Analisis Usahatani Dan Tataniaga Kedelei
-
Upload
aldi-des-sagitarius -
Category
Documents
-
view
235 -
download
3
Transcript of Analisis Usahatani Dan Tataniaga Kedelei
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAIDI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR,
JAWA BARAT
OlehNORA MERYANI
A 14105693
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
NORA MERYANI. Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di KecamatanCiranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di bawah bimbingan RAHMATYANUAR.
Peranan sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makananpokok bagi penduduk Indonesia, sehingga peranan ini tidak dapat disubstitusisecara penuh oleh sektor lain kecuali impor pangan. Kedelai adalah salah satukomoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Konsumsi kedelai perkapitapertahun mengalami fluktuasi. Pada periode tahun 1996-2005, rata-rata Indonesiamengimpor kedelai sebanyak 2.3 juta ton pertahun.
Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten kedua sebagai sentra produksikedelai di Jawa Barat setelah Kabupaten Garut. Kecamatan Ciranjang merupakansalah satu sentra produksi kedelai di Kabupaten Cianjur. Berdasarkan hasilpanennya usahatani kedelai di Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam dua bentuk,yaitu hasil panen kedelai dalam bentuk biji tua dan panen dalam bentuk polongmuda. Harga kedelai di pasar dunia berdampak langsung terhadap kenaikan hargakedelai impor di dalam negeri juga meningkat. Kenaikan harga kedelai impormemberikan dampak yang positif terhadap budidaya kedelai di dalam negeri.Ketersediaan sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologiyang telah dihasilkan, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil dalamagribisnis dapat membantu dalam pengembangan kedelai dalam negeri.
Tujuan penelitian adalah menganalisis tingkat pendapatan usahatanikedelai, mengkaji saluran tataniaga, struktur pasar dan permasalahan yang ada disetiap pelaku pasar dan menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kedelai diKecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Hasil analisis usahatani dan tataniagakedelai ini diharapkan menjadi bahan informasi untuk pihak-pihak pengambilkebijakan.
Keberhasilan suatu usahatani sangat ditentukan oleh karakteristik petanipelaku usahatani, sebagai pengambil keputusan. Karakteristik petani mencakupumur, tingkat pendidikan, luas dan status penguasaan lahan, dan kepemilikan alatpertanian serta ternak. Umur petani kedelai berkisar antara 37 sampai 69 tahun,mayoritas masih termasuk usia produktif dengan rata-rata berumur 51.57 tahundengan rataan pendidikan 4.3 tahun. Rata-rata luas sawah yang diusahakansebesar 0.778 hektar per petani dan mayoritas berstatus sewa atau sakap (60.00persen). Petani yang memiliki hand sprayer (36.67 persen), biaya sewa handsprayer Rp 5 000 per hektar, sewa pompa air Rp 20 000 per hektar, dan sewa alatperontok kedelai Rp 25 000 per tiga kuintal kedelai. Petani yang memiliki usahasampingan hewan ternak sebesar 10 persen.
Di Kecamatan Ciranjang, rata-rata produksi per hektar sebesar 1 370.97kilogram dengan produktivitas kedelai yang diperoleh sebesar 1.37 ton per hektar,sedangkan harga jual rata-rata Rp 3 095.60 per kilogram. Jenis pembiayaanusahatani kedelai terdiri atas pengadaan bibit, pupuk dan pestisida, upah tenagakerja, sewa alat dan pajak. Biaya usahatani baik biaya tunai maupun biayadiperhitungkan untuk kedelai yang dipanen polong muda (Rp 1 563 010.60 perhektar) lebih rendah dari biaya usahatani kedelai yang dipanen polong tua
iii
(Rp 3 312 778.73 per hektar). Besarnya biaya tunai yang dikeluarkan oleh petaniyang panen polong muda dan panen polong tua disebabkan petani banyakmenggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga.
Berdasarkan analisis usahatani kedelai per hektar untuk kedelai yangdipanen polong muda, total penerimaan mencapai Rp 1 871 269.84 dan totalpenerimaan untuk kedelai polong tua mencapai Rp 4 243 974.73. R/C rasio yangdiperoleh petani yang panen polong tua (1.35) dan petani yang panen polongmuda (1.27). Angka ini memberikan arti bahwa dari setiap rupiah biaya yangdikeluarkan oleh petani kedelai akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1.35untuk polong tua dan penerimaan sebesar Rp 1.27 untuk polong muda.
Saluran tataniaga kedelai yang ada di Kecamatan Ciranjang, KabupatenCianjur, ada dua saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga kedelai polong mudadan saluran tataniaga kedelai polong tua. Saluran tataniaga kedelai polong mudamempunyai tujuan yang sama, yaitu dari petani kedelai dibawa ke pedagangpengumpul, kemudian kedelai tersebut dibawa ke pedagang pasar induk parung.Di pedagang pasar induk, kedelai diserap oleh pedagang pengecer dan konsumenakhir. Di Kecamatan Ciranjang terdapat delapan saluran tataniaga polong tua yangdigunakan petani dalam menyampaikan barangnya ke konsumen.
Struktur yang dihadapi antara petani dan pedagang pengumpul, petani danpedagang kecamatan, serta antara petani dan pedagang besar adalah persaingandan oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul adalahpersaingan dan struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang kecamatan/kabupatenadalah oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi antara pedagang besar(kecamatan dan kabupaten) dan pedagang propinsi, dan antara pedagang besar danpedagang pengecer mengarah ke pasar oligopoli dan persaingan.
Berdasarkan perhitungan marjin tataniaga kedelai, saluran tataniaga enammerupakan saluran tataniaga yang efisien karena memiliki total marjin tataniagayang paling kecil yaitu sebesar Rp 1 000 per kilogram (22.22 persen) denganvolume kedelai 26.67 persen. Selain itu saluran tataniaga ini juga memilikifarmer s share yang paling tinggi sebesar 77.78 persen. Rasio keuntungan danbiaya yang diperoleh saluran tataniaga enam adalah Rp 6.30 per kilogram.
Alternatif saluran tataniaga yang dianggap juga efisien adalah salurantataniaga satu dan dua dengan volume kedelai 73.33 persen. Rasio keuntungandan biaya pada saluran tataniaga satu dan dua lebih tinggi dibandingkan dengansaluran tataniaga enam yaitu masing-masing sebesar Rp 9.35 dan Rp 8.54 perkilogram. Total marjin tataniaga yang diperoleh sebesar 24.50 persen danfarmer s share sebesar 75.50 persen.
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAIDI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN
CIANJUR, JAWA BARAT
Nora MeryaniA 14105693
Skripsi sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana Pertanianpada Program Studi Manajemen Agribisnis
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
Judul Penelitian : Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.Nama Mahasiswa : Nora MeryaniNomor Pokok : A 14105693
MenyetujuiDosen Pembimbing
Rahmat Yanuar, SP. MSiNIP. 132 321 442
MengetahuiDekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr.Ir Didy Sopandie, M.AgrNIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDULANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATANCIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT INI BENAR-BENARHASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAIKARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGAMANAPUN.
Bogor, September 2008
Nora Meryani A 14105693
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini:
1. Papa dan Mama atas segala do’a, dukungan dan kasih sayang yang tiada
habisnya yang diberikan kepada penulis selama ini.
2. Rahmat Yanuar, SP. MSi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan,
dorongan dan masukan-masukan yang diberikan selama penelitian dan
penulisan.
3. Ir Yayah K Wagiono, MEc selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan kritik dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
4. Arief Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji komisi pendidikan yang
telah memberikan kritik dan masukan dalam penulisan skripsi.
5. Tanti Novianty, SP. MSi selaku dosen evaluator yang telah memberikan kritik
dan masukan.
6. Bapak Usep, Bapak Acep, Bapak Rosidi, Bapak Dadi, Bapak Asep, Bapak
Asep Usman dan Teh Rina dan yang lainnya, atas bantuannya dalam
memperoleh data primer dan data sekunder.
7. Y’Ayon, Y’Merry, K’Dayat, dan D’Anda yang sudah memberikan do’a dan
dorongan, sehingga skripsi ini dapat selesai.
8. Ungky, Ria, Mini, Fida, Mirror, RT Siregar, M’Andi R, Are The, Lala, Ewie
dan Ucie yang telah memberikan kritik, saran dan persahabatan yang indah,
love you all.
viii
9. Aputz, Zibril, Arfan, Sandra, Santi, Ola, Mira, Fajar, Dian, Edy, Indra, Wildan
dan teman seperjuangan lainnya atas persahabatan dan dukungan kepada
penulis selama ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan
yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis mendo’akan semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya
dan senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya, amien.
Bogor, September 2008
Nora Meryani
ix
DAFTAR TABEL
No Halaman1. Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2004-2007.......... 2
2. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kedelai Indonesia Tahun 1996-2006 ..................................................................................... 3
3. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Kabupaten, Propinsi Jawa Barat, Tahun 2006 ................................ 4
4. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006............................................. 4
5. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Rata-Rata Kedelai di Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006 ........................... 5
6. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu ................. 20
7. Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli ......... 26
8. Perhitungan Analisis Pendapatan dan R/C Ratio Usahatani Kedelai .......................................................................................... 36
9. Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten Cianjur Tahun 2006...................................................................... 42
10. Persentase Petani Responden Menurut Kelompok Umur ................ 47
11. Persentase Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan ............ 48
12. Persentase Petani Responden Menurut Luas Kepemilikan Sawah... 48
13. Persentase Petani Responden Menurut Status Kepemilikan Sawah . 49
14. Persentase Petani Responden Menurut Kepemilikan Alat Pertanian 49
15. Persentase Petani Responden Menurut Kepemilikan Ternak........... 50
16. Biaya Pupuk, Pestisida, Tenaga Kerja pada Usahatani Kedelai ....... 53
17. Analisis Pendapatan dan R/C Ratio Usahatani Kedelai Polong Muda dan Polong Tua per Hektar ................................................... 55
18. Pelaksanaan Fungsi Tataniaga di Beberapa Lembaga TataniagaKedelai........................................................................................... 61
x
19. Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Satu, Dua, Tiga, Empat danLima di Kecamatan Ciranjang ........................................................ 72
20. Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Enam, Tujuh dan Delapan di Kecamatan Ciranjang ................................................................. 76
21. Persentase Pangsa Marjin Setiap Pelaku Tataniaga......................... 78
22. Persentase Net Marjin Setiap Pelaku Tataniaga .............................. 79
23. Total Marjin, Total Biaya, Total Keuntungan dan Share pada Setiap Lembaga tataniaga di Kecamatan Ciranjang, Tahun 2008 .... 80
24. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Kedelaidi Kecamatan Ciranjang, Tahun 2008............................................. 82
xi
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Margin Tataniaga ........................................................................... 27
2. Bagan Kerangka Pemikiran Usahatani dan Tataniaga Kedelai ........................................................................................... 33
3. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Muda......................................... 58
4. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Tua............................................ 60
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Kuisioner Analisis Usahatani Kedelai ............................................ 89
2. Kuisioner Analisis Tataniaga Kedelai ............................................. 96
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian memiliki peran yang cukup penting dan strategis dalam
pembangunan nasional dan regional. Peranan tersebut terlihat dalam penyerapan
tenaga kerja sekitar 41.2 persen maupun dalam perekonomian, seperti yang
tercermin pada peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB sekitar 13.8
persen pada tahun 2007. Subsektor tanaman pangan mempunyai peranan sekitar
49.4 persen terhadap pertanian secara keseluruhan.1
Sektor pertanian yang mempunyai peranan yang strategis dan penting
adalah sektor tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil
bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia, sehingga peranan ini tidak dapat
disubstitusi secara penuh oleh sektor lain kecuali impor pangan. Tanaman pangan
merupakan tanaman yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan makro
manusia terhadap karbohidrat, lemak, dan protein yang berasal dari bahan pangan
nabati. Tanaman pangan meliputi padi, jagung, serelia, ubi-ubian dan kacang-
kacangan (kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak dan kacang
koro).2
Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung.
Kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein nabati yang sangat
tinggi nilai gizinya, mengandung zat anti oksidan yang tinggi sehingga sangat
bermanfaat bagi kesehatan dan banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia.
1 Bank Indonesia. 2008. Produk Domestik Bruto. http://www.bi.go.id. 7 Mei 2008.2 Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Tengan. 2007. Mekanisme Pengadaan Pangan
dan Pupuk di Propinsi Jawa Tengah. http://www.balitbangjateng.go.id. 17 Mei 2008.
2
Konsumsi penduduk Indonesia terhadap kedelai berupa hasil olahan (seperti
tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, oncom, yogurt, mentega, minyak,
keripik), dan bahan baku pakan ternak.3
Konsumsi kedelai per tahun cenderung mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2005 meningkat 9.2 persen, selanjutnya konsumsi
meningkat rata-rata 8.2 persen per tahun, sehingga pada tahun 2007 mencapai 2
000 000 ton. Sementara kondisi produksi kedelai nasional berfluktuasi (Tabel 1).
Pada tahun 2007 penurunan produksi sampai 20.7 persen dari tahun sebelumnya.
Hal ini mengindikasikan peningkatan ketergantungan terhadap kedelai impor.
Tabel 1 Produksi dan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 2004-2007
Tahun Produksi*(ton)
Pertumbuhan(%)
KonsumsiTotal** (Ton)
Pertumbuhan(%)
2004 723 480 2 015 0002005 808 350 11.7 2 122 000 9.22006 746 610 -7.6 2 179 000 8.02007 592 381 -20.7 2 234 000 8.4
Sumber : *BPS, 2008 **Badan Litbang Pertanian, Deptan, 2008
Setiap tahun rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2.3 juta ton
pada periode tahun 1996-2005 (Tabel 2). Volume dan nilai impor kedelai masing-
masing tumbuh sebesar 8.4 dan 7.9 persen per tahun, sedangkan volume ekspor
tumbuh rendah yaitu 1.7 persen per tahun. Tetapi nilai ekspor tumbuh tinggi
sebesar delapan persen per tahun. Hal ini menunjukkan kedelai yang diekspor
berupa produk olahan, sehingga mengalami peningkatan nilai tambah tinggi.
Negara yang menjadi tujuan ekspor kedelai terbesar adalah Australia, India,
Jepang, Saudi Arabia, Netherland dan Singapore.
3 Departemen Pertanian. 2002. Kedelai. http://www.litbang.deptan.go.id. 31 Januari 2008.
3
Tabel 2 Volume dan Nilai Ekspor Impor Kedelai Indonesia Tahun 1996-2006
Impor EksporTahun
Volume (ton) Nilai (000 USD) Volume (ton) Nilai (000 USD)1996 1 705 583 530 5821997 1 532 112 518 8601998 1 033 802 273 7761999 2 227 321 475 158 7 596 3 6062000 2 568 565 558 737 12 013 4 4902001 2 728 358 611 140 21 987 5 8082002 2 716 641 591 121 13 812 6 5692003 2 773 668 706 753 13 474 6 0182004 2 881 735 967 957 17 109 6 2112005 2 982 986 801 779 8 279 6 0802006 3 121 334 838 390 8 789 8 406
Sumber : Deptan, 20074
Program Peningkatan Kedelai Nasional Tahun 2008 untuk mendorong
peningkatan produksi kedelai nasional dilakukan melalui beberapa strategi, yaitu
(a) Peningkatan produktivitas, (b) Perluasan areal tanam, (c) Pengamanan
produksi, dan (d) Penguatan kelembagaan dan dukungan pembiayaan.5
Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia,
walaupun produksi yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan (Tabel 3).
Hal ini disebabkan oleh semakin banyak lahan pertanian yang dialih fungsikan
menjadi non farm atau petani yang beralih menanam komoditas lain yang lebih
menguntungkan, seperti jagung dan sayuran. Daerah yang berpotensi untuk
pengembangan kedelai di Jawa Barat adalah Garut, Cianjur, Ciamis, Sukabumi,
Indramayu, Tasikmalaya, Sumedang, Kuningan dan Majalengka (Dinas Pertanian
Jawa Barat, 2006).
4 Departemen Pertanian. 2008. Ekspor Kedelai Pernegara Tujuan.http://database.deptan.go.id/bdspweb. 1 September 2008.
5 Team TP. 2008. Press Release Mentan Pada Panen Kedelai. http://ditjentan.deptan.go.id.4 Februari 2008.
4
Tabel 3 Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai diKabupaten, Propinsi Jawa Barat, Tahun 2006
No Kabupaten Luas Tanam(Ha)
Luas Panen(Ha)
Produksi(Ton)
Produktivitas(Kw/Ha)
1 Garut 5 979 5 891 7 925 13.452 Cianjur 4 499 3 034 4 431 14.603 Ciamis 2 750 2 395 3 336 13.934 Sukabumi 1 419 927 1 335 14.405 Indramayu 1 156 1 095 1 682 15.366 Tasikmalaya 1 128 895 1 159 12.957 Sumedang 937 903 1 191 13.198 Kuningan 837 761 863 11.349 Majalengka 657 614 786 12.80
Sumber: Dinas Pertanian Jawa Barat, 2006 (diolah)
Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten kedua sebagai sentra produksi
kedelai di Jawa Barat setelah Kabupaten Garut. Selain itu, Kabupaten Cianjur
memiliki prospek pengembangan kedelai, baik sebagai produk primer maupun
sebagai produk sekunder (olahan) yang telah lama dikembangkan di Kabupaten
Cianjur (seperti tauco, tahu dan tempe). Luas tanam, luas panen, produksi dan
produktivitas kedelai di Kabupaten Cianjur periode tahun 2001 – 2006 cenderung
berfluktuatif (Tabel 4). Produksi kedelai di Kabupaten Cianjur cenderung
mengalami peningkatan, tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunan. Hal ini
terjadi karena pada tahun 2003, harga gabah dan harga beras di pasar mengalami
peningkatan akibatnya banyak petani yang melakukan pola tanam padi-padi-padi.
Tabel 4 Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kedelai diKabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
No Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Luas Tanam (Ha) 6 451 5 844 1 434 6 926 4 591 4 5182 Luas Panen (Ha) 6 672 5 812 1 563 6 617 5 016 4 4603 Produksi (Ton) 7 952 6 788 1 020 10 125 6 710 6 0864 Produktivitas
(Ton/Ha)1.09 1.10 1.14 1.25 1.14 1.25
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2007 (diolah)
5
Luas tanam kedelai pada tahun 2007 adalah 4 429 ha, sehingga terjadi
penurunan luas areal tanam sebesar 1.97 persen dibanding tahun 2006. Demikian
pula luas panen kedelai tahun 2007 adalah 1 506 ha, sehingga ada penurunan luas
panen sebesar 66.23 persen dari tahun 2006. Produksi kedelai tahun 2007 sebesar
1992 ton sehingga terjadi penurunan sebesar 67.27 persen, sedangkan
produktivitas hasil tahun 2007 sebesar 1.32 ton per hektar. Penurunan ini
disebabkan pada periode tanam kedelai tahun 2007 terjadi kekeringan (Dinas
Pertanian Kabupaten Cianjur, 2007).
Sentra produksi kedelai di Kabupaten Cianjur terdapat di beberapa
kecamatan di wilayah utara dan wilayah selatan (Tabel 5). Kecamatan di wilayah
utara, sentra produksi kedelai periode tahun 2001-2006 adalah Kecamatan
Ciranjang, Sukaluyu dan Bojong Picung, namun pada tahun 2007 Kecamatan
Sukaluyu produksi kedelai mengalami penurunan. Sentra produksi di wilayah
selatan adalah Kecamatan Sindang Barang, Cidaun dan Leles, sedangkan
kontribusi dari wilayah tengah terutama Kecamatan Tanggeung dan Kadupandak
tidak terlalu besar (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2007).
Tabel 5 Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Rata-Rata Kedelaidi Kabupaten Cianjur Tahun 2001-2006
No Kecamatan LuasTanam(Ha)
Luas Panen(Ha)
Produksi(Ton)
Produktivitas(Ton/Ha)
1 Ciranjang 1 164.83 1 237.33 1 736.67 1.3722 Sukaluyu 995.17 1 145.60 1 272.83 1.3383 Bojong Picung 881.83 1 072.83 1 482.33 1.3814 Tanggeung 202.67 224.83 261.50 1.1575 Kadupandak 101.33 103.50 119.17 1.1416 Sindang Barang 178.00 184.00 218.17 1.1737 Cidaun 276.00 297.67 349.50 1.1768 Leles 201.50 165.00 194.50 1.180
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2007 (diolah)
6
Budidaya kedelai di Kabupaten Cianjur merupakan tanaman cash crop
yang umumnya diusahakan pada lahan sawah irigasi dan sebagian kecil
diusahakan pada sawah tadah hujan dan lahan kering. Berdasarkan hasil
panennya usahatani kedelai di Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam dua bentuk,
yaitu hasil panen kedelai dalam bentuk biji tua dan panen dalam bentuk polong
muda.
1.2 Perumusan Masalah
Harga kedelai di pasar dunia berdampak langsung terhadap harga kedelai
impor di dalam negeri juga meningkat. Awal Januari 2007, di dalam negeri harga
kedelai eceran mencapai Rp 3 450/Kg dan terus naik mencapai Rp 7 500/Kg.
Dampaknya produsen tahu, tempe dan industri makanan dan minuman berbahan
baku kedelai melakukan pengurangan jumlah produksi dan ukuran produknya
karena tingginya biaya produksi. Bagi konsumen akhir dampaknya adalah
semakin mahalnya harga produl-produk olahan berbahan baku kedelai, sedangkan
bagi petani hal ini menjadi pendorong untuk kembali menanam kedelai.
Kedelai impor dapat membanjiri pasar kedelai dalam negeri disebabkan
hal-hal sebagai berikut: (a) adanya pasar yang besar sampai ke tingkat desa,
(b) peraturan yang memperbolehkan hal tersebut, (c) adanya pihak atau institusi
atau organisasi yang menangani dengan baik karena mendapat insentif yang besar,
dan (d) kedelai dari petani sampai ke pasar atau konsumen belum tertangani
dengan baik tetapi berjalan sendiri secara alami, sehingga konsumen sulit
7
mencarinya dan harganya menjadi tinggi.6 Hal tersebut yang menyebabkan
tataniaga kedelai di tingkat petani di Indonesia belum tertangani dengan baik.
Faktor utama turunnya produksi kedelai nasional adalah tidak adanya
insentif bagi petani untuk menanam kedelai. Harga kedelai impor jauh lebih
murah dari produksi dalam negeri karena tidak ada tarif impor untuk kedelai,
keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional,
dan belum diaturnya tataniaga kedelai sehingga petani dalam negeri sulit bersaing
dengan petani luar negeri (Departemen Pertanian, 2004).
Berdasarkan data BPS menunjukkan bahwa harga kedelai lokal dari tahun
ke tahun lebih mahal dari kedelai impor. Tahun 1992, harga kedelai impor sebesar
Rp 544 per kilogram sedangkan harga kedelai dalam negeri lebih mahal dari
kedelai impor yaitu sebesar Rp 847 per kilogram sehingga terdapat selisih sebesar
Rp 303 per kilogram. Perbedaaan harga tersebut terus meningkat, pada tahun 2000
harga kedelai impor naik menjadi Rp 1 827.5 per kilogram dan kedelai dalam
negeri menjadi Rp 2 844 per kilogram sehingga terdapat selisih sebesar
Rp 1 016.5 per kilogram. Pada tahun 2006 harga kedelai dalam negeri mencapai
Rp 4 977.85 per kilogram. Kondisi ini menyebabkan kedelai dalam negeri
menjadi tertekan dan terdesak oleh kedelai impor.7
Prospek pengembangan kedelai di dalam negeri untuk menekan impor
cukup baik. Ketersediaan sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok,
teknologi yang telah dihasilkan, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil
dalam agribisnis dapat membantu dalam pengembangan kedelai dalam negeri.
6 Team TP. 2008. Press Release Mentan Pada Panen Kedelai. http://ditjentan.deptan.go.id.4 Februari 2008.
7 Departemen Pertanian. 2002. Kedelai. http://www.litbang.deptan.go.id. 31 Januari 2008.
8
Selain itu, pasar komoditas kedelai masih terbuka lebar, dilihat dari banyaknya
konsumsi kedelai di Indonesia.
Perkembangan produksi kedelai dalam negeri sampai tahun 1992 sangat
baik yaitu mencapai 1.8 juta ton. Hal ini terlihat dari perkembangan luas areal
tanam kedelai di sebagian daerah. Selain itu, kondisi pada saat itu juga didukung
oleh analisa usahatani kedelai yang cukup menguntungkan. Namun, sejak tahun
1993 produksi dalam negeri terus mengalami penurunan terlihat dari penurunan
luas areal tanam. Hal ini disebabkan oleh penetapan kebijakan harga sejak tahun
1992 ditiadakan, kebijakan tataniaga kedelai yang bebas dilakukan oleh
pengusaha importir dan penetapan tarif impor tahun 1998 jauh di bawah bound
tariff menyebabkan masuknya kedelai impor dengan harga murah. Akibatnya
petani dalam negeri sulit bersaing dengan kedelai impor.
Di Kabupaten Cianjur terdapat beberapa daerah yang merupakan sentra
produksi kedelai, antara lain Ciranjang, Sukaluyu dan Bojong Picung. Namun
pada tahun 2007, terjadi penurunan luas tanam di beberapa kecamatan seperti
Kecamatan Sukaluyu mengalami penurunan produksi sangat tajam, terlihat dari
penurunan luas tanam menjadi 10 hektar dari 995.17 hektar pada tahun 2006. Hal
ini disebabkan oleh petani yang semula menanam kedelai beralih menanam
komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti padi, jagung dan sayur-
sayuran.
Di Kabupaten Cianjur, petani dalam memasarkan produknya mempunyai
kebebasan untuk memilih saluran tataniaga yang dapat memberikan keuntungan
dari hasil usahataninya, tetapi harga jual yang diterima petani masih rendah. Pada
umumnya petani langsung menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul atau
9
tengkulak secara perorangan, masih sangat terbatas petani menjual secara
berkelompok. Hal ini karena petani membutuhkan uang saat panen sehingga harga
jual sangat ditentukan oleh tengkulak, walaupun terjadi tawar-menawar antara
petani dan pedagang pengumpul keputusan akhirnya tetap ditentukan oleh
pedagang pengumpul.
Lembaga tataniaga cenderung menuntut biaya tataniaga dan keuntungan
besar dari jasa tataniaga yang dilakukan. Lemahnya posisi tawar petani
menyebabkan petani tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga
berdasarkan biaya produksi yang telah dikeluarkan, akibatnya tingkat pendapatan
petani menjadi rendah.8 Oleh sebab itu, untuk mengetahui tingkat pendapatan
petani dan posisi tawar petani pada tataniaga kedelai di Kabupaten Cianjur maka
perlu dilakukan penelitian mengenai usahatani dan tataniaga kedelai.
Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang,
Kabupaten Cianjur setelah kebijakan tarif impor ditiadakan?
2. Bagaimana saluran tataniaga dan struktur pasar dan tingkat efisiensi
tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Analisis tingkat pendapatan usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang,
Kabupaten Cianjur setelah kebijakan tarif impor ditiadakan.
8 Antara. 2008. Produksi Kedelai Mesti Ditingkatkan. http://www.antara.co.id. 15 Januari2008.
10
2. Mengkaji saluran tataniaga, struktur pasar dan tingkat efisiensi tataniaga
kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian mengenai tataniaga kedelai ini diharapkan menjadi bahan
informasi untuk pihak-pihak pengambil kebijakan, diantaranya Dinas Pertanian,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, penyuluh pertanian dan kelompok tani
dalam upaya peningkatan hasil dan perbaikan kinerja tataniaga kedelai.
Dampaknya dapat meningkatkan pendapatan petani kedelai di lokasi penelitian.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Batasan dari penelitian yang berjudul Usahatani dan Tataniaga Kedelai di
Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini dikhususkan membahas
mengenai komoditi kedelai yang dipanen polong tua. Pembahasan tataniaga untuk
analisis kualitatif dilakukan pada semua saluran tataniaga yang terlibat, sedangkan
untuk analisis data kuantitatif hanya menggunakan data dari saluran tataniaga
dengan jalur tataniaga dari Kecamatan Ciranjang ke Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Bandung.
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaan Kedelai
Kedelai (Glicine max) adalah tanaman semusim yang termasuk family
Leguminosae diduga berasal dari Cina dan dikembangkan ke berbagai negara
seperti Amerika, Amerika Latin dan Asia. Kedelai dapat dibudidayakan di daerah
subtropis dan tropis dengan teknis budidaya yang sederhana. Di Indonesia kedelai
pertama kali ditanam di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1750. Daerah sentra
tanaman kedelai mula-mula terpusat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Lampung, Nusa Tenggara Barat dan Bali, kemudian meluas hampir di seluruh
propinsi di Indonesia.
Kedelai mempunyai kegunaan yang luas dalam tatanan kehidupan
manusia. Penanaman kedelai dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena akar-
akarnya dapat mengikat Nitrogen bebas dari udara dengan bantuan bakteri
Rhizobium sp., sehingga unsur Nitrogen bagi tanaman tersedia dalam tanah.
Kedelai di Indonesia bernilai tinggi karena tiga alasan: (1) produksinya di
dalam negeri dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan nasional,
(2) merupakan bahan pangan berkadar protein yang dapat memperbaiki gizi
masyarakat, dan (3) merupakan tanaman komersil bagi petani lahan kering. Di
Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah
sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (dpl). Varietas yang ditanam
awalnya berasal dari luar negeri (introduksi), diantaranya dari Jepang, Taiwan,
Kolumbia, Amerika Serikat dan Filipina. Di sentra pertanaman kedelai umumnya
kondisi iklim yang cocok adalah suhu antara 25–27 0C.
12
Tanaman kedelai mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap berbagai
jenis tanah. Berdasarkan kesesuaian jenis tanah untuk pertanian, maka tanaman
kedelai cocok ditanam pada jenis tanah Aluvial, Regosol, Grumosol, Latosol dan
Andosol. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan lahan pertanaman
kedelai adalah tataair (drainase) dan tataudara (aerase) tanah yang baik, bebas
dari kandungan atau wabah Nematoda, dan keasaman (pH) tanah (Rukmana dan
Yuyun, 2006).
2.2 Kebijakan Pengembangan Kedelai
Peranan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator dan penciptaan
lingkungan yang kondusif dalam pengembangan suatu komoditas secara teknis,
sosial dan ekonomis adalah sangat penting dan strategis. Cakupan kebijaksanaan
dalam program aksi pengembangan adalah sangat kompleks yang meliputi
pengadaan dan distribusi sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida dan kredit usaha
tani), penyuluhan dan tataniaga hasil melalui sistem kelembagaan dan pembinaan
dari tigkat pusat sampai ke tingkat desa. Kebijakan dalam bidang penelitian,
peningkatan produksi, dan perdagangan (harga) adalah saling berhubungan satu
dengan yang lain.
Proteksi harga akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan
pendapatan petani bila didukung oleh potensi teknologi dan sistem tataniaga yang
efisien. Kebijakan diversifikasi konsumsi melalui penetapan pola pangan harapan
(PPH) dapat dikatakan sebagai acuan penting dalam penetapan target peningkatan
produksi setiap komoditas pangan termasuk kedelai. Peningkatan produksi akan
berdampak pada peningkatan pendapatan petani (Rachman et al. 1996).
13
Kebijakan Proteksi dan Harga Dasar. Kebijakan harga yang diterapkan
pemerintah selama ini dengan sasaran utama mendorong adopsi teknologi,
meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah kebijakan proteksi harga
dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan untuk mengendalikan
harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan terisolasi dari fluktuasi
harga kedelai di pasar dunia. Hal ini dilakukan melalui pengaturan volume impor
dan penetapan harga kedelai ekspor-impor serta penyalurannya kepada industri
pengolah di dalam negeri. Kebijakan proteksi harga ini cukup berhasil mencapai
sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong produksi kedelai domestik.
Pada periode 1985 – 1994 produsen kedelai mendapatkan rata-rata proteksi harga
sebesar 136.56 persen dengan laju peningkatan proteksi 4.80 persen pertahun
(Rachman, et al. 1996).
Di satu sisi penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran
yang diharapkan. Pada periode 1984 – 1991 harga kedelai di tingkat petani
sekitar 76.27 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar. Hal ini menjelaskan
bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian pemerintah untuk kedelai
adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku, sehingga
kebijakan harga dasar menjadi tidak efektif. Kemudian sejak tahun 1992,
pemerintah tidak melakukan penetapan harga dasar lagi.
Perkembangan produksi kedelai tahun 1992 merupakan puncak produksi
kedelai yaitu mencapai 1.8 juta ton. Setelah pemerintah tidak melakukan
penetapan harga dasar, maka tahun 1993 produksi kedelai terus menurun sampai
tahun 2003 menjadi 671 600 ton. Hal ini disebabkan semangat petani untuk
membudidayakan kedelai turun sebagai akibat dari masuknya kedelai impor
14
dengan harga lebih rendah dari kedelai dalam negeri. Tahun 2004 sampai 2006
produksi mengalami peningkatan, namun sangat lambat yaitu 723 483 ton (2004),
808 353 ton (2005) dan 746 611 (2006). Tahun 2007 produksi turun kembali 20
persen dari tahun 2006 menjadi 608 000 ton.9
Kebijakan Tarif dan Impor Kedelai. Upaya pemerintah memenuhi
kebutuhan bahan baku industri merupakan awal munculnya kebijakan impor
kedelai di Indonesia. Pada dasawarsa 1980-an perbandingan antara impor dan
produksi kedelai dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen pertahun yang
merupakan angka tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an.
Sesuai aturan WTO dimana setiap negara diperkenankan menerapkan applied
tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam schedule yang didaftarkan.
Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia,
maka tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor jauh di bawah
bound tariff (0 – 5 persen), termasuk kedelai (Rachman, et al. 1996). Namun
dengan kenaikan harga kedelai di pasar dunia akhir tahun 2007 mengakibatkan
harga kedelai impor tinggi, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri maka
Pemerintah menurunkan tarif impor sampai 0 persen.
2.3 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai tanaman kedelai telah dilakukan oleh
Nurmanaf (1987), Rusastra, et al. (1992), Saptana (1993), Puspodewi (2004),
Elizabeth (2007) dan Nuryanti dan Kustiari (2007).
9 Team TP. 2008. Press Release Mentan Pada Panen Kedelai. http://ditjentan.deptan.go.id.4 Februari 2008
15
Penelitian terhadap jalur tataniaga kedelai di daerah transmigrasi Jambi
yang dilakukan Nurmanaf (1987) bertujuan menganalisis sistem tataniaga kedelai
di daerah transmigrasi Jambi, meliputi jalur tataniaga, rantai tataniaga dan tingkat
harga, biaya angkut, margin tataniaga dan bagian harga yang diterima petani.
Nurmanaf (1987) menyatakan bahwa tataniaga kedelai di satuan
pemukiman transmigrasi Jambi belum efisien. Hal ini terlihat dari tingginya
margin tataniaga di tiga satuan pemukiman transmigrasi, yaitu Singkut III sebesar
Rp 275/kg, Pamenang I sebesar Rp 200/kg dan Kuamang Kuning sebesar Rp
225/kg. Harga yang diterima petani di tiga satuan pemukiman masing-masing
sebesar 60.7, 69.2 dan 62.5 persen. Tingginya margin tataniaga kedelai terutama
disebabkan tingginya biaya angkutan hasil, baik biaya angkutan dari satuan
pemukiman transmigrasi ke pasar, antar pasar maupun biaya angkut antar daerah.
Rusastra, et al. (1992) melakukan penelitian aspek produksi dan tataniaga
kedelai di Jawa Timur. Tujuan penelitian ini mengungkap keragaan dan
permasalahan aspek produksi, usahatani dan tataniaga kedelai di Jawa Timur
sebagai daerah sentra produksi secara nasional. Produksi kedelai di Jawa Timur
setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan
produksi, areal panen dan produktivitas kedelai dari tahun 1984-1990 masing-
masing sebesar 2.8; 3.1 dan 5.9 persen per tahun.
Tingkat pendapatan usahatani kedelai dengan mempertimbangkan basis
agroekosistem pengembangan tahun 1990, menunjukkan usahatani kedelai di
lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan di lahan kering (Rp 366 900 vs
Rp 298 400 per hektar). Dilihat dari efisiensi pemanfaatan modal tidak terdapat
16
perbedaan yang berarti, R/C kedelai di lahan sawah 1.4 dan di lahan kering sedikit
lebih baik yaitu 1.43.
Hasil penelitian yang dilakukan Rusastra, et al menunjukkan bahwa hasil
usahatani kedelai dengan pola kerjasama dengan pihak swasta lebih tinggi yaitu
17.6 persen dibandingkan sebelum kerjasama dan 15.9 persen dibandingkan
dengan non kerjasama. Permasalahan pada sistem kerjasama yang perlu
diperhatikan adalah (1) Penyampaian informasi yang sempurna kepada petani, (2)
Peningkatan sistem pembinaan dikaitkan dengan sistem pengadaan dan
penyaluran saprodi, (3) Masalah birokrasi dan keterlambatan penyediaan dana,
serta (4) Keterbatasan tenaga lapang.
Beberapa indikator makro tataniaga seperti pangsa harga yang diterima
petani dan kestabilan harga bulanan di tingkat produsen dan konsumen
menunjukkan mantapnya sistem tataniaga kedelai di Jawa Timur. Hal ini terlihat
dari pangsa harga petani mencapai 89.4 persen dengan margin tataniaga 10.6
persen. Permasalahan dalam tataniaga adalah rendahnya kualitas kedelai di
tingkat pedagang dan konsumen.
Penelitian aspek produksi dan tataniaga kedelai di Jawa Tengah (studi
kasus di Kabupaten Wonogiri) dilakukan oleh Saptana (1993). Bertujuan untuk
mengungkap seberapa jauh dampak penerapan teknologi baru terhadap
peningkatan produksi dan pendapatan petani, keragaan dan permasalahan aspek
produksi dan tataniaga kedelai di Wonogiri.
Dampak penerapan teknologi baru telah mampu meningkatkan pendapatan
sebesar 76.6 persen (1990) dan 174.43 persen (1991). Selain itu, penerapan
teknologi baru juga bisa diterima dari segi efisiensi pemanfaatan modal dengan
17
nilai R/C ratio untuk pola rekomendasi 1.85 sedangkan untuk pola petani 1.80
(1990), dan 1.38 untuk pola rekomendasi serta 1.25 untuk pola petani (1991).
Efisiensi tataniaga kedelai di Wonogiri, Jawa Tengah terlihat dari pangsa
harga petani sebesar 89.6 persen dengan margin tataniaga 10.4 persen. Margin
tataniaga yang relatif rendah ini dikarenakan fungsi tataniaga yang dilakukan
sangat sederhana, yaitu pengumpulan, pengangkutan dan biaya penyusutan.
Menurut Saptana, permasalahan utama tataniaga adalah kualitas kedelai, masalah
kualitas ini menjadi lebih serius karena ada faktor kesengajaan dari pedagang
pengumpul dan PB kecamatan yang melakukan pencampuran tanah yang diwarnai
mirip kedelai.
Puspodewi (2004) meneliti analisis keunggulan kompetitif dan komparatif
serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah (kasus desa Bade) dengan analisisn PAM. Pengusahaan
kedelai di desa Bade menguntungkan dan efisien secara finansial terlihat dari
keuntungan sebesar Rp 361.04 per kilogram dan nilai PCR kurang dari satu.
Selain itu, secara ekonomi juga menguntungkan sebesar Rp 281.66 per kilogram
dan nilai DRC 0.88. Nilai DRC yang lebih besar dari nilai PCR terjadi karena
adanya intervensi pemerintah.
Dilihat dari keuntungan privat dan sosial yang diperoleh maka Desa Bade
Kabupaten Boyolali mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif, sehingga
pengusahaan kedelai layak untuk dikembangkan. Dampak kebijakan input dan
output terhadap petani produsen kedelai sangat intensif, karena nilai tambah
keuntungan yang diperoleh petani lebih tinggi dari seharusnya.
18
Penelitian Nuryanti dan Kustiari (2007) berjudul Meningkatkan
kesejahteraan petani kedelai dengan kebijakan tarif optimal. Bertujuan untuk
mengetahui tingkat keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini,
tingkat tarif optimal dengan tingkat keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak
keseimbangan pasar domestik atas kenaikan tarif impor kedelai optimal.
Analisa dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat usahatani (mikro) dan
makro. Analisa mikro dengan menggunakan data I-O diturunkan dari data struktur
ongkos rata-rata Indonesia 2006. Analisa tingkat makro menggunakan “partial
welfare analysis” untuk memahami dampak penerapan tarif optimal terhadap
harga komoditas di pasar domestik, produksi, permintaan, penawaran dan impor,
serta dampaknya terhadap kesejahteraaan produsen, konsumen dan penerimaan
pemerintah.
Berdasarkan perhitungan besaran keuntungan usahatani optimal 25 persen,
petani kedelai nasional harus mencapai harga jual Rp 4 479/kg. Kondisi ini sangat
sulit, karena harga kedelai domestik menjadi tidak dapat bersaing dengan kedelai
impor. Satu-satunya solusi untuk memberi insentif produksi kedelai domestik
adalah jaminan harga jual kedelai dengan tingkat keuntungan pasti. Berdasarkan
asumsi harga pokok produksi Rp 3 359/kg, tarif bea masuk kedelai saat ini 5
persen, untuk memperoleh keuntungan usahatani 25 persen tarif bea masuk yang
diterapkan (Most Favoured Nation, MFN) harus dinaikkan menjadi 22.3 persen
(ad valorem) atau Rp 625.5/kg (specific tariff).
Tarif yang diikat untuk kedelai adalah 27 persen. Artinya, masih ada
peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan
menjamin keuntungan usahatani 25 persen dengan menetapkan tarif impor baru
19
sebesar 22.3 persen. Harga kedelai impor saat ini (Rp 2 806.4/kg) masih lebih
rendah dibandingkan harga pokok produksi kedelai lokal (Rp 3 359/kg).
Fluktuasi harga produk pangan dan sarana produksi usahatani di pasar global akan
ditransmisikan ke semua tingkat harga, termasuk produsen lokal. Namun tidak
semua sistem dan saluran tataniaga komoditas pangan di pasar domestik bersaing
sempurna.
Penelitian tentang Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani
mendukung pengembangan agribisnis kedelai oleh Elizabeth (2007). Penelitian ini
bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan
kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung
pengembangan agribisnis kedelai.
Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di perdesaan, meliputi:
(1) Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifitas lahan,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan, (2)
Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi
dan kesehatan, dan sebagainya), dan (3) Program memperkuat prasarana
kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan perdesaan. Lemahnya kinerja
ekonomi perdesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya,
yang tercermin pada masih rendah interaksi antar kelembagaan, kecilnya akses
terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena
tekanan dari luar.
Elizabeth (2007) menyatakan bahwa beberapa kelembagaan pendukung
keberhasilan agribisnis kedelai, seperti: kelompok tani, lembaga tenaga kerja,
kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, dan kelembagaan permodalan.
20
Pengembangan kelembagaan untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan
keberlanjutan daya dukung SDA (marginal sustainability yield) dan berbagai
usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan, merupakan bagian
penting pembangunan pertanian dan perdesaan.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan tingkat
pendapatan usahatani lebih menguntungkan bila diusahakan di lahan sawah, pola
kerjasama dengan pihak swasta, dan adanya penerapan teknologi baru, serta
intervensi dari pemerintah. Pencapaian keberhasilan agribisnis kedelai
diperlukan suatu kelembagaan pendukung dari tingkat desa sampai di luar desa.
Permasalahan di tataniaga kedelai meliputi kualitas kedelai, margin tataniaga
kedelai yang tinggi disebabkan biaya angkut, dengan tarif bea masuk kedelai 5
persen harga kedelai domestik masih lebih tinggi dari harga kedelai impor. Tabel
6 menginformasikan perbedaaan dan persamaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya.
Tabel 6 Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Judul Penelitian Metode
Nurmanaf 1987 Jalur tataniaga kedelai di daerah transmigrasiJambi
Marjin tataniagaFarmer s Share
Rusastra, et al. 1992 Aspek produksi dan tataniaga kedelai di JawaTimur
Efisiensi usahataniMarjin tataniaga
Saptana 1993 Aspek produksi dan tataniaga kedelai di JawaTengah (studi kasus di Kabupaten Wonogiri)
R/C rasioMarjin tataniaga
Puspodewi 2004 Analisis keunggulan kompetitif dan komparatifserta dampak kebijakan pemerintah padapengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali,Jawa Tengah (kasus desa Bade)
PAM
Elizabeth 2007 Penguatan dan pemberdayaan kelembagaanpetani mendukung pengembangan agribisniskedelai
Nuryanti danKustiari
2007 Meningkatkan kesejahteraan petani kedelaidengan kebijakan tarif optimal
Mikro : I – OMakro : PartialWelfare Analysis
Meryani 2008 Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai diKecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, JawaBarat
Pendapatan usahataniMarjin tataniaga,farmer s share, B/Crasio
21
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Usahatani
Rahim dan Diah (2007) menyatakan bahwa usahatani merupakan ilmu
yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi
(tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida) dengan efektif,
efisien dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga
pendapatannya meningkat. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan
sumberdaya yang dimiliki sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan
sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output).
3.1.2 Pendapatan Usahatani
Struktur Penerimaan Usahatani. Soekartawi (1995) menyatakan bahwa
penerimaan usahatani adalah ukuran hasil total sumberdaya yang digunakan
dalam usahatani. Istilah lain untuk penerimaan usahatani adalah pendapatan kotor
usahatani yang terbagi menjadi pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak
tunai. Pendapatan kotor tunai didefinisikan sebagai uang yang diterima dari
penjualan produk usahatani kedelai, sedangkan pendapatan kotor tidak tunai
merupakan pendapatan yang bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen kedelai
yang dikonsumsi dan digunakan untuk bibit.
Struktur Biaya Usahatani. Biaya usahatani merupakan pengorbanan
yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya dalam
mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi dua
yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya
22
yang dikeluarkan dalam bentuk uang oleh petani sendiri. Sedangkan biaya yang
diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan petani bukan dalam bentuk uang
tunai, tetapi diperhitungkan dalah perhitungan usaha tani.
Soekartawi (1995) menyatakan bahwa biaya usahatani diklasifikasikan
menjadi dua yaitu: (a) Biaya tetap (fixed cost) dan (b) Biaya tidak tetap (variable
cost). Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap
jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau
sedikit. Artinya besarnya biaya tetap tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya
produksi yang diperoleh. Biaya tetap antara lain sewa tanah, pajak, alat pertanian
dan iuran irigasi.
Biaya tidak tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk
sarana produksi. Jika menginginkan produksi yang tinggi maka faktor-faktor
produksi (tenaga kerja, pupuk, dan sebagainya) perlu ditambah. Dapat
disimpulkan biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar kecilnya
produksi yang akan dicapai.
Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang dibebankan kepada
usahatani untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat
petanian dan biaya imbangan sewa lahan. Biaya ini digunakan untuk menghitung
berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika sewa lahan dan nilai tenaga kerja
dalam keluarga diperhitungkan.
Pendapatan Usahatani. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara
penerimaan dan semua biaya yang digunakan, untuk mengukur imbalan yang
diperoleh petani akibat penggunaan faktor-faktor produksi. Untuk menilai
23
penampilan usahatani kecil adalah dengan penghasilan bersih usahatani. Ukuran
ini diperoleh dari hasil pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang
dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan dan penyusutan.
R/C Ratio. Analisis efisiensi R/C ratio atau rasio penerimaan atas biaya
dihitung dengan cara membandingkan penerimaan total dengan biaya total.
Apabila diperoleh nilai lebih dari satu artinya usahatani kedelai yang dilakukan
efisien, tetapi bila diperoleh nilai kurang dari satu artinya usahatani kedelai yang
dilakukan belum efisien.
3.1.3 Tataniaga
Tataniaga merupakan suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa
atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Aktivitas pasar dan
tataniaga diklasifikasikan menurut waktu, jarak dan bentuk. Dahl and Hammond
(1977) menyatakan bahwa fungsi dari tataniaga yaitu: (1) pembelian, (2)
penjualan, (3) penyimpanan, (4) transportasi, (5) pengolahan, (6) standarisasi, (7)
keuangan, (8) pengambilan risiko, dan (9) pengetahuan pasar. Secara keseluruhan
tataniaga merupakan rangkaian kegiatan mengalirkan barang dan jasa dari
produsen ke konsumen untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen, serta
keuntungan bagi produsen.
Boyd, Walker and Larreche (2000), mendefinisikan tataniaga sebagai
suatu proses sosial yang melibatkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan
individu dan organisasi mendapatkan apa yang dibutuhkan melalui pertukaran
dengan pihak lain. Tujuan dari tataniaga adalah mengidentifikasi,
mengkomunikasikan, dan menegosiasikan barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhan konsumen.
24
Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyatakan bahwa tataniaga adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penciptaan atau penambahan kegunaan dari
barang dan jasa maka tataniaga termasuk tindakan atau usaha yang produktif.
Kegunaan dalam kegiatan tataniaga adalah kegunaan tempat, waktu dan
pemilikan, sehingga tataniaga dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang
berhubungan dengan pergerakan barang dan jasa dari produsen sampai dengan
konsumen.
3.1.4 Saluran Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan
atau fungsi tataniaga sehingga barang bergerak dari produsen sampai ke
konsumen. Saluran tataniaga terdiri dari beberapa pedagang perantara. Panjang
pendeknya saluran tataniaga dipengaruhi beberapa faktor yaitu: (1) Jarak antara
produsen ke konsumen, (2) Ketahanan produk, (3) Skala produksi dan (4)
Keuangan produsen (Hanafinah dan Saefuddin, 1983).
Kotler (2005) menyatakan bahwa saluran tataniaga didefinisikan sebagai
sarana untuk mencapai pasar sasaran. Ada tiga jenis saluran tataniaga yang
digunakan meliputi: (1) saluran komunikasi yang digunakan untuk memberi dan
menerima informasi dari konsumen sasaran. (2) Saluran distribusi digunakan
untuk manyampaikan produk atau jasa dari produsen kepada konsumen. Lembaga
yang terlibat dalam saluran ini diantaranya distributor, grosir, pengecer dan agen.
(3) Saluran jasa untuk melakukan transaksi dengan calon konsumen. Saluran ini
mencakup pergudangan, sarana transportasi, lembaga keuangan dan perusahaan
asuransi yang memberikan kemudahan dalam transaksi.
25
Saluran tataniaga atau saluran distribusi merupakan lembaga atau
perantara berganda yang berfungsi mendistribusikan barang untuk mendukung
transaksi dengan konsumen potensial. Setiap lembaga berspesialisasi dalam satu
fungsi dan kegiatan penting pendistribusian. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi transaksional dan efisiensi fungsional. Saluran tataniaga
terdiri dari empat komponen utama yaitu: produk, pelaku pasar, aktivitas dan
input (Boyd, Walker and Larreche, 2000).
Bentuk distribusi ada dua yaitu distribusi langsung dan distribusi tidak
langsung. Distribusi langsung yaitu produsen melakukan penjualan langsung
produknya kepada konsumen, sedangkan distribusi tidak langsung yaitu produsen
melakukan penjualan barang kepada konsumen melalui perantara seperti
pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang grosir dan pedagang pengecer
(Boyd, Walker and Larreche, 2000).
3.1.5 Struktur Pasar
Dahl and Hammond (1977) menyatakan bahwa ada empat karakteristik
yang menentukan struktur pasar yaitu: (1) jumlah dan ukuran perusahaan, (2) sifat
produk, (3) kemudahan untuk keluar masuk pasar dan (4) tingkat informasi harga,
biaya serta kondisi pasar yang dihadapi pelaku tataniaga. Struktur pasar mengacu
pada semua aspek yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di
suatu pasar, seperti jumlah perusahaan dan jenis produk (Lipsey, et al. 1997).
Karakteristik struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 6.
Kotler (2005) menyatakan bahwa struktur pasar berdasarkan sifat dan
bentuknya dibedakan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar
bersaing tidak sempurna. Pasar termasuk ke dalam pasar bersaing sempurna
26
dengan ciri-ciri banyaknya jumlah penjual dan pembeli, barang yang ditawarkan
bersifat homogen, penjual dan pembeli berperan sebagai price taker, dan bebas
keluar masuk pasar. Pasar bersaing tidak sempurna dibagi menjadi pasar
monopolistik, pasar ologopolistik dan monopoli.
Tabel 7 Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli
Karakteristik Struktur PasarNo
JumlahPenjual
JumlahPembeli
SifatProduk
Sudut Penjual Sudut Pembeli
1 Banyak Banyak Homogen PersainganSempurna
PersainganSempurna
2 Banyak Sedikit Diferensiasi PersainganMonopolistik
Oligopsoni
3 Sedikit Banyak Homogen Oligopoli PersainganMonopolistik
4 Sedikit Sedikit Diferensiasi OligopoliDiferensiasi
OligopsoniDiferensiasi
5 Satu Satu Unik Monopoli MonopsoniSumber: Dahl and Hammond (1977), Lipsey, et al. (1997)
Pasar monopolistik yaitu pasar dimana banyak penjual yang
mendiferensiasikan produk baik secara keseluruhan atau sebagian, sehingga
produk dapat dibedakan berdasarkan kualitas, gaya dan service yang diberikan
penjual. Akibatnya banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada
berbagai tingkat harga bukan pada satu tingkat harga pasar. Penjual melakukan
penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda, sehingga pembeli
bersedia membayar lebih untuk produk yang dapat memuaskan kebutuhannya.
Pasar oligopolistik yaitu pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang
menghasilkan produk mulai dari produk yang terdiferensiasi hinggga produk
homogen. Penjual sangat peka terhadap strategi tataniaga dan penetapan harga
pesaing lainnya. Jumlah penjual yang sedikit disebabkan hambatan untuk masuk
pasar tinggi, strategi penetapan harga yang tepat dan memusatkan perhatian pada
27
kepuasan pelanggan untuk menarik pelanggan. Pasar monopoli murni yaitu pasar
yang hanya ada satu penjual yang menguasai pasar suatu produk tertentu. Penjual
berperan sebagai price maker, hambatan masuk dan keluar pasar tinggi karena
alasan teknis atau alasan undang-undang untuk monopoli yang teregulasi.
3.1.6 Efisiensi Tataniaga
Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tataniaga adalah tingkat
efisiensi dari tataniaga, karena tataniaga yang efisien dapat memberikan kepuasan
kepada semua pihak yang terlibat dalam tataniaga. Dahl and Hammond (1977)
menyatakan bahwa terdapat dua ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur
tingkat efisiensi yaitu efisiensi operasional (teknologi) dan efisiensi harga
(ekonomi). Efisiensi operasional menggambarkan keadaan dimana biaya input
dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan. Analisis
yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi operasional pada proses
tataniaga produk yaitu dilihat dari keragaaan pasar (analisis margin tataniaga,
farmer s share dan rasio keuntungan terhadap biaya).
Efisiensi harga tercermin dari tiga kondisi yaitu (1) ada alternatif pilihan
bagi konsumen, (2) perbedaan harga yang mencerminkan adanya biaya-biaya
yang dikeluarkan sebagai akibat perlakuan terhadap komoditi dalam sistem
tataniaga, dan (3) terjadi aktivitas pembelian dan penjualan yang cocok antara
petani, lembaga tataniaga dan konsumen yang berdampak pada kepuasan pada
setiap pelaku tataniaga. Tingkat efisiensi tataniaga dapat dilihat dengan
mengunakan dua pendekatan sekaligus atau salah satu dari pendekatan tersebut.
Marjin tataniaga. Dahl and Hammond (1977) menyatakan bahwa marjin
tataniaga menjelaskan perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga tingkat
28
pengecer (Pr). Perbedaan nilai ini juga direpresentasikan sebagai jarak vertikal
dan jarak antara kurva permintaan atau antara kurva penawaran (Gambar 1). Sr
menunjukkan supply turunan, Sf menunjukkan supply dasar, Dr merupakan
demand turunan, Df merupakan demand dasar, Pr merupakan harga retail, dan Pf
merupakan harga petani (Gambar 1). Nilai marjin tataniaga adalah perbedaan
harga di kedua tingkat sistim tataniaga dikalikan dengan kuantitas produk yang
dipasarkan. Cara perhitungan ini sama dengan konsep nilai tambah (value added).
Gambar 1 Marjin Tataniaga.Sumber: Dahl and Hammond (1977)
Pengertian ekonomi nilai marjin tataniaga adalah harga dari sekumpulan
jasa tataniaga yang merupakan hasil dari interaksi antara permintaan dan
penawaran produk–produk tersebut. Oleh karena itu nilai marjin tataniaga
dibedakan menjadi dua yaitu marketing costs dan marketing charges. Marjin
tataniaga hanya merepresentasikan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen
Marjin Tataniaga(Pr – Pf)
Quantity
Price
Pr
Pf
SrSf
Dr
Df
Qr, f
VMM(Pr – Pf) Qrf
29
dengan harga yang diterima petani, tetapi tidak menunjukkan jumlah kuantitas
produk yang dipasarkan, sehingga jumlah produk di tingkat petani sama dengan
jumlah produk di tingkat pengecer. Marjin tataniaga merupakan penjumlahan
antara biaya tataniaga dan marjin keuntungan (Dahl and Hammond, 1977).
Marjin tataniaga terjadi karena adanya faktor-faktor biaya tataniaga
(pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lain-lain) dan
keuntungan, yang akhirnya akan mempengaruhi pembentukan harga jual produk
itu sendiri antara petani dan pedagang (Elizabeth, 2007). Keuntungan tataniaga
adalah pengurangan marjin tataniaga dengan biaya-biaya tataniaga.
Farmer s share. Azzaino (1982) menyatakan bagian yang diterima petani
(farmer s share) merupakan harga yang diterima petani sebagai imbalan kegiatan
usahataninya dalam menghasilkan kondisi tertentu. Farmer s share juga
menyatakan perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga di
tingkat lembaga pemasaran yang dinyatakan dalam persentase.
Rasio B/C. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga merupakan
perbandingan antara keuntungan yang diambil lembaga tataniaga terhadap biaya
yang dikeluarkan untuk memasarkan produk tersebut. Secara teknis sistem
tataniaga akan semakin efisien jika rasio keuntungan terhadap biaya merata di
setiap lembaga tataniaga.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Pada awal tahun 2007, di dalam negeri harga kedelai impor meningkat
sangat tajam karena harga kedelai di pasar dunia meningkat. Akibatnya produsen
tahu, tempe dan industri makanan dan minuman berbahan baku kedelai
30
mengalami penurunan produksi. Sementara konsumsi kedelai semakin meningkat
sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk. Di sisi lain produksi kedelai
dalam negeri cenderung mengalami penurunan, karena gairah petani untuk
menanam kedelai cenderung menurun. Harga kedelai impor yang tinggi
memberikan peluang bagi petani dalam negeri untuk meningkatkan produksi
kedelai guna memenuhi kebutuhan kedelai di Indonesia.
Pendapatan usahatani merupakan hasil akhir yang akan diperoleh petani
sebagai bentuk imbalan atas pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam
usahataninya, sehingga harus efisien dalam menggunakan sumberdaya. Efisiensi
usahatani kedelai dapat dilihat dari hasil analisis R/C ratio yang menunjukkan
berapa penerimaan yang diperoleh petani dari setiap input yang dikeluarkan.
Selain itu R/C ratio digunakan untuk melihat apakah usahatani yang dilakukan
menguntungkan secara ekonomi atau tidak bagi petani. Semakin besar nilai R/C
ratio maka usahatani yang dilakukan akan semakin baik.
Tataniaga komoditi pertanian adalah kegiatan atau proses pengaliran
komoditas pertanian dari produsen sampai ke konsumen atau pedagang perantara
(tengkulak, pengumpul, pedagang besar, dan pengecer). Fungsi-fungsi tataniaga
terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Semua fungsi
tataniaga dilakukan oleh lembaga atau pelaku pasar yang terlibat, sehingga jumlah
pelaku pasar yang terlibat dalam proses tataniaga akan menentukan panjang
pendeknya saluran tataniaga. Fungsi tataniaga dilakukan untuk meningkatkan atau
menciptakan nilai guna waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan, sehingga
konsumen akan merasa puas (Hanafiah dan Saefuddin, 1983).
31
Sementara untuk manganalisis struktur pasar kedelai dilakukan
berdasarkan pada empat karakteristik struktur pasar yaitu: (1) jumlah dan ukuran
perusahaan, (2) keadaan atau kondisi produk, (3) mudah atau sukar untuk keluar-
masuk pasar, dan (4) tingkat informasi yang dimiliki oleh pelaku dalam tataniaga,
seperti biaya, harga dan kondisi pasar diantara pelaku pasar. Perilaku pasar yang
dibentuk tersebut dilihat dari dua sisi yaitu sisi penjual dan sisi pembeli. Analisis
struktur pasar ini dilakukan untuk mengetahui pasar kedelai yang terbentuk sesuai
dengan karakteristiknya.
Analisis kuantitatif untuk mengetahui bagaimana keragaan usahatani dan
tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang jika dilihat dari analisis pendapatan
usahatani, R/C ratio, margin tataniaga, B/C ratio dan farmer s share, apakah
sudah efisien secara operasional. Efisiensi tataniaga tidak ditentukan oleh
panjang-pendeknya saluran tataniaga, meskipun saluran tataniaga yang pendek
lebih efektif dalam menyampaikan produk hingga diterima oleh konsumen.
Tataniaga akan efisien bila semua pelaku pasar atau lembaga yang terlibat merasa
puas dengan apa yang diperolehnya. Hasil dari analisis tersebut akan dibuat
perumusan langkah-langkah perbaikan yang akan diberikan atau diinformasikan
kepada petani dan para pelaku tataniaga. Alur pemikiran tersebut dapat
digambarkan seperti diagram di bawah ini:
32
Gambar 2 Bagan Kerangka Pemikiran Usahatani dan Tataniaga Kedelai.
1. Saluran Tataniaga2. Sruktur Pasar3. Margin Tataniaga4. Farmer s Share5. Rasio B/C
Efisiensi Tataniaga
Rekomendasi
Petani Kedelai Lembaga Tataniaga:1. Pedagang Pengumpul2. Pedagang Besar3. Supplier4. Pedagang Pengecer
Analisis Tataniaga
Analisis Usahatani
Analisis Kuantitatif:1. Pendapatan Usahatani2. Rasio R/C
- Harga kedelai impor tinggi- Konsumsi rata-rata 2.7 juta ton per tahun- Produksi kedelai dalam negeri rata-rata 0.7 juta ton per tahun
Supply Respon
33
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), karena
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi kedelai di Jawa Barat.
Kecamatan Ciranjang sendiri merupakan salah satu sentra produksi di Kabupaten
Cianjur. Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan pada bulan
Juni – Agustus 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang dikumpulkan
dari berbagai sumber. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung
menggunakan daftar pertanyaan terstruktur kepada petani kedelai, pedagang
pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Data sekunder yang
dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian Tanaman Pangan,
Lembaga Penelitian dan pihak yang terkait lainnya. Informasi yang dikumpulkan
antara lain perkembangan luas tanam, luas panen dan produksi, ekspor-impor
kedelai, perkembangan harga dan kebijakan pengembangan kedelai.
4.3 Metode Penarikan Contoh
Metode penarikan contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah
random sampling yaitu pengambilan contoh dilakukan secara acak. Kecamatan
Ciranjang terbagi menjadi 12 desa dan terdiri dari 80 kelompok tani dengan rata-
34
rata satu kelompok terdiri dari lima sampai enam orang petani. Penentuan
responden berdasarkan petani yang menanam kedelai di Kecamatan Ciranjang
sebanyak 30 orang petani kedelai dengan cara mengambil nama kelompok tani
dan memilih petani secara acak untuk diwawancara.
Pengambilan contoh untuk pelaku pasar pada tiap tingkat lembaga
pemasaran dilakukan dengan cara mengikuti arus barang dalam proses penyaluran
barang dari produsen sampai ke konsumen. Pedagang pengumpul tiga orang
berdasarkan informasi pedagang pengumpul yang berdomisili di Kecamatan
Ciranjang, pedagang besar dua orang yang berada di Kecamatan Ciranjang,
pedagang propinsi satu orang berdasarkan informasi dari pedagang besar di
Kecamatan Ciranjang, dan pedagang pengecer tiga orang yang berada di
Kabupaten Cianjur dan Bandung.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang telah dikumpulkan diolah dengan bantuan
kalkulator, komputer dan disajikan dalam bentuk deskriptif, gambar dan tabulasi
untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan data yang ada dalam melakukan
analisis data.
4.4.1 Analisis Usahatani
Berdasarkan hasil panennya usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang,
Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu usahatani kedelai polong tua
dan usahatani kedelai polong muda. Analisis usahatani digunakan untuk melihat
seberapa besar pendapatan usahatani dan produksi yang dihasilkan oleh petani.
Lipsey, et al. (1997) menyatakan bahwa pendapatan usahatani dianalisis dengan
analisis biaya dan pendapatan. Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara
35
produksi yang diperoleh dengan harga jual (Soekartawi, 1995). Pernyataan
tersebut dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
dimana:TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py = Harga Y
Jika komoditas tanaman yang diusahakan lebih dari satu, maka rumus tersebut
dapat berubah menjadi:
Biaya tetap dapat dihitung dengan rumus:
dimana: Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = Harga Xi (input)
Rumus tersebut dapat digunakan untuk menghitung biaya total (total cost),
yang merupakan jumlah dari biata tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC). Rumus
yang digunakan yaitu:
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua
biaya. Rumus yang digunakan yaitu:
dimana: Pd = Pendapatan usahatani TR = Total penerimaan (total revenue) TC = Total biaya (total cost)
TR = Y x Py
TR =∑=
n
iYxPy
1
TC = FC + VC
Pd = TR - TC
FC = ∑=
n
iii PxX
1
36
Analisis (R/C) ratio merupakan perbandingan antara penerimaan dan
biaya. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
dimana: a = R/C ratio Py = Harga output Y = Output
Kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil analisis R/C ratio
sebagai berikut :
R/C ratio > 1 : usahatani menguntungkan
R/C ratio < 1 : usahatani rugi
R/C ratio = 1 : usahatani impas
Secara sederhana, perhitungan analisis pendapatan dan R/C ratio dapat
disajikan seperti pada Tabel 7.
Tabel 8 Perhitungan Analisis Pendapatan dan R/C Ratio Usahatani Kedelai
A Penerimaan Tunai Harga x Hasil panen yang dijual (Kg)
B Penerimaan yang diperhitungkan Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg)C Total Penerimaan A + BD Biaya Tunai a. Biaya sarana produksi:
- Benih- Pupuk- Pestisida- PPC/ZPT
b. Upah tenaga kerja di luar keluargac. Sewa alat bajakd. Sewa lahane. pajak
E Biaya yang diperhitungkan a. Upah tenaga kerja dalam keluargab. Penyusutanc. Benihd. Sewa lahan
F Total Biaya D + EG Pendapatan atas biaya tunai C – DH Pendapatan atas biaya total C – FI Pendapatan Bersih H – bunga pinjaman (jika ada pinjaman)J R/C ratio C / F
Sumber : Rahim dan Diah, 2007
a =VCFCYPy
+.
37
Biaya penyusutan alat dihitung dengan cara membagi selisih antara nilai
pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dibagi usia ekonomi dari alat
tersebut. Secara matematis biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai berikut :
dimana :Nb = Nilai pembelian (Rp)Ns = Nilai sisa (Rp)N = Umur ekonomi alat (tahun)
4.4.2 Analisis Saluran Tataniaga Kedelai
Analisis saluran tataniaga digunakan untuk menelusuri saluran tataniaga
kedelai dari produsen sampai ke konsumen akhir. Analisis ini dapat
menggambarkan secara keseluruhan pola saluran tataniaga kedelai yang terjadi
pada daerah penelitian.
4.4.3 Analisis Struktur Pasar
Struktur pasar dapat dianalisis melalui beberapa indikator, yaitu: (1)
jumlah pedagang di setiap level tataniaga, (2) keadaan atau kondisi produk, (3)
mudah atau sukar untuk keluar-masuk pasar, dan (4) tingkat informasi yang
dimiliki oleh pelaku dalam tataniaga, seperti biaya, harga dan kondisi pasar
diantara pelaku pasar.
4.4.4 Analisis Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga yang diterima petani
(produsen) dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Untuk menganalisis
marjin tataniaga dalam penelitian ini, data harga yang digunakan adalah harga di
tingkat petani dan harga di tingkat lembaga tataniaga, secara matematis rumus
Biaya Penyusutan =n
NsNb −
38
yang digunakan dalam perhitungan marjin tataniaga (Dahl and Hammond, 1977),
yaitu:
dimana:Mm = Marjin tataniaga di tingkat petaniPr = Harga di tingkat kelembagaan tataniaga dari petani
Pf = Harga di tingkat petani
Berdasarkan rumus di atas, marjin pada setiap tingkat lembaga tataniaga
dapat dihitung dengan menghitung selisih antar harga jual dengan harga beli pada
setiap tingkat lembaga tataniaga, dapat dirumuskan sebagai berikut:
dimana:Mmi = Marjin tataniaga pada setiap tingkat lembaga tataniagaPs = Harga jual pada setiap tingkat lembaga tataniagaPb = Harga beli pada setiap lembaga tataniaga
Marjin tataniaga mengandung komponen biaya dan komponen
keuntungan, maka:
dimana:c = biaya tataniaga
= Keuntungan lembaga tataniaga
Berdasarkan analisis marjin tataniaga di atas, maka untuk setiap saluran
tataniaga dapat dilihat persentase pangsa marjin setiap pelaku pasar dengan
menggunakan rumus:
Pangsa pasar digunakan untuk melihat berapa besar marjin yang diperoleh
pelaku pasar untuk setiap saluran tataniaga yang ada. Saluran tataniaga yang
Mm = Pr – Pf
Mmi = Ps – Pb
Mm = c +
%100xnTotalMarji
saranMarjinPemainPangsaMarj =
39
efisien ditunjukan oleh perolehan marjin setiap pelaku pasar yang merata.
Besarnya persentase net marjin yang diperoleh setiap pelaku pasar untuk masing-
masing saluran tataniaga digunakan rumus:
Net marjin digunakan untuk mengetahui penyebaran marjin keuntungan pada
setiap pelaku pasar untuk setiap saluran tataniaga.
4.4.5 Analisis Bagian Harga yang Diterima Petani
Farmer s share berhubungan dengan margin tataniaga, artinya semakin
tinggi margin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah.
Farmer s share dapat dirumuskan sebagai berikut:
dimana:
Fs = Farmer s share
4.4.6 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Distribusi margin tataniaga dapat dilihat dengan persentase keuntungan
terhadap biaya (rasio B/C) yang dikeluarkan pada masing-masing saluran
tataniaga, rumus yang digunakan yaitu:
%100/ xCi
iCRatioB π=
dimana:i = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i
ci = Biaya lembaga tataniaga ke-i
%100xunganTotalKeunt
rPelakuPasaKeuntunganNetMarjin =
%100xpp
Fr
fs =
40
4.5 Definisi Operasional
1. Kedelai polong muda adalah kedelai yang dipanen pada saat tanaman
kedelai berumur 40 hari.
2. Kedelai polong tua adalah kedelai yang dipanen pada saat tanaman kedelai
berumur 90 hari dan dikeringkan.
3. Pupuk adalah zat tambahan yang digunakan petani untuk meningkatkan
kesuburan tanaman kedelai (Urea, SP36, KCl dan pupuk organik).
4. PPC (Pupuk Pelengkap Cair) adalah pupuk yang digunakan untuk
merangsang pertumbuhan polong.
5. Pestisida adalah zat kimia yang digunakan oleh petani untuk
menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai.
6. Pedagang pengumpul (tengkulak) adalah pedagang yang aktif membeli
dan mengumpulkan kedelai dari produsen (petani) di daerah produksi dan
menjualnya kepada pedagang besar dan pasar lokal.
7. Pedagang besar adalah pedagang yang aktif di pasar-pasar pusat dan
memperoleh barang dari pedagang pengumpul maupun dari petani
langsung dan dijual kembali ke pasar induk (baik satu propinsi atau luar
propinsi), supplier dan pasar lokal.
8. Pedagang pengecer adalah pedagang yang menjual kedelai kepada
konsumen terakhir di pasar lokal ataupun industri makanan dan pedagang
ini membeli kedelai dari supplier, pedagang besar ataupun pedagang
pengumpul.
41
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Letak Geografis, Topografi, Curah Hujan dan Jenis Tanah
Secara geografis, Kabupaten Cianjur terletak antara 6º 21” - 7° 25”
Lintang Selatan (LS) dan 106º 42” - 107º 25” Bujur Timur (BT). Posisi tersebut
menempatkan wilayah Kabupaten Cianjur berada di bagian tengah wilayah
Propinsi Jawa Barat, memanjang dari utara ke selatan dengan batas-batas wilayah
secara administrasi, sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kabupaten Bogor dan Purwakarta
b. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
c. Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi
d. Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Garut
Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 413 127 ha yang terbagi atas 62
879 ha (30.45 persen) lahan sawah dan 287 269 ha (69.55 persen) lahan kering
(Tabel 8). Wilayah Kabupaten cianjur terdiri dari 30 Kecamatan, 6 Kelurahan dan
348 Desa. Topografi wilayah didominasi perbukitan hingga pegunungan dengan
ketinggian 0 – 2 962 meter di atas permukaan air laut (dpl), dan kemiringan lahan
0 – 40 persen. Iklim di wilayah Kabupaten Cianjur termasuk iklim tipe Af (sangat
basah), kecuali sebagian wilayah Kecamatan Cidaun dengan iklim tipe Am dan
wilayah gunung Gede dengan iklim tipe Cf. Jumlah curah hujan tahunan relatif
beragam antar wilayah dengan kisaran 1 716 milimeter di wilayah Penyusuhan
hinga 4 465 milimeter di wilayah Kadupandak/Cimanggu.
42
Tabel 9 Luas Wilayah Berdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten CianjurTahun 2006
Pengguanaan Lahan Luas (Ha) Persen (%)
Lahan Sawah1. Irigasi Teknis2. Irigasi Setengah Teknis3. Irigasi Sederhana PU4. Irigasi Sederhana Non PU5. Tadah hujan
15 2076 2369 687
17 58414 165
4.321.751.766.104.03
Jumlah 62 879 30.46Lahan Kering
1. Bangunan/Pekarangan2. Tegal/Kebun3. Ladang/Huma4. Pengembalaan5. Rawa6. Tambak/Kolam/Empang7. Tidak diusahakan8. Hutan Rakyat9. Hutan Negara10. Perkebunan11. Lain-lain
22 29452 05439 092
700136
1 0461 673
29 72361 45356 17022 803
7.7415.4011.950.300.100.560.467.58
16.8415.185.93
Jumlah 287 269 69.54Jumlah Keseluruhan 413 027 100.00
Sumber: Diperta Kabupaten Cianjur (2006)
Jenis tanah di Kabupaten Cianjur terdiri atas 5 jenis yaitu: (1) tanah aluvial
yang tersebar di Kecamatan Pacet, Cugenang, Sukaresmi, Cilaku, Naringgul dan
Cianjur, (2) tanah andosol yang tersebar di Kecamatan Pagelaran dan Tanggeung,
(3) tanah brown forest yang tersebar di Kecamatan Campaka, Takokak,
Sukanagara dan Cugenang, (4) tanah latosol yang tersebar di Kecamatan
Sukanagara, Campakamulya, Cikalongkulon dan Mande, dan (5) tanah podsolik
merah kuning yang tersebar di Kecamatan Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang,
Kadupandak, Tanggeung, Naringgul dan Warungkondang.
Berdasarkan kondisi sumberdaya alam (tofografi, jenis tanah, iklim,
penggunaan tanah, dan lain-lain) dan sumberdaya manusia, Kabupaten Cianjur
43
terbagi atas tiga wilayah pembangunan dengan masing-masing karakteristik
(Diperta Kabupaten Cianjur, 2007), sebagai berikut:
1. Wilayah Pembangunan Utara (WPU)
WPU merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede dengan
topografi didominasi bergunung dan penggunaan lahannya untuk perkebunan,
tanaman hortikultura dan lahan sawah. Kecamatan yang termasuk WPU
mencakup Cianjur, Cilaku, Warungkondang, Cibeber, Ciranjang, Sukaluyu,
Bojongpicung, Karangtengah, Mande, Pacet, Sukaresmi, Cugenang,
Cikalongkulon, Gekbrong dan Cipanas.
2. Wilayah Pembangunan Tengah (WPT)
WPT merupakan daerah dengan topografi berbukit hingga bergunung dengan
struktur tanahnya labil sehingga sangat peka terhadap erosi dan penggunaan
lahannya untuk perkebunan, tanaman hortikultura dan lahan sawah.
Kecamatan yang termasuk WPT mencakup Tanggeung, Pagelaran,
Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Campaka dan Campakamulya.
3. Wilayah Pembangunan Selatan (WPS)
WPS merupakan dataran rendah dengan topografi umumnya bergelombang
hingga berbukit yang diselingi oleh pegunungan yang melebar hingga ke
daerah pantai Samudera Indonesia. Tanah di WPS memiliki struktur yang labil
dan peka terhadap erosi. Penggunaan lahannya didominasi lahan kering dan
terdapat perkebunan dan lahan sawah dengan luasan yang kecil. Kecamatan
yang termasuk WPS mencakup Agrabinta, Leles, Sindangbarang, Cidaun,
Naringgul, Cibinong, Cidaku dan Cijati.
44
5.2 Sosial Ekonomi
Penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2006 berjumlah 2 098 644 orang
(546 119 Kepala Keluarga/KK) teriri atas 1 069 408 orang laki-laki (50.96 persen)
dan 1 029 236 orang perempuan (49.04 persen). Jumlah penduduk Kabupaten
Cianjur yang tergolong usia produktif sebesar 39.16 persen, sedangkan penduduk
dengan pekerjaan utama adalah pertanian sebesar 61.0 persen dari total pendudk
berusia produktif. Kepala keluarga miskin tergolong tinggi yaitu mencapai 35.9
persen dari seluruh KK.
Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur adalah sektor
pertanian yaitu sekitar 62.99 persen. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap
tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sekitar 14.60 persen. Sektor
pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur
yaitu sekitar 42.80 persen, kemudian diikuti sektor perdagangan sekitar 24.6
persen.
Kelompok tani kedelai yang ada di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten
Cianjur ini berjumlah 80 kelompok tani, beranggotakan petani perkelompok lima
sampai enam orang petani dan dipimpin oleh seorang ketua kelompok. Tujuan
dari adanya kelompok ini untuk memberikan kemudahan bagi petani apabila ada
masalah dalam kegiatan usahataninya. Selain itu memberikan kemudahan bagi
Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dalam menyampaikan informasi teknologi
kepada petani, serta kemudahan akses pasar bagi petani. Petugas Penyuluh
Lapang akan menyampaikan informasi kepada masing-masing kelompok tani, dan
kemudian ketua kelompok tani akan menyampaikan informasi yang diperoleh dari
PPL kepada masing-masing anggota kelompok taninya.
45
5.3 Lembaga Tataniaga Kedelai
a. Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul (tengkulak) adalah pedagang kecil yang membeli
hasil panen kedelai dari petani dan untuk dijual kembali kepada pedagang besar.
Jumlah pedagang pengumpul di Kecamatan Ciranjang tidak pasti karena
umumnya pedagang pengumpul ini berasal dari luar Kecamatan Ciranjang.
Pedagang pengumpul yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah pedagang
pengumpul yang berada di Kecamatan Ciranjang dan berjumlah tiga orang.
Pedagang pengumpul ini memperoleh kedelai dari Kecamatan Ciranjang dan luar
Kecamatan, dan menjual kedelai tersebut ke pedagang besar yang ada di
Kecamatan Ciranjang.
b. Pedagang Besar
Pedagang besar adalah pedagang yang menghimpun (mengumpulkan)
kedelai baik dari pedagang-pedagang pengumpul maupun langsung dari petani
yang kemudian dijual kembali ke pedagang pengecer, pedagang besar propinsi
dan pengrajin tahu dan tempe. Jumlah pedagang besar yang ada di Kecamatan
Ciranjang yaitu dua orang. Pedagang besar dalam memasarkan kedelai sudah
memiliki pelanggan tetap. Pedagang besar kabupaten memasarkan kedelai ke
pedagang propinsi di Bandung, pedagang pengecer (Cianjur, Garut, Sumedang,
Majalengka), dan pengrajin tahu/tempe lokal serta di Cianjur. Pedagang besar
kecamatan memasarkan kedelai hanya ke pengrajin tahu lokal dan ke pedagang
propinsi di Bandung.
46
c. Pedagang Propinsi
Pedagang propinsi merupakan pedagang yang menyalurkan kedelai dari
pedagang besar kecamatan dan kabupaten ke pedagang pengecer di Bandung,
Jakarta, pengrajin tahu/tempe lokal, serta dapat melakukan penjualan secara
langsung kepada konsumen akhir. Pedagang propinsi memperoleh kedelai dari
pedagang besar di Jawa Barat termasuk Kecamatan Ciranjang, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.
d. Pedagang Pengecer
Pedagang pengecer adalah pedagang yang menjual secara langsung kepada
konsumen akhir. Pengecer merupakan ujung tombak dari suatu proses produksi
yang bersifat komersial, artinya kelanjutan proses produksi yang dilakukan oleh
lembaga tataniaga sangat tergantung dari aktivitas pedagang pengecer dalam
menjual produk kepada konsumen. Pedagang pengecer mendapatkan barang dari
para pedagang besar yang ada di wilayah pedagang pengecer berdomisili.
47
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Petani dan Usahatani Kedelai
6.1.1 Karakteristik Petani
Keberhasilan suatu usahatani sangat ditentukan oleh karakteristik petani
pelaku usahatani, sebagai pengambil keputusan terbaik dari berbagai alternatif
kegiatan usahatani yang harus diambil. Karakteristik petani tersebut mencakup
umur, tingkat pendidikan, luas dan status penguasaan lahan, dan kepemilikan alat
pertanian serta ternak.
Tabel 10 Persentase Petani Responden Menurut Kelompok Umur
Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
26 - 3637 - 4748 - 5859 - 69
> 69
37
1271
10.0023.3340.0023.333.33
Total 30 100.00
Tabel 10 menginformasikan bahwa umur petani kedelai berkisar antara 37
sampai 69 tahun, mayoritas masih termasuk usia produktif dengan rata-rata
berumur 51.57 tahun. Petani paling banyak termasuk kelompok umur 48 sampai
58 tahun (40.0 persen), dan paling sedikit berada dikelompok umur lebih dari 69
tahun. Hal ini menunjukkan regenerasi petani sangat rendah. Pendidikan petani
(Tabel 11) berkisar antara sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan rataan
pendidikan 4.3 tahun. Pendidikan petani paling banyak berkisar antara 1 sampai 6
tahun atau Sekolah Dasar (43.33 persen), diikuti antara 7 sampai 9 tahun atau
48
Sekolah Lanjutan Pertama (36.67 persen), dan sisanya antara 10 sampai 12 tahun
atau Sekolah Menengah Atas (20 persen).
Tabel 11 Persentase Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan (Tahun) Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
Tidak SekolahSekolah DasarSekolah Menengah PertamaSekolah Menegah AtasPerguruan Tinggi
0131160
0.0043.3336.6720.000.00
Total 30 100.00
Tabel 12 menginformasikan bahwa luas kepemilikan sawah petani kedelai
berkisar antara 0.10 sampai 3.00 hektar dengan rata-rata luas kepemilikan sebesar
0.778 hektar perpetani. Luas kepemilikan sawah petani kedelai paling banyak
berada pada kelompok 0.10 sampai 0.55 hektar (40.00 persen), sedangkan
kepemilikan sawah paling luas yaitu 2.10 sampai 3.00 hektar paling sedikit hanya
3.33 persen.
Tabel 12 Persentase Petani Responden Menurut Luas Kepemilikan Sawah
Luas Sawah (Ha) Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
0.10 - 0.550.56 - 1.001.01 - 2.002.10 - 3.00
121161
40,0036,6720,003,33
Total 30 100,00
Status kepemilikan sawah (Tabel 13) petani kedelai mayoritas berstatus
sewa atau sakap (60.00 persen), diikuti oleh sawah berstatus milik sendiri dan
sewa (26.67 persen), berstatus milik (10 persen), dan sisanya berstatus milik dan
gadai (3.33 persen). Di Kecamatan Ciranjang sewa lahan hanya diambil untuk
49
tanaman padi sedangkan tanaman palawija sewa sawahnya tidak diambil oleh
petani pemilik sawah.
Tabel 13 Persentase Petani Responden Menurut Status Kepemilikan Sawah
Status Kepemilikan Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
MilikSewa/SakapGadaiMilik dan SewaMilik dan Gadai
318081
10,0060,000,00
26,673,33
Total 30 100,00
Alat-alat yang dibutuhkan petani kedelai dalam melaksanakan kegiatan
usahataninya yaitu cangkul, parang, arit, alat pengendalian Hama Penyakit
Tanaman (HPT), pompa air, lantai jemur dan alat perontok kedelai. Pada
umumnya petani sudah memiliki berbagai peralatan tersebut, tetapi khusus alat
pengendalian HPT kepemilikannya masih beragam. Tabel 14 memberikan
informasi petani yang memiliki hand sprayer (36.67 persen) lebih sedikit bila
dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki hand sprayer (46.67 persen).
Tabel 14 Persentase Petani Responden Menurut Kepemilikan Alat Pertanian
Kepemilikan Alat Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
Hand SprayerPompa AirLantai JemurHand Sprayer dan Lantai JemurPerontok KedelaiTidak Memiliki
30580
14
10,000,0016,6726,670,0046,67
Total 30 100,00
Petani yang tidak memiliki alat pengendalian HPT biasanya menyewa dari
petani lain atau menyewa dari kelompok tani, sedangkan pompa air disewa dari
kelompok tani, dan alat perontok kedelai petani menyewa dari luar. Biaya sewa
50
hand sprayer Rp 5 000 per hektar, sewa pompa air Rp 20 000 per hektar, dan
sewa alat perontok kedelai Rp 25 000, per tiga kuintal kedelai.
Salah satu usaha sampingan petani yaitu memelihara ternak kambing, sapi
dan ayam. Pemeliharaan ternak disamping memberikan tambahan pendapatan
keluarga, petani juga dapat menggunakan kotoran ternak sebagai pupuk kandang.
Selain sebagai penyedia unsur hara mikro, pupuk kandang juga dapat
memperbaiki struktur tanah.
Tabel 15 Persentase Petani Responden Menurut Kepemilikan Ternak
Kepemilikan Ternak Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)
KambingSapiKambing dan SapiAyamTidak memiliki
3001
26
10,000,000,003,33
86,67Total 30 100,00
Tabel 15 menginformasikan bahwa beberapa petani sudah memelihara
ternak kambing (10 persen) dengan rataan penguasaan antara 6 sampai 14 ekor,
memelihara ternak ayam (3.33 persen) dengan rataan penguasaan 50 ekor,
sedangkan paling banyak (86.67 persen) petani tidak memelihara ternak.
6.1.2. Usahatani Kedelai
Di Kabupaten Cianjur pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-
palawija/kedelai, kedelai banyak ditanam pada bulan Juni - Juli setelah panen
padi kedua. Kedelai musim utama ditanam mengikuti padi sawah musim hujan
karena musim itulah yang terbaik untuk kedelai. Penanaman di lahan sawah lebih
banyak diminati petani karena lebih tinggi hasilnya dan karena penanaman kedelai
setelah padi, memungkinkan cara kerja yang sederhana sehingga lebih hemat
51
tenaga dan biaya dibanding penanaman di lahan tegal. Penyiapan lahan untuk
bertanam cukup hanya dengan pembuatan parit dangkal seurut galangan dan tanpa
pengolahan lahan. Pengendalian gulma hanya dilakukan satu kali.
Di Kabupaten Cianjur, penanaman kedelai dilakukan dengan cara
penugalan benih pada lahan sawah yang sudah dibabat jeraminya, kebanyakan
tanpa pengolahan tanah. Pola penugalan kira-kira bujur sangkar, dengan jarak 20
x 20 sentimeter sampai 25 x 25 sentimeter mengikuti jarak tugal jerami.
Penanaman dengan cara tugal lebih baik karena jumlah tanamannya lebih besar
dan tersebar lebih merata.
Pada umumnya petani di Kecamatan Ciranjang bertanam kedelai di lahan
bekas padi sawah tanpa didahului pengolahan tanah. Selain kurang berguna,
pengolahan tanah sebelum tanam itu juga berakibat memundurkan waktu tanam
kedelai sehingga dapat mengurangi hasil. Tanah yang semasa padi sawah
digenangi serta berlumpur tersebut, sewaktu kering ternyata cukup baik
strukturnya untuk mendukung pertumbuhan kedelai tanpa pengolahan tanah
sebelum tanam. Bahkan penyiangan pun dilakukan secara minim. Gulma yang
lain telah cukup dikendalikan dengan membakar jerami yang dihamparkan
menutup lahan yang baru ditugali benih kedelai.
Berdasarkan lamanya periode waktu tumbuh dari sejak tanam sampai
kematangan polong, varietas kedelai dapat digolongkan menjadi tiga kelompok
umur, yaitu (1) umur genjah (kurang dari 80 hari), (2) umur sedang (80 – 85 hari),
dan (3) umur dalam (lebih dari 85 hari). Kekeringan yang terjadi setelah biji
kedelai ditanam dapat menghambat perkecambahan. Hal yang sama terjadi bila
52
biji yang telah ditanam tergenang air. Tahun 2007, pada periode penanaman
kedelai di Kecamatan Ciranjang terjadi kekeringan sehingga menurunkan hasil.
Kedelai merupakan tanaman semusim sehingga kebutuhan N, P dan K
relatif besar. Kedelai yang ditanam dalam pola bergiliran dapat memanfaatkan
sisa pupuk yang tidak digunakan tanaman sebelumnya. Di Kecamatan Ciranjang,
kegiatan pemupukan antara satu petani dengan petani yang lain cukup bervariasi
(Tabel 16). Penggunaan pupuk per hektar yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Cianjur yaitu urea 50 kilogram, SP36/TSP 100 kilogram, KCl 50
kilogram, NPK 150 kilogram, zat perangsang biji 2 liter.
Paling banyak petani mengaplikasikan pupuk urea (80 persen) dengan
takaran 53 kilogram per hektar, dan zat perangsang biji (30 persen) dengan
takaran 1 liter per hektar. Selain itu, ada juga petani yang meggunakan pupuk
NPK (20 persen) dengan takaran 20 kilogram per hektar, dan poska (3.33 persen).
Umumnya petani tidak melakukan kegiatan pemupukan sesuai dengan dosis yang
telah dianjurkan. Penggunaan dosis pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan
hara tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi
terganggu. Selain itu, dapat menghambat pembentukan polong akibatnya dapat
menurunkan hasil.
Selain kegiatan pemupukan, petani juga melakukan kegiatan pengendalian
HPT. Hama yang sering menyerang tanaman kedelai adalah ulat grayak (pemakan
daun) dan penggerek polong. Di Kecamatan Ciranjang, pengendalian HPT antara
satu petani dengan petani yang lain cukup bervariasi. Umumnya petani melakukan
penyemprotan sesuai dengan intensitas serangan, rata-rata penyemprotan
dilakukan dua sampai tiga kali per tahun menggunakan pestisida kimia (80
53
persen) dengan takaran 344.62 mililiter per hektar, sedangkan beberapa petani (20
persen) tidak melakukan pengendalian HPT (Tabel 16).
Tabel 16 Biaya Pupuk, Pestisida, Tenaga Kerja pada Usahatani Kedelai
No Jenis Kegiatan Jumlah Petaniyang melakukan
Persentase(%)
Jumlah(sat/Ha)
Harga Rata-rata (Rp/unit)
1 Bibit + Furadan (Kg) 30 100.00 42.52 6 643.622 Takaran Pupuk (Kg) Urea 24 80.00 34.61 1 501.30 SP36/TSP 8 26.67 79.74 2 100.00 KCl 4 13.33 45.96 2 080.42 ZA 0 0.00 NPK 6 20.00 25.85 6 929.94 Zat Perangsang Biji (l) 9 30.00 0.26 35 692.313 Pestisida (ml) 24 80.00 344.62 21 966.674 Tenaga Kerja (HOK) Penanaman 30 100.00 20 15 000-20 000 Penyiangan 11 36.67 2 15 000-20 000 Pemupukan 24 80.00 2 15 000-20 000 Pengendalian HPT 24 80.00 2 15 000-20 000 Pengairan 10 33.33 2 15 000-20 000 Panen/angkut 20 66.67 3.5 15 000-20 000
Pengeringan danPerontokan 20 66.67 3.5 15 000-20 000
Saat panen ditentukan berdasarkan umur tanaman, ciri-ciri penampakan
luar, dan dipengaruhi oleh ketinggian tempat penanaman. Setiap varietas kedelai
memiliki umur yang berbeda, sehingga waktu panennya harus menyesuaikan
dengan umur tanaman. Di Kecamatan Ciranjang varietas yang ditanaman
umumnya adalah varietas Dapros (90 hari). Ciri-ciri umum tanaman kedelai sudah
saatnya dipanen adalah polong secara merata sudah berwarna kuning-kecoklatan,
batang-batangnya sudah kering, dan sebagian daun sudah kering dan rontok.
Cara panen kedelai dilakukan dengan memotong pangkal tanaman dengan
menggunakan sabit atau parang. Pangkal batang dan akar-akar tanaman kedelai
54
bermanfaat sebagai sumber Nitrogen dan penyubur tanah untuk tanaman musim
berikutnya. Di Kecamatan Ciranjang, selain panen tua untuk dikeringkan (66.67
persen), ada juga petani yang panen polong hijau (33.33 persen) untuk tujuan
konsumsi polong yang direbus.
Setelah panen, kegiatan selanjutnya adalah pengeringan tujuannya untuk
menurunkan kadar air dari biji sampai batas aman untuk disimpan atau
memudahkan penanganan selanjutnya. Pengeringan dilakukan dengan menjemur
brangkasan kedelai di bawah terik matahari dengan cara dihamparkan di atas
lantai jemur atau menggunakan anyaman bambu. Lamanya penjemuran rata-rata
tujuh hari, tapi pada cuaca baik dapat dilakukan sekitar 1 - 3 hari.
Perontokan atau pengupasan polong kedelai harus segera dilakukan setelah
pengeringan. Keterlambatan dapat menyebabkan polong menjadi basah kembali
dan menyulitkan dalam pembijian (pengelupasan biji dari polong). Umumnya
petani di Kecamatan Ciranjang melakukan perontokan dengan cara manual yaitu
dipukul-pukul dengan kayu, tapi ada juga beberapa petani yang menggunakan alat
perontok kedelai. Setelah dirontokan dilakukan pemisahan biji kedelai dari daun,
sisa-sisa polong ataupun kotoran yang lain.
Tujuan utama dari budidaya kedelai adalah memperoleh kedelai yang
memiliki kadar air rendah, sehingga petani akan memperoleh penerimaan yang
tinggi. Di Kecamatan Ciranjang, rata-rata produksi per hektar sebesar 1 370.97
kilogram dengan produktivitas kedelai yang diperoleh sebesar 1.37 ton per hektar,
sedangkan harga jual rata-rata Rp 3 095.60 per kilogram. Jenis pembiayaan
usahatani kedelai terdiri atas pengadaan bibit, pupuk dan pestisida, upah tenaga
kerja, sewa alat dan pajak. Tabel 16 memberikan informasi bahwa biaya
55
usahatani baik biaya tunai maupun biaya diperhitungkan untuk kedelai yang
dipanen polong muda (Rp 1 563 010.60 per hektar) lebih rendah dari biaya
usahatani kedelai yang dipanen polong tua (Rp 3 312 778.73 per hektar). Besarnya
biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani yang panen polong muda dan panen
polong tua disebabkan petani banyak menggunakan tenaga kerja yang berasal dari
luar keluarga. Sumberdaya yang digunakan dalam usahatani kedelai meliputi
tenaga kerja, benih, sewa alat, pupuk, pestisida dan pajak. Biaya tunai yang paling
besar digunakan untuk upah tenaga kerja luar keluarga, hal ini disebabkan tenaga
kerja dalam keluarga sangat minim.
Tabel 17 Analisis Pendapatan dan R/C Ratio Usahatani Kedelai Polong Muda danPolong Tua per Hektar
Jenis Biaya dan Penerimaan Polong Muda (Rp/ha) Polong Tua (Rp/ha)
A. Penerimaan Tunai 1 871 269.84 4 243 974.73B. Penerimaan Tidak Diperhitungkan
-
C. Total Penerimaan (A+B) 1 871 269.84 4 243 974.73D. Biaya Tunai Benih Pupuk Pestisida PPC/ZPT Tenaga Kerja Luar Keluarga Sewa Alat Handsprayer Sewa Alat Perontok Sewa Pompa Pajak
282 486.7251 959.9937 850.77
-426 393.0010 000.00
-100 00.0074 106.00
282 486.72494 260.9675 701.54
9 280.001 096 367.63
10 000.00114 247.50200 00.00
107 471.33 Total Biaya Tunai 882 796.30 2 201463.68E. Biaya Diperhitungkan Tenaga Kerja Keluarga Sewa Lahan Benih Penyusutan
240 214.30350 000.00
--
581 315.05350 000.00
--
Total Biaya Diperhitungkan 590 214.30 931 315.05F. Total Biaya (D+E) 1 473 010.60 3 132 778.73G. Pendapatan atas biaya tunai 988 473.54 2 042 511.10H. Pendapatan atas biaya total 398 259.24 1 111 196.00I. Pendapatan Bersih 398 256.24 1 111 196.00J. R/C Rasio 1.27 1.35
56
Suatu usahatani akan dikatakan berhasil atau menguntungkan jika selisih
antara penerimaan dan pengeluaran bernilai positif. Berdasarkan analisis usahatani
(Tabel 17) kedelai per hektar untuk kedelai yang dipanen polong muda, total
penerimaan mencapai Rp 1 871 269.84 dan pendapatan atas total biaya Rp 398
256.24. Total penerimaan untuk kedelai polong tua mencapai Rp 4 243 974.73
dan pendapatan atas total biaya Rp 1 111 196.00.
Besarnya pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani polong tua
karena hasil yang diperoleh lebih banyak dan harga jual biji kedelai lebih tinggi
dari pada kedelai hijau (muda). Melihat perbandingan jumlah R/C rasio yang
diperoleh, petani yang panen polong tua (1.35) tidak berbeda jauh dari pada petani
yang panen polong muda (1.27). Angka ini memberikan arti bahwa dari setiap
rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani kedelai akan memberikan penerimaan
sebesar Rp 1.35 untuk polong tua dan penerimaan sebesar Rp 1.27 untuk polong
muda. Walaupun, nilai R/C rasionya tidak berbeda jauh tetapi pendapatan bersih
polong tua lebih tinggi dari pendapatan bersih polong muda. Nilai R/C rasio yang
diperoleh pada usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang tidak berbeda jauh
dengan nilai R/C rasio usahatani kedelai pada penelitian Rusastra et al (1992)
yaitu 1.4.
Petani yang melakukan panen polong muda disebabkan beberapa hal,
seperti jadwal penanaman yang terlambat, waktu pengolahan lama dan
keterbatasan modal. Petani yang memiliki keterbatasan modal telah merencanakan
menanam kedelai untuk dipanen muda, sehingga kegiatan pemeliharaan tidak
dilakukan dengan optimal. Jadwal penanaman yang terlambat juga mengharuskan
petani untuk melakukan panen kedelai polong muda. Selain itu, ada juga petani
57
memanen polong muda karena keterbatasan waktu yang dimilikinya, sedangkan
untuk membayar tenaga kerja mereka memiliki keterbatasan modal. Pemanenan
kedelai polong muda tidak dapat dilakukan terus menerus karena penyerapan
pasar untuk polong muda sangat terbatas, berbeda dengan polong tua yang bisa
disimpan apabila petani tidak bisa menjual semua hasil panennya. Selain itu,
penyerapan pasar untuk kedelai polong tua masih sangat terbuka luas karena
kedelai polong tua dibutuhkan industri-industri makanan dan minuman berbahan
baku kedelai..
6.2 Saluran dan Lembaga Tataniaga
6.2.1 Saluran Tataniaga
Pemasaran kedelai di lokasi penelitian dari petani sampai konsumen akhir
melibatkan beberapa pelaku pemasaran yaitu pedagang pengumpul (tengkulak),
pedagang besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang besar propinsi,
dan pedagang pengecer. Pada saat panen banyak pedagang pengumpul yang
datang ke tempat petani sehingga petani dapat menjual kedelai di rumah atau di
sawah tanpa harus mengangkut ke tempat pembeli.
Sebagian besar petani di Kecamatan Ciranjang melakukan penjualan
kedelai langsung kepada tengkulak. Hal ini disebabkan oleh lokasi petani yang
jauh dari pedagang besar kecamatan sehingga penjualan ke pasar akan menambah
biaya dan keterbatasan waktu. Tetapi di Desa Ciranjang, selain cara penjualan
yang demikian ada pula petani yang membawa sendiri dan menjualnya pada
pedagang besar kabupaten yang berada di pasar. Saluran tataniaga kedelai yang
ada di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, ada dua saluran tataniaga yaitu
58
saluran tataniaga kedelai polong muda (Gambar 3) dan saluran tataniaga kedelai
polong tua (Gambar 4).
100 % 100 %
20 %80 %
Gambar 3. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Muda.
Gambar 3 menginformasikan bahwa saluran tataniaga kedelai polong
muda mempunyai dua tujuan, yaitu dari petani kedelai (100 persen) dibawa ke
pedagang pengumpul, kemudian kedelai tersebut (100 persen) dibawa ke
pedagang Pasar Induk Parung. Di pedagang pasar induk, 80 persen kedelai diserap
oleh pedagang pengecer dan 20 persen langsung diserap oleh konsumen akhir.
Gambar 4 menginformasikan bahwa di Kecamatan Ciranjang terdapat
delapan saluran tataniaga yang digunakan petani dalam menyampaikan barangnya
ke konsumen. Pada saluran kesatu sampai kelima petani menjual kedelai (73.33%)
ke pedagang pengumpul. Saluran kesatu dari pedagang pengumpul kedelai dijual
ke pedagang kecamatan (42.77%) lalu diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe
(10.69%). Saluran kedua dan ketiga kedelai dari pedagang pengumpul dijual ke
pedagang kabupaten (30.56%), lalu diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe
(5.72%) melalui saluran kedua. 8.58 persen kedelai dari pedagang kabupaten
PetaniPedagang
PengumpulCiranjang
PedagangPasar Induk
Parung
PedagangPegecer
Konsumen
59
diserap oleh pedagang pengecer kemudian dijual ke konsumen akhir melalui
saluran ketiga.
Saluran keempat dan kelima sama seperti saluran kesatu, tetapi dari
pedagang kecamatan (42.77%) kedelai dijual langsung ke pedagang propinsi
(32.08%) lalu diserap pengrajin tahu/tempe (6.14%) melalui saluran keempat.
10.23 persen diserap pedagang pengecer untuk dijual ke konsumen akhir melalui
saluran kelima. Saluran keenam sampai kedelapan petani menjual kedelai
langsung ke pedagang kabupaten (26.67%).
Pada saluran keenam kedelai dari pedagang kebupaten dijual ke pedagang
pengecer (8.58%) lalu ke konsumen akhir, sedangkan saluran ketujuh dan
kedelapan, kedelai dari pedagang kebupaten dijual ke pedagang propinsi (4.58%).
Kedelai diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe (6.14%) melalui saluran
ketujuh dan diserap oleh pedagang pengecer (10.23%) melalui saluran kedelapan
untuk dijual ke konsumen akhir.
Pada dasarnya petani memiliki kebebasan untuk menentukan saluran mana
yang akan dipilih. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden,
penjualan kedelai ke saluran 1, 2 dan saluran 3 lebih banyak dipilih (73.33 persen)
karena banyaknya jumlah pedagang pengumpul lokal yang mendatangi petani,
lokasi petani yang jauh dari pedagang kabupaten, sehingga tidak ada alternatif lain
bagi petani untuk menjual hasil panennya. Volume kedelai banyak melalui saluran
tiga (57.23 persen) karena petani tidak mau mengambil resiko kerugian biaya
transportasi. Saluran 6-8 hanya dipergunakan oleh petani responden (26.67
persen) yang berdekatan dengan pasar Ciranjang seperti Desa Ciranjang dan Desa
Cibiuk.
60
73.33 %
30.56 %
32.08 %
10.69 %
42,77 %
5.72 %
10.23 %
8.58 %
8.58 %
8.58 %
6.14 %
10.23 %
24.56%
Ket: tidak dianalisisGambar 4 Saluran Tataniaga Kedelai Polong Tua.
6.2.2 Lembaga Tataniaga
Kegiatan yang dilakukan lembaga tataniaga untuk memperlancar arus
kedelai dari produsen ke konsumen dinamakan fungsi tataniaga. Umumnya
fungsi-fungsi tataniaga kedelai yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
BandungBandung
KecamatanCiranjang
26.67 %
PedagangPengumpul
PedagangBesar
Kecamatan
PedagangBesar
Kabupaten
PengrajinTahu Tempe
PedagangPengecer
Konsumen
Pedagang BesarPropinsi
PengrajinTahu TempePengecer
Konsumen
Petani
PedagangBesar
Kecamatan
Konsumen
Pedagang BesarPropinsi
PengrajinTahu /TempePengecer
Konsumen
Luar Jawa Barat
GarutMajalengkaSumedangSukabumi
34.34%
61
tataniaga adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Setiap
lembaga yang terlibat dalam tataniaga kedelai mulai dari produsen sampai ke
konsumen akhir mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Tabel 18
menginformasikan bahwa ada enam lembaga tataniaga yang terlibat yaitu petani,
pedagang pengumpul, pedagang kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang
besar propinsi, dan pedagang pengecer.
Tabel 18 Pelaksanaan Fungsi Tataniaga di Beberapa Lembaga Tataniaga Kedelai
Lembaga Tataniaga Fungsi Tataniaga Aktivitas
Fungsi pertukaran PenjualanPetaniFungsi fisik PengangkutanFungsi pertukaran Pembelian dan penjualanFungsi fisik Pengumpulan dan pengangkutan
Pedagang Pengumpul
Fungsi fasilitas Penanggungan resiko,pembiayaan, informasi pasar
Fungsi pertukaran Pembelian dan penjualanFungsi fisik Penyimpanan
Pedagang KecamatanPedagang KabupatenPedagang Propinsi Fungsi fasilitas Penanggungan resiko,
pembiayaan, informasi pasarFungsi pertukaran Pembelian dan penjualanFungsi fisik Penyimpanan dan pengangkutan
Pedagang Pengecer
Fungsi fasilitas Penanggungan resiko,pembiayaan, informasi pasar
a. Petani
Seluruh petani responden kedelai di Kecamatan Ciranjang umumnya tidak
menemui kesulitan dalam memasarkan kedelainya karena pedagang pengumpul
selalu ada untuk mengambil produksi kedelai saat musim panen. Petani
memasarkan kedelai dalam dua bentuk yaitu polong muda dan polong tua.
Umumnya petani menjual ke pedagang pengumpul yang mendatangi rumah atau
sawah petani dengan penawaran harga tertinggi, tetapi ada beberapa petani yang
menjual langsung ke pedagang besar di pasar. Pemilihan rantai tataniaga
62
pedagang pengumpul oleh petani dengan pertimbangan tidak ada biaya
transportasi dan lokasi petani ke pasar tujuan cukup jauh.
Cara petani menjual kedelai ke pedagang pengumpul adalah cara langsung
dari rumah atau sawah, khusus polong muda umumnya secara borongan di sawah
yang didatangi pedagang pengumpul. Sistem ini memberikan kemudahan bagi
petani, tetapi informasi pasar dan harga dikuasai oleh pedagang pengumpul
sehingga harga jual ditentukan oleh pedagang pengumpul. Akibatnya cara tersebut
membuat posisi tawar petani menjadi lemah.
b. Pedagang Pengumpul
Pedagang pengumpul di Kecamatan Ciranjang umumnya pedagang
pengumpul dari luar Kecamatan, tetapi ada beberapa pedagang yang merupakan
penduduk Kecamatan Ciranjang. Cara pembelian yang dilakukan pedagang
pengumpul dari petani untuk polong tua dengan ditimbang di rumah petani,
sedangkan yang polong muda umumnya tebasan langsung di sawah petani. Sistem
pembayaran umumnya secara tunai, tetapi ada juga yang pembayarannya
menunggu hasil penjualan ke pedagang besar atas dasar kepercayaan.
Kedelai yang dijual ke pedagang pengumpul sebanyak 73.33 persen dari
keseluruhan hasil produksi kedelai di Kecamatan Ciranjang. Kedelai ini
selanjutnya dibawa ke pasar tujuan untuk kedelai polong muda, sedangkan kedelai
polong tua dibawa ke pedagang kecamatan dan pedagang besar kabupaten dengan
menggunakan transportasi mobil. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh
pedagang pengumpul adalah pembelian dan penjualan, fungsi fisik yaitu
pengumpulan dan pengangkutan, serta fungsi fasilitas yaitu penanggungan resiko
63
penyusutan, pembiayaan (transportasi, tenaga kerja dan pengemasan) dan
informasi pasar (harga).
c. Pedagang Kecamatan
Pedagang kecamatan merupakan pengrajin tahu skala besar di Kecamatan
Haurwangi. Pedagang ini menerima kedelai dari pedagang pengumpul dari desa-
desa yang berdekatan dengan pedagang kecamatan, selain itu menerima kedelai
langsung dari petani. Umumnya pedagang pengumpul yang menjual kedelai ke
pedagang kecamatan merupakan pedagang yang menerima bantuan modal dari
pedagang kecamatan.
Kegiatan yang dilakukan selain pembelian juga penjualan. Kedelai yang
diperoleh selain untuk bahan baku pabrik tahu miliknya, sebagian dijual langsung
ke pedagang besar propinsi di Bandung, Jawa Barat. Cara pembayaran kepada
pedagang pengumpul dengan mengurangi langsung modal yang dipinjam
pedagang pengumpul dari penjualan kedelai, sedangkan pembelian kedelai dari
petani dibayar tunai.
Pedagang kecamatan mempunyai informasi pasar yang akurat tentang
harga yang terjadi karena berhubungan langsung dengan pedagang besar propinsi.
Selain itu banyaknya kedelai yang harus disiapkan oleh pedagang pengumpul,
misalnya tidak pada saat musim tanam kedelai sehingga terjadi kekurangan
pasokan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang kecamatan adalah fungsi
pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa penyimpanan dan
fungsi fasilitas berupa penanggungan resiko penyusutan, pembiayaan transportasi
dan informasi pasar.
64
d. Pedagang Besar Kabupaten
Pedagang besar kabupaten yang terlibat dalam saluran tataniaga kedelai di
Kecamatan Ciranjang berjumlah satu orang. Pedagang ini menerima pasokan
kedelai dari pedagang pengumpul dan petani yang berdekatan dengan pasar, selain
itu pedagang ini menerima pasokan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur melibatkan
pedagang kebupaten lainnya. Penyerahan kedelai dilakukan di tempat pedagang
besar sehingga pembelian tersebut berlangsung di gudang pedagang besar. Cara
pembayaran yang dilakukan pedagang besar selalu tunai.
Kegiatan yang dilakukan selain pembelian juga penjualan. Kedelai
tersebut dijual baik langsung ke pengrajin tahu/tempe di Kabupaten Cianjur
maupun ke pedagang pengecer di Kabupaten Cianjur dan pedagang pengecer luar
daerah yang telah menjadi langganan sepeti Garut, Majalengka, Sumedang,
Sukabumi dan Bandung. Pedagang besar umumnya mempunyai informasi harga
yang akurat, sehingga posisi tawar-menawar pedagang pengumpul lemah jika
dibandingkan dengan pedagang besar. Fungsi tataniaga yang dilakukan pedagang
besar adalah fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik
berupa penyimpanan, dan fungsi fasilitas berupa penanggungan resiko
penyusutan, pembiayaan dan informasi pasar.
e. Pedagang Besar Propinsi
Pedagang besar propinsi yang terlibat dalam saluran tataniaga kedelai dari
produsen di Kecamatan Ciranjang berjumlah satu orang. Pedagang ini memiliki
skala usaha dagang yang besar di Bandung, Jawa Barat. Pedagang ini menerima
pasokan kedelai dari pedagang besar kabupaten Cianjur (di Kecamatan
Ciranjang), Subang, Karawang, Sukabumi Selatan, Garut, Tasik, Majalengka, dan
65
Banjar, serta dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi.
Selain itu menerima kedelai langsung dari petani di wilayah Bandung. Cara
pembayaran yang dilakukan pedagang besar adalah nota dan tunai.
Pedagang besar melakukan kegiatan penjualan kedelai baik secara
langsung ke pengrajin tahu/tempe dan pedagang pengecer di daerah Bandung,
maupun pengiriman ke luar propinsi Jawa Barat. Informasi harga yang dimiliki
pedagang besar merupakan informasi terbaru, karena pedagang besar
berhubungan langsung dengan penentu harga pasar yaitu pedagang pengecer.
Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan pedagang besar propinsi adalah fungsi
pertukaran yaitu pembelian dan penjualan, fungsi fisik yaitu penyimpanan, serta
fungsi fasilitas yaitu penanggungan resiko penyusutan, pembiayaan transportasi
dan informasi pasar.
f. Pedagang Pengecer
Pedagang pengecer merupakan lembaga tataniaga yang menerima pasokan
kedelai dari pedagang besar untuk dijual langsung kepada konsumen akhir.
Banyaknya kedelai yang dibeli disesuaikan dengan skala usaha dagang yang
dimiliki pedagang pengecer. Umumnya pedagang pengecer menjual kedelai untuk
konsumsi, tetapi ada juga pengecer yang menjual kedelai untuk benih.
Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer dengan cara tunai.
Pedagang pengecer melakukan fungsi-fungsi tataniaga adalah fungsi
pertukaran yaitu pembelian dan penjualan, fungsi fisik yaitu penyimpanan dan
pengangkutan dari pedagang besar ke pedagang pengecer, serta fungsi fasilitas
yaitu penanggungan resiko penyusutan, pembiayaan transportasi dan informasi
pasar.
66
6.3 Struktur dan Perilaku Pasar
6.3.1 Struktur Pasar
Struktur pasar dapat diidentifikasi dengan melihat jumlah lembaga
tataniaga, kebebasan untuk keluar masuk pasar yang dialami oleh para pelaku
pasar, sifat produk yang diperjualbelikan dan informasi pasar yang diperoleh.
Struktur pasar yang dihadapi oleh para pelaku pasar dalam tataniaga kedelai
adalah sebagai berikut:
a. Petani dan Pedagang Pengumpul, Pedagang Kecamatan serta Pedagang
Kabupaten
Petani berperan sebagai penjual dan yang berperan sebagai pembeli adalah
pedagang pengumpul, pedagang kecamatan dan pedagang besar. Kedelai yang
diperjualbelikan umumnya homogen yaitu kedelai varietas Dapros. Dilihat dari
struktur pasar yang dihadapai pedagang pengumpul memiliki posisi tawar yang
lebih baik dari petani, sedangkan pedagang kecamatan/kabupaten posisi tawarnya
lebih baik dari pedagang pengumpul.
Petani dalam memasarkan hasilnya tidak menghadapi hambatan karena
petani dengan mudah menjual kedelai kepada pembeli, sedangkan pedagang
pengumpul menghadapi hambatan pada waktu bukan musim tanam kedelai dan
keterbatasan modal. Hambatan yang dihadapi pedagang kecamatan dan pedagang
kabupaten adalah harus memiliki modal yang kuat dan memiliki relasi yang luas
agar dalam pemasaran kedelai berjalan dengan lancar. Sumber informasi tentang
harga dibawa oleh pedagang sehingga penentu harga dilakukan oleh pihak
pedagang. Akibatnya petani hanya berperan sebagai price taker dan tidak
memiliki posisi tawar yang kuat dalam penentuan harga.
67
b. Pedagang Pengumpul dan Pedagang Besar
Di lokasi penelitian jumlah pedagang pengumpul lebih sedikit dari jumlah
petani tapi lebih banyak dari pedagang besar di Kecamatan Ciranjang. Jumlah
pedagang pengumpul yang berdomisili di Kecamatan Ciranjang tidak diketahui
dengan pasti, jika tiba musim panen kedelai pedagang pengumpul banyak
berdatangan dari luar Kecamatan. Pedagang pengumpul dalam menentukan harga
sangat lemah, karena umumnya pedagang pengumpul mendapat pinjaman dari
pedagang besar. Hal ini karena pedagang pengumpul memiliki keterbatasan modal
untuk membayar petani. Namun ada juga pedagang pengumpul yang bekerja
sendiri, mereka memasarkan kedelai hanya kepada pedagang besar.
Posis tawar pedagang kecamatan/kabupaten lebih baik dari pedagang
pengumpul karena yang menentukan harga adalah konsumen akhir. Informasi
yang dimiliki pedagang pengumpul mengenai keberadaan kedelai dan harga jual
yang berlaku lebih baik jika dibandingkan petani. Informasi ini diperoleh dari
pedagang pengumpul lainnya dan pedagang besar itu sendiri. Komoditi yang
diperjualbelikan di tingkat pedagang pengumpul, pedagang kecamatan dan
pedagang kabupaten bersifat homogen.
c. Pedagang Besar, Pedagang Besar Propinsi dan Pedagang Pengecer
Pedagang propinsi memiliki level penjualan yang lebih tinggi dari
pedagang kecamatan/kabupaten, sehingga posisi tawarnya lebih baik dari
pedagang kecamatan/kabupaten. Posisi tawar pedagang pengecer lebih baik dari
pedagang propinsi karena berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Selain
harus mempunyai modal yang kuat, pedagang besar juga harus memiliki
komunikasi dan kepercayaan yang baik dengan lembaga tataniaga yang lain.
68
Sistem pembayaran antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul secara
tunai, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen.
d. Pedagang Pengecer dengan Konsumen
Pedagang pengecer merupakan lembaga tataniaga yang berhadapan
langsung dengan konsumen akhir. Pedagang pengecer dengan konsumen
menghadapi struktur pasar persaingan, hal ini dicirikan dengan banyak pedagang
pengecer sebagai penjual dengan banyak konsumen akhir sebagai pembeli.
Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kedelai. Sistem
pembayaran yang dilakukan pedagang pengecer terhadap pedagang besar dan
konsumen adalah tunai.
6.3.2 Perilaku Pasar
Perilaku pasar dapat diidentifikasi dengan mengamati kegiatan tataniaga
kedelai dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem
pembayaran dan kerjasama yang terjadi antara lembaga tataniaga.
a. Praktik Pembelian dan Penjualan
Setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga kedelai melakukan
kegiatan pembelian dan penjualan, kecuali petani yang hanya melakukan kegiatan
penjualan. Pembelian kedelai oleh pedagang pengumpul dilakukan dengan cara
pedagang pengumpul langsung mendatangi petani, sedangkan pedagang besar
melakukan pembelian di tempat penjual. Cara pembayaran untuk setiap lembaga
tataniaga dilakukan secara tunai, kecuali polong muda penundaan pembayaran
bisa terjadi karena keterbatasan modal yang dimiliki pedagang pengumpul.
69
b. Sistem Penentuan Harga
Posisi petani adalah sebagai penerima harga. Informasi harga dibawa oleh
pedagang pengumpul saat akan membeli kedelai di tempat atau sawah petani.
Penguasaan informasi harga sangat didominasi oleh pedagang pengumpul,
walaupun terjadi tawar-menawar penetapan harga tetap lebih banyak ditentukan
oleh pedagang pengumpul. Proses penentuan harga antara pedagang pengumpul
dengan pedagang besar lebih banyak dipengaruhi oleh harga kedelai di pasar.
c. Kerjasama Antar Lembaga
Kerjasama antar lembaga tataniaga kedelai baru terjadi antara petani dan
pedagang besar kecamatan dan kabupaten di kecamatan Ciranjang. Bentuk
kerjasama yang terjadi adalah pedagang besar menyediakan benih kedelai dengan
harga yang lebih rendah dari harga di pasar dengan mutu benih kedelai yang
sama, sehingga petani dapat menekan biaya usahatani kedelainya.
6.4 Analisis Keragaan Pasar
Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang
dapat diukur melalui harga, biaya dan jumlah komoditi yang akhirnya
memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl and
Hammond, 1977). Efisiensi tataniaga merupakan suatu kegiatan perubahan yang
dapat meminimalkan biaya input tanpa harus mengurangi kepuasan konsumen
dengan output barang dan jasa. Analisis efisiensi tataniaga mencakup analisis
marjin tataniaga, farmer s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya.
6.4.1 Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga diartikan melalui selisih harga di tingkat produsen dengan
harga di tingkat pedagang pengecer yang diperoleh dengan satuan rupiah per
70
kilogram kedelai. Marjin tataniaga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan
kedelapan saluran tataniaga yang terbentuk. Marjin tataniaga menjelaskan
perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah komoditi yang
dipasarkan. Penghitungan marjin meliputi biaya tataniaga dan keuntungan
lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut.
Biaya tataniaga merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
tataniaga dalam memasarkan kedelai dari petani sampai ke konsumen akhir. Biaya
tataniaga tersebut meliputi biaya transportasi, tenaga kerja, pengemasan dan
retribusi. Keuntungan pemasaran merupakan selisih antara harga jual dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan.
Secara umum petani menyalurkan kedelai melalui dua lembaga saluran
tataniaga, yaitu pedagang pengumpul dan pedagang besar kabupaten. Pembahasan
mengenai sebaran marjin tataniaga dibagi menjadi sebaran marjin melalui
pedagang pengumpul dan sebaran marjin melalui pedagang besar kabupaten.
Saluran tataniaga kedelai yang melalui pedagang pengumpul yaitu saluran satu
sampai saluran lima (Tabel 19) dan saluran tataniaga yang melalui pedagang besar
kabupaten yaitu saluran enam sampai saluran delapan (Tabel 20).
Sistem tataniaga yang terjadi di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur
terdiri dari delapan saluaran tataniaga, yaitu saluran ke-1 dari petani kedelai dijual
ke pedagang pengumpul lalu ke pedagang kecamatan dan diserap langsung oleh
pengrajin tahu/tempe. Saluran ke-2 dari petani kedelai dijual ke pedagang
pengumpul lalu ke pedagang kabupaten dan diserap langsung oleh pengrajin
tahu/tempe. Saluran ke-3 sama seperti saluran ke-2 hanya tujuannya ke pedagang
pengecer untuk dijual ke konsumen akhir.
71
Saluran 4 dari petani kedelai dijual ke pedagang pengumpul lalu dibawa ke
pedagang kecamatan lalu ke pedagang propinsi dan diserap pengrajin tahu/tempe
(Bandung). Saluran ke-5 sama seperti saluran ke-4 hanya tujuannya ke pedagang
pengecer lalu ke konsumen akhir. Saluran ke-6 dari petani kedelai dibawa ke
pedagang kabupaten lalu ke pedagang pengecer untuk dijual ke konsumen
(Kabupaten Cianjur). Saluran ke-7 dari petani kedelai dibawa ke pedagang
kabupaten lalu ke pedagang propinsi dan diserap oleh pengrajin tahu/tempe.
Saluran ke-8 sama seperti saluran ke-7 hanya tujuannya ke pedagang pengecer
untuk dijual ke konsumen akhir.
Pada saluran tataniaga 1 dengan tujuan akhir pengrajin tahu/tempe, total
biaya tataniaga yang dikeluarkan sebesar Rp 97, per kilogram (Tabel 18). Total
perolehan marjin Rp 1 004.40, paling banyak berasal dari pedagang kecamatan
yaitu Rp 600 dan pedagang pengumpul Rp 404.40 per kilogram. Total keuntungan
Rp 907.40 per kilogram, paling besar berasal dari pedagang kecamatan sebesar
Rp 551.33 dan pedagang pengumpul Rp 356.07 per kilogram.
Biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang pengecer dan pedagang
kecamatan yaitu masing-masing sebesar Rp 48.33 dan Rp 48.67 per kilogram.
Biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang pengumpul meliputi biaya
transportasi untuk mencari kedelai sebesar Rp 33.33 per kilogram dan biaya
tenaga kerja bongkar muat sebesar Rp 15 per kilogram. Pada tingkat pedagang
kecamatan biaya yang dikeluarkan untuk transportasi sebesar Rp 16.67, tenaga
kerja dan pengemasan Rp 25 dan penyusutan Rp 7 per kilogram.
72
Tabel 19 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Satu, Dua, Tiga, Empat dan Lima di Kecamatan Ciranjang
Saluaran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Saluran 5UraianHarga
(Rp/kg) % Harga(Rp/kg) % Harga
(Rp/kg) % Harga(Rp/kg) % Harga
(Rp/kg) %
1. PetaniBiaya ProduksiKeuntunganHarga jual
2 285.08810.52
3 095.60
55.7319.7775.50
2 285.08810.52
3 095.60
55.7319.7775.50
2 285.08810.52
3 095.60
50.7818.0168.79
2 285.08810.52
3 095.60
35.1612.4747.62
2 285.08810.52
3 095.60
32.6411.5844.22
2. Pedagang PengumpulHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
3 095.6048.33
356.07404.40
3 500.00
75.501.188.689.86
85.37
3 095.6048.33
356.07404.40
3 500.00
75.501.188.689.86
85.37
3 095.6048.33
356.07404.40
3 500.00
66.671.077.918.99
77.78
3 095.6048.33
356.07404.40
3 500.00
46.150.745.486.22
53.85
3 095.6048.33
356.07404.40
3 500.00
42.860.695.095.78
50.00
3. Pedagang KecamatanHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
3 500.0048.67
551.33600.00
4 100.00
80.001.19
13.4514.63
100.00
3 500.00118.67
1 381.331 500.005 000.00
53.851.83
21.2523.0876.92
3 500.00118.67
1 381.331 500.005 000.00
50.001.70
19.7321.4371.43
4. Pedagang KabupatenHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
3 500.0057.00
543.00600.00
4 100.00
92.111.39
13.2414.63
100.00
3500.0072.00
428.00500.00
4 000.00
77.781.609.51
11.1188.89
73
Tabel 19 Lanjutan
Saluaran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Saluran 5UraianHarga
(Rp/kg) % Harga(Rp/kg) % Harga
(Rp/kg) % Harga(Rp/kg) % Harga
(Rp/kg) %
5. Pedagang PropinsiHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
5 000.00112.00
1 388.001 500.006 500.00
76.921.72
21.3523.08
100.00
5 000.00 165.00
1 235.001 400.006 400.00
71.432.36
17.6420.0091.43
6. Pedagang PengecerHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
4 000.0065.00
435.00500.00
4 500.00
88.891.449.67
11.11100.00
6 400.0077.00
523.00600.00
7 000.00
92.861.107.478.57
100.007. Pengrajin Tahu/TempeHarga beli 4 100.00 100.00 4 100.00 100.00 6500.00 100.008. Konsumen akhirHarga beli 4 500.00 100.00 7 000.00 100.00Total Biaya Tataniaga 97.00 2.37 105.33 2.57 185.33 4.12 279.00 4.29 409.00 5.84Total Keuntungan 907.40 22.13 899.07 21.93 1 219.07 27.09 3 125.40 48.08 3 495.40 49.93Total Marjin 1 004.40 24.50 1 004.40 24.50 1 404.40 31.21 3 404.40 52.38 3 904.40 55.78
/C 9.35 8.54 6.58 11.20 8.55Farmer's Share 75.50 75.50 68.79 47.62 44.22
74
Saluran tataniaga 2 sama dengan saluran tataniaga 1, hanya pada saluran 2
dari pedagang pengumpul kedelai dibawa ke pedagang kabupaten. Total marjin
tataniaga saluran 2 sebesar Rp 1 004 sama dengan saluran 1, paling banyak
berasal dari pedagang kabupaten sebesar Rp 600 dan pedagang pengecer Rp
404.40 per kilogram. Total keuntungan Rp 899.07 paling banyak berasal dari
pedagang kabupaten sebesar Rp 543 dan pedagang pengecer sebesar Rp 365.07
per kilogram. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer untuk tujuan
pengrajin tahu/tempe yaitu biaya transportasi Rp 30, tenaga kerja bongkar muat
sebesar Rp 10, biaya pengemasan Rp 5 dan penyusutan Rp 7 per kilogram.
Pada saluran tataniaga 3, pemasaran kedelai sampai ke konsumen akhir
melalui pedagang pengecer. Total marjin tataniaga yang diperoleh sebesar
Rp 1 404.40 dengan sebaran marjin di pedagang kabupaten dan pedagang
pengecer yaitu masing-masing Rp 500 per kilogram dan pedagang pengumpul Rp
404.40. Total keuntungan tataniaga sebesar Rp 1 219,07 paling besar berasal dari
pedagang pengumpul Rp 356.07, pedagang pengecer Rp 435 dan pedagang
kabupaten Rp 428 per kilogram.
Pedagang kabupaten memperoleh keuntungan sedikit, hal ini dikarenakan
biaya tataniaga yang dikeluarkan sangat besar yaitu Rp 72 yang terdiri dari biaya
transportasi sebesar Rp 40, penyusutan Rp 7 dan biaya tenaga kerja Rp 25 per
kilogram. Biaya tataniaga paling kecil dikeluarkan oleh pedagang pengumpul
sebesar Rp 48.33 dan pedagang pengecer sebesar Rp 65 per kilogram.
Saluran tataniaga 4 merupakan saluran dengan tujuan pengrajin
tahu/tempe di daerah Bandung melalui pedagang besar propinsi. Total marjin
yang diperoleh sebesar Rp 3 404.40 paling besar berasal dari pedagang
75
kecamatan dan pedagang propinsi masing-masing Rp 1 500 per kilogram. Biaya
tataniaga yang dikeluarkan berkisar antara Rp 48.33 sampai Rp 118.67 per
kilogram. Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh pedagang kecamatan, biaya
tersebut terdiri dari biaya transportasi Rp 86.67, penyusutan Rp 7, tenaga kerja
bongkar muat Rp 20 dan pengemasan Rp 5 per kilogram. Total keuntungan
sebesar Rp 3 125.40 paling besar keuntungan yang diperoleh pedagang propinsi
sebesar Rp 1 388 per kilogram.
Pada saluran tataniaga 5 merupakan saluran yang sama dengan saluran 4
hanya tujuan tataniaga kedelai adalah konsumen akhir di daerah Bandung. Total
marjin tataniaga yang diperoleh dari lembaga tataniaga sebesar Rp 4 904.40 per
kilogram. Marjin terbesar berasal dari pedagang kecamatan dan pedagang propinsi
masing-masing sebesar Rp 1 500 dan Rp 1 400 per kilogram. Biaya tataniaga
terbesar dikeluarkan oleh pedagang propinsi sebesar Rp 165 per kilogram dan
biaya tataniaga terendah pada pedagang pengecer. Keuntungan yang diperoleh
berkisar antara Rp 356.07 sampai Rp 1 381.33 per kilogram.
Saluran tataniaga 6 (Tabel 20) merupakan saluran yang tujuannya sama
dengan saluran tataniaga 3, hanya pada penyaluran dari petani tidak melalui
pedagang pengumpul. Total marjin tataniaga Rp 1 000 dengan pembagian yang
merata pada pedagang kabupaten dan pedagang pengecer sebesar Rp 500
perkilogram (Tabel 19). Total keuntungan saluran tataniaga in sebesar Rp 863
dengan pembagian keuntungan pada pedagang kabupaten sebesar Rp 426 dan
pedagang pengecer sebesar Rp 435 per kilogram. Biaya tataniaga yang
dikeluarkan oleh pedagang kabupaten merupakan biaya terbesar yaitu Rp 72
76
dengan alokasi terbesar untuk biaya transporatsi Rp 40, tenaga kerja Rp 25 dan
penyusutan sebesar Rp 7 per kilogram.
Tabel 20 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Enam, Tujuh dan Delapan diKecamatan Ciranjang
Saluran 6 Saluran 7 Saluran 8Uraian Harga
(Rp/kg) % Harga(Rp/kg) % Harga
(Rp/kg) %
1. PetaniBiaya ProduksiKeuntunganHarga jual
2 301.751 198.253 500.00
51.1516.6377.78
2 301.751 198.253 500.00
35.4118.4353.85
2 301.751 198.253 500.00
32.8817.1250.00
2. Pedagang KabupatenHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
3 500.0072.00
428.00500.00
4 000.00
75.711.609.51
11.1188.89
3 500.00.4,50
1 405.501 500.005 000.00
53.321.45
21.6223.0876.92
3 500.0094.50
1 405.501 500.005 000.00
50.481.35
20.0821.4371.43
3. Pedagang PropinsiHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
5 000.00104.50
1 395.501 500.006 500.00
70.421.61
21.4723.08
100.00
5 000.00154.50
1 245.501 400.006 400.00
66.672.41
17.7920.0091.43
4. Pedagang PengecerHarga beliBiaya tataniagaKeuntunganTotal MarjinHarga jual
4 000.0065.00
435.00500.00
4 500.00
90.001.449.67
11.11100.00
6 500.0077.00
423.00500.00
7 000.00
93.331.106.047.14
100.005. PengrajinTahu/TempeHarga beli 6 500.00 100.006. Konsumen akhirHarga beli 4 500,00 100.00 7 000.00 100.00Total Biaya Tataniaga 137.00 3.04 199.00 3.06 326.00 4.86Total Keuntungan 863.00 19.18 2 801.00 43.09 3 074.00 43.91Total Marjin 1 000.00 22.22 3 000.00 46.15 3 400.00 48.57
/C 6.30 14.08 9.43Farmer's Share 77.78 53.85 50.00
Saluran tataniaga 7 merupakan saluran yang sama dengan saluran 6 hanya
tujuan penyaluran kedelai adalah pengrajin tahu/tempe di daerah Bandung. Total
marjin tataniaga yang diperoleh sebesar Rp 3 000 dengan pembagian yang merata
77
pada pedagang propinsi dan pedagang kabupaten masing-masing sebesar
Rp 1 500 per kilogram. Biaya tataniaga berkisar antara Rp 94.5 sampai Rp 104.5
per kilogram dengan alokasi terbesar untuk biaya transportasi dan penyusutan.
Keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang kabupaten sebesar Rp 1 405.5 dan
pedagang propinsi sebesar Rp 1 395.5 per kilogram.
Saluran tataniaga 8 merupakan saluran yang tujuan pemasaran kedelai
sama dengan saluran tataniaga 5, hanya penyaluran dari petani tidak melalui
pedagang pengumpul. Total marjin tataniaga yang diperoleh Rp 3 400 dengan
alokasi terbesar pada pedagang kabupaten sebesar Rp 1 500, pedagang propinsi
sebesar Rp 1 400 dan pedagang pengecer sebesar Rp 500 per kilogram. Total
biaya tataniaga sebesar Rp 326 per kilogram dengan biaya terbesar pada pedagang
propinsi. Keuntungan terbesar sebesar Rp 1 405.5 pada pedagang kabupaten, pada
pedagang propinsi Rp 1 245.5 dan pedagang pengecer sebesar Rp 423 per
kilogram. Secara keseluruhan marjin tataniaga di setiap saluran tataniaga di
kabupaten Cianjur cenderung tinggi.
6.4.2 Pangsa Marjin dan Net Marjin
a. Pangsa Marjin
Berdasarkan sebaran marjin tataniaga kedelapan saluran tataniaga di atas,
maka dapat dilihat persentase pangsa marjin (Tabel 21) dan persentase net marjin
(Tabel 22) yang diperoleh setiap pelaku pasar untuk masing-masing saluran
tataniaga. Pangsa marjin digunakan untuk melihat besarnya marjin yang diperoleh
pelaku pasar untuk setiap saluran tataniaga, pangsa marjin diperoleh dari marjin
tataniaga masing-masing lembaga dibagi total marjin tataniaga dalam bentuk
persen. Net marjin digunakan untuk mengetahui penyebaran marjin keuntungan
78
pada setiap pelaku pasar, net marjin dihitung dari keuntungan tiap lembaga
tataniaga dibagi total keuntungan tataniaga dalam bentuk persen. Saluran
tataniaga yang efisien ditunjukkan oleh perolehan marjin yang merata di setiap
pelaku pasar.
Tabel 21 menginformasikan pangsa marjin terbesar terdapat pada saluran
tataniaga satu dan saluran tataniaga dua dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di
Kabupaten Cianjur yang diperoleh pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten
yaitu masing-masing sebesar 59.745 persen. Pada saluran tataniaga satu dan dua
terdapat dua pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul dan pedagang
kecamatan/kabupaten. Pada saluran tataniaga ini merupakan pangsa marjin
terbesar dari kedelapan saluran tataniaga yang dibahas dan diperoleh pedagang
kecamatan dan pedagang kabupaten.
Tabel 21 Persentase Pangsa Marjin Setiap Pelaku Tataniaga
Pangsa Marjin (%)Saluran Pedagang
PengumpulPedagang
KecamatanPedagangKabupaten
PedagangPropinsi
PedagangPengecer
TotalPangsaMarjin
1 40.26 59.74 - - - 100,002 40.26 - 59.74 - - 100,003 28.79 - 35.60 - 35.60 100,004 11.88 44.06 - 44.08 - 100,005 10.36 38.42 - 35.86 15.37 100,006 - - 50.00 - 50.00 100,007 - - 50.00 50.00 - 100,008 - - 44.12 41.18 14.71 100,00
Saluran tataniaga lima merupakan saluran terpanjang dari kedelapan
saluran tataniaga yang dibahas yaitu melibatkan empat pelaku pasar. Sebaran
pangsa marjin pada saluran ini cenderung belum merata yaitu pedagang
pengumpul sebesar 10.36 persen, pedagang kecamatan sebesar 38.42 persen,
79
pedagang propinsi sebesar 35.86 persen dan pedagang pengumpul sebesar 15.37
persen. Saluran tataniaga enam dan tujuh merupakan saluran tataniaga tanpa
melalui pedagang pengumpul, dan melibatkan dua pelaku pasar dengan
penyebaran pangsa marjin yang sudah merata yaitu masing-masing sebesar 50
persen.. Pelaku pasar yang telibat pada saluran tataniaga enam adalah pedagang
kabupaten dan pedagang pengecer dengan tujuan tataniaga kedelai konsumen di
Kabupaten Cianjur. Saluran tataniaga tujuh melibatkan pedagang kabupaten dan
pedagang propinsi dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di daerah Bandung. Tinggi
marjin pada setiap pelaku tataniaga karena tingginya biaya tataniaga yang
dikeluarkan.
b. Net Marjin
Tabel 22 menginformasikan sebaran net marjin pada saluran tataniaga satu
dan dua cenderung belum merata, terlihat dari pedagang pengumpul memperoleh
39.24 persen dan pedagang kecamatan 60.76 persen pada saluran satu. Sebaran
net marjin pada saluran tiga, enam dan tujuh cenderung sudah merata. Saluran
tataniaga lima yang merupakan saluran terpanjang, net marjin terendah diperoleh
pedagang pengumpul sebesar 10.19 persen, dan tertinggi pedagang kecamatan dan
pedagang propinsi sebesar 43.29 persen.
Tabel 22 Persentase Net Marjin Setiap Pelaku Tataniaga
Net Marjin (%)Saluran Pedagang
PengumpulPedagang
KecamatanPedagangKabupaten
PedagangPropinsi
PedagangPengecer
TotalPangsaMarjin
1 39.24 60.76 - - - 100,002 39.60 - 60.39 - - 100,003 29.21 - 35.11 - 35.68 100,004 11.39 44.19 - 44.41 - 100,005 10.19 43.29 - 35.33 14.96 100,006 - - 49.59 - 50.41 100,007 - - 50.18 49.82 - 100,008 - - 45.72 40.52 13.76 100,00
80
Pada setiap saluran tataniaga, pelaku pasar yang memperoleh pangsa
marjin dan net marjin yang nilainya cenderung merata adalah pedagang
kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang propinsi. Hal ini karena tujuan
pemasaran dari ketiga pedagang tersebut sudah ada. Berbeda dengan pedagang
pengumpul dan pengecer, perolehan net marjin berbeda-beda tergantung kepada
siapa mereka menjual kedelainya.
6.4.3 Farmer s Share
Farmer s Share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayarkan
konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Farmer s Share berhubungan
negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka
bagian yang akan diterima petani semakin rendah. Berdasarkan kedelapan saluran
tataniaga yang dibahas, maka dapat diketahui tingkat Farmer s Share yang
diterima petani (Tabel 23).
Tabel 23 Total Marjin, Total Biaya, Total Keuntungan dan Share pada SetiapLembaga tataniaga di Kecamatan Ciranjang, Tahun 2008
SaluranTotalMarjin
TotalBiaya
TotalKeuntungan A B C D E F
Rp 1 004.40 97.00 907.401
% 24.50 2.37 22.3 75.50 85.37 100.00Rp 1 004.40 105.33 899.072
% 24.50 2.57 21.93 75.50 85.37Rp 1 404.40 185.33 1 219.073
% 31.21 4.12 27.09 68.79 77.78 100.00 100.00Rp 3 404.40 279.00 3 125.404
% 52.38 4.29 48.08 47.62 53.85 76.92 88.89 100.00Rp 3 904.40 409.00 3 495.405
% 55.78 5.84 49.93 44.22 50.00 71.43 91.43Rp 1 000.00 137.00 863.006
% 22.22 3.04 19.18 77.78 88.89 100.00Rp 3 000.00 199.00 2 801.007
% 46.15 3.06 43.09 53.85 72.92 100.00Rp 3 400.00 326.00 3 074.008
% 48.57 4.86 43.91 50.00 71.43 91.43 100.00Ket: - Persentase share pelaku pasar berdasarkan harga jual di tingkat pelaku pasar dibandingkan dengan harga yang
dibayarkan konsumen- A = Share Petani, B = Share P. Pengumpul, C = Share P. Kecamatan
81
- D = Share P. Kabupaten, E = Share P. Propinsi, F = Share P. Pengecer
Nilai Farmer s share dari seluruh tataniaga yang ada berkisar antara 44.22
sampai 77.78 persen. Farmer s share terbesar terjadi pada saluran tataniaga enam
yaitu sebesar 77.78 persen. Bagian terkecil terjadi pada saluran tataniaga lima
yang merupakan saluran tataniaga terpanjang dalam tataniaga kedelai dari
Kecamatan Ciranjang ke konsumen akhir.
Berdasarkan Tabel 23 diketahui nilai farmer s share dari seluruh tataniaga
yang ada terlihat masih rendah dibanding dengan bagian yang diterima pelaku
tataniaga. Hal ini menunjukkan posisi tawar petani masih lemah dibanding dengan
pelaku tataniaga lainnya. Dilihat dari nilai Farmer s share yang diperoleh pada
setiap saluran tataniaga dapat diketahui bahwa saluran tataniaga yang efisien
adalah saluran tataniaga enam karena dilihat dari total marjin tataniaga yang
dikeluarkan rendah.
6.4.4 Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing
lembaga tataniaga. Nilai rasio dapat dilihat pada Tabel 24, nilai yang tinggi
artinya keuntungan yang diperoleh semakin tinggi .
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga paling tinggi terdapat pada saluran
tataniaga tujuh dan delapan pada lembaga pedagang kabupaten yaitu sebesar
14.87. Nilai rasio ini memberikan arti bahwa setiap satu rupiah perkilogram biaya
tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 14.87 per
kilogram. Rasio keuntungan terendah terdapat pada saluran tataniaga tiga pada
tingkat pedagang pengecer yaitu sebesar 5.49.
82
Tabel 24 Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Kedelai di KecamatanCiranjang, Tahun 2008
Saluran TataniagaLembagaTataniaga 1 2 3 4 5 6 7 8
Pedagang Pengumpul356.07 356.07 356.07 356.07 356.07Keuntungan
(Rp)(8.68) (8.68) (7.91) (5.48) (5.09)48.33 48.33 48.33 48.33 48.33Biaya (Rp)
(1.18) (1.18) (1.07) (0.74) (0.69)Rasio /C 7.36 7.36 7.36 7.36 7.36Pedagang Kecamatan
551.33 1 381.3 1 381.3Keuntungan(Rp)
(13.45) (21.25) (19.73)48.67 118.67 118.67Biaya (Rp)
(1.19) (1.83) (1.70)Rasio /C 11.33 11.64 11.64Pedagang Kabupaten
543.00 428.00 428.00 1 405.50 1 405.50Keuntungan(Rp)
(13.24) (9.51) (9.51) (21.26) (20.08)57.00 72 72.00 94.50 94.50Biaya (Rp)
(1.39) (1.60) (1.60) (1.45) (1.35)Rasio /C 9.53 5.94 5.94 14.87 14.87Pedagang Propinsi
1 388.00 1 235.00 1 395.50 1 245.50Keuntungan(Rp)
(21.35) (17.64) (21.47) (17.79)112.00 165.00 104.50 154.50Biaya (Rp)
(1.72) (2.36) (1.61) (2.41)Rasio /C 12.393 7.48 13.35 8.06Pedagang Pengecer
435.00 523.00 435.00 423.00Keuntungan(Rp)
(9.67) (7.47) (9.67) (6.04)65.00 77.00 65.00 77.00Biaya (Rp)
(1.44) (1.10) (1.44) (1.10)Rasio /C 6.69 6.79 6.69 5.49
6.4.5 Alternatif Saluran Tataniaga
Berdasarkan perhitungan marjin tataniaga kedelai, saluran tataniaga enam
merupakan saluran tataniaga yang efisien karena memiliki total marjin tataniaga
yang paling kecil yaitu sebesar Rp 1 000 per kilogram (22.22 persen) dengan
volume barang 26.67 persen. Selain itu saluran tataniaga ini juga memiliki
83
farmer s share yang paling tinggi sebesar 77.78 persen. Rasio keuntungan dan
biaya yang diperoleh saluran tataniaga enam adalah Rp 6.30 per kilogram.
Alternatif saluran tataniaga yang juga dianggap efisien adalah saluran
tataniaga satu dan dua. Rasio keuntungan dan biaya pada saluran tataniaga satu
dan dua lebih tinggi dibandingkan dengan saluran tataniaga enam yaitu masing-
masing sebesar Rp 9.35 dan Rp 8.54 per kilogram dengan volume kedelai 73.33
persen. Total marjin tataniaga yang diperoleh sebesar 24.50 persen dan farmer s
share sebesar 75.50 persen. Saluran tataniaga satu dan dua akan efisien jika petani
berlokasi jauh dari pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten karena tidak
mengeluarkan biaya angkut.
84
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang pada saat kebijakan tarif impor
ditiadakan secara ekonomis masih menunjukkan kelayakan untuk
dikembangkan karena memberikan nilai R/C rasio sebesar 1.28 artinya setiap
masukan untuk usahatani kedelai memberikan penerimaan sebesar Rp 1.28.
Produktivitas kedelai di kecamatan Ciranjang 1.37 ton per hektar. Biaya
usahatani kedelai paling besar dialokasikan untuk benih dan pupuk. Di
Kecamatan Ciranjang kegiatan budidaya kedelai masih belum dilakukan
dengan intensif
2. Proses tataniaga kedelai dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan
beberapa pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul, pedagang kecamatan,
pedagang kabupaten, pedagang propinsi dan pedagang pengecer. Saluran
tataniaga yang terbentuk ada delapan saluran tataniaga kedelai dengan setiap
pelaku pasar melakukan fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fungsi fisik
dan fungsi fasilitas. Petani hanya melakukan fungsi pertukaran dan fungsi
fisik.
3. Posisi tawar yang miliki petani masih rendah dibanding pelaku tataniaga,
sehingga keuntungan lebih besar pada level pelaku pasar yang lebih tinggi.
Penentuan harga di tingkat petani dan pedagang pengumpul ditentukan oleh
pedagang besar, sedangkan di tingkat pedagang kecamatan dan pedagang
kabupaten harga ditentukan oleh pedagang besar propinsi. Sistem pembayaran
85
yang terjadi umumnya nota dan tunai. Kerjasama antara pelaku pasar
umumnya dalam bentuk pinjaman modal.
4. Saluran tataniaga kedelai yang memberikan keuntungan adalah saluran
tataniaga enam dengan volume 26.67 persen. Hal ini terlihat dari perolehan
total marjin yang paling rendah yaitu Rp 1 000, farmer s share paling tinggi
sebesar 77.78 persen dan B/C ratio sebesar 6.30. Selain itu, saluran tataniaga
ini juga memperlihatkan pangsa marjin dan net marjin yang cenderung sudah
merata di setiap tingkat lembaga tataniaga.
7.2 Saran
1. Petani dalam melakukan budidaya kedelai sebaiknya membuat perencanaan
penanaman sehingga musim tanam berikutnya tidak terganggu dan panen
polong muda dapat dihindari. Pengusahaan budidaya kedelai yang belum
dilakukan dengan intensif oleh petani sehingga hasil yang diperoleh masih
rendah memerlukan pembinaan lebih lanjut oleh petugas penyuluh pertanian,
agar pendapatan petani dapat meningkat yang akhirnya dapat meningkatkan
kesejahteraan petani.
2. Petani dalam memasarkan hasilnya sebaiknya berkelompok sehingga dapat
dijual langsung ke pedagang kabupaten dengan harga yang lebih tinggi dan
biaya transportasi dapat ditanggung bersama.
86
DAFTAR PUSTAKA
Azzaino, Z. 1982. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-ilmu SosialEkonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Boyd, H W, Walker O C, Larreche J C. 2000. Manajemen Pemasaran. SuatuPendekatan Strategis dengan Orientasi Global. Ed 2. Erlangga. Jakarta.
Dahl C D and Hammond J W. 1977. Market and Price Analysis. The AgriculturalIndustries. McGraw-Hill Book Company, Inc.
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2007. Laporan Tahunan 2001-2006.Pemerintah Kabupaten Cianjur.
Elizabeth, R. 2007. Penguatan dan Pemberdayaan Kelembagaan PetaniMendukung Pengembangan Agribisnis Kedelai. Pusat Analisis SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Hanafiah dan Saefuddin, A M. 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. UniversitasIndonesia. Jakarta.
Kotler, P. 2005. Manajemen Pemasaran. Ed 11. Prentice Hall, Inc. New Jersey.
Lipsey, et al. 1997. Pengantar Mikroekonomi Jilid 2. Binapura Aksara. JakartaBarat.
Nurmanaf, A R. 1987. Jalur Pemasaran Kedelai di Daerah Transmigrasi, Jambi.FAE Vol 5. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal 45-53.
Nuryanti, S dan R Kustiari. 2007. Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelaidengan Kebijakan Tarif Optimal. Pusat Analisis Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian. Bogor.
Puspodewi, R. 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif sertaDampak Kebijakan Pemerintah Pada Pengusahaan Kedelai di KabupatenBoyolali, Jawa Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial EkonomiPertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Rachman, et al. 1996. Kedelai dalam Kebijaksanaan Pangan Nasional dalamEkonomi Kedelai. IPB Press. Bogor.
Rohim, A dan Diah R. D. H. 2007. Ekonomi Pertanian ( Pengantar, Teori danKasus). Penebar Swadaya. Jakarta.
87
Rukmana, R dan Yuyun Y. 2006. Kedelai. Budidaya dan Pascapanen. Kanisius.Yogyakarta.
Rusastra, et al. 1992. Aspek Produksi dan Tataniaga Kedelai di Jawa Timur. PusatAnalisis Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan PengembanganPertanian. Departemen Pertanian. Hal 67-77.
Saptana. 1993. Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa Tengah (studikasus di Kabupaten Wonogiri). FAE Vol 10 dan 11. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian. Hal 8-18.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Surifanni, D M. 2004. Permintaan Impor Kedelai Indonesia dari Amerika Serikatdan Aliran Impor Kedelai ke Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-IlmuSosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
90
ANALISIS USAHATANI KEDELAI
DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
DAFTAR PERTANYAAN:PETANI KEDELAI
Nama Petani : _______________________________
Desa : _______________________________
Kecamatan : _______________________________
Kabupaten/Kota : CIANJUR - JAWA BARAT
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAGEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
91
I. KARAKTERISTIK PETANI
1.1. Identitas Kepala Keluarga
a. Umur : ________ tahunb. Pendidikan : ________ tahunc. Pekerjaan utama : __________________________d. Pekerjaan sampingan : __________________________e. Jumlah anggota keluarga (di luar KK) : _________ Orangf. Anggota keluarga yang membantu usahatani : _________ Orang
1.2. Penguasaan Aset Pertanian
a. Penguasaan alat pertanian, transportasi dan ternak
Jenis asset yang dimiliki Jumlah(unit)
Kapasitaspakai Ket.1)
1. Alat Pertanian - Hand sprayer - Lantai Penjemuran - Pompa Air - Perontok kedelai - _________________2. Sarana Transportasi - Kendaraan roda 4 - Sepeda motor - Sepeda - _________________3. Ternak
- Sapi/kerbau - Kambing/domba - _________________
Ket : 1) Status kepemilikan
b. Penguasaan aset lahan
Luas (ha)Status
Penguasaan Sawah Tegal Kebun Pekarangan Kolam Lainnya Total(ha)
1.MILIK2. SAKAP3. SEWA4. GADAI5.LAINNYATOTAL
92
II. MASUKAN DAN PENGELUARAN USAHATANI KEDELAI
2.1. Luas persil yang dianalisis : _______ ha Pilih persil yang ditanam kedele
2.2. Pola tanam per tahun : ________________________2.3. Jenis Varietas kedele : ________________________2.4. Jarak tanam kedele: : ________________________
Masukan usahatani kedelai
JenisSarana Produksi
Jumlah(Kg/Lt)
Harga(Rp/sat)
Nilai(Rp)
1. Benih/Bibit 1)
2. Pupuk- UREA- TSP/SP-36- KCL- ZA- NPK- Pupuk Kandang- ___________________
3. Pestisida- ___________________- ___________________
4. Lainnya- _________________- _________________
1) Termasuk insektisida, rodentisida, fungisida, dll.
2.5. Masukan tenaga kerja usahatani kedelaiJenis Keluarga Luar keluarga
KegiatanHOK
Nilai(rp) HOK
Nilai(rp)
Borongan(rp)
1. Pengolahan tanaha. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
-Tenaga Ternak- Manusia - P
- W2. Penanamana. Cara tanamb. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
93
Lanjutan Tabel 2.5. (Masukan tenaga kerja usahatani kedelai)
Keluarga Luar keluargaJenisKegiatan
HOKNilai(Rp) HOK
Nilai(Rp)
Borongan(Rp)
3. Penyiangan/dangira. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
3. Pemupukan1)
a. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
4. Pengendalian HPTa. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
5. Pengairana. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
6. Panen/angkuta. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
7. Pengeringana. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
8. Perontokana. Cara/frekuensib. Jumlah tenaga kerja
- Manusia - P - W
Ket : 1) Pupuk kandang dan pupuk buatan
2.6. Biaya lain-lain untuk usahatani kedelai (Rp/musim)
Uraian Nilai (Rp)1. Sewa pompa2. Iuran kelompok tani3. Iuran desa4. Pajak lahan yang dianalisis6. Lainnya: _________________
94
2.7. Total produksi dan nilai produksi
Bentuk produksiVolume
(Kg/Ikat)Harga
(Rp/sat)Nilai(Rp)
a. OCE keringb. Polong basahc. LainnyaTotal
III. INFORMASI USAHATANI KEDELAI
3.1. Sumber dan cara perolehan sarana produksi
Jenis
Sarana produksi
Sumber1) Cara2)
mendapatkan
Harga
(Rp/satuan)
Bunga (%/th)
1. Benih2. Pupuk
- UREA- TSP/SP-36- KCL- ZA- NPK- Pupuk Kandang
3. Pestisida ______________ ______________4. Lainnya: _______________ _______________
Ket : 1) Sumber: 1. Sendiri; 2. Petani lain, 3. Kios saprotan, 4. Pedagang hasil,
5.Lainnya: ________
2) Cara perolehan: 1. Bayar tunai, 2. Kredit/pinjam, 3. Yarnen, 4. Lainnya: _________
3.2. Sebutkan jenis-jenis sarana produksi (Benih, pupuk dan pestisida) yang dibutuhkantetapi sulit diperoleh::
________________________________________________________________________________________________________________________
3.3. Sebutkan permasalahan utama yang dihadapi bapak dalam usahatani kedelai dariaspek:
a. Pengadaan sarana produksi:
___________________________________________________________________
b. Iklim (kekeringan)
95
___________________________________________________________________
c. Gangguan HPT (Hama Penyakit Tanbaman)
___________________________________________________________________
d. Pemasaran (harga jual)
___________________________________________________________________
e. Lainnya:
___________________________________________________________________
96
IV. PEMASARAN KEDELAI
4.1. Volume dan nilai penjualan (rataan satu bulan)
Uraian Satuan Jenispembeli 1) Volume Rataan harga
(Rp/sat) Nilai (Rp) Lokasi2)
transaksiCara 3)
transaksiCara4)
Bayar
1. Penjualan:
a. OCE kering Ku
d. Lainnya Ku
Total (a+b+c+d): Ku xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
2. Biaya angkutan Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
3. Karung,wadah,dsb. Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
4. Retribusi Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
5. TK Bongkar-muat Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
6. TK.Lainnya Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
7. _____________ Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Total (2 s/d 7): Rp xxx xxx xxx xxx xxx xxxKet : 1) Jenis pembeli: 1=pedagang besar, 2=supplier, 3=pedagang pasar induk/tradisional, 5=Pedagang pengecer, 6.Lainnya: ____________
2) Lokasi : 1 =Di kebun; 2 =Di tempat penjual; 3 =Di tempat pembeli, 4 =Lainnya: __________3) Cara transaksi: 1.Barang diterima di tempat penjual, 2. Di tempat pembeli, 3. Lainnya: _________4) Cara pembayaran: 1. Bayar dimuka, 2.Bayar tunai, 3.Bayar kemudian, 4. Lainya: __________
97
V. INFORMASI PEMASARAN
5.1. Sebelum melakukan penjualan hasil, apakah Bapak memperoleh informasi harga? 1. Ya 2. Tidak Bila ya, dari mana sumber informasi tersebut:
1. Petani lain2. Pedagang3. Kelompok tani4. Lainnya: ________
5.2. Bagaimana upaya Bapak agar selalu memperoleh harga jual yang menguntungkan?________________________________________________________________________________________________________________________
5.3. Apakah dalam penjualan hasil, petani dapat memilih kemana saja sesuai keinginan:
1.Ya 2.Tidak
Jelaskan:________________________________________________________________________________________________________________________
5.4. Apa kendala petani untuk dapat akses kepada pelaku pemasaran tertentu:a. Menjual ke Pedagang Besar:
______________________________________________________________________________________________________________________
b. Menjual ke Supplier (Supermarket, eksportir)______________________________________________________________________________________________________________________
c. Menjual langsung Supermarket:______________________________________________________________________________________________________________________
d Menjual ke pasar pengecer:______________________________________________________________________________________________________________________
5.5. Apakah ada kerjasama antara petani dengan pihak lain termasuk pedagang dalam hal pemasaran hasil : 1. Ya 2. Tidak
Jika ya, jelaskan cara kerja sama tersebut:________________________________________________________________________________________________________________________
98
5.6. Apakah bapak melakukan pinjaman untuk kebutuhan modal usahatani: 1. Ya, 2.Tidak Bila ya, isikan:
Sumber modal/Musim Tanam
Jumlah(Rp)
Bunga(%/th)
Lamapinjaman
(bln)
Totalpengembalian
(Rp)1. Kredit Formal - Bank - Pegadaian - Kredit Program -2. Kredit Informal - Kios saprotan - Pelepas uang - Pedagang hasil - Famili -
99
ANALISIS TATANIAGA KEDELAIDI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT
DAFTAR PERTANYAAN:PEDAGANG KEDELAI
Jenis Pedagang Pilih yang tepat
1. Pedagang Pengumpul Desa
2. Pedagang Pengumpul Luar Desa
3. Pedagang Besar
4. Supplier
5. Pedagang Pengecer
6. Lainnya: ________________________
Nama Pedagang : _______________________
Bentuk Usaha : _______________________
Desa/Lokasi : _______________________
Kecamatan : _______________________
Kabupaten/Kota : CIANJUR – JAWA BARAT
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAGEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
100
I. IDENTITAS PEDAGANG
1.1. Umur responden : _________ Tahun
1.2. Pendidikan : _________ Tahun
1.3. Mulai kegiatan dagang : Tahun __________
1.4 Jenis produk lain yang diperdagangkan selain kedelai:
_________________________________________________________________
1.5. Fasilitas yang dimiliki pedagang:
Jenis Fasilitas Jumlah (unit) Total Total Nilai (Rp)1. Gudang simpan2. Alat timbang5. Kendaraan roda dua6. Kendaraan roda empat7. Kendaraan barang8. Sepeda motor________________________________________________________________________
101
2.3. Untuk bahan baku yang dibeli dari pemasok pedagang (rataan per tahun)
Sumber/pemasok komoditas
Pembelian bahan bakuPengumpul
DesaPengumpulluar desa.
Pdg.Besar
Kab/PropPasarInduk Lainnya
a. OCE kering - Volume (Ku) - Harga (Rp/ku) - Nilai (Rp) b. Lainnya - Volume (Ku) - Harga (Rp/ku) - Nilai (Rp) Total Pembelian (a s/d d): - Volume (Ku) - Harga (Rp/ku) - Nilai (Rp)2. Tempat penerimaan barang 1)
3. Biaya angkut (Rp)2)
4. Karung/wadah, dsb.(Rp)5. TK bongkar-muat (Rp)6. TK lainnya (Rp)7. Pengemasan (Rp)8. Retribusi&lainnya (Rp)9. Biaya lain (Rp)Total biaya (3 s/d9):
Ket : 1) Isikan: 1 = Di temapat penjual, 2.Di tempat pembeli, 3. Lainnya: __________2) Termasuk pungutan/retribusi di jalan/di tempat penjualan
2.4. Bagaimana usaha responden untuk membina kelangsungan hubungan kerja denganpetani pemasok bahan baku:Jenis pembinaan Ya/Tidak Penjelasana. Bantuan modal _______ ____________________b. Hadiah _______ ____________________c. Kelancaran pembayaran _______ ____________________d. Ada kakitangan di lapangan _______ ____________________e. Lainnya: _____________ _______ ____________________
102
II. ASPEK PENGADAAN/PEMBELIAN BAHAN BAKU KOMODITI KEDELAI
2.1. Volume dan sumber perolehan bahan baku rataan per bulan a.Total perolehan: ________ Ku/tahun b. Sumber perolehan : Sendiri = _______ %, Petani: _______ %, Pedagang = _______ %, Lainnya = _______ %.
2.2. Untuk bahan baku yang dibeli dari pemasok petani (rataan per bulan)
Uraian Satuan Volume Rataan harga(Rp/sat) Nilai (Rp)
Lokasi1)
transaksi
Cara 2)
transaksi
Cara3)
Bayar
1. Pembelian: a. Bentuk OCE Ku b. Lainnya Ku Total (a+b+c+d): Ku xxx xxx xxx 2. Biaya angkutan Rp xxx xxx xxx xxx xxx 3. Karung,wadah,dsb. Rp xxx xxx xxx xxx xxx 4. Retribusi Rp xxx xxx xxx 5. TK Bongkar-muat Rp xxx xxx xxx xxx xxx 5. TK.Lainnya Rp xxx xxx xxx xxx xxx 7. _____________ Rp xxx xxx xxx xxx xxx Total (2 s/d 7): Rp xxx xxx xxx xxx xxx
1) Lokasi : 1 = di kebun; 2 = di rumah petani; 3 = di jalan; 4 = di rumah pedagang2) Cara transaksi: 1.Barang diterima di tempat penjual, 2. Di tempat pembeli, 3. Lainya: _________3) Cara pembayaran: 1. Bayar dimuka, 2.Bayar tunai, 3.Bayar kemudian, 4. Lainya: __________
103
III. BIAYA PENANGANAN HASIL SAMPAI SIAP JUAL
3.1. Biaya penanganan hasil
Jenis kegiatan Kelas Volume(Ku)
Harga(Rp/sat)
Nilai(Rp)
OCELainnya1. Produk Pembelian 1)
OCELainnya2. Hasil penanganan (siap jual) 2)
3. Jenis penanganan hasil 3) xxx xxx xxx4. Biaya penanganan hasil (Rp): xxx xxx xxx
a. Tenaga Kerja xxx xxx xxxb. Wadah/Paking xxx xxx xxxc. Penyusutan xxx xxx xxx
_________________ xxx xxx xxx_________________ xxx xxx xxx
Total (4): xxx xxx xxxKet : 1) Sesuai volume pembelian (rataan per bulan)
3) Perubahan volume karena kegitanan penanganan hasil (sesuai permintaan pasar)3) Kegiatan pengolahan: 1.Sortasi, 2. Grading, 3. Paking, 4.Labeling,
5. Lainnya: _______
104
IV. PEMASARAN KEDELAI
4.1. Cara pemasaran hasil
Jenis Pembeli Bentukhasil 1)
Volume(kw)
Tempatpenyerahan 2
Carajual3)
Waktu jual 4)
(HSP)Cara
Bayar5)Biaya pen-
jualan6)
Alasanmemilih
pembeli 7)
1.Pengumpul desa
2. Pengumpul luar desa
3. Pedagang besar
6. Kelompok tani/kemitraan
7. Lainnya: _____________
Keterangan:1) Kualitas: 1.OCE, 2.Basah, 3.Lainnya: _________2) Tempat penyerahan barang: 1.Di sawah; 2.Di rumah petani; 3.Di tempat pembeli, 4.Di pasar, 5.Lainnya_____________3) Cara jual: 1.Tebasan, 2.Ditimbang, 3.Ijon, 4.Lainnya ________________4) Waktu jual _______ HSP = Hari setelah panen5) Cara bayar: 1.Tunai, 2.Panjar, 3.Byar kemudian, 4.Lainnya________________6) Biaya penjualan: mencakup ongkos angkut, retribusi, tenaga kerja, bongkar muat, karung, dsb.7) Alasan memilih pembeli: 1=Hubungan kemitraan, 2= langganan, 3=Ikatan pinjaman kredit, 4=Hubungan kekeluargaan, 5=Harga beli paling mahal, 6.Lainnya____________________
105
V. PERMASALAHAN PEDAGANG
5.1. Permasalahan dalam pengadaan/pembelian kedelai:a. Kecukupan jumlah:________________________________________________________________________________________________________________________b. Kontinyuitas suplai:________________________________________________________________________________________________________________________c. Kualitas hasil:________________________________________________________________________________________________________________________d. Angkutan/transportasi:________________________________________________________________________________________________________________________
5.2. Saran Kebijakan responden agar pemasaran kedelai akan lebih baik:_____________________________________________________________________________________________________________________