ANALISIS TERHADAP PENETAPAN AWAL BULAN...
Transcript of ANALISIS TERHADAP PENETAPAN AWAL BULAN...
ANALISIS TERHADAP PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH MENURUT PERSATUAN
ISLAM
S K R I P S I
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : SUDARMONO NIM : 2103118
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO S E M A R A N G
2008
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH Jalan Raya Boja – Ngaliyan Km. 2 Semarang 50185 Telp (024) 7601291
PENGESAHAN
N a m a : Sudarmono
N I M : 032111118 / 2103118
Fakultas/Jurusan : Syari’ah/al-Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : Analisis Terhadap Penetapan Awal Bulan Qomariyah Menurut
Persatuan Islam
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:
14 Januari 2008
dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi
Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2007/2008 guna memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang 14 Januari 2008
Dewan Penguji
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. H. Eman Sulaiman, M.H. Drs. H. Slamet Hambali
NIP. 150 254 348 NIP. 150 198 821
Penguji I Penguji II
H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. Achmad Arief Budiman, M.Ag.
NIP. 150 290 930 NIP. 150 274 615
Pembimbing I
Drs. H. Slamet Hambali
NIP. 150 198 821
Drs. H. Slamet Hambali Jl. Candi Permata II / No. 180 Semarang Telp. (024) 7604932
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Sudarmono
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara :
N a m a : Sudarmono
N I M : 032111118/2103118
Judul : Analisis Terhadap Penetapan Awal Bulan Qomariyah Menurut
Persatuan Islam
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadikan ma’lum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing
Drs. H. Slamet Hambali
NIP. 150 198 821
M O T T O
يكك في العدمولكنما المولى شر فال تعدد المولى شريكك في الغنى
”Janganlah kamu mengira bahwa yang namanya teman adalah orang yang berteman dengan kamu di saat kaya (bahagia), akan
tetapi teman adalah orang yang berteman dengan kita diwaktu kita tidak punya (susah)”.1
1 Qodhi al-Qudhoh Bahauddin Abdillah, Syarah Ibnu Aqil, Jakarta;Dinamika Berkah
Utama, Juz II, tt., hlm. 576
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk:
Ayah dan Bundaku tercinta, yang telah mengenalkanku akan kehidupan dengan penuh
kasih sayang yang tiada henti.
Kakak dan adikku tersayang (mbak Sry dan dik Cucik Al-munirah, Umi kulsum) serta
keponakanku (Yudi Miftahul Khoir, Laily Sulha Badriyah), seluruh keluargaku yang
tercinta, semoga kalian temukan kebahagian hidup baik bahagia di dunia maupun di
akhirat.
Dan saya persembahkan pula buat seseorang yang tercinta.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Desember 2007 Deklarator
Sudarmono NIM. 2103118
ABSTRAK
Diantara Ormas Islam di Indonesia yang memperhatikan masalah penetapan awal bulan Qomariyah, dan mengeluarkan penetapan selain ketetapan pemerintah adalah Persatuan Islam (PERSIS) seperti yang dilakukan Persis pada tanggal 21 Juni 2007 mengeluarkan surat edaran tentang Gerhana Bulan Total, Awal Ramadhan, ’Iedul Fithri dan ’Iedul Adha 1428 H. Perlu diketahui bahwa dalam masalah penetapan awal bulan Qomariyah , Persis merupakan penganut Mazhab Hisab yang diprakarsai oleh Muhammadiyah, namun ternyata menghasilkan ketetapan yang berbeda. Berangkat dari sinilah penulis mencoba menelaah bagaimana pemikiran atau metode yang digunakan Persis serta dalil hukumnya dalam penetapan awal bulan Qomariyah ini. Penelitian ini bersifat Lapangan (Field Research) dimana data primernya adalah hasil wawancara dengan ketua dan anggota Dewan Hisab Rukyah Persis dan data skundernya adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, hasil wawancara dan makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan metode content analysis (analisis isi) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini adalah metode yang digunakan Persis dalam penetapan awal bulan Qomariyah adalah dengan metode hisab dengan kriteria imkan al-rukyah. Menurut penulis hisab yang digunakan Persis ini termasuk hisab yang modern dan mutakhir karena menggunakan hisab Ephemeris yang sudah diakui keakurasiannya. Dengan kriteria imkan al-rukyah ini maka penetapan Persis dalam awal bulan Qomariyah terutama Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah kemungkinan besar akan aman dari adanya perbedaan dengan isbat pemerintah dan juga dengan mazhab rukyah.
Sedangkan dasar hukum atas penetapan awal bulan Qomariyah menurut persis ini (dengan hisab) sebenarnya tidak jauh beda dengan dasar hukum yang digunakan Pemerintah maupun ormas lain. Yaitu QS. 2;189, 36;39-40, 10;5, 6;96, 9;36, dan hadis-hadis hisab rukyah. Namun menurut hemat penulis dari Al-Qur’an tersebut masih global artinya belum secara langsung menunjukkan bahwa penetapan awal bulan Qomariyah itu dengan hisab, melainkan hanya memberikan pengertian bahwa bulan itu bisa dijadikan dasar untuk mengetahui waktu-waktu, termasuk waktu disini adalah awal bulan Qomariyah seperti awal Ramadhan (waktu untuk memulai puasa) Syawal (waktu untuk mengakhiri puasa Ramadhan dan untuk menjalankan sholat ’Ied) begitu juga Dzulhijjah untuk haji. Kemudian keglobalan Al-Qur’an tersebut di jelaskan dengan hadis nabi yang sudah tidak asing lagi yaitu; shumu lirukyatihi....
Dengan adanya hadis tersebut maka nampak bahwa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an diatas dan yang lebih mendekati kebenaran adalah dengan rukyah, bukan dengan hisab. karena dengan adanya kata fain ghumma kata rukyah dalam hadis diatas seharusnya diartikan dengan melihat dengan mata kepala bukan dengan ilmu (ilmu hisab), karena bila diartikan dengan melihat dengan ilmu (hisab), maka tidak akan pernah ada kata fain ghumma, karena ada dan tidak adanya awan tidak akan pernah berpengaruh dengan hisab.. Sedangkan hadis hisab rukyah tersebut walau dengan redaksi yang berbeda selalu disertai dengan kata fain ghumma atau fain ughbiya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Robbu al-
Alamin atas segala limpahan rahmat, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Terhadap Penetapan Awal Bulan
Qomariyyah Menurut Persatuan Islam, dengan baik tanpa banyak kendala yang
berarti . Shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah
membawa islam dan mengembangkannya hingga sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah
penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan
bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pembantu-pembantu
Dekan, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi
tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini.
2. Drs. H.Slamet Hambali, selaku pembimbing I, atas bimbingan dan pengarahan
yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.
3. Bapak kajur, sekjur, dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.
4. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., atas inspirasi, arahan, bimbingan dan atas pinjaman
buku-buku falak yang penulis butuhkan.
5. KH. M. Abdurrahman KS. (Ketua DHR Persis) atas wawancaranya dan Syarief
Ahmad Hakim (Anggota DHR Persis) atas wawancara baik secara langsung atau
via sms dan semua data dan informasinya yang diberikan kepada penulis.
6. Dr. Thomas Djamaluddin, atas wawancaranya.
7. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian
dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapkan dalam untaian
kata-kata.
8. K.H. Noor Ahmad, SS. Yang telah mengajarkan Ilmu falaknya kepada penulis
ketika penulis Tabarukan di Jepara.
9. H. Ilya Azhari, yang telah mengenalkan kepada penulis tentang ilmu falak ini,
dan telah sudi mengajar ilmu falak ketika penulis di Al-Ma’ruf.
10. Ahmad Syifaul Anam, atas penjelasan dan pengarahannya.
11. Sayful Mujab, atas penjelasan dan rumus-rumusnya, dan yang telah mengajar
ilmu falak kepada penulis ketika penulis tabarukan ilmu falak kepada KH.
Ahmad Noor, SS.
12. Lek Topik, Ismail Khudhori, Fadholi dan segenap temen-temen santri di Daarun
Najaah.
13. R van WD, Faqih, Amoel, Ja’par, vani CS (Funy Band) dan semua temen-
temen yang berada di Fakultas Syari’ah khususnya di Jurusan AS paket ASB
angkatan 2003.
14. Sofi, yang telah meminjamkan buku-bukunya KH. Zubair Umar Jaelany.
15. Semua temen-temen di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, aktivis BEMJ AS, dan temen-temen di Devisi Bulutangkis di
Walisongo Sport Club.
Atas semua kebaikannya, penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah
menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semua
itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, 13 Desember 2007
Penulis,
Sudarmono
NIM. 2103118
D A F T A R I S I HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. iv HALAMAN ABSTRAK .................................................................................. v HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................ viii HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................... x BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah................................................................... 1 B. Permasalahan ................................................................................... 10 C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 10 D. Telaah Pustaka ................................................................................. 11 E. Metode Penulisan ............................................................................. 14 F. Sistematika Penulisa......................................................................... 17
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HISAB RUKYAH
A. Pengertian Hisab Rukyah ............................................................... 18 1. Pengertian Hisab................................................................ 18 2. Pengertian Rukyah............................................................. 22
B. Dasar Hukum Hisab Rukyah .......................................................... 24 1. Dasar Hukum Dari Al-Qur’an ............................................ 24 2. Dasar Hukum Dari Al-Hadis .............................................. 26
C. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Hisab Rukyah di Indonesia 27 D. Metode Hisab Rukyah Di Indonesia............................................... 32
1. Sistem rukyah Bi al-Fi’ly ................................................... 33 2. Sistem Hisab....................................................................... 38
E. Persoalan Seputar Penetapan Awal Bulan Qomariyah di Indonesia ........................................................................................................ 50
F. Yang Berhak Menetapkan Awal Bulan Qomariyah....................... 55 BAB III : METODE HISAB RUKYAH PERSATUAN ISLAM DALAM
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
A. Sejarah Singkat Persis .................................................................... 57 1. Sejarah Kelahiran Persis....................................................... 57 2. Tujuan dan Aktifasi Persis.................................................... 59 3. Kepemimpinan Persis ........................................................... 60 4. Era Baru Persis .................................................................... 61
B. Metode Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah ...................................................................................... 63
C. Dasar Hukum Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah ...................................................................................... 68
1. Dasar Hukum Dari Al-Qur’an .............................................. 68 2. Dasar Hukum Dari Al-Hadis ................................................ 71
BAB IV : ANALISIS METODE HISAB RUKYAH PERSIS DALAM
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
A. Analisis Metode Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah............................................................................ 75
B. Analisis Dasar Hukum Metode Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah................................................. 85
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................... 96 B. Saran-saran ..................................................................................... 98 C. Penutup ........................................................................................... 99
DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam dalam menjalankan
ibadahnya selalu terkait dengan waktu, seperti ibadah shalat, puasa
ramadhan, zakat fitrah, ibadah haji dan lain sebagainya. Untuk
menentukan waktu-waktu tersebut kelihatanya mudah namun ternyata
tidaklah mudah, karena dibutuhkan suatu rumus atau metode tertentu
untuk menentukannya. Dalam hal ini telah dikenal suatu cabang ilmu
pengetahuan dalam kajian Islam yaitu; ilmu hisab atau ilmu falak.1
Dengan ilmu ini, saat-saat masuk dan keluarnya waktu-waktu
shalat dapat diketahui dengan akurat. Begitu pula dalam penentuan awal
bulan Ramadhan sebagai hari pertama kewajiban puasa, penentuan awal
bulan Syawal sebagai hari ‘Idul fithri dan awal bulan Dzulhijjah untuk
ibadah haji yang sering menjadi kontroversi dikalangan umat Islam
Indonesia, peranan ilmu ini menjadi sangat menonjol. Hal ini bukan saja
berlaku bagi pihak-pihak yang mengedepankan hisab dalam penentuan
awal bulan Qomariyyah, namun juga berlaku bagi pihak-pihak yang
mengedepankan rukyah (Penginderaan Langsung) sesuai dengan pedoman
awal yang ditegaskan Nabi Muhammad saw. Sebab bagi pihak yang
1 Ilmu Falak atau Astronomi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukuranya dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Lihat Badan Hisab dan Rukyat Dep. Agama, Almanak hisab rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam;Jakarta, 1981, hlm.14
terakhir ini, tidak mungkin dapat dilaksanakan rukyah yang benar jika
posisi bulan belum diperhitungkan dengan seksama.
Di Indonesia ilmu hisab atau ilmu falak ini semakin berkembang,
dengan ditandai ilmu ini mendapat perhatian dari Departemen Agama
yaitu dengan dibentuknya Badan Hisab Rukyah pada tahun 1972
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama No.76 tahun 1972.2
Walaupun pada awalnya Badan Hisab Rukyah ini dibentuk untuk
mempersatukan perselisihan yang terjadi, namun dengan dibentuknya
Badan Hisab Rukyah ini tentunya dibutuhkan tenaga ahli yang mahir
dalam hisab rukyah ini.
Harus diakui bahwa pada abad ke-17 sampai abad ke-19 pemikiran
hisab di Indonesia tidak bisa lepas dengan pemikiran hisab negara-negara
Islam lain. Bahkan tradisi ini masih terlihat pada awal abad ke-20. hal ini
tercermin dalam kitab Sullamun Nayyirain Karya Muhammad Mansur bin
Abd Hamid bin Muhammad Damiry al-Batawi (1925) yang terpengaruh
oleh sistem Ulugh Bek.3
Pada jaman penjajahan penentuan awal bulan yang berkaitan
dengan persoalan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang
masih ada, namun setelah Indonesia merdeka secara berangsur-angsur
mulai berubah. Dan setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal
2 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia, Studi atas
pemikiran Saaduddin Djambek, Pustaka Pelajar;Yogyakarta;2002, hlm.14, Ulugh Bek adalah ahli astronomi yang lahir di Salatin (1393 M) dan meninggal di Iskandaria (1449 M) dengan observatoriumnya ia berhasil menyusun tabel data astronomis yang banyak digunakan pada perkembangan ilmu falak masa-masa selanjutnya, Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta; Buana Pustaka, 2005, hlm. 117
3 Ibid, hlm.11
3 Januari 1946,4 persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hari libur atau
hari besar termasuk penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah
diserahkan kepada Departemen Agama berdasarkan Penetapan Pemerintah
tahun 1946 No.2/Um,7/Um,9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun
1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971.5
Meskipun penetapan awal bulan Qomariyyah sudah diserahkan
kepada Departemen Agama, namun pada bulan-bulan tertentu yang
berhubungan dengan ibadah seperti awal bulan Ramadhan, Syawal dan
Dzulhijjah masih belum seragam. Bahkan menjadi penyebab perseteruan
dan mengusik ukhuwah diantara sesama muslim, gara-gara melakukan
peribadatan yang tidak sama. Seperti yang terjadi pada tahun
1992,1993,1994,1998, 2002, bahkan baru kemarin tahun 2006 dan 2007
M masyarakat Indonesia juga terjadi perselisihan dalam berhari raya.
Penentuan awal bulan Qomariyah khususnya bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia memang sangat menarik untuk dikaji.
Sejak dahulu telah berkali-kali terjadi perbedaan penetapan, baik antara
pemerintah dengan suatu kelompok masyarakat maupun antar kalangan
masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini yang paling utama disebabkan
karena adanya perbedaan cara yang digunakan dalam menentukan awal
bulan Qomariyah terutama bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul Hijjah.
Satu pihak berpegang pada rukyah sementara pihak lainya berpegang pada
hisab. Tidak kalah menariknya, perbedaan itu disebabkan oleh adanya
4Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, cet. I (Jakarta;Djambatan,1992),hlm. 211
5 Susiknan Azhari, Op.cit,hlm.12
kriteria yang berbeda-beda, baik antara ahli rukyah maupun antara ahli
hisab itu sendiri.
Menurut pengamatan Slamet Hambali perbedaan awal Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah tidak semata-mata karena perbedaan hisab dan
rukyah, akan tetapi lebih banyak disebabkan karena:
1. Perbedaan Sistem Hisab, disatu pihak penggunaan sistem hisab hakiki
taqribi dengan menghasilkan hilal sudah diatas ufuk dan dipihak yang lain
menggunakan sistem hisab hakiki tahqiqi atau kontemporer, dengan
menghasilkan hilal masih dibawah ufuk seperti yang terjadi pada tahun
1992,1993 dan 1994.
2. Perbedaan Sistem Penetapan, walaupun menggunakan sistem hisab yang
sama dengan hasil perhitungan yang sama, tetapi akan menghasilkan
ketetapan yang berbeda, seperti yang terjadi pada Syawal tahun 1998,
Dzulhijjah tahun 2000 dan sebagainya.
3. Ijtima’/Konjungsi matahari dan bulan terjadi sebelum ghurub atau sekitar
waktu dhuhur, seperti yang terjadi pada tahun 1992,1993,1994 dan 1998.6
Memperhatikan keadaan yang beragam tersebut, Departeman
Agama (DEPAG) berusaha memadukan sistem-sistem yang telah
dipergunakan. Departemen Agama berusaha mengembangkan sistem
rukyah yang berpandukan hisab, dan sistem hisab yang berpadukan
rukyah/observasi. Hasilnya, dalam banyak kasus perbedaan tersebut dapat
6 lihat;Slamet Hambali dalam Makalah yang disampaikan pada lokakarya
Imsyakiyyah Ramadhan 1425 H. di IAIN Walisongo Semarang hari Rabu, 15 September 2004, dengan judul; Hisab Hakiki Untuk Awal Ramadhan dan Syawal 1425 H. 2004 M. Menggunakan Sistem Ephemeris, dengan Markaz Pantai Marina Semarang.
berhasil dihilangkan atau setidak-tidaknya terkurangi atau dapat di
minimalisirkan. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus perbedaan
tersebut tidak dapat teratasi.7
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini adalah Departemen
Agama, menggunakan hisab dan imkan al-rukyah atau perhitungan dan
kemungkinan hilal itu bisa dilihat. Jadi hisab tetap dipakai, tetapi karena
secara “hisab” hasil perhitungannya ijtima’ (konjingsi) berkisar -0 derajat
34 menit untuk Merauke dan +0 derajat 31 menit untuk Sabang, juga tidak
mungkin atau sangat sulit dilihat, maka tetap menggunakan rukyah.
Nahdlatul Ulama’ yang dikenal dengan sitem rukyahnya, kenyataannya
tidak bisa meninggalkan hisab. Bahkan mungkin banyak memiliki para
pakar dan ahli hisab. Karena untuk melaksanakan perintah rukyah, para
ulama’ melakukan hisab terlebih dahulu, untuk mengetahui seberapa
tinggi hilal pada saat ijtima’ (konjungsi)8. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw.;
اذا الهالل وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول ذآر قال عنه اهللا رضى هريرة ابى عن
رواه (ثالثين فعدوا عليكم غمى فان افطرو فأ رأيتموه واذا فصوموا رأيتموه
9) مسلم
Artinya: “Dari Abu Hurairoh r.a berkata, nabi menjelaskan tentang hilal, kemudian beliau bersabda;" jika kalian melihatnya maka
7 Dr. Ir. S. Farid Ruskanda, dkk., Rukyah Dengan Teknologi (Upaya mencari
Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal ramadhan dan Syawal, Gema Insani Press;Jakarta, 1994, hlm. 79
8 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual (dari Normatif ke Pemaknaan Sosial), Pustaka Pelajar ; Yogyakarta, Cetakan I, 2004, hlm. 224
9 Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Sohih Muslim, jilid I, Beirut; Dar Al- Fikr, tt hlm. 438
berpuasalah dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Jika kalian ditutupi awan maka hitunglah (bulan sya'ban) tiga puluh hari" (H.R Muslim)
Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah
Departemen Agama menggunakan sistem imkan al-rukyah, maka sudah
semestinya harus diikuti oleh masyarakat termasuk Ormas Islam yang ada
seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan
lain-lain, ini sesuai dengan Qowaid al-Fiqhiyah : “ Hukmul Hakim Ilzam
wayarfaul hilaf” ( Ketetapan Pemerintah itu mengikat dan menghapus
perselisihan)
Kebijakan pemerintah tersebut berdasarkan musyawarah Menteri-
menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut "Imkanur Rukyah" dan
dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender
Resmi Pemerintah yang menyatakan : "Hilal dianggap terlihat dan
keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila
memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)· Ketika matahari terbenam,
ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak
lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau
(2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam
selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria yang diharapkan sebagai
pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang ada nampaknya belum
memenuhi harapan sebab beberapa ormas memang menerima, namun
Ormas yang lain menolak dengan alasan prinsip.10
Penolakan sebagian masyarakat atau ormas bisa dianggap suatu
kewajaran karena pada era Orde Baru pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama terlihat tidak konsisten dalam dasar penetapan awal –
akhir Ramadhan. Ini nampak sekali ketika kebijakan pemerintah dalam
masalah ini selalu mengandung unsur kepentingan politik pemerintah. Jika
Menteri Agamanya dari kalangan Nahdlatul Ulama, maka dasar
penetapanya memakai rukyah (melihat hilal) dan jika Menteri Agamanya
dari kalangan Muhammadiyah, maka dasar penetapannya memakai hisab.
Dari sinilah kiranya yang menjadi penyebab kekurangpercayaan sebagian
kelompok masyarakat terhadap ketentuan atau ketetapan pemerintah
sebagai ulil amri yang semestinya ditaati. Sehingga muncul adanya
ketetapan awal-akhir Ramadhan dari ormas-ormas secara individu dengan
bahasa hanya sekedar instruksi maupun ikhbar.11
Seperti yang terjadi pada tahun 2006, Majelis Ulama Indonesia
menggunakan kombinasi hisab dan rukyah untuk penentuan hilal,
Nahdlatul Ulama NU menggunakan metode rukyah, sementara
Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) menggunakan hisab sebagai
sandaran penentuan hilal. Karena Perbedaan metode yang dipakai ini
menyebabkan adanya perbedaan hasil penetapan kapan awal dan
10 www.mutoha.blogspot.com/2006/09/hilal-ramadhan.html 11 Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukah Praktis dan Solusi
Permasalahannya), Komala Grafika;Semarang, 2006, hlm. 114 - 115
berakhirnya Ramadhan sebagaimana sempat terjadi pada tahun 1998 M/
1418 H. Muhammadiyah sendiri menetapkan tanggal 1 Syawal 1427 H
jatuh pada hari Senin tanggal 23 Oktober 2006, sedangkan MUI yang
mewakili pemerintah dan NU yang mempunyai pengikut terbesar di
Indonesia pada waktu itu belum menentukan kapan jatuhnya tanggal 1
Syawal 1427 H.12
Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) menetapkan Idul Fitri
1427 Hijriah jatuh pada Selasa, 24 Oktober. Hal itu didasarkan pada
pehitungan Dewan Hisab dan Rukyat yang menyatakan kondisi hilal
(tanda pergantian bulan) bisa dilihat bila tinggi hilal mencapai 2 derajat.
'Berdasar pada perhitungan Dewan Hisab dan Rukyat, Persis menetapkan
Idul Fitri jatuh pada hari Selasa, 24 Oktober 2006. Alasannya, ijtimak
akhir Ramadan terjadi pada hari Ahad pukul 12.14 WIB, tinggi hilal waktu
magrib di Pelabuhan Ratu 0 derajat 45 menit 25 detik. Kondisi ini
termasuk 'adamu imkan al rukyat.' Hilal sudah wujud di sebagian wilayah
Indonesia dengan kondisi tidak mungkin di rukyat. Kondisi ini dinilai
ghumma (terhalang) oleh Drs. H. Dody S Truna M.A, Sekretaris Umum
Pimpinan Pusat Persis.13
Penyebab terhalangnya hilal, kata Dody, bisa karena awan, hujan,
atau karena tinggi hilal belum mencapai 2 derajat. Keputusan yang
dikeluarkan Persis juga didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang
12 www.alexbudiyanto.web.id 13 www.indomedia.com/tribunjabar
diriwayatkan oleh Imam Muslim. Disebutkan, Rasulullah Saw
menjelaskan bahwa hitungan bulan itu ada 29 hari atau 30 hari. Lalu
dalam Hadis itu, Nabi memerintahkan umat Islam untuk berpuasa bila
melihat hilal, dan ber Idul fitri jika melihat hilal jug, jika hilal terhalang
maka perkirakanlah umur bulan itu 30 hari. Lanjut Dody, Persis tidak akan
melakukan rukyah, tapi mempercayakan kepada pihak lain, yaitu
pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Agama. Rukyah
dilakukan untuk memastikan wujudnya hilal. Atas keputusan itu Pusat
Persis mengintruksikan kepada seluruh pimpinan wilayah, pimpinan
daerah, pimpinan cabang Persis untuk melaksanakan Idul Fitri 1427 H
pada hari selasa, 24 Oktober 2006. Berbeda dengan Persis, PBNU tidak
mengumumkan hari raya Idul Fitri 1427 H sebelum melakukan rukyah,
artinya hari lebaran versi NU diumumkan setelah proses rukyah
dilaksanakan. Kalau bulan sabit pertama dapat dilihat, berarti Idul Fitri
jatuh pada hari senin, namun jika tidak dapat dilihat maka jatuh pada hari
selasa, begitu kata Ketua Lajnah Falakiah PBNU KH. Ghozalie Masroeri
saat berbincang dengan detikcom.14
Berdasarkan persoalan diatas, disamping implikasi perbedaan
penetapan terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam
khususnya, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji atas pemikiran
Persatuan Islam (Persis) dalam penetapan awal bulan Qomariyyah,
14 Ibid.
khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang rawan akan
adanya perbedaan.
B. PERMASALAHAN
Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas, dan
untuk membatasi agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar,
maka dapat dikemukakan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode serta kriteria hisab yang dipakai oleh Persatuan
Islam (Persis) dalam menentukan awal bulan Qomariyah?
2. Apa dasar hukum yang dipakai oleh Persatuan Islam (Persis) dalam
penetapan awal bulan Qomariyah?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode serta kriteria hisab yang digunakan oleh
Persatuan Islam (Persis) dalam menentukan awal bulan Qomariyah
2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh Persatuan Islam
(Persis) dalam menentukan awal bulan Qomariyah
D. TELAAH PUSTAKA
Sejauh penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang secara
kusus dan mendetail membahas tentang Analisis Terhadap Penetapan
Awal Bulan Qomariyah Menurut Persatuan Islam. Namun demikian
terdapat beberapa tulisan yang berhubungan dengan yang tersebut diatas.
Diantara tulisan-tulisan tersebut adalah Fiqh Hisab Rukyah
Indonesia (Sebuah Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab
Hisab) karya Ahmad Izzuddin15. Yang mana didalamnya diuraikan;
diantaranya mengapa perbedaan itu bisa terjadi, yang melatar belakangi
perbedaan itu dan juga solusi alternatif atas perbedaan itu. Kemudian Ilmu
Falak (Dalam Teori dan Praktek) karya Muhyiddin Khazin,16 yang
menjelaskan diantaranya; bagaimana menentukan awal bulan Hijriyyah
baik dengan hisab maupun rukyah dan langkah perhitungannya serta dalil
yang mendasarinya. Kemudian Almanak Hisab Rukyat karya Badan Hisab
dan Rukyah Departemen Agama17
Kemudian Rukyah dengan Teknologi (upaya mencari kesamaan
pandangan tentang penentuan awal ramadhan dan syawal) dengan kata
pengantar Burhanuddin Jusuf habibie merupakan rangkaian beberapa
makalah dari berbagai kalangan , ada beberapa pemakalah diantaranya
15 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia ( Upaya Penyatuan
Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab) Yogyakarta; Logung pustaka,, cet. I, 2003 16 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam teori dan Praktik, Yogyakarta; Buana
Pustaka, Cet. I, 2004 17 Badan Hisab dan Rukyah, Al-manak Hisab Rukyah, Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam; Jakarta, 1981
Darsa Sukarta diredja (Planetarium Jakarta), KH. Ma’ruf Amin (PBNU)
dan Wahyu Widiana karya Dr. Ir. S. Farid Ruskanda, M.Sc. APU, dkk.
Penelitian Ahmad Izzuddin, tentang Pemikiran Hisab Rukyah
Abdul Djalil (Studi Atas Kitab Fath al-Rauf al-Mannan)18 yang mengupas
tentang pemikiran hisab rukyah Abu Hamdan Abdul Djalil bin Abdul
hamid Kudus serta dalil hukumnya yang terdapat dalam kitab Fath al-Rauf
al-Mannan.
Kemudian penelitian Ahmad Izzuddin Fiqh Hisab Rukyah
Kejawen (Studi Atas Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun
golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah)19. Dalam penelitian ini di
bahas pemikiran hisab rukyah masyarakat dusun Golak Desa Kenteng
Ambarawa Ungaran, serta alasan kenapa di masyarakat ini dalam
menetapkan Poso dan Rioyo masih menggunakan hisab kejawen prinsip
Aboge.
Penelitian Ahmad Izzuddin dengan judul Melacak Pemikiran
Hisab Rukyah Tradisional (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas
Manshur al-Batawi),20 dalam penelitian ini di bahas bagaimana pemikiran
hisab rukyah Muhammad Mas Manshur al-Batawi, serta penilaian
18 Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi Atas Kitab
Fath al-Rauf al-Mannan) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang,2005. tp. 19 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen (Studi Atas Penentuan Poso
dan Riyoyo Masyarakat Dusun golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2006, tp.
20 Ahmad Izzuddin, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2004, tp.
terhadap pemikirannya Muhammad mas Manshur al-Batawi dalam sejarah
pemikiran hisab rukyah di Indonesia.
Penelitian Drs. H. Slamet Hambali tentang Melacak Metode
Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan Keraton Yogyakarta,21 yang
menjelaskan bagaimana metode keraton Yogyakarta dalam penetapan
berpuasa dan berhari raya. Serta faktor-faktor yang terkait dengan metode
tersebut sehingga kalangan kraton Yogyakarta yakin benar dengan cara
tersebut walaupun sering berbeda dengan penentuan pemerintah.
Skripsi M. Taufiq Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan
Qomariyyah Menurut Muhammadiyah Dalam Perspektif Hisab Rukyah Di
Indonesia22 yang menerangkan metode yang dipakai oleh muhammadiyah
dalam menentukan awal bulan Qomariyyah, kaitanya dengan hukum Islam
yang ada, juga skripsi A.Syifa'ul Anam Studi Tentang Hisab Awal Bulan
Qomariyyah Dalam Kitab Khulasoh Al Wafiyyah dengan Metode Haqiqi
Bit Tahqiq23 yang menerangkan bagaimana hisab awal Bulan Qomariyyah
dengan metode kitab Khulasoh al Wafiyyah serta menjelaskan kelebihan
dan kekurangan metode yang terdapat dalam kitab tersebut.
Untuk mengetahui istilah-istilah yang terkait dengan persoalan
hisab, rukyah, penulis menelusurinya dalam Kamus Ilmu Falak karya
21 Slamet Hambali, Melacak Metode Penentuan Poso &Riyoyo Kalangan
Keraton Yogyakarta, Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2003,tp. 22 M. Taufiq, Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Qomariyyah Menurut
Muhammadiyah Dalam Perspektif Hisab Rukyah Di Indonesia, Skripsi Sarjana Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, 2006, t.d
23 A. Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyyah Dalam Kitab Khulasoh Al Wafiyyah dengan Metode Haqiqi Bi Tahqiq, Skripsi Sarjana Fakulta Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, 2001, t.d
Muhyiddin Khazin24, serta Ensiklopedi Hisab Rukyah karya Susiknan
Azhari.25
Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan-
kumpulan materi pelatihan hisab rukyah, baik yang penulis ikuti sendiri
maupun dari sumber yang terkait.
Dalam kajian pustaka tersebut menurut penulis belum ada tulisan
yang membahas secara spesifik tentang "Analisis Terhadap Penetapan
Awal Bulan Qomariyah Menurut Persatuan Islam (Persis)".
E. METODE PENULISAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif karena teknis
penekanannya lebih menggunakan pada kajian teks. Dan tergolong
penelitian lapangan (field Research).26 Penelitian ini merupakan
penyelidikan mendalam (indeth Study) mengenai suatu unit sosial
sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang
terorganisasikan dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial
tersebut. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui gambaran tentang
metode yang digunakan Persis dalam penetapan awal bulan
Qomariyah terutama Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
24 Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta; Buana Pustaka, 2005 25 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, yogyakarta; Pustaka Pelajar,
2005 26 Tujuan penelitian lapangan adalah mempelajari secara intensif latar belakang,
status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas. Lihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,Cet. I, 1998, hlm.8
2. Sumber data
Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai
data primer dan data skunder. Data primer, atau data tangan pertama
adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian (yang
dalam hal ini adalah Dewan Hisab Rukyah Persatuan Islam)27.
Sedangkan data skunder atau data tangan kedua adalah data yang
diperoleh lewat fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subjek penelitiannya28. Data skunder ini akan penulis dapatkan melalui
wawancara maupun dari dokumentasi, karena data skunder memang
biasanya berwujud dokumentasi. Yaitu berupa Buku-buku yang
membahas tentang hisab rukyah, Buku-buku yang menjelaskan tentang
Persatuan Islam (Persis) kitab-kitab Fiqh yang membahas hisab
rukyah, kamus, ensiklopedi dan buku yang berkaitan dengan penelitian
ini sebagai tambahan atau pelengkap.
3. Metode Pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam skripsi ini,
dalam hal mendapatkan data primer penulis menggunakan metode
wawancara, yaitu penulis melakukan wawancara dengan orang Persis
yang dalam hal ini adalah Ketua Dewan Hisab Rukyah dan untuk
memperoleh data skunder penulis juga menggunakan metode
27 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta;Pustaka Pelajar, Cet IV,
2004, hlm. 91 28 Ibid.
wawancara, dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan orang
yang bukan dari ormas persis namun ia tahu betul tentang pemikiran
Persis tentang penetapan bulan Qomariyah yaitu penulis melakukan
wawancara dengan Bpk. Thomas Djamaluddin dari LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional). Serta menggunakan metode
dokumentasi29 yaitu penulis mengumpulkan buku-buku atau tulisan
yang membicarakan tentang hisab rukyah, khususnya masalah
penetapan awal bulan Qomariyyah, serta buku-buku atau tulisan yang
menjelaskan Persatuan Islam (Persis) Khususnya Pemikiran Persis
dalam penetapan awal bulan Qomariyah.
4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian penulis menganalisisnya
dengan Metode Kualitatif30, hal ini penulis lakukan karena data yang
didapatkan dengan pendekatan kualitatif. Yaitu dengan cara analisis
isi, yang mana penulis akan menganilisis pemikirannya Persis dalam
penetapan awal bulan Qomariyah yang penulis dapatkan dari hasil
wawancara dengan Ketua Dewan Hisab Rukyah Persatuan Islam
tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Hal
29 Yaitu; mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Lihat dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta; Penerbit Rineka Cipta, 2002, hal. 206
30 Analisa Kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisa dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenis itu. Lihat dalam Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta;PT Radja Grafindo Persada, 1995, hal 95.
ini penulis lakukan untuk menguji apakah pemikiran Persis dalam
penetapan awal bulan Qomariyah ini dapat dijadikan pedoman dalam
menetapkan bulan Qomariyah khususnya bulan Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah yang rawan dengan adanya perselisihan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab,
dimana dalam setiap bab terdapat sub-sub pembahasan, Yaitu:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar Belakang Masalah, Permasalahan,
Tujuan Penulisan, Elaah Pustaka, Metode Penulisan Dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Hisab Rukyah
Bab ini meliputi Pengertian Umum Hisab Rukyah, Dasar
Hukum Hisab Rukyah, Sejarah Dan Perkembangan
Pemikiran Hisab Rukyah Di Indonesia, Metode Hisab
Rukyah Di Indonesia Persoalan Seputar Penetapan Awal
Bulan Qomariyah, Serta Siapa Yang Berhak Menetapkan.
BAB III : Metode Hisab Rukyah Persatuan Islam (Persis)
Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah
Bab ini meliputi tentang sekilas tentang Persatuan Islam
(Persis), Metode Hisab Rukyah Persatuan Islam (Persis)
Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah, Dasar Hukum
Hisab Rukyah Persatuan Islam ( Persis ) Dalam Penetapan
Awal Bulan Qomariyah.
BAB IV : Analisis Metode Hisab Rukyah Persatuan Islam
(Persis) Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah
Dalam bab ini merupakan pokok daripada pembahasan
penulisan skripsi ini yakni meliputi; Analisis Metode
Hisab Rukyah Persatuan Islam (Persis) Dalam Penetapan
Awal Bulan Qomariyah, Serta Analisis Atas Dasar
Hukum Metode Hisab Rukyah Persatuan Islam (Persis)
Dalam Penetapan Awal Bulan Qomariyah.
BAB V : Penutup
Meliputi Kesimpulan, Saran-Saran Dan Penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HISAB RUKYAH
A. Pengertian Hisab Rukyah
1. Pengertian Hisab
Kata hisab adalah berasal dari bahasa arab حسب,يحسب,حسابا
yang berarti menghitung, kalau ilmu hisab berarti ilmu menghitung.1
yang dalam bahasa inggrisnya sering disebut dengan "Arithmatic"
yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk
perhitungan. Dalam Al-Qur'an disebutkan :
⌧
⌧
Artinya : " Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas segala sesuatu ( QS al-Nisa':86)2
☺ ☺
Artinya: " Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan. (Ar Rahman; 5)3
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya;
Pustaka Progresif, 1997, hlm. 261-262 2 Departeman Agama RI, Al Qur'an dan terjemahannya, Bandung; CV Penerbit
Jumanatul Ali-ART, 2005, hlm. 91 3 Ibid. hlm. 531
Dikalangan umat Islam ilmu falak dan ilmu faraidl dikenal
dengan ilmu hisab, karena kegiatan yang menonjol dalam keduanya
adalah menghitung. Namun di Indonesia ketika disebutkan ilmu hisab
maka yang dimaksud adalah ilmu falak.4
Secara bahasa (etimologi), Falak artinya orbit atau lintasan
benda-benda langit, dalam al-Qur'an di sebutkan kata falak ini
sebanyak dua kali yang masing-masing ayat tersebut mengartikanya
sebagai "garis edar" atau 'orbit' ;
☺ ⌧
☺
Artinya :"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S Yasin:40)5
☺ ☺
Artinya :"Dan dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Q.S al-Anbiya':33)6
Sehingga ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan
benda-benda langit, khususnya bumi, bulan dan matahari, pada
4 Badan Hisab dan Rukyah Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta;
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Islam, 1981 hlm. 14 5 Depag RI, Op. Cit. hlm. 442 6 Ibid. hlm. 324
orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda-
benda langit antara satu dengan yang lainnya, agar dapat diketahui
waktu-waktu di permukaan bumi ini.7 Itupun terbatas hanya pada
posisinya saja sebagai akibat dari gerakannya (Astromekanika). Hal ini
disebabkan karena perintah-perintah ibadah yang waktu dan cara
pelaksanaannya melibatkan benda langit, kesemuanya itu berhubungan
dengan posisi.
Pengertian di atas sejalan dengan yang di definisikan oleh
Susiknan Azhari yaitu " Ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan
benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan
benda-benda langit lainnya, dengan tujuan untuk mengetahui posisi
dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda
langit yang lain". Dalam lieratur-literatur klasik ilmu falak biasa
disebut dengan Ilmu al-Hai'ah, Ilmu Hisab, Ilmu rosd, Ilmu Miqat dan
Astronomi.8
Ilmu falak atau ilmu hisab pada garis besarnya ada dua macam
yaitu 'ilmiy dan 'amaliy. Ilmu falak 'ilmiy yaitu ilmu yang membahas
teori dan konsep benda-benda langit, sedangkan ilmu falak 'amaliy
adalah ilmu yang melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi dan
kedudukan benda-benda langit antara satu dengan yang lainnya. Ilmu
7 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta; Buana
Pustaka, 2004, cetakan I, hlm. 3 8 Susuiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta;Pustaka Pelajar,
Cetakan I, 2005, hlm.55
falak 'amaliy inilah yang oleh masyarakat umum dikenal dengan Ilmu
Falak atau Ilmu Hisab.9
Menurut Ahmad Izzuddin idealnya dalam penamaan Ilmu
Falak ini ditinjau dari "kerja ilmiyah"nya, yaitu disebut Ilmu Hisab
Rukyah, tidak disebut ilmu hisab (saja), karena pada dasarnya ilmu ini
menggunakan dua pendekatan kerja ilmiahnya dalam mengetahui
waktu-waktu ibadah dan posisi benda-benda langit, yakni pendekatan
hisab (perhitungan) dan pendekatan rukyah (observasi) benda-benda
langit.10
2. Pengertian Rukyah
Kata rukyah secara harfiyah diartikan melihat. Sedangkan arti
yang umum adalah melihat dengan mata kepala. Secara istilah, rukyah
adalah melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam
menjelang awal bulan Qomariyah dengan mata atau teleskop. Dalam
astronomi dikenal dengan Observasi.11
Arti Rukyah secara istilah, Kaitanya dalam penentuan awal
bulan Qomariyah mengalami berbagai perkembangan sesuai dengan
fungsi dan kepentingan penggunaannya.
Semula, pengertian rukyah adalah melihat hilal pada saat
matahari terbenam pada akhir bulan Sya’ban atau Ramadhan dalam
rangka menentukan awal bulan Qomariyah berikutnya. Jika pada saat
9 Muhyiddin Khazin, Op. Cit, hlm. 4 10 Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan
solusi Permasalahannya), Semarang; Komala Grafika, 2006, hlm. 1 11 Susiknan Azhari, Op. Cit. hlm. 130
matahari terbenam tersebut hilal dapat dilihat maka malam itu dan
keesokan harinya merupakan tanggal satu bulan baru, sedangkan jika
hilal tidak tampak maka malam itu dan keesokan harinya merupakan
tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung, atau dengan kata lain di
istikmalkan (disempurnakan) menjadi tiga puluh hari.12
Dalam perkembangan selanjutnya, “melihat hilal” tersebut
tidak hanya dilakukan pada akhir Sya’ban dan Ramadhan saja, namun
juga pada bulan-bulan lainnya terutama menjelang awal-awal bulan
yang ada kaitanya dengan waktu pelaksanaan ibadah atau hari-hari
besar Islam. Bahkan untuk kepentingan pengecekan hasil hisab.13
Jika kita lihat dari segi sarana yang dipergunakan semula
pelaksanaan rukyah hanya dilakukan dengan mata telanjang, tanpa
alat, dan hanya melihat kearah ufuk bagian barat, tidak tertuju pada
posisi tertentu. Dari keadaan seperti ini timbul istilah rukyah bil’aini
atau rukyah bilfi’li. Namun setelah kebudayaan manusia semakin
maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara berangsur dilengkapi
dengan sarana serta berkembang terus menuju kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan teknologi.
Begitu juga cara pelaksanaan rukyahpun tidak hanya sekedar
melihat keatas ufuk bagian barat, hal ini sebagai akibat ketidak tahuan
Ilmu Astronomi dan Ilmu Hisab. Namun setelah kedua ilmu ini dapat
12 Depag RI, Pedoman Tehnik Rukyah,Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam;1994/1995, hlm. 1
13 Ibid, hlm. 2
dikuasai, maka pelaksanaan rukyahpun dapat dilakukan dengan lebih
baik, sipelaksana dapat mengarahkan alatnya pada posisi dimana
diperkirakan hilal berada.
Rukyah merupakan metode ilmiyah yang klasik dan besar
manfaatnya. Galileo Galilei, besar jasanya dalam memajukan ilmu
pengetahuan setelah ia menemukan metode observasi sebagai metode
ilmiyah yang paling efektif. Namun jauh sebelum itu Nabi Muhammad
Saw. Telah mengumandangkan : "berpuasalah kamu dengan melihat
hilal,….jangan berpuasa sebelum melihat hilal…" dari segi ilmu
pengetahuan hadis tersebut mendorong kita untuk lebih banyak
melakukan observasi (melihat). Dengan metode "melihat" dari jarak
jauh, ahli astronomi dapat menentukan susunan rasi atau suatu tata
surya, mereka dapat mengukur besarnya bintang-bintang, mengukur
jarak, bahkan dapat mengukur berat benda langit dengan kesalahan
yang relatif kecil. Betapa penting dan bermanfaatnya metode ini.14
B. Dasar Hukum Hisab Rukyah
Adapun dasar hukum dari hisab rukyah antara lain:
1. Dasar hukum dari al-Qur'an antara lain:
14 Depag, Op. Cit. hlm 19
Artinya : " Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…" (Q.S. al-Baqarah : 189)15
☺ ☺
Artinya : " Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan"
( Q.S. al-Rahman : 5)16
☺
Artinya : " Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua
belas bulan dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi.." (Q.S al-Taubat : 36)17
☺ ☺
Artinya : " Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari
dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis peredaranya". (Q.S al-Anbiya' : 33)18
15Depag RI, Op. Cit. hlm. 29 16 Ibid. hlm. 531 17 Ibid. hlm. 192 18 Ibid. hlm. 324
☺
☺ Artinya : " Barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu. Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". (Q.S al-Baqarah ; 185)19
☺
Artinya : " Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (peninjuk jalan). Dan
dengan bintang-bintang inilah mereka mendapat petunjuk". (Q.S al-Nahl : 16)20
☯ ☺ ☯ ☺
☺
Artinya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)21
2. Dasar hukum dari hadis antara lain
a. Hadits Riwayat Muslim dari Ibn Umar
لم انما عن ابن عمر رضي اهللا عنهما قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وس
الشهر تسع وعشرون فال تصوموا حتى تروه وال تفطروا حتى تروه فان غم
22 )رواه مسلم(عليكم فاقدروا له
19 Ibid. hlm. 28 20 Ibid. hlm. 269 21 Ibid, hlm. 208 22 Abu Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, jilid I, Beirut;Dar al Fikr,
tt, hlm 481
Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup awal maka perkirakanlah. (HR. Muslim)
b. Hadis riwayat Bukhari
اهللا صلى النبي عن عنهما اهللا رضي عمر ابن سمع انه عمرو بن دسعي حدثنا
مرة يعني وهكذا هكذا الشهر والنحسب النكتب امية امة انا قال انه وسلم عليه
23)البخارى رواه( ثالثين مرة و وعشرون تسعة
Artinya : “ Dari Sa’id bin Amr bahwasanya dia mendengar Ibnu Umar ra daru Nabi saw beliau bersabda : sungguh bahwa kami adalah umat yang ummi tidak mampu menulis dan menghitung umur bulan adalah sekian dan sekian yaitu kadang 29 hari dan kadang 30 hari (HR. Bukhari)
c. Hadis riwayat Bukhari
عليه اهللا صلى اهللا رسول ان عنهما اهللا رضي عمر بن اهللا عبد عن نافع عن
فان تروه حتى تفطروا وال الهالل تروا حتى تصوم ال : فقال رمضان ذآر وسلم
24)البخارى رواه( فاقدرواله عليكم غم
Artinya :” Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasannya Rosulallah saw menjelaskan bulan ramadhan kemudian belia bersabda: janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuka hingga kamu melihatnya, jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR. Bukhari)
C. Sejarah Dan Perkembangan Pemikiran Hisab Rukyah Di
Indonesia
23 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, Beirut; Dar al Fikr,
tt, hlm. 34 24 Ibid, hlm 35
Berbicara mengenai sejarah dan perkembangan pemikiran
hisab rukyah yang berkembang di Indonesia ini, tentunya tidak lepas
dari sejarah Islam itu sendiri di Indonesia, karena hisab rukyah
merupakan suatu fan ilmu yang erat kaitanya dengan Islam itu sendiri
terutama dalam hal ibadah-ibadah yang mempunyai waktu tersendiri.
Dalam sejarah Islam di Indonesia sendiri terdapat dua periode
yang mendapat perhatian khusus, yaitu periode masuknya Islam di
Indonesia dan periode reformisme pada abad ke-20.25
Sejak jaman kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia,
umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran hisab, dimana para raja
menggunakan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi. Namun
setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pergeseran
penggunaan kalender resmi pemerintahan. Semula kalender Hijriyah
di ubah menjadi kalender Masehi (Miladiyyah).26 Meskipun demikian,
umat Islam tetap menggunakan kalender hijriyah, terutama di daerah-
daerah kerajaan Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh Pemerintah
Kolonial bahkan penetapannya diserahkan kepada penguasa kerajaan-
kerajaan Islam yang masih ada, terutama penetapan terhadap hari-hari
yang ada hubungannya dengan persoalan peribadatan, seperti tanggal
1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.
25 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia,(Studi Analisis
Pemikiran Saadoe'ddin Djambek), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2002, hlm. 9 26 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab rukyah Di Indonesia (Upaya Penyatuan Mazhab
rukyah dengan Mazhab Hisab), Jogjakarta; Logung Pustaka, Cet. I, 2003, hlm. 48
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa pada masa penjajahan
persoalan penentuan awal-awal bulan yang berkaitan dengan
peribadatan diserahkan kepada kerajaan-kerajaan Islam yang masih
ada. Lalu setelah indonesia memploklamirkan kemerdekaanya, secara
berangsur-angsur mulai diadakan perubahan, dan setelah terbentuknya
Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946, persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan hari libur (termasuk penetapan 1 Ramadhan, 1
Syawal dan 10 Dzulhijjah) diserahkan kepada Departemen Agama
berdasarkan penetapan pemerintah tahun 1946 No. 2/Um, 7/um,9/Um
jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan
No. 10 tahun 1971.27
Meskipun penetapan hari libur telah diserahkan kepada
Departemen Agama, tetapi pada wilayah etis-praktis sampai saat ini
masih belum seragam, terutama dalam menentukan 1 Ramadhan, 1
Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Bahkan perbedaan itu menjadi penyebab
perseteruan (tidak saling menyapa) dan mengusik ukhuwah di antara
sesama muslim, khususnya di Indonesia, hanya gara-gara melakukan
suatu peribadatan tidak sama.28
Namun dengan semakin canggihnya teknologi dan ilmu
pengetahuan maka wacana hisab rukyah pun mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Data bulan dan matahari menjadi
semakin akurat dengan adanya sistem Ephemeris, Almanak Nautika
27 Susiknan Azhari, Op. Cit. hlm. 12 28 Ibid
dan sebagainya yang menyajikan data perjam. Sehingga akurasi
perhitungan bisa semakin tepat. Dan sampai sekarang, hasanah
(kitab-kitab) hisab di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak
apalagi banyak pakar hisab sekarang yang menerbitkan
(menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab
yang sudah lama ada di masyarakat di samping adanya
kecanggihan teknologi yang dikembangkan oleh para pakar
astronomi dalam mengolah data-data kontemporer berkaitan
dengan hisab rukyah.
Melihat fenomena tersebut pemerintah mendirikan Badan
Hisab Rukyah yang berada di bawah naungan Departemen
Agama. Pada dasarnya kehadiran Badan Hisab Rukyah untuk
menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam
beribadah. Hanya saja dalam dataran realistis dan etika praktis,
masih belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
seringkali terjadi perbedaan berpuasa Ramadhan maupun
berhari raya Idul Fitri.
Seingga Ketua Badan Hisab Rukyah yang pertama yaitu
Sa’aduddin Djambek, sambil melakukan ibadah haji mengadakan
peninjauan di Saudi Arabia untuk mengetahui bagaiman
pelaksanaan penetapan tangal satu bulan Qomariyah.29
29 Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Op.Cit hlm. 27
Selanjutnya melakukan kunjungan-kunjungan ke Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh untuk
menemui ahli-ahli hisab setempat. Kemudian pada tanggal 5 s/d 6
Juli 1974 Ditjen Bimas Islam menyelenggarakan musyawarah
Badan Hisab Rukyah Departemen Agama.30
Sebagai usaha meminimalisir perbedaan juga dilaksanakan
Musyawarah Ulama’ ahli hisab dan ormas Islam tentang Kriteria
Imkan al-rukyah di Indonesia pada tanggal 24-26 Maret 1998,
kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Imkan al-rukyah
antara Pimpinan Ormas Islm, MUI, dan Pemerintah , pada hari
Senin 28 September 1998 di Jakarta, yang memutuskan :
Menetapkan :
1. Penentuan awal bulan Qomariyah didasarkan pada Sistem
Hisab Hakiki Tahkiki dan atau Rukyah.
2. Penentuan awal bulan Qomariyah yang terkait dengan
pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal Ramadhan, Syawal
dan Dzul Hijjah di tetapkan dengan mempertimbangkan hisab
hakiki tahkiki dan rukyah.
3. kesaksian rukyah dapat diterima apabila ketinggian hilal 2
derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam.
30 Ibid
4. Kesaksian hilal dapat diterima, apabila ketinggian hilal
kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditetapkan
berdasarkan istikmal.
5. Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat
ditetapkan.
6. Kriteria Imkan al-rukyah tersebut di atas akan dilakukan
penelitian lebih lanjut.
7. menghimbau kepada seluruh pimpinan Ormas Islam
mensosialisasikan keputusan ini.
8. Dalam pelaksanaan itsbat, pemerintah mendengar pendapat-
pendapat dari Ormas-ormas Islam dan para ahli.31
D. Metode Hisab Rukyah di Indonesia
Bagi umat Islam, penentuan awal bulan Qomariyah adalah
merupakan satu hal yang sangat penting dan sangat diperlukan
ketepatanya, sebab pelaksanaan ibadah dalam ajaran Islam
banyak yang dikaitkan dengan sistem penanggalan ini.
Sejak jaman Nabi sampi sekarang, umat Islam telah
menentukan awal bulan Qomariyah serta telah mengalami
berbagai perkembangan dalam caranya. Perkembangan ini terjadi
disebabkan timbulnya bermacam-macam penafsiran terhadap
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi serta juga disebabkan
31 Depag RI, Jurnal Hisab Rukyat, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam :Jakarta, 1999/2000, hlm. 79-85.
kemajuan Ilmu Pengetahuan, terutama yang ada hubungannya
dengan penetapan awal bulan Qomariyah.
Pada garis besarnya ada 2 macam sistem penentuan awal
bulan Qomariyah, Yaitu sistem Rukyah Bilfi’li dan sistem
Hisab.32
1. Sistem Rukyah bilfi’li
Rukyah bilfi’li yaitu usaha melihat hilal dengan mata
telanjang pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan
Qomariyah. Kalau hilal terlihat maka malam itu dan keesokan
harinya ditetapkan sebagai tanggal satu bulan baru.
Sedangkan bila hilal tidak berhasil dilihat, maka tanggal satu
bulan baru ditetapkan jatuh pada malam hari berikutnya,
bilangan hari dari bulan yang sedang berlangsung digenapkan
menjadi 30 hari (diistikmalkan).33
Rukyah bilfi’li ini adalah sistem penentuan awal bulan
Qomariyah yang dilakukan pada masa Nabi dan Sahabat,
bahkan sampai sekarangpun masih ada umat Islam yang
melakukannya, terutama dalam menentukan awal dan akhir
Ramadhan. Setelah kebudayaan manusia semakin maju, maka
pelaksanaan rukyahpun secara berangsur dilengkapi dengan
32 Depag, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah Dengan Ilmu Ukur
Bola: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum Dan Peradilan Agama;Jakarta,tt, hlm. 5
33 Ibid
sarana serta berkembang terus menuju kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan teknologi yang diterimanya.
2. Sistem Hisab
Sistem hisab adalah penentuan awal bulan Qomariyah
yang didasarkan kepada perhitungan peredaran bulan
mengelilingi bumi. Sistem ini dapat menetapkan awal bulan
jauh sebelumnya, sebab tidak tergantung kepada terlihatnya
hilal pada saat matahari terbenam menjelang masuknya
tanggal satu. Walaupun sistem ini diperselisihkan kebolehan
penggunaannya dalam menetapkan awal bulan yang ada
kaitanya dengan pelaksanaan ibadah (awal dan akhir
Ramadhan), namun sistem ini adalah muthlak diperlukan
dalam menetapkan awal-awal bulan untuk kepentingan
penyusunan kalender.34
Ada 2 jenis sitem hisab yang dipergunakan dalam
menentukan awal bulan Qomariyah, yaitu Hisab Urfi dan
Hisab Hakiki.
a. Hisab Urfi.
Hisab Urfi adalah sistem perhitungan penanggalan
yang didasarkan kepada peredaran rata-rata bulan
mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Lama
hari dalam tiap bulanya menurut sitem ini mempunyai aturan
34 Ibid
yang tetap dan beraturan. Yaitu untuk bulan Muharram 30
hari, Shafar 29 hari,35 Rabi’ul awal 30 hari dan seterusnya
secara bergantian. Kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 11
kali dalam setiap 30 tahun (daur tahun Hijriyah), bulan Dzul
Hijjah dihitung 30 hari.36
Sistem hisab ini tidak dapat dipergunakan dalam
menentukan awal bulan Qomariyah untuk pelaksanaan ibadah
(awal dan akhir Ramadhan), sebab menurut sistem ini umur
bulan Sya’ban dan Ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari
untuk Sya’ban dan 30 hari untuk Ramadhan.
Sebenarnya sistem ini sangat baik dipergunakan dalam
penyusunan kalender, sebab perubahan jumlah hari tiap bulan
dan tahun adalah tetap dan beraturan, sehingga penetapan jauh
kedepan dan kebelakang dapat diperhitungkan dengan mudah
tanpa melihat data peredaran bulan dan matahari yang
sebenarnya, namun oleh karena sistem ini dianggap tidak
sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syara’, maka umat
Islam tidak mempergunakannya, walaupun hanya untuk
35 Bulan Qomariyah yang umurnya didasarkan kepada peredaran qomar (bulan)
mengelilingi bumi, senantiasa berkisar antara 30 dan 29 hari. Hal ini disebabkan lantaran bulan mengelilingi dalam satu bulan sinodis (ijtima’ sampai dengan ijtima’) rata-rata membutuhkan waktu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik.lihat slamet hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, disamapaikan pada pendidikan dan pelatihan hisab rukyah nasional pondok pesantren se indonesia yang diselenggarakan oleh P.D. Pontern DEPAG RI Masjid Agung Jawa Tengah tgl 3 samapi 7 September 2007.
36 Satuan masa (Daurus Sanah)tahun hijriyah (Qomariyah)dalam hisab urfi ditetapkan 30 tahun, 11 tahun ditetapkan sebagai tahun kabisat, dan 19 tahun ditetapkan sebagai tahun basithah. Tahun kabisat ditetapkan jatuh pada tahun ke- 2,5,7,10,13,16,18,21,24,26, dan 28, selainnya ditetapkan sebagai tahun basitah,lihat P. Simamora, Ilmu Falak (Kosmografi), CV. Pedjuang Bangsa;Jakarta, 1985, hlm.78
penyusunan kalender. Sistem ini hanya digunakan untuk
memperoleh awal bulan Qomariyah secara taksiran dalam
rangka memudahkan pencarian data peredaran bulan dan
matahari yang sebenarnya.37
b. Hisab Hakiki
Sistem hisab ini didasarkan kepada peredaran bulan
dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap
bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan
kadang-kadang 2 bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30
hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut
perhitungan hisab urfi.
Dalam praktek perhitungannya, sistem ini
mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi
serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ilmu ukur segitiga
bola atau trigonometris.
Sistem hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan yang
dimaksud oleh syara’, sebab dalam prakteknya sistem ini
memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud.
Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam
menentukan awal bulan yang ada kaitanya dengan
pelaksanaan ibadah.
37 Depag, Op. Cit. Hlm. 8
Terdapat beberapa aliran dalam menentukan masuknya
bulan baru dengan mempergunakan sistem hisab hakiki ini.
Pada garis besarnya ada dua golongan, yaitu yang
berpedoman kepada ijtima’ semata dan yang berpedoman
kepada posisi bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam.
Jika diuraikan lagi, maka akan terdapat beberapa
golongan yaitu:
1) Golongan yang berpedoman kepada ijtima’ qoblal
ghurub
Golongan ini menetapkan, bahwa jika ijtima’
terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam
harinya sudah dianggap bulan baru, sedang jika ijtima’
terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan
keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan
yang sedang berlangsung.38
Sistem ini sama sekali tidak mempersoalkan
rukyah, juga tidak memperhitungkan posisi hilal di atas
ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi
ijtima’, walaupun hilal masih dibawah ufuk maka
malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru.
Sistem ini lebih menitik beratkan kepada
penggunaan astronomi murni. Dalam ilmu astronomi
38 Ibid, hlm. 9
dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari
dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima’). Sistem
ini menghubungkan ijtima’ dengan saat terbenam
matahari, sebab mempunyai anggapan bahwa hari
menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari
sampai terbenam matahari berikutnya, malam
mendahului siang.39
Jadi logikanya menurut sistem ini, bahwa
ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qomariyah,
namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak
terbenam matahari, maka kalau ijtima’ terjadi sebelum
terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk
bulan baru, dan kalau ijtima’ terjadi setelah terbenam
matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari
bulan yang sedang berlangsung.40
Ringkasnya, yang dijadikan ukuran ialah apakah
ijtima’ itu terjadi sebelum tibanya batas hari (saat
matahari terbenam) atau sesudahnya.
2) Golongan yang berpedoman kepada ijtima’ qoblal fajri
Golongan ini menghendaki bahwa bulan baru
Qomariyah dimulai dengan kejadian ijtima’ sebelum
terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ijtima’ tidak
39 Ibid 40 Ibid
ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari
terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas
hari adalah saat matahari terbenam.
Menurut sistem ini, jika ijtima’ terjadi sebelum
terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan
baru, walaupun pada saat matahari terbenam pada
malam itu belum terjadi ijtima’
Nampaknya sampai saat ini, di Indonesia belum
ada para ahli yang berpegang kepada ijtima’ qoblal
fajri ini. Mereka baru mensinyalir adanya pendapat ini
yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang sering
terjadi akibat penentuan hari raya haji yang dilakukan
oleh Pemerintah Saudi Arabia.
Hal ini dapat kita lihat seperti peristiwa yang
terjadi pada tahun 1395 H. Di Saudi Arabia hari raya
Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, 12 Desember 1975.
sementara di Indonesia secara resmi hari raya tersebut
jatuh pada hari sabtu, 13 Desember 1975.41
Para ahli di Indonesia menilai bahwa jika
penentuan di Saudi Arabia itu didasarkan pada
perhitungan hisab. Maka sistem ijtima’ qoblal fajri-lah
yang menjadi pedomannya. Penilaian itu didasarkan
41 Depag, Op. Cit, hlm. 10
pada kenyataan bahwa ijtima’ menjelang awal bulan
Dzulhijjah 1395 H. Terjadi pada tanggal 3 desember
1975 jam 00.50 GMT atau 07.50 WIB atau jam 03.50
waktu setempat Mekkah, sebelum terbit fajar. Menurut
penetapan Saudi Arabia, tanggal 3 Desember 1975
sudah masuk tanggal satu bulan Dzulhijjah 1395 H,
walaupun pada saat matahari terbenam sebelumnya (2
Desember 1975) belum terjadi ijtima’. Pada hari itu,
hilal sudah 24 menit lebih dahulu terbenam dari
matahari. Jadi tidak mungkin hilal dapat dirukyah.42
Tidak ada alternatif lain untuk menetapkan
tanggal 1 Dzulhijjah 1395 H tersebut, selain dengan
sistem ijtima’ qoblal fajri. Dan peristiwa semacam ini
tidak hanya terjadi pada tahun 1395 H saja.
3) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal di atas
ufuk hakiki
Kelompok ini dalam mempersiapkan
perhitungan-perhitungannya berpegang kepada
kedudukan hakiki daripada bulan dengan alasan bahwa
bulan dalam keadaan dekat dengan matahari tidak
mungkin bersinar, oleh sebab itu mereka ini tidaklah
melakukan koreksi-koreksi yang berguna untuk
42 Ibid
kepentingan observasi, koreksi-koreksi bagi mereka
dianggapnya berguna untuk kepentingan rukyah.43
Menurut golongan ini untuk masuknya tanggal
satu bulan Qomariyah, posisi hilal harus sudah berada
di atas ufuk hakiki.
Yang dimaksud dengan ufuk hakiki adalah
bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak
lurus pada garis vertikal si peninjau.44
Pada gambar di atas, ufuk hakiki P adalah
merupakan ufuk hakiki bagi sipeninjau yang berdiri
pada titik P, demikian pula ufuk hakiki Q adalah ufuk
hakiki bagi sipeninjau yang berdiri pada titik Q.
Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi
tempat sipeninjau. Demikian pula jari-jari bulan,
parallaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan.
43 Depag RI, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta:Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,1981, hlm.35-36
44 Depag, Op. Cit, hlm. 10
bumi
Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk
dilihat. Lain halnya dengan perhitungan matahari
terbenam, golongan ini memperhitungkan unsur-unsur
di atas, sebab mereka memperggunakan pengertian
terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau
menurut istilah mar’i.
Ringkasnya, sistem ini berpendapat bahwa jika
setelah terjadi ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk
hakiki pada saat terbenam matahari, maka malamnya
sudah dianggap bulan baru, sebaliknya jika pada saat
terbenam matahari hilal masih berada dibawah ufuk
hakiki maka malam itu belum dianggap sebagai bulan
baru.
4) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal di atas
ufuk hissi
Golongan ini berpendapat, jika pada saat
matahari terbenam setelah terjadi ijtima’, hilal sudah
wujud di atas ufuk hissi, maka malam itu sudah
termasuk tanggal satu bulan baru.
Dimaksud dengan ufuk hissi adalah bidang datar
yang melalui mata sipeninjau dan sejajar dengan ufuk
hakiki.45
45 Ibid, hlm. 7
Ufuk hissi P adalah ufuk hissi bagi si peninjau
yang berdiri dari titik P, sedang ufuk hakiki P adalah
ufuk hakiki bagi si peninjau tersebut. Bedanya kedua
ufuk tersebut adalah parallaks. Ufuk hissi sama
dengan ufuk hakiki dikurangi parallaks.
Golongan yang berpegang pada ufuk hissi
menentukan ketinggian hilal diukur dari atas
permukaan bumi, sedangkan yang berpegang kepada
ufufk hakiki mengukur ketinggian itu dari titik pusat
bumi.
Sistem yang berpedoman pada ufuk hissi ini
nampaknya kurang populer,sehingga banyak para ahli
yang mengabaikan eksistensi sistem ini, namun jika
kita lihat keputusan seminar hisab yang diadakan di
Yogyakarta tahun 1970, sistem ini termasuk salah satu
sistem yang diakui eksistensinya, sekalipun lebih jauh
tidak disebutkan siapa-siapa saja yang berpegang
kepada sistem ufuk hissi ini.
bumi
5) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal di atas
ufuk mar’i
Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem
hisab yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi,
yaitu memperhitungkan posisi hilal pada saat matahari
terbenam setelah terjad ijtima’. Hanya saja sistem ini
tidak cukup sampai disana. Setelah diperoleh nilai
ketinggian hilal dari ufuk hakiki kemudian ditambah
koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu.46
Koreksi-koreksi tersebut adalah:
a) Kerendahan ufuk
Kerendahan ufuk adalah perbedaan ufuk hakii
dan ufuk mar’i yang disebabkan pengaruh ketinggtian
tempat sipeninjau, semakin tinggi kedudukan
sipeninjau semakin besar nilai kerendahan ufuk ini,
akibatnya semakin rendahlah ufuk mar’i tersebut.
Untuk menghitung kerendahan ufuk, dipergunakan
rumus D’= 0°1.76°√m (kerendahan ufuk sama dengan
0°1.76’ kali akar ketinggian mata sipeninjau dari
permukaan laut dihitung dengan meter)47
b) Refraksi
46 Depag, Op. Cit, hlm. 36 47 Depag, Op. Cit, hlm. 12
Refraksi adalah perbedan antara tinggi langit
menurut penglihatan dengan tinggi yang sebenarnya,
oleh karena sistem ini menghitung posisi hilal untuk
dapat dilihat maka nilai refraksi ini turut
diperhitungkan. Nilai refraksi yang terbesar adalah
34,5 menit busur, yakni pada saat benda langit itu
berada pada garis ufuk, sedang nilai yang terkecil
adalah nol, yakni pada saat benda langit itu berada
pada titik zenith. Nilai ini ditambahkan pada posisi
hilal yang sebenarnya. Sebab nilai refraksi ini
mengakibatkan lebih terangkatnya posisi benda langit
untuk dilihat.48
c) Semi Diameter (jari-jari)
Yang diperhitungkan oleh sistem ini bukanlah
titik pusat hilal, melainkan piringan atasnya. Oleh
karena itu harus diadakan penambahan senilai
semidiameter terhadap posisi titik pusat hilal. Nilai
semi diameter hilal rata-rata 16 menit busur. Namun
tidak selamanya demikian. Sebab setiap saat dapat
berubah-rubah, kadang-kadang kurang kadang-kadang
lebih.49
d) Parallaks (beda lihat)
48 Ibid 49 Ibid
Oleh karena menurut sistem ini yang
diperhitungkan adalah tinggi hilal dari mata sipeninjau,
sedang menurut astronomi dari titik pusat bumi, maka
ada perbedaan tinggi hilal jika dilihat dari mata
sipeninjau dan dari titik pusat bumi. Perbedaan ini
dikenal dengan istilah ”parallaks” (beda lihat).
Semakin tinggi hilal berada di atas ufuk semakin
kecillah nilai parallaks ini. Nilai parallaks yang
terbesar terjadi pada saat hilal berada pada garis ufuk
(Horizontal Parallaks), yakni berkisar antara 54
sampai 60 menit busur. Sedang nilai parallaks untuk
hilal yang berada di atas ufuk, diperhitungkan menurut
rumus: ” Parallaks = Horizontal Parallak x Cos H” (h
adalah tinggi hilal setelah dikoreksi oleh kerendahan
ufuk, semi diameter dan refraksi)50
Sistem hisab yang dipegang oleh golongan ini
dikenal sebagai sistem yang berpedoman kepada ufuk
mar’i.
Sebenarnya yang dimaksud dengan ufuk mar’i
adalah bidang datar yang merupakan batas pandangan
50 Ibid
mata si peninjau. Semakin tinggi mata si peninjau di
atas permukaan bumi, semakin rendahlah ufuk mar’i.51
Ufuk mar’i P adalah ufuk mar’i bagi si peninjau
yang sedang berada pada titik P. Sedangkan ufuk
hakiki P adalah ufuk hakikinya. Perbedaan kedua ufuk
itu sama besarnya dengan sudut Q (kerendahan ufuk).
Yakni sudut yang timbul karena pengaruh ketinggian
tempat si peninjau dari permukaan laut.
Oleh karena itu, sebenarnya kurang tepat kalau
sistem ini dikatakan hanya berpedoman kepada ufuk
mar’i semata, sebab dalam perhitungannya sistem ini
tidak hanya memperhatikan kerendahan ufuk saja,
namun juga semidiameter, parallaks dan refraksi turut
diperhitungkan.
Ringkasnya, sistem ini memperhitungkan posisi
hilal untuk dapat dirukyah (hilal mar’i), bukan
memperhitungkan posisi hilal yang sebenarnya (hilal
51 Ibid, hlm. 13
bumi
hakiki). Itulah sebabnya H. Saadoeddin Djambek
mengistilahkan sistem hisab ini dengan hisab praktis
sejalan dengan istilah practical astronomy.
6) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal yang
mungkin dapat dirukyah (imkan al-rukyah).
Untuk menetapkan masuknya awal bulan baru,
golongan ini mengemukakan bahwa pada saat matahari
terbenam setelah terjadi ijtima’ hilal harus mempunyai
posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk
dapat dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini
tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian
hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyah bil fi’li,
ada yang mengatakan 8, 7, 6,5 derajat, dan lain
sebagainya.52
Disamping ukuran ketinggian sebagai syarat
untuk dapat terlihatnya hilal, ada yang menentukan
unsur lainnya. Dalam konfrensi internasional tentang
penentuan awal bulan Qomariyah yang diadakan di
Turki tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat
terlihatnya hilal ada 2 (dua) syarat yang harus
dipenuhi, yaitu ”ketinggian” hilal di atas tidak kurang
52 Depag, Op. Cit, hlm 14
dari 5 derajat, dan ”sudut pandang” (angular distance)
antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8 derajat.53
Ada satu penawan kriteria yang belum
disepakati oleh semua kalangan, yaitu hasil penelitian
LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional)yang disebut dengan kriteria LAPAN.
Kriteria ini didasarkan pada hasil analisis ilmiah
astronomis atas data rukyah Indonesia yang mendekati
kriteria astronomi internasional, yaitu:
1. Umur Bulan minimum 8 jam
2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut
bulan-matahari,
Beda Azimut Tinggi Minimum (º)
0.0 8.3
0.5 7.4
1.0 6.6
1.5 5.8
2.0 5.2
2.5 4.6
3.0 4.0
3.5 3.6
4.0 3.2
4.5 2.9
5.0 2.6
53 Ibid.
5.5 2.4
6.0 2.3
Bila beda azimuthnya nol(bulan tepat berada di atas
matahari saat terbenam), maka tinggi bulan
minimum 8,3 derajat. Sedangkan bila beda azimut
bulan matahari 6 derajat, tinggi bulan minimum 2,3
derajat.54
E. Persoalan Seputar Penetapan Awal Bulan Qomariyah di
Indonesia
Pada dasarnya pembahasan Ilmu falak yang dipelajari
dalam Islam adalah yang ada kaitanya dengan pelaksanaan
ibadah, sehingga pada umumnya ilmu falak itu mempelajari 4
bidang, yakni;55
1. Arah Qiblat dan Bayangan arah qiblat
2. Waktu-waktu sholat
3. Gerhana
4. Awal bulan
54 Lihat; Thomas Djamaluddin, Menuju Penyatuan Kalender Islam di Indonesia
dan Tinjauan Kriteria Posisi Hilal di atas Ufuk, disampaikan pada “sosialisasi Hisab Rukyah PD Persisi Kab. Bandung” tanggal 14 oktober 2006
55 Muhyiddin Khazin, Op. Cit, hlm. 4
Satu sampai tiga dari empat pembahasan Ilmu Falak
tersebut yaitu; arah qiblat dan bayangan arah qiblat (Roshdu al-
Qiblat), waktu-waktu sholat, dan gerhana, jarang sekali kita
mendengar adanya perselisihan, apakah harus dengan rukyah
ataupun harus dengan hisab, ataukah harus dengan rukyah yang
dibantu hisab. Namun semua kalangan masyarakat sepakat ketiga
ini cukup menggunakan hisab, walaupun kadang juga kita jumpai
perbedaan hasil hisab diantara hisab satu dengan hasil hisab yang
lainnya.
Berbeda dengan pembahasan yang ke-4 yakni; awal bulan
atau sering kita sebut penetapan awal bulan, terutama bulan-
bulan yang berhubungan dengan waktu pelaksanaan ibadah atau
hari besar Islam.
Kita sering mengalami adanya perbedaan dalam memulai
dan mengakhiri puasa Ramadhan serta perbedaan berhari raya.
Perbedaan ini baik dikalangan umat Islam Indonesia maupun
antar umat Islam Indonesia dengan umat Islam di luar negeri,
seperti Malaysia atau Saudi Arabia. Perbedaan ini tidak jarang
menimbulkan keresahan, bahkan lebih dari itu kadang-kadang
menimbulkan adanya pertentangan fisik dikalangan umat Islam.
Sudah barang tentu perbedaan seperti ini merugikan persatuan
dan ukhuwah umat Islam khususnya umat Islam Indonesia.
Dalam persoalan penetapan awal bulan Qomariyah ini,
khususnya di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar.
Karena di Indonesia terdapat dua pemikiran besar yang secara
institusi selalu disimbolkan pada dua organisasi kemasyarakatan
Islam di indonesia yang sangat sulit untuk disatukan. Dimana
Nahdlatul Ulama’ secara institusi di simbolkan sebagai mazhab
Rukyah, sedangkan Muhammadiyah secara institusi disimbolkan
sebagai mazhab hisab. Begitu juga dengan Persatuan Islam
(Persis) juga menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan
Qomariyah. Hanya saja Persis ini memakai kriteria yang cukup
aman dalam penetapan awal bulan Qomariyah sehingga walaupun
memakai hisab namun banyak kemungkinan tidak mendahului
hasil sidang isbat, seperti yang sering terjadi di Muhammadiyah.
Hisab dan Rukyah adalah bersifat Ijtihadiyah, sehingga
memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyah
sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang
dihisab dan dirukyah masing-masing memang satu. Hukum alam
yang mengatur gerakanya pun satu. Sunnatullah, tetapi
interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam, lokasi
pengamatan dan keterbatasan pengamat juga tidak mungkin
disamakan.56
56 T Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi (Telaah Hisab Rukyah dan
Pencarian Solusi Perbedaan hari raya), Bandung: Kaki Langit, 2005, Hlm.41
Ada beberapa hal yang menjadikan perbedaan penetapan
awal bulan Qomariyah, Diantaranya:
b. Perbedaan antara hisab dan rukyah
Dalam penentuan awal bulan terdapat kelompok
masyarakat yang berpedoman pada hisab dan kelompok yang
berpedoman pada rukyah. Kedua kelompok ini sangat sulit
untuk disatukan karena mempunyai argumen fiqh yang
berbeda satu sama lain. Dalam kenyataanya, perbedaan
tersebut tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam
memulai puasa dan berhari raya. Bahkan ada kecenderungan
sangat sedikit kasus perbedaan yang dipicu oleh perbedaan
yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab rukyah ini.
Berdasarkan kasus yang tercatat di Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama, sejak tahun 1962. Ada
kesimpulan bahwa: jika ahli hisab sepakat menyatakan hilal
berada di bawah ufuk, maka tidak pernah ada yang
melaporkan bahwa hilal berhasil dirukyah. Sebaliknya, jika
ahli hisab sepakat bahwa hilal di atas ufuk, maka hampir
selalu dilaporkan hilal bisa diobservasi (di-rukyah)57
c. Perbedaan di kalangan ahli hisab
Perbedaan di kalangan ahli hisab bermuara pada dua
hal, pertama karena bermacam-macamnya sistem dan
57 Wahyu Widiana, MA, Sambutan dalam Buku Menggagas Fiqh Astronomi, (telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya), Bandung;Kaki Langit, 2005.hlm x
referensi hisab, dan kedua, karena berbeda-beda kriteria hasil
hisab yang dijadikan pedoman.58
Referensi dan sistem hisab tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni: hisab taqriby, hisab
tahqiqy dan hisab kontemporer. Hisab taqriby menyajikan
data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara
sederhana tanpa mempergunakan ilmu segitiga bola.
Representasi kelompok ini adalah: kitab Sulamunnayyirain,
al-Qawaidul falakiyyah dan Fatkhurrouuf al Mannan. Hisab
tahqiqy menyajikan data dan sistem perhitungan dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola. Al-
khulashot al wafiyah, hisab haqiqy dan Nurul Anwar termasuk
dalam kelompok ini. Sedang hisab kontemporer, disamping
mempergunakan kaida-kaidah ilmu ukur segitiga bola, juga
mempergunakan data yang up to date. Representasi dari hisab
kontemporer ini adalah sistem H. Saadoeddin Djambek
dengan Almanak Nautika, Jean Meeus dan Ephemeris Hisab
Rukyah.
Selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem hisab,
para ahli hisab pun berbeda dalam menerapkan kriteria hasil
hisab. Sebagian berpedoman pada Ijtima’ qoblal ghurub,
sebagian berpegangan pada posisi hilal di atas ufuk. Yang
58 Ibid, hlm. xi
berpegang pada posisi hilal di atas ufuk juga berbeda-beda.
Ada yang berpendapat pada wujudul hilal, dan ada yang
berpedoman pada imkan al rukyah.
d. Perbedaan di kalangan ahli rukyah
Di kalangan ahli rukyah belum satu kata dalam
menetapkan mathla’ tentang batasan wilayah berlakunya hasil
rukyah suatu tempat. Ada yang menganggap hasil rukyah
suatu tempat hanya berlaku untuk satu wilayah hukum
(negara). Pemikiran ini terkenal dengan Rukyah Fi Wilayatil
Hukmi sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegangi
oleh Nahdlatul Ulama secara institusi. Sebagianya lagi
berpendapat bahwa rukyah suatu tempat berlaku untuk seluruh
dunia. Pemikiran inilah yang terkenal dengan Rukyah
Internasional atau Rukyah Global Perbedaan ini berimbas
pada perbedaan mengawali puasa dan berhari raya. 59
Kasus seperti ini banyak terjadi jika Saudi Arabia telah
dikabarkan telah berhasil rukyah, maka Indonesia akan
terpengaruh dengan informasi hasil rukyah tersebut.60
e. Perbedaan diluar teknis hisab rukyah
Penyebab diluar teknis hisab rukyah tersebut antara
lain adalah adanya pemahaman fiqh yang berbeda. Sebagian
menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti
59 Ahmad Izzuddin, Op. Cit, hlm. 76-77 60 Ibid
penetapan hari wukuf di Saudi Arabia, sedangkan yang lainya
menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia
berdasarkan keadaan di Indonesia. Faktor lain diluar teknis
hisab rukyah adalah sulitnya melakukan kesepakatan tentang
pedoman penetuan awal bulan Qomariyah yang dapat
mengikat semua fihak.61
F. Yang Berhak Menetapkan Awal Bulan Qomariyah
Penetapan awal bulan Qomariyah adalah bersifat
ijtihadiyah, artinya kebenaran yang ada bersifat dugaan. Rukyah
seseorang hanya berlaku bagi dirinya dan mereka yang
mempercayainya. Demikian juga hasil hisab seseorang hanyalah
berlaku bagi dirinya dan mereka yang mempercayainya. Artinya
kedua hal ini tidak berlaku untuk masyarakat umum. Mengingat
hal ini merupakan persoalan umum, atau hukum islam yang
bercorak kemasyarakatan, maka jika dibiarkan sebagaimana
adanya dan setiap orang boleh memilih masing-masing, tentu
kebingungan dan kesimpang siuran dalam masyarakat tidak dapat
dihindari.
Hukum Islam telah mengatur bahwa dalam persoalan yang
bersifat kemasyarakatan perlu dan dibenarkan campur tangan
pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam kaedah yang populer,
”Hukmul Hakim ilzam wa yarfa’ul khilaf”. Keputusan
61 Ibid, hlm. xii
Hakim/pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan
pendapat. Oleh karena penetapan awal/akhir bulan Qomariyah
khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah merupakan
persoalan fiqh yang bersifat kemasyarakatan, maka demi
tercapainya kemaslahatan umum, keseragaman dan persatuan
umat, pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Agama
perlu turut campur tangan dan inilah satu-satunya yang
berwenang menetapkan serta mengumumkan awal akhir
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah kepada masyarakat.62
62 Lihat Artikel Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan
Awal Bulan Ramadhan Syawal dan Dzulhijjah, dalam buku Selayang Pandang Hisab Rukyat, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama:Jakarta, 2004, hlm. 144-145
BAB III
METODE HISAB RUKYAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS) DALAM
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
A. Sejarah Singkat Persis
1. Sejarah Kelahiran Persis
Tampilnya jam'iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah
di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna
baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persatuan Islam (Persis) lahir
sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat islam yang tenggelam
dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan
mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid'ah, takhayul,
syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu
oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya
Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan
"reformasi" Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak
intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan
pembaharuan islam. Lahirnya Persis diawali dengan terbentuknya suatu
kelompok tadarusan peneleaahan agama islam di kota Bandung yang
dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus,1 dan kesadaran
akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan
syiar islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk
mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1
Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi
yang diberi nama "Persatuan Islam" (Persis).2 Nama persis ini diberikan
dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai
dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam,
persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat
Ali Imron103 : "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali
(undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai
berai". Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,3
"Kekuatan Allah itu bersama al-jama'ah". Firman Allah dan hadis Nabi
tersebut menjadi motto Persis dan menjadi lambang Persis dalam
1 Howard M. Federspiel, Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad
XX, Judul Asli, Persatuan Islam;Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Penerjemah;Yudian W. Asmin dan H. Afandi Mochtar, Yogyakarta;Gadjah Mada University Press, 1996, hlm.14-15
2 Lihat Qanun Asasi-Qanun Dakhili Penjelasan Qanun Asasi-Qanun Dhakhili Pedoman Kerja Program Jihad 2005-2010 Persatuan Islam (Persis), Bab I Pasal 1 No 1 dan 2, Bandung;Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), 2005, hlm. 6
3 Abi isa Muhammad bin Isa bin Saurat, Sunanut Turmudzi, Beirut; Daru Al-Kutub Al Alamiyah, tt., hlm. 405
lingkaran bintang bersudut dua belas buah yang di bagian tengahnya
tertera tulisan Persatuan Islam, ditulis memakai hurup Arab melayu.4
2. Tujuan Dan Aktifasi Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-
Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas
diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh,
khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren),
menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas
keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam
secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam'iyyah, Persis melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan
Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini
kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul
Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian
menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah
Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan
(1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939),
Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa
Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang
Persis.5 Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah
4 Uyun Kamiluddin, Menyorot Ijtihad Persis (Fungsi dan Peranan dalam
Pembinaan Hukum islam di Indonesia), Bandung; Tafakur,2006, hlm. 66 5. Ibid, hlm. 73-74
menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-
daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari
cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya,
serta masyarakat luas.
3. Kepemimpinan Persis
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923-1942) berada di
bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan
Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa
penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam
menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua
organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak
sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang.
Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis
mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi
yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi
tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi
kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum
Persis (1948-1960),6 K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O.
Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan
politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai
tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden
6 Ibid, hlm. 77
Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan
ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa
Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-
1983) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi
maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan
yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama'ah,
Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi'ah, Ahmadiyyah dan faham sesat
lainnya.7
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif
Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) hingga
samapai sekarang ini (2005-2010) 8yang merupakan proses regenerasi dari
tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya.
(Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar:
jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrofersial yang
bersifat gebrakan shock therapy pada masa ini Persis cenderung ke arah
low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-
faham al-Quran dan Sunnah.
4. Era Baru Persis
Era baru Persis ini dimulai dengan terpilihnya K.H.A.Latif
Mukhtar, MA menjadi Ketua Umum Persis yaitu pada tahun 1983. Beliau
membawa warna baru dalam perjuangan dakwah yang dilakukan Persis. Ia
7 Ibid hlm. 79 8 Ibid
tampil membawa Pesis dengan pendekatan persuasif edukatif, tidak ada
lagi kesan ’garang’ yang sempat menempel pada nama Persis. Ia lugas
tetapi luwes dengan menggunakan prinsip mengajak bukan mengejek dan
mencari jelas bukan mencari puas.9
Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada
masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak
terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas
kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam
terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran
keislaman. 10
Setelah Persis di Ketuai oleh KH. Shiddiq Amien (1997), anggota
dan simpatisan Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari 3 juta
orang yang tersebar di 14 Propinsi dengan 7 Pimpinan Wilayah, 33
Pimpinan Daerah, dan 258 Pimpinan Cabang. Bersama lima organisasi
otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri, (Persistri) Pemuda Persis,
Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, dan Himpunan
Mahasiswi (Himi) Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-
aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh,
akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh
umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar/menengah
hingga pendidikan tinggi), da'wah, bimbingan haji, perzakatan, sosial
9 Haris Muslim, Persis Dari Masa ke Masa : Sebuah Refleksi Sejarah, dalam
buku ALQA dengan judul Siapkah Persis Menjadi Mujaddid Lagi?, upaya Mewujudkan Wacana Persis Baru, Fospi:Bandung, 2000, hlm. 30-31
10 Endang Sirodjuddin Hafidz, et al.,. Pergulatan pemikiran Kaum Muda Persis, Bandung ;Granada, 2006, hlm 83-88
ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-
pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan
luar negri, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan
diskusi (halakoh) pengkajian Islam. Demikian pula fungsi Dewan Hisbah
sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum Islam di
kalangan Persis serta Dewan Hisab Rukyah dan Dewan Tafkir semakin
ditingkatkan aktifitasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai
masalah hukum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin
banyak dan beragam.
B. Metode Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan
Qomariyah
Dalam menetapkan awal bulan Qomariyah Nabi Muhammad telah
memberikan petunjuk dengan hadisnya yaitu dengan terlihatnya hilal, ini
disepakati oleh semua ulama’ maupun semua Ormas yang ada di Indonesia
namun kriteria hilal itu sendiri apa ternyata terjadi sebuah perbedaan
persepsi dalam mengartikan ’melihat’, yang sampai sekarang belum bisa
tersatukan,apakah ’melihat’ dengan mata atau bisa diartikan ’melihat’
dengan ilmu, sehingga muncul dua pendapat besar yaitu dengan Rukyah
dan dengan Hisab, dan ini adalah suatu hal yang wajar karena termasuk
masalah ijtihadiyah.
Dalam menetapkan awal bulan Qomariyah Persis menggunakan
Hisab, itu artinya Persis memaknai ’melihat’, tidak hanya melihat dengan
mata kepala saja melainkan bisa melihat dengan ilmu yaitu ilmu hisab. 11
sehingga jauh hari Persis ini sudah menetapkan jatuhnya awal bulan
Qomariyah terutama Bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Seperti
awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1428 H. Pimpinan Pusat
Persatuan Islam jauh hari telah mengeluarkan surat edaran.12
Hisab yang dipakai oleh Persis dalam rangka pembuatan kalender
dan penetapan awal bulan Qomariyah adalah menggunakan hisab
Ephemeris13. Walaupun Persis juga melakukan hisab yang lain yaitu
Sulamun Nayyiroen sebagaimana tugas yang diberikan Depag kepada
Persis.14
Adapun kriteria yang dipakai Persis adalah ”Imkan al-rukyah, ini
berbeda dengan kriteria yang dipakai oleh Muhammadiyah walupun
sama-sama menggunakan metode Hisab dalam penentuan Awal bulan
Qomariyah yaitu wujud al hilal disebagian wilayah Indonesia.15 Sehingga
dengan kriteria ini di awal syawwal 1428 H Persis menetapkan pada
tanggal 13 Oktober 2007, karena pada tanggal 11 oktober 2007 keadaan
11 Wawancara dengan Abdurrahman KS. (Ketua DHR Persis) dan Syarif Ahmad
Hakim (Anggota DHR Persis) di Bandung pada tanggal 29 September 2007 12 Sebagaimana terlampir. 13 Ephemeris yaitu tabel yang memuat data-data astronomis benda-benda langit
yang dikenal dalam bahasa arab Zij atau Taqwim atau Astronomical Handbook (inggris), Lihat Encup Supriatna, Hisab Rukyah dan Aplikasinya, Bandung:PT Radika Aditama, 2007, hlm xii. Lihat juga Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005, hlm 50.
14 Ibid 15 Ibid, dan Wawancara dengan Dr. Thomas Djamaluddin pada tanggal 30 Juli
2007, Lihat juga T. Djamaluddin, Menuju Penyatuan Kalender Islam Di Indonesia, yang disampaikan pada acara seminar Nasional dan Launching Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Ilmu falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 9 Agustus 2007 di Auditorium I lt.2 IAIN Walisongo-Semarang
hilal di Indonesia masih di bawah 2º baru disebagian wilayah Indonesia di
sebagian barat (Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT sebagian Kalimantan dan
Sulawesi) Hilal berada di atas ufuk dengan ketinggian (irtifa’) kurang dari
1 derajat (irtifa’ di Pelabuhan Ratu 0 º13’21,5”) sedangkan disebagian
timur (Papua,Maluku,Sulawesi kecuali Sulsel, Kalimantan kecuali Kalbar)
hilal masih berada dibawa hufuk.16.
Kriteria yang dipakai oleh Persis mengalami beberapa perubahan,
pada awalnya Persis menggunakan Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub, yaitu
ketika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka besuknya
ditetapkan tanggal bulan baru. Kriteria ini pada saat Ketua Dewan Hisab
Rukyah Persis di pegang oleh KH. Abdurrahman. Periode berikutnya
beliau digantikan oleh KH. A. Ghazali,17 kriteria yang digunakan masih
Ijtima’ Qoblal Ghurub, namun karena KH. A Ghazali merasakan adanya
ketidak tepatan dengan kriteria itu akhirnya mengadakan pertemuan
dengan semua pengurus dan anggota Dewan Hisab Rukyah dan
menghasilkan kriteria baru yaitu Wujud al hilal seperti yang di pakai oleh
muhammadiyah yaitu wujud al hilal disebagian wilayah Indonesia.
16 Syarief Ahmad Hakim, Kriteria Wujudul Hilal dan Imkan al-rukyah Dalam
Tinjauan Syara’, Makalah disampaikan dalam acara Muthala’ah dan Mubahasah PW Pemuda Persis DKI Jakarta, di Masjid al-Husaini, Johar baru, Ahad, 26 Agustus 2007
17 Beliau adalah Murid dari KH. Abdurrahman, ahli hisab Persis yang secara tegas menyatakan bahwa Ra’a itu tidak harus dengan mata kepala, melainkan boleh bil ‘ilmi, yaitu ilmu hisab, lihat Asep Basuki Rahmat, Menelusuri Pemikiran Keagamaan KH. A. Ghazali, Bandung ;RSIN FIKR, 2004, hlm 41, lihat juga Ki Udin, ”KH Ali Ghazali Ulama Ahli hisab”, Akhbarul Jam’iyyah,VII16, April-Juni, 2007, hlm. 15
Kemudian kriteria itu berubah lagi yaitu wujud al hilal diseluruh
wilayah indonesia yaitu diseluruh wilayah Indonesia harus positif atau
wujud walaupun kenyataanya mungkin tidak nampak ketika di rukyah.18
Kriteria di atas (wujud al hilal diseluruh wilayah Indonesia) dapat
diposisikan seperti ihtiyaty dalam awal waktu-waktu shalat wajib, ihtiyaty
maksudnya penambahan 1 sampai 2 menit pada awal waktu shalat, supaya
waktu shalat tersebut bisa dijadikan pedoman untuk muslim yang
bermukim disebelah barat dari pusat kota. Karena ketika menghitung awal
waktu shalat data geografis yang dijadikan acuan adalah pusat kotanya,
sehingga hasil dari perhitungan tersebut hanya bisa diberlakukan dari
pusat kota kearah timur. Tanpa ada ihtiyaty berarti muslim yang berada
diwilayah barat melakukan shalat sebelum waktunya, tentu saja hukumnya
tidak sah. Oleh karena itu bagi muslim yang ada disebelah timur lebih baik
sabar menunggu 1 sampai 2 menit untuk melakukan shalat atau berbuka
puasa daripada saudara kita disebelah barat batal puasanya dan shalatnya
gara-gara mengikuti kita. Hal ini kiranya dapat dijadikan sebagai latar
belakang terbentuknya kterteria tersebut, yaitu membelokkan garis
ketinggian hilal 0 derajat kearah barat jika garis tersebut memotong suatu
daerah atau wilayah dalam satu kekuasaan hakim, artinya muslim
diwilayah bagian barat mengikuti awal bulannya muslim sebelah timur.19
Semenjak tahun 2000 M dan setelah DHR diketuai oleh KH. M.
Abdurrahman KS. Kriteria itu diganti lagi, karena dianggap kurang akurat
18 Wawancara dengan Dr. Thomas Djamaluddin, Op Cit. 19 Syarief Ahmad Hakim, Op Cit. hlm 8. lihat juga Saadoe’ddin Djambek, Hisab
Awal Bulan, Jakarta ;Tintamas, 1976, hlm 39-40
yaitu Persis memakai Kriteria yang dipakai Pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama yaitu Imkan al-rukyah atau Kriteria MABIMS, yaitu:
1. Tinggi (irtifa’) hilal minimal 2 º
2. Selisih Azimuth matahari dan bulan minimal 3 º (jarak
Horizontal bulan-matahari)
3. Umur bulan minimal 8 jam (dihitung sejak ijtima’ sampai
matahari terbenam)20
Seiring perkembangan waktu dan teknologi tidak menutup
kemungkinan Persis ini akan merubah kriteria hisabnya, seperti yang
disampaikan oleh Kh. M. Abdurrahman KS selaku ketua DHR Persis dan
Syarief Ahmad Hakim selaku anggota DHR Persis bahwasanya beliau
punya kecenderungan kriteria yang di hasilkan atau diusulkan oleh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang kemudian
disebut dengan kriteria LAPAN.21 Kriteria hisab ini didasarkan pada hasil
analisis ilmiah astronomis atas data rukyah indonesia yang mendekati
kriteria astronomi internaional, yaitu; Umur bulan minimal 8 jam, tinggi
bulan minimum tergantung beda azimuth bulan – matahri di suatu wilayah
indonesia. Bila beda azimuthnya nol (bulan berada tepat di atas matahari
saat terbenam), maka tinggi bulan minimum 8,3 derajat. Sedangkan bila
beda azimuth bulan matahari 6 derajat, tinggi bulan minimum 2,3 derajat.
Kriteria ini masih terlalu rendah dibandingkan dengan kriteria astronomi
20 Wawancara dengan Abdurrahman KS. dan Syarief Ahmad Hakim Op Cit. 21 Wawancara dengan Syarief Ahmad Hakim, Op. Cit
internasional, tetapi mempunyai landasan ilmiah dan dapat diretapkan
dengan sistem hisab lama.22
C. Dasar Hukum Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan
Qomariyah.
Adapun dalil atau dasar hukum yang dijadikan landasan penetapan
awal bulan Qomariyah Persatuan Islam (Persis) adalah sama seperti dasar
hukum yang digunakan Ormas lainnya ataupun pemerintah. Hanya saja
penafsiran yang berbeda sehingga menghasilkan pemahaman yang
berbeda pula. Yaitu bersumber dari al-Qur’an (QS. 2:189, 36:39-40, 10:5,
55:5 6:96, 9:36)dan al-Hadis.23
1. Dasar hukum dari al-Qur’an antara lain:
a. Surat Al-Baqarah ayat 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah; Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-
22 T. Djamaluddin, Menuju Penyatuan Kalender Islam di Indonesia dan
Tinjauan Kriteria Posisi Hilal Diatas Ufuk, disampaikan pada ”Sosialisasi Hisab Rukyah PD Persis Kab. Bandung” 14 Oktober 2006
23 Sebagaiman hasil wawancara dengan Syarief Ahmad hakim pada tanggal 24 Oktober 2007
rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.( QS.2;189)24
b. Surat Yaasiin ayat 39-40
☺
⌧ ☺
⌧ ☺
Artinya: Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,
sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.(39) tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang.dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (40) (QS.36: 39-40)25
Ayat pertama (Al-Baqarah:189) mengandung pengertian bahwa
hilal (bulan sabit muda) dapat dijadikan pedoman waktu untuk manusia,
terutama dalam melaksanakan ibadah haji harus dijadikan acuan miqat
zamani. Mengenai kapan, bagaimana, kearah mana kita melihat hilal, ayat
tadi tidak membicarakannya.
Petunjuk yang lebih jelas dapat kita temukan dalam QS. Yaasiin
39-40. sebagaimana Saadoe’ddin Djambek dalam bukunya Hisab Awal
Bulan menjelaskan tentang ayat ke-39 surat yaasiin tersebut menjadi
petunjuk bahwa kembalinya bentuk bulan seperti tandan tua sebagai awal
24 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung; CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-
Art (J-ART), 2004, hlm. 29 25 Ibid, hlm.442
pergantian bulan Hijriyah. Bentuk bulan seperti itu dapat dilihat dari bumi
menjelang dan setelah bulan mati (Ijtima’), untuk mengetahui bulan sabit
yang mana yang dimaksud dalam ayat ini, maka ayat selanjutnya
menerangkan ”Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan (mengejar)
bulan”.26
Ayat di atas memberikan isyarat kepada kita atas perjalanan
bulanan bulan dan perjalanan tahunan matahari, yang arahnya sama-sama
dari barat ke timur. Bulan menempuh setiap hari 13º dan matahari 1º,
sehingga bulanlah yang lebih cepat (12º), dan tidak ada kemungkinan bagi
matahari mengejar, apalagi mendahuluinya.27
c. Surat Yunus ayat 5
☯ ☺ ☯ ☺
☺
⌧
☺ Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesarannya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS.10:5)28
26 Saadoe’ddin Djambek, Op cit, hlm. 10 27 Ibid, hlm. 11 28 Depag, Op. Cit., hlm. 208
d. Surat Al-Rahman ayat 5
☺ ☺
Artinya: Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS.55:5)29
e. Surat Al-An’am ayat 96
☺ ☺
Artinya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (QS.6:96)30
f. Surat Al-Taubat ayat 36
☺
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan dalam ketentuan Allah dieaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan yang mulia. (QS.9:36)31
2. Dasar hukum dari Hadis antara lain:
a. Hadis riwayat Bukhari
أنه سمع حدثنا أدم حدثنا شعبة حدثنا األسود بن قيس حدثنا سعيد بن عمرو
انا أمة قال أنه النبي صلى اهللا عليه وسلم عنماابن عمر رضى اهللا عنه
29 Ibid, hlm. 531 30 Ibid, hlm. 140 31 Ibid, hlm. 192
يعني مرة تسعة و عشرين و ,, الشهر هكذ وهكذ, أمية ال نكتب وال نحسب
)رواه البخارى( .مرة ثالثين
Artinya: Nabi berkata sesungguhnya kita adalah umat yang ummi yang tidak bisa menulis dan menghisab bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.(HR. Bukhari)32
b. Hadis Riwayat Bukhari
عن نا فع عن عبد اهللا بن عمر رضي هللا عنهما ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم
ال تصوموا حتى تروا الهالل وال تفطروا حتى تروه فان غم : ذآر رمضان فقال
)رواه البخارى( عليكم فاقدروا له
Artinya: Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw menjelaskan bulan Ramadhan, kemudian Beliau bersabda: janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka (berhari raya) sebelum melihat hilal, jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR. Bukhari)33
c. Hadis Riwayat Muslim dan Ibnu Umar
عن ابن عمر رضي اهللا عنهما قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم انما الشهر
فان غم عليكم تسع و عشرون فال تصوموا حتى تروه وال تفطروا حتى تروه
)رواه مسلم (فاقدروا له
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. Berkata; Rasulullah bersabda; satu bulan itu hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan jangan berhari raya sebelum melihat hilal juga, dan jika tertutup awan maka perkirakanlah. (HR. Muslim)34
d. Hadis riwayat Abu Dawud dari Kuraib
32 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Beirut; Daaru Al-
Fikr, tt, hlm.281 33 Ibid, hlm. 280 34 Abu Muslim bin alHajjaj, Shahih Muslim, jilid I, Beirut; Daaru Al-Fikr, tt,
hlm. 481
ر اخبرني محمد بن ابي حدثنا موسى بن اسماعيل حدثنا اسماعيا يعني ابن جعف
قال , ان ام الفضل ابنة الحارث بعثه الى معاوية بالشام: حرملة اخبرني آريب
فاستهل عليه رمضان وانا بالشام فرأينا الهالل ليلة , حاجتهافقدمت الشام فقضيت
: ثم ذآر الهالل فقال , فسألني ابن عباس, ثم قدمت المدينة في اخر الشهر, الجمعة
, نعم ورأه الناس:قال انت رأيته؟ قلت. رأيته ليلة الجمعة: الل؟ قلت متى رأيتم اله
فال نزال نصومه حتى نكمل الثالثين , لكنا رأيناه ليلة السبت, وصاموا وصام معاوية
هكذا أمرنا رسول اهللا , معاوية وصيامه؟ قال الأفال تكتفي برؤية : فقلت, او نراه
)رواه أبي داود(.صلى اهللا عليه وسلمArtinya: Dari Kureb; Sesungguhnya Ummul Fadhal binti Al Harits
menyeru kepada Kureb ke Muawiyah di Syam, Kureb berkata; aku telah sampai di Syam terus menyelesaikan hajatnya Umul fadhal, dan kelihatan hilal Ramadhan kepadaku, sedang aku di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum’at. Selajutnya aku datang di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), maka Abdullah bin Abbas tanya kepadaku.Abdullah bin Abbas membicarakan soal hilal (seraya bertanya; kapan kamu (Kureb) dan teman-temanmu melihat hilal? Maka aku jawab, Kita melihat hilal hari jum’at. Maka Abdullah bertanya lagi; kamu sendiri melihat hilal? Maka jawab Kureb; ya.. dan orang-orang juga melihat hilal dan berpuasa dan Muawiyah juga berpuasa). Maka Abdullah bin Abbas berkata; tapi kita melihat hilal pada malam Sabtu, maka kita selalu berpuasa sehingga bertakmil (mrnyempurnakan) tiga puluh hari. Aku (Kureb) bertanya; apakah kamu (Abdullah) tidak cukup mengikuti rukyahnya Muawiyah di Syam dan puasanya? Abdullah bin Abbas menjawab; Tidak, demikian inilah perintah Rasulullah saw.(HR. Abu Dawud)35
Dari hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di atas Persis
menafsirkan kata Faqduru Lahu dengan ”hitunglah” yang pelaksanaannya
adalah dengan hisab. Dari pemahaman di ataslah yang menjadikan
pemikiran Persis ini berbeda dengan Jumhur Ulama’, Mazhab Rukyah
35 Abu Dawud Sulaiman bin al asy’ab al-sajstaani, Sunan Abu Dawud, Beirut;
Daaru Al-Fikr, tt, hlm. 540
(Nahdlatul ’Ulama’) yang mana Faqduruu lahu dartikannya dengan
Istikmal (menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari) dengan dalil
hadis itu ditafsirkan dengan hadis lain yang secara visual dan jelas
menyebutkan dengan menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.
Seperti hadis yang di riwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Umar:
الشهر تسع و عشرون فال : سلم عن ابن عمر قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه و
غم عليكم فاقدروا له ثالثين) فاذا( فان تصوموا حتى تروه وال تفطروا حتى تروه
)رواه أبي داود(
Artinya: Dari Ibnu Umar berkata; Rasulullah saw. Bersabda Bulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya, dan janganlah kalian berhari raya hingga kalian melihatnya pula, jika kalian terhalang maka perkirakanlah umur bulan 30 hari. (HR. Abu Dawud)36
Kemudian hadis yang diriwayatkan dari Kuraib difahami atas
berlakunya hasil hisab itu sendiri, yang mana bila hasil hisab
menunjukkan keberadaan hilal di satu daerah atau wilayah maka berlaku
untuk daerah tersebut tidak didaerah yang lain. Walaupun wilayah itu
dalam satu kekuasaan hukum seperti Indonesia ini. Hanya saja karena itu
akan mengakibat perpecahan umat maka daerah yang sudah positif
menunggu daerah yang masih negatif atau menurut istilah Saadoe’ddin
Djambek adalah ‘Membelokkan garis batas hari’, yang mana ini sejalan
dengan Qawaidul fiqhiyyah yaitu
درؤ المفاسد مقدم على جلب المصالح
36 Abu Dawud Sulaiman bin al asy’ab al-sajstaani, Op. Cit, hlm. 537
“ Menolak kerusakan didahulukan atas sesuatu yang menarik
kebagusan”37
37 Abu Bakar bin Abil Qosim, Al-Fara-idu Al- Bahiyyah, Terj. Moh. Adib Bisri,
Al- Faraidu Al-Bahiyyah Risalah Qawa-Id Al- Fiqh, Kudus;Menara Kudus, 1977, hlm. 24
BAB IV
ANALISIS METODE HISAB RUKYAH PERSIS DALAM
PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
A. Analisis Metode Hisab Rukyah Persis Dalam Penetapan Awal Bulan
Qomariyah
Metode hisab rukyah Persatuan Islam (Persis) dalam menetapkan
awal bulan Qomariyyah ialah dengan hisab, mengikuti seorang ahli hisab
Persis sendiri yaitu KH. Abdurrahman. Persis pertamakalinya menerbitkan
Almanak pada tahun 1962, baru kemudian pada saat Persis melakukan
mu’tamar tahun 1995 yang kemudian Persis diketuai oleh Siddiq Amien
berdirilah Dewan Hisab Rukyah (DHR).1
Ini berbeda dengan Muhammadiyah yang pemikirannya dalalm hal
penetapan awal bulan Qomariyah ini tertuang dalam keputusan majlis
tarjih di Pencongan Wiradesa Pekalongan pada tahun 1972. dan Nahdlatul
Ulama’ (NU) yang secara formal pemikiran hisab rukyahnya tertuang
dalam keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984, Munas alim
ulama’ di Cilacap 1987 dan rapat kerja Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan
Ratu 1992.2
Dari sini terlihat bahwa Dewan Hisab Rukyah Persatuan Islam
(Persis) terkesan sebuah lembaga yang Independen, padahal Persis
1 Wawancara dengan Syarief Ahmad Hakim (Anggota DHR Persis), pada
tanggal 29 September 2007 2 Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia (Upaya Penyatuan Mazhab
Rukyah dengan Mazhab Hisab), Jogjakarta; Logung Pustaka, 2003, hlm. 94
mempunyai lembaga hukum yang memproduk hukum yang disebut
Dewan Hisbah yang semulanya disebut dengan Majlis Ulama’ Persis,
sebenarnya akan lebih kuat lagi landasan pemikiran Persis dalam
penetapan awal bulan Qomariyah ini bila pemikirannya merupakan hasil
dari keputusan sebuah muktamar melalui dewan hisbah ini.
Adapun kreteria yang dipakai Persis mulai tahun 2000 M adalah
Imkan Al-Rukyah (kemungkinan hilal dapat dilihat) yang artinya
pergantian bulan itu di tentukan dengan hasil hisab dan posisi hilal atau
ketinggian hilal sekian derajat dari ufuk. sama seperti yang di pakai oleh
Pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Agama. Walaupun
sebenarnya sebelumnya Persis menggunakan kreteria-kreteria yang lain
yaitu, Ijtima’ Qoblal Ghurub, Wujudul hilal disebagian wilayah Indonesia,
wujudul hilal diseluruh Indonesia, baru kemudian Imkan Al- Rukyah.
Sedangkan dalam melakukan perhitungan Persis tidak hanya
melakukan perhitungan di Bandung saja melainkan di kota-kota indonesia
yang secara garis besar menjadi titik penentu, karena Indonesia tidak
hanya Bandung saja, yaitu seperti Sabang, Pelabuhan Ratu, Jayapura dan
Meraoke.3
Secara garis besar ada dua metode dalam menghisab awal bulan
Qomariyah yaitu:
1. Hisab Urfi.
3 Wawancara dengan Ahmad Syarief Hakim, pada tanggal 04 Oktober 2007
Yaitu; menentukan awal bulan dengan perhitungan yang
didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi rata-rata mengelilingi
matahari.
Dalam hisab Urfi ini, satu tahun terdiri atas 12 bulan
dimana umur tiap-tiap bulanya relatif tetap atau konstan ada yang
29 hari dan 30 hari( 30 hari untuk bula ganjil dan 29 hari untuk
bulan genap) kecuali umur bulan Dzulhijjah, ini tergantung apakah
tahun basithah atau tahun kabisat, bila tahun basithah berumur 29
hari dan bila kabisat berumur 30 hari. Dalam tahun Hijriyah satu
daurnya adalah 30 tahun, 11 tahun ditetapkan sebagai tahun kabisat
dan 19 tahun ditetapkan sebagai tahun basithah.4 Oleh karena
Hisab Urfi ini sangatlah sederhana, menggunakan bilangan yang
tidak pernah berubah maka hisab urfi ini tidak dapat digunakan
untuk menetapkan awal bulan Qomariyah.
2. Hisab Hakiki
Yaitu penentuan awal bulan Qomariyah dengan
perhitungan yang didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi
sebenarnya. atau pengertian yang paling mudah menurut KH. Noor
Ahmad, yaitu perhitungan yang sudah bisa mengetahui posisi hilal
dan posisi matahari serta ketinggian hilal.
4 Lihat Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, Disampaikan
pada Pendidikan dan Pelatihan Hisab Rukyah Nasional Pondok Pesantren se Indonesia yang diselenggarakan oleh P.D. Pontern DEPAG RI, di Masjid Agung Jawa Tengah, 2007
Dalam hisab hakiki ini umur bulan tidaklah konstan seperti
pada hisab urfi, melainkan tergantung posisi hilal disetiap
bulannya.jadi bisa saja dua kali berturut-turut umur bulan itu 29
hari atau 30 hari.
Dari hisab hakiki ini kemudian muncul hisab hakiki taqribi,
hisab haikiki Tahkiki, dan hisab hakiki kontemporer, yang
membedakan adalah ; kalau hisab hakiki taqribi yang dijadikan
acuan dalam menetapkan awal bulan adalah apakah ijtima’ terjadi
sebelum matahari terbenam atau sesudah matahari terbenam, bila
mana ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka dapat
dipastikan ketika matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk
(positif), dan sebaliknya bila ijtima’ terjadi setelah matahari
terbenam maka ketika matahari terbenam hilal masih dibawah ufuk
(negatif). Dan rumus yang digunakan dalam mencari ketinggian
hilal pun cukup sederhana, yaitu jarak antara ijtima’ dengan
ghurub dibagi dua adalah tinggi hilal saat ghurub atau Tinggi Hilal
= Jam Ghurub – Jam Ijtima’ x 1/2º. Namun kalau hisab hakiki bi
al-tahkik dan hisab hakiki kontemporer, proses perhitungan
dilakukan sangat cermat dengan menggunakan rumus-rumus
trigonometris (segitiga bola), sehingga hasil perhitungannya tidak
ada jaminan bahwa ;bilamana ijtima’ terjadi sebelum matahari
terbenam maka hilal di atas ufuk.5
5 Ibid
Dalam perhitungannya ada beberapa koreksi terhadap tinggi
hilal:
a. Berbeda dalam melihat (Parallaks /ikhtilaf al-mandhar),
dikurangkan. Dengan koreksi ini berarti tinggi hilal
diperhitungkan dari permukaan bumi tempat pengamat,
peninjau, bukan dari titik pusat bumi.
b. Seperdua garis tengah bumi (semidiameter), ditambahkan,
dengan koreksi ini berarti yang diukur adalah piringan atas
bulan, bukan titik pusat bulan.
c. Pembiasan Sinar (Refraksi), ditambahkan. Dengan koreksi ini
yang dihisab adalah tinggi melihat hilal, bukan tinggi nyata.
d. Kerendahan Ufuk (Dip, Ikhtilaf al-Ufuq), ditambahkan.
Dengan koreksi ini berarti tinggi nilai diperhitungkan dari
ufuq mar’i bukan dari ufuk hakiki. Kerendahan ufuk
ditimbulkan oleh ketinggian tempat pengamat, peninjau dari
atas permukaan air laut yang lainnya.
Dalam melakukan perhitungannya Persis mengalami
perubahan atau selalu berkembang, yang semula hanya
menggunakan sistem hisab hakiki taqribi dengan kreteria Ijtima’
Qoblal Ghurub dengan kitab Sullamunnayyiroin, kini sesuai
dengan perkembangannya Persis menggunakan sistem hisab
Ephemeris dengan kreteria Imkan Al-Rukyah. Dan pedoman ini
senantiasa akan selalu berkembnag seiring dengan perkembangan
data-data kontemporer. Jika nanti ditemukan pedoman yang lebih
akurat dan modern, tidak menutup kemungkinan perubahan
pedoman dilakukan oleh Persis.6
Bergantinya satu kreteria ke kreteria lain yang dilakukan
oleh Persis ini menunjukkan bahwa metode dalam menetapkan
awal bulan Qomariyah ini terutama awal bulan Syawal, Ramadhan,
Dzulhijjah adalah bersifat Ijtihadiy, dan kebenaran dari hasil ijtihad
adalah relatif. Kebenaran muthlak hanya Allah yang tau tetapi
orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya
meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-
dalil syari’ah dan empirik yang diperoleh.
Beralihnya kreteria Persis dari Wujudul Hilal ke Imkan Al-
Rukyah ini bukan tanpa alasan, melainkan ada beberapa hal yang
menjadi pertimbangan. Diantaranya; dari segi sumber dalil yang
dijadikan landasan untuk penentuan awal bulan Qomariyah
wujudul hilal ini hanya berdasarkan al-Qur’an saja. Adapun hadis-
hadis yang menjelaskan tentang praktek penentuan awal bulan
Qomariyah pada masa Rasul tidak dijadikan landasan hukum.
Padahal kalau kita lihat fungsi hadis adalah untuk menjelaskan atau
memperinci dalil-dalil al-Qur’an dalam hal ini tentang penentuan
awal bulan Qomariyah yang masih bersifat mujmal (global).
Kalaupun digunakan maka pengertian yang sebenarnya dari hadis-
6 Wawancara dengan Abdurrahman KS. (Ketua DHR Persis) pada tanggal 29
September 2007
hadis tersebut diselewengkan, yaitu dengan menterjemahkan lafald
ra’a melihat dengan akal fikiran.
Untuk mengetahui kebenaran dari pendapat di atas, maka
lafald ra’a tersebut harus diuji dengan kaidah-kaidah bahasa yang
telah dibuat oleh para ahli ushul tentang makna-makna suatu lafald.
Lafald ra’a di atas dapat ditempatkan pada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama ra’a termasuk lafald musytarok,
yaitu suatu lafald yang mempunyai beberapa arti, dimana arti-arti
tersebut adalah : melihat dengan mata, melihat dengan akal pikiran
dan melihat dengan hati. karena persekutuan makna dalam nash
syar’i tersebut terjadi antara beberapa makna lughowi, maka
seorang mujtahid harus berijtihad untuk menentukan arti yang
dimaksud, sebab Syari’ niscaya tidak menghendaki seluruh arti
yang dimaksud, melainkan salah satu dari beberapa arti yang tiga
macam itu. Oleh karena itu seorang mujtahid harus mampu
menunjukkan qarinah atau dalil-dalil yang dapat menentukan arti
yang dikehendaki.7
Bagi yang mengartikan lafald ra’a melihat dengan mata
qarinahnya adalah konteks kalimat dari hadis-hadis tentang praktek
penentuan awal bulan Qomariyah di jaman Rasulullah saw, yang
salah satunya hadis di bawah ini :
7 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Faiz el Muttaqin “ Kaidah
Hukum Islam”, Jakarta: Pustaka amani, 2003, hlm. 258
ور ن أبي ث د ب صباح حدثنا الولي ن ال د ب دثنا محم حدثنا محمد بن اسماعيل ح
ال عن سم ى النبي : ا ك عن عكرمة عن ابن عباس ق . صعم .جاء أعربي ال
م ال نع ه اال اهللا؟ ق شهد أن ال ال ال أت ال , فقال اني رأيت الهالل ق شهد أن : ق أت
م ال نع وا اهللا؟ ق دا رس ال , محم دا : ق صوموا غ اس فلي ي الن الل أذن ف ا ب . ي
)رواه الخمسه(Artinya: Seorang badawi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata:
“sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadahan)” Rasul bertanya: “ apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Orang badawi tersebut menjawab : “ya”. Rasul bertanya lagi : “ apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah?” Orang badawi menjawab : “ya”. Kemudian Rasul bersabda : hai Bilal beritaukanlah kepada orang-orang supaya berpuasa esok hari.8
Berdasarkan hadis di atas selain memberikan isyarat
tentang kesaksian dalam melihat bulan, kita mengetahui bahwa
melihatnya orang badawi (Arab gunung) adalah penglihatan
dengan mata kepalanya sendiri, bukan dengan akal pikirannya atau
dengan hatinya. Sesuai dengan keumuman masyarakat arab pada
waktu itu yang ummi, terlebih lagi bagi orang Arab gunung di atas,
tidak mungkin dia melihat hilal dengan akal pikirannya atau
dengan hasil hisabnya. Jadi lafald ra’a dalam hadis-hadis tentang
penentuan awal bulan Qomariyah memiliki arti melihat dengan
mata kepala karena dari segi konteks mengharuskannya demikian
dan juga tidak ada qarinah lain yang memalingkan artinya selain
melihat dengan mata.
8 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurat, Sunannut Turmudzi, Beirut; Daar Al-
Kutub Al-Amaliyah, Juz III, tt, hlm. 73
Kemungkinan kedua, lafald ra’a ini dikatagorikan lafald
hakiki atau majazi. Hakiki maksud arti yang sebenarnya sedangkan
majazi maksud arti pinjaman (bukan yang sebenarnya).9
Dalam hal ini para ahli ushul membuat kaidah sebagai
berikut:
1. Lafald hakikat (sebebarnya) harus diamalkan
menurut arti yang semula diciptakan untuknya.
2. jika suatu lafadl dapat diartikan arti hakiki dan
majazi hendaklah diartikan dengan arti yang
hakiki, karena arti hakiki itulah yang asli.
Jadi, berdasarkan kaidah di atas mengartikan ra’a melihat
dengan mata itu lebih shahih dibandingkan dengan melihat dengan
fikiran atau melihat dengan hati, karena melihat dengan mata
merupakan arti hakikinya (asli).
Dari argumen di atas sehingga Persis dalam hisabnya
menggunakan kreteria Imkan Al-Rukyah, karena kalau hanya
dengan kreteria wujudul hilal ada kemungkinan besar hilal itu
tidak dapat untuk di lihat, berbeda dengan Imkan Al-Rukyah
minimal ketinggian hilal 2 derajat maka kemungkinan besar hilal
akan dapat dilihat, walaupun dalam fakta empiriknya juga hilal
tidak dapat dirukyat, namun secara ilmiah seharusnya sudah dapat
dilihat dengan mata kepala.
9 Muhammad Jawar Mughniyah, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut; Dar Al-Ilmi Li Al-
Malaayin, tt., hlm. 23
Menurut penulis hisab yang digunakan oleh Persis ini
sudah termasuk hisab yang mutakhir, karena Persis menggunakan
hisab Ephemeris, yang datanya selalu terbaru dan tersedia dalam
setiap jam. Disamping hisab ephemeris ini tergolong hisab
kontemporer, hisab ephemeris ini telah diakui keakurasiannya
sehingga termasuk salah satu hisab yang dipakai oleh Departemen
Agama dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Sehingga dapat
dikatan pula bahwa metode hisab yang digunakan oleh Persis ini
merupakan metode yang bisa digunakan untuk penetapan awal
bulan Qomariyah dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan kreteria yang digunakan oleh Persis adalah
suatu kreteria yang cukup aman dari adanya perbedaan. Karena
kreteria Imkan al-Rukyah inilah yang digunakan oleh Pemerintah
yang dalam hal ini Departemen Agama untuk meminimalisir dan
bahkan menghilangkan adanya perbedaan yang selama ini terjadi.
Dengan tinggi hilal minimal 2 derajat, maka menurut kebiasaan di
Indonesia hilal sudah bisa dirukyah, yang artinya ketika tanggal 29
Qomariyah tinggi hilal suda 2 derajad. Maka mazhab rukyah
kemungkinan besar akan menetapkan bahwa malam itu dan
keesokan harinya tanggal baru karena hilal bisa dilihat, apalagi
mazhab hisab yang menggunakan kreteria wujudul hilal, sudah
barang tentu sama.
B. Analisis Dasar Hukum Metode Hisab Rukyah Persis Dalam
Penetapan Awal Bulan Qomariyah
Dasar hukum yang digunakan oleh Persis dalam menetapkan awal
bulan Qomariyah antara lain:
a. Surat Al-Baqarah ayat 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah; Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS.2;189)10
b. Surat Yaasiin ayat 39-40
☺
⌧ ☺
⌧ ☺
10 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung; CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-Art (J-ART), 2004, hlm. 29
Artinya: Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.(39) tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang.dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (40) (QS.36: 39-40)11
c. Surat Yunus ayat 5
☯ ☺ ☯ ☺
☺
⌧
☺ Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesarannya) kepada orang-orang yang mengetahui.(QS.10:5)12
d. Surat Al-Rahman ayat 5
☺ ☺
Artinya: Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS.55:5)13
e. Surat Al-An’am ayat 96
☺ ☺
Artinya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk
11 Ibid, hlm.442 12 Depag, Op. Cit., hlm. 208 13 Ibid, hlm. 531
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (QS.6:96)14
f. Surat Al-Taubat ayat 36
☺
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan dalam ketentuan Allah dieaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan yang mulia. (QS.9:36)15
g. Hadis Nabi saw.
أنه سمع حدثنا أدم حدثنا شعبة حدثنا األسود بن قيس حدثنا سعيد بن عمرو
انا أمة قال أنه عن النبي صلى اهللا عليه وسلمماابن عمر رضى اهللا عنه
يعني مرة تسعة و عشرين و ,, الشهر هكذ وهكذ, ال نحسبأمية ال نكتب و
)رواه البخارى( .مرة ثالثين
Artinya: Nabi berkata sesungguhnya kita adalah umat yang ummi yang tidak bisa menulis dan menghisab bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.(HR. Bukhari)16
h. Hadis Nabi saw.
ال اد ق ن زي د ب دثنا شعبة حدثنا محم ه : حدثنا أدم خ رة رضي اهللا عن ا هري سمعت أب
ول لم : يق ه وس ي صلى اهللا علي ال النب ال –ق ه : او ق م صلى اهللا علي و القاس ال أب ق
ز , صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته : موسل دة شعبام ثالثين أآملوا ع يكم ف ان غبي عل ف
)رواه البخارى(
14 Ibid, hlm. 140 15 Ibid, hlm. 192 16 Muhammad Ibn Isma’il Al- Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Beirut; Dar al
Fikr, tt, hlm.281
Artinya: Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian semua tertutupi atau terhalangi maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.(HR. Bukhari)17
i. Hadis Nabi saw.
عن نا فع عن عبد اهللا بن عمر رضي هللا عنهما ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم
ال تصوموا حتى تروا الهالل وال تفطروا حتى تروه فان غم : ذآر رمضان فقال
)رواه البخارى( عليكم فاقدروا له
Artinya: Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw menjelaskan bulan Ramadhan, kemudian Beliau bersabda: janganlah kamu berpuasa sampai kam melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka (berhari raya) sebelum melihat hilal, jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR. Bukhari)18
j. Hadis Nabi saw.
عن ابن عمر رضي اهللا عنهما قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم انما الشهر
تسع و عشرون فال تصوموا حتى تروه وال تفطروا حتى تروه فان غم عليكم
)رواه مسلم (فاقدروا له
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. Berkata; Rasulullah bersabda; satu bulan itu hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan jangan berhari raya sebelum melihat hilal juga, dan jika tertutup awan maka perkirakanlah. (HR. Muslim)19
k. Hadis Nabi saw.
يعني ابن جعفر اخبرني محمد بن ابي لحدثنا موسى بن اسماعيل حدثنا اسماعي
قال , ان ام الفضل ابنة الحارث بعثه الى معاوية بالشام: حرملة اخبرني آريب
الشام فرأينا الهالل ليلة فاستهل عليه رمضان وانا ب,فقدمت الشام فقضيت حاجتها
17 Ibid 18 Ibid, hlm 280 19 Abu Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, jilid I, Beirut; Dar al Fikr, tt, hlm.
481
: ثم ذآر الهالل فقال , فسألني ابن عباس, ثم قدمت المدينة في اخر الشهر, الجمعة
, نعم ورأه الناس:قال انت رأيته؟ قلت. رأيته ليلة الجمعة: متى رأيتم الهالل؟ قلت
فال نزال نصومه حتى نكمل الثالثين, لكنا رأيناه ليلة السبت, وصاموا وصام معاوية
هكذا أمرنا رسول اهللا , أفال تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ قال ال: فقلت, او نراه
) داودورواه أب(.صلى اهللا عليه وسلمArtinya: Dari Kureb; Sesungguhnya Ummul Fadhal binti Al Harits
menyeru kepada Kureb ke Muawiyah di Syam, Kureb berkata; aku telah sampai di Syam terus menyelesaikan hajatnya Umul fadhal, dan kelihatan hilal Ramadhan kepadaku, sedang aku di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum’at. Selanjutnya aku datang di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), maka Abdullah bin Abbas tanya kepadaku.Abdullah bin Abbas membicarakan soal hilal (seraya bertanya; kapan kamu (Kureb) dan teman-temanmu melihat hilal? Maka aku jawab, Kita melihat hilal hari jum’at. Maka Abdullah bertanya lagi; kamu sendiri melihat hilal? Maka jawab Kureb; ya.. dan orang-orang juga melihat hilal dan berpuasa dan Muawiyah juga berpuasa). Maka Abdullah bin Abbas berkata; tapi kita melihat hilal pada malam Sabtu, maka kita selalu berpuasa sehingga bertakmil (menyempurnakan) tiga puluh hari. Aku (Kureb) bertanya; apakah kamu (Abdullah) tidak cukup mengikuti rukyahnya Muawiyah di Syam dan puasanya? Abdullah bin Abbas menjawab; Tidak, demikian inilah perintah Rosulullah saw.(HR. Abu Dawud)20
Memahami dari beberapa teks dari dasar hukum tersebut baik dari
Al-Qur’an maupun Al-Hadis, menjadi penyebab perbedaan dalam metode
dan kreteria yang dipakai oleh Persis dalam penetapan awal bulan
Qomariyah, terutama Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, yang rawan
dengan adanya perbedaan.
Kata Inna ummatun ummiyatun la naktubu wala nahsabu difahami
bahwa pada jaman dahulu yaitu masa nabi dan sahabat belum berkembang
20 Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ab Al-Sajstaani, Sunan Abi Dawud, Beirut;
Daar Al Fikr, tt, hlm. 540
bahkan belum menguasai tentang ilmu hisab, sehingga suatu hal yang
wajar bila dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan metode yang
sangat sederhana yaitu dengan melihat bulan dan dengan
menyempurnakan bilangan bulan (istikmal) bila bulan terhalang untuk
dilihat, namun diera sekarang sudah berbeda dengan dulu, sekarang ilmu
hisab yang dapat memastikan keberadaan bulan, matahari dengan akurasi
yang sangat tinggi sudah berkembang, sehingga hisab merupakan salah
satu metode yang dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan
Qomariyah.
Namun perlu kita ketahui bahwa pertama kali orang yang
memperhatikan perbintangan atau bisa dikatakan penemu ilmu hisab
adalah Nabi Idris as. 21 dan Nabi Muhammad beserta shahabat adalah
Qurun setelah Nabi Idris as. Sehingga perlu dipertanyakan kembali
maksud dari pernyataan Nabi Muhammad saw. Tersebut yaitu inna
ummatun ummiyyatun la naktubu wa la nahsabu. Apakah seperti yang
difahami Persis atau mempunyai maksud yang lain.
Kata suumuu dan afthiruu, dalam hadis di atas adalah bentuk kata
amr yang berasal dari kata shoma, yashumu, shoumam wa shiyaaman dan
afthoro yufthiru ifthoron, yang bermakna berpuasalah dan berbukalah
(berhari rayalah).22 Dan bentuk amr sesuai dengan kaidah ushul
menunjukkan kata wajib.23 Kemudian dilanjutkan dengan kata liru’yatihi
21 Zubair Umar Jaelany, Al-Khulashoh Al-Wafiyah, Surakarta;Melati, tt, hlm. 5. 22 Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia,
Surabaya;Pustaka Progresif, 1997, Cet. IV, hlm. 804 dan 1063 23 Muhammad Jawwar Mughniyah, Op. Cit, hlm. 49
yang berasal dari kata ra’a , yaraa, ra’yan wa ru’yatan, yang mempunyai
makna melihat (abshara), mengerti (adroka),
menyangka/menduga/mengira (hasiba)24 yang kemudian difahami oleh
Persis dengan melihat (abshoro) dengan qorinah hadis Nabi :
د بن أبي ثور عن سما ك حدثنا محمد بن اسماعيل حدثنا محمد بن الصباح حدثنا الولي
ال اس ق ن عب ة عن اب ي : عن عكرم ى النب ي ال اء أعرب ت . صعم.ج ي رأي ال ان فق
م ال نع ه اال اهللا؟ ق شهد أن ال ال ال أت ال, الهالل ق ال : ق وا اهللا؟ ق دا رس شهد أن محم أت
)ةرواه الخمس. (يا بالل أذن في الناس فليصوموا غدا: قال , نعمArtinya: Seorang badawi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata:
“sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadahan)” Rasul bertanya: “ apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Orang badawi tersebut menjawab : “ya”. Rasul bertanya lagi : “ apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah?” Orang badawi menjawab : “ya”. Kemudian Rasul bersabda : hai Bilal beritaukanlah kepada orang-orang supaya berpuasa esok hari.25
Bahwa melihatnya orang Arab Badawi (Arab gunung) tentunya
dengan mata kepalanya bukan dengan ilmunya yang dalam hal ini adalah
hisab.karena mereka termasuk ummiyatun yang tidak bisa membaca dan
menulis. Sehingga menurut penulis bila dirangkai akan menjadi sebuah
perintah berpuasa dan berhari raya dikarenakan melihat hilal dengan mata
kepala, bukan dengan hisab. Dan bukan difahami sebagai kreteria dalam
hisab semata, seperti yang difahami oleh persis yaitu sebagai dasar atas
kreteria Imkan Al-Rukyahnya.
24 Ibid hlm. 460.
25 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurat, Sunannut Turmudzi, Beirut; Daar Al-Kutub Al-Amaliyah, Juz III, tt, hlm. 74
Kemudian hadis berikutnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari
menggunakan redaksi dengan bentuk nahi; la tashumu dan la tufthiru dan
diikuti dengan kata hatta tarauhu, sehingga secara lahir bisa difahami
bahwa kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya) ditangguhkan
dengan melihat hilal artinya siapapun tidak boleh berpuasa dan berhari
raya hingga mereka telah melihat hilal. Namun bukan itu yang dimaksud,
melainkan cukup sebagian dari mereka saja, bahkan menurut jumhur
ulama’ cukup hanya dengan melihat hilalnya orang satu saja.26
Kata selanjutnya fain ghumma ‘alaikum faqduru lahu mengandung
dua pengertian pertama membedakan hukum ketika keadaan langit cerah
dan keadaan langit mendung, yaitu digantungkannya puasa dengan rukyah
ketika keadaan langit cerah, sedangkan ketika keadaan langit mendung
maka mempunyai hukum yang lain. Kedua tidak membedakan. Dalam hal
ini kebanyakan mazhab Hambali lebih cenderung ke pendapat pertama
sedangkan Jumhur Ulama’ lebih cenderung ke pendapat kedua, sehingga
kata faqduru lahu diartikan menyempurnakan sempurnanya bulan yaitu 30
hari, penakwilan ini didasarkan atas riwayat-riwayat lain yang
menjelaskan maksud faqduru lahu dengan kata fa’akmilu ’iddata
tsalatsina dan kata sejenisnya, karena lebih bagusnya menjelaskan hadis
adalah dengan hadis yang lain.27
Namun berbeda dengan apa yang telah di nuqil oleh Ibnul Aroby
dari Ibnu Suraij, bahwa kata faqduru lahu adalah ditujukan bagi mereka
26 Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolany, Fathul Bari bi Syarhi sohihil Bukhory, Baerut; Daar Al-Fikr,tt, hlm. 125.
27 Ibid, hlm. 121
yang diberi anugrah oleh Allah dengan ilmu yang dalam hal ini adalah
ilmu hisab, sedangkan kata fa’akmilul ’iddata di tujukan bagi orang
umum.28
Dari perbedaan khitob dari kata faqduru lahu dan faakmilul iddata
jelas bahwa redaksi faqduru lahu lah yang dijadikan dasar oleh mazhab
hisab karena khitobnya memang bagi mereka yang menguasai ilmu hisab.
Namun perlu kita garis bawahi bahwa huruf fa’ yang ada di faqduru lahu
adalah merupakan fa’ jawab dari huruf in syarat yang ada di in ghumma
alaikum, sehingga beradasarkan hasil hisab itu digantungkan dengan
apabila kondisi langit dalam keadaan mendung, dengan kata lain bila
langit dalam keadaan cerah maka berdasarkan hadis di atas yang lebih
mendekati kebenaran adalah dengan rukyah.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Persis
dalam penetapan awal bulan Qomariyah, menurut penulis tidak secara
tegas ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penetapan awal bulan
Qomariyah adalah dengan hisab. hanya ayat-ayat tersebut memberikan
isyarat bahwa bulan dan matahari bisa dijadikan pedoman dalam
menetapkan waktu-waktu beribadah. Adapun surat 55:5 diartikan oleh
Ibnu Zaid dan Ibnu kaisan dalam kitab tafsirnya Al-Syaukany bahwa
dengan matahari dan bulan, waktu, ajal dan umur di hitung.29 Bulan dan
matahari disini bukan dijadikan sebagai obyek perhitungan namun justru
sebagai alat untuk menghitung waktu-waktu, ajal maupun umur.
28 Ibid, hlm 122. 29 Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani. Fath Al-Qodir, Beirut:Dar
Al-Kutub Al-Amaliyah, tt, juz V, hlm. 163
Dengan kata lain bahwa apa yang ditunjukkan dalam al-Qur’an
tersebut masih umum atau masih global, sehingga muncullah hadis hisab
rukyah yang sudah tidak asing lagi yaitu:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فان أغمى عليكم فاقدروا له
Dan hadis-hadis yang sejenis dengan ini yang mungkin menggunakan
redaksi yang agak sedikit berbeda namun mempunyai maksud dan tujuan
yang sama. Hadis inilah yang memperjelas keglobalan yang terkandung
dalam al-Qur’an.
Dengan adanya hadis tersebut maka nampak bahwa yang
dimaksudkan dalam al-Qur’an di atas dan yang lebih mendekati kebenaran
adalah dengan rukyah, bukan dengan hisab. karena dengan adanya kata
fain ghumma kata rukyah dalam hadis di atas seharusnya diartikan sengan
melihat dengan mata kepala bukan dengan ilmu (ilmu hisab), karena bila
diartikan dengan melihat dengan ilmu (hisab), maka tidak akan pernah ada
kata fain ghumma, karena ada dan tidak adanya mendung tidak akan
pernah berpengaruh dengan hisab.atau dengan kata lain dengan hisab tidak
akan pernah terhalangi. Sedangkan hadis di atas walau dengan redaksi
yang berbeda selalu disertai dengan kata fain ghumma atau fain ughbiya.
Namun demikian bukan berari metode yang digunakan
Persis ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan awal bulan
Qomariyah, terutama Ramadhan, Syawal dab Dzulhijjah yang rawan akan
adanya perbedaan. Dengan kreteria imkan al-rukyah yang digunakan
dalam hisabnya Persis ini menjadikan metode hisabnya lebih mendekati ke
metode rukyah. Dan bukan berarti pula mengesampingkan hasil
perhitungan hisab. hisab sangat penting untuk memandu dalam
melaksanakan rukyah. Bahkan ulama’ Syafi’iyyah sendiri memberikan
tempat yang layak kepada hasil perhitungan hisab. seperti tercermin dalam
ungkapan-ungkapan yang membolehkan ahli hisab dan orang-orang yang
mempercayai hisabnya untuk berpuasa dan berhari raya. Imam Nawawi al-
Jawi misalnya menyatakan bahwa ’’bagi ahli hisab dan yang
mempercayainya boleh dan wajib melaksanakan puasa berdasarkan
hisab’’.30
30 Al-Nawawi, Kasifah al-Saja, Alma’arif;Bandung, tt, hlm. 116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam penetapan awal bulan Qomariyah Persatuan Islam (Persis)
menggunakan metode hisab. yaitu mengikuti ahli hisabnya Persis (KH.
Abdurrahman) yang pada waktu itu (1962) Persis baru pertamakalinya
menyusun Al-Manak. Sedangkan hisab yang digunakan adalah hisab
Ephemeris, pada awalnya Persis memakai hisab Sullam Al-Nayyiroin,
namun karena sesuai perkembangan dan akurasi data yang dipercaya
kini Persis menggunakan hisab yang mutakhir yaitu Ephemeris.
Sedangkan kreteria yang digunakan dalam hisabnya persis juga
mengalami perkembangan pada awalnya Persis menggunakan Ijtima’
Qoblal Ghurub, kemudian Wujud Al-Hilal (disebagian wilayah
Indonesia), kemudian Wujud Al-Hilal (diseluruh wilayah Indonesia)
dan kini menggunakan kreteria Imkan al- Rukyah (kemungkinan hilal
bisa dilihat) atau kreteria MABIMS yaitu:
- Tinggi hilal minimal 2 derajat
- Selisish azimuth matahri dan bulan minimal 3 derajat dan
- Umur bulan minimal 8 jam.
Sehingga walaupun Persis ini menggunakan metode hisab dalam
menetapkan awal bulan Qomariyah, namun dengan menggunakan
kreteria imkan al-rukyah maka hampir sama dengan metode rukyah.
Dalam artian kemungkinan berbeda dengan metode rukyah dalam
penetapan awal bulan Qomariyah itu sedikit.seperti yang terjadi pada
1 Syawwal 1428 Persis dengan Nahdlatul Ulama’ sama yaitu jatuh
pada tanggal 13 Oktober 2007, namun tidak dengan Muhammadiyah,
karena walaupun sama-sama menggunakan hisab tapi berbeda dalam
memakai kreteria.
2. Dasar hukum atas penetapan awal bulan Qomariyah yang digunakan
oleh Persatuan Islam (Persis) tidak beda jauh dengan dasar hukum
yang digunakan oleh Ormas-ormas lain ataupun Pemerintah. Yaitu
bersumber dari Al-Quran Al-Karim (QS. 2:189, 36:39-40, 10:5, 55:5,
6:96) dan hadis Nabi, hanya saja menurut penulis apa yang terkandung
dalam Al-Qur’an tersebut belum secara jelas menunjukkan bahwa
penetapan awal bulan Qomariyah adalah dengan hisab, melainkan
hanya memberikan isyarat bahwa bulan dan matahari bisa dijadikan
dasar mengetahui waktu apakah itu dengan melihat atau menghitung.
Surat 55:5 misalnya justru bulan dan matahari sebagai alat dalam
perhitungan bukan sebagai obyek perhitungan. Sehingga muncullah
hadis sumu lirukyatihi...sebagai penjelas Al-Qur’an tersebut.dan
dengan adanya kata fain ghumma dalam hadis tersebut maka kata
rukyah tidak bisa difahami kecuali melihat dengan mata kepala. Bukan
melihat dengan ilmu (ilmu hisab). sementara kita tidak pernah
menjumpai hadis sumu lirukyatihi...atau sejenisnya tanpa disertai
dengan kata fain ghumma. Menurut penulis itu menandakan bahwa
yang lebih mendekati kebenaran dalam penetapan awal bulan
Qomariyah adalah dengan rukyah bukan dengan hisab. hanya saja
tidak mengabaikan hisab karena dengan hisab dapat kita jadikan
pedoman dalam pelaksanaan rukyah.
B. Saran-saran.
1. Para Ormas Islam yang ada di Indonesia yang biasanya mengeluarkan
ketetapan sendiri selain ketetapan pemerintah, seperti Nahdlatul
Ulama’, Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Hisbut Tahrir, terutama
menjelang awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, hendaknya
menunggu hasil isbat Departemen Agama baru di umumkan kepada
anggotanya masing-masing. Sehingga tidak lagi terjadi beda hari raya
yang dapat memecah-belah umat Islam di Indonesia.
2. Perbedaan penetapan awal bulan Qomariyah yang terjadi, sebenarnya
bukan semata-mata karena perbedaan metode Hisab dan metode
Rukyah semata. Melainkan sebenarnya dalam hisab sendiri dan dalam
rukyah sendiri ada hal-hal yang belum disepakati. Kemudian yang
paling utama adalah bila mana antara Ormas dan Pemerintah
menyepakati satu kreteria maka perbedaan itu akan dapat kita atasi,
dan itupun tidak cukup diungkapkan belaka, melainkan harus
dijalankan dengan penuh kesadaran beragama dan bernegara.
3. Karena Ilmu Hisab merupakan ilmu yang langka, marilah kita pelihara
dan kita kembangkan sehingga ilmu ini bisa diketahui oleh banyak
masyarakat, karena ilmu ini sangat penting dan bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari seperti waktu shalat dan arah qiblat, dan juga
dalam setiap bulan dan tahun seperti bulan-bulan yang ada kaitanya
dengan pelaksanaan ibadah wajib. Penulis sangat apresiatif pada IAIN
Walisongo dengan adanya prodi baru di Fakultas Syari’ah yaitu
Takhossus Falak, karena dengan demikian IAIN Walisongo semarang
benar-benar memperhatikan Ilmu Falak khususnya Fakultas Syari’ah.
C. Penutup
Demikian yang dapat penulis susun dan sampaikan. Rasa syukur
penulis haturkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan petunjuk
serta kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan dari berbagai
segi dan jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah,
sehingga saran dan kritik konstruktif penulis harapkan untuk kebaikan dan
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap dan berdo’a semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Asqolany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari bi Syarhisohihil
Bukhory, Baerut; Darul Fikr,tt, hlm. 125. Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shohih bukhori, Juz II, Beirut; Dar al
Fikr, tt ______, Shohih Bukhari, Juz III, Beirut; Dar al Fikr, tt. Abil Qosim, Abu Bakar, al-Fara-idul bahiyyah, Terj. Moh. Adib Bisri, al-
Faraidul bahiyyah Risalah Qawa-Id Fiqh, Kudus;Menara Kudus, 1977.
Al-Hajjaj, Abu Husain Muslim , Al jami'u Al Shohih, jilid III, Beirut; Dar
Al- Fikr, tt . ______, Shohih Muslim, jilid I, Beirut;Dar al Fikr, tt. Al-sajstaani, Abi Dawud Sulaiman bin al asy’ab, Sunan Abi Dawud,
Beirut; daar al Fikr, tt. Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab –
Indonesia, Surabaya;Pustaka Progresif, 1997, Cet. IV. Anam, A. Syifa'ul, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyyah Dalam
Kitab Khulasoh Al Wafiyyah dengan Metode Haqiqi Bi Tahqiq, Skripsi Sarjana Fakulta Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, 2001, tp.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta; Penerbit Rineka Cipta, 2002. Azhari, Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia, Studi atas
pemikiran Saadudin Djambek, PustakaPelajar;Yogyakarta;2002, ______, Ensiklopedi Hisab Rukyah, yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005 ______, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia,(studi Analisis
Pemikiran Saadoe'ddin Djambek), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2002.
Azwar, Saifuddin, MA. Metode Penelitian, Yogyakarta;Pustaka Pelajar,
Cet IV, 2004
Depag, Badan Hisab dan Rukyat, Almanak hisab rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam;Jakarta, 1981
______, Pedoman Tehnik Rukyah,Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam;1994/1995.
______, Al Qur'an dan terjemahannya, Bandung; CV Penerbit Jumanatul Ali-ART, 2005.
______, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah Dengan Ilmu Ukur Bola: Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum Dan Peradilan Agama;Jakarta,tt
______, Jurnal Hisab Rukyat, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam :Jakarta, 1999/2000.
Djamaluddin, Thomas, Menuju Penyatuan Kalender Islam di Indonesia
dan Tinjauan Kreteria Posisi Hilal diatas Ufuk, disampaikan pada “sosialisasi Hisab Rukyah PD Persisi Kab. Bandung” tanggal 14 oktober 2006.
______, Menggagas Fiqh Astronomi (Telaah Hisab Rukyah dan
Pencarian Solusi Perbedaan hari raya), Bandung: Kaki Langit, 2005.
______, Menuju Penyatuan Kalender Islam Di Indonesia, yang disampaikan pada acara seminar Nasional dan Launching Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Ilmu falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada tanggal 9 Agustus 2007 di Auditorium I lt.2 IAIN Walisongo-Semarang
Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta ;Tintamas, 1976. Federspiel, Howard M., Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia
Abad XX, Judul Asli, Persatuan Islam;Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Penerjemah;Yudian W. Asmin dan H. Afandi Mochtar, Yogyakarta;Gadjah Mada University Press, 1996,
Hakim, Syarief Ahmad, Kriteria Wujudul Hilal dan Imkanur Rukyah
Dalam Tinjauan Syara’, Makalah disampaikan dalam acara Muthala’ah dan Mubahasah PW Pemuda Persis DKI Jakarta, di Masjid al-Husaini, Johar baru, Ahad, 26 Agustus 2007
Hambali, Slamet, dalam Makalah yang disampaikan pada lokakarya
Imsyakiyyah Ramadhan 1425 H. di IAIN Walisongo Semarang hari Rabu, 15 September 2004, dengan judul; Hisab Hakiki Untuk Awal Ramadhan dan Syawal 1425 H. 2004 M. Menggunakan Sistem Ephemeris, dengan Markaz Pantai Marina Semarang.
______, Melacak Metode Penentuan Poso &Riyoyo Kalangan Keraton Yogyakarta, Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2003,tp.
______, Hisab awal bulan sistem ephemeris, disampaikan pada pendidikan dan pelatihan hisab rukyah nasional pondok pesantren se indonesia yang diselenggarakan oleh P.D. Pontern DEPAG RI Masjid Agung Jawa Tengah tgl 3 samapi 7 September 2007.
Hafidz, Endang Sirodjuddin et al.,. Pergulatan pemikiran Kaum Muda
Persis, Bandung ;Granada, 2006 Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukah Praktis dan
Solusi Permasalahannya), Komala Grafika;Semarang, 2006, ______, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia ( Upaya Penyatuan Mazhab
Rukyah dengan Mazhab Hisab) Yogyakarta; Logung pustaka,, cet. I, 2003.
______, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi Atas Kitab Fath al-Rauf al-Mannan) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang,2005. tp.
______, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen (Studi Atas Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2006, tp.
______, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi Atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi) Penelitian Individual IAIN Walisongo Semarang, 2004, tp.
Jaelany, Zubair Umar, al-Khulashoh al-Wafiyah,Surakarta;Melati, tt. Khazin, Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta; Buana Pustaka, 2005. ______, Ilmu Falak Dalam teori dan Praktik, Yogyakarta; Buana Pustaka,
Cet. I, 2004. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Faiz el Muttaqin “ Kaidah
Hukum Islam”, Jakarta: Pustaka amani, 2003. Kamiluddin, Uyun, Menyorot Ijtihad Persis (Fungsi dan Peranan dalam
Pembinaan Hukum islam di Indonesia), Bandung; Tafakur,2006. M. Amirin, Tatang, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta;PT
RadjaGrafindo Persada, 1995. Mughniyah, Muhammad Jawar, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut; Darul Ilmi Lil
Malaayin, tt.
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, cet. I (Jakarta;Djambatan,1992).
P. Simamora, Ilmu Falak (Kosmografi), CV. Pedjusng Bangsa;Jakarta,
1985. Qanun Asasi-Qanun Dakhili Penjelasan Qanun Asasi-Qanun Dhakhili
Pedoman Kerja Program Jihad 2005-2010 Persatuan Islam (Persis), Bab I Pasal 1 No 1 dan 2, Bandung;Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), 2005.
Rahmat, Asep Basuki, Menelusuri Pemikiran Keagamaan KH. A.
Ghazali, Bandung ;RSIN FIKR, 2004, hlm 41, lihat juga Ki Udin, ”KH Ali Ghazali Ulama Ahli hisab”, Akhbarul Jam’iyyah,VII16, April-Juni, 2007.
Rofiq , Ahmad, Fiqh Kontekstual (dari Normatif ke Pemaknaan Sosial),
Pustaka Pelajar ; Yogyakarta, Cetakan I, 2004. Ruskanda, S. Farid, dkk., Rukyah Dengan Teknologi (Upaya mencari
Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal ramadhan dan Syawal, Gema Insani Press;Jakarta, 1994.
Saurat,Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunannut Turmudzi, Beirut; Daarul
Kutub al Amaliyah, Juz III, tt. Supriatna,Encup, Hisab Rukyah dan Aplikasinya, Bandung:PT Radika
Aditama, 2007, hlm xii. Lihat juga Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005.
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif ; Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta ; Rajawali, 1986. Taufiq, M. Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Qomariyyah
Menurut Muhammadiyah Dalam Perspektif Hisab Rukyah Di Indonesia, Skripsi Sarjana Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, 2006, tp.
Wawancara dengan Abdurrahman KS (Ketua DHR Persis) dan Syarif
Ahmad Hakim (Anggota DHR Persis) di Bandung pada tanggal 29 September 2007.
Wawancara dengan Hazmiludi, Sekretaris Umum Persis, pada tanggal 30
Juli 2007. Wawancara dengan Dr. Thomas Djamaluddin pada tanggal 30 Juli 2007.
Wawancara dengan Syarief Ahmad Hamkim (Anggota DHR Persis), pada tanggal 04 Oktober 2007 .
Widiana, Wahyu, MA, Sambutan dalam Buku Menggagas Fiqh
Astronomi, (telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya), Bandung;Kaki Langit, 2005.
www.mutoha.blogspot.com/2006/09/hilal-ramadhan.html. www.alexbudiyanto.web.id www.indomedia.com/tribunjabar
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
N a m a : Sudarmono
Tempat Tanggal Lahir : Grobogan 10 April 1981
Alamat Asal : Jl. Teratai no 268 Rt 03 / IX Pangkalankuras
Pelalawan Riau
Alamat Sekarang : Jl. Beringin Putih D7 No. 4 Rt 03 Rw 09 Beringin
Ngaliyan Semarang
Jenjang Pendidikan :
a. Pendidikan formal
1. Sekolah Dasar Negeri 004 Sorek Satu Pangkalankuras Kampar
Riau lulus tahun 1992
2. Sekolah menengah Umum Tingkat Pertama Negeri Sorek Satu
Pangkalankuras Kampar Riau lulus tahun 1995
3. Sekolah Menengah Umum Budi Luhur Gabus Grobogan lulus
tahun 2003
b. Pendidikan Informal
1. Madrasah Tsanawiyah ”Manbaul Ulum” Bandungsari Ngaringan
Grobogan lulus tahun 2000
2. Madrasah Aliyah ” Manbaul Ulum” Bandungsari Ngaringan
Grobogan lulus tahun 2003
3. Pondok Pesantren ”Al-Ma’ruf” Bandungsari Ngaringan Grobogan
1997-2003
4. Pondok Pesantren ”Daarun Najaah” Jrakah Tugu Semarang 2003-
2004
Semarang 13 Desember 2007
Sudarmono
NIM. 2103118
CONTOH HISAB HAKIKI SISTEM EPHEMERIS UNTUK AWAL SYAWWAL 1428 H. DENGAN MARKAS KOTA BANDUNG JAWA BARAT
( 107º 37’ BT 6º 57’ LS dan H; 100 m)
Melakukan Konversi dari Hijriyah ke Masehi. 29 Ramadhan 1428 H. Dengan langkah-langkah sebagai berikut 1. Menghitung Perkiraan Akhir Dzulhijjah 1427 H.
1427 /30 = 47 x 10631 = 499.657 hr Sisa 17 = 17 x 354 + 6 (k) = 6. 024 hr Akhir Dzulhijjah 1427 H. s/d 29 Ramadhan 1428 h = 265 hr Jumlah 505 946 hr Selisih (H – M) = 227 012 hr+ Jumlah 732 958 / 1461 = 501. (501 x 1461) = 731 961 – Sisa = 997 / 365 = 2 th M. (2 x 365) = 730 – Sisa = 267 Th 1 M + 501 x 4 + 2 = th 2007 M Anggran Consili & Gregorius (3+10+3) = 16 + Jumlah 283 Akhir Bln Masehi Sempurna (September 2007) = 273 – Sisa = 10 Sisa 10 adalah 10 Oktober 2007M. Kesimpulannya menurut sistem hisab istilahi 29 Ramadhan 1428 H bertepatan tanggal 10 Oktober 2007 M. Hari dan Pasarannya Rabu Kliwon (dengan tabel Almanak Sepanjang Masa)
2. Menentukan terjadinya ijtima’ yang diperkirakan terjadi sekitar 10 Oktober 2007 M. Dengan langkah:
a. FIB terkecil pada tgl 10 Oktober 2007M. Cahaya bulan terus menurun dan terendah diperoleh pada tanggal 11 Oktober 2007 M. Pkl 4 GMT, pkl 5 GMT, pkl 6 GMT. Perhatikan 2 ketentuan yaitu: pertama; Al harus lebih kecil dari EL. Kedua; AL harus lebih besar dari EL. Ternyata didapatkan: antara pkl 5 dan 6 GMT / 12 dan 13 WIB. Jam GMT EL AL 05 197º30’24” 197 º29’16” 06 197 º32’53” 197 º59’05”
b. Mencari saat Ijtima’ dengan interpolasi dengan rumus: Ijtima’ : J1 + ((EL1 – AL1) / (( AL2 – AL1) – (EL2-EL1))) = 05 +((197 º30’24” - 197 º29’16”) / ((197 º59’05” - 197 º29’16”) -197 º32’53” - 197º30’24”))) = 05. 02 29.27 GMT + 7 (wib) = 12. 02 29 WIB
3. Menentukan terbenam matahari di kota Bandung pada tanggal 11 Oktober 2007M.
a. Menghitung tinggi matahari saat terbenam dengan rumus Ho = -(ku + Ref + sd)
Ku = 0º1.76’√ h =0º1.76’√ 100 m =0º17’36” Ho = -(0º17’36” + 0 º34’ +0 º16’) = -1 º7’36”
b. Menentukan deklenasi matahari dan Equation of Time taqribi. perkiraan maghrib jam 18.00 WIB atau 11 GMT. Diperoleh data: D= -6 º 57’57” e= 0. 13 10
c. Menentukan sudut waktu taqribi matahari dengan rumus: Cos t= sin h / cos P/ cos D – tan P x tan D = sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos-6 º 57’57” - tan cos -6º 57’ x tan -6 º 57’57” To = 91º59’49.61” = 6. 07 59.31 =12 + (6º7’59.31”) =18º7’59.31” – (0º13’10’) + ((105 - 107º37’)/15) =17º44’22” (WIB)
d. Menentukan Deklenasi dan (e) hakiki pada pkl 17.44 22 WIB Dengan cara melakukan takdil dengan rumus : D= D1 –(D1 – D2) x Sisa D1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) =-6º57’00” D2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) =-6º57’57” S (sisa) = 0º44’22” -6º57’00” – (-6º57’00”- -6º57’57”) x 0º44’22” = -6º57’42.15” E1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) = 0º13’09” E2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) = 0º13’10” 0º13’09” – (0º13’09” - 0º13’10”) x 0º44’22” = 0º13’09.74”
e. Menentukan sudut waktu matahari hakiki = Sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos-6 º 57’42.15” - tan cos -6º 57’ x tan -6 º 57’42.15” = 91º59’47.73” = 6º7’ 59.18” = 17. 44 22 WIB
4. Menetukan Azimuth Matahari saat terbenam. Cotan Ao = tan D x Cos P / Sin to – Sin P / tan to = tan -6 º 57’42.15” x cos-6º 57’/ sin 91º59’47.73” – sin -6º 57’ / tan 91º59’47.73” = - 82º50’48.21” = 180 + 82º50’48.21” AZo = 262º50’48”
5. Menentukan Apparent Righ Ascension Matahari (ARAo) dengan rumus takdil. ARAo1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 196º19’42”
ARAo2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 196º22’00” S (sisa) = 0º44’22” = 196º19’42” – (196º19’42” - 196º22’00”) x 0º44’22” = 196º21’24”
6. Menentukan Apparent Righ Ascension Bulan (ARA() ARA( 1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 197º04’34” ARA( 2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 197º31’50” = 197º04’34” – (197º04’34” - 197º31’50”) x 0º44’22” = 197º24’43”
7. Menentukan sudut waktu bulan T = ARAo +to – ARA(
=196º21’24” + 91º59’47.73” - 197º24’43” = 90º56’28.73”
8. Menentukan Deklenasi bulan D1 = -11º05’23” D2 = -11º18’28” Sisa= 0º44’22” D( = -11º05’23” – (-11º05’23” - -11º18’28”) x 0º44’22” = -11º15’03.46”
9. Menentukan tinggi bulan hakiki Sin h( = Sin P x Sin D( + Cos P x Cos D( x Cos t(
= Sin -6º 57’ x Sin -11º15’03.46” + Cos -6º 57’ x Cos -11º15’03.46” x Cos 90º56’28.73”
= 0º26’10.59” 10. Menentukan tinggi hilal mar’i ( Dengan koreksi-koreksi yang diperlukan)
a. Parallaks, untuk mengurangi tinggi hilal hakiki HP1 = 0º54’08” HP2 = 0º54’08” Sisa = 0º44’22” = 0º54’08” – (0º54’08” - 0º54’08”) x 0º44’22” = 0º54’08” Parallaks = HP x Cos h(
0º54’08” x Cos 0º26’10.59” = 0º54’07.91”
b. Refraksi, untuk menambah tinggi hilal hakiki Ref1 (h= + 0º 26’) = 0º25.5’ Ref2 (h= + 0º 29’) = 0º25.1’ Sisa = ((0º26’10.59” - 0º 26’)/( 0º 29’ - 0º 26’)) Ref = 0º25.5’ – (0º25.5’ - 0º25.1’) x ((0º26’10.59” - 0º 26’)/( 0º 29’ - 0º 26’)) = 0º 25’ 28,59”
c. Kerendahan ufuk, untuk menambah tinggi hilal hakiki (0º 17’ 36”) H’( = H – Par+Ref+Ku = 0º26’10.59” - 0º54’07.91” + 0º 25’ 28,59” + 0º 17’ 36” = 0º 15’ 07,27”
11. Menentukan Azimuth hilal
Cotan A= Tan D x Cos P / Sin t – Sin P / tan t = Tan -11º 15’03.46” x cos-6º 57’/ sin 90º56’28.73” – sin -6º
57’ / tan 90º56’28.73” = -78º43”06.81” AZ = 180 + 78º43”06.81” = 258º43”06”
12. Menentukan Posisi hilal P( = AZ( - AZo = 258º43”06” - 262º50”48” = -4º 07’ 41.19” (sebelah selatan matahari terbenam)
Dari hasil hisab diatas dapat disimpulkan: 1. Ijtima’ akhir Ramadhan 1428 H. Terjadi pada hari kamis tanggal 11 Oktober
2007 M. Pada pukul 12. 02 10 WIB 2. Matahari terbenam pada pukul 17. 44 22 WIB 3. Tinggi hilal hakiki 0º 26’ 10.59” 4. Tinggi hilal mar’i 0º 15’ 07,27” 5. Azimuth Bulan 258º43”06” 6. Azimuth Matahari 262º50”48” 7. Posisi hilal -4º 7’ 41.19” (sebelah selatan matahari terbenam)
CONTOH HISAB HAKIKI SISTEM EPHEMERIS UNTUK AWAL RAMADHAN 1428 H. DENGAN MARKAS KOTA BANDUNG JAWA BARAT
( 107º 37’ BT 6º 57’ LS dan H; 100 m)
Melakukan Konversi dari Hijriyah ke Masehi 29 Sya’ban 1428 H. Dengan langkah-langkah sebagai berikut
1. Menghitung Perkiraan Akhir Dzulhijjah1427 H. 1427 /30 = 47 x 10631 = 499.657 hr Sisa 17 = 17 x 354 + 6 (k) = 6. 024 hr Akhir Dzulhijjah 1427 H. s/d 29 Sya’ban 1428 h = 236 hr Jumlah 505 917 hr Selisih (H – M) = 227 012 hr+ Jumlah 732 929 / 1461 = 501. (501 x 1461) = 731 961 – Sisa = 968 / 365 = 2 th M. (2 x 365) = 730 – Sisa = 238 Th 1 M + 501 x 4 + 2 = th 2007 M Anggran Consili & Gregorius (3+10+3) = 16 + Jumlah 254 Akhir Bln Masehi Sempurna (Agustus 2007) = 243 – Sisa = 11 Sisa 11 adalah 11 September 2007M. Kesimpulanya menurut sistem hisab istilahi 29 Sya’ban 1428 H bertepatan tanggal 11 September 2007 M. Hari dan Pasarannya Selasa Legi (dengan tabel Almanak Sepanjang Masa)
2. Menentukan terjadinya ijtima’ yang diperkirakan terjadi sekitar 11 September 2007 M. Dengan langkah: a. FIB terkecil pada tgl 11 Oktober 2007M. Cahaya bulan terus menurun
dan terendah diperoleh pada tanggal 11 Oktober 2007 M. Pkl 11 GMT, pkl 12 GMT, pkl 13 GMT. Perhatikan 2 ketentuan yaitu: pertama; Al harus lebih kecil dari EL. Kedua; AL harus lebih besar dari EL. Ternyata didapatkan: antara pkl 12 dan 13 GMT / 19 dan 20 WIB. Jam GMT EL AL 12 168º23’02” 168 º01’20” 13 168 º25’28” 168 º32’03”
b. Mencari saat Ijtima’ dengan interpolasi dengan rumus: Ijtima’ : J1 + ((EL1 – AL1) / (( AL2 – AL1) – (EL2-EL1))) = 05 +((168º23’02”- 168 º01’20”) / ((168 º32’03”- 168 º01’20”) -168 º25’28”- 168º23’02”))) = 12. 46 2.05 GMT + 7 (wib) = 19. 46 2.05 WIB
3. Menentukan terbenam matahari di kota Bandung pada tanggal 11 September 2007M.
a. Menghitung tinggi matahari saat terbenam dengan rumus Ho = -(ku + Ref + sd)
Ku = 0º1.76’√ h =0º1.76’√ 100 m =0º17’36” Ho = -(0º17’36” + 0 º34’ +0 º16’) = -1 º7’36” b. Menetukan deklenasi matahari dan Equation of Time
taqribi.perkiraan maghrib jam 18.00 WIB atau 11 GMT. Diperoleh data:
D= 4 º36’41” e= 0. 13 13 c. Menentukan sudut waktu taqribi matahari dengan rumus: Cos t= sin h / cos P/ cos D – tan P x tan D = sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos 4 º 36’41” - tan cos -6º 57’ x tan 4º 36’41” To = 90º34’31.04” = 6. 2 18.07 =12 + (6º2’18.07”) =18º2’18.07” – (0º13’13’) + ((105 - 107º37’)/15) =17º48’37.07” (WIB) d. Menentukan Deklenasi dan (e) hakiki pada pkl 17.44 22 WIB Dengan cara melakukan takdil dengan rumus : D= D1 –(D1 – D2) x Sisa D1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) = 4º37’38” D2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) = 4º36’41” S (sisa) = 0º48’37.07” 4º37’38”– (4º37’38”- 4º36’41”) x 0º48’37.07” = 4º36’51.81” E1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) = 0º3’12” E2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) = 0º3’13” 0º3’12” – (0º3’12” - 0º3’13”) x 0º48’37.07” = 0º3’12.81” e. Menentukan sudut waktu matahari hakiki = Sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos 4º36’51.81” - tan cos -6º 57’ x tan 4º36’51.81” = 90º34’29.73” = 6º2’ 17.98” = 17. 48 37.8 WIB
4. Menentukan Azimuth Matahari saat terbenam. Cotan Ao = tan D x Cos P / Sin to – Sin P / tan to = tan 4º36’51.81” x cos-6º 57’/ sin 90º34’29.73” – sin -6º 57’ / tan 90º34’29.73” = 85º29’17.78” = 180 + 85º29’17.78” AZo = 265º29’17.7”
5. Menentukan Apparent Righ Ascension Matahari (ARAo) dengan rumus takdil.
ARAo1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 169º14’29” ARAo2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 169º16’43” S (sisa) = 0º48’37.8” = 169º14’29” – (169º14’29”- 169º16’43”) x 0º48’37.8” = 169º16’17.6”
6. Menentukan Apparent Righ Ascension Bulan (ARA() ARA( 1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 167º41’03” ARA( 2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 168º08’22” = 167º41’03” – (167º41’03”- 168º08’22”) x 0º48’37.8” = 168º03’11.41”
7. Menentukan sudut waktu bulan T = ARAo +to – ARA(
=169º16’17.6” + 90º34’29.73”- 168º03’11.41” = 91º47’35.92”
8. Menentukan Deklenasi bulan D1 = 4º17’58” D2 = 4º03’26” Sisa= 0º48’37.8” D( =4º17’58”– 4º17’58”- 4º03’26”) x 0º48’37.8” = 4º6’11.24”
9. Menentukan tinggi bulan hakiki Sin h( = Sin P x Sin D( + Cos P x Cos D( x Cos t(
= Sin -6º 57’ x Sin 4º6’11.24”+ Cos -6º 57’ x Cos 4º6’11.24”x Cos 91º47’35.92”
= -2º16’19” 10. Tinggi bulan mar’i tidak diperhitungkan. 11. Menentukan Azimuth hilal
Cotan A= Tan D x Cos P / Sin t – Sin P / tan t = Tan 4º6’11.24”x cos-6º 57’/ sin91º47’35.92”– sin -6º 57’ / tan
91º47’35.92” = 86º8”27.47” AZ = 180 + 86º8”27.47” = 266º8”27.47”
12. Menentukan Posisi hilal P( = AZ( - AZo = 266º8”27.47”- 265º29”17.7” = 0º 39’9.77” (sebelah utara matahari terbenam)
Dari hasil hisab diatas dapat disimpulkan: 1. Ijtima’ akhir Sya’ban 1428 H. Terjadi pada hari Selasa tanggal 11
September 2007 M. Pada pukul 19. 46 03 WIB 2. Matahari terbenam pada pukul 17. 48 37.8 WIB 3. Tinggi hilal hakiki -2º 16’ 19” 4. Tinggi hilal mar’i tidak diperhitungkan
5. Azimuth Bulan 266º8”27.47” 6. Azimuth Matahari 265º 29’ 17.7” 7. Posisi hilal 0º 39’ 9.77” (sebelah utara matahari terbenam)
CONTOH HISAB HAKIKI SISTEM EPHEMERIS UNTUK AWAL DZULHIJJAH 1428 H. DENGAN MARKAS KOTA BANDUNG JAWA BARAT
( 107º 37’ BT 6º 57’ LS dan H; 100 m)
Melakukan Konversi dari Hijriyah ke Masehi 29 Dzulqo’dah 1428 H. Dengan langkah-langkah sebagai berikut 1. Menghitung Perkiraan Akhir Dzulhijjah 1427 H.
1427 /30 = 47 x 10631 = 499.657 hr Sisa 17 = 17 x 354 + 6 (k) = 6. 024 hr Akhir Dzulhijjah 1427 H. s/d 29 Dzulqo’dah 1428 h = 324 hr Jumlah 506 005 hr Selisih (H – M) = 227 012 hr+ Jumlah 733 017 / 1461 = 501. (501 x 1461) = 731 961 – Sisa = 1056 / 365 = 2 th M. (2 x 365) = 730 – Sisa = 326 Th 1 M + 501 x 4 + 2 = th 2007 M Anggran Consili & Gregorius (3+10+3) = 16 + Jumlah 342 Akhir Bln Masehi Sempurna (November 2007) = 334 – Sisa = 8 Sisa 8 adalah 8 Desember 2007M. Kesimpulanya menurut sistem hisab istilahi 29 Dzulqo’dah 1428 H bertepatan tanggal 8 Desember 2007 M. Hari dan Pasarannya Sabtu Wage (dengan tabel Almanak Sepanjang Masa)
2. Menentukan terjadinya ijtima’ yang diperkirakan terjadi sekitar 8 Desember 2007 M. Dengan langkah:
a. FIB terkecil pada tgl 8 Desember 2007M. Cahaya bulan terus menurun dan terendah diperoleh pada tanggal 10 Desember 2007 M. Pkl 17 GMT, pkl 18 GMT, pkl 19 GMT. Perhatikan 2 ketentuan yaitu: pertama; Al harus lebih kecil dari EL. Kedua; AL harus lebih besar dari EL. Ternyata didapatkan: antara pkl 17 dan 18 GMT / 24 dan 01 WIB. Jam GMT EL AL 17 257º14’13” 256 º54’45” 18 257 º16’45” 257 º24’58”
b. Mencari saat Ijtima’ dengan interpolasi dengan rumus: Ijtima’ : J1 + ((EL1 – AL1) / (( AL2 – AL1) – (EL2-EL1))) = 17 +((257º14’13” -256 º54’45”) / ((257 º24’58”- 256 º54’45”) -257 º16’45”- 257º14’13”))) = 17. 42 11.49 GMT + 7 (wib) = 24. 42 11.49 WIB
3. Menentukan terbenam matahari di kota Bandung pada tanggal 10 Desember2007M.
a. Menghitung tinggi matahari saat terbenam dengan rumus Ho = -(ku + Ref + sd)
Ku = 0º1.76’√ h =0º1.76’√ 100 m =0º17’36” Ho = -(0º17’36” + 0 º34’ +0 º16’) = -1 º7’36”
b. Menetukan deklenasi matahari dan Equation of Time taqribi.perkiraan maghrib jam 18.00 WIB atau 11 GMT. Diperoleh data: D= -22 º 53’54” e= 0º 7’ 22”
c. Menentukan sudut waktu taqribi matahari dengan rumus: Cos t= sin h / cos P/ cos D – tan P x tan D = sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos-22 º 53’54” - tan cos -6º 57’ x tan-22 º 53’54” To = 94º11’08.82” = 6. 16 44.59 =12 + (6º16’44.59”) =18º16’44.59” – (0º7’22’) + ((105 - 107º37’)/15) =17º58’54.59” (WIB)
d. Menentukan Deklenasi dan (e) hakiki pada pkl 17.58 54.59 WIB Dengan cara melakukan takdil dengan rumus : D= D1 –(D1 – D2) x Sisa D1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) =-22º53’40” D2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) =-22º53’54” S (sisa) = 0º58’54.59” -22º53’40”– (-22º53’40”- -22º53’54”) x 0º58’54.59” = -22º53’53.75” E1 (pk 17 WIB/ 10 GMT) = 0º7’23” E2 (pk 18 WIB/ 11 GMT) = 0º7’22” 0º7’23”– (0º7’23”- 0º7’22”) x 0º58’54.59” = 0º7’22.2”
e. Menentukan sudut waktu matahari hakiki = Sin -1 º7’36” / cos -6º 57’ / cos-22 º 53’53.75” - tan cos -6º 57’ x tan -22 º 53’53.75” = 94º11’08.78” = 6º16’ 44.59” = 17. 58 54.39 WIB
4. Menentukan Azimuth Matahari saat terbenam. Cotan Ao = tan D x Cos P / Sin to – Sin P / tan to = tan-22 º 53’53.75” x cos-6º 57’/ sin 94º11’08.78” – sin -6º 57’ / tan 94º11’08.78” = - 66º46’06.11” = 180 + 66º46’06.11” AZo = 246º46’06”
5. Menentukan Apparent Righ Ascension Matahari (ARAo) dengan rumus takdil. ARAo1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 256º54’20”
ARAo2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 256º57’04” S (sisa) = 0º58’54.39” = 256º54’20” – (256º54’20”- 256º57’04”) x 0º58’54.39” = 256º57’1.01”
6. Menentukan Apparent Righ Ascension Bulan (ARA() ARA( 1 (pk 17 WIB/ 10 GMT = 264º55’19” ARA( 2 (pk 18 WIB/ 11 GMT = 265º29’39” = 264º55’19” – (264º55’19”- 265º29’39”) x 0º58’54.39” = 265º29’01”
7. Menentukan sudut waktu bulan T = ARAo +to – ARA(
=265º57’1.01” + 94º11’08.78” - 265º29’01” = 85º39’08.79”
8. Menentukan Deklenasi bulan D1 = -27º54’23” D2 = -27º54’16” Sisa= 0º58’54.39” D( = -27º54’23” – (-27º54’23”- -27º54’16”) x 0º58’54.39” = -27º54’16.13”
9. Menentukan tinggi bulan hakiki Sin h( = Sin P x Sin D( + Cos P x Cos D( x Cos t(
= Sin -6º 57’ x Sin -27º54’16.13” + Cos -6º 57’ x Cos -27º54’16.13” x Cos 85º39’8.79”
= 7º04’21.88” 10. Menentukan tinggi hilal mar’i ( Dengan koreksi-koreksi yang diperlukan)
a. Parallaks, untuk mengurangi tinggi hilal hakiki HP1 = 0º54’37” HP2 = 0º54’38” Sisa = 0º58’54.39” = 0º54’37” – (0º54’37” - 0º54’38”) x 0º58’54.39” = 0º54’37.98” Parallaks = HP x Cos h(
0º54’37.98” x Cos 7º04’21.88” = 0º54’13.04”
b. Refraksi, untuk menambah tinggi hilal hakiki Ref1 (h= + 7º 03’) = 0º07.2’ Ref2 (h= + 7º 13’) = 0º07.1’ Sisa = ((7º04’21.88” - 7º 03’)/( 7º 13’ - 7º 03’)) Ref =0º07.2’– (0º07.2’-0º07.1’) x ((7º04’21.88” - 7º 03’)/( 7º 13’ - 7º 03’)) = 0º 07’ 11.18”
c. Kerendahan ufuk, untuk menambah tinggi hilal hakiki (0º 17’ 36”) H’( = H – Par+Ref+Ku = 7º04’21.88” - 0º54’37.98” + 0º 07’11,18” + 0º 17’ 36” = 6º 34’ 31,09”
11. Menentukan Azimuth hilal
Cotan A= Tan D x Cos P / Sin t – Sin P / tan t = Tan-27º54’16.13” x cos-6º 57’/ sin85º39’8.79” – sin -6º 57’ /
tan 85º39’8.79” = -62º36”57.14” AZ = 180 + 62º36”57.14” = 242º36”57”
12. Menentukan Posisi hilal P( = AZ( - AZo = 242º36”57”- 246º46”06” = -4º 09’09” (sebelah selatan matahari terbenam)
Dari hasil hisab diatas dapat disimpulkan: 1. Ijtima’ akhir Dzulqo,dah 1428 H. Terjadi pada hari Senin tanggal 10 Desember
2007 M. Pada pukul 00. 42 11.49 WIB 2. Matahari terbenam pada pukul 17. 58 54.39 WIB 3. Tinggi hilal hakiki 7º 04’ 21.89” 4. Tinggi hilal mar’i 6º 34’ 31,09” 5. Azimuth Bulan 242º36”57” 6. Azimuth Matahari 246º 46’ 06” 7. Posisi hilal -4º 09’09” (sebelah selatan matahari terbenam)