ANALISIS TINGKAT KETERSEDIAAN DAN DAYA TERIMA … · makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang...

19
TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13-14 tahun. Usia sekolah ini merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya (Hurlock 1980). Terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol pada anak selama periode usia sekolah. Di antaranya adalah pergaulan anak menjadi lebih luas, tidak hanya terbatas hanya dengan anggota keluarga di rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi perkembangan intelegensi, minat, emosi, dan kepribadian. Perkembangan pada aspek-aspek tersebut membentuk karakteristik khas pada anak usia sekolah (Akbar 2005). Menurut teori perkembangan Piaget diacu dalam Hidayat (2004), anak usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap konkret operasional. Hal yang termasuk tahap ini diantaranya yaitu kemampuan memahami konsep-konsep, hubungan sebab akibat, hubungan yang majemuk, serta kemampuan diri yang menyangkut proses berpikir, daya ingat, pengetahuan, tujuan, dan aksi yang meningkat. Karakteristik anak sekolah di antaranya yaitu gigi susu yang berangsur tanggal digantikan dengan gigi permanen, serta lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi anak golongan umur 10-12 tahun relatif lebih tinggi daripada anak golongan 7-9 tahun dikarenakan pertumbuhan yang lebih cepat, terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan energi anak laki-laki mulai umur 10-12 tahun berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai haid, sehingga membutuhkan protein dan zat besi yang lebih tinggi (RSCM dan Persagi 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak sekolah menurut Moehji (1980) adalah: (1) Anak dalam usia sekolah sudah dapat memilih dan menentukan makanan apa yang disukai dan tidak disukai, sehingga seringkali anak-anak salah memilih terutama jika orang tua tidak memberikan informasi mengenai makanan sehat dan bergizi. (2) Anak dalam usia sekolah memiliki kebiasaan untuk jajan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pergaulan dengan teman di lingkungan sekolah. (3) Anak tiba di rumah dalam keadaan letih karena belajar dan bermain di sekolah sehingga kurang nafsu makan sesampainya di rumah.

Transcript of ANALISIS TINGKAT KETERSEDIAAN DAN DAYA TERIMA … · makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang...

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia Sekolah

Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir saat individu

menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13-14 tahun. Usia sekolah ini

merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan

perilakunya (Hurlock 1980). Terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol

pada anak selama periode usia sekolah. Di antaranya adalah pergaulan anak

menjadi lebih luas, tidak hanya terbatas hanya dengan anggota keluarga di

rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak

bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi

perkembangan intelegensi, minat, emosi, dan kepribadian. Perkembangan pada

aspek-aspek tersebut membentuk karakteristik khas pada anak usia sekolah

(Akbar 2005).

Menurut teori perkembangan Piaget diacu dalam Hidayat (2004), anak

usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap konkret operasional. Hal yang termasuk

tahap ini diantaranya yaitu kemampuan memahami konsep-konsep, hubungan

sebab akibat, hubungan yang majemuk, serta kemampuan diri yang menyangkut

proses berpikir, daya ingat, pengetahuan, tujuan, dan aksi yang meningkat.

Karakteristik anak sekolah di antaranya yaitu gigi susu yang berangsur

tanggal digantikan dengan gigi permanen, serta lebih aktif memilih makanan

yang disukai. Kebutuhan energi anak golongan umur 10-12 tahun relatif lebih

tinggi daripada anak golongan 7-9 tahun dikarenakan pertumbuhan yang lebih

cepat, terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan energi anak laki-laki mulai

umur 10-12 tahun berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak

melakukan aktivitas fisik sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan

anak perempuan biasanya sudah mulai haid, sehingga membutuhkan protein

dan zat besi yang lebih tinggi (RSCM dan Persagi 1990).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak sekolah menurut

Moehji (1980) adalah: (1) Anak dalam usia sekolah sudah dapat memilih dan

menentukan makanan apa yang disukai dan tidak disukai, sehingga seringkali

anak-anak salah memilih terutama jika orang tua tidak memberikan informasi

mengenai makanan sehat dan bergizi. (2) Anak dalam usia sekolah memiliki

kebiasaan untuk jajan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pergaulan dengan teman

di lingkungan sekolah. (3) Anak tiba di rumah dalam keadaan letih karena belajar

dan bermain di sekolah sehingga kurang nafsu makan sesampainya di rumah.

6

Pilihan makanan kesukaan anak sangat dipengaruhi oleh teman, orang tua, serta

media massa melalui iklan/reklame.

Penyelenggaraan Makanan di Sekolah

Penyelenggaraan makanan di sekolah termasuk dalam pelayanan gizi

makanan kelompok yang bertujuan untuk menyediakan makanan bergizi bagi

anak di sekolah dalam rangka meningkatkan status gizi dan kesehatannya

(Depkes 1991). School-feeding merupakan tindakan umum yang biasa

dilaksanakan untuk memperbaiki gizi anak sekolah. Praktik penyelenggaraan

makanan di sekolah sudah lama dan sudah banyak diselenggarakan di negara-

negara baik di Eropa maupun Asia. Bentuk dan cara penyelenggaraan makanan

berbeda-beda untuk masing-masing negara (Moehji 1980).

Penyelenggaraan makanan di sekolah adalah suatu rangkaian kegiatan

mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan pada

siswa, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui

pemberian makan siang di sekolah. Penyelenggaraan makanana anak sekolah

diselenggarakan di sekolah, dapat dilakukan oleh sekolah itu sendiri atau our-

sourcing ke pihak lain/jasa boga yang mampu mengadakan penyelenggaraan

makanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku di sekolah yang

bersangkutan (Sinaga 2007).

Tujuan dari penyelenggaraan makanan di sekolah yaitu menyediakan

makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta

pelayanan yang layak dan memadai bagi anak sekolah yang membutuhkan.

Tujuan utama yang langsung dapat dilihat pada penyelenggaraan makanan anak

sekolah adalah memenuhi kebutuhan gizi anak selama berada di sekolah, agar

dapat meningkatkan status gizi yang baik sehingga mampu mengikuti kegiatan

belajar mengajar yang diberikan di sekolah dengan baik juga (Sinaga 2007).

Ciri-ciri penyelenggaraan makanan anak sekolah antara lain yaitu

dilaksanakan selama anak berada di sekolah. Penyelenggaraan makanan ini

dapat dilakukan oleh sekolah sendiri/out-sourcing. Ketersediaan makanan di

sekolah setidaknya memenuhi kebutuhan gizi anak 1/3 dari kecukupannya dalam

sehari. Makanan yang diberikan di sekolah tidak berorientasi kepada

keuntungan, melainkan lebih diarahkan untuk pendidikan dan perubahan perilaku

anak terhadap makanan, juga memiliki standar sanitasi dan kebersihan yang

tinggi. Pemilihan menu yang disajikan di sekolah disesuaikan dengan

kesukaan/preferensi anak serta memiliki lokasi/tempat makan yang dibuat

7

sedemikian rupa sehingga anak dapat mengembangkan kreasi dan dapat

mendiskusikan pelajarannya (Sinaga 2007).

Menurut Sizer dan Whitney (2008), makanan selingan (snack) sebaiknya

tidak lebih dari 200 Kalori atau sekitar 10% dari kebutuhan energi siswa,

sehingga dalam sehari selingan menyumbangkan energi sebanyak 20%. Sisanya

80% diperoleh dari makan pagi, siang, dan malam dengan perbandingan 1:2:2

(Moehyi 1992). Menurut Mahan dan Stump (2004), makanan yang disajikan

dalam penyelenggaraan makanan sebaiknya menyumbangkan energi 1/3 dari

kebutuhan energi total dan zat gizi lainnya.

Manajemen Penyelenggaraan Makanan Institusi

Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan,

persiapan, pemasakan, dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika

dilihat dalam sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan

dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan.

Palacio dan Theis (2009) mengungkapkan bahwa tujuan utama penyelenggaraan

makanan adalah untuk menyajikan makanan agar konsumen/klien merasa puas.

Menurut Moehyi (1992) penyelenggaraan makanan institusi mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut: (1) Penyelenggaraan makanan dilakukan oleh institusi itu sendiri

dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. (2) Dana yang diperlukan untuk

penyelenggaraan makanan sudah ditetapkan jumlahnya sehingga

penyelenggaraan harus menyesuaikan pelaksanaannya dengan dana yang

tersedia. (3) Makanan diolah dan dimasak di dapur yang berada di lingkungan

tempat institusi itu berada. (4) Hidangan makanan yang disajikan diatur dengan

menggunakan menu induk (master menu) dengan siklus mingguan atau sepuluh-

harian. (5) Hidangan makanan yang disajikan tidak banyak berbeda dengan

hidangan yang biasa disajikan di lingkungan keluarga.

Penyelenggaraan makanan institusi terdiri atas dua macam yaitu

penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan (bersifat

komersial) dan penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pelayanan

(bersifat non komersil). Penyelenggaraan makanan yang berorientasi pada

keuntungan dilaksanakan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-

besarnya. Bentuk usaha ini seperti restaurant, snack bar, cafetaria, catering.

Usaha penyelenggaraan makanan ini tergantung pada bagaimana menarik

konsumen sebanyak-banyaknya dan manajemennya harus bisa bersaing dengan

institusi yang lain (Moehyi 1992).

8

Penyelenggaraan makanan non komersil dilakukan oleh suatu institusi

baik dikelola pemerintah, badan swasta ataupun yayasan sosial yang tidak

bertujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk penyelenggaraan ini biasanya

berada di dalam suatu tempat yaitu asrama, panti asuhan, rumah sakit,

perusahaan, lembaga kemasyarakatan, sekolah dan lain-lain. Frekuensi makan

dalam penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersil ini 2-3 kali dengan

atau tanpa selingan (Moehyi 1992).

Manajemen penyelenggaraan institusi adalah penyelenggaraan dan

pelaksanaan makanan dalam jumlah banyak (melebihi ukuran rumah tangga).

Tujuan manajemen penyelenggaraan makanan institusi yaitu menyediakan

makanan yang berkualitas tinggi yang dipersiapkan dan dimasak secara baik

serta dihidangkan secara menarik; pelayanan yang tepat, cepat, dan ramah; gizi

seimbang dengan menu yang bervariasi; harga tepat dan layak sesuai dengan

pelayanan yang diberikan; serta fasilitas yang cukup dan nyaman (Yuliati &

Santoso 1995).

Kegiatan penyelenggaraan makanan mencakup kegiatan/subsistem

penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan

makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan

dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan,

pelaporan, dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan

bagi kelompok masyarakat di suatu institusi (Depkes 1991). Fungsi manajemen

menurut Terry diacu dalam Yuliati & Santoso (1995) dibagi menjadi 4 yaitu

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating),

dan pengawasan (controlling).

Perencanaan

Kegiatan perencanaan yang dilakukan pada usaha penyelenggaraan

makanan dimulai dengan menentukan garis-garis besar untuk dapat memulai

usaha. Pada dasarnya kegiatan perencanaan ini harus dapat merumuskan suatu

pekerjaan yang akan dilakukan (Yuliati & Santoso 1995).

9

Perencanaan Menu. Menurut Yuliati & Santoso (1995), menu adalah susunan

makanan yang lengkap yang terdiri dari berbagai jenis makanan yang disajikan

pada waktu tertentu, misalnya pagi, siang, dan malam. Salah satu faktor yang

mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah

tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Untuk itu menu

perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu merupakan proses yang

bertahap yaitu terdiri dari apa yang akan disajikan dan kapan makanan itu

disajikan. Perencanaan menu yang baik antara lain berfungsi agar konsumen

menjadi senang dan puas karena kualitas maupun kuantitas makanan yang

disajikan sesuai dengan keinginan dan seleranya, bagi pegawai akan

memudahkan melaksanakan pekerjaan yang sudah pasti, dan bagi pengelola

akan memudahkan terlaksananya segala sesuatu sesuai dengan rencana

sehingga tujuan institusi yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Dalam merencanakan menu harus sesuai dengan tipe institusi, bahan

makanan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia,

dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan

merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk

beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan

yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan

di pasar, serta metoda dan prosedur mempersiapkan makanan mulai dari

belanja, pengolahan, sampai dengan penyajian (Yuliati & Santoso 1995).

Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru

masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian

waktu 5, 7, 10, atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6

bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk

setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan makanan per porsi

menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan makanan yang

digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga

bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per

satu resep (Depkes 1991).

10

Perencanaan Biaya. Menurut Depkes RI (1991), perencanaan biaya atau

anggaran belanja untuk suatu penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak

seharusnya direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas

pengalaman-pengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan

adalah untuk bahan makanan, peralatan, tenaga, dan pengeluaran lain yang

disebut biaya overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih,

dsb).

Pengorganisasian

Kegiatan pengorganisasian meliputi identifikasi kegiatan dan tujuan dengan

jelas, pembagian tugas sesuai dengan keterampilan dan keahlian masing-masing

atau penempatan tenaga yang sesuai dengan bidangnya, pendelegasian tugas

dan tanggung jawab dari atasan ke bawahan sehingga masing-masing akan

mendapat wewenang dan beban kerja yang sesuai. Adanya pendelegasian tugas

akan menggambarkan garis instruksi dari atas ke bawah dan garis pertanggung

jawaban dari bawah ke atas juga jelas (Yuliati & Santoso 1995).

Dalam mengorganisir penyelenggaraan makanan, baik dalam jumlah kecil

maupun besar dibutuhkan berbagai jenis tenaga yang dapat dibedakan atas

pegawai yang ahli dan pegawai yang tidak ahli. Pegawai yang ahli adalah tenaga

yang telah mendapatkan pendidikan dasar khusus seperti Sarjana Gizi, Sarjana

Muda Gizi, serta tenaga menengah gizi atau Pembantu Ahli Gizi/ Pengatur Gizi.

Tenaga-tenaga ini bertanggung jawab atas pengelolaan makanan banyak di

berbagai institusi. Kebutuhan akan tenaga ahli ini belum ada standar yang pasti,

tetapi sudah disepakati bahwa untuk institusi yang menyediakan makanan 300

porsi diperlukan seorang Sarjana Muda Gizi dan dua Pengatur Gizi. Tenaga yang

tidak ahli adalah juru masak, pembersih, tenaga administrasi, dan tenaga khusus

bila diperlukan (Muchatob et al. 1991).

Pelaksanaan

Untuk melaksanakan secara fisik kegiatan dan aktivitas penyelenggaraan

makanan, maka manajer atau pimpinan akan mengambil tindakan antara lain

memberi pengarahan kepada bawahan agar dapat bekerja dengan lancar,

memberikan konsultasi atau nasehat bila diperlukan, mengadakan supervisi yang

efektif untuk unit khusus atau keseluruhan, dapat memotivasi bawahan sehingga

mereka bersemangat dalam bekerja (Yuliati & Santoso 1995).

Menurut Fardiaz (2000), selama pengolahan, penanganan, penyimpanan,

dan transportasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) bahan makanan

11

dan ingredien harus terpisah dari bahan-bahan berbahaya, yaitu menghindari

dari kontaminasi oleh hama, bahan-bahan fisik, kimia, dan mikroba yang

membahayakan kesehatan, (2) bahan-bahan yang tidak terpakai harus dibuang

dengan cara yang higienis, dan (3) perhatian harus diberikan untuk mencegah

terjadinya kerusakan atau kebusukan makanan, termasuk pengendalian suhu,

kelembaban, dan pengendalian lainnya. Selain itu, fasilitas dan prosedur yang

tepat harus dilakukan untuk menjamin bahwa pembersihan dan pemeliharaan

dilakukan secara efektif, serta tingkat higienitas karyawan dipertahankan dengan

baik.

Pembelian Bahan Makanan. Menurut Depkes RI (1991), dalam pembelian

bahan makanan diperhatikan kebijakan institusi, standar bahan makanan yang

ditetapkan, penetapan spesifikasi bahan makanan, serta penetapan syarat jual

beli bahan makanan. Standar bahan makanan adalah ketetapan macam dan

jumlah bahan makanan yang dipakai sebagai patokan dalam penyediaan

makanan yang disusun atas dasar kecukupan gizi yang telah ditetapkan.

Prosedur pembelian bahan makanan dapat berupa pelelangan terbuka,

pelelangan terbatas, penjualan langsung, pengadaan langsung, pembelian ke

pasar, atau pembelian musyawarah. Penetapan syarat jual beli bahan makanan

yaitu cara penanganan, cara pengiriman, waktu pengiriman, cara pembayaran,

dan sanksi pelanggaran yang disepakati.

Penerimaan Bahan Makanan. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas

pesanan bahan makanan, yang menyatakan macam, jumlah, dan kualitas bahan

makanan. Pada saat menerima bahan makanan, pesanan tersebut diteliti dan

diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/penanganan menurut yang

tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman

bahan makanan. Selanjutnya bahan makanan dikirim ke gudang/ruang

penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan makanan.

Prosedur penerimaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara

konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa),

karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga

(Depkes 1991).

Penyimpanan Bahan Makanan. Penyimpanan bahan makanan dimaksudkan

untuk mempertahankan kondisi bahan makanan, mencegah

kerusakan/gangguan lingkungan bahan makanan, melayani kebutuhan macam

dan jumlah bahan makanan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit

12

yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan

memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan

macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga,

pembersihan, suhu dan kelembabannya (Depkes 1991).

Persiapan Bahan Makanan. Dalam mempersiapkan bahan makanan, harus

dihindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/melarutkan zat-zat gizi

dalam bahan makanan. Perlakuan terhadap bahan makanan ini selain selama

persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta

perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan makanan meliputi

kegiatan pencucian bahan makanan, pemotongan, perendaman, penggilingan,

penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan,

dan perlakuan lain sebelum bahan makanan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini

sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat

diatasi (Depkes 1991).

Pemasakan. Menurut Depkes RI (1991), pemasakan adalah proses kegiatan

terhadap bahan makanan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan

menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus,

mengukus, menggoreng, mengetim, dan sebagainya dalam rangka

meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan makanan, dan menghilangkan/

mematikan kuman-kuman yang berbahaya.

Pendistribusian dan Penyajian. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam

mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia

makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada

rantang makanan masing-masing konsumen ataupun dalam kotak makanan.

Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan

dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang

makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk

porsi (Depkes 1991).

Pengawasan

Pimpinan pada umumnya menganggap perlu untuk mengecek apa yang

telah dilakukan guna dapat memastikan apakah semua kegiatan berjalan dengan

memuaskan dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bila terjadi

kesalahan, kekurangan, kesalahpahaman dalam tugas atau adanya kendala

yang tiba-tiba muncul, maka akan dapat segera diperbaiki dengan cara merevisi

atau rencana yang telah dibuat baik secara total atau sebagian tergantung

13

keadaan yang ditemukan saat pengawasan berlangsung (Yuliati & Santoso

1995). Pengawasan termasuk di dalamnya yaitu pencatatan, pelaporan, dan

evaluasi.

Pencatatan, pelaporan, dan evaluasi ini meliputi: (1) pemasukan,

pemakaian bahan makanan harian, (2) pencatatan tentang pemasukan dan

pemakaian peralatan dapur, (3) pencatatan kegiatan macam dan jumlah

konsumen yang dilayani setiap hari, (4) perhitungan harga makanan per orang

sehari, rata-rata dalam tiap bulan, dan setiap tiga bulan, serta (5) laporan tribulan

untuk pimpinan. Pencatatan yang dibuat harus teliti dan benar, dilengkapi

dengan bukti/informasi nyata, sehingga pengendalian kegiatan dapat berjalan

dengan baik (Depkes 1991).

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan merupakan salah satu penilaian keadaan

gizi masyarakat secara tidak langsung (Kusharto & Sa‟diyyah 2008). Menurut

Hardinsyah & Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian

konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan energi dan zat

gizi dalam makanan, kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang

dikonsumsi seseorang kelompok dengan angka kebutuhan gizi. Dalam

menghitung kandungan zat gizi pangan, sebaiknya dicatat informasi tentang

bentuk olahan. Hal ini terkait dengan koreksi kandungan vitamin dan mineral,

terutama vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral Fe karena adanya

kehilangan zat gizi selama pengolahan.

Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan

individu, keluarga maupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat

menggunakan metode-metode berikut ini yaitu: penimbangan (weighing method),

metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history),

frekuensi pangan (food frequency) dan metode kombinasi (Kusharto & Sa‟diyyah

2008).

Weighing method

Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis

pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini

dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga

pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena

dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang

dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu

14

mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu

atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari

tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola

konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti

(Kusharto & Sa‟diyyah 2008).

Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-

benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan

biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila

dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan

harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al.

2001).

Recall Method

Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode

penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir

asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah

dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24

jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan

dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam

satuan berat (Kusharto & Sa‟diyyah 2008).

Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat

digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu

mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat

menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001).

Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang

terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.

Food Record (Catatan Pangan)

Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian

pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di

samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta

mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit

3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci,

termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai

bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan

mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang

menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan

15

mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini

kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gizi yang terkandung dicari pada DKBM dan

jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan

yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan

tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk

menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu

tertentu (Arisman 2010).

Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat

menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam

jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden,

tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan

kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et

al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data

menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara

individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh

enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis

responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.

Preferensi Pangan

Menurut Assael (1992) preferensi terbentuk dari persepsi terhadap suatu

produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih

disukai oleh konsumen. Preferensi juga dapat diartikan sebagai tingkatan

kesukaan. Tingkat kesukaan yang dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila

dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap sesuatu yang lain (Martiani

2000).

Menurut Gregoire & Spears (2007), preferensi pangan menggambarkan

tingkat kesukaan terhadap suatu makanan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa

preferensi pangan diasumsikan sebagai sikap seseorang terhadap makanan,

suka atau tidak suka yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Oleh

sebab itu, penting untuk mempelajari makanan yang disukai dan tidak disukai.

Sanjur (1982) juga menjelaskan bahwa fisiologi, perasaan dan sikap terintegrasi

membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku

konsumsi pangan.

Lyman (1989) menyatakan bahwa preferensi dipengaruhi oleh waktu dan

kondisi makanan yang disediakan, seperti kondisi lapar, perasaan dan saat

terakhir mengkonsumsi. Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah

16

dicoba. Selain itu, suatu makanan bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa

membosankan, terlalu biasa dikonsumsi, menyebabkan alergi atau reaksi

fisiologis, dan berhubungan dengan efek penyakit setelah mengkonsmsinya.

Sikap suka atau tidak suka terhadap pangan hanyalah salah satu alasan yang

membentuk preferensi pangan. Preferensi pangan lebih menunjuk pada keadaan

ketika seseorang harus melakukan pilihan terhadap pangan dengan

menunjukkan reaksi penerimaan hedonik atau rasa makanan yang data diukur

secara verbal, dengan skala atau dengan ekspresi wajah (Rozin & Volmecke

1986 dalam Prasatya 1998).

Preferensi terhadap makanan dipengaruhi oleh karakteristik individu,

lingkungan dan karakteristik produk pangan (Ellis 1976 dalam Sanjur 1982).

Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan,

kesehatan dan pengetahuan gizi. Karakteristik produk meliputi rasa, warna,

aroma dan kemasan. Karakteristik lingkungan meliputi keluarga, tingkat sosial,

musim dan mobilitas. Karakteristik makanan meliputi penampilan, bumbu, tipe

makanan, kombinasi makanan, harga. Semua variabel tersebut saling

mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain (Sanjur 1982).

Menurut Suhardjo (2003), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi

selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi oleh preferensi

terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak,

tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial budaya. Selain pengaruh reaksi

indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi makin dipengaruhi

oleh pendekatan melalui media massa seperti radio, TV, pamflet dan iklan.

Harper et al. (1985) juga mengemukakan bahwa preferensi terhadap makanan

tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial dan budaya, tetapi juga dari sifat

fisik makanan itu sendiri.

Pengukuran data preferensi menggunakan skala (sangat tidak suka, tidak

suka, suka dan sangat suka). Contoh ditanya untuk mengidentifikasi seberapa

besar contoh menyukai makanan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka atau tidak

suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya

terhadap makanan yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka

preferensinya (Sanjur 1982). Evaluasi sensori yang banyak digunakan untuk

mengukur menu makanan secara individual yaitu rasa, warna, suhu dan jumlah

porsi (Gregoire & Spears 2007).

17

Daya Terima Makanan

Makanan yang bergizi tidak bermanfaat apabila tidak dimakan dan

diterima dengan baik (Moehyi 1992). Menurut Gregoire & Spears (2007), daya

terima suatu makanan dapat diukur dengan menggunakan sisa makanan di

piring (plate waste). Sisa makanan sering ditimbang untuk menyediakan data

secara kuantitatif yang dapat digunakan di berbagai studi, khususnya pada

penyelenggaraan makan siang di sekolah. Sisa makanan ini dapat digunakan

untuk menimbang jumlah menu yang tidak dimakan pada individu/kelompok atau

total sisa makanan.

Menurut Moehyi (1992), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan

oleh rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan melalui berbagai

indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman,

dan indera pengecap. Penampilan makanan ketika disajikan dapat

mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor yang menentukan penampilan

makanan antara lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan

(Palacio & Theis 2009), selain itu juga dipengaruhi oleh porsi, penyajian

makanan, dan penghias hidangan (Moehyi 1992).

Warna merupakan daya tarik dari suatu makanan. Setidaknya dalam

suatu hidangan makanan harus terdiri dari dua atau tiga warna makanan yang

berbeda. Sayuran hijau dapat dikombinasikan dengan ikan dan kentang yang

dipanggang, juga dapat menggunakan tomat dan lobak sebagai garnish (Palacio

& Theis 2009). Kombinasi warna yang menarik dapat meningkatkan penerimaan

terhadap makanan dan secara tidak langsung menambah nafsu makan (Sinaga

2007). Marotz (2005) juga menyatakan bahwa warna merupakan komponen

sensori yang paling berpengaruh, terutama bagi anak sekolah yang senang

dengan warna-warni yang menarik. Penyajian makanan juga merupakan aspek

yang dapat mempengaruhi indera penglihatan. Hal ini dikarenakan penyajian

merupakan hal pertama yang terlihat dari suatu makanan, sehingga diperlukan

penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Sinaga 2007).

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa

makanan setelah penampilan makanan (Moehyi 1992). Komponen-komponen

yang berperan dalam menentukan rasa makanan antara lain aroma, bumbu dan

penyedap, keempukan, kerenyahan, tingkat kematangan, serta temperatur

makanan. Variasi berbagai rasa dalam suatu makanan lebih disukai daripada

hanya terdiri dari satu rasa (Palacio & Theis 2009). Rasa makanan bisa berupa

18

asin, asam, pahit dan manis. Perpaduan rasa dengan perbandingan yang sesuai

menimbulkan rasa yang enak dalam suatu makanan (Sinaga 2007).

Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat

kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan

selera (Sinaga 2007). Tekstur makanan dipengaruhi oleh cara memasak dan

lama waktu pemasakan makanan. Tekstur makanan juga mempengaruhi

penampilan makanan, dimana bentuk makanan yang serasi akan memberikan

daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi 1992). Tekstur

makanan dirasakan oleh indera pengecap, kerenyahan, kelembutan, dan

kekenyalan menggambarkan tekstur makanan. Variasi di dalam tekstur

sebaiknya disesuaikan dengan jenis makanan. Variasi dalam pengolahan

makanan juga harus diperhatikan dalam perencanaan suatu menu makanan.

Pengolahan makanan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti digoreng,

dibakar, ditumis, ditim, dan sebagainya (Palacio & Theis 2009).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Anak Usia Sekolah

Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat

gizi diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi

menurut kelompok umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis tertentu seperti

kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan

(reference values) yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi

makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari

defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam

WNPG 2004). AKG merupakan istilah yang digunakan di Indonesia, sebagai

terjemahan dari RDA (recommended dietary allowance). Bila diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari, AKG akan memenuhi 97-98% populasi sehat (Muhilal &

Hardinsyah 2004 dalam WNPG 2004).

Kebutuhan energi anak dipengaruhi oleh metabolisme basal, umur,

aktivitas fisik, suhu lingkungan, dan kesehatannya. Komponen utama yang

menentukan kebutuhan energi adalah angka metabolisme basal (AMB) dan

aktivitas fisik. Proses metabolisme basal adalah proses metabolisme yang terjadi

dalam tubuh dalam keadaan istirahat dan energi untuk metabolisme basal ini

boleh dianggap tetap (Poedjiadi & Supriyanti 2007). Menurut FAO/WHO/UNU

(2001), kebutuhan energi diperoleh dengan mengalikan AMB dengan PAL

(physical activity level) dalam sehari.

19

Angka kecukupan energi (AKE) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun

dalam Tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 2050 kkal (WNPG 2004). Jumlah

tersebut diperoleh berdasarkan formula meta analisis untuk kelompok usia 9-19

tahun dikembangkan oleh IOM (2002) dalam WNPG (2004) dari berbagai studi

yang luas cakupannya. Berikut ini disajikan proses estimasi untuk AKE remaja

usia 10-12 tahun.

Tabel 1 Estimasi AKE untuk remaja usia 10-12 tahun

Jenis kelamin Formula

Pria (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF*)+903TB+25 Wanita (88,5 – 61,9U)+26,7B(AkF**)+903TB+25

* AkF yang digunakan bagi anak pria 9-18 tahun yang sangat aktif = 1,42 dan wanita 9-18 tahun yang aktif = 1,31 (Torun et al. 1996 dalam WNPG 2004)

Kebutuhan protein menurut Almatsier (2004) adalah 10-15% dari

kebutuhan energi total, kebutuhan lemak 10-25% dari kebutuhan energi total,

dan kebutuhan karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total. Berdasarkan

hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, Angka kecukupan

protein (AKP) untuk kelompok anak usia 10-14 tahun dalam tabel angka

kecukupan gizi 2004 adalah 50 gram. Jumlah angka kecukupan protein ini

ditetapkan berdasarkan koreksi mutu protein didasarkan pada kenyataan bahwa

pangan hewani hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap total energi, artinya

mutu protein makanan penduduk Indonesia masih rendah, sehingga diasumsikan

mutunya 85%, sehingga melahirkan faktor koreksi secara umum 1,17 yang

dibulatkan menjadi 1,2. Besar nilai AKP diperoleh berdasarkan perolehan secara

umum dari kebutuhan protein (EAR) ditambahkan dengan safe level (24%).

Faktor koreksi mutu secara khusus pada tiap golongan umur juga berbeda-beda.

Berikut ini disajikan AKP dan faktor koreksi protein dari remaja usia 10-12 tahun.

Tabel 2 AKP dan faktor koreksi mutu protein

Jenis kelamin AKP Faktor koreksi mutu

Pria 0,95 g/kg BB/hari 1,52 Wanita 0,85 g/kg BB/hari 1,56

* Perhitungan kebutuhan protein= AKP x BB x faktor koreksi mutu (WNPG 2004)

Selain energi dan protein, AKG untuk zat gizi lainnya yang dianjurkan

untuk anak usia sekolah (10-12 tahun) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Angka kecukupan gizi untuk remaja usia 10-12 tahun

Zat gizi Perempuan Laki-laki

Ca 1000 mg 1000 mg Fe 20 mg 13 mg Vitamin C 50 mg 50 mg

Sumber: Hardinsyah & Tambunan (2004) dalam WNPG (2004)

20

Tingkat kecukupan zat gizi= Konsumsi zat gizi aktual

AKG X 100

Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu

(Hardinsyah & Briawan 1992). Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat

dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan

menghasilkan energi, mengganti jaringan rusak, memproduksi substansi tertentu

(misalnya hormon, enzim, antibodi). Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok

makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak, protein dan kelompok

mikronutrien yang terdiri atas vitamin dan mineral (Hartono 2004).

Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi

yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan gizi. Penilaian untuk

mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara

konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil

perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat

kecukupan dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996)

adalah (1) defisit tingkat berat (<70% AKE); (2) defisit tingkat sedang (70-79%

AKE); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKE); (4) normal (90-119% AKE);

kelebihan (>120% AKE). Sedangkan klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan

mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77 AKG); (2) cukup (≥ 77

AKG).

Energi dan Pangan Sumber Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,

pengeturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai

cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan

jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Tingkat kecukupan energi

(TKE) adalah rata-rata tingkat kecukupan energi dari pangan yang seimbang

dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh

(berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan

ekonomi dan sosial yang diharapkan (WNPG 2004).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan

protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan

21

minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak, santan, coklat, kacang-

kacangan dengan kadar air rendah dan aneka pangan produk turunannya.

Pangan sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat,

serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air

rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan

sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka

produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Protein dan Pangan Sumber Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian

terbesar tubuh sesudah air. Protein merupakan molekul makro yang mempunyai

berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-

rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan

peptida.molekul protein lebih kompleks daripada karbohidrat dan lemak dalam

hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit asam amino yang

membentuknya. Terdapat dua puluh jenis asam amino yang diketahui, yang

terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam animo yang tidak dapat dibuat

tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas asam amino

nonesensial (Almatsier 2004).

BPS (2006) dalam WNPG (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan

masyarakat dikatakan memadai jika memenuhi dua kriteria kecukupan, yaitu

kecukupan energi dan protein. Angka kecukupan protein untuk kelompok anak

usia 10-12 tahun, baik pria maupun wanita dalam tabel angka kecukupan gizi

2004 adalah 50 g per hari (WNPG 2004). Tingkat kecukupan protein

dikategorikan berdasarkan Depkes (1996) menjadi defisit tingkat berat (<70%

AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG),

normal (90-119 AKG) dan lebih (≥120 ).

Fe (Zat Besi) dan Pangan Sumber Zat Besi

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam

tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 g dalam tubuh manusia dewasa.

(Almatsier 2003). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat

diserap oleh tubuh karena bioavailabilitas yang rendah atau kurangnya asupan

pangan hewani. Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari

hewan maupun tumbuhan (UNICEF 1998). Besi yang berasal dari sumber

hewani (heme) dapat diserap 30% lebih baik dibandingkan dari nabati (5%).

Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non-heme 60% dan

22

heme 40%. Konsumsi heme mempunyai keuntungan ganda, selain mudah

diserap juga membantu penyerapan non heme (Kartono & Soekatri 2004).

Kekurangan besi menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit

pucat, lemah/letih, dan nafas pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia dapat

menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif,

selain itu dapat menurunkan daya tahan tubuh (Kartono & Soekatri 2004).

Ca (Kalsium) dan Pangan Sumber Kalsium

Kalsium yang terdapat di dalam tubuh hampir seluruhnya terdapat di

dalam tulang yang berperan sentral dalam struktur dan kekuatan tulang dan gigi.

(IOM-FNB 1997). Anak yang masih tumbuh dan berkembang memerlukan

kalsium untuk pembentukan tulang lebih banyak daripada orang yang sudah tua.

Usia dewasa mementingkan kalsium di tulang, sedangkan pada usia tua kalsium

diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang (WNPG 2004).

Sumber utama kalsium untuk masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

tinggi adalah susu dan hasil olahannya (mengandung sekitar 1150 mg Kalsium

per liter). Sumber lain kalsium adalah sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan

yang dikalengkan. Roti dan biji-bijian menyumbang asupan kalsium yang nyata

dengan konsumsi yang sering. Ikan dan sumber laut lainnya mengandung

kalsium lebih banyak dibandingkan daging sapi maupun ayam (Goulding 2000).

Vitamin C dan Pangan Sumber Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin larut air. Dalam keadaan kering vitamin C

cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena

bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi

dipercepat dengan kehadiran tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam

larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C merupakan

vitamin yang paling labil. Vitamin C umumnya terdapat di dalam pangan nabati,

yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan,

pepaya, gandaria, dan tomat. Selain pada buah, vitamin C juga banyak terdapat

dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2004).

Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim

atau kofaktor. Asam askorbat merupakan bentuk vitamin C yang berfungsi

sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas. Fungsi vitamin C di

dalam tubuh antara lain sintesis kolagen, sintesis karnitin, noradrenalin,

serotonin, dan lain-lain, meningkatkan absorbsi dan metabolisme besi,

membantu absorbsi kalsium, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi,

23

mencegah dan menyembuhkan kanker dan penyakit jantung (Almatsier 2006).

Sumber utama vitamin C adalah buah dan sayuran segar. Biasanya sumber

vitamin C dikaitkan dengan jeruk, walaupun buah dan sayuran berdaun lainnya

juga merupakan sumber vitamin C yang baik (WNPG 2004).