualitas
udara, meningkatnya kecelakaan lalu lintas, dan terjadinya konflik sosial
saat pembebasan lahan (Raden et.al, 2010)
Kenyataan miris lainnya adalah meningkatnya kegiatan penambangan
batubara di Kalimantan timur ini ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi di provinsi tersebut dimana berdasarkan pernyataan Emil Salim:
“Kaltim makin tahun, makin banyak pengangguran, dan angka kemiskinan makin meningkat, tingkat kesejahteraan menurun. Pertambangan migas dan batubara memberi sumbangan besar kepada PDRB tahun 2010 hingga 47 persen dengan tingkat penyerapan tenaga kerja hanya 6,2 persen. Kaltim tetap menderita dan tidak menikmati batubara untuk konsumsi sendiri secara maksimal, semua batabara diekspor, yang masuk untuk konsumsi untuk Kaltim, hanya memperoleh pemasokan batubara, untuk tahun 2008 hanya 5 persen, dan tahun 2010, naik 6,89 persen. Pengelolaan SDA selama ini, hanya berbasis pada ekspor, bukan pemanfaatan dalam negeri. Hal lain, bahwa pengelolaan SDA, yang ada untuk kepentingan luar negeri, dan mengabaikan nilai-nilai lingkungan, pada akhirnya masyarakat yang merasakan akibatnya” (Kotijah, 2011).
.
Melihat pertumbuhan produksi batu bara dari tahun ke tahun yang
semakin besar, maka diperkirakan dalam jangka waktu 10 sampai 20 tahun
kedepan deposit batubara ini akan habis yang dapat berdampak negatif
terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar terutama
masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada kegiatan pertambangan,
di mana mereka akan kehilangan mata pencaharian sebagai akibat dari
berhentinya beroperasi kegiatan pertambangan (Raden et.al, 2010).
2.5 Permasalahan PT. Y dengan Masyarakat Z Terkait Dampak
Penambangan Batubara
Tujuan jangka panjang PT. Y adalah menambang dan menjual batubara
untuk mendapatkan keuntungan dan menjaga kelangsungan kegiatan tersebut.
Menanggapi dampak limbah batubara yang ditimbulkan oleh PT. Y terhadap DAS
Kendilo, Bapedalda pernah menegur pihak perusahaan (Sabara, 2006). DAS
Kendilo, pendukung utama penghidupan masyarakat, rusak oleh pengerukan
batu bara di hulu. Lima kampung itu terpaksa pindah ke lokasi baru, berjarak 2-
10 km dari kampung lama. Dalam hal ini, masyarakat kampong yang berpindah
lokasi terkadang harus membangun sekolah dan fasilitas publik lain tanpa
bantuan perusahaan karena mereka tak masuk wilayah pertambangan.
Pemerintah Kabupaten Z harus merogoh dana penanganan banjir kabupaten
untuk membantu masyarakat .
Selain itu, permasalahan yang sering muncul dari kegiatan pertambangan,
yaitu ketika masa konsesinya berakhir, banyak lahan bekas galian yang
ditinggalkan begitu saja atau direklamasi secara sembarangan sehingga terlihat
sekali tidak ada usaha bahkan niat baik dari perusahaan pertambangan untuk
menjaga daratan atau perairan di areal konsesinya. Dari pihak pemerintah
sendiri tidak ada tindakan secara tegas untuk menghadapi perilaku pelaku
pertambangan tersebut. Sekali lagi, pemerintah dalam hal ini kurang cerdas
untuk meramu kesepakatan dengan para pelaku pertambangan. karena ternyata
Undang-Undang No. 11 tahun 1967 mengenai Ketentuan Pokok Pertambangan,
dan dokumen Kontrak Karya yang memuat kesepakatan-kesepakatan antara
pemerintah dengan perusahaan pertambangan asing, serta dokumen Kuasa
Pertambangan yang memuat kesepakatan-kesepatan antara pemerintah dengan
perusahaan pertambangan dalam negeri, ketiga dokumen tersebut tidak
mencantumkan secara tegas bahwa perusahaan pertambangan wajib melakukan
reklamasi lahan bekas galian (Intip Hutan, 2003).
Proses perubahan lahan tidak terlepas dari resiko terjadinya kerusakan
lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi akan
menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran
irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik. Erosi yang
tinggi, banjir pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif
pada aspek bio-fisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak
pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Erosi dan banjir dapat menurunkan
kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan
penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun (Sihite,
2001).
Dampak buruk lain dari penambangan batubara yang dilakukan PT. Y
adalah meningkatnya deforestasi akibat teknologi pertambangan yang masih
mengadaptasi methode open pit mining. Selain itu, berdampak pada hak hidup
dan hak atas tanah bagi masyarakat adat yang telah tinggal di sekitar lokasi
pertambangan secara turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun
sebelum adanya kegiatan pertambangan batubara. Menurut laporan yang
dilansir oleh Green Peace ; Perusahaan pertambangan yang beroperasi di
Kabupaten Tanah Grogot. Sejak tahun 1982, masyarakat adat X terus-menerus
mengalami penggusuran dan pengusiran paksa dari tanah leluhurnya termasuk
tanah keramatnya yang telah didiami dan ditempati turun-temurun sejak nenek
moyangnya untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT.Y anak
perusahaan Indika Energi. Sekitar 27.000 hektar lahan mereka digusur untuk
dijadikan lahan pertambangan batubara. Mereka bahkan dilarang melakukan
aktivitas kegiatan apapun di atas tanah keramat leluhurnya sendiri (Tilzoni,
2012).
Secara perhitungan, sebenarnya nilai dari pendapatan yang diperoleh dari
industri pertambangan memang besar dibandingkan dengan industri sektor lain
namun nilai tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan dampak negative yang
ditimbulkan, seperti kerusakan hutan sebagai sumber kehidupan baik bagi
masyarakat di sekitar hutan, perkotaan maupun di sekitar pesisir dan laut,
kerusakan keaneragaman hayati yang dimiliki baik di daratan maupun di lautan,
kerusakan budaya luhur dan kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat adat,
polusi terhadap sungai, tanah dan udara yang dikarenakan pengelolaan terhadap
pembuangan limbah dari industri pertambangan yang sembarangan, sehingga
masyarakat sekitar industri pertambangan banyak yang tercemari oleh polusi
tersebut dan mempengaruhi kesehatan mereka. Belum lagi muncul konflik antar
masyarakat dan konflik dengan perusahaan pertambangan itu sendiri. Hal-hal
semacam itu yang seringkali diabaikan oleh para pelaku pertambangan (Intip
Hutan, 2003).
Dalam hal ini, UU Minerba yang disahkan pada 15 Desember juga menjadi
salah satu pemicu permasalahan antara PT. Y dengan masyarakat Z yaitu
memperkarakan Pasal 169 tentang Ketentuan Peralihan. Pasal yang
menyebutkan tambang-tambang milik asing yang telah ada sebelum UU Minerba
tetap diberlakukan sampai jangka waktu kontrak berakhir meski di pasal yang
sama menyebutkan kontrak-kontrak itu harus disesuaikan UU baru, selambat-
lambatnya setahun. Inilah hasil kompromi partai-partai penguasa Senayan yang
selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan. Pasal yang
kontradiktif secara substansi dan dikhawatirkan tidak operasional pada akhirnya
(Kompas, 2011 dalam Maemunah, 2011).
Menurut Kompas (2011) dalam Maemunah (2011), meski UU ini tak
memberlakukan lagi kontrak karya, luas daratan yang memiliki cadangan mineral
dan batu bara paling ekonomis sebagian besar telah dimiliki pemegang izin dan
kontrak lama, tanpa upaya kaji ulang perizinan lama, pengakuan veto rakyat,
penghitungan daya dukung lingkungan, serta pembatasan produksi dan ekspor.
Seharusnya, masuknya proyek pembangunan dalam sebuah kawasan
disyaratkan menjamin keselamatan dan produktivitas rakyat serta keberlanjutan
layanan alam. UU Minerba luput memastikan hal itu. Pasal 145 tentang
Perlindungan Masyarakat ternyata tak seindah judul pasalnya. Lebih jauh,
berisiko melegalkan pelanggaran HAM di sektor pertambangan. Pertama,
tentang masyarakat terkena dampak. UU Minerba hanya mengenal masyarakat
terkena dampak negatif langsung kegiatan usaha pertambangan. (Kompas, 2011
dalam Maemunah, 2011). Untuk hak gugat masyarakat, diatur dalam pasal 91
ayat (1), yakni bahwa :
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini masyarakat dapat mengajukan gugatan apabila ada kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantaar wakil kelompok dan angggota kelompoknya” (Kotijah, 2012).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini
menggabungkan pendekatan kuantitatif (positivist) dengan pendekatan deskriptif
kualitatif yang positifis (positivist qualitative) untuk menjawab sejumlah
permasalahan maupun tujuan penelitian ini. Penelitian kualitatif, pada dasarnya
bertujuan untuk mengungkap fenomena secara mendalam dengan metode
pengumpulan data yang naturalistik, dengan kata lain lebih mendasarkan pada
realita lapangan (perspektif emik). Jadi riset kualitatif adalah berbasis pada
konsep “going exploring” yang melibatkan in depth and case-oriented study atas
sejumlah kasus atau kasus tunggal (Finlay 2006 dalam Chariri, 2007). Tujuan
utama penelitian kualitatif adalah membuat fakta mudah dipahami
(understandable) dan kalau memungkinan (sesuai modelnya) dapat
menghasilkan hipotesis baru.
Terkait hal ini menurut Finlay (2006) dalam Chariri (2007) pendekatan
kualitatif berdasarkan proses pembentukan/konstruksi pengetahuan dimana
peneliti merupakan figur utama yang mempengaruhi dan membentuk
pengetahuan. Peran ini dilakukan melalui proses pengumpulan, pemilihan dan
interpretasi data. Jadi, sangatlah tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika
penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti. Penelitian kualitatif
merupakan proses yang melibatkan peserta (yang diteliti), peneliti dan pembaca
serta relationship yang mereka bangun. Jadi, peneliti dipengaruhi oleh
lingkungan sosial, historis dan kultural dimana riset dilakukan. Konsekuensinya,
peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan penelitian
dan harus berada langsung dalam setting penelitian yang dipilih dan ketika
melakukan penelitian, peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik
dengan obyek penelitian dan mampu menyajikan hasil penelitian sehingga
pembaca dapat mengikuti dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam
membangun suatu pengetahuan. Dengan peranan peneliti, hubungan yang
dibangun, proses yang dilakukan, peran pendekatan ini ditujukan untuk
mendapatkan gambaran permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi
masyarakat X akibat penambangan batubara di Kalimantan Timur mulai yang
dilakukan oleh PT. Y. Selain itu, peran valuasi ekonomi lingkungan dengan CVM
dapat menjadi solusi alternative dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan
dari kegiatan pertambangan tersebut.
Penelitian ini tidak secara murni menggunakan pendekatan yang kualitatif
positifis karena di dalamnya juga terdapat penerapan pendekatan penelitian yang
kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivist untuk
mengkaji hal-hal yang ditemui dilapangan, tentunya sebelum melakukan
penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu
digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif, sehingga dalam proses
selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur
pemikiran yang tepat. Dalam hal ini, metode kuantitatif menggunakan dasar
filosofis positivisme maupun neopositivisme (Sarantakos, 1995: 40 dalam
Yuhertiana, 2009). Struktur, proses dan latar belakang teoritis menggunakan
asumsi dasar paradigma positivis, bahwa realita adalah obyektif, human being
diatur oleh fixed law dan bahwa fakta seharusnya terpisah dengan nilai (value).
Baik ilmu alam dan ilmu sosial menggunakan dasar logika dan metodologi yang
sama dimana eksplanasi terbatas hanya untuk menjelaskan bukti-bukti empiris
saja.
3.1.1 Pengaruh Valuasi Ekonomi Dengan Contingent Valuation Method
(CVM) Dalam Meminimalisir Dampak Lingkungan
Pengembangan evaluasi ekonomi sumberdaya alam berasal dari politik
dan publik dimulai 60 tahun lalu di Amerika Serikat, ketika Dewan Sumberdaya
Nasional diputuskan dalamnya Pengendalian Banjir tahun 1936 yang berwujud
tindak lanjut atas dampak dari proyek-proyek yang dilaksanakan. Kerangka
konseptual untuk evaluasi pasar non-jasa dikembangkan oleh Ciriacy-Wantrup
(1947) dalam Silva dan Pagiola, 2003). Ide tentang estimasi manfaat sosial
dengan mempertanyakan umum (referendum) (misalnya dalam penilaian
kontingen-metode CVM) pertama kali menempatkan dalam praktek oleh Davis
(1963) dalam Silva dan Pagiola (2003).
Pendekatan valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation
Method (CVM) adalah pendekatan yg tepat untuk memperkirakan kebersediaan
membayar disebut metode “Contingent Valuation” didasarkan pada ide
sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yg bersedia dikeluarkan
oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat
menanyakannya kepada mereka. Metode ini disebut “contingent” valuation
karena metode ini mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang
akan mereka lakukan jika ditempatkan pada kondisi contingent tertentu (Diartho,
2012).
Pedoman dari Departemen Dalam Negeri (DOI, 1986) menyarankan
restorasi atau biaya kesempatan sebagai ukuran untuk kompensasi. Sebuah
dimensi baru untuk jenis 40 penelitian adalah pengakuan akan pentingnya nilai-
nilai non-gunakan. Mereka harus dipertimbangkan dalam penilaian kerusakan
menurut putusan dari 1989 (Negara Bagian Ohio). Exxon Valdez tumpahan
minyak pada tahun 1989 adalah kemungkinan pertama untuk litigasi besar.
Untuk penilaian kompensasi proyek penelitian besar dibiayai berurusan dengan
CVM ini, yang dananya disediakan baik oleh pemerintah maupun dari Exxon.
Kini telah berkembang berbagai cara valuasi ekonomi dampak lingkungan
ditemukan dalam literatur ekonomi sumberdaya dan lingkungan (Hufschmidt dan
lain-lain, 1983; Braden dan Kolstad, 1991; Hanemann, 1992; Dixon et.al, 1994;
dalam Silva dan Pagiola, 2003). Dalam hal ini terdapat Jenis pendekatan
penilaian ekonomis (Barbier et.al, 1997 dalam Diartho, 2012)
1. Impact analysis : nilai ekonomi dilihat dari dampak akibat adanya aktivitas
tertentu
2. Partial analysis : dengan menetapkan 2 atau lebih alternatif pilihan
pemanfaatan ekosistem
3. Total Valuation : untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah
ekosistem tertentu kepada masyarakat.
Nilai Ekonomi atau TEV adalah penjumlahan WTP dari banyak individu
WTP ini merefleksikan preferensi individu. Seperti dalam hal barang pasar
swasta, fitur umum dari semua metode penilaian ekonomi barang dan jasa
lingkungan adalah bahwa mereka yang didirikan pada aksioma-aksioma teori
dan prinsip-prinsip ekonomi kesejahteraan. Ini langkah-langkah perubahan
kesejahteraan yang tercermin dalam rakyat kesediaan membayar (WTP) atau
kesediaan untuk menerima (WTA) kompensasi untuk perubahan tingkat
penggunaan barang tertentu atau jasa (Hanemann, 1991; Shogren dan Hayes,
1997 dalam Silva dan Pagiola, 2003).
Gambar 2.2 : Hubungan Antara Sistem Ekonomi dan Lingkungan
Lingkungan
Bahan MentahSektor
Produksi Produk Final Sektor Rumah tangga
Limbah produkLimbah produk
Sistem Ekonomi
Sumber : Mburu et.al, 2012
Langkah Kegiatan Valuasi Ekonomi dampak lingkungan (Barbier et.al,
1997 dalam Dewanthi, 2011) :
1. Pemilihan pendekatan nilai ekonomi yang sesuai dengan tujuan
studi;
2. Mendefinisikan areal dari kegiatan amdal yang akan dianalisis, batas-
batas khusus dari ekosistem dengan areal sekitarnya;
3. Mengidentifikasi segenap komponen, fungsi dan atribut dari ruang
lingkup kegiatan amdal serta menyusunnya dalam tingkatan
berdasarkan derajat kepentingannya;
4. Menyusun klasifikasi segenap fungsi dan manfaat kegiatan amdal ke
dalam berbagai tipe penggunaan ekosistem yang akan dimanfaatkan
(use value and non-use value);
5. Mengidentifikasi informasi dan data yang diperlukan sekaligus metode
pengumpulannya;
6. Menganalisis segenap informasi dan data yang sudah dikumpulkan
dalam rangka kuantifikasi nilai ekonomi kegiatan amdal;
7. Mengimplementasikan metode penilaian yang tepat yaitu dengan
menggunakan metode Cost Benefit Analysis.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur disektor
pertambangan khususnya komoditas batubara. Penentuan lokasi
penelitian didasarkan aktivitas perusahaan pertambangan batubara
terhadap masyarakat sekitar. Berdasarkan valuasi ekonomi lingkungan
dengan contingent value model (CVM) maka diketahui bahwa harus
adanya kesepakatan nilai yang dikeluarkan untuk lingkungan (willingness
to pay) antara PT. Y dan masyarakat X.
3.3 Definisi Operasional
Sesuai dengan judul penelitian maka penjelasan beberapa variabel
yang terkait yaitu, variabel dimana tidak ada menetapkan suatu alasan
untuk suatu barang dan jasa yang terdapat arus pembayaran. Dalam hal
ini variabel yang digunakan untuk memperoleh penawaran adalah
berdasarakan hasil dari responden berdasarkan hasil close ended
question yang terbagi menjadi 3 jenis yaitu: dichotomous choice, double
bounded choice, dan trichotomous choice dimana akan menggunakan
analisis Logit, Probit, dan model kegunaan acak.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Untuk menguraikan dan menganalisa serta mengolah semua data
yang ada maka jenis datanya adalah data sekunder. Data tersebut
diperoleh melalui pembagian kusioner untuk mengetahui willingness to
pay berdasarkan kesepakatan perusahaan Y dan masyarakat. Dalam hal
ini, metode pengumpulan data yang cocok digunakan untuk penelitian ini
adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data
mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan ,transkrip, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya
(Moleong, 2000: 236).
3.5 Metode Analisis Data
Pendekatan valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent
Valuation Method (CVM) adalah pendekatan yg tepat untuk
memperkirakan kebersediaan membayar disebut metode “Contingent
Valuation” didasarkan pada ide sederhana bahwa jika kita ingin
mengetahui berapa nilai yg bersedia dikeluarkan oleh orang untuk
mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat menanyakannya kepada
mereka. Metode ini disebut “contingent” valuation karena metode ini
mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan
mereka lakukan jika ditempatkan pada kondisi contingent tertentu
(Diartho, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. “Batubara di Indonesia Sebuah Permasalahan”. Diakses 5 Agustus 2012. http://morentalisa.files.wordpress.com
Anonim. “Penentuan Kapasitas Adsorpsi Ion Logam Cu(II) dalam larutan pada Abu Dasar Batubara dengan Menggunakan Metode Kolom”. Diakses 5 Agustus 2012. http://digilib.its.ac.id
BPS Kaltim.“Kalimantan Timur Dalam Angka 2010”. Diakses 5 Agustus 2012. http://kaltim.bps.go.id/web/KDA10/10-7.pdf
Dewanthi, Lakshmi. “Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan”, Diakses 5 Agustus 2012. http://directory.ung.ac.id
Diartho, Herman Cahyo. Valuasi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Materi Kuliah Ekonomi Lingkungan Kelas AA Jurusan Ilmu Ekonomi
Harinowo, Cyrillus. “Kalimantan Timur : The Jewel Of The East”, WinPlus Capital, 2006. Diakses 5 Agustus 2012. http://www.winpluscapital.com
Ince Raden, dkk. “Kajian Dampak Penambangan Batubara Terhadap Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Kabupaten Kutai Kartanegara”, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Nomor: 15.21/PI-111112010, Jakarta, November 2010 (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://km.ristek.go.id/assets/files/330.pdf
Intip Hutan. “Menambang di Kawasan Lindung”, Mei – Juli 2012, (Online). http://fwi.or.id
Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur. “Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Batubara Kota Samarinda”, Draft 2, Naskah Akademik, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://borneo2020.org
Maemunah, Siti. “UU Minerba dan Masalah HAM”. Diakses 5 Agustus 2012. http://kiara.or.id
Mburu, John. “Economic Valuation and Environmental Assesment”, Training Manual oleh German Ministry Of Education and Research, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://www.zef.de
Trizilo, Joe. “Batubara Kaltim, Penguasa dan Pengusaha Dapat Emas Hitamnya Rakyat Jelata Dapat Debunya”. Diakses 5 Agustus 2012. http://joetrizilo.wordpress.com
Patricia Silva dan Stefano Pagiola. “A Review Of The Valuation Of Environmental Costs and Benefits in World Bank Projects”, The World Bank Environment Department, December 2003, (Online). Diakses 5 Agustus 2012 http://www.winpluscapital.com
Paserkab. “Potensi Ekonomi”. Diakses 5 Agustus 2012. http://www.paserkab.go.id
Sabara, Juanita Edith. Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya di Hutan Lindung Gunung Lumut Kebupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2006, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://repository.ipb.ac.id
Wikipedia. “Batubara”. Diakses 5 Agustus 2012. http://www.id.wikipedia.org