ANALISIS TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP SEBAGAI …
Transcript of ANALISIS TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP SEBAGAI …
1
ANALISIS TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP SEBAGAI DASAR PENETAPAN TERSANGKA OLEH PEJABAT PENYIDIK
(STUDI KASUS CHAT WHATSAPP HABIB RIZIEQ)
Rafael Alfin Pradana dan Junaedi
1. Law Practition Department, Faculty of Law, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Djokosoetono, Pd. Cina,Beji, Kota Depok, 16424, Indonesia
2. Law Practition Department, Faculty of Law, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Djokosoetono, Pd. Cina,Beji, Kota Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perlindungan hak tersangka sebagai salah satu bentuk perwujudan Hak Asasi Manusia dirasakan tidak lagi diutamakan dalam proses hukum pidana. Penetapan tersangka sebagai dasar pengenaan upaya paksa terhadap seseorang dalam proses hukum pidana tidak mengutamakan hak asasi manusia dan tidak sesuai asas due process of law. Bukti permulaan yang cukup sebagai dasar untuk menetapkan tersangka tidak diberikan definisi yang jelas dalam KUHAP, hal ini mengakibatkan banyak orang yang ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui prosedur yang jelas. Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data data sekunder melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel, jurnal, dan skripsi. Melalui metode tersebut, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa pengaturan mengenai definisi bukti permulaan yang cukup sangat penting demi terciptanya kepastian hukum.
Kata Kunci : bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup, penetapan tersangka, alat bukti elektronik
Analysis About Probable Cause as The Base of Suspect Determination by Investigator Officials (Case Study Habib Rizieq's WhatsApp Chat)
Abstract
The protection suspect’s rights as one of the manifestations of Human Rights is no longer a priority in criminal proceedings. Suspect Determination as a basis to execut forced efforts against a person in criminal proceedings is not prioritizing human rights and not according to the principle of due process of law. Probable cause as the base of suspect determination is not given a clear definition in the Criminal Procedure Code, this resulted in many people being designated as suspects without going through a clear procedure. This research was conducted by data collection method of secondary data through legislation, books, articles, journals, and thesis. Through this method, the authors conclude that the regulation of probable cause definition is essential for creating legal certainty.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
2
Keywords: probable cause; reasonable suspicion; reasonableness; suspect determination; electronic evidence
Latar Belakang
Pengaturan mengenai penetapan tersangka sebagai salah satu proses dalam sistem peradilan
pidana dirasakan telah mengalami ketidakpastian hukum. Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, oleh sebab itu salah satu prinsip umum
yang dianut dalam penyelenggaraan negara adalah due process of law yang dijamin secara
konstitusional. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman
hukum acara pidana tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai penetapan tersangka.
Dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP diatur bahwa Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Kemudian dalam Pasal 17 KUHAP dan penjelasannya diatur bahwa Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Dari kedua pasal
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka
harus memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tersangka. Namun,
pengaturan lebih lanjut mengenai definisi bukti permulaan yang cukup sendiri tidak diatur
dalam KUHAP yang menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian
mengenai pengaturan definisi bukti permulaan yang cukup tersebut pun akhirnya mulai diatur
secara terpisah dalam undang-undang lain dan bahkan dalam Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Pada tahun 2014, terkait
definisi bukti permulaan yang cukup yang terdapat dalam KUHAP, diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 atas nama
pemohon Bachtiar Abdul Fatah, yang memutuskan bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
14 , Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
3
tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan
dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).
Sehubungan dengan penetapan tersangka, Muhammad Rizieq Husein Syihab atau biasa
dikenal sebagai Habib Rizieq adalah salah seorang tokoh Agama Islam yang dikenal sebagai
pimpinan organisasi Front Pembela Islam. Pada akhir Januari 2017, media sosial dihebohkan
dengan tersebarnya screenshot percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga
melibatkan pimpinan Front Pembela Islam Rizieq Syihab dan Firza Husein. Percakapan itu
pertama kali diketahui dari situs baladacintarizieq.com. Dalam percakapan tersebut
menyajikan foto wanita tanpa busana yang diduga Firza Husein. Sedangkan Rizieq diduga
menjadi lawan bicara Firza dalam percakapan tersebut. Beredarnya percakapan berkonten
pornografi tersebut membuat polisi melakukan penyelidikan. Atas berita tersebut, Kabid
Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyatakan, polisi bertindak setelah
mengetahui adanya keresahan masyarakat soal peredaran percakapan ini. Sebab, video
percakapan dua orang itu mengandung konten pornografi. Kombes Argo Yuwono
mengatakan, unit cyber patrol Polda Metro Jaya telah memantau peredaran percakapan itu
dan membuat laporan polisi model A untuk mengusut orang yang berada dalam percakapan
tersebut dan siapa penyebarnya. Berkaitan dengan konten yang beredar di media sosial
tersebut polisi memiliki cyber patrol. Setelah adanya cyber patrol, polisi menemukan
beberapa akun yang diduga ada gambar pornografi, yang ada gambar di situ diduga adalah
Habib Rizieq dan Firza Husein.1 Selang satu hari polisi melakukan penyelidikan, Aliansi
Mahasiswa Antipornografi membuat laporan polisi mengenai peredaran konten pornografi itu.
Pelapor meminta agar kepolisian menyelidiki keaslian dokumen dan foto karena sangat
mengganggu generasi muda.
Akhirnya pada Selasa, 25 April 2017, polisi memutuskan memanggil Rizieq dan Firza.
Namun, keduanya kompak mangkir dari panggilan tersebut. Kemudian pada hari Rabu 10
Mei 2017 polisi kembali memanggil keduanya untuk dimintai keterangan. Lagi-lagi,
keduanya tak mengindahkan panggilan kepolisian. Dua kali mangkir, akhirnya polisi pun
menerbitkan surat perintah penjemputan paksa. Namun, saat itu Rizieq kadung berada di Arab
1AkhdiMartinPratama,“PerjalananKasus"Chat"WhatsAppyangMenjeratRizieqdanFirza”http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/30/05422381/perjalanan.kasus.chat.whatsapp.yang.menjerat.rizieq.dan.firza,diaksesAgustus2017
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
4
Saudi untuk menjalankan umroh. Firza akhirnya memenuhi panggilan polisi pada Selasa, 16
Mei 2017. Dengan berkacamata hitam, Firza datangi Mapolda Metro Jaya pada pukul 10.00
WIB dengan didampingi pengacaranya Azis Yanuar dan adiknya. Setelah diperiksa selama 12
jam lamanya, polisi memutuskan menetapkan Firza sebagai tersangka dalam kasus
percakapan berkonten pornografi itu. Namun, status Rizieq pada hari itu masih sebatas saksi.
Penyidik menetapkan Firza sebagai tersangka setelah melakukan gelar perkara dan
serangkaian pemeriksaan saksi ahli. Berdasarkan hasil analisis ahli pidana, kasus itu telah
memenuhi unsur pidana. Sementara itu, ahli telematika menyebut, percakapan yang diduga
antara Firza dan Rizieq itu adalah asli.
Firza dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 8
juncto Pasal 34 Undang Undang RI nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan
ancaman hukuman di atas lima tahun penjara. Meski ditetapkan sebagai tersangka, polisi tak
menahan Firza. Alasanya, kondisi kesehatan Firza memburuk setelah ditetapkan tersangka.
Setelah menetapkan Firza sebagai tersangka, polisi tak langsung menetapkan Rizieq sebagai
tersangka juga. Polisi masih menunggu hingga Rizieq kembali ke Indonesia. Namun, dua
pekan setelah Firza ditetapkan sebagai tersangka Rizieq tak kunjung kembali ke tanah air.
Rizieq melalui pengacaranya mengatakan menolak kembali ke Indonesia lantaran merasa
dikriminalisasi. Kombes Argo Yuwono mengatakan, pimpinan Front Pembela Islam, Rizieq
Syihab, belum pernah diperiksa dalam kasus percakapan via WhatsApp berkonten pornografi
yang diduga melibatkan dirinya dan Firza Husein. Pasalnya, Rizieq selalu mangkir dari dua
panggilan kepolisian saat statusnya masih sebagai saksi. Meskipun belum pernah diperiksa,
menurut Kombes Argo, penyidik tetap bisa menetapkan Rizieq sebagai tersangka. Menurut
Argo, hal tersebut tidak menyalahi aturan karena polisi telah memiliki bukti yang cukup untuk
menetapkan Rizieq sebagai tersangka. Polisi telah menetapkan Rizieq sebagai tersangka
kasus percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan dirinya dan
Firza Husein. Penetapan tersangka tersebut dilakukan setelah polisi melakukan gelar perkara.2
Akhirnya, pada Senin 29 Mei 2017, polisi kembali melakukan gelar perkara. Hasil dari gelar
perkara tersebut menyimpulkan polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka tanpa perlu
terlebih dahulu menunggu Rizieq kembali ke Indonesia. Ada alat bukti yang sudah ditemukan
penyidik dari hasil gelar perkara, sehingga sudah layak dinaikkan menjadi tersangka. Menurut
2AkhdiMartinPratama,“PolisiTegaskanBisaTetapkanRizieqTersangkameskiBelumDiperiksa”,
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/29/20513431/polisi.tegaskan.bisa.tetapkan.rizieq.tersangka.meski.belum.diperiksa.diaksespada20Agustus2017,pukul21.20WIB.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
5
penyidik, hal tersebut tidak menyalahi aturan karena polisi telah memiliki bukti yang cukup
untuk menetapkan Rizieq sebagai tersangka. Atas tindakan penyidik yang mengatakan telah
memiliki bukti yang cukup tanpa mendengarkan keterangan calon tersangka untuk dapat
menetapkan Rizieq sebagai tersangka. Rizieq dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau
Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 9 juncto Pasal 34 Undang Undang RI nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melihat adanya beberapa masalah yang timbul
akibat penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik. Untuk mempertajam pembahasan
dalam tulisan ini, penulis akan membatasi ruang lingkup dari permasalahan tersebut. Adapun
masalah-masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan pemikiran tentang bukti permulaan yang cukup sebagai dasar
penetapan tersangka?
2. Bagaimana penerapan hukum acara pidana untuk menetapkan status tersangka dalam
kasus chat whatsapp Habib Rizieq?
3. Bagaimana kedudukan bukti chat whatsapp sebagai alat bukti?
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas maka tujuan penelitian ini
penulis bagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui prosedur hukum acara pidana dari awal hingga penyidik dapat
menetapan tersangka dan mengetahui pengaturan mengenai penetapan tersangka dalam
KUHAP, PERKAPOLRI, dan peraturan terkait lainnya. Tujuan Khusus dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan
tersangka;
2. Untuk mengetahui penerapan hukum acara pidana untuk menetapkan status tersangka
dalam kasus chat whatsapp Habib Rizieq; dan
3. Untuk mengetahui kedudukan bukti chat whatsapp sebagai alat bukti.
Tinjauan Teoritis
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
6
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.3 Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa penyelidikan merupakan tahap awal dari proses perkara pidana dan bila
memang peristiwa tersebut merupakan tindak pidana, dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya
yaitu tahap penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi
penyidikan. Penyelidikan merupakan suatu sub fungsi penyidikan yang mendahului tindakan
lainnya, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada
penuntut umum.4
Dalam tahap penyelidikan, hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memulai melakukan
penyelidikan didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi dan juga data-data yang
diperoleh. Sumber-sumber informasi banyak jenisnya, untuk dapat mengetahui terjadinya
suatu tindak pidana, penyelidik dapat menggunakan informasi dan data-data, yang diperoleh
melalui:
1) laporan kepada pejabat yang berwenang dari orang yang mengetahui terjadinya suatu
tindak pidana;
2) pengaduan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak secara hukum seseorang
yang telah melakukan tindak pidana delik aduan yang merugikan pihak pengadu;
3) karena tertangkap tangan;
4) informasi khusus5
Tujuan dilakukan suatu penyelidikan adalah untuk mendapatkan atau mengumpulkan
keterangan, bukti atau data yang kemudian digunakan untuk menentukan apakah suatu
peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana, untuk menentukan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana tersebut, dan untuk persiapan melakukan
penindakan. Penyelidik harus mempunyai pengetahuan tentang unsur-unsur suatu tindak
pidana dan hukum acara pidana yang berlaku. Jika penyelidik kurang menguasainya, maka
arah penyelidikan menjadi kurang terarah dan tidak menentu yang memungkinkan untuk
3Lihat:Pasal1angka4KUHAP
4M.YahyaHarahap,Pembahasan,PermasalahanDanPenerapanKuhap,PenyidikanDanPenuntutan,(Jakarta:SinarGrafika,2006),hlm.101
5GitaGustiAldina,“AnalisisTentangBuktiPermulaanYangCukupDanBuktiYangCukupTerkaitSahAtauTidaknyaSuatuPenangkapanDanPenahananDalamPerkaraTindakPidanaNarkotika”,(SkripsiSarjanaUniversitasIndonesia,Depok,2014),hlm.32
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
7
menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru.6 Setelah mengumpulkan bukti-bukti dan data
mengenai suatu peristiwa dan telah menetapkan suatu peristiwa tersebut adalah suatu tindak
pidana, penyelidik berdasarkan hasil dari penyelidikan tersebut memiliki gambaran tentang
calon tersangka yang perlu dipanggil, tempat atau bangunan yang perlu digeledah, atau
barang bukti yang perlu diamankan atau disita.
Penyidikan ditujukan untuk mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan dapat menemukan tersangkanya. Dalam KUHAP
diatur bahwa penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam Bahasa Belanda, menyidik (Opsporing)
yang berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar
beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.7 Tahapan penyidikan menitik beratkan
kepada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan
menjadi terang serta dapat menemukan pelakunya, termasuk mencari korban, tindakan
mencari korban dilakukan jika korban tidak diketahui keberadaannya atau belum diketahui
atau dalam kondisi diamankan.8 Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan
yang berwujud satu keduanya saling berkaitan dan saling mengisi guna menyelesaikan
pemeriksaan suatu peristiwa pidana.9
Dalam melakukan penyidikan, penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan upaya-
upaya tertentu sehingga tahap penyidikan dapat terselesaikan dan dapat dilanjutkan ke tahan
adjudikasi. Kewenangan untuk melakukan upaya tersebut disesuaikan secara kasuistis,
termasuk untuk melakukan tindakan atau upaya yang bersifat memaksa atau upaya paksa.
Menurut pendapat Luhut M.P. Pangaribuan, upaya paksa10 memiliki pengertian, suatu
perbuatan penyidik, penuntut umum atau hakim yang sifatnya memaksa untuk dilaksanakan
dalam mengumpulkan keterangan dan alat bukti dalam perkara pidana. Sedangkan, KUHAP
6Moch.FaisalSalam,HukumAcaraPidanadalamTeoridanPraktek,(Bandung:MandarMaju,2001),hlm.32-33
7AndiHamzah,HukumAcaraPidana,ed.Revisi,cet.I,(Jakarta:SinarGrafika,2001),hlm.10
8ArchieMichaelHasudungandanPetraM.E.J.Pattiwael,BahanAjarHukumAcaraPidana,(Depok:PenelitianBesarLK2FHUI,2011),hlm.13
9Harahap,Op.Cit.,hlm.103
10LuhutM.P.Pangaribuan,HukumAcaraPidanaSuratResmiAdvokatdiPengadilan,(Depok:PapasSinarSinanti,2013),hlm.44
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
8
tidak memberikan definisi mengenai upaya paksa. Dalam KUHAP hanya dijelaskan mengenai
jenis-jenis yang dapat dikategorikan sebagai suatu upaya paksa. Tindakan-tindakan yang
dapat dikategorikan sebagai tindakan upaya paksa dalam KUHAP adalah penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Pada prinsipnya berdasarkan
ketentuan dalam KUHAP mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan surat, seseorang harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Hukum (Legal Research), yaitu suatu kegiatan ilmiah
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang ditujukan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan.11 Pendekatan metode yang digunakan penulis adalah yang bersifat
Yuridis Normatif, yakni berupa penemuan dan menganalisis kesesuaian antara paradigma
hukum, asas-asas dan dasar falsafah hukum positif dengan realitasnya.12 Penelitian ini
merupakan penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan menarik asas-asas hukum, baik
hukum positif tertulis maupun hukum tidak tertulis untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika ilmu hukum dari sisi normatifnya, dan menggunakan data sekunder atau studi
kepustakaan.13 Pada penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan penulis adalah
data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui membaca peraturan perundang-undangan,
buku-buku, artikel, atau bahan lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Bahan hukum
penelitian yang digunakan antara lain: Bahan Hukum Primer yang digunakan antara lain
adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dan PUTUSAN MK NOMOR 21/PUU-XII/2014, Bahan Hukum Sekunder yang
digunakan antara lain Teori dan Hukum Pembuktian karya Eddy O.S. Hiarej dan Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali karya M. Yahya Harahap, dan lain-lain. Bahan Hukum Tersier yang
digunakan menggunakan Kamus Black’s Law Dictionary.
11Ibid.,hlm.43
12RonnyHanitijo.Op.Cit.,hlm.10
13SriMamudji,et.Al.,MetodePenelitiandanPenulisanHukum,(Jakarta:BadanPenerbitFakultasHukumUniversitasIndonesia,2005),hlm.5
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
9
Pembahasan
Syarat untuk dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 1 angka 14 jo. Pasal 17 dan penjelasannya KUHAP yang mengatur tentang definisi
tersangka dan penangkapan, yaitu:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.14
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 15
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.
Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana.16
Dari kedua pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk dapat menetapkan
seseorang sebagai tersangka, KUHAP mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup.
Oleh sebab itu kita harus mengetahui arti bukti permulaan yang cukup.
Pengaturan mengenai bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan tersangka pertama
kali diatur dalam KUHAP, kemudian pengaturannya berkembang dan diatur dalam undang-
undang lain yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU
Terorisme), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU KPK), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronika (UU ITE), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Surat Keputusan Kapolri No.Pol:
SKEP/04/I/1982, Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi
Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, Keputusan Kepala Kepolisian
14Lihat:Pasal1angka14KUHAP
15Lihat:Pasal17KUHAP
16Lihat:PenjelasanPasal17KUHAP
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
10
RI No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, Rapat Kerja Gabungan Mahkamah
Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian (Rakergab Makehjapol) Tahun 1984, Penetapan
Pengadilan Negeri Sidikalang No. 4/Pred-Sdk/1982, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014.
Menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP disebutkan:
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya, menurut Pasal 17 KUHAP dan penjelasannya, disebutkan:
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.
Pengertian bukti permulaan yang cukup pada Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak diberikan
penjelasan dalam KUHAP. Namun dapat dilihat berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP,
yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir
14 KUHAP. Mengenai hal tersebut, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya
kepada penilaian penyidik.17 Dengan kata lain, tanpa “bukti permulaan yang cukup,” penyidik
tidak dapat melakukan penangkapan. Penjelasan tersebut sama sekali tidak menjawab
pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti di dalam frasa “bukti permulaan yang
cukup.” Suatu “bukti permulaan yang cukup” harus diperoleh sebelum penyidik melakukan
penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan
penangkapan.18 Pasal 17 KUHAP mengatur tentang perintah penangkapan, hal ini
menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,
tetapi ditujukkan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.19 Berdasarkan
dua Pasal di atas, dapat diketahui secara umum bahwa bukti permulaan yang cukup tersebut
berupa laporan polisi yang ditambah dengan dua alat bukti lainnya, seperti berita acara
17Harahap,Op.Cit.,hlm.157.
18P.A.F.LamintangdanTheoLamintang,PembahasanKUHAPMenurutIlmuPengetahuanHukumPidanadanYurisprudensi,(Jakarta:SinarGrafika,2010),hlm.113
19Lihat:PenjelasanPasal17KUHAP
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
11
pemeriksaan tersangka atau saksi; berita acara di tempat kejadian peristiwa; atau barang bukti
yang ada.20 Namun dalam praktek hal ini masih menjadi perdebatan, karena kurangnya
kejelasan mengenai definisi bukti tersebut, sehingga untuk memaknainya masih didasarkan
beberapa pendapat beberapa ahli ataupun ditafsirkan sendiri melalui beberapa peraturan
pelaksananya dengan beragam. Kemudian, jika mengacu pada Pasal 1 butir 14 jo. Pasal 17
KUHAP beserta penjelasannya diketahui bahwa pada dasarnya fungsi bukti permulaan yang
cukup dapat diklasifikasikan atas dua buah kategori, yakni merupakan prasyarat untuk:21
1. melakukan penyidikan; dan
2. menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan
suatu tindak pidana.
Selain itu, “Bukti yang cukup” adalah salah satu syarat dilakukannya upaya paksa penahanan
terhadap seseorang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Namun, KUHAP tidak
memberikan pengaturan atau pun penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “bukti yang cukup”
tersebut. Pada pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia, “bukti yang cukup”
merupakan hasil penyidikan yang telah diterima oleh jaksa penuntut umum yang menjadi
dasar untuk mendakwa seorang pelaku tindak pidana di hadapan pengadilan. Dengan kata
lain, “bukti yang cukup” hanya menentukan dapat atau tidaknya seseorang dihadapkan ke
depan pengadilan.22
Dalam Pasal 183 KUHAP diatur:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Istilah “Bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 17 KUHAP apabila dihubungkan
dengan ketentuan mengenai 2 (dua) alat bukti yang terdapat pada Pasal 183 KUHAP memiliki
konteks yang berbeda. Bukti yang disebutkan di dalam Pasal 183 KUHAP harus diartikan
20DarwanPrinst,HukumAcaraPidanaSuatuPengantar,(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada,2012),
hlm.57
21ChandraM.Hamzah,PenjelasanHukumtentangBuktiPermulaanyangCukup,(Jakarta:PSHK,2014),hlm.6
22Ibid.,hlm.22-23
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
12
sebagai bukti-bukti minimal, yang dibutuhkan hakim untuk mendukung keyakinannya untuk
menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa. Hal tersebut berarti suatu perkara sudah
memasuki tahap persidangan dan bukti yang dimaksud dipergunakan untuk kepentingan
persidangan.23 Dalam hal ini, pemahaman atas pentingnya “bukti yang cukup” juga telah
tertuang di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur:
“perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti
yang cukup”, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekahawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Secara umum, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” merupakan bagian dari
Pasal 17 dan Pasal 21 KUHAP tentang penangkapan dan penahanan. Suatu hal yang perlu
diperhatikan adalah penggunaan istilah “bukti” di dalam kedua Pasal tersebut tidaklah sama
dengan penggunaan istilah “bukti” di dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Di dalam
ketentuan Pasal 183 KUHAP, kriteria dan jumlah bukti yang dimaksud adalah untuk
dipergunakan di dalam proses sidang pengadilan. Dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan
termaksud dalam Pasal 183 KUHAP dipergunakan sebagai dasar bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Penggunaan kata bukti seperti yang disebutkan
dalam frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” merupakan suatu konsep
yang terpisah dikarenakan penempatan penggunaannya, yaitu dalam tahap atau proses pra-
adjudikasi. KUHAP tidak secara eksplisit memberikan pengertian mengenai frasa “bukti
permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup.” Padahal, penggunaan kedua frasa itu sangat
penting karena merupakan syarat dilakukannya tindakan yang dapat berakibat pada
dirampasnya kemerdekaan seseorang.24
Isi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP menunjukkan adanya suatu hubungan
langsung antara “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup,” dimana Pasal 17
yang menjelaskan tentang penangkapan dihubungkan dengan frasa “bukti permulaan yang
cukup”. Sedangkan, pada Pasal 21 ayat (1) yang menjelaskan tentang penahanan dan
penahanan lanjutan dihubungkan dengan frasa “bukti yang cukup.” Hal ini menyebabkan
hampir tidak ada perbedaan antara standar bukti permulaan yang cukup dengan bukti yang
23Ibid.,hlm.23
24Ibid.,hlm.26-27
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
13
cukup, walaupun memiliki fungsi yang berbeda di dalam ketentuan KUHAP dan tampak
bahwa pembuat undang-undang memiliki niat untuk memberikan gradasi terhadap standar
pembuktian dari kedua konsep tersebut.25 Namun, M. Yahya Harahap, mengusulkan dalam
rangka memberikan kepastian untuk menilai tentang ada atau tidak bukti permulaan yang
cukup, adalah untuk membuang kata ”permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi
”diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.” Jika seperti itu
rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Sehingga, antara bukti permulaan
yang cukup dan bukti yang cukup dianggap setara dan tidak memiliki gradasi pembuktian
antar keduanya.26
Mengenai bukti permulaan, P.A.F. Lamintang berpendapat bahwa secara praktis bukti
permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti
minimal berupa alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, yang dapat
menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan
terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang
tersebut dilakukan penangkapan.27 Pendapat tersebut juga disetujui oleh Harun M. Husein
yang menyatakan sependapat dengan pendapat Lamintang di atas. Menurut Harun M. Husein,
untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang haruslah didasarkan hasil penyelidikan
yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat
disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi kepentingan penyidikan tindak pidana
tersebut.28 Bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti (keterangan saksi pelapor
atau pengadu) dirasakan masih belum cukup kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang
cukup guna dipergunakan sebagai alasan penetapan tersangka. Terkecuali apabila laporan
polisi dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi tentang kepastian
bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana yang dapat dilakukan
penyidikan karena tersedia cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.29 Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, dapat diartikan bukti permulaan yang cukup haruslah mengenai
alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti permulaan yang cukup
25Ibid.,hlm.25
26Harahap,Op.Cit.,hlm.158
27Prinst,Op.Cit.,hlm.113
28Prinst,Loc.Cit.
29Ibid.,hlm.112
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
14
adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14
KUHAP.30 Berdasarkan Buku Petunjuk Pelaksanaan Tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana, bukti permulaan yang cukup adalah:
“alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan
adanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti yang sah.”
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa memang KUHAP tidak memberikan
definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup.
Menurut Luhut M. Pangaribuan keseragaman penafsiran terhadap definisi bukti permulaan
yang cukup perlu guna menghindari adanya konflik dalam proses penangkapan.31 Konflik
tersebut bisa disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran. Misalnya dalam suatu
penyidikan yang mana menurut polisi sesuatu dikategorikan sebagai bukti permulaan yang
cukup, namun tidak menurut Hakim praperadilan. Berkaitan hal tersebut, KUHAP
menyerahkan kepada praktik yang terjadi.32 KUHAP memberikan kelonggaran kepada
penyidik untuk menentukan berdasarkan kewajaran apakah sesuatu hal itu merupakan alat
bukti permulaan atau bukan.
Dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 diputuskan bahwa:
“... agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex
stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan
yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 14 , Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai
dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang
penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in
absentia). Artinya terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya
30LuhutM.Pangaribuan,HukumAcaraPidanaSatuKompilasiKetentuan-KetentuanKUHAPdan
KusasaInternasionalyangRelevan,(Jakarta:Djambatan,2003),hlm.838
31Ibid.
32Ibid.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
15
dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan
pemeriksaan calon tersangkanya.”33
Menurut Edmon Makarim, keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem
informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa
gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
suatu arsip elektronik sekiranya dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik yang telah
dilegalisasi atau dijamin oleh para profesional yang berwenang untuk itu, jika ia tetap
berjalam sebagaimana mestinya, sepanjang tidak dibuktikan lain oleh para pihak, semestinya
dapat diterima sebagaimana layaknya akta autentik, bukan akta bawah tangan.34 Bagian yang
harus diperhatikan sebelum tiba pada taraf pembuktian atau pencarian alat atau barang bukti
yang mungkin ada harus dilakukan suatu due diligent terhadap sistem komputer. Dengan
adanya pemeriksaan awal atas keabsahan suatu sistem komputer, akan diperoleh jaminan
bahwa sistem tersebut dapat dikatakan autentik dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
mengambil suatu keputusan atau kesimpulan pembuktian bukti elektronik itu memiliki
kekuatan pembuktian, diperlukan keterangan seorang ahli.35
Perkembangan pemikiran alat bukti elektronik sebagai alat bukti dapat dilihat dari beberapa
undang-undang yaitu sebagai berikut: Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun
1997 Tentang Dokumen Perusahaan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Diubah Dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001; Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang; Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi; Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; Undang-
33PutusanMahkamahKonstitusiNomor21/PUU-XII/2014,hlm.98.
34EdmonMakarim,PengantarHukumTelematika,(Jakarta:RajaGrafindoPersada,2005),hlm.240
35Ibid.,hlm.456.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
16
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Dalam UU No. 19 Tahun 2016 diatur bahwa tafsiran umum atau penjelasan terhadap Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UU ITE. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) berbunyi:36
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat
dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum
terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama
dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang
dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) berbunyi:37
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil
intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari
penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Draft Tahun 2012 sudah dikenal mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti, yaitu dalam
Pasal 175 ayat (1) yang menyatakan:38 Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b)
surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f)
keterangan terdakwa; dan g) pengamatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal 175 ayat (1) huruf c RUU KUHAP yang dimaksud dengan bukti
elektronik adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas
36PenjelasanPasal5ayat(1)UUNo.19Tahun2016tentangPerubahanAtasUUNo.11Tahun2008tentangInformasidanTransaksiElektronik.
37PenjelasanPasal5ayat(2)UUNo.19Tahun2016tentangPerubahanAtasUUNo.11Tahun2008tentangInformasidanTransaksiElektronik.
38Lihat:Pasal175ayat(1)RancanganUndang-UndangHukumAcaraPidana
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
17
maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.39 Menurut Eddy O.S. Hiariej,
berpendapat bahwa berdasarkan pasal 5 UU ITE bahwa alat bukti informasi elektronik dan
dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti berdasarkan Pasal
184 KUHAP . Menurutnya tidak perlu lagi dipertentangkan apakah alat bukti informasi
elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti surat
ataupun alat bukti petunjuk karena pada dasarnya alat bukti informasi elektronik dan hasil
cetaknya merupakan penambahan alat bukti baru selain yang ada dalam UU ITE.40 Selain itu,
Josua Sitompul juga mengemukakan kedudukan alat bukti elektronik dalam UU ITE dan
kaitannya dengan alat bukti dalam KUHAP sebagai berikut:41 alat bukti elektronik
memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti; alat bukti elektronik sebagai alat bukti
lain; alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk.
Syarat agar personal chat bisa menjadi sebuah alat bukti petunjuk, maka harus didukung
dengan alat bukti yang lain, berupa:42 Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; dan Keterangan
Terdakwa. Secara lebih detil, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum
alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di
persidangan. Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam UU ITE. UU
ITE telah memberikan gambaran mengenai alat bukti, yaitu alat bukti penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan adalah alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Perundang-undangan dan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat
bukti hukum yang sah, UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang
harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE dan syarat materil diatur
39Lihat:PenjelasanPasal175ayat(1)hurufcRancanganUndang-UndangHukumAcaraPidana.
40NurLailiIsmadanArimaKoyimatun,KekuatanPembuktianAlatBuktiInformasiElektronikPadaDokumenElektronikSertaHasilCetaknyaDalamPembuktianTindakPidana,JurnalPenelitianHukumVolume1,Nomor2,Juli2014,hlm.111.
41JosuaSitompul,Cyberspace,Cybercrimes,Cyberlaw:TinjauanAspekHukumPidana,(Jakarta:Tatanusa,2012),hlm.280-281.
42Lihat:Pasal184ayat(1)hurufa,b,eKUHAP.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
18
dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen
Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya.
Kesimpulan
Berdasarkan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut: terhadap rumusan masalah pertama, pada mulanya pengaturan mengenai bukti
permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan tersangka diatur dalam Pasal 1 angka 14
KUHAP yang tidak memberikan definisi mengenai bukti permulaan yang cukup, hingga pada
akhirnya berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 angka 14 jo. Pasal 183 KUHAP, Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya No. 21/PUU-XII/2014 memutus, Bukti Permulaan Yang Cukup
adalah minimal dua alat bukti yang sah disertai dengan keterangan calon tersangka. Terhadap
rumusah masalah kedua mengenai penerapan hukum acara pidana untuk menetapkan status
tersangka dalam kasus chat whatsapp Habib Rizieq, penulis menemukan bahwa meskipun
Mahkamah telah memberikan putusannya dalam Putusan MK No 21/PUU-XII/2014,
penerapan hukum acara pidana terutama dalam proses penetapan tersangka oleh penyidik
dalam kasus chat whatsapp Habib Rizieq, menurut penulis masih belum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam putusan MK tersebut. Terhadap rumusan masalah ketiga
mengenai kedudukan bukti chat whatsapp sebagai alat bukti, penulis menemukan kedudukan
sebuah chat whatsapp sebagai alat bukti dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah yang
termasuk ke dalam kategori dokumen elektronik sebagai perluasan jenis alat bukti yang diatur
dalam Pasal 184 KUHAP apabila telah memenuhi syarat formil dalam Pasal 5 ayat (4) UU
ITE dan syarat materil dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE.
Saran
Pendekatan yang bersifat kuantitatif berpotensi akan terjadinya pengabaian terhadap fakta
atau kesimpulan yang seharusnya dibangun dari suatu alat bukti, sehingga pemeriksaan
konsep bukti permulaan yang cukup tidak hanya didasarkan pada penilaian daftar secara
administratif dalam memeriksa kecukupan bukti permulaan yang cukup. Alangkah baiknya
apabila perubahan-perubahan dalam KUHAP juga diikuti dengan pemahaman dan penerapan
hukum oleh para penegak hukumnya, terutama POLRI yang memegang kewenangan yang
besar dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana. Seiring berjalannya
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
19
waktu, KUHAP tidak dapat menjawab permasalahan yang terjadi di masyarakat terlihat dari
banyaknya Perubahan Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review yang
diajukan. Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada DPR agar pengesahan dan pengkajian
serius terhadap RKUHAP segera dilaksanakan supaya terdapat kejelasan bagi para penegak
hukum. Penulis harap, dengan pengesahan RKUHAP, peraturan-peraturan terkait Perubahan
Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dapat pula dimasukkan ke dalam
RKUHAP secara spesifik dan jelas sehingga dapat menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang melindungi dan menjamin hak asasi manusia serta menjawab
permasalahan hukum pidana formil di masa kini dan mendatang.
Kepustakaan
Buku
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana. ed. Revisi. cet. I. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Hamzah, Chandra M. Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup. Jakarta: PSHK, 2014.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan Dan Penerapan Kuhap, Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Hasudungan, Archie Michael dan Petra M. E. J. Pattiwael. Bahan Ajar Hukum Acara Pidana. Depok: Penelitian Besar LK2 FHUI, 2011.
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana Satu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP dan Kusasa Internasional yang Relevan. Jakarta: Djambatan, 2003.
Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan. Depok: Papas Sinar Sinanti, 2013.
Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 2001.
Sitompul, Josua. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa, 2012.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018
20
Skripsi
Aldina, Gita Gusti. “Analisis Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup Dan Bukti Yang Cukup Terkait Sah Atau Tidaknya Suatu Penangkapan Dan Penahanan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika”. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2014.
Jurnal
Isma, Nur Laili dan Arima Koyimatun, “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana”, Jurnal Penelitian Hukum Volume 1, Nomor 2, (Juli 2014), hlm. 111.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, LN No. 76, TLN No. 3258.
Indonesia, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, LN No. 58, TLN No. 4843.
Indonesia, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Putusan Pengadilan Indonesia
Bachtiar Abdul Fatah., Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Internet
Pratama, Akhdi Martin. “Perjalanan Kasus "Chat" WhatsApp yang Menjerat Rizieq dan Firza” http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/30/05422381/perjalanan.kasus.chat.whatsapp.yang.menjerat.rizieq.dan.firza. diakses Agustus 2017.
Pratama, Akhdi Martin. “Polisi Tegaskan Bisa Tetapkan Rizieq Tersangka meski Belum Diperiksa”, http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/29/20513431/polisi.tegaskan.bisa.tetapkan.rizieq.tersangka.meski.belum.diperiksa. diakses pada 20 Agustus 2017.
Analisis Tentang ..., Rafael Alfin Pradana, FH UI, 2018