ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim...

193
Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H., M.H. Bisariyadi, S.H. Nanang Subekti, S.E. Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta - Indonesia Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id Bekerjasama Konrad -Adenauer- Stiftung Plaza Aminta, 4th Floor Jl. Let. Jend. TB. Simatupang Kav. 10 Jakarta 12310 - Indonesia [email protected] www.kas.de/indonesien Cetakan I Tahun 2006 Desain sampul & Layout: O~Beck Hak cipta 2005 milik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Tidak diperkenankan memproduksi dalam bentuk apapun, bagian manapun buku ini tanpa izin tertulis, kecuali mengutip untuk artikel atau tulisan tertentu. SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS PAPUA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Transcript of ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim...

Page 1: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

Narasumber:

Maruarar Siahaan, S.H.

Tim Peneliti:

Winarno Yudho, S.H., M.A.Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H.

Ahsin Tohari, S.H., M.H.Bisariyadi, S.H.

Nanang Subekti, S.E.

Diterbitkan oleh:

Sekretariat Jenderal dan KepaniteraanMahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Jl. Medan Merdeka Barat No.7 Jakarta - IndonesiaWebsite: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

Bekerjasama

Konrad -Adenauer- StiftungPlaza Aminta, 4th Floor

Jl. Let. Jend. TB. Simatupang Kav. 10Jakarta 12310 - Indonesia

[email protected]/indonesien

Cetakan I Tahun 2006Desain sampul & Layout: O~Beck

Hak cipta 2005 milikMahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dan

Konrad Adenauer Stiftung (KAS)

Tidak diperkenankan memproduksi dalam bentuk apapun, bagian manapun buku initanpa izin tertulis, kecuali mengutip untuk artikel atau tulisan tertentu.

SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAANMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIKIMPLEMENTASI

OTONOMI KHUSUS PAPUAPASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Page 2: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

i

Pemekaran wilayah ternyata menjadi sebuah permasalahanyang cukup pelik. Tercatat di Mahkamah Konstitusi telahbeberapa kali menguji UU yang berkaitan dengan pemekaranwilayah baik ditingkat provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Salah satu pemekaran wilayah yang bermasalah adalahpemekaran provinsi Irian Jaya dengan diundangkannya UU nomor45 tahun 1999.

Permasalahan pemekaran wilayah Irian Jaya (Papua) initerasa berbeda dengan masalah pemekaran wilayah lainnya yangpernah ditangani di Mahkamah Konstitusi. Perbedaan ini adalahdisebabkan permasalahan Irian Jaya merupakan permasalahan“laten” yang telah lama mendekam dan ada upaya untuk“memendam” permasalahan Irian Jaya ini dan bukan untukmencari jalan keluar penyelesaian masalah secara tuntas. IrianJaya adalah wilayah terakhir yang dikukuhkan sebagai provinsidan merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Masuknya wilayah Irian Jaya ke pangkuan Indonesiapun sarat dengan kontroversi yang tetap menjadi perdebatanhingga saat ini. Salah satunya adalah masalah PenentuanPendapat Rakyat (pepera) yang dilangsungkan pada tahun 1969.Hasil akhir pepera saat itu menjadi penentu bahwa mayoritasrakyat Irian Jaya yang ingin bergabung dengan Indonesia. Hasilakhir pepera itu pun diakui oleh dunia internasional, dimanadalam Sidang Umum PBB tanggal 19 November 1969, hasil akhirtersebut dinyatakan sah sehingga Irian Jaya menjadi provinsi baruIndonesia. Namun terdapat hasil studi baru yang diterbitkan olehPieter Drooglever dari Institute of Netherlands History pada tahun2005 yang meneliti pepera tersebut. Dalam laporan penelitian

Pengantar

Page 3: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

ii

yang disusun dalam buku yang berjudul Een Daad von Vrije Keuzeitu menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pepera banyak terjadikecurangan-kecurangan sehingga hasil akhirnya menguntungkanpemerintah Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Droogleveradalah kajian akademis, meski berimplikasi politis yang cukupbesar. Gunjang-ganjing masalah Irian Jaya yang menjadi sorotaninternasional juga terjadi belakangan ini, ketika kongres Amerikamemasukkan permasalahan Papua dalam Rancangan Undang-Undang-nya. Komentar berbagai kalangan di dalam negerikemudian menyeruak, mengingatkan masalah kedaulatan negaraserta intervensi kebijakan luar negeri. Namun kemudian, padaperkembangannya saat ini permasalahan Papua dicabut dalamRUU tersebut.

Kontroversi masuknya Irian Jaya sebagai bagian dariwilayah Indonesia menjadi pemicu munculnya pemikiran-pemikiran serta gerakan-gerakan separatisme, disamping juga adasebab-sebab kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan antara IrianJaya dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Telah menjadisebuah rahasia yang kemudian terkuak pada era reformasi dimanapenyelesaian permasalahan papua dimasa lalu senantiasamenggunakan pendekatan represif atau militeristik, sepertimenetapkan Irian Jaya sebagai Daerah Operasi Militer untukmeredam gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Di erareformasi pendekatan represif tersebut dihentikan dan dimulailahupaya-upaya dialog. Aspirasi rakyat Irian Jaya mulai didengar dandiakomodir oleh pemerintah. Permasalahannya kemudian adalah,di Irian Jaya dan juga di pusat telah banyak kelompok-kelompokyang memiliki kepentingan di Irian Jaya sehingga komplikasipermasalahan Irian Jaya makin kompleks karena ditambah dengankeruwetan politik.

Beragam cara diimplementasikan sebagai jejak jalan keluardari permasalahan papua. Dari mulai pemekaran wilayah hinggapemberian otonomi khusus. Sayangnya, solusi-solusi yang

Page 4: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

iii

ditawarkan tersebut diterapkan dilapangan tanpa ada proseskesinambungan atau konsistensi sehingga proses penyelesaianmasalah Irian Jaya menjadi tambal sulam dan bahkanmenimbulkan permasalahan baru.

Salah satunya adalah upaya solusi yang ditawarkan denganmelakukan pemekaran wilayah Irian Jaya menjadi tiga provinsi,yaitu Irian Jaya (Timur), Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Baratdengan diberlakukannya UU nomor 45 tahun 1999. Belumlahselesai proses pemekaran wilayah Irian Jaya tersebut hinggaterbentuknya provinsi-provinsi baru yang memiliki administrasipemerintahan yang layak, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan UUnomor 21 tahun 2001 yang memberikan otonomi khusus kepadaprovinsi Irian Jaya serta mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua.Kemudian merebak permasalahan bagaimana dengan kebijakansebelumnya yaitu pemekaran wilayah. Sebab, UU nomor 21 tahun2001 tidak menyebut secara eksplisit bagaimana kedudukan UUnomor 45 tahun 1999 pasca diberlakukannya UU nomor 21 tahun2001. Meskipun secara sekilas sepertinya tidak ada permasalahan,sebab UU yang sebelumnya memekarkan wilayah provinsi danUU sesudahnya memberikan otonomi khusus. Namun justrumuncul kebingungan ketika mendefinisikan daerah Irian Jaya yangdiubah namanya menjadi Papua. Apakah Irian Jaya itu hanyamerupakan Irian Jaya (timur) ataukah wilayah Irian Jaya secarakeseluruhan sebelum dimekarkan? Karena tidak disebutkansecara eksplisit dalam UU nomor 21 tahun 2001 maka dilapanganpenerapan otonomi khusus tersebut diimplementasikan untukkeseluruhan wilayah Irian Jaya (sebelum dimekarkan) mengingatjuga bahwa pelaksanaan pemerintahan di wilayah provinsi hasilpemekaran belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Namunkemudian pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden nomor1 tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan UU nomor 45tahun 1999, yang berarti bahwa pemekaran wilayah provinsiadalah sebuah keharusan. Yang juga berarti timbul kebingungan

Page 5: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

iv

ditingkat bawah mengenai daerah mana yang disebut sebagai“Papua” yang memiliki otonomi khusus berdasarkan UU nomor21 tahun 2001. Inkonsistensi kebijakan penyelesaian masalahIrian Jaya ini menjadi persoalan baru. Persoalan yang berkaitandengan pelaksanaan sebuah UU.

Seiring dengan adanya Perubahan UUD 1945 yangmengamanatkan pembentukan Mahkamah Konstitusi, MK diberiwewenang salah satunya adalah untuk menguji UU terhadapUUD. Persoalan pelaksanaan UU nomor 45 tahun 1999 yangsedianya menjadi solusi atas permasalahan Irian Jaya itu kemudiandihadapkan ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan permohonantersebut, MK kemudian menguji konstitusionalitas UU nomor45 tahun 1999.

Putusan MK atas pengujian UU nomor 45 tahun 1999tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan putusan (tanggal11 november 2004). Secara singkat, isi putusan MK adalahmengabulkan permohonan pemohon yang berarti bahwa MKmenyatakan UU nomor 45 tahun 1999 bertentangan dengan UUDdan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Namundemikian MK juga mengakui keberadaan provinsi Irian Jaya Baratkarena Irian Jaya Barat telah menjalankan administrasipemerintah yang dinilai layak untuk berdiri sebagai sebuahprovinsi.

Penelitian ini adalah untuk melihat persepsi dan penafsirandari tokoh-tokoh masyarakat Papua atas putusan MK sertasejauhmana putusan MK ini diimplementasikan oleh pemerintahbaik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.Permasalahan Papua sarat dengan dinamika politik yang dapatberubah dan berkembang setiap saat. Putusan MK adalahputusan hukum yang bersifat final dan mengikat yang harusditaati. Kekuatan hukum putusan MK terletak pada adagiumtersebut, namun dalam sisi eksekutorial atau pelaksanaanputusannya maka MK tidak memiliki “tangan” yang berfungsi

Page 6: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

v

untuk menerapkan putusan. Tangan itu berada di pemerintahdan DPR, sehingga pasca putusan, bola kebijakan digulirkan padapemerintah dan DPR untuk menjalankan sesuai dengan putusanyang telah dijatuhkan MK. Putusan MK dalam perkara pengujianUU adalah setara dengan UU sehingga adalah kembali kepadapihak eksekutif serta legislatif untuk menerjemahkan putusanMK tersebut dilapangan.

Penelitian ini juga bermaksud untuk menangkap aspirasidan pendapat masyarakat pasca putusan MK. Namun mengingatdinamika politik penyelesaian Papua maka penelitian mencobamembuat kurun waktu pemikiran ini diungkapkan oleh paranarasumber. Batas kurun waktu tersebut adalah hinggaterbentuknya MRP (Majelis Rakyat Papua). Karena pascapembentukan MRP model penyelesaian permasalahan Papua bisadikatakan berbeda dengan arah dari putusan MK. Hal ini terkaitpula dengan pelaksanaan kebijakan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) secara langsung. Pilkada ini tentu juga menyangkutteritorial provinsi yang diakui keberadaannya di Indonesia.Semakin pelik saja permasalahan Papua ini. Yang pentingmenjadi catatan bagi MK adalah bahwa sebagai sebuah lembagabaru di Indonesia MK harus senantiasa belajar dari pengalaman-pengalamannya menguji UU serta bagaimana implementasiputusan MK pasca pengujian. Perkara pengujian UU yang terkaitdengan permasalahan Papua ini menjadi satu awalan sertapengalaman yang baik untuk mengkaji pelaksanaan putusan-putusan MK dimasa yang akan datang.

Jakarta, Desember 2005

MARUARAR SIAHAAN, S.H.Hakim KonstitusiMahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Page 7: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

vi

Page 8: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

vii

Pengantar ........................................................................................... iDaftar Isi .......................................................................................... vi

1 Pendahuluan.................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6C. Tujuan Penelitian ................................................................ 7D. Kerangka Teori .................................................................... 7E. Metode Penelitian ............................................................. 16F. Sistematika Penulisan ........................................................ 18

2 Sejarah Pemerintahan di Provinsi Papua dan Re-gulasi Penting terhadap Pemerintahan ProvinsiPapua ........................................................................... 19

A. Sejarah Singkat Pemerintahan Provinsi Papua ............ 19B. Riwayat Regulasi Pemekaran dan Otonomi Terhadap Provinsi Papua .................................................. 28

3 Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pasca PutusanMahkamah Konstitusi ............................................... 37

A. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI .................. 37

1. Pemohon dan Permohonan ....................................... 372. Pendapat Mahkamah Konstitusi ............................... 40

a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi .................. 40b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) ................ 41c. Pokok Perkara ........................................................ 42

Daftar Isi

Page 9: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

viii

B. PANDANGAN MASYARAKAT PAPUA DANIRIAN JAYA BARAT TERHADAP PUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI ....................................... 47

1. Persepsi Otoritas Politik dan MasyarakatProvinsi Papua atas Putusan MK ............................ 48

2. Tanggapan Otoritas Politik dan MasyarakatProvinsi Irian Jaya Barat atas Putusan MK............ 76

4 Kesimpulan ................................................................ 91

Daftar Pustaka ............................................................................... 97

Lampiran

Peraturan Pemerintang Nomor 54 Tahun 2004 tentangMajelis Rakyat Papua .................................................................. 101

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan AnggotaMajelis Rakyat Papua .................................................................. 151

Page 10: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

ix

Page 11: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Melalui putusan yang diucapkan dalam Sidang Pleno yangterbuka untuk umum pada Kamis, 11 November 2004,Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 45Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong.1 Dengan demikian,undang-undang ini tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dengan diundangkan-nya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Papua (selanjutnya disingkat UU No. 21/2001),2 pemberlakuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UU No. 45/1999).3Secara teoritis, putusan Mahkamah Konstitusi yang mem-batalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tersebut

1 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,Dan Kota Sorong, UU No. 45 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 173 Tahun 1999,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3894.

2 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,UU No. 21 Tahun 2001, Lembaran Negara Nomor 135 Tahun 2001, TambahanLembaran Negara Nomor 4151.

3 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 136.

Pendahuluan11111

Page 12: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

2

Pendahuluan

potensial menimbulkan konsekuensi berupa komplikasi yuridis,khususnya berkaitan dengan keberadaan Provinsi Irian Jaya Baratyang sudah terbentuk dengan bukti telah terbentuknyapemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hasil Pemilihan UmumTahun 2004 beserta kelengkapan administrasinya termasukanggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD), sertaterpilihnya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yangmewakili Provinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan.

Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat, sesuai denganputusan Mahkamah Konstitusi, adalah sah adanya. Hal ini karenaMahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 menyatakan bahwa “Menimbang bahwa pembentukanProvinsi Irian Jaya Barat secara faktual telah berjalan efektif,yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahanProvinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya Dewan PerwakilanRakyat Daerah hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapanadministrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatandaerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPD yang mewakiliProvinsi Irian Jaya Barat....”4 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusijuga menyatakan, “Menimbang bahwa dengan demikianMahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dan kabupaten /kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999adalah sah adanya kecuali Mahkamah menyatakan lain.”5

Komplikasi yuridis sebagaimana dimaksud di atas bahkandimulai sejak diundangkannya UU No. 21/2001 yang mengidapbeberapa kelemahan mendasar. Pertama, UU No. 21/2001 tidak

4 Ibid., hal. 135.5 Ibid.

Page 13: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

3

Pendahuluan

taat asas (inkonsisten) dan mendua (ambivalen). Inkonsistensitersebut terlihat antara lain dalam Penjelasan Umum-nya yangmengakui wilayah Provinsi Papua terdiri atas 12 (dua belas)kabupaten6 dan 2 (dua) kota,7 termasuk Kabupaten Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorongyang dibentuk dengan UU No. 45/1999. Di sisi lain, UU No.21/2001 tidak menyinggung sedikit pun keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah yang juga dibentukdengan UU No. 45/1999.

Kedua, UU No. 21/2001 tidak memberikan kepastiantentang status UU No. 45/1999 dan Undang-Undang Nomor 5Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang Nomor 45 Tahun1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, ProvinsiIrian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong, setelah diundangkan-nya UU No. 21/2001. Pasal 74 UU No. 21/2001 hanyamenyatakan bahwa “Semua peraturan perundang-undangan yangada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidakdiatur dalam undang-undang ini.” Dengan demikian, keberadaanUU No. 21/2001 tidak secara tegas mencabut atau tidakmencabut keberadaan UU No. 45/1999 dan UU No. 5/200.Inilah yang dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusidisebut sebagai menimbulkan adanya perbedaan penafsiran(multiinterpretasi) dalam pelaksanaannya. Perbedaan penafsiranini secara yuridis akan menyebabkan tidak adanya kepastianhukum, dan secara sosial-politis dapat menimbulkan konflikdalam masyarakat.

6 Kedua belas kebupaten tersebut adalah Kabupaten Jayapura, KabupatenMerauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya,Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong,Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari.

7 Kedua kota tersebut adalah Kota Jayapura dan Kota Sorong.

Page 14: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

4

Pendahuluan

Padahal, UU No. 45/1999 hadir karena dilandasi semangatadanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat sejak tahun1982, yang selanjutnya dituangkan secara formal dalamKeputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Irian Jayatanggal 10 Juli 1999, Nomor 10/DPRD/1999 tentangPersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi DaerahTingkat I Irian Jaya Terhadap Pemekaran Wilayah PropinsiDaerah Tingkat I Irian Jaya dan untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaanpembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat serta untuklebih meningkatkan peran aktif masyarakat, dan sesuai aspirasimasyarakat, sejalan dengan kebutuhan pembangunan danpemerintahan di Propinsi Irian Jaya, maka Propinsi Irian Jayaperlu dimekarkan menjadi tiga Propinsi, yaitu dengan membentukPropinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat.Sedangkan Kabupaten Administratif Paniai, KabupatenAdministratif Mimika, dan Kabupaten Administrasi Puncak Jayaperlu dibentuk menjadi Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,dan Kabupaten Puncak Jaya, serta Kota Administratif Sorongdibentuk menjadi Kota Sorong.

Beberapa waktu yang lalu, Wakil Ketua Dewan PerwakilanRakyat Papua (DPRP) Paskalis Kosay mengatakan bahwaPejabat Gubernur Irian Jaya Barat Abraham Octavianus Atururidan Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Solossabersepakat untuk melaksanakan UU No. 21/2001 tentangOtonomi Khusus bagi Papua secara murni dan konsekuen diseluruh wilayah yang disebut Provinsi Papua. Kesepakatan inimerupakan langkah baru untuk mengakhiri konflik di tingkatelit politik dan pejabat daerah. Semua persoalan papua secarakonsisten diselesaikan di bawah UU No. 21/2001 dan MajelisRakyat Papua (MRP). Dengan kesepakatan yang diprakarsaiSekretaris Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan

Page 15: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

5

Pendahuluan

Keamanan Laksamana Madya Djoko Sumaryono itu, berartiProvinsi Irian Jaya Barat akan digabung ke Provinsi Papua, sesuaidengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004(selanjutnya disingkat PP No. 54/2004) tentang Majelis RakyatPapua.8

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 73 PPNo. 54/2004, MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua danDPRP sebagai Provinsi induk bertugas dan bertanggung jawabuntuk membantu pemerintah menyelesaikan masalah pemekaranwilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkannya PeraturanPemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuaiperaturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam)bulan setelah pelantikan anggota MRP.9

Kesepakatan ini tentu saja menimbulkan konsekuensi yangcukup besar, yaitu pembubaran sejumlah perangkat pemerintahandi Irian Jaya Barat, misalnya anggota Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD) hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 danpemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat, serta pelaksanaanpemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur di daerah itu.

Secara teoretis, kesepakatan Pejabat Gubernur Irian JayaBarat Abraham Octavianus Atururi dan Gubernur Provinsi PapuaJakobus Pervidya Solossa untuk melaksanakan UU No. 21/2001tentang Otonomi Khusus bagi Papua secara murni dankonsekuen di seluruh wilayah yang disebut Provinsi Papua inibelum mendapatkan penjelasan memadai dari sudut hukum.Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah apakah kesepakatan

8 KOR, “Kisruh Provinsi Irjabar-Provinsi Papua, Dua Gubernur Sepakat Kembalike UU Otsus”, <http://kompas.com/kompas-cetak/0504/25/daerah/1705937.htm>, diakses 25 April 2005.

9 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua, PP No.54 Tahun 2004, Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 2004.

Page 16: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

6

Pendahuluan

tersebut bisa dibenarkan secara yuridis. Selain itu, apakah bisanasib suatu daerah, dalam hal ini provinsi, hanya ditentukan olehkesepakatan orang perorang.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakangmasalah di atas, penelitian ini dibingkai dalam identifikasimasalah sebagai berikut:1. Bagaimanakah keberadaan UU No. 45/1999 pascaputusan

Mahkamah Konstitusi?2. Apa dampak putusan Mahkamah Konstitusi bagi Provinsi

Irian Jaya Barat?3. Apakah yang menjadi dasar keberadaan Provinsi Irian Jaya

Barat setelah UU No. 45/1999 dibatalkan oleh MahkamahKonstitusi?

4. Apakah perlu dibentuk UU yang mengukuhkan keberadaanProvinsi Irian Jaya Barat?

5. Bagaimanakah keberadaan peraturan perundang-undangandi bawah UU yang merupakan turunan dari UU No. 45/1999?

6. Apakah Provinsi Irian Jaya Barat juga memperoleh OtonomiKhusus?

7. Bilamana Provinsi Irian Jaya Barat juga melaksanakanotonomi khusus, apa dasar hukumnya?

8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari putusanMahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan otonomi khususdi Papua?

9. Bagaimana kekuasaan Majelis Rakyat Papua (MRP)pascaputusan Mahkamah Konstitusi terutama berkenaandengan pemerkaran wilayah?

Page 17: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

7

Pendahuluan

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam identifikasimasalah di atas, penelitian dengan tujuan sebagai berikut:1. Mengetahui bagaimanakah keberadaan UU No. 45/1999

pascaputusan Mahkamah Konstitusi;2. Mengetahui apa dampak putusan Mahkamah Konstitusi bagi

Provinsi Irian Jaya Barat ;3. Mengetahui apakah yang menjadi dasar keberadaan Provinsi

Irian Jaya Barat setelah UU No. 45/1999 dibatalkan olehMahkamah Konstitusi ;

4. Mengetahui apakah perlu dibentuk UU yang mengukuhkankeberadaan Provinsi Irian Jaya Barat;

5. Mengetahui bagaimanakah keberadaan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang merupakan turunan dari UUNo. 45/1999;

6. Mengetahui apakah Provinsi Irian Jaya Barat juga mem-peroleh Otonomi Khusus;

7. Mengetahui bilamana Provinsi Irian Jaya Barat jugamelaksanakan otonomi khusus, apa dasar hukumnya;

8. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dariputusan Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaanotonomi khusus di Papua;

9. Mengetahui bagaimana kekuasaan Majelis Rakyat Papua(MRP) pascaputusan Mahkamah Konstitusi terutamaberkenaan dengan pemerkaran wilayah.

D. Kerangka Teori

Dalam gagasan otonomi daerah, terkandung adanyagagasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atasdasar aspirasi masyarakat yang memiliki status otonomi tanpaadanya kontrol secara langsung oleh pemerintah pusat. Oleh

Page 18: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

8

Pendahuluan

karena itu, secara konseptual, otonomi daerah memilikikecenderungan menjadi sama dengan kebebasan daerah dalammenentukan nasibnya sendiri atau sama dengan demokrasidaerah.10 Pada tingkat selanjutnya, bahkan otonomisasi tidak sajaberarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga sekaligus mendorongberkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusanmengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan ber-kembangnya prakarsa sendiri, maka tercapailah apa yangdimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untukrakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkanjuga terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Di negara-negaraberkembang, otonomi daerah juga dipahami sebagai bagianintegral dari aspirasi kebebasan, dasar pencarian demokrasi, unsurpenting bagi stabilitas nasional, dan unsur penting bagipertahanan yang kuat dalam melawan musuh dari luar.11 Dengandemikian, otonomi daerah dianggap sebagai implementasi darisemangat demokrasi. Oleh karena itu, Robert Rienowmengemukakan sebagai berikut:

“Handling their local affairs is regarded as good training for peoplecharged with the central of democracy. It is more than training. It’sthe very essence of the popular system”.12

Jadi, menurut Rienow, satuan pemerintahan otonommerupakan ajang latihan demokrasi, bahkan lebih dari itumerupakan esensi demokrasi. Kehadiran suatu daerah otonomdalam kaitannya dengan demokrasi akan menampakkan hal-halsebagai berikut:

10 M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan, Theory of Local Government, (NewDelhi: Starling Publisher Private Limited, 1982), hal. 5.

11 Uraian tentang hal ini, lihat Bhenyamin Hoessein, “Otonomi Daerah dalamNegara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat danTantangan Globalisasi”, (Jurnal Usahawan, No. 04 Tahun XXIX, April 2000), hal. 11.

12 Robert Rienow, Introduction to Government, (New York: Alfred A. Knopf,1966), hal. 573.

Page 19: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

9

Pendahuluan

1) secara umum, satuan pemerintahan otonom tersebut akanlebih mencerminkan cita demokrasi daripada sentralisasi;

2) satuan pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensisistem demokrasi;

3) satuan pemerintahan otonom dibutuhkan untuk mewujudkanprinsip kebebasan dalam penyelenggaraan pemerintahan; dan

4) satuan pemerintahan otonom dibentuk dalam rangkamemberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadapmasyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan yangberbeda-beda.13

Otonomi daerah sebagai terjemahan local autonomy padahakikatnya adalah otonomi masyarakat setempat. Melaluilembaga-lembaga pemerintahan, masyarakat madani dan sektorswasta, otonomi daerah dikelola secara sinergis untukkesejahteraan bersama. Melalui otonomi masyarakat setempatmemiliki kemampuan, keleluasaan berprakarsa dan kemandirianmembangun dirinya sendiri.14 Selain itu, keberadaan localgovernment berkaitan erat dengan pandangan terdapatnya kekuatandalam keanekaragaman tanggapan dan perbedaan kebutuhanantarlokalitas untuk diakomodasikan.15

Pandangan di atas sebenarnya merupakan gejala umumbagi nation state yang di dalamnya terdapat tuntutan untukmenghidupkan partisipasi masyarakat dengan cara yang disebutparticipatory democracy dan representative democracy.16 Otonomi daerah

13 Bagir Manan, “Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-undangan Pemrintah Daerah”, dalam Martin Hutabarat, et. al., (eds.), Hukum danPolitik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Cet. I, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 142.

14 Bhenyamin Hoessein, “Transparansi Pemerintah: Mencari Format dan KonsepTransparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik,” artikel dalam ForumInovasi, edisi November 2001, hal. 37 dan seterusnya.

15 Ibid.16 Michael Goldsmith, Politic, Planning, and City, (London: Hutckinson & Co.

Publisher Ltd., 1980), hal. 16.

Page 20: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

10

Pendahuluan

dianggap sebagai instrumen utama untuk menopang kedua caratersebut, karena bagaimanapun juga dalam suatu nation statebanyak sekali kepentingan-kepentingan yang bersifat lokal dankedaerahan yang tidak boleh begitu saja diabaikan. Berkaitandengan hal ini, B.C. Smith mengatakan sebagai berikut:

“Decentralization to culturally distinctive subgroups is regarded bymany as necessary for the survival of socially heterogeneces states.Decentralization is seen as countervailing force to the centrifugal forcesthat threaten political stability”.17

Dengan demikian, desentralisasi bagi suatu kelompok yangmempunyai perbedaan secara kultural memang sangat perluuntuk menjaga survival dari negara yang mempunyai heteroginitasyang tinggi. Desentralisasi juga dianggap sebagai suatu kekuatanpenyeimbang untuk kekuatan sentrifugal yang dapat mengancamstabilitas politik.

Pemahaman otonomi daerah sebagai otonomi masyarakatdalam kepentingan dan urusan pemerintahan yang bersifatlokalitas sangat kondusif bagi konsep pembangunan lokalitas(locality development). Pembangunan lokalitas menuntut partisipasimasyarakat luas dalam penentuan tujuan dan langkah-langkahkonkrit untuk mewujudkannya. Pembangunan lokalitasmengusahakan pemberdayaan masyarakat untuk memperolehkemampuan guna memecahkan permasalahan dan menghadapilembaga-lembaga pemerintahan dan intstitusi-institusi yangmempengaruhi kehidupannya.18

Otonomi atau desentralisasi mengandung berbagai segipositif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudutpolitik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan kebutuhan pertahanan

17 B.C. Smith, Decentralization, (London: George Allen & Unwin, 1983), hal. 49.18 Hoessein, “Transparansi Pemerintah...”, loc. cit.

Page 21: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

11

Pendahuluan

dan keamanan. Apabila dilihat dari sudut pelaksanaan fungsipemerintahan, maka otonomi atau desentralisasi itu menunjukkanbeberapa hal yang sangat penting.1) Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih fleksibel dalam

memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat;2) Satuan-satuan desentralisasi (otonom) dapat melaksanakan

tugas lebih efektif dan lebih efisien;3) Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih inovatif; dan4) Satuan-satuan desentralisasi (otonom) mendorong tumbuh-

nya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggidan lebih produktif.19

Salah satu dimensi politik dari demokrasi adalah kebebasandan persamaan untuk berperan serta baik sebagai pelaksana(governing) maupun sebagai pengawas dan pengendali (controling,directing) penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Dari sudutekonomi, sosial dan budaya, demokrasi mengandung hak bagirakyat untuk mendapatkan kemakmuran dan keadilan sosial yangseluas-luasnya. Pemerintah daerah dapat menjadi instrumenpenting untuk mewujudkan gagasan demokrasi tersebut. Alexisde Tocqeville mengatakan bahwa kehadiran pemerintahan tingkatdaerah tidak dapat dipisahkan dari semangat kebebasan.20

Kebebasan merupakan salah esensi demokrasi. Suatu pe-merintahan merdeka yang tidak disertai semangat untukmembangun satuan-satuan pemerintahan otonom dipandang olehTocqeville sebagai tidak dapat menunjukkan semangatdemokrasi. Otonomi atau desentralisasi memang terasa lebihdekat dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, Hans Kelsen

19 Yang paling berpengaruh tentu saja adalah David Osborne dan Ted Gaebler,Reinventing Government: How the Interpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector,(New York: A Plume Book, 1992).

20 Menurut Alexis de Tocqeville, “A nation may establish a system of free governmentbut without a spirit municipal institutions it cannot have the spirit of liberty”. Rienow, op. cit.

Page 22: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

12

Pendahuluan

mengatakan; “Decentralization allows closer approach to the idea ofdemocracy than centralization”.21

Sebagaimana telah disebutkan, karena dari sudut ekonomi,sosial dan budaya, demokrasi mengandung hak bagi rakyat untukmendapatkan kemakmuran dan keadilan sosial yang seluas-luasnya, maka pemerintah daerah dapat menjadi instrumenpenting untuk mewujudkan gagasan demokrasi tersebut.

Hampir semua negara memiliki satu atau lebih kelompokminoritas dalam wilayah nasional mereka dan kelompok-kelompok ini memiliki identitas etnik, bahasa, atau agama yangberbeda dengan identitas penduduk mayoritas. Hubungan yangserasi antar kelompok minoritas dan antara minoritas denganmayoritas dan penghargaan kepada identitas masing-masingkelompok merupakan aset yang besar bagi keanekaragamanmultietnik dan multibudaya dari masyarakat global. Memenuhiaspirasi kelompok nasional, etnik, agama dan bahasa danmenjamin hak penduduk yang menjadi bagian dari kelompokminoritas, menghargai martabat dan kesetaraan semua individu,mengembangkan pembangunan dan partipipasi demokrasi, akanmembantu mengurangi ketegangan antarkelompok-kelompokini.22

Pada titik ini, sering kali terjadi adanya ketegangan antarakelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Langkah-langkahlebih lanjut diperlukan untuk lebih melindungi orang yangtergolong kelompok minoritas dari diskriminasi dan meningkatkan

21 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel,1973), hal. 312.

22 Laurence Sullivan, “Hak-hak Kelompok Minoritas Menurut HukumInternasional dan Otsus”, <http://www.papuaweb.org/dlib/lap/sullivan/id/hak-minoritas.rtf>, diakses 28 Maret 2005.

Page 23: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

13

Pendahuluan

jatidiri mereka. Untuk mencapai tujuan ini, hak-hak khusus untukkelompok minoritas harus dijabarkan dan harus diambil langkah-langkah untuk melengkapi ketentuan-ketentuan non-diskriminasiyang terdapat dalam instrumen hak asasi internasional.23

Sampai sekarang ini, perlindungan terhadap kelompokminoritas belum menarik perhatian yang sama besarnya denganperhatian terhadap hak asasi individu. Sesudah Perang Dunia IIperhatian internasional diberikan kepada perlindungan hak asasidan kebebasan individu dan prinsip-prinsip non-diskriminasi dankesetaraan. Pendekatan yang digunakan adalah bahwa jikaketentuan mengenai nondiskriminasi secara efektif dilaksanakan,ketentuan khusus mengenai hak-hak kelompok minoritas tidaklagi diperlukan.24

Adanya hak-hak khusus bagi kelompok minoritas padadasarnya bukanlah merupakan keistimewaan, melainkan hak itudiberikan agar kelompok minoritas dapat melestarikan jatidiri,ciri-ciri khas, dan tradisi mereka. Hak khusus juga penting untukmencapai kesetaraan perlakuan non-diskriminasi. Hanya apabilakelompok minoritas dapat menggunakan bahasa mereka sendiri,mendapat keuntungan dari layanan yang diatur mereka sendiri,dan juga ikut serta dalam kehidupan politik dan ekonomi darinegara, kelompok minoritas dapat mencapai status seperti yangsecara otomatis dinikmati oleh kelompok mayoritas. Perbedaanperlakuan kepada kelompok minoritas dibenarkan apabila halitu dilakukan untuk meningkatkan kesetaraan yang efektif dankesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Bentuk tindakanafirmatif ini mungkin perlu dipertahankan selama jangka waktuyang panjang agar kelompok minoritas dapat memperoleh

23 Ibid.24 Ibid.

Page 24: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

14

Pendahuluan

manfaat yang setara sebagaimana dinikmati oleh kelompokmayoritas. 25

Pada titik inilah beberapa ketentuan di tingkat inter-nasional menghapuskan bentuk diskriminasi berdasarkanekonomi, sosial dan budaya. Pasal 27 Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Sipil dan Politik (The International Covenant onCivil and Political Rights) menyatakan sebagai berikut:

“Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritasberdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orangyang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidakboleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-samaanggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budayamereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkanagamanya sendiri, atau menggunakan bahasa merekasendiri.”

Komite Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsayang bekerja berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and PoliticalRights) menyebutkan langkah afirmatif dalam Uraian UmumnyaNo. 18 tahun 1989 sebagai berikut:

“Komite Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsamengemukakan bahwa prinsip kesetaraan kadang-kadangmengharuskan Negara untuk mengambil langkah afirmatifuntuk memperkecil atau menghapuskan keadaan yangmenyebabkan atau membantu menghidupkan diskriminasiyang dilarang oleh Konvensi. Misalnya, di Negara di manakeadaan umum sebagian penduduknya tidak dapatmenikmati atau hak asasi manusianya terganggu, makaNegara harus mengambil langkah-langkah khusus untukmemperbaiki keadaan tersebut. Tindakan-tindakan yang25 Ibid.

Page 25: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

15

Pendahuluan

diambil bisa termasuk memberikan waktu kepada sebagianpenduduk dimaksud beberapa perlakuan istimewa dalamhal-hal tertentu dibandingkan dengan penduduk lainnya.Namun, selama tindakan seperti itu diperlukan untukmemperbaiki diskriminasi yang ada, maka di bawahKonvensi ini merupakan pengecualian yang diperbolehkan.”

Pasal 4 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Peng-hapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (InternationalConvention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)menyatakan sebagai berikut:

“Langkah-langkah khusus yang semata-mata diambil untukmenjamin pemajuan kelompok ras atau etnik atau peroranganatau kelompok perorangan yang memerlukan perlindunganagar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-hakasasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar secarasederajat, tidak dapat dianggap suatu diskriminasi rasial,sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyaikonsekuensi yang mengarah kepada berlanjutnya hak-hakterpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwalangkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannyatercapai.”

Pasal 4 Deklarasi Hak-Hak Manusia bagi yang berasal dariBangsa atau Etnis, Agama dan Bahasa Minoritas menyatakansebagai berikut:

“Negara-negara harus mengambil langkah-langkah yangdiperlukan untuk memastikan bahwa orang-orang yangtermasuk dalam kelompok minoritas dapat menjalankandengan penuh dan efektif hak-hak asasi manusia dankebebasan mendasar tanpa diskriminasi dan mendapatkesetaraan dalam hukum.”

Page 26: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

16

Pendahuluan

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji pokokpermasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan identifikasimasalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas melaluipendekatan yuridis-normatif.26 Selain itu, peneliti juga akanmelengkapinya dengan yuridis-historis dan yuridis-politisberdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah yang ada.

Untuk mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini,peneliti mempergunakan metode penelitian hukum normatif.27

dan metode penelitian hukum empiris28 sekaligus. Akan tetapi,peneliti akan lebih menitikberatkan penelitian ini pada penelitianhukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsisebagai informasi pendukung. Dengan menyesuaikan diri padaruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakandi atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akandilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer,29 bahan

26 Dalam penelitian hukum normatif ini, yang diteliti adalah bahan pustaka ataudata sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, danbahan hukum tertier. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 10.

27 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengancara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatifini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadapsestematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal;(4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2001), hal. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan SriMamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta:Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979), hal. 15.

28 Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengancara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung darimasyarakat. Penelitian hukum empiris ini disebut juga dengan penelitian hukumsosiologis. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian..., op. cit., hal. 12 dan 14.

29 Bahan hukum primer adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiahyang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun

Page 27: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

17

Pendahuluan

hukum sekunder,30 dan bahan hukum tersier.31 Sementara itu,penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan caramengumpulkan data melalui wawancara dan melakukan berbagaidiskusi dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memilikikompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukumtata negara, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaankehakiman.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mempergunakan jenisdata yang meliputi data sekunder dan data primer yang berkaitandengan hukum tata negara, khususnya di bidang kekuasaankehakiman. Data primer adalah data yang diperoleh langsungdari sumber pertama melalui penelitian lapangan. Sedangkan datasekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian,dan lain-lain.32

mengenai suatu gagasan (ide). Bahan ini mencakup: (a) buku; (b) kertas kerjakonperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya; (c) laporan penelitian;(d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten. Soerjono Soekantodan Sri Mamudji, Penelitian..., op. cit., hal. 29.

30 Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentangbahan primer, yang antara lain mencakup: (a) abstrak; (b) indeks; (c) bibliografi; (d)penerbitan pemerintah; dan (e) bahan acuan lainnya. Ibid.

31 Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup:(1) bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer danbahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukumatau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya adalah abstrak perundang-undangan,bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum,kamus hukum, dan seterusnya; dan (2) bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang(tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi,ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakanuntuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya. Ibid., hal. 33.

32 Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 12.

Page 28: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

18

Pendahuluan

F. Sistematika Penulisan

Data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, ruanglingkup, dan identifikasi masalah sebagaimana yang telahdisebutkan di atas yang telah diperoleh akan disajikan denganpendekatan deskriptif-analitis dan preskriptif-analitis. Penelitianakan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:a. Bab I Pendahuluan menguraikan latar belakang penelitian

yang menyangkut putusan Mahkamah Konstitusi dalamPutusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, beberapapermasalahan, tujuan penelitian, kerangka teori, metodepenelitian, dan sistematika penelitian.

b. Bab II Sejarah Pemerintahan di Provinsi Papua dan RegulasiPenting terhadap Pemerintahan Provinsi Papua, akanmenguraikan sejarah singkat Pemerintahan Provinsi Papuasebelum Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu bab inijuga menguraikan regulasi pemekaran dan otonomi di Papua.

c. Bab III Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pasca PutusanMahkamah Konstitusi yang memberikan ulasan atas PutusanMK dalam Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003. Dandalam bab ini juga mengetengahkan implikasi dari PutusanMK terutama presepsi otoritas politik dan masyarakat diPapua dan Irianjaya Barat. Disamping itu, bab ini juga akanmengetengahkan peranan Majelis Rakyat Papua (MRP)dalam menentukan pemekaran wilayah.

d. Bab IV Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitianyang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya danimplikasi teoretis maupun praktis yang muncul dalampenelitian ini.

Page 29: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

19

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

A. Sejarah Singkat Pemerintahan Provinsi Papua

Sejarah konflik yang terjadi di Provinsi Papua khususnyapemerintahan daerahnya, dimulai sejak Pemerintah Belandasecara resmi melepaskan daerah jajahannya kepada pemerintahRepublik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1948 melaluiPerundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), namun tetapmempertahankan jajahannya terhadap New Guinea Barat.33

Daerah New Guinea Barat yang dimaksudkan dalam perjanjianitulah yang kemudian dinamakan Irian Jaya dan sekarang disebutPapua. Dalam perjanjian itu, tercantum klausula bahwa; “Mengenaistatus New Guinea akan ditentukan melalui negoisasi” antaraIndonesia dan Belanda dalam jangka 1 tahun masa transisikepemilikan wilayah. Artinya, status Papua yang masihmenunggu negosiasi selanjutnya ini menempatkan Papua dalamkondisi yang masih kurang menentu.

Sejarah Pemerintahan di Pro-vinsi Papua dan Regulasi Pen-ting terhadap PemerintahanProvinsi Papua

33 Meskipun di dalam permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusidituliskan bahwa sejarah konflik di Papua berlangsung jauh sebelumnya, termasukdengan konflik yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Lihat: PermohonanPerkara Nomor Registrasi 018/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 45 Tahun 1999,Kuasa Hukum Tim Pembela Otonomi Khusus, 2003, hal: 7. Lihat juga berbagaipenelitian yang mencantumkan sejarah Papua. Kebanyakan diantaranyamenghubungkan jejak sejarah konflik Papua hingga ke masa kolonial Belanda. Lihatjuga: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah KonflikPapua, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004

22222

Page 30: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

20

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

34 Pengibaran inilah yang dianggap sebagai tonggak proklamasi Papua Merdeka,yakni pada tanggal 1 November 1961. Lihat: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan:Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua, Laporan Penelitian Pusat StudiJepang Universitas Indonesia, Januari 2004, hlm: 10.

35 Isi Trikora adalah: (1). gagalkan pembentukan negara boneka Papua bentukanBelanda. (2). Kibarkan sang merah-putih di Irian Jaya tanah Republik Indonesia. (3).Mempersiapkan diri untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaaanIndonesia.

Pihak Belanda tidak tinggal diam pada situasi seperti ini.Mereka menggagas pembentukan Dewan Nieuw Guinea dalamupaya memanfaatkan suara rakyat Papua. Termasuk kemudianpada Oktober 1961, membentuk Komite Nasional Papua yangmempunyai tugas untuk :

Mengeluarkan manifesto yang berkaitan dengan masalah;Pertama, Bendera Papua; Kedua, lagu kebangsaan Papua;Ketiga, Pernyataan West Nieuw Guinea diubah menjadiPapua Barat; Keempat, nama bangsa menjadi Papua; danKelima, mengusulkan pengibaran Bendera Papua padatanggal 1 November 1961.34

Hal yang menjadikan pemerintahan di Papua menjadi tidakmenentu ini dipermasalahkan oleh pemerintah Indonesia yangmengajukan permasalahan tersebut kepada pihak internasional.Selain itu, pihak pemerintah Indonesia juga mengupayakanmobilisasi dalam negeri dalam upaya memasukkan Papua menjadiwilayah Republik Indonesia, dengan gagasan Soekarno yang lebihdikenal dengan TRIKORA (Tri Komando Rakyat), seiringtindakan Belanda yang mengadakan Agresi Militer II keYogyakarta.35

Status ini menjadi semakin tidak menentu setelah pihakAmerika Serikat mendesak pengalihan Papua dengan jalanmemfasilitasi perjanjian pengalihan otoritas secara administratifPapua, dari Belanda ke PBB. Di dalam Pasal 18 yang tertera di

Page 31: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

21

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Perjanjian New York (New York Agreement) pada tanggal 15Agustus 1962, tertulis “Indonesia akan mengatur segala haldengan bantuan dan partisipasi PBB memberikan kesempatankepada Papua untuk memilih apakah menginginkan menjadinegara bagian Indonesia atau tidak”. Dengan kata lain, yangdicantumkan dalam dokumen itu adalah bagaimana me-laksanakan penentuan pendapat bagi rakyat Papua yang disebutdengan The Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera).36

Metode yang dilaksanakan pada Pepera ini adalah melaluibentuk pengambilan suara dengan sistem delegasi yang telahditentukan. Hasilnya, para delegasi terpilih memutuskan secaraaklamasi untuk bergabung dengan Republik pada tanggal 15Agustus 1969. The Act of Free Choice diterima oleh Sidang UmumPBB dan Papua yang diubah namanya sebagai Irian Barat, sertasecara resmi menjadi provinsi ke-27 dari Indonesia pada tanggal19 November 1969.37

Tidak dapat dipungkiri, hasil ini menjadi sumber yangmendukung terjadinya konflik dengan wajah lain, yakni konflikyang merupakan manifestasi dari protes banyak kelompok yangmenganggap bahwa pelaksanaan Pepera tersebut telah cacatsecara hukum. Sistem yang dibangun sebagai mekanismepelaksanaan Pepera menurut pendapat mereka sangat tidak fair,

1 Secara umum, isinya memuat beberapa hal, yaitu: Pertama, Belandamenyerahkan kekuasaan atas Irian Jaya kepada UNTEA; Kedua, Terhitung tanggal 1Mei 1963, UNTEA sebagai yang memikul tanggungjawab administrasi di Papuamenyerahkan pada Indonesia; Ketiga, Untuk akhir tahun 1969, di bawah pengawasanSekjend PBB dilakukan The Act of Free Choice; Keempat, Dalam tenggang waktuantara 1963-1969 akan mengembangkan dan membangun wilayah Papua.

2 Lihat: Laporan Komisi Independen yang disponsori oleh Council on ForeignRelations & Center for Preventive Action, Komisi Untuk Indonesia: Perdamaian danPerkembangannya di Papua,The Council on Foreign Relation. Inc, New York, 2003, hal:20.

Page 32: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

22

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

dan bertentangan dengan prinsip internasional yang menerapkanone man one vote.38

Sejak penerimaan resmi melalui pengesahan Resolusi PBBtersebut, maka secara resmi pula pemerintahan provinsi di IrianBarat berpindah tangan kepada Pemerintah Indonesia yang segeramengadakan beberapa regulasi awal yang ditentukan olehpemerintah pusat terhadap provinsi tersebut. Secara langsung,melalui UU No. 12 tahun 1969, dilakukan pembentukan provinsiotonom Irian Barat dan kabupaten-kabupaten otonom diProvinsi Irian Barat. Melalui UU ini, dimaksudkan untukmemberikan hak otonomi kepada Pemda Irian Jaya untukmengurus rumah tangga sendiri.

Namun regulasi-regulasi ini tidak dapat menjadikan Papuasepi dari konflik. Keinginan untuk memisahkan diri dari NegaraKesatuan Republik Indonesia masih terus-menerus terdapat disana. Akibatnya adalah pemerintah pusat melakukan dominasipolitik yang mengakibatkan makin merasa termarjinalkannyarakyat Papua, termasuk untuk hal-hal mendasar sepertiperencanaan dan formulasi kebijakan untuk pembangunan,minimnya peran serta masyarakat asli Papua, bahkan terdapatnyaintervensi kultural. Hal-hal tersebut makin memupuk keresahanmasyarakat lokal dan makin membangkitkan apa yang dinamakannasionalisme Papua.39

38 Pelanggaran terhadap prinsip utama demokrasi yang dianut secara universaltersebut mengakibatkan meskipun secara resmi PBB telah menyatakan Papua sebagaiwilayah Indonesia melalui resolusinya. Anggapan masyarakat tentang ilegalnya hasilPepera tersebut masih terus menguat. Bahkan jauh setelahnya, saat ini mulai ada yangmenggagas untuk melakukan Pepera ulang terhadap rakyat Papua, karena dalamanggapannya, Pepera yang lama tidak fair dan memutarbalikkan sejarah Papua sebagaisebuah entitas. Lihat: Papua dalam konflik Berkepanjangan: Mencari Akar PenyelesaianMasalah Konflik Papua, Laporan Penelitian Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia,Januari 2004, hlm: 1.

39 Lihat: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian MasalahKonflik Papua, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004, hlm: 2.

Page 33: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

23

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Bangkitnya perasaan nasionalisme Papua dan polapendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, makinmemperuncing konflik yang terjadi disana. Termasuk diantaranyabagaimana pemerintah pusat melakukan kontrak karya denganPT. Freeport. Kontrak karya yang digagas pada tahun 1967 ituikut memupuk kecemburuan sosial yang terjadi karena proses-proses pemberian sumber daya alam Papua kepada PT. FreeportIndonesia. Hal yang alih-alih memberdayakan masyarakat Papua,tetapi makin meramaikan peta konflik dengan hadirnya wajahbaru.40

40 Dalam catatan Ir. Alibasjah Inggriantara, SE, MMBAT ia mengutip beberapapersoalan mendasar yang ia nilai amat mengecewakan penduduk asli Papua mengenaikeberadaan PT. Freeport Indonesia, yaitu: Pertama, Tidak legalnya penyerahankepada Freeport, karena seharusnya menunggu pelaksanaan pleebisit 1969, karenapada saat itu Papua belum diputuskan untuk menjadi wilayah integral dari Indonesia.Hal ini diduga sebagai ‘hadiah’ kepada Amerika Serikat yang punya peran besarmelengserkan orde lama di Indonesia. Kedua, dari segi kultural, penandatangananitu sama sekali tidak melibatkan penduduk asli Papua. Oleh karenanya, banyak adat-adat penduduk setempat yang dilanggar melalui pengerukan isi perut bumi Papua,misalnya bagi Suku Amungme yang percaya bahwa di beberapa gunung di wilayahPapua merupakan tempat bersemayam arwah Jomun-Nerek, nenek moyang bagiorang Amungme. Ketiga, dari aspek ekonomi, kontrak itu dinilai sangat merugikanpenduduk Papua. Melalui pola penguasaan saham, hasil yang didapatkan olehpenduduk asli maupun Pemerintah Indonesia sangatlah minim. Keempat, secarageologis areal kontrak karya itu terlalu besar sehingga untuk harga yang diberikankepada PT Freeport, sangatlah murah, padahal PT. Freeport menjadi perusahaantambang terbesar ketiga di seluruh dunia melalui penambangan di Papua tersebut.Kelima, aspek kesejahteraan yang diberikan oleh PT. Freeport, terlalu kecil. Denganpenghasilan yang luar biasa besarnya, selama 21 tahun produksi (1973-1994), PT.Freeport hanya menyisihkan anggaran sebesar 5,56% saja untuk program sosial. Walausetelah tahun 1994 meningkat, namun jumlahnya tetap saja tidak lebih dari 10%.Keenam, PT. Freeport masih kurang menunjukkan perhatian yang baik terhadaplingkungan hidup, sehingga sampah (tailings) yang ia buang menyebabkan musnahnya3.300 vegetasi hutan tropis, terjadinya penyumbatan mulut sungai dan endapat mulutsungai yang meyebabkan musnahnya banyak spesies ikan. Selain itu, terdapat jugaaliran air asam tambang akibat proses oksidasi tailings dan batuan limbah. Lihat:Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari Akar Penyelesaian Masalah Konflik Papua,Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari 2004, hal: 15-16.

Page 34: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

24

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Akumulasi dari eskalasi konflik, pola pendekatansentralistik dan menjaga kepentingan ekonomi pemodal di Papua,menjadikan pemerintah pusat melakukan pola represif denganmenjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Salahsatu alasan terbesar melakukan ini juga karena makin menguatnyakekuatan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hasilnya, padatahun 1970 sejumlah tokoh militer kelompok Papua Merdekamulai menyerah dan praktis makin melemahkan kekuatan OPM.

Di satu sisi, melemahnya OPM ini adalah hal yang baik,namun di sisi yang lain malah menjadi alat justifikasi untukmenstigma masyarakat yang menolak melepaskan tanah untukkeperluan proyek pembangunan pemerintah maupun swasta.41

Akan tetapi, permasalahan OPM ini sama sekali tidakpernah terselesaikan dengan tuntas. Padahal dari sisi lain,separatisme non-OPM dari hari ke hari juga makin menunjukkanpeningkatan aktivitas dan kegiatan. Termasuk ketika kekuasaanOrde Baru telah padam dan digantikan dengan pemerintahanorde reformasi. Meski berbagai kekerasan dengan gayamiliterisme telah dijanjikan akan dikurangi di wilayah ProvinsiPapua.

Peristiwa unjuk rasa, penaikan bendera Papua, sertatuntutan keluar dari Republik Indonesia yang terjadi secaraserentak pada tanggal 1-2 Juli 1998 di beberapa kota di Irian

41 Hal ini makin menciptakan kebencian terhadap aparat-aparat pemerintahpusat dan aparat militer yang mengkordinir makin sistematisasnya stigma OPMterhadap orang yang melawan. Masyarakat Papua juga sangat takut untuk disebutOPM, oleh karenanya kekerasan struktural makin kuat terjadi di Papua. Jika diperbandingkan di daerah lain, maka stigmatisasi dengan sebutan PKI adalah hal yangsama dengan pola yang dilakukan untuk stigmatisasi dengan istilah OPM. Lihat:Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara,ELSAM, Jakarta, September 1999, hal: 73.

Page 35: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

25

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

seperti Jayapura, Biak, Sorong, Wamena dan beberapa fenomenalainnya ikut memperkuat bukti-bukti gejolak yang kuat terusterjadi di Papua tersebut. Dalam laporan Amnesty Internasionalpada Tahun 1998, ditenggarai bahwa sedikitnya 100.000 orang42

yang telah menjadi korban akibat konflik yang penyebabutamanya adalah konflik kepentingan, baik politis maupunekonomi.

Setelah tahun 1998, konflik di Papua, belum juga mereda.Konflik tata pemerintahan maupun kepentingan memetakankonflik menjadi lebih beragam penyebab, ekspresi dan dampakpublik yang ditimbulkannya. Tim Pembela Otonomi Papua,memetakannya sebagai berikut:

42 Angka tersebut tampaknya kurang punya dasar. Jika dibandingkan denganjumlah penduduk Papua menurut data BPS pada tahun 1990 yaitu 1.6 juta jiwa yangmengalami pertumbuhan sebesar 40,45% dari tahun 1980 yang hanya 1.1 juta jiwamelebihi pertumbuhan penduduk secara nasional sebesar 21,62%.

Penyebab Ekspresi Dampak Publik

Fanatisme etnis atau kelompok terhadap calonnya pada pemilihan bupati atau gubernur.

Bentrok fisik antar kelompok etnis dari masing-masing pendukung.

Relasi sosial dan sarana publik yang rusak dan suasana tidak aman.

Ketimpangan penguasaan sumber dan akses ekonomi publik antar masyarakat migran dan asli Papua.

Kriminalitas dan bentrok fisik antar warga.

Relasi sosial dan sarana publik yang rusak dan tidak aman.

Manipulasi hak-hak dasar masyarakat adat dan lemahnya penghargaan terhadap hak adat dan nilai budaya lokal.

Pemalangan bangunan milik pemerintah dan pengambilan secara paksa atas sarana fisik perorangan dan publik oleh masyarakat adat.

Krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum serta munculnya hukum jalanan.

Arogansi aparat keamanan dalam bentuk menjalankan tugas melebihi wewenang.

Intimidasi, pemukulan, dan penganiayaan warga diluar prosedur hukum yang sah oleh aparat keamanan.

Sikap penolakan masyarakat terhadap kehadiran aparat kea-manan dan munculnya dendam terselubung oleh kelompok korban.

Diskriminasi pelayanan dan penegakan hukum pada kekuatan sosial dan ekonomi tertentu

Kekerasan sosial antar warga masyarakat.

Krisis kepercayaan pada pemerintah, aparat penegak hukum dan munculnya hukum jalanan.

Kebijakan pemerintah bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya yang membingungkan, tidak jelas, dan memihak pada salah satu kelompok sosial masyarakat tertentu.

Bentrok fisik antar warga masyarakat serta tindakan represif militer oleh aparat TNI, Polri pada warga masyarakat.

Sikap penolakan warga terhadap kehadiran aparat keamanan dan ketertiban serta munculnya dendam terselubung oleh kelompok korban.

Birokrasi pemerintahan yang masih belum transparan dan banyak mengandung prilaku KKN.

Kekerasan sosial antar warga masyarakat untuk memperebutkan kedudukan dalam lembaga politik dan birokrasi

Kecemburuan dan kecurigaan antar warga yang diuntungkan dan dirugikan atas prilaku elite birokrasi.

Page 36: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

26

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Hal-hal tersebut di atas terus menggejala, bahkan terusberlanjut setelah tergusurnya orde baru. Meskipun pola-polapendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah bergeserdari represif menjadi sedikit lebih akomodatif, belum dapatmeredakan konflik secara permanen. Juga meskipun pemerintahpusat secara resmi telah menghapus kebijakan DOM di bulanOktober 1998, namun efek euphoria reformasi telah terlebih dulumenggejala dan mempengaruhi cara pemikiran rakyat Papua,sehingga menolak pendekatan akomodatif tersebut denganmeminta kemerdekaan melalui “Tim 100” yang bertemu denganPresiden Habibie.

Pendekatan akomodatif oleh pemerintah pusat ini makindigalakkan setelah naiknya Presiden Gus Dur. Tepat pada tanggal1 Januari 2000, ia selaku kepala negara secara resmi memintamaaf secara terbuka kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAMyang dilakukan oleh TNI di masa silam. Dalam kunjungan itujuga, Gus Dur secara resmi menyutujui perubahan nama IrianJaya untuk menggunakan nama Papua.43

Selain itu, Gus Dur juga mencoba mengambil hati orang-orang papua dengan mengakomodir orang Papua pada kabinetyang ia bentuk. Ia mengangkat Freddy Numberi (pada waktu ituGubernur Irian Jaya) menjadi Menteri Pendayagunaan AparaturNegara. Akomodasi politis ini setidaknya mulai cukup berhasil.

43 Entah secara berkelakar atau tidak, Gus Dur menyebutkan nama Irian Jayamerupakan manipulasi dalam bahasa Arab yang artinya telanjang. Ia mengucapkanbahwa, “Mulai sekarang, nama Irian Jaya menjadi Papua. Mungkin waktu itu,penggembala-penggembala Arab melihat temen-temen disini masih telanjang danmenggunakan koteka”. Lihat: Papua Dalam Konflik Berkepanjangan: Mencari AkarPenyelesaian Masalah Konflik Papua, Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Januari2004, hal: 29.

Page 37: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

27

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Namun kemudian, Gus Dur melakukan tindakan beranidengan mengeluarkan kebijakan persetujuannya terhadapKongres Rakyat Papua pada tanggal 29 Mei-3 Juni 2000 yang iaanggap sebagai sarana untuk mempersatukan aspirasi rakyatPapua. Bahkan, Gus Dur juga memberikan sumbangan danasecara resmi sebesar Rp.1 Milyar kepada Dewan Presidium Papua(PDP) untuk membiayai penyelenggaraan Kongres Rakyat Papuatersebut. Tindakan berani lainnya adalah dengan memberikankeleluasaan lain, yaitu bendera “Bintang Kejora” yang bolehdikibarkan disamping “Merah Putih”. Dalam pandangan GusDur, bendera “Bintang Kejora” lebih merupakan simbol kulturaldibanding dengan simbol nasionalisme apalagi simbolisiasi upayauntuk separatisme.

Kebijakan-kebijakan berani Gus Dur ini disatu sisi sangatdidukung karena sebagai bentuk akomodasi yang dilakukanpemerintah terhadap aspirasi rakyat Papua, namun pada sisi yanglain juga dianggap memiliki efek negatif yang berwujud efek‘kebablasan’, sehingga banyak rakyat Papua yang menganggap-nya sebagai pemberian ruang yang lebih lapang kepada RakyatPapua untuk melaksanakan hal-hal yang menjurus ke arahkemerdekaan. Bahkan, banyak diantara rakyat Papua yangmencontohkan proses pisahnya Timor-Timur dari wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia, sebagai hal yang juga patut untukditiru dan diambil langkah-langkahnya bagi pemisahan ProvinsiPapua.

Namun pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri,bentuk akomodasi yang dilakukan oleh Gus Dur, khususnyamengenai pengibaran “Bintang Kejora” mulai ditinjau ulang.Melalui seruan yang ditandatandatangani oleh secara bersamaoleh J.P. Salossa. Msi (Gubernur Provinsi Papua), Tarwo HadiSadjuri (A/N Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua), Mayor

Page 38: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

28

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Jenderal Nurdin Zainal MM., (Pangdam XVII/Trikora) dan Drs.Budi Utomo (Kepala Kepolisian Daerah Papua) yang bertanggal7 November 2003, telah menyerukan beberapa hal, yaitu:1. Sejak tahun 1963, Provinsi Papua sudah sah sebagai bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena ituketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam NKRIberlaku pula di jajaran wilayah Provinsi Papua.

2. Kegiatan-kegiatan politik yang bertentangan denganketentuan-ketentuan perundang-undangan NKRI tidakdibenarkan di wilayah Provinsi Papua.

3. Kepada seluruh masyarakat dan komponen-komponenmasyarakat Papua tidak dibenarkan melakukan; (a)memperingati 1 Desember sebagai hari kemerdekaan Papua;(b) mengibarkan bendera bintang kejora atau simbol-simbollain yang bertentangan dengan simbol yang sah dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia.

4. Apabila seruan ini tidak ditaati, akan dikenakan sanksi sesuaidengan ketentuan perundang-undangan.

Tentu saja, berdasarkan seruan tersebut, konflik kembaliterpicu. Peta konflik antara kelompok separatis yang mengingin-kan kemerdekaan dan pro-integrasi kembali makin meruncing.Berbagai kekerasan tersebut terus melanda rakyat Papua hinggasaat ini.

B. Riwayat Regulasi Pemekaran dan OtonomiTerhadap Provinsi Papua

Status yang menjadi turunan dari sejarah Papua tersebutmenjadikan keadaan Papua tidak pernah sepi dari peraturan-peraturan yang tentunya juga mendapatkan apresiasi beragamdari rakyat Papua. Hingga saat ini, setidaknya tercatat sekitar

Page 39: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

29

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

17 peraturan yang berhubungan dengan pemerintahan di Papua.Peraturan-peraturan tersebut adalah;

(1). Perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag 23Agustus–2 November 1949; (2). Undang-Undang No. 15Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom ProvinsiIrian Barat; (3). Undang-Undang No. 23 Tahun 1958 tentangPenetapan Undang-Undang No. 20 Tahun 1957 tentangPenambahan Undang-Undang Pembentukan DaerahSwatantra Tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara Tahun1957 No. 76) Sebagai undang-Undang; (4). Undang-UndangNo. 17 tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1962 tentangPenerimaan dan Penggunaan Warga Negara Asing yangdengan Sukarela Turut Serta Dalam Perjuangan PembebasanIrian Barat; (5). Perjanjian Antara Republik Indonesia denganKerajaan Belanda Mengenai New Guinea Barat (Irian Barat)ditanda-tangani di New York 15 Agustus 1962; (6).Pernyataan bersama Sebagai Perundingan Antara MenteriLuar Negeri Belanda (Mr. Luns), Menteri Urusan KerjasamaPembangunan (Mr. Udink) dengan Menteri Luar NegeriIndonesia (Mr. Malik) di Roma, 20-21 Mei 1969; (7). ResolusiMajelis Umum PBB No. 1752 (XVII) tentang Perjanjianantara Republik Indonesia dengan Kerajaan BelandaMengenai New Guinea Barat (Irian Barat), 21 September1962; (8). Laporan Sekretaris Jenderal PBB tentangPelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri di Irian Barat,6 November 1969; (9). Undang-Undang No. 12 Tahun 1969tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat danKabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat; (10).Undang-Undang No. 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian antaraIndonesia dan Australia Mengenai Garis Batas TertentuAntara Indonesia dan Papua New Guinea; (11). Undang-undang No. 2 Tahun 1987 tentang Pengesahan “Treaty of

Page 40: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

30

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Mutual Respect Friendship and Cooperation between the Repubic ofIndonesia and The Papua New Guinea.; (12). Undang-UndangNo.6 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya DaerahTingkat II Jayapura; (13). Undang-undang No. 45 Tahun1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, IrianJaya Barat, Kabupaten Pinai, Kabupaten Mimika, KabupatenPuncak Jaya, dan Kota Sorong; (14). Undang-undang No.5Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No.45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian JayaTengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Pinai, KabupatenMimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong; (15).Undang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi KhususBagi Provinsi Papua; (16). Undang-undang No.26 Tahun2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, KabupatenKeerom, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten PegununganBintang, Kabupaten Yakuhimo, Kabupaten Tolikara,Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, KabupatenBoven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat,Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondatamadi Provinsi Papua; dan (17). Instruksi Presiden No. 1 tahun2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun1999.

Diantara sekian banyak peraturan-peraturan tersebut,maka saat ini yang paling mengundang banyak pro dan kontraadalah peraturan mengenai pemekaran provinsi Papua melaluiUndang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang PembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Pinai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.Kemudian juga adalah Undang-undang No.21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Kedua jenisregulasi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahkan memilikikecenderungan saling bertentangan. Apalagi seiring dengan

Page 41: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

31

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 1 tahun 2003 tentangPercepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999.

Undang-Undang mengenai pemekaran provinsi Papuamerupakan regulasi pertama yang diberikan kepada Papua, setelahdijatuhkannya Soeharto pada medio tahun 1998. NaiknyaHabibie, dianggap sebagai awal dimulainya orde reformasi yangmenggeser rezim orde baru. Era reformasi, dianggap sebagaiperbaikan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.Salah satu isu yang paling dahsyat pada saat itu adalah kewajibanorde reformasi untuk mulai mengubah pendekatan pemerintahpusat kepada daerah, dari yang bertipe sentralistik menjadi lebihdesentralistik. Dalam hal inilah, maka terjadi perubahan agendapolitik yang diberikan pemerintah pusat di awal kenaikanHabibie, termasuk terhadap Provinsi Papua.

Secara kronologis, pada tanggal 26 September 1999,Habibie menerima delegasi Papua yang berjumlah 100 orang,yang secara resmi meminta kemerdekaan bagi provinsi Papuadari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.44 Permintaanini direspon oleh Pemerintah dengan mencari strategi alternatifagar mengakomodasi keinginan tersebut, sembari tetapmempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Strategi tersebut adalah kebijakan pemekaran yang menemukanbentuk legal formal-nya melalui UU No.45 Tahun 1999 tentangPembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian JayaBarat, Kabupaten Pinai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak

44 Tim ini lebih dikenal dengan julukan “Tim 100”. Mulanya pertemuan inidianggap sebagai mekanisme pencarian solusi terhadap masalah disintegrasi bangsa,namun ternyata malah dianggap oleh “Tim 100” sebagai titik tolak untuk merdeka.Oleh karenanya, tidak heran karena setelah tanggal 26 Februari 1999 tersebut, intensitasgerakan pro-kemerdekaan makin menggiat, bahkan kepulangan “Tim 100” disambutbagai pahlawan dibeberapa kapubaten dan bendera Bintang Fajar mulai banyakdikibarkan di rumah-rumah.

Page 42: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

32

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

45 Walau tanggapan ini kelihatan agak lamban, namun alasan keadaan PemilihanUmum 1999 adalah alasan terbesar kelambanan tanggapan Pemerintah. Ide pemekaransebagai tanggapan ini, oleh sebagian besar pengamat dihubungkan dengan ide lamayang menemukan kembali semangatnya. Oleh karena sejak tahun 1984, telah dibuatsuatu rencana kebijakan untuk memekarkan Provinsi Papua, atas dasar permintaansekelompok kecil masyarakat Papua. Namun rencana ini dianggap sepi, hinggamenemukan kembali momentumnya di tahun 1999.

46 Dalam surat keputusan presiden tersebut, mengangkat Drs. Herman Monimsebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen TNI Mar. (Purn) AbrahamAtuturi sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat. Sebelumnya, kedua orang inimenjabat wakil gubernur pada Provinsi Irian Jaya.

Jaya dan Kota Sorong, dan secara resmi dikeluarkan pada tanggal4 Oktober 1999.45 Sehari setelahnya, juga diangkat pejabat-pejabat daerah untuk menugasi jabatan provinsi baru tersebutmelalui Surat Keputusan Presiden No.327/M Tahun 1999.46

Namun, kebijakan baru ini mendapatkan reaksi penolakanyang cukup massif. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagaikalangan masyarakat Papua. Aksi besar-besaran ini direspon olehDPRD Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) denganmengeluarkan Keputusan DPRD No. 11/DPRD/1999 tentangPernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya kepadaPemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jayadan Usul Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI No.327/M1999 tertanggal 5 Oktober 1999.

Aksi Penolakan ini dipengaruhi beberapa hal, yakni;Pertama, kebijakan pemekaran wilayah Provinsi Daerah TingkatI Irian Jaya tersebut, dianggap tidak melalui proses konsultasirakyat. Kedua, kebijakan pemekaran wilayah Provinsi DaerahIrian Jaya, tidak sesuai dengan rekomendasi yang disampaikanoleh Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya. Sedangkan hal lain,jika meneropong secara lebih sosiologis, format pembagianwilayah ini sangat tidak memperhatikan aspek kesatuan sosialbudaya, kemampuan ekonomi dan kesiapan sumber daya

Page 43: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

33

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

manusia. Hal lain adalah adanya komentar politis, bahwa hal iniadalah bagian dari upaya memecah belah dan menguasai sepertiyang dalam anggapan banyak orang telah sering dilakukan olehPemerintah.

Pemerintah saat itu mencoba bersikap lebih arif denganmenangguhkan pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999, maupunKeputusan Presiden RI No. 327/M tentang PengangkatanPejabat Gubernur Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Timur. Makinmeningkatnya konflik dan kekerasan ini memicu tindakan yuridis-politis lainnya, yakni dikeluarkannya Tap MPR No.IV/MPR/1999, pada bab IV, huruf G, butir 2 memuat kebijakan pemberianotonomi khusus kepada Aceh dan Irian Jaya.47 Hal ini makinmemperbesar semangat para penolak pemekaran, karena dalamTap MPR tersebut, sama sekali tidak menyebutkan Irian JayaTengah, Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Timur, tetapi hanyamenyebutkan Irian Jaya.48

47 Melalui Sidang Umum MPR, Paripurna ke-12 tanggal 19 Oktober 1999, halitu ditetapkan melalui Tap MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar HaluanNegara (GBHN) tahun 1999-2004. Secara lebih lengkap, ketetapan tersebut berbunyi:“Dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan RepublikIndonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yangmemerlukan penanganan segera dan sungguh-sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkahsebagai berikut: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan RepublikIndonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budayamasyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Irian Jaya melalui peradilan yang jujurdan bermartabat”. Lihat: Tap MPR No. IV/MPR/1999.

48 Lihat: Permohonan Perkara Nomor Registrasi 018/PUU-I/2003 tentang PengujianUU No. 45 Tahun 1999, Kuasa Hukum Tim Pembela Otonomi Khusus, 2003, hal: 7.Dalam permohonan tersebut, juga didalilkan tentang secara jelas Tap MPR ini telahmereduksi sebagian materi UU No.45 Tahun 1999, khususnya pasal-pasalpembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Apalagi pada saat itu,hierarkhi perundang-undangan masih menempatkan Ketetapan MPR di atas undang-undang dan langsung di bawah Undang-Undang Dasar.

Page 44: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

34

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

Kemudian, kekuasaan eksekutif beralih dari Habibie keGus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid). Pemerintahan Gus Dursecara eksplisit telah menjelaskan keinginan pemerintah untuklebih memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi rakyatPapua.49 Komitmen ini kemudian direspon oleh berbagai kalangandengan pengkajian yang lebih serius. Sehingga tercatat, berbagaikonsep (draft) tentang materi RUU Otonomi Khusus bagi IrianJaya diajukan oleh berbagai kalangan di Irian Jaya.

Upaya yang lebih serius untuk menyusun RUU ini jugadatang dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Dewan PerwakilanRakyat Daerah Irian Jaya, dengan membentuk PanitiaPenyelenggara Forum Kajian, lalu Tim Penjaring Aspirasi, sertaTim Asistensi untuk menjaring aspirasi, wacana dan pandangan-pandangan ahli dari seluruh kalangan masyarakat Papua, untukdikembangkan menjadi RUU Otonomi Khusus.50 Namunditingkat membangun kultur keinginan untuk otonomi dan bukanmerdeka juga merupakan perjuangan penting yang dilakukansecara baik oleh konsolidasi pemerintah Provinsi Papua danmasyarakat Papua.

Setelah melalui penggodokan intensif di DPR, makaakhirnya tersusun UU Otonomi Khusus untuk Papua yangmerupakan sinkretik antar RUU usulan Pemerintah Daerah danDPRD Provinsi Papua, walau yang menjadi acuan utama adalahRUU usulan Pemda dan DPRD Papua. Pembahasan tersebut

49 Sedangkan pada saat yang sama, eskalasi politik makin meningkat di Papua,seiring dengan berlangsungnya beberapa peristiwa politik yang cukup penting di sana,yakni: Pengibaran bendera Bintang Fajar pada tanggal 1 Desember 1999, MusyawarahBesar Papua pada tanggal 26 Februari 2000, dan Kongres Rakyat Papua pada tanggal29 Mei hingga 4 Juni 2000.

50 Perjalanan penggodokan serius dan intensif RUU ini dapat dilihat secaralebih detail pada Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Agus Sumule(Editor), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Page 45: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

35

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

memakan waktu sekitar 5 bulan, sampai DPR memutuskan untukmenyetujui dan menetapkan RUU tentang Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua menjadi undang-undang pada tanggal 22 Oktober2001. Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputrimengesahkan UU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papuamenjadi UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua pada tanggal 21 November 2001.51 Sehingga,terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002, UU ini resmi secara formaldiberlakukan di Provinsi Papua.

Bahkan untuk beberapa hal yang ada di dalam UU OtonomiKhusus tersebut, secara partisipatif coba dilengkapi olehbeberapa segmen masyarakat di Provinsi Papua. Termasukdengan usulan terhadap pembentukan Majelis Rakyat Papua yangakan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pada bulanJuli 2004, usulan tentang MRP ini dimasukkan oleh PemerintahDaerah Provinsi Papua.

Namun konstelasi kembali berubah, setelah sekitar 1 tahunkemudian, Presiden Megawati Sukarnoputri mengeluarkanInstruksi Presiden No. 1 Tahun 2003 tentang PercepatanPelaksanaan UU No.45 Tahun 1999.52 Hal ini mengembalikanProvinsi Papua pada regulasi pemekaran berdasarkan UU No.45Tahun 1999 dengan memerintahkan kepada Menteri DalamNegeri, Menteri Keuangan, Gubernur Provinsi Papua, danBupati/Walikota se-Provinsi Papua untuk melakukan persiapandan percepatan pemekaran.

Artinya, berdasarkan peraturan ini, maka proses pemekaranyang dulunya banyak menuai protes, kembali diadakan dan

51 Dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No.135dan tambahan Lembaran Negara tahun 2001 No. 4151.

52 Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 2003.

Page 46: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

36

Sejarah Pemerintahan dan Regulasi

kembali mendapatkan tantangan dari beberapa lapisanmasyarakat Provinsi Papua, oleh karena beragamnya responmasyarakat yang secara paradoksal berlaku ‘pro’ dan ‘kontra’.

Page 47: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

37

Putusan dan Pasca Putusan MK

A. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pemohon dan PermohonanPerkara pengujian Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi IrianJaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, KabupatenPuncak Jaya, dan Kota Sorong, diubah dengan Undang-UndangNomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Tengah,Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, dicatat dalam BukuRegistrasi Perkara Konstitusi dengan nomor perkara 018/PUU-II/2004. Menurut pemohon UU tersebut bertentangan denganPasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

Selaku pemohon perkara ini adalah Drs. John Ibo, MM.,dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Perwakilan RakyatPropinsi Papua mewakili kepentingan DPRD Papua (sesuai HasilRapat Pleno DPRD Propinsi Papua).

Yang menjadi alasan utama pemohon dalam mengajukanjudicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah:1. Pasal-pasal yang dimohonkan dianggap melanggar hak

konstitusional rakyat yang hidup dipropinsi Papua, yaitu

33333 Putusan Mahkamah Konstitusidan Pasca Putusan MahkamahKonstitusi

Page 48: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

38

Putusan dan Pasca Putusan MK

berupa pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Irian JayaTengah serta batas-batas wilayahnya dianggap tidakmengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahdaerah yang bersifat khusus atau istimewa; serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalmasyarakat Papua;

2. Berlakunya UU Nomor 45 tahun 1999 yang telah diubahdengan UU Nomor 5 Tahun 2000 dianggap melanggarketentuan yang tersebut didalam Undang-Undang Nomor21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, dimanadalam Pasal 76 UU a quo disebutkan “Pemekaran PropinsiPapua menjadi propinsi-propinsi dilakukan atas dasarpersetujuan MRP dan DPRD…………….”, dimana hal inimenegaskan bahwa pembentukan dan pemekaran dan segalabentuk pelaksanaannya harus mendapatkan persetujuanlegislatif di daerah dengan memperhatikan syarat pentingtertentu.Hal tersebut didasarkan pada kesimpulan pemohon yangdidasarkan pada asas kepastian hukum.53

Pemohon juga memperkuat alasannya dengan menjelaskansecara detail dan elaboratif tentang latar belakang danperkembangan dinamika sosial, politik, dan hukum di Papua.Dari penjelasan pemohon terhadap dinamika sosial, politik, danhukum di Papua dijelaskan mengenai gambaran konflik di Papuayang bersumber dari:1. Adanya perbedaan pandangan antara Pemerintah Indonesia

dengan sebagian masyarakat asli Papua tentang proses

53 Asas kepastian hukum dimaksud menurut pemohon yaitu: lex superiori derogatlegi inferiori atau aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah;lex posteriori derogat legi priori atau aturan kemudian mengesampingkan aturan yangterdahulu; dan lex specialis derogat legi generali atau aturan khusus mengesampingkanaturan umum. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor018/PUU-I/2003.

Page 49: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

39

Putusan dan Pasca Putusan MK

54 Dijelaskan bahwa menurut pandangan masyarakat asli Papua; Papua Baratseharusnya bukanlah bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI),sedangkan menurut pandangan Pemerintah Republik Indonesia; bahwa sesudah RIdan Belanda meratifikasi Persetujuan New York pada akhir bulan April 1963 makapada 1 mei 1963 UNTEA yang menjalankan pemerintahan sementara di Irian Baratmenyerahkan kekuasaannya kepada RI, dimana sejak itu secara de facto Irian Baratsudah berada dibawah kekuasaan Republik Indonesia, didukung dengan disahkannyaPEPERA oleh sidang umum PBB ke-24 maka Indonesia menganggap bahwa masalahIrian Barat (Papua) telah selesai menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiadan tidak dapat diganggu gugat. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PutusanPerkara Nomor 018/PUU-I/2003. Ibid.

55 Kondisi ini dijelaskan sebagai akibat adanya kekeliruan kebijakan pembangunandi Papua yang berlangsung lama meliputi; a. Terjadinya eksploitasi Sumber DayaAlam (SDA); b. Dominasi Migran di berbagai bidang kehidupan; c. PenyeragamanIdentitas Budaya dan pemerintahan lokal; d. Tindakan represif militer. Ibid.

intregasi wilayah Papua;54 Adanya pandangan masyarakat asliPapua yang menganggap bukan dari budaya masyarakatIndonesia;

2. Konflik kekerasan di Papua yang umumnya disebabkanadanya kondisi sosial yang timpang antara masyarakat Papuadengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua;55

3. Papua selalu menjadi ajang konflik kekerasan oleh berbagaikelompok kepentingan, dengan motif, pola dan tujuan yangberagam.

Selanjutnya dalam Petitumnya pemohon mengungkapkanbahwa untuk menghindarkan adanya dualisme hukum dalampelaksanaan Pemerintahan Daerah di Propinsi Papua dan untukmenghindarkan terjadi konflik horizontal yang dapat menimbul-kan korban jiwa karena adanya pro dan kontra masalahpemekaran Propinsi Papua yang mengacu pada Undang-undangNomor 45 Tahun 1999, maka mereka menganggap cukupberalasan untuk memohon kepada Hakim Majelis MahkamahKonstitusi, agar mengabulkan seluruh permohonannya denganmenyatakan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 45

Page 50: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

40

Putusan dan Pasca Putusan MK

Tahun 199956 bertentangan dengan Pasal 18B Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyaikekuatan hukum yang mengikat, serta mohon putusan yangseadil-adilnya.

2. Pendapat Mahkamah Konstitusia. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyebut-kan bahwa dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yangditegaskan kembali dalam Pasal 10 UU Nomor 24 tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satukewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertamadan terakhir yang putusannya bersifat final untuk mengujiundang-undang terhadap UUD 1945;

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyata-kan bahwa sesuai Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi beserta penjelasannya yang menyatakanbahwa undang-undang yang dapat diuji adalah undang-undangyang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945 yaitusetelah tanggal 19 Oktober 1999. Namun, walaupun UU Nomor45 Tahun 1999 diundangkan pada tanggal 4 Oktober 1999, yang

56 baik sebagian atau keseluruhannya, yaitu: Pasal 1 huruf c, Pasal 2, Pasal 3,Pasal 4, Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), (2), (7), dan (8 Pasal 13ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 17 ayat(1), Pasal 18 (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4) sebagaimana telahdiubah di dalam Pasal 20 ayat (1), (3), (4) dan (5) di dalam Undang-undang Nomor5 Tahun 2001, Pasa1 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan (2), Pasal 23 ayat (1), (2), (4)dan (5), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) dan (2), yang mengatur tentangPembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten. Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong yang telah diubahdengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya,dan Kota Sorong; Sepanjang yang mengatur pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengahdan Irian Jaya Barat. Ibid.

Page 51: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

41

Putusan dan Pasca Putusan MK

berarti sebelum perubahan pertama UUD 1945, undang-undangitu telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 yangdiundangkan pada tanggal 7 Juni 2000. Oleh karena itu terlepasdari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim konstitusiterhadap ketentuan Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003,Mahkamah menganggap berwenang untuk memeriksa, mengadili,dan memutus permohonan Pemohon a quo tersebut.

b. Kedudukan Hukum (Legal Standing)Dengan pertimbangan bahwa Pasal 51 ayat (1) UU

Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang dapatmengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadapUUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan ataukewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunyaundang-undang tersebut, yang dapat berupa perorangan WNI,kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badanhukum publik atau privat, atau lembaga negara. Disamping itu,menurut ketentuan Pasal 60 UU No.22 Tahun 2003 yangselanjutnya disebut UU Susduk dimana dinyatakan “DPRDProvinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yangberkedudukan sebagai lembaga pemerintahan provinsi”, dansesuai dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) huruf f UU Susduktersebut bahwa Pimpinan DPRD Provinsi mewakili DPRDProvinsi dan/atau kelengkapan DPRD Provinsi di pengadilan.

Dengan demikian dalam pertimbangannya MahkamahKonstitusi menyatakan bahwa Pemohon termasuk kategorilembaga negara, sedangkan hak dan/atau kewenangankonstitusional yang dianggap merugikan Pemohon denganberlakunya UU No. 45 Tahun 1999 yang telah diubah denganUU No. 5 Tahun 2000 ialah hak konstitusional yang tercantum

Page 52: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

42

Putusan dan Pasca Putusan MK

dalam UUD 1945. Oleh karena itu Mahkamah berpendapatbahwa Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukanpermohonan a quo.

c. Pokok PerkaraDalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi

yang didasarkan pada permohonan pemohon agar menyatakanpasal-pasal di dalam UU No.45 Tahun 1999 yang telah diubahdengan UU No.5 Tahun 2000, baik sebagian atau keseluruhan-nya,57 sepanjang yang mengatur tentang pembentukan ProvinsiIrian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat bertentangan dengan Pasal18B ayat (1) UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.

Setelah memeriksa pokok permohonan Pemohon danmempertimbangkan kesahihan (validitas) dan menguji muatanyang terkandung UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun2000 terhadap Pasal 18 UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusidalam pertimbangannya memandang bahwa tidak terbukti pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan denganUUD 1945. Namun dengan adanya perubahan UUD 1945 makaberarti terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yangmengakibatkan tertib hukum yang lama (old legal order) kehilangandaya lakunya.58

57 yaitu Pasal 1 huruf c, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 11, Pasal12 ayat (1), (2), (7), dan (8), Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal15 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal20 ayat (1), (2), (3), dan (4) yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2000 Pasal 20ayat (1), (2), (3), dan (4) untuk Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 21 ayat(1), Pasal 22 ayat (1) dan (2), Pasal 23 ayat (1), (2), (4), dan (5), Pasal 24, Pasal 25ayat (1), dan Pasal 26 ayat (1) dan (2). Ibid.

58 Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya “General Theoryof Law and State” (versi bahasa Inggris, edisi 1961, hal. 118-119) “… that the norms ofthe old order are regarded as devoid of validity because the old constitution end, therefore, the legalnorms based on this constitution, the old legal order as a whole, has lost its efficacy; because theactual behavior of men does no longer conform to this old legal order. Every single norm loses itsvalidity when the total legal order to which it belongs loses its efficacy as a whole”. Ibid.

Page 53: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

43

Putusan dan Pasca Putusan MK

Mengenai argumentasi Pemohon yang menggunakan asaslex superiori derogat legi inferiori. Mahkamah berpendapat, asasdimaksud tidak tepat untuk diterapkan dalam kasus ini, karenaUU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 2000 diundangkansebelum Perubahan Kedua UUD 1945 (18 Agustus 2000).Sedangkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi KhususBagi Provinsi Papua dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijaksanaan dalamOtonomi Daerah, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHNTahun 1999-2004. Dengan demikian, Mahkamah menilai bahwaUU No. 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 adalahsah dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggiyang terkandung dalam UUD 1945, sehingga segala hal yangtimbul sebagai akibat hukum diundangkannya kedua undang-undang a quo adalah sah pula.

Sedangkan untuk dalil pemohon yang menyatakan bahwaUU No. 45 tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 menjadibatal untuk sebagian (sepanjang yang mengatur pembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat) dengan berlakunyaUU No. 21 tahun 2001 karena bertentangan dengan asas lexspecialis derogat legi generalis dan asas lex posteriori derogat legi priori.Mahkamah berpendapat bahwa kedua asas tersebut tidak dapatditerapkan terhadap UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun2000 dikaitkan dengan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2001,karena materi muatan yang diatur dalam Undang-undang No. 45Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 2000 berbeda dengan materimuatan yang diatur oleh UU No. 21 Tahun 2001.59 Lagipula UU

59 UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 2000 mengatur tentangPembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, sedangkan UU No.21 Tahun 2001 berisi ketentuan tentang segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaanotonomi khusus bagi Provinsi Papua. Ibid.

Page 54: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

44

Putusan dan Pasca Putusan MK

60 Inkonsistensi dan ambivalensi tersebut terlihat antara lain dalam PenjelasanUmum undang-undang a quo yang mengakui wilayah Provinsi Papua terdiri atas 12(dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, termasuk Kabupaten Paniai, KabupatenMimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong yang dibentuk dengan UU No. 45Tahun 1999. Sementara itu UU No. 21 Tahun 2001 tidak menyinggung sedikitpunkeberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah, padahal kedua Provinsiitu pun dibentuk dengan UU No. 45 Tahun 1999. Ibid.

No. 21 Tahun 2001 tidak taat asas (inkonsisten) dan bersifatmendua (ambivalen).60

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannyaterhadap pendapat Pemohon a quo maupun pendapat Pemerintah,masing-masing mempunyai argumentasi yang cukup beralasan,dan lahir sebagai akibat inkonsistensi dan ambivalensi UU No.21 Tahun 2001 yang tidak secara tegas menentukan keberlakuanatau ketidakberlakuan UU No. 45 Tahun 1999 sebagaimanadiuraikan dalam pertimbangannya. Namun walaupun materimuatan yang diatur oleh UU No. 45 Tahun 1999 dan UU No. 21Tahun 2001 berbeda, tetapi dalam beberapa hal bersinggungan,yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan penafsiran dalampelaksanaannya. Perbedaan penafsiran itu secara yuridis akanmenyebabkan tidak adanya kepastian hukum, dan secara sosialpolitis dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untukmengakhiri ketidakpastian hukum serta mencegah timbulnyakonflik dalam masyarakat, Mahkamah berpendapat bahwaperbedaan penafsiran timbul karena terjadinya perubahan atasUUD 1945, yang mengakibatkan sebagian materi muatan UUNo. 45 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan UUD 1945,khususnya Pasal 18B ayat (1). Namun demikian, sebagaimanatelah diutarakan di atas, Pasal 18B UUD 1945 yang menjadidasar pembentukan UU No. 21 Tahun 2001 tidak dapatdipergunakan sebagai dasar konstitusional untuk menilaikeberlakuan UU No. 45 Tahun 1999 yang telah diundangkansebelum perubahan kedua UUD 1945.

Page 55: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

45

Putusan dan Pasca Putusan MK

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi jugamenilai bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secarafaktual telah berjalan efektif, yang antara lain terbukti dengantelah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat danterbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapanadministrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatandaerah (APBD), serta terpilihnya Anggota DPD yang mewakiliProvinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukan ProvinsiIrian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan. Untukhal tersebut Mahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dankabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU No. 45Tahun 1999 adalah sah adanya kecuali Mahkamah menyatakanlain.

Berdasarkan pertimbangan yang diuraikan diatas makaMahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon dalamamar putusan, sebagai berikut:- Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan.- Menyatakan, dengan diundangkannya Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus BagiProvinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2001 Nomor 135), pemberlakuan Undang-undang Nomor45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian JayaTengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan KotaSorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999Nomor 173 dan Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 3894), bertentangan denganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

- Menyatakan, sejak diucapkannya Putusan ini, Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tersebut tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.

Page 56: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

46

Putusan dan Pasca Putusan MK

Namun dalam putusan tersebut ada pendapat yang berbeda(Concurring Opinion) oleh Hakim Konstitusi, Maruarar SiahaanS.H., yang menyatakan bahwa meskipun dapat menyetujuidiktum putusan dalam perkara a quo, akan tetapi berbeda denganpendapat mayoritas dalam pertimbangan hukum yang menyangkutakibat hukum dari diktum putusan yang menyatakan bahwaUndang-Undang Nomor 45 Tahun l999 bertentangan denganUUD l945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikatsebagai hukum, dengan alasan sebagai berikut :- Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat yang didasarkan pada

Undang-undang Nomor 45 Tahun l999, secara faktual barudilaksanakan setelah adanya Instruksi Presiden Nomor 1Tahun 2003 bertanggal 27 Januari 2003, yaitu setelahdiundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 pada tanggal11 November Tahun 2001. Oleh karena itu sesungguhnyaUU No.45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, Instruksi PresidenNomor l Tahun 2003 yang menghidupkan kembali Undang-undang Nomor 45 Tahun l999 untuk mempercepat realisasipembentukan propinsi baru di Irian Jaya Barat, merupakanpelanggaran konstitusi dan Rule of Law dalam penyeleng-garaan pemerintahan yang mengakibatkan ketidakpastianhukum. Perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatanyang demi hukum batal (van rechtswege nietig) dengan segalaakibatnya, sehingga pembentukan Propinsi Irian Jaya Baratdengan sendirinya demi hukum batal sejak awal (ab initio).

- Meskipun dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003tersebut eksistensi Propinsi Irian Jaya Barat oleh PemerintahPusat telah diakui dengan segala konsekuensinya, keadaantersebut yang justru harusnya tidak ditolerir. Danpembentukan propinsi Irian Jaya Barat seharusnya batalsebagai akibat hukum yang timbul karena UU No. 45 Tahun1999 bertentangan dengan UUD 1945.

Page 57: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

47

Putusan dan Pasca Putusan MK

61 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Irian JayaTengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten PuncakJaya, Dan Kota Sorong, UU No. 45 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 173 Tahun1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3894.

62 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,UU No. 21 Tahun 2001, Lembaran Negara Nomor 135 Tahun 2001, TambahanLembaran Negara Nomor 4151.

63 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 136.

B. PANDANGAN MASYARAKAT PAPUA DANIRIAN JAYA BARAT TERHADAP PUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI

Secara umum, putusan Mahkamah Konstitusi atas PerkaraNomor 018/PUU-I/2003 memunculkan beberapa kontroversidi lapangan. Sebagaimana telah dikemukakan, melalui putusanyang diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umumpada Kamis, 11 November 2004, Mahkamah Konstitusimembatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentangPembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian JayaBarat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, KabupatenPuncak Jaya, Dan Kota Sorong.61 Dengan demikian, undang-undang ini tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dengan diundangkan-nya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Papua (selanjutnya disingkat UU No. 21/2001),62 pemberlakuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999(selanjutnya disingkat UU No. 45/1999) bertentangan denganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.63

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tersebut dipersepsi oleh beberapakalangan potensial menimbulkan konsekuensi berupa komplikasiyuridis, khususnya berkaitan dengan keberadaan Provinsi IrianJaya Barat yang sudah terbentuk dengan bukti telah terbentuknya

Page 58: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

48

Putusan dan Pasca Putusan MK

pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DewanPerwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hasil Pemilihan UmumTahun 2004 beserta kelengkapan administrasinya termasukanggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD), sertaterpilihnya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yangmewakili Provinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan.

Apabila pandangan atau persepsi masyarakat Papuaterhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor018/PUU-I/2003 dipetakan berdasarkan penelitian di lapangan,maka akan tampak adanya dua persepsi berbeda di kalanganmasyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat.Setidaknya beberapa pernyataan dari narasumber menyiratkanhal tersebut. Persoalan pertama yang paling mengemuka berkaitandengan eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat pascaputusanMahkamah Konstitusi adalah selalu muncul pertanyaan apa yangkemudian menjadi dasar hukum bagi keberadaan Provinsi IrianJaya Barat sebagai provinsi ke-31 di Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

1. Persepsi Otoritas Politik dan MasyarakatProvinsi Papua atas Putusan MK

Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Solossa dalamkesempatan wawancara mempertanyakan eksekusi atas putusanMahkamah Konstitusi yang telah dijatuhkan. Menurutnya, palingtidak Mahkamah Konstitusi harus memberikan penjelasanseputar dasar hukum bagi keberadaan Provinsi Irian Jaya Baratsetelah putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwadengan diundangkannya UU No. 21/2001,64 maka pemberlakuan

64 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

Page 59: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

49

Putusan dan Pasca Putusan MK

65 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Irian JayaTengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten PuncakJaya, Dan Kota Sorong, op. cit.

66 Wawancara dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Salossa, diKantor Gubernur Kepala Daerah Provinsi Papua, Jayapura, Senin, 20 Juni 2005.

67 Ibid.68 Ibid.69 Ibid.

UU No. 45/199965 bertentangan dengan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.66 Solossa menyarankanbahwa kalau telah disadari adanya persoalan berupa komplikasiyuridis, maka semestinya Provinsi Irian Jaya Barat meskipun sahadanya, tetapi dianggap berada dalam posisi status quo, di manakonsekuensinya akan ditata ulang semua persoalan yang terkaitdengan keberadaannya. Yang terjadi pada saat ini adalah ProvinsiIrian Jaya Barat dan Provinsi Papua dibiarkan berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan penafsiran masing-masing tanpa adanyaarahan yang jelas. Pihak yang paling memiliki peran signifikandalam hal ini seharusnya adalah pihak pemerintah atau kekuasaaneksekutif.67

Untuk keluar dari segala persoalan yang berkaitan dengandasar hukum keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat pascaputusanMahkamah Konstitusi adalah sebaiknya secara konsisten UU No.21/2001 dijalankan. Dengan demikian, segala persoalan yangberkenaan dengan pemekaran Provinsi Papua mengharuskanadanya persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP).68 Hal inisesuai dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21/2001 yangmenyatakan sebagai berikut:

“Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukanatas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengansungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdayamanusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masadatang.” 69

Page 60: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

50

Putusan dan Pasca Putusan MK

70 Ibid.71 Ibid.72 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua,

PP Nomor 54 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4461.

Akan tetapi, yang terjadi adalah komplikasi yuridis berupaketidakjelasan keberadaan dasar hukum Provinsi Irian Jaya Baratdibiarkan terus berlangsung tanpa adanya kejelasan, sehinggakepastian hukum juga menjadi semakin jauh. Hal ini diperparahdengan adanya proses politik berupa pemilihan kepala daerah(pilkada) yang tidak ada dasar hukumnya.70 Solossa menafsirkanbahwa kalau mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusiatas Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, maka seharusnya produkhukum yang berlaku di semua tanah Papua adalah UU No. 21/2001. Dengan demikian, meskipun realitas politik menunjukkanbahwa Provinsi Irian Jaya Barat telah terbentuk, tetapi sebaiknyasemuanya mengacu pada UU No. 21/2001 setelah pemberlakuanUU No. 45/1999 diputuskan bertentangan dengan UUD 1945.Pada akhirnya, segala hal yang berhubungan dengan perbaikantanah Papua ke depan dilandaskan pada mekanisme yangterdapat dalam UU No. 21/2001.71

Dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (selanjutnyadisingkat PP No. 54/2004),72 semakin terlegitimasi adanyagagasan untuk menjadikan UU No. 21/2001 sebagai payunghukum untuk keluar dari persoalan komplikasi yuridis. Hal inikarena otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalahkewenangan khusus yang diakui dan diberikan bagi provinsi danrakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalamkerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangankhusus berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagiprovinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintah-an dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua

Page 61: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

51

Putusan dan Pasca Putusan MK

untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagaibagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untukmemberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomianmasyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadaibagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dankaum perempuan yang diwujudkan melalui Majelis Rakyat Papua.Majelis Rakyat Papua berperan serta dalam memberikanpertimbangan dan persetujuan dalam perumusan kebijakandaerah, dalam rangka kesetaraan dan keragaman kehidupanmasyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alamPapua. Sebagai lembaga representasi kultural, maka pemilihananggota MRP dilakukan melalui proses yang demokratis dantransparan pada tingkat distrik, kabupaten/kota dan tingkatprovinsi untuk memperoleh wakil-wakil dari masyarakat adat,masyarakat agama dan masyarakat perempuan. Untukmelaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, MRP memilikihak dan kewajiban yang perlu mendapatkan landasan operasionalsebagaimana yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2001, sertadiberikan hak keuangan dan administrasi yang diatur dalamPeraturan Pemerintah ini. Dalam rangka pengakuan danpenghormatan terhadap keragaman budaya berdasarkan etnis diPapua, maka dibentuk MRP pada provinsi-provinsi pemekaranyang dibentuk dengan memperhatikan perkembangan dankemajuan serta kesiapan masyarakat di wilayah pemekaran.73 PPNo. 54/2004 dalam Bagian Keempat tentang Pembentukan MRPdi Wilayah Pemekaran mengatur peran MRP. Ketentuan Pasal73 menyatakan sebagai berikut:

“MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagaiprovinsi induk bertugas dan bertanggungjawab untuk membantuPemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yang73 Ibid., Penjelasan Umum.

Page 62: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

52

Putusan dan Pasca Putusan MK

dilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini denganmemperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undanganselambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggotaMRP.” 74

Oleh karena itu, MRP harus segera terbentuk sebagailangkah-langkah yang harus dilakukan demi terciptanya sebuahpenataan untuk kembali kepada peraturan perundang-undanganyang berlaku, sehingga apa yang terjadi di tanah Papua menjadijelas ukuran-ukuran yuridisnya. Sekali lagi, itu berarti bahwa UUNo. 21 Tahun 2001 harus menjadi peraturan utama di tanahPapua untuk kembali kepada proses-proses yang bisa dibenarkansecara hukum.75

Selain persoalan dasar hukum, sebagaimana telahdisinggung di atas, persoalan pilkada76 yang dilakukan di ProvinsiIrian Jaya Barat dan beberapa kabupaten/kota di dalamnya jugapatut mendapatkan perhatian. Apabila UU No. 21 Tahun 2001yang dijadikan rujukan utama dalam pengelolaan tanah Papua,maka seharusnya semua hal yang berkenaan dengan pengelolaanadministratif berada di bawah pengendalian provinsi induk, dalamhal ini Provinsi Papua. Ini adalah mekanisme lazim yang ada diIndonesia dalam hal pembentukan provinsi. Di sisi lain, yangterjadi di Irian Jaya Barat adalah tidak ada proses pengelolaanadministratif yang berada di bawah pengendalian provinsi induk,

74 Ibid., Pasal 73.75 Wawancara dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Salossa, op.

cit.76 Dalam perkembangannya saat ini pilkada di Papua dan Irjabar akhirnya

ditunda menunggu terbentuknya MRP. Sementara Pilkada Gubernur Irjabar telahditetapkan KPUD pada 29 Juli 2005, harus ditunda karena menunggu MRP terbentukyang menurut elit politik Papua paling lama MRP terbentuk 10 Oktober 2005.“Pelaksanaan Pilkada Irjabar Makin Tidak Menentu”, Penulis: Mirza Andreas, Senin,19 September 2005 14:50 WIB, diakses dari http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=75699 tanggal 26 September 2005.

Page 63: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

53

Putusan dan Pasca Putusan MK

dengan cara melakukan kordinasi dan konsultasi. Prosespengelolaan administratif tersebut memasukkan juga pelaksana-an pilkada yang dilakukan di wilayah pemekaran. Padahal,pilkada tersebut seharusnya hanya bisa dilakukan setelahpembentukan MRP.77

Sampai saat ini, Provinsi Irian Jaya Barat yang telahterbentuk, belum pernah melakukan aktivitas-aktivitas tertentuguna melakukan penyerahan urusan-urusan kepangkatan dariprovinsi induk. Akan tetapi, pemerintah pusat seperti mentolerirkejadian tersebut, sehingga peraturan perundang-undangan yangada tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meruncingnya persoalanyuridis antara provinsi induk, yaitu Provinsi Papua, denganprovinsi pemekaran, yaitu Provinsi Irian Jaya Barat, pada akhirnyamembangkitkan munculnya sentimen primordialisme. Adaanggapan bahwa yang dapat mengabdi di Provinsi Irian Jaya Baratadalah orang-orang Provinsi Irian Jaya Barat sendiri, sedangkandari orang-orang dari Provinsi Papua tidak diperkenankan untukmengabdi di wilayah pemekaran tersebut. Persoalan lain adalahtidak meratanya sumber daya alam (SDA), sehingga pemekaranyang telah terjadi itu bisa menggagalkan maksud utamapemekaran wilayah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.78

Persoalan penting berkenaan dengan MRP dalam kaitannyadengan pilkada adalah pertama-tama harus terbentuk terlebihdahulu MRP induk yang ada di Provinsi Papua. Apabila MRPinduk tersebut telah memberikan persetujuan terjadinyapemekaran provinsi, maka akan dibentuk MRP di provinsi hasilpemekaran tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 141ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentangPemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian

77 Ibid.78 Ibid. Pasal 141 ayat (2).

Page 64: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

54

Putusan dan Pasca Putusan MK

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah79 menentukan sebagaiberikut:

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pemekaran diProvinsi Papua sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor54 Tahun 2004, dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulansetelah diselesaikannya Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 54Tahun 2004.” 80

Pasal 141 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah81

menentukan sebagai berikut:“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksudpada ayat (1), dilaksanakan setelah terbentuknya MRP sebagaimanadimaksud Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun2004.” 82

Selanjutnya, Pasal 141 ayat (3) Peraturan PemerintahNomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah menentukan sebagai berikut:

“Dalam hal MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belumterbentuk, penetapan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil79 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP Nomor 6Tahun 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480.

80 Ibid., Pasal 141 ayat (1).81 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP Nomor 6Tahun 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480.

82 Ibid., Pasal 141 ayat (2). Pasal 74 ayat (1) PP Nomor 54 Tahun 2004 tentangMajelis Rakyat Papua mengatakan bahwa “Dalam hal pemekaran Provinsi Papuamenjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masingibukota provinsi.”

Page 65: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

55

Putusan dan Pasca Putusan MK

Gubernur menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur padapemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan olehDPRD Provinsi yang bersangkutan.” 83

Dengan demikian, dalam pandangan Solossa, pem-bentukan MRP menjadi persoalan penting dan mutlak di Papua.Setelah MRP di Papua terbentuk, akan disusul denganpembentukan MRP lain sesuai dengan pemekaran provinsi,termasuk di Irian Jaya Barat.84 Penataan hukum yang diperlukanberkenaan dengan komplikasi yuridis yang terjadi di Irian JayaBarat, khususnya yang berkaitan dengan pilkada seharusnya tetapmerujuk pada ketentuan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRPdan PP Nomor 6 Tahun 2005.85

Agar MRP benar-benar menjadi alat representasi yangefektif di tanah Papua, Solossa mengusulkan bahwa perwakilansebaiknya dibangun atas dasar tiga unsur, yaitu adat, perempuan,dan agama yang dibagi ke dalam 14 (empat belas) wilayahpemilihan di seluruh tanah Papua, mengingat MRP bukanlembaga politik, tetapi lembaga yang merepresentasikan kultural.14 (empat belas) wilayah tersebut sebaiknya didasarkan padatiga pertimbangan utama, yaitu pertimbangan kultural,pertimbangan geografis, dan pertimbangan antropologis.86

83 Ibid., Pasal 141 ayat (3).84 Wawancara dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Salossa, op.

cit.85 PP ini telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005

tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentangPengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atasPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pengesahan, Pengangkatan, danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP Nomor 17 Tahun 2005,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 39, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4494.

86 Wawancara dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Salossa, op.cit.

Page 66: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

56

Putusan dan Pasca Putusan MK

Berkaitan dengan 14 (empat belas) wilayah yang didasarkanpertimbangan kultural, pertimbangan geografis, dan per-timbangan antropologis ini, selengkapnya Solossa mengatakansebagai berikut:

“Pertama, Merauke itu akan dibagi tiga: Naphi, Merauke, danBiak Numfor sebagai pusat daerah pemilihan. Disini ada duasuku besar; Suku Muyu, dan Suku Marin, dan tidak terlalu jauh.Kemudian Asmat kita jadikan satu daerah pemilihan yangmerupakan masyarakat kultural yang terkenal di timur dan sulitdigabungkan dengan suku yang lain, kemudian, Timika itu satudaerah pemilihan , terdiri dari beberapa suku, sebagian ada dipedalaman sebagian di pantai, yaitu Komoro. Kemudian, diPegunungan Tengah, Jayawijaya, Aikara dan Puncak Jaya, satudaerah pemilihan. Disitu ada suku Dani. Kemudian, di Yakuhimodan Pegunungan Hutan ada suku Dani dan suku lain yang hampirmirip. Kemudian, Jayapura, Sentani itu satu wilayah pemilihan,kelompok ini terkenal kelompok Nanka yang kemiripannya sama.Kemudian Keerom dan Jayapura tergabung satu daerah pemilihan.Kemudian, Yapen dan Waropen, satu lagi walaupun ada beberapasuku, tapi wilayahnya sama dan ada kemiripan (2 kabupaten jadisatu). Kemudian, Nabire dan Paniai satu daerah. Ada suku dipedalaman dan ada suku di pantai. Kemudian Manokwari, TelukPondamae, Bintuni satu daerah pemilihan. Kemudian, Fak Fakdan Kaiwana satu daerah pemilihan. Kemudian Raja Ampat, SorongKota, dan Kota itu terdiri dua suku (Suku Raja Ampat dan SukuMoon). Kemudian, Sorong Selatan satu daerah pemilihan. Waktudaerah pemilihan DPRP kedua daerah itu memilki dua perwakilan.Jadi, berbeda antara yang pedalaman dan pantai.”87

Menanggapi mengenai terjadinya kesepakatan antaraGubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Solossa dan PejabatGubernur Irian Jaya Barat Abraham Oktavianus Atururi yang

87 Ibid.

Page 67: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

57

Putusan dan Pasca Putusan MK

diberitakan media,88 Solossa mengatakan bahwa pertemuantersebut diprakarsai oleh Sekretaris Menko Polhukam LaksdaDjoko Sumaryono dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan, khususnya berkaitan dengan pembentukan MRPdi seluruh tanah Papua termasuk di wilayah pemekaran;penyediaan dan pengalokasian dana sebesar Rp 4 miliar yangdiambil dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)untuk pelaksanaan pilkada di beberapa kabupaten termasuk yangberada di wilayah Irian Jaya Barat; dan PP Nomor 6 Tahun 2005tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pem-berhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harusmenjadi acuan bersama penyelenggaraan pilkada. Kesepakatan-kesepakatan tersebut, menurut Solossa, telah disetujui oleh keduabelah pihak.89

Senada dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus PervidyaSolossa, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)Paskalis Kosay menegaskan bahwa komplikasi yuridis di ProvinsiIrian Jaya Barat tidak perlu terjadi seandainya putusan MahkamahKonstitusi tegas memberangus keberadaannya.90 Dalam salahsatu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwakeberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan kabupaten/kota yangtelah dimekarkan berdasarkan UU No. 45/1999 adalah sahadanya. Hal ini didasarkan realitas bahwa pembentukan ProvinsiIrian Jaya Barat secara faktual telah berjalan efektif, yang antaralain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan ProvinsiIrian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004beserta kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja

88 Lihat antara lain KOR, “Kisruh Provinsi Irjabar-Provinsi Papua: DuaGubernur Sepakat Kembali ke UU Otsus”, <http://kompas.com/kompas-cetak/0504/25/daerah/1705937.htm>, diakses pada Senin, 25 April 2005.

89 Ibid.90 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Paskalis

Kosay, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Jayapura, Senin, 20 Juni 2005.

Page 68: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

58

Putusan dan Pasca Putusan MK

dan pendapaan daerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPDyang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.91 Kosay justru sangatmengapresiasi pendapat berbeda (concurring opinion) yang diajukanoleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang menjadi bagianintegral putusan Mahkamah Konstitusi.92

Sebagaimana terbaca dalam Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan berpendapatbahwa meskipun dapat menyetujui diktum putusan dalam perkaraa quo, tetapi berbeda dengan pendapat mayoritas dalampertimbangan hukum yang menyangkut akibat hukum daridiktum putusan yang menyatakan bahwa UU No. 45/1999bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyaikekuatan mengikat sebagai hukum. Menurutnya, pembentukanProvinsi Irian Jaya Barat secara faktual baru dilaksanakan setelahadanya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 bertanggal 27Januari 2003, yaitu setelah diundangkannya UU No. 21 Tahun2001 pada tanggal 11 November 2001. Oleh karena itu,sesungguhnya UU No. 45/1999 tidak berlaku lagi sejak11November 2001. Munculnya Inpres yang bertujuan untukmempercepat realisasi pembentukan provinsi baru tersebut justrumerupakan pelanggaran konstitusi dan rule of law dalampenyelenggaraan pemerintahan yang mengakibatkan terjadinyaketidakpastian hukum. Perbuatan hukum tersebut merupakanperbuatan yang demi hukum batal (van rechtswege nietig) dengansegala akibatnya. Dengan demikian, pembentukan Provinsi IrianJaya Barat yang didaarkan pada UU No. 45/1999 dan direalisirdengan Inpres No. 1/2003 dengan sendirinya demi hukum batalsejak awal (ab initio).93 Meskipun dengan Inpres No. 1/2003

91 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 135.

92 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua PaskalisKosay, op. cit.

93 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 137-138.

Page 69: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

59

Putusan dan Pasca Putusan MK

tersebut eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat telah diakuipemerintah pusat, baik melalui anggaran belanja yang telahtersedia maupun terbentuknya daerah pemilihan tersendiri dalamPemilu 2004 yang melahirkan DPRD Provinsi Irian Jaya Barat,keadaan itu seharusnya tidak bisa ditolerir. Akibat hukum yangtimbul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakanbahwa UU No. 45/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dankarenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,seharusnya dengan sendirinya mengakibatkan batalnyapembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dengan segala ikutanstruktur yang terlanjur terbentuk atas dasar UU No. 45/1999yang dinyatakan inkonstitusional, karena proses pembentukanprovinsi baru adalah merupakan satu awal yang tidak serta mertamerupakan perbuatan yang telah selesai dengan dikeluarkannyaUU No. 45/1999 tersebut, melainkan baru selesai denganterbentuknya organ yang melaksanakan kewenangan pemerintahdi provinsi yang baru dibentuk. Apabila kemudian terjadiperubahan hukum dan perundang-undangan berbeda denganundang-undang yang membentuk provinsi baru, harus ditafsirkansebagai perubahan pendirian dari pembuat undang-undang yangmenyebabkan proses pemebentukan provinsi yang belum selesaisecara yuridis tersebut dengan sendirinya juga berpengaruh danharus dilakukan melalui mekanisme baru dalam undang-undangbaru. Seharusnya pemekaran lebih lanjut Provinsi Papua akandilakukan melalui prosedur dan mekanisme yang ditentukandalam UU No. 21/2001, sehingga UU No. 45/1999 tidak berlakulagi dan akibat hukum yang timbul pun, yaitu terbentuknyaProvinsi Irian Jaya Barat, seharusnya dinyatakan batal.94 Concurringopinion yang diajukan oleh Maruarar Siahaan dalam putusanMahkamah Konstitusi inilah yang menurut Kosay lebih tepat.95

94 Ibid.95 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Paskalis

Kosay, op. cit.

Page 70: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

60

Putusan dan Pasca Putusan MK

Kondisi ketiadaan dasar hukum bagi keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat karena pemberlakuan UU No. 45/1999 telahdinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 harus sesegeramungkin diselesaikan, dan penyelesaian yang paling efektif adalahseharusnya memakai UU No. 21/2001 sebagai peraturanperundang-undangan yang mengatur segala persoalan, termasukpemekaran, di tanah Papua. Dengan demikian, proses pemekarantidak bisa tidak harus menunggu terbentuknya MRP. Hal inikarena Pasal 76 UU No. 21/2001 menyatakan bahwa pemekaranProvinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan ataspersetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengansungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdayamanusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masadatang.96

Kosay menjelaskan bahwa pada tingkat grass rootsebenarnya ada keinginan untuk menyelesaikan persoalanProvinsi Irian Jaya Barat itu dengan baik dan menghormatiputusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja para elit politik diProvinsi Irian Jaya Barat, (lebih khusus lagi Ketua DPRD danPejabat Gubernurnya dan bahkan pemerintah pusat) justru tidakmenghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Pemerintah justrusecara kontinyu memberikan dana dan melantik pimpinan DPRD.Padahal, seharusnya pascaputusan Mahkamah Konstitusi,keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat adalah status quo yang berartibahwa pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat tetap dianggapada, tetapi kegiatan-kegiatannya dibatasi terlebih dahulu serayamenunggu terbentuknya MRP yang nantinya akan memberikanlegalitas atas keberadaannya. Hal ini sesuai dengan ketentuanPasal 73 PP No. 54/2004 tentang MRP yang menyatakan bahwaMRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai

96 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

Page 71: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

61

Putusan dan Pasca Putusan MK

provinsi induk bertugas dan bertanggungjawab untuk membantuPemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yangdilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah inidengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikananggota MRP.”97 Salah satu persoalan penting dalam persoalanini adalah Provinsi Irian Jaya Barat itu sebenarnya tidak lagimempunyai wilayah, karena yang diakui oleh MahkamahKonstitusi hanya provinsinya saja. Apalagi realitas menunjukkanbahwa kabupaten-kabupaten dan kota yang ada masih beradadalam pembinaan dan dengan cara terus menurus secara intensiftetap membangun komunikasi dengan provinsi induk, yaituProvinsi Papua.98

Langkah pertama yang diambil oleh pemerintah pusatseharusnya adalah mengeksekusi putusan Mahkamah Konstitusi.Bahwa Provinsi Irian Jaya Barat tetap ada, itu adalah suatu halyang sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karenaitu, UU No. 21/2001 menjadi satu-satunya mekanismepenyelesaian terhadap komplikasi yuridis tersebut. Yangdilakukan oleh pemerintah pusat justru adalah tidak meng-gunakan UU No. 21/2001 menjadi satu-satunya mekanismepenyelesaian, tetapi malah mendorong keberadaan Provinsi IrianJaya Barat dengan terus-menerus mengucurkan dana danmelantik pimpinan DPRD. Padahal, pada saat putusanMahkamah Konstitusi diucapkan pada Kamis, 11 November2004, pimpinan DPRD belum terbentuk.99

97 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua,op. cit.

98 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua PaskalisKosay, op. cit.

99 Ibid.

Page 72: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

62

Putusan dan Pasca Putusan MK

Persoalan menjadi semakin pelik ketika proses pemilihankepala daerah (pilkada) untuk pemilihan Gubernur Provinsi IrianJaya Barat dilakukan. Padahal, Pasal 141 ayat (1) PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahmenentukan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernurhasil pemekaran di Provinsi Papua sebelum dikeluarkan PeraturanPemerintah Nomor 54 Tahun 2004, dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah diselesaikannya Pasal 73Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 yang mengaturkeberadaan MRP.” Selain itu, Pasal 141 ayat (2) PP No.6/2005menentukan bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernurhasil pemekaran di Provinsi Papua dilaksanakan setelahterbentuknya MRP.100

Yang menjadi persoalan, menurut Kosay, Pejabat GubernurIrian Jaya Barat tidak memiliki maksud positif untuk membentukMRP.101 Padahal, telah ada kesepakatan antara Gubernur ProvinsiPapua Jakobus Pervidya Solossa dan Pejabat Gubernur Irian JayaBarat Abraham Oktavianus Atururi pada Jumat, 22 April 2005,di Hotel Sheraton, Timika. Sebagaimana telah dikemukakan,pertemuan tersebut diprakarsai oleh Sekretaris Menko PolhukamLaksda Djoko Sumaryono dengan tujuan untuk mencapaikesepakatan-kesepakatan, khususnya berkaitan denganpembentukan MRP di seluruh tanah Papua termasuk di wilayahpemekaran; penyediaan dan pengalokasian dana sebesar Rp 4miliar yang diambil dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) untuk pelaksanaan pilkada di beberapa kabupatentermasuk yang berada di wilayah Irian Jaya Barat; dan PP Nomor

100 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, op. cit.

101 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua PaskalisKosay, op. cit.

Page 73: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

63

Putusan dan Pasca Putusan MK

6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahharus menjadi acuan bersama penyelenggaraan pilkada.Kesepakatan-kesepakatan tersebut telah disetujui oleh keduabelah pihak.102

Persoalan-persoalan yang menyangkut keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat itu sebenarnya bisa selesai sekiranya MRPsecepatnya dibentuk dan keberadaanya diakui meliputi seluruhwilayah Papua, termasuk Provinsi Irian Jaya Barat dan kemudianMRP memberikan jalan keluar penyelesaian status hukumnya.Hal ini dilandasi realitas sosiologis bahwa masyarakat Papuahanya mengenal Papua, tidak mengenal Irian Jaya Barat. Yangperlu disadari adalah pergantian nama dari Irian Jaya menjadiPapua merupakan perjuangan tersendiri. Lalu, yang menjadipertanyaan adalah mengapa nama Irian Jaya Barat itu hidup lagi.Provinsi Papua sama sekali tidak menolak Provinsi Irian JayaBarat, tetapi setiap pemekaran itu seharusnya selalu didasarkanpada mekanisme hukum yang berlaku, yaitu menggunakanmekanisme yang telah tersedia dalam UU No. 21/2001. Dengandemikian, yang sebenarnya terjadi adalah masyarakat Papua samasekali tidak antipemekaran wilayah sebagaimana image yang telahterbangun selama ini. Akan tetapi, yang terpenting adalah berapapun pemekaran itu akan dilakukan seharusnya sesuai denganmekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalausekarang ini untuk melegitimasi keberadaan Provinsi Irian JayaBarat sedang diupayakan terciptanya payung hukum, makapayung hukum itu seharunya tidak ada lain kecuali adalah UUNo. 21/2001.103

102 KOR, “Kisruh Provinsi Irjabar-Provinsi Papua: Dua Gubernur SepakatKembali ke UU Otsus”, op. cit.

103 Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua PaskalisKosay, op. cit.

Page 74: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

64

Putusan dan Pasca Putusan MK

Pada sisi lain, pihak dari Kantor Perwakilan KomisiNasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Papua yangberkedudukan di Jayapura menjelaskan bahwa sebenarnyaputusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 tidak memiliki implikasi signifikan kepada kalanganmasyarakat bawah. Polemik atas putusan tersebut terjadi justrupada elit politik di Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat.Sedikitnya ada tiga hal yang patut diwaspadai pascaputusanMahkamah Konstitusi tersebut yang potensial menimbulkanterjadinya pelanggaran HAM. Pertama, persoalan yang berkaitandengan kelanjutan isu pemekaran wilayah. Kedua, persoalanyang berkaitan dengan pembentukan MRP yang berkaitan denganpemetaan wilayah yang nantinya memiliki perwakilan di lembagatersebut. Ketiga, persoalan yang berkaitan dengan pilkada yangbeberapa pihak masih meragukan legalitasnya di Provinsi IrianJaya Barat.104

Komnas HAM melihat bahwa putusan MahkamahKonstitusi bisa ditafsirkan sebagai sikap yang tidak tegas dalammembuat putusan, sehingga menimbulkan kerawanan terjadinyapelanggaran HAM. Ketidaktegasan tersebut adalah di sisi lainMahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dengan diundangkan-nya UU No. 21/2001, maka pemberlakuan UU No. 45/1999bertentangan dengan UUD 1945, namun di sisi lain MahkamahKonstitusi tetap mensahkan keberadaan Provinsi Irian Jaya Baratyang telah dimekarkan berdasarkan UU No. 45/1999 denganalasan bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secarafaktual telah berjalan efektif yang antara lain terbukti dengantelah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat danterbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hasilPemilihan Umum Tahun 2004 beserta kelengkapan administrasi-

104 Wawancara dengan Sekretaris Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusiadi Papua, yang berkedudukan di Jayapura, Selasa, 21 Juni 2005.

Page 75: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

65

Putusan dan Pasca Putusan MK

nya termasuk anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD),serta terpilihnya anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yangmewakili Provinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukanProvinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan.Sikap ambivalen putusan Mahkamah Konstitusi atas PerkaraNomor 018/PUU-I/2003 ini disesalkan Komnas HAM. Sikapinilah yang dimanfaatkan elit politik lokal dan pusat untukmelakukan move politik di tanah Papua, sehingga gagasanpemekaran yang tujuan sebenarnya adalah mensejahterakanrakyat justru tidak terjadi. Persoalan tersebut sejatinya tidak perluterjadi apabila putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya, secarategas mengatakan bahwa setelah pemberlakuan UU No. 45/1999bertentangan dengan UUD 1945, semua mekanisme terkaitdengan Provinsi Irian Jaya Barat dikembalikan pada mekanismeyang ada di dalam UU No. 21/2001.105

Khusus berkaitan dengan potensi konflik yang terjadi ditanah Papua misalnya bisa dilihat mulai adanya fragmentasi politikantara otoritas politik yang berada di Provinsi Papua dan ProvinsiIrian Jaya Barat. Kedua belah pihak selalu melihat persoalansecara dikotomis antara Papua dan Irian Jaya Barat, bahkan untukpersoalan yang tidak ada kaitannya sekalipun. Sebagai contohadalah lembaga yang netral seperti Kantor Perwakilan KomisiNasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Papua yangberkedudukan di Jayapura ini selalu dilihat oleh pihak ProvinsiIrian Jaya Barat sebagai bagian dari Provinsi Papua yang dianggapseterunya.106

Selain persoalan legalitas pilkada yang dilakukan diProvinsi Irian Jaya Barat, persoalan lain yang masih terkait denganpilkada adalah adanya isu menguatnya sentimen primordialisme

105 Ibid.106 Ibid.

Page 76: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

66

Putusan dan Pasca Putusan MK

yang berupa penolakan terhadap orang-orang yang bukan putradaerah. Persoalan ini tentu sangat memprihatinkan apabila dilihatdari segi HAM. Pada akhirnya, tanah Papua ini hanya dilihatdalam kotak-kotak yang sempit di mana satu kotak menafikankotak lainnya. Selain itu, juga adanya isu yang berkenaan dengankeinginan orang Kota Sorong untuk mengembalikan IbukotaProvinsi Irian Jaya Barat ke kota tersebut.107

Komnas HAM juga melihat realitas politik yang mem-berikan konfirmasi bahwa kehadiran Provinsi Irian Jaya Baratitu justru menjadi beban berat bagi Kabupaten Manokwari dalamhal penyediaan aparat pemerintahan dan infrastruktur atauperangkat keras lainnya. Hal ini karena dari perspektif sumberdaya manusia, Irian Jaya Barat belum memadai untuk bisa menjadiprovinsi. Oleh karena itu, fenomena yang cukup meresahkanadalah di Provinsi Irian Jaya Barat banyak sekali jabatan publikyang diisi secara ex officio. Pada titik tertentu, persoalan ini tentuakan menimbulkan kerawanan khususnya yang berkaitan denganakuntabilias seorang pejabat yang memegang jabatan secaraberangkap-rangkap itu kepada publik.108

Sementara itu, berkaitan dengan pembentukan MRPpersoalan utama yang akan timbul adalah apakah Provinsi IrianJaya Barat juga harus memilikinya atau tidak karena merasa tidakterikat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76 UU No.21/2001 yang menyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papuamenjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP danDPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguhkesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dankemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.109

107 Ibid.108 Ibid.109 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,

op. cit.

Page 77: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

67

Putusan dan Pasca Putusan MK

Persoalan ini tentu akan menjadi masalah serius, karena apabilaProvinsi Irian Jaya Barat tidak merasa terikat dengan undang-undang tersebut, maka dengan sendirinya tidak memilikiperwakilan di MRP yang bersama-sama dengan DPRD bisamemberikan persetujuan atas pemekaran suatu wilayah. MenurutKomnas HAM, ini merupakan potensi konflik yang bisamengarah pada pelanggaran HAM yang seyogyanya diantisipasisejak dini.110

Persoalan penting lain berkaitan dengan MRP adalah soalketerwakilan di tingkat adat yang bisa menjadi persoalan seriuskalau tidak dikelola dengan baik, karena yang sekarang sedangdibicarakan sebenarnya tidak bottom up, tetapi top down, sehinggabeberapa aspek penting di tingkat adat justru tidak terakomodasidengan baik. Wilayah-wilayah yang akan memiliki wakil di MRPmemang sebaiknya mempertimbangkan persoalan-persoalan yangberhubungan dengan administrasi pemerintahan, antropologis,dan geografis. Apalagi persoalan ini akan berhadapan denganinstitusi-institusi yang telah terbentuk semacam Dewan AdatPapua yang sebenarnya merupakan desain baru dari PresediumDewan Rakyat Papua yang menggarap isu-isu peranan masyarakatadat di tanah Papua. Dewan Adat ini sebenarnya lebih bernuansapolitis daripada kultural. Oleh karena itu, salah satu potensikonfliknya adalah antara masyarakat adat yang tergabung dalamnon-Dewan Adat dan masyarakat adat yang termanifestasi kedalam Dewan Adat.111

Sejak awal kehadiran Provinsi Irian Jaya Barat sesungguh-nya berawal ketika “Tim 13” didesain oleh Badan Intelijen Negara(BIN) yang memakai Irian Jaya Crisis Center yang diketuai oleh

110 Wawancara dengan Sekretaris Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusiadi Papua, op. cit.

111 Ibid.

Page 78: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

68

Putusan dan Pasca Putusan MK

Jimmy Ijie (sekarang: Ketua DPRD Provinsi Irian Jaya Barat)sebagai mesin operasionalnya. Gagasan pembentukan ProvinsiIrian Jaya Barat sebenarnya merupakan gagasan segelintir orangdari kampung yang mengatasnamakan rakyat dan kemudian diberirestu oleh Departemen Dalam Negeri. Lalu, ditunjuklah caretakeruntuk mengisi jabatan-jabatan publik di Provinsi Irian Jaya Baratyang dilantik oleh Sekretaris Jendral Departemen Dalam NegeriSiti Nurbaya. Ditunjuknya orang-orang yang tidak memilikikualifikasi inilah yang menjadi awal terjadinya petaka politikseputar pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat tersebut.112

Komnas HAM juga memberikan tanggapan atas terjadinyakesepakatan antara Gubernur Provinsi Papua Jakobus PervidyaSolossa dan Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat AbrahamOktavianus Atururi yang diberitakan media. Sebagaimanadisebutkan di atas, pertemuan tersebut diprakarsai oleh SekretarisMenko Polhukam Laksda Djoko Sumaryono dengan tujuanuntuk mencapai kesepakatan-kesepakatan, khususnya berkaitandengan pembentukan MRP di seluruh tanah Papua termasuk diwilayah pemekaran; penyediaan dan pengalokasian dana sebesarRp 4 miliar yang diambil dari Aggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah (APBD) untuk pelaksanaan pilkada di beberapakabupaten termasuk yang berada di wilayah Irian Jaya Barat;dan PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah harus menjadi acuan bersama penyelenggaraanpilkada. Kesepakatan-kesepakatan tersebut, menurut Solossa,telah disetujui oleh kedua belah pihak. Menanggapi hal ini,Komnas HAM menyatakan ketidakjelasan kesepakatan tersebut.Hal ini karena ketika Komnas HAM mencoba mengkonfirmasipersoalan tersebut kepada Gubernur Provinsi Papua JakobusPervidya Solossa dan Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat Abraham

112 Ibid.

Page 79: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

69

Putusan dan Pasca Putusan MK

Oktavianus Atururi, keduanya mengaku sedang menyiapkankebijakan-kebijakan tertentu untuk mengatasi persoalan. Akantetapi, sampai saat ini belum ada keterangan resmi darikeduanya.113

Komnas HAM mensinyalir bahwa pertemuan GubernurProvinsi Papua Jakobus Pervidya Solossa dan Pejabat GubernurIrian Jaya Barat Abraham Oktavianus Atururi itu tidak lainsebenarnya merupakan kebijaksanaan Presiden Susilo BambangYudhoyono dalam rangka memberikan citra yang baik terhadapopini masyarakat internasional terhadap implementasi otonomikhusus di Papua. Selain itu, karena kesepakatan tersebut tidakterlalu berdampak baik bagi Provinsi Irian Jaya Barat, makaAtururi cenderung untuk mengabaikannya.114

Tanggapan yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh KetuaDewan Adat Papua yang menjelaskan bahwa sebenarnya putusanMahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 018/PUU-I/2003itu justru memperparah keadaan di tanah Papua menjadi semakinburuk. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dengandiundangkannya UU No. 21/2001, maka pemberlakuan UU No.45/1999 bertentangan dengan UUD 1945, namun di sisi lainMahkamah Konstitusi tetap mensahkan keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat yang telah dimekarkan berdasarkan UU No. 45/1999 dengan alasan bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Baratsecara faktual telah berjalan efektif yang antara lain terbuktidengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Baratdan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 beserta kelengkapanadministrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatandaerah (APBD), serta terpilihnya anggota Dewan Perwakilan

113 Ibid.114 Ibid.

Page 80: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

70

Putusan dan Pasca Putusan MK

Daerah (DPD) yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.Sementara itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah hinggasaat ini belum terealisasikan. Dikatakan memperparah karenadengan putusan tersebut, justru UU No. 21/2001 tidak memilikiperanan penting dalam hal mengatasi kekacauan yuridis yangterjadi di Provinsi Irian Jaya Barat. Seharusnya MahkamahKonstitusi mengembalikan segala problem di Papua kepadamekanisme yang terdapat dalam UU No. 21/2001.

Hal ini, menurut Ketua Dewan Adat Papua, hanyamerupakan bentuk pengulangan sejarah saja. Ketika penolakanatas pemekaran itu berlangsung, pemerintah tidak menanggapinyasecara serius, dan kini yang terjadi justru Mahkamah Konstitusimengatakan bahwa eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat tetapdianggap sah meskipun undang-undang yang mengaturnyadikatakan bahwa pemberlakuannya bertentangan dengankonstitusi.115

Satu hal yang menjadi persoalan serius pascaputusanMahkamah Konstitusi adalah tidak adanya kepastian hukum bagiaparat pemerintah yang ada di Provinsi Irian Jaya Barat danbahkan keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat sendiri menjadibermasalah dari sudut yuridis, karena akan terjadi keteganganantara provinsi induk, yaitu Provinsi Papua dengan provinsipemekaran, yaitu Provinsi Irian Jaya Barat. Pada akhirnya,dualisme otoritas pemerintahan akan terjadi untuk persoalansemacam illegal logging (pembalakan kayu secara melanggarhukum), misalnya ketidakjelasan siapa yang seharusnyabertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan tersebut.Persoalan lain yang muncul adalah sebagai provinsi, Irian JayaBarat tidak mampu menyediakan dana pembangunan untukmembangun wilayah tersebut, sehingga ada semacam usaha-

115 Wawancara dengan Ketua Dewan Adat Papua, Jayapura, Selasa, 21 Juni2005.

Page 81: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

71

Putusan dan Pasca Putusan MK

usaha tertentu untuk mendapatkan dana yang kurang bisadipertanggungjawabkan legalitasnya. Selain itu, untuk menutupikebutuhan Provinsi Irian Jaya Barat, Gubernur Provinsi Irian JayaBarat juga sampai harus meminjam dana dari KabupatenManokwari. Dalam kondisi seperti itu, jelas sangat tidak mungkinmengharapkan berputarnya roda pembangunan dan partisipasimasyarakat.116

Khusus perihal peranan MRP, Ketua Dewan Adat Papuamelihat secara skeptis terhadap peranannya ke depan, karenakewenangannya sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 21/2001 sangat terbatas, sehingga sangat jauh kalau diharapkan MRPdapat menyelesaikan persoalan-persoalan rumit di tanah Papua.Apalagi ada penegasan bahwa keberadaan MRP hanya sebatasrepresentasi kultural, bukan lembaga politik yang memiliki peransignifikan dalam proses pembangunan di Papua.117 Pasal 1 hurufg UU No. 21/2001 menyatakan bahwa MRP adalah representasikultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalamrangka perlindungan hak-hak orang asli Papua denganberlandaskan pa da penghormatan terhadap adat dan budaya,pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidupberagama.118

Pasal 19 ayat (1) UU No. 21/2001 menyatakan bahwaMRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri ataswakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuanyang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.Pasal 19 ayat (2) UU No. 21/2001 menyatakan bahwa masakeanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pasal 19 ayat (3)menyatakan bahwa keanggotaan dan jumlah anggota MRP

116 Ibid.117 Ibid.118 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,

op. cit.

Page 82: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

72

Putusan dan Pasca Putusan MK

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan denganPerdasus.119 Sementara itu, tugas dan wewenang MRP menurutketentuan Pasal 20 ayat (1) UU No. 21/2001 adalah sebagaiberikut:a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal

calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan olehDPRP;

b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calonanggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RepublikIndonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan olehDPRP;

c. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadapRancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadaprencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintahmaupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yangberlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkutperlindungan hak-hak orang asli Papua;

e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduanmasyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan danmasyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orangasli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;dan

f. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRDKabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-halyang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Menurut ketentuan Pasal 21 UU No. 21/2001, MRPmemiliki beberapa hak sebagai berikut:

119 Ibid.

Page 83: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

73

Putusan dan Pasca Putusan MK

a. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Ka-bupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait denganperlindungan hak-hak orang asli Papua;

b. meminta peninjauan kembali Perdasi atau KeputusanGubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

c. mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRPsebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah Provinsi Papua; dan menetapkan PeraturanTata Tertib MRP.

Menurut Ketua Dewan Adat Papua, tugas dan wewenangseperti memberikan pertimbangan dan persetujuan, memberikansaran, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, serta hak untukmeminta keterangan, meminta peninjauan kembali, mengajukanrencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP adalah tugas danwewenang serta hak yang tidak terlalu signifikan, sehingga tidakdapat banyak diharapkan kiprahnya dalam rangka pembangunandi tanah Papua.120 Demikian juga dengan kewajiban-kewajibanMRP yang memang sengaja dikerdilkan peranannya dalam prosespolitik di tanah Papua. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUNo. 21/2001 MRP mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaiberikut:a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyatProvinsi Papua;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945serta menaati segala peraturan perundang-undangan;

c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat danbudaya asli Papua;

d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan

120 Wawancara dengan Ketua Dewan Adat Papua, Jayapura, Selasa, 21 Juni2005.

Page 84: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

74

Putusan dan Pasca Putusan MK

e. mendorong pemberdayaan perempuan.

Ketua Dewan Adat Papua mengharapkan adanya politicalwill baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsiagar perlu dipikirkan adanya anggaran yang tersedia bagi DewanAdat. Hal ini mengingat UU No. 21/2001 itu salah satusemangatnya adalah adanya pengakuan, penghormatan, danjaminan terhadap eksistensi masyarakat adat Papua. Pasal 1 hurufp UU No. 21/2001 menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalahwarga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah danterikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritasyang tinggi di antara para anggotanya. Pasal 1 huruf r UU No.21/2001 menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalahwarga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalamwilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adattertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara paraanggotanya. Akan tetapi, realitas empiris rupanya lebihmenunjukkan bahwa masyarakat adat ini seolah-olah telahdistigma sebagai organisasi yang menginginkan kemerdekaanPapua.121

Kritik juga datang dari Rektor Universitas Cendrawasih,Papua atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakanbahwa dengan diundangkannya UU No. 21/2001, makapemberlakuan UU No. 45/1999 bertentangan dengan UUD1945. Akan tetapi, dalam salah satu pertimbangannya,Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat dan kabupaten/kota yang telah dimekarkanberdasarkan UU No. 45/1999 adalah sah adanya. Hal inididasarkan realitas bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Baratsecara faktual telah berjalan efektif, yang antara lain terbuktidengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat

121 Ibid.

Page 85: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

75

Putusan dan Pasca Putusan MK

dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapanadministrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapaandaerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPD yang mewakiliProvinsi Irian Jaya Barat.122

Menanggapi putusan dan pertimbangan hukum MahkamahKonstitusi tersebut, Rektor Universitas Cendrawasih melihatnyasebagai suatu putusan yang ambiguous. Secara logika sederhana,kalau UU No. 45/1999 telah dianyatakan bahwa pem-berlakuannya setelah diundangkannya UU No. 21/2001bertentangan dengan UUD 1945, maka kebijakan-kebijakan apapun yang akan diambil oleh pemerintah seharusnya mengacu padamekanisme hukum yang masih ada, yaitu UU No. 21/2001.Dengan demikian, keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dianggapbatal dan dengan sendirinya harus diadakan langkah-langkah yangdilakukan untuk menata kembali tanah Papua, sesuai denganketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 21/2001tersebut.123 Sebagai konsekuensinya, proses pemekaran wilayahdi tanah Papua tidak bisa tidak harus menunggu terbentuknyaMRP. Hal ini karena Pasal 76 UU No. 21/2001 menyatakanbahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsidilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah mem-perhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya,kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi danperkembangan di masa datang.124 Selain itu, ketentuan Pasal 73PP No. 54/2004 tentang MRP juga menyatakan bahwa MRPbersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsiinduk bertugas dan bertanggungjawab untuk membantu

122 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 135.

123 Wawancara dengan Rektor Universitas Cendrawasih, di Gedung RektoratUniversitas Cendrawasih, Jayapura, Selasa, 21 Juni 2005.

124 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

Page 86: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

76

Putusan dan Pasca Putusan MK

Pemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yangdilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah inidengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikananggota MRP.”125

2. Tanggapan Otoritas Politik dan MasyarakatProvinsi Irian Jaya Barat atas Putusan MK

Berbeda dengan beberapa pendapat dari tokoh-tokohProvinsi Papua, tokoh-tokoh di Provinsi Provinsi Irian Jaya Baratjustru melihat secara lebih positif terhadap putusan MahkamahKonstitusi yang menyatakan bahwa dengan diundangkannya UUNo. 21/2001, maka pemberlakuan UU No. 45/1999 ber-tentangan dengan UUD 1945. Persoalan penting bagi keberadaanProvinsi Irian Jaya Barat adalah salah satu pertimbanganMahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa keberadaanProvinsi Irian Jaya Barat dan kabupaten/kota yang telahdimekarkan berdasarkan UU No. 45/1999 adalah sah adanya.Hal ini didasarkan realitas bahwa pembentukan Provinsi IrianJaya Barat secara faktual telah berjalan efektif, yang antara lainterbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi IrianJaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 besertakelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja danpendapaan daerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPD yangmewakili Provinsi Irian Jaya Barat.126

Pertimbangan untuk menganggap sah keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat itu merupakan bagian dari sikap Mahkamah

125 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis RakyatPapua, op. cit.

126 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 018/PUU-I/2003, hal. 135.

Page 87: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

77

Putusan dan Pasca Putusan MK

Konstitusi yang paling mendapatkan apresiasi dari PejabatGubernur Provinsi Irian Jaya Barat Abraham Oktavianus Atururi.Dalam pandangan Abraham Oktavianus Atururi, putusanMahkamah Konstitusi tersebut bersifat pertama dan terakhir (firstand final) dan sudah jelas, sehingga tidak perlu lagi mempersoalkankedudukan Provinsi Irian Jaya Barat secara yuridis. PutusanMahkamah Konstitusi dibacakan pada Kamis, 11 November2004 dan setelah itu pihak Provinsi Papua dan pihak ProvinsiIrian Jaya Barat sama-sama telah mendapatkan penjelasan sekalilagi dari Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Padaintinya adalah keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat tetapdianggap eksis dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik secara formal maupun material,UU No. 45/1999 itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.127

Dasar konstitusinal pembentukan UU No. 45/1999 adalah UUD1945 sebelum perubahan, antara lain Pasal 18 yang berbunyi,“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, denganbentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar per-musyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hakasal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Denganmenguji muatan yang terkandung dalam UU No. 45/1999 danUU No. 5/2000 terhadap Pasal 18 UUD 1945 sebelum diadakanperubahan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tidakterbukti pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam keduaundang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Akantetapi, dengan adanya perubahan UUD 1945, berarti terdapatsuatu tertib hukum baru (new legal order) yang mengakibatkan tertibhukum lama (old legal order) kehilangan daya lakunya. Tegasnya,UU No. 45/1999 dan UU No. 5/2000 adalah sah dan tidak

127 Wawancara dengan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat AbrahamOktavianus Atururi, di Kantor Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat, Manokwari,Jumat, 24 Juni 2005.

Page 88: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

78

Putusan dan Pasca Putusan MK

bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi yangterkandung dalam UUD 1945, sehingga segala hal yang timbulsebagai akibat hukum diundangkannya kedua undang-undangitu adalah sah. Yang bertentangan adalah dengan diundangkannyaUU No. 21/2001, pemberlakuan UU No. 45/1999 bertentangandengan UUD 1945.128

Hal inilah yang menjadi argumen utama AbrahamOktavianus Atururi, sehingga sangat tidak masuk akal apabilalegalitas yuridis Provinsi Irian Jaya Barat diragukan oleh beberapakalangan. Jadi, setelah adanya UU No. 21/2001 pemberlakuanUU No. 45/1999 dihentikan oleh Mahkamah Konstitusi.Keputusan ini pun berlaku prospektif, yaitu sejak diucapkannyaputusan tersebut dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yangterbuka untuk umum pada Kamis, 11 November 2004.129

Abraham Oktavianus Atururi juga mengatakan bahwa realitasempiris di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat ProvinsiIrian Jaya Barat sama sekali tidak mempersoalkan putusanMahkamah Konstitusi tersebut, bahkan masyarakat sangatantusias menerima dan mendukung Provinsi Irian Jaya Barat agartetap eksis sebagai provinsi ke-31 Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Abraham Oktavianus Atururi bahkan mencobamenggambarkan nasib masyarakat di Irian Jaya Tengah yang iridengan keberhasilan Irian Jaya Barat menjadi sebuah provinsi.Padahal, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat sama-sama diaturdalam satu paket UU No. 45/1999. Kesalahan persepsi beberapakalangan di Provinsi Papua atas putusan Mahkamah Konstitusi,menurut Abraham Oktavianus Atururi, lebih banyak disebabkankarena kelemahannya dalam memahami bahasa hukum yang

128 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.129 Wawancara dengan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat Abraham

Oktavianus Atururi, op. cit.

Page 89: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

79

Putusan dan Pasca Putusan MK

terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas PerkaraNomor 018/PUU-I/2003 tersebut.130

Menurut Abraham Oktavianus Atururi, persoalan legalitasyuridis Provinsi Irian Jaya Barat bisa dikatakan bahwa putusanMahkamah Konstitusi yang mengikat itu merupakan salah satudasar hukum atau payung hukum bagi keberadaan Provinsi IrianJaya Barat. Dengan pernyataan keabsahan Provinsi Irian JayaBarat oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, Abraham OktavianusAtururi menyesalkan minimnya dana dari Departemen DalamNegeri melalui Provinsi Papua sebesar 1,6 miliar rupiah. Itu punsudah dipotong. Oleh karena itu Provinsi Irian Jaya Barat dibantuoleh Pemerintah Kabupaten Manokwari. Padahal, menurutnya,karena Provinsi Irian Jaya Barat dibentuk dengan sebuah undang-undang, maka tentu secara inheren ada resiko-resiko pembiayaandi dalamnya. Abraham Oktavianus Atururi mensinyalir bahwasikap Provinsi Papua yang memiliki kecenderungan untuk tidakmengakui Irian Jaya Barat sebagai sebuah provinsi yang sah salahsatunya adalah karena kekayaan sumber daya alam yangdimilikinya. Provinsi Papua tetap menginginkan penguasaanterhadap kekayaan sumber daya alam tersebut di tangannya.131

Oleh karena itu, bisa dipahami apabila kemudian Provinsi Papuaselalu melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan yangberkitan dengan Provinsi Irian Jaya Barat. Persoalan intervensiini masih tampak jelas terlihat dalam beberapa ketentuan yangterdapat dalam PP No. 54/2004 tentang MRP132 dan PP No. 6Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.133

130 Ibid.131 Ibid.132 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat

Papua, op. cit.133 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, op. cit.

Page 90: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

80

Putusan dan Pasca Putusan MK

Abraham Oktavianus Atururi juga memberikan tanggapanmenarik seputar persoalan MRP yang akan dibentuk sesuaidengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21/2001 yang menyatakanbahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsidilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah mem-perhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya,kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi danperkembangan di masa datang. Menurutnya, MRP yang hanyamerupakan representasi kultural tidak memiliki peran signifikandalam politk.134 Pasal 1 huruf g UU No. 21/2001 menyatakanbahwa MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yangmemiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatanterhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, danpemantapan kerukunan hidup beragama.135 Memang PenjelasanUmum PP No. 54/2004 menyatakan, “Dalam rangka pengakuandan penghormatan terhadap keragaman budaya berdasarkan etnisdi Papua, maka dibentuk MRP pada provinsi-provinsi pemekaranyang dibentuk dengan memperhatikan perkembangan dankemajuan serta kesiapan masyarakat di wilayah pemekaran.”136

Akan tetapi, Abraham Oktavianus Atururi berpendapat bahwapersoalan MRP tidak terlalu penting dalam perkembangan politikdi Provinsi Irian Jaya Barat. Keberadaan MRP di Provinsi Papuajustru bisa menjadi pintu masuk bagi terformalisasikannyadeklarasi merdeka melalui sebuah institusi resmi yang bernamaMRP tersebut.137

134 Wawancara dengan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat AbrahamOktavianus Atururi, op. cit.

135 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

136 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis RakyatPapua, op. cit.

137 Wawancara dengan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat AbrahamOktavianus Atururi, op. cit.

Page 91: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

81

Putusan dan Pasca Putusan MK

Hal lain yang menjadi perhatian Abraham OktavianusAtururi adalah seputar pelaksanaan pilkada di Provinsi Irian JayaBarat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 141 PP No. 6/2005,pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hasil pemekaran diProvinsi Papua sebelum dikeluarkan PP No. 54/2004,dilaksanakan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelahdiselesaikannya Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun2004. Kemudian, juga disebutkan bahwa Pemilihan Gubernurdan Wakil Gubernur dilaksanakan setelah terbentuknya MRP.Kalau ternyata MRP belum terbentuk, maka penetapan pasanganbakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi calonGubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan dilaksanakan olehDPRD Provinsi yang bersangkutan.” 138 Dengan demikian,menurut Abraham Oktavianus Atururi, ketentuan Pasal 141 ayat(3) PP No. 6/2005 itulah yang menjadi dasar penetapan pasanganbakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi calonGubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan. Jadi, tidak perlulagi menunggu MRP, karena MRP itu hanya berlaku di ProvinsiPapua. Menurutnya, sangat tidak adil apabila Provinsi Irian JayaBarat ini hanya diwakili oleh beberapa orang saja yang duduk diMRP yang konsepnya tidak jelas, sehingga mengorbankan seluruhrakyat Provinsi Irian Jaya Barat. Oleh karena itu, tidak ada alasankuat untuk menunda pilkada di Provinsi Irian Jaya Barat.139 Secaraintelijen, MRP ini sebenarnya memendam problematika serius,karena bisa menjadi alat konsolidasi bagi upaya-upaya untukmemerdekakan diri. Hal ini misalnya bisa terbaca dari keinginanKetua DPRP yang telah bertekad mengajukan diri sebagai KetuaMRP.140

138 Ibid.139 Ibid.140 Ibid.

Page 92: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

82

Putusan dan Pasca Putusan MK

Menanggapi mengenai terjadinya kesepakatan antaraGubernur Provinsi Papua Jakobus Pervidya Solossa dan PejabatGubernur Irian Jaya Barat Abraham Oktavianus Atururi yangdiberitakan media, Atururi menegaskan bahwa tidak adakesepakatan itu. Yang terjadi adalah Atururi hanya sekadarmenghormati undangan Sekretaris Menko Polhukam LaksdaDjoko Sumaryono yang kebetulan merupakan koleganya. Jadi,intinya kesepakatan yang diberitakan itu sebenarnya hanyadibesar-besarkan saja oleh Wakil Ketua DPRP Paskalis Kosayyang menurut Atururi kurang memahami penjelasan-penjelasanyang telah diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi JimlyAsshiddiqie.141

Satu hal penting yang selalu ditekankan Atururi adalahbahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah bagus dan betulitu, ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak-pihaktertentu di dalam Departemen Dalam Negeri yang berkolaborasidengan Pemerintah Provinsi Papua. Hal inilah yang menyebabkanbahwa Departemen Dalam Negeri tidak seratus persenmendukung kegiatan-kegiatan yang berlangsung di Provinsi IrianJaya Barat.142

Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD Provinsi Irian Jaya BaratJimmy Ijie menunjukkan sikap kekecewaannya atas putusanMahkamah Konstitusi yang menilai bahwa UU No. 45/1999bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 18B ayat (1) PerubahanKetiga UUD 1945 mengatakan bahwa “Negara mengakui danmenghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifatkhusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa “Negara

141 Ibid.142 Ibid.

Page 93: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

83

Putusan dan Pasca Putusan MK

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masihhidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”143

Dalam konteks adat itulah Provinsi Irian Jaya Baratdidirikan dan seharusnya secara konstitusional negara mengakuihal tersebut. Dengan demikian, UU No. 45/1999 tidak memilikielemen kontradiktif terhadap norma hukum yang menjadi materimuatan konstitusi. Seharusnya permohonan pemohon ditolakoleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, putusan MahkamahKonstitusi tersebut dapat dikatakan “banci” atau tidak tegas yangakhirnya menimbulkan kontroversi dan penilaian dari ProvinsiPapua dan beberapa kalangan lain bahwa seolah-olah denganputusan tersebut (yang menyatakan bahwa dengan berlakunyaUU No. 21/2001, maka pemberlakuan UU No. 45/1999bertentangan dengan UUD 1945), Provinsi Irian Jaya Baratdengan sendirinya berada dalam posisi status quo.144

Meskipun demikian, menurutnya, putusan MahkamahKonstitusi tersebut harus dihormati oleh semua pihak danbersifat eksekutorial di mana pihak pemerintah dalam hal iniPresiden seharusnya secara proaktif mengambil langkah-langkahkonkrit sebagaimana diperintahkan dalam putusan MahkamahKonstitusi. Yang terpenting bukan lagi persoalan landasan yuridismengenai pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, tetapi adalahlandasan yuridis kelangsungan Provinsi Irian Jaya Barat yangmenurut putusan Mahkamah Konstitusi keberadaannya dan

143 Wawancara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Provinsi Irian Jaya Barat Jimmy Ijie, di Kantor Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat,Manokwari, Jumat, 24 Juni 2005.

144 Ibid.

Page 94: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

84

Putusan dan Pasca Putusan MK

keberadaan kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkanUU No. 45/1999 adalah sah adanya. Hal ini didasarkan realitasbahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secara faktual telahberjalan efektif, yang antara lain terbukti dengan telahterbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat danterbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapanadministrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapaandaerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPD yang mewakiliProvinsi Irian Jaya Barat.145 Oleh karena itu, diperlukan adanyaperaturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sesegeramungkin untuk melaksanakan pemerintahan, pembangunan, danpelayanan publik di Provinsi Irian Jaya Barat. Kalau persoalanpayung hukum keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat, maka adadua produk hukum yang sekarang ini masih sering dirujuk danmenjadi konsideran mengingat dalam beberapa peraturan, yaituputusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 itu sendiri dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi IrianJaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, KabupatenPuncak Jaya, Dan Kota Sorong.146

Menurut Jimmy Ijie, sebagai sebuah provinsi, Irian JayaBarat sangat efektif, karena mendapat dukungan rakyat. Hal inikarena dari sudut pertimbangan strategis geopolitik yang sangatpenting, yaitu Provinsi Irian Jaya Barat adalah garda terakhirNegara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Timur. Olehkarena itu, Provinsi Irian Jaya Barat siap menghadapi setiap

145 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.146 Republik Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45

Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat,Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong, UU No. 5Tahun 2000, Lembaran Negara Nomor 72 Tahun 2000, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3960.

Page 95: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

85

Putusan dan Pasca Putusan MK

gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NegaraKesatuan Republik Indonesia. Memang, ada Kota Sorong danKebupaten Sorong yang elit politiknya justru memiliki kedekatanpandangan politik dengan Provinsi Papua, tetapi hal ini lebihdisebabkan keinginan Kota Sorong untuk kembali menjadiIbukota Provinsi Irian Jaya Barat. Pasal 14 ayat (1) UU No. 45/1999 mengatur kedudukan Ibukota Provinsi Irian Jaya Barat adadi Manokwari. Sedangkan Pasal 26 ayat (1) UU No. 45/1999menyatakan bahwa sementara menunggu kesiapan prasarana dansarana yang memadai bagi ibukota Propinsi Irian Jaya Barat,ibukota sementara ditetapkan di Sorong.147 Manokwari sekarangini sudah siap dan memadai menjadi Ibukota Provinsi Irian JayaBarat.148

Jimmy Ijie menambahkan bahwa persoalan lain yang munculmenjadi wacana publik adalah dengan tidak berlakunya UU No.45/1999, maka penataan Irian Jaya Barat harus dikembalikandalam kerangka otonomi khusus Papua. Itu berarti UU No. 21/2001-lah yang menjadi rujukan yuridis bagi problematika hukumyang muncul di Provinsi Irian Jaya Barat. Menurutnya, hal initidak masuk akal karena Provinsi Irian Jaya Barat justru sudahlahir sebelum UU No. 21/2001 ada, sehingga tidak mungkinmenundukkan diri pada peraturan perundang-undangan yangmemang bukan diperuntukkan bagi Provinsi Irian Jaya Barat.Yang paling absurd adalah secara tiba-tiba PP No. 54/2004tentang MRP justru mengatur tentang Provinsi Irian Jaya Barat,yakni Penjelasan Umumnya mengatakan bahwa “Dalam rangkapengakuan dan penghormatan terhadap keragaman budaya

147 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Irian JayaTengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten PuncakJaya, Dan Kota Sorong, op. cit.

148 Wawancara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Provinsi Irian Jaya Barat Jimmy Ijie, op. cit.

Page 96: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

86

Putusan dan Pasca Putusan MK

berdasarkan etnis di Papua, maka dibentuk MRP pada provinsi-provinsi pemekaran yang dibentuk dengan memperhatikanperkembangan dan kemajuan serta kesiapan masyarakat diwilayah pemekaran.”149 Hal inilah yang menimbulkan kebingung-an, sehingga kepastian hukum menjadi semakin jauh untuk bisadicapai.150

Dengan alasan tersebut, Provinsi Irian Jaya Barat, menurutJimmy, tidak akan menggunakan UU No. 21/2001 sebagaiinstrumen penataan Irian Jaya Barat harus dalam kerangkaotonomi khusus Papua. Selama pemerintah pusat belummengambil kebijakan-kebijakan yang lain, maka Provinsi IrianJaya Barat tunduk pada mekanisme hukum yang terdapat dalamUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerahdan PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkat-an, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.Apalagi UU No. 21/2001 sebenarnya bisa dibaca sebagaimenyimpan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak,yaitu lepasnya Provinsi Papua dari Indonesia. Undang-undangtersebut dijadikan komoditas bagi Papua untuk melobi duniainternasional bahwa Provinsi Papua memiliki legitimasi yuridisyang sangat kuat untuk mengatur dirinya sendiri, bahkan merdekasekalipun. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang tetapmensahkan keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat, sudahseharusnya Provinsi Irian Jaya Barat harus dilihat secara sederajatdengan provinsi-provinsi lainnya, sehingga sebagai konsekuensi-nya hak-hak keuangan daerahnya pun seharusnya juga segeradirealisasikan tanpa harus dipolitisasi oleh berbagai kalangan elitpolitik baik yang di pusat maupun yang di Provinsi Papua. Yang

149 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis RakyatPapua, op. cit.

150 Wawancara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Provinsi Irian Jaya Barat Jimmy Ijie, op. cit.

Page 97: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

87

Putusan dan Pasca Putusan MK

terjadi selama ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi tersebutsama sekali tidak dihormati oleh Menteri Keuangan. Kalaupunkerangka otonomi khusus itu harus dipakai di Provinsi Irian JayaBarat, maka UU No. 21/2001 harus direvisi, sehinggakeberadaan Provinsi Irian Jaya Barat terwadahi di dalamnya dankemungkinan munculnya provinsi-provinsi lainya. Denganluasnya geografis yang ada, pemekaran wilayah memang tidakbisa dihindari. Sekarang ini setidaknya sudah terdengar wilayah-wilayah yang berkeinginan menjadi provinsi, yaitu PegununganTengah (yang penduduknya masih berbusana koteka danberumah honai), Arafuru (yang meliputi Merauke dan beberapaKabupaten di Maluku Tenggara), dan di wilayah tengah sedangdisiapkan Teluk Cendrawasih.151

Intervensi Provinsi Papua terhadap persoalan yang ada diProvinsi Irian Jaya Barat selain dilandasi persoalan-persoalanpolitik sebagaimana telah disebutkan di atas, juga dilandasipersoalan-persoalan ekonomi. Pada tahun 2005 Provinsi Papuatelah mengambil hak yang seharusnya diterima Provinsi IrianJaya Barat sebesar 798 miliar dari bagi hasil migas. Lokasi bagihasil migas ini berada di wilayah Provinsi Irian Jaya Barat. Secarageografis, Provinsi Papua praktis hanya memiliki Timika sajayang bisa diandalkan untuk menyumbang perekonomian daerahdari sektor pertambangan. Itu pun seandainya Provinsi Irian JayaTengah telah terbentuk, praktis Provinsi Papua tidak lagimemilikinya.152

Menanggapi persoalan krusial berkaitan dengan pem-bentukan MRP, persoalan utama yang akan timbul adalah apakahProvinsi Irian Jaya Barat juga harus memilikinya atau tidak karenamerasa tidak terikat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal

151 Ibid.152 Ibid.

Page 98: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

88

Putusan dan Pasca Putusan MK

76 UU No. 21/2001 yang menyatakan bahwa pemekaranProvinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan ataspersetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengansungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdayamanusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masadatang.153 Jimmy Ijie justru mempertanyakan efektivitas MRPdalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan adat. Senadadengan Abraham Oktavianus Atururi, Jimmy Ijie menggaris-bawahi bahwa MRP yang hanya merupakan representasi kulturaltidak memiliki peran signifikan dalam politk.154 Pasal 1 huruf gUU No. 21/2001 menyatakan bahwa MRP adalah representasikultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalamrangka perlindungan hak-hak orang asli Papua denganberlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidupberagama.155 Memang Penjelasan Umum PP No. 54/2004menyatakan, “Dalam rangka pengakuan dan penghormatanterhadap keragaman budaya berdasarkan etnis di Papua, makadibentuk MRP pada provinsi-provinsi pemekaran yang dibentukdengan memperhatikan perkembangan dan kemajuan sertakesiapan masyarakat di wilayah pemekaran.”156 Akan tetapi,Jimmy Ijie berpendapat bahwa persoalan MRP tidak terlalupenting dalam perkembangan politik di Provinsi Irian Jaya Barat.Keberadaan MRP di Provinsi Papua justru bisa menjadi pintumasuk bagi terformalisasikannya deklarasi merdeka melaluisebuah institusi resmi yang bernama MRP tersebut.

153 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

154 Wawancara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)Provinsi Irian Jaya Barat Jimmy Ijie, op. cit.

155 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

156 Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Majelis RakyatPapua, op. cit.

Page 99: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

89

Putusan dan Pasca Putusan MK

Di sisi lain, Rektor Universitas Papua Frans Wanggaimengatakan bahwa penyelesaian yang paling tepat terhadappersoalan baik yang ada di Provinsi Papua maupun yang ada diProvinsi Irian Jaya Barat adalah dengan mengembalikannyakepada mekanisme dan kerangka otonomi khusus. Apabila inginbersikap konsisten, itu berarti bahwa UU No. 21/2001 harusmenjadi landasan yuridis sebagai mekanisme yang disepakatibersama untuk menyelesaikan segala problematika yang ada,khususnya yang menyangkut persoalan pemekaran yang diaturdalam Pasal 76 UU No. 21/2001 yang menyatakan bahwapemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukanatas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengansungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdayamanusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masadatang.157 Dengan demikian, Provinsi Irian Jaya Barat sebaiknyajuga harus membentuk MRP yang merupakan perwakilankultural, sehingga ada institusi yang akan menjamin ter-komunikasikannya kepentingan-kepentingan adat, agama, danperempuan.158 Yang jelas masyarakat ingin ada perubahan ke arahyang lebih baik dan itu bisa dicapai apabila elit politik baik yangada di Provinsi Papua maupun yang ada di Provinsi Irian JayaBarat bisa saling kerja sama untuk membangun tanah Papua.159

157 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,op. cit.

158 Wawancara dengan Rektor Universitas Papua Frans Wanggai, KabupatenManokwari, Provinsi Irian Jaya Barat, di Gedung Rektorat Universitas Papua, Jumat,24 Juni 2005.

159 Ibid.

Page 100: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

90

Putusan dan Pasca Putusan MK

Page 101: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

91

Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-UndangNomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian JayaTengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, KabupatenMimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong. Akan tetapi,keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat tetap dianggap sah adanya,karena secara faktual telah berjalan efektif, yang antara lainterbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi IrianJaya Barat dan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerahhasil Pemilu 2004 beserta kelengkapan administrasinya termasukAnggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), sertaterpilihnya anggota DPD yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.

Putusan ini ditanggapi secara berbeda-beda oleh otoritaspolitik dan masyarakat yang berada di Provinsi Papua danProvinsi Irian Jaya Barat. Gubernur Provinsi Papua JakobusPervidya Solossa menyatakan bahwa kalau telah disadari adanyapersoalan berupa komplikasi yuridis, maka semestinya ProvinsiIrian Jaya Barat meskipun sah adanya, tetapi seharusnya dianggapberada dalam posisi status quo, di mana konsekuensinya akanditata ulang semua persoalan yang terkait dengan keberadaannya.Yang terjadi pada saat ini adalah Provinsi Irian Jaya Barat danProvinsi Papua dibiarkan berjalan sendiri-sendiri sesuai denganpenafsiran masing-masing tanpa adanya arahan yang jelas. Pihakyang paling memiliki peran signifikan dalam hal ini seharusnyaadalah pihak pemerintah atau kekuasaan eksekutif.

Kesimpulan44444

Page 102: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

92

Kesimpulan

160 Ibid.

Untuk keluar dari segala persoalan yang berkaitan dengandasar hukum keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat pasca putusanMahkamah Konstitusi adalah sebaiknya secara konsisten UU No.21/2001 dijalankan. Dengan demikian, segala persoalan yangberkenaan dengan pemekaran Provinsi Papua mengharuskanadanya persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP).160 Hal inisesuai dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21/2001.

Senada dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus PervidyaSolossa, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)Paskalis Kosay menegaskan bahwa komplikasi yuridis di ProvinsiIrian Jaya Barat tidak perlu terjadi seandainya putusan MahkamahKonstitusi tegas memberangus keberadaannya. Oleh karena itu,Kosay justru sangat mengapresiasi pendapat berbeda (concurringopinion) yang diajukan oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.Concurring opinion itu menyatakan bahwa seyogyanya ProvinsiIrian Jaya Barat dan seluruh ikutan strukturnya dinyatakan bataloleh Mahkamah Konstitusi.

Kondisi ketiadaan dasar hukum bagi keberadaan ProvinsiIrian Jaya Barat karena pemberlakuan UU No. 45/1999 telahdinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 harus sesegeramungkin diselesaikan, dan penyelesaian yang paling efektif adalahseharusnya memakai UU No. 21/2001 sebagai peraturanperundang-undangan yang mengatur segala persoalan, termasukpemekaran di tanah Papua. Dengan demikian, proses pemekaranharus menunggu terbentuknya MRP, hal ini karena Pasal 76 UUNo. 21/2001 menyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papuamenjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP danDPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguhkesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dankemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

Page 103: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

93

Kesimpulan

Kosay menjelaskan bahwa pada tingkat grass rootsebenarnya ada keinginan untuk menyelesaikan persoalanProvinsi Irian Jaya Barat itu dengan baik dan menghormatiputusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja para elit politik diProvinsi Irian Jaya Barat, (lebih khusus lagi Ketua DPRD danPejabat Gubernurnya dan bahkan Pemerintah Pusat) justru tidakmenghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Pemerintah justrusecara kontinyu memberikan dana dan melantik pimpinan DPRD.Padahal, seharusnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi,keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat adalah status quo yang berartibahwa pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat tetap dianggapada, tetapi kegiatan-kegiatannya dibatasi terlebih dahulu serayamenunggu terbentuknya MRP yang nantinya akan memberikanlegalitas atas keberadaannya. Hal ini sesuai dengan ketentuanPasal 73 PP No. 54/2004 tentang MRP yang menyatakan bahwaMRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagaiprovinsi induk bertugas dan bertanggungjawab untuk membantuPemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yangdilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah inidengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikananggota MRP.” Salah satu persoalan penting dalam persoalan iniadalah Provinsi Irian Jaya Barat itu sebenarnya tidak lagimempunyai wilayah, karena yang diakui oleh MahkamahKonstitusi hanya provinsinya saja. Apalagi realitas menunjukkanbahwa kabupaten-kabupaten dan kota yang ada masih beradadalam pembinaan dan dengan cara terus menurus secara intensiftetap membangun komunikasi dengan provinsi induk, yaituProvinsi Papua.

Aktivis dari Kantor Perwakilan Komisi Nasional HakAsasi Manusia (Komnas HAM) di Papua yang berkedudukan diJayapura menjelaskan bahwa sebenarnya putusan Mahkamah

Page 104: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

94

Kesimpulan

Konstitusi tidak memiliki implikasi signifikan kepada kalanganmasyarakat bawah. Polemik atas putusan tersebut terjadi justrupada elit politik di Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat.Sedikitnya ada tiga hal yang patut diwaspadai pasca putusanMahkamah Konstitusi tersebut yang potensial menimbulkanterjadinya pelanggaran HAM. Pertama, persoalan yang berkaitandengan kelanjutan isu pemekaran wilayah. Kedua, persoalanyang berkaitan dengan pembentukan MRP yang berkaitan denganpemetaan wilayah yang nantinya memiliki perwakilan di lembagatersebut. Ketiga, persoalan yang berkaitan dengan pilkada yangbeberapa pihak masih meragukan legalitasnya di Provinsi IrianJaya Barat. Ketiganya perlu menjadi perhatian serius danseharusnya putusan Mahkamah Konstitusi mengantisipasinya.

Di sisi lain, berbeda dengan beberapa pendapat dari tokoh-tokoh Provinsi Papua, tokoh-tokoh di Provinsi Provinsi IrianJaya Barat justru melihat secara lebih positif terhadap putusanMahkamah Konstitusi. Pejabat Gubernur Provinsi Irian JayaBarat Abraham Oktavianus Atururi (waktu itu) menilai bahwaputusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah jelas, sehinggatidak perlu lagi mempersoalkan kedudukan Provinsi Irian JayaBarat secara yuridis. Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat tetapdianggap eksis dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabilalegalitas yuridis Provinsi Irian Jaya Barat diragukan oleh beberapakalangan. Realitas empiris di lapangan menunjukkan bahwamasyarakat Provinsi Irian Jaya Barat sama sekali tidakmempersoalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahkanmasyarakat sangat antusias menerima dan mendukung ProvinsiIrian Jaya Barat agar tetap eksis sebagai provinsi ke-31 NegaraKesatuan Republik Indonesia atau provinsi ke-2 di tanah Papua.

Page 105: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

95

Kesimpulan

Atururi bahkan mencoba menggambarkan nasib masyara-kat di Irian Jaya Tengah yang iri dengan keberhasilan Irian JayaBarat menjadi sebuah provinsi. Padahal, Irian Jaya Tengah danIrian Jaya Barat sama-sama diatur dalam satu paket UU No. 45/1999. Kesalahan persepsi beberapa kalangan di Provinsi Papuaatas putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Atururi, lebihbanyak disebabkan karena kelemahannya dalam memahamibahasa hukum yang terdapat dalam putusan MahkamahKonstitusi atas Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 tersebut.Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikatitu merupakan salah satu dasar hukum atau payung hukum bagikeberadaan Provinsi Irian Jaya Barat.

Satu hal penting yang selalu ditekankan Atururi adalahbahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah bagus dan betulitu, ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak-pihaktertentu di dalam Departemen Dalam Negeri yang berkolaborasidengan Pemerintah Provinsi Papua. Hal inilah yang menyebabkanbahwa Departemen Dalam Negeri tidak seratus persenmendukung kegiatan-kegiatan yang berlangsung di Provinsi IrianJaya Barat. Ini menunjukkan bahwa putusan MahkamahKonstitusi tidak dihormati oleh pemerintah.

Senada dengan Atururi, Wakil Ketua DPRD Provinsi IrianJaya Barat Jimmy Ijie menilai bahwa putusan MahkamahKonstitusi tersebut harus dihormati oleh semua pihak danbersifat eksekutorial di mana pihak pemerintah dalam hal iniPresiden seharusnya secara proaktif mengambil langkah-langkahkonkrit sebagaimana diperintahkan dalam putusan MahkamahKonstitusi. Yang terpenting bukan lagi persoalan landasan yuridismengenai pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, tetapi adalahlandasan yuridis kelangsungan Provinsi Irian Jaya Barat yangmenurut putusan Mahkamah Konstitusi keberadaannya dan

Page 106: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

96

Kesimpulan

keberadaan kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkanUU No. 45/1999 adalah sah adanya.

Hal ini didasarkan realitas bahwa pembentukan ProvinsiIrian Jaya Barat secara faktual telah berjalan efektif, yang antaralain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan ProvinsiIrian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004beserta kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanjadan pendapaan daerah (APBD), serta terpilihnya anggota DPDyang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat.161 Oleh karena itu,diperlukan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sesegera mungkin untuk melaksanakanpemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di ProvinsiIrian Jaya Barat.

Kalau persoalan payung hukum keberadaan Provinsi IrianJaya Barat, maka ada dua produk hukum yang sekarang ini masihsering dirujuk dan menjadi konsideran mengingat dalam beberapaperaturan, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi atas PerkaraNomor 018/PUU-I/2003 itu sendiri dan Undang-Undang Nomor5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah,Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong.

161 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.

Page 107: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

97

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Goldsmith, Michael. Politic, Planning , and City. London:Hutckinson & Co. Publisher Ltd., 1980.

Hoessein, Bhenyamin. “Otonomi Daerah dalam NegaraKesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi KemajemukanMasyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Jurnal Usahawan,No. 04 Tahun XXIX, April 2000.

_______. “Transparansi Pemerintah: Mencari Format danKonsep Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintahanyang Baik,” artikel dalam Forum Inovasi, edisi November2001.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel& Russel, 1973.

KOR. “Kisruh Provinsi Irjabar-Provinsi Papua, Dua GubernurSepakat Kembali ke UU Otsus”, http://kompas.com/kompascetak/0504/25/daerah.htm. Diakses 25 April 2005.

Manan, Bagir. “Politik Hukum Otonomi Sepanjang PeraturanPerundang-undangan Pemerintah Daerah”, dalam MartinHutabarat, et. al., (eds.), Hukum dan Politik Indonesia: TinjauanAnalitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah. Cet. I, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Muthalib, M.A. dan Mohd. Akbar Ali Khan. Theory of LocalGovernment. New Delhi: Starling Publisher Private Limited,1982.

Page 108: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

98

Daftar Pustaka

Osborne, David, dan Ted Gaebler. Reinventing Government: Howthe Interpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. NewYork: A Plume Book, 1992.

Rienow, Robert. Introduction to Government. New York: Alfred A.Knopf, 1966.

Smith, B.C. Decentralization. London: George Allen & Unwin,1983.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif:Suatu Tinjauan Singkat. Edisi 1, Cet. V, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2001.

_______. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam PenelitianHukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum FakultasHukum Universitas Indonesia, 1979.

_______. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.Sullivan, Laurence. “Hak-hak Kelompok Minoritas Menurut

Hukum Internasional dan Otsus”, http://www.papuaweb.org/dlib/lap/sullivan/id/hak-minoritas.rtf. Diakses 28Maret 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Perubahan atas Undang-UndangNomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi IrianJaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan KotaSorong. UU No. 5 Tahun 2000, Lembaran Negara Nomor72 Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3960.

_______. Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua. UU No. 21 Tahun 2001, Lembaran NegaraNomor 135 Tahun 2001, Tambahan Lembaran NegaraNomor 4151.

______. Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi IrianJaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Page 109: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

99

Daftar Pustaka

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan KotaSorong. UU No. 45 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor173 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3894.

_______. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PutusanPerkara Nomor 018/PUU-I/2003.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua.PP Nomor 54 Tahun 2004, Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 165, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4461.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah. PP Nomor 6 Tahun 2005, Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480.

_______. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atasPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentangPengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah. PP Nomor 17 Tahun 2005,Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4494.

Wawancara

Wawancara dengan Gubernur Provinsi Papua Jakobus PervidyaSalossa, di Kantor Gubernur Kepala Daerah Provinsi Papua,Jayapura, Senin, 20 Juni 2005.

Wawancara dengan Ketua Dewan Adat Papua, Jayapura, Selasa,21 Juni 2005.

Wawancara dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Provinsi Irian Jaya Barat Jimmy Ijie, di KantorGubernur Provinsi Irian Jaya Barat, Manokwari, Jumat, 24Juni 2005.

Page 110: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

100

Daftar Pustaka

Wawancara dengan Pejabat Gubernur Provinsi Irian Jaya BaratAbraham Oktavianus Atururi, di Kantor Gubernur ProvinsiIrian Jaya Barat, Manokwari, Jumat, 24 Juni 2005.

Wawancara dengan Rektor Universitas Cendrawasih, di GedungRektorat Universitas Cendrawasih, Jayapura, Selasa, 21 Juni2005.

Wawancara dengan Rektor Universitas Papua Frans Wanggai,Kabupaten Manokwari, Provinsi Irian Jaya Barat, di GedungRektorat Universitas Papua, Jumat, 24 Juni 2005.

Wawancara dengan Sekretaris Perwakilan Komisi Nasional HakAsasi Manusia di Papua, yang berkedudukan di Jayapura,Selasa, 21 Juni 2005.

Wawancara dengan Wakil Ketua Dewan Perwakilan RakyatPapua Paskalis Kosay, di Gedung Dewan Perwakilan RakyatPapua, Jayapura, Senin, 20 Juni 2005.

Page 111: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

101

Lampiran

a. bahwa keberadaan Majelis Rakyat Papuaberdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagiProvinsi Papua perlu diikuti dengan peng-aturan mengenai penyelenggaraan pemilihandan penggantian anggota, pedoman tata tertib,serta kedudukan keuangan Majelis RakyatPapua;b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal19 ayat (4), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (2),Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal25 ayat (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun2001 tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiPapua, perlu menetapkan Peraturan Pemerin-tah tentang Majelis Rakyat Papua;

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang undang Nomor 12 Tahun 1969 tentangPembentukan Propinsi Otonom Irian Barat

PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 54 TAHUN 2004

TENTANGMAJELIS RAKYAT PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Mengingat :

Page 112: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

102

Lampiran

dan Kabupaten kabupaten Otonom di PropinsiIrian Barat (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1969 Nomor 47, TambahanLembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor2907);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentangPokok-pokok Kepegawaian (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041)sebagaiamana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1999Nomor 169 Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3890);

4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999tentang Penyelenggara Negara yang Bersih danBebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3851);

5. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999tentang Hubungan Luar Negeri (LembaranNegara Tahun 1999 Nomor 156, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor3882);

6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 145,Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3886);

Page 113: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

103

Lampiran

7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000tentang Perjanjian Internasional (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2000Nomor 185, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4012);

8. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000tentang Peradilan Hak Asasi Manusia (Lem-baran Negara Tahun 2000 Nomor 208,Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4026);

9. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4151);

10. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002tentang Partai Politik (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251);

11. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003tentang Keuangan Negara (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

12. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,DPD, dan DPRD (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 92, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor4310);

13. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentangPerbendaharaan Negara (Lembaran Negara

Page 114: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

104

Lampiran

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4355);

14. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4389);

15. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tang-gung jawab Keuangan Negara (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 66, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4400);

16. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 125, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4437);

17. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4438);

M E M U T U S K A N :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANGMAJELIS RAKYAT PAPUA.

Menetapkan :

Page 115: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

105

Lampiran

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah

perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiriatas Presiden beserta para Menteri.

2. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi OtonomiKhusus dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat lainsebagai Badan Eksekutif Provinsi.

4. Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yangbertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan diProvinsi dan sebagai Wakil Pemerintah di Provinsi.

5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi.

6. Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disingkat MRP adalahrepresentasi kultural orang asli Papua, yang memilikiwewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak hak orangasli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadapadat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapankerukunan hidup beragama.

7. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebutDPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsisebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi.

8. Panitia Pemilihan MRP adalah panitia penyelenggara pemilihananggota MRP yang berada di tingkat distrik, kabupaten/kotadan provinsi yang anggotanya terdiri unsur pemerintah danmasyarakat.

Page 116: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

106

Lampiran

9. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun rasMelanesia yang terdiri dari suku suku asli di Provinsi Papuadan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asliPapua oleh masyarakat adat Papua.

10. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan,serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turuntemurun.

11. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidupdalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentudengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya.

12. Wakil adat adalah Anggota MRP yang berasal dari dan mewakilimasyarakat adat.

13. Masyarakat agama adalah semua penduduk pemeluk agama diProvinsi.

14. Wakil agama adalah Anggota MRP yang berasal dari danmewakili masyarakat agama.

15. Masyarakat perempuan adalah penduduk berjenis kelaminperempuan di Provinsi.

16. Wakil perempuan adalah Anggota MRP yang berasal dari danmewakili masyarakat perempuan.

17. Perlindungan hak-hak orang asli Papua adalah perlindunganterhadap hak-hak yang berlandaskan pada penghormatanterhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan danpemantapan kerukunan hidup beragama.

18. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasiadalah Peraturan Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaankewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.

19. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasusadalah Peraturan Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan

Page 117: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

107

Lampiran

pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun2001.

20. Pimpinan MRP adalah Ketua dan Wakil-wakil Ketua.21. Anggota MRP adalah mereka yang diresmikan keanggotaannya

sebagai Anggota MRP dan telah mengucapkan sumpah/janjiberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

22. Sekretariat MRP adalah unsur pendukung MRP yang dipimpinoleh seorang Sekretaris dan bertugas membantu MRP dalammenyelenggarakan tugas dan kewenangannya.

23. Sekretaris MRP adalah Pejabat yang memimpin SekretariatMRP yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai NegeriSipil yang memenuhi persyaratan dan dalam melaksanakantugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepadaPimpinan MRP.

BAB IIPEMBENTUKAN DAN KEANGGOTAAN MRP

Bagian PertamaPembentukan MRP

Pasal 2MRP dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ini danberkedudukan di Ibukota Provinsi.

Bagian KeduaKeanggotaan MRP

Pasal 3(1) Anggota MRP terdiri dari orang-orang asli Papua yang berasal

dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakilperempuan di provinsi.

Page 118: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

108

Lampiran

(2) Anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnyatidak lebih dari ¾ (tiga per empat) jumlah anggota DPRP.

(3) Komposisi anggota MRP terdiri dari:a. Jumlah Anggota Wakil Adat sebanyak 1/3 (sepertiga) dari

jumlah Anggota MRP;b. Jumlah Anggota Wakil Perempuan sebanyak 1/3

(sepertiga) dari jumlah Anggota MRP;c. Jumlah Anggota Wakil Agama sebanyak 1/3 (sepertiga)

dari jumlah Anggota MRP dengan komposisi masing-masing Wakil Agama yang ditetapkan secara proporsional.

(4) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun dan berakhirbersamaan pada saat anggota MRP yang baru mengucapkansumpah/janji.

Pasal 4Anggota MRP adalah warga Negara Republik Indonesia yangmemenuhi syarat syarat:a. orang asli Papua;b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia dan taat kepada Pancasila dan memiliki komitmen yang

kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara;

d. setia dan taat kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintahyang sah;

e. tidak pernah terlibat dalam tindakan makar terhadap NegaraKesatuan Republik Indonesia;

f. berumur serendah-rendahnya 30 (tiga puluh) tahun dansetinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun;

g. sehat jasmani dan rohani;h. memiliki keteladanan moral dan menjadi panutan masyarakat;

Page 119: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

109

Lampiran

i. memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi hak hak orangasli Papua;

j. tidak berstatus sebagai anggota legislatif dan anggota partaipolitik;

k. berdomisili di provinsi sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahunberturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuancalon anggota MRP;

l. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yangmempunyai kekuatan hukum tetap;

m. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapkarena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidanapenjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

n. pegawai negeri yang terpilih menjadi anggota MRP harusmelepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya;

o. berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Dasar atausederajat untuk wakil adat, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama(SLTP) atau sederajat untuk wakil agama dan perempuan;

p. untuk wakil adat harus diakui dan diterima oleh masyarakatadat;

q. untuk wakil agama harus mendapat rekomendasi dari lembagakeagamaan yang bersangkutan;

r. untuk wakil perempuan harus aktif dan konsisten mem-perjuangkan hak hak perempuan dan diterima oleh komunitasperempuan;

s. untuk wakil adat, agama, dan perempuan yang mencalonkandiri atau dicalonkan menjadi Anggota MRP harus meng-undurkan diri dari jabatan kelembagaan.

Page 120: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

110

Lampiran

BAB IIITATA CARA PEMILIHAN ANGGOTA MRP

Bagian PertamaPenyelenggara Pemilihan

Pasal 5(1) Pemilihan anggota MRP diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan

MRP.(2) Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terdiri dari:a. Panitia Pemilihan MRP tingkat Distrik;b. Panitia Pemilihan MRP tingkat Kabupaten/Kota;c. Panitia Pemilihan MRP tingkat Provinsi.

(3) Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)masing-masing berjumlah 5 (lima) orang dan anggotanya terdiridari unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Pembentukan Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a dan huruf b, ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan mendengar usul dari DPRD kabupaten/kotadan masyarakat.

(5) Pembentukan Panitia Pemilihan MRP sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh Gubernur denganmemperhatikan pendapat DPRP dan masyarakat.

(6) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk3 (tiga) bulan sebelum pemilihan anggota MRP dan berakhirmasa tugasnya 1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 6Tugas dan wewenang Panitia Pemilihan MRP adalah:a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP;

Page 121: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

111

Lampiran

b. mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikansemua tahapan pelaksanaan pemilihan anggota MRP;

c. menetapkan waktu dan tanggal pelaksanaan tahapan pemilihananggota MRP;

d. mengajukan hasil pemilihan kepada Menteri Dalam Negerimelalui Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mendapatpengesahan;

e. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.

Pasal 7Panitia Pemilihan MRP berkewajiban:a. memperlakukan calon anggota MRP secara adil dalam

pelaksanaan pemilihan;b. meneliti dan memverifikasi persyaratan calon anggota MRP;c. memelihara arsip dan dokumen pemilihan anggota MRP;d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang

diterima dari APBD.

Pasal 8(1) Pengawasan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP

dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan yang dibentuk olehGubernur pada tingkat provinsi dan Bupati/Walikota padatingkat kabupaten/kota dan distrik.

(2) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berjumlah 5 (lima) orang pada setiap tingkat.

(3) Anggota panitia pengawas terdiri dari unsur kepolisian,kejaksaan dan masyarakat.

(4) Tugas dan wewenang panitia pengawas adalah:a. mengawasi semua tahapan pelaksanaan pemilihan;b. menerima laporan pelanggaran pelaksanaan pemilihan;

Page 122: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

112

Lampiran

c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaanpemilihan;

d. meneruskan temuan kepada pihak yang berwenang.(5) Panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk

3 (tiga) bulan sebelum pemilihan anggota MRP dan berakhirmasa tugasnya 1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 9(1) Panitia pengawas pemilihan tingkat provinsi bertanggung jawab

kepada Gubernur.(2) Panitia pengawas pemilihan tingkat kabupaten/kota dan distrik

bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

Bagian KeduaPemilih

Pasal 10(1) Pemilih terdiri atas anggota masyarakat adat, masyarakat agama,

masyarakat perempuan, penduduk yang telah berdomisilisekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di provinsi.

(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksudpada ayat (1) harus memenuhi syarat:a. berusia sekurang kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau

sudah/pernah kawin;b. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;c. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.(3) Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari satu tempat

tinggal harus menentukan satu diantaranya untuk ditetapkansebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.

Page 123: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

113

Lampiran

(4) Pemilih yang namanya telah dicatat dalam daftar pemilih diberitanda bukti pendaftaran yang berlaku sebagai surat pem-beritahuan untuk memberikan suara.

Bagian KetigaPencalonan

Pasal 11(1) Pendaftaran calon di wilayah pemilihan tahap pertama dilakukan

oleh masyarakat adat dan masyarakat perempuan pada PanitiaPemilihan MRP tingkat distrik.

(2) Pendaftaran calon anggota MRP untuk masyarakat agamadilakukan oleh masyarakat agama pada Panitia Pemilihan MRPtingkat Provinsi.

Bagian KeempatTahapan Pemilihan

Pasal 12(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan:

a. pemilihan untuk calon dari wakil adat dan perempuandilakukan 2 (dua) tahap yakni pemilihan di tingkat distrikdan kabupaten/kota;

b. pemilihan untuk wakil agama dilakukan 1 (satu) tahapberdasarkan jumlah pemeluk agama secara proporsional.

(2) Pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf a diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan MRP tingkatdistrik dan tingkat kabupaten/kota.

(3) Pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf b diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan MRP tingkatProvinsi.

Page 124: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

114

Lampiran

Pasal 13(1) Proses tahapan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf adilakukan:a. tahap pertama dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari;b. tahap kedua dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari.

(2) Proses tahapan penyelenggaraan pemilihan anggota MRPsebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dilakukanpaling lama 14 (empat belas) hari.

Pasal 14(1) Pemilihan tahap pertama calon anggota MRP sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a diselenggarakan melaluipemungutan suara secara serentak di masing-masing wilayahpemilihan di seluruh provinsi.

(2) Pemilihan tahap kedua calon anggota MRP sebagaimanadimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dilakukan oleh calonanggota terpilih dari pemilihan tahap pertama untukmenghasilkan 2 (dua) orang yang mewakili unsur adat danperempuan.

(3) Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secaramusyawarah dan mufakat.

(4) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud padaayat (3) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutansuara.

Pasal 15(1) Hasil pemilihan calon anggota MRP tingkat distrik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) diajukan oleh Panitia PemilihanMRP distrik kepada Panitia Pemilihan MRP tingkatKabupaten/Kota untuk dilakukan pemilihan pada tahap kedua.

Page 125: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

115

Lampiran

(2) Pemilihan calon anggota MRP pada tahap kedua sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui musyawarah danmufakat antara calon yang terpilih pada pemilihan tahappertama.

(3) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud padaayat (2) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutansuara.

(4) Hasil Pemilihan Calon Anggota sebagaimana dimaksud padaayat (2) dibuat dalam Daftar Urut Calon Anggota MRP olehPanitia Pemilihan tingkat kabupaten/kota berdasarkanperingkat perolehan suara masing-masing calon yang ditetapkandengan Keputusan Bupati/Walikota.

(5) Calon Anggota MRP nomor urut pertama daftar calon dariunsur adat dan perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diajukan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri DalamNegeri melalui Gubernur untuk mendapat pengesahan.

Pasal 16(1) Calon anggota wakil agama dari setiap agama diajukan oleh

masyarakat agama masing-masing.(2) Setiap masyarakat agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat mengajukan calon anggota MRP paling banyak sejumlahkabupaten/kota di provinsi.

(3) Calon anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan penelitian persyaratan calon oleh Panitia PemilihanMRP tingkat Provinsi.

(4) Calon anggota MRP yang memenuhi persyaratan sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dipilih melalui musyawarah dan mufakatoleh masyarakat agama tingkat Provinsi dengan memperhatikanproporsi jumlah pemeluknya.

Page 126: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

116

Lampiran

(5) Perimbangan jumlah wakil masing-masing agama ditetapkanoleh Panitia Pemilihan tingkat Provinsi secara proporsionalberdasarkan jumlah pemeluk masing-masing agama.

(6) Apabila musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud padaayat (3) tidak tercapai, pemilihan dilakukan melalui pemungutansuara.

(7) Hasil pemilihan calon anggota MRP sebagaimana dimaksud padaayat (6) dibuat dalam Daftar Urut Calon Anggota MRPberdasarkan peringkat perolehan suara masing-masing calonsetiap agama yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(8) Calon anggota MRP yang telah ditetapkan Gubernursebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan oleh Gubernurkepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapat pengesahan.

Pasal 17(1) Hasil pemilihan anggota MRP diusulkan oleh Gubernur kepada

Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima usulandari Gubernur.

(3) Menteri Dalam Negeri tidak mengesahkan calon anggota MRPyang berdasarkan penelitian ternyata tidak memenuhipersyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(4) Calon anggota MRP yang tidak disahkan sebagaimana dimaksudpada ayat (3) berhak mengajukan Keberatan selama 14 (empatbelas) hari sejak diterimanya surat penolakan.

(5) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mendapatkeputusan Menteri Dalam Negeri paling lama 14 (empat belas)hari sejak diterimanya keberatan dan keputusan tersebutbersifat final dan mengikat.

Page 127: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

117

Lampiran

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidakmendapat persetujuan, Menteri Dalam Negeri mengembalikanusulan kepada Gubernur untuk kemudian mengajukan calonlain sesuai daftar urut berikutnya.

Pasal 18(1) Anggota MRP terpilih dilantik oleh Menteri Dalam Negeri di

ibukota provinsi.(2) Sebelum melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota MRP

wajib mengucapkan sumpah dan janji.(3) Susunan kata-kata sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) adalah sebagai berikut:“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji:bahwa saya sanggup melaksanakan tugas dan kewajiban sayaselaku Anggota Majelis Rakyat Papua dengan sebaik-baiknya,sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya;bahwa saya sanggup memegang teguh Pancasila dan menegakkanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;bahwa saya sanggup menegakkan kehidupan demokrasi sertasetia dan berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan RepublikIndonesia.”

BAB IVPEMBERHENTIAN ANGGOTA DAN PENGGANTIAN

PIMPINAN MRP

Pasal 19(1) Anggota MRP berhenti karena:

a. meninggal dunia;b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap sebagai anggota MRP;

Page 128: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

118

Lampiran

c. mengajukan permohonan berhenti atas permintaansendiri;

d. berdomisili di luar wilayah provinsi;e. melanggar kode etik MRP;f. tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai anggota MRP;g. melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam

Peraturan Pemerintah ini;h. melanggar sumpah/janji anggota MRP;i. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karenamelakukan tindak pidana yang diancam dengan pidanapenjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Anggota MRP diberhentikan sementara karena dinyatakansebagai terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme,makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

(3) Pemberhentian dan pemberhentian sementara sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh MenteriDalam Negeri.

Pasal 20(1) Pemberhentian anggota MRP sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,huruf g dan huruf h, diusulkan oleh pimpinan MRP kepadaMenteri Dalam Negeri melalui Gubernur, setelah mem-pertimbangkan hasil penelitian dan verifikasi DewanKehormatan MRP atas pelanggaran anggota MRP.

(2) Penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan berdasarkan pengaduan pimpinan MRP, masyarakat,lembaga adat, lembaga/organisasi perempuan dan/ataulembaga keagamaan.

Page 129: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

119

Lampiran

(3) Tata cara pengaduan, pembelaan dan pengambilan keputusanoleh Dewan Kehormatan MRP sebagaimana dimaksud padaayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

(4) Pemberhentian anggota MRP sebagaimana dimaksud pada Pasal19 ayat (1) huruf i dan/atau perbuatan makar dapat dilakukanoleh pejabat yang mengesahkan tanpa melalui pertimbangandewan kehormatan.

(5) Dewan Kehormatan MRP terdiri dari unsur pimpinan dananggota MRP yang mewakili unsur keagamaan, adat,perempuan yang berjumlah paling banyak 5 (lima) orang.

(6) Tata cara pembentukan Dewan Kehormatan MRP sebagaimanadimaksud pada ayat (5), diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Pasal 21(1) Pimpinan MRP dapat diganti apabila kinerjanya dinilai tidak

baik dan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 19 ayat (1) huruf e, f, g, h, dan i, berdasarkanpenilaian kinerja yang dilakukan terhadap Pimpinan MRPsecara kolektif.

(2) Penilaian kinerja Pimpinan MRP sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan melalui Rapat Pleno MRP dihadiri olehsekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggotaMRP.

(3) Penilaian kinerja Pimpinan MRP yang dinilai tidak baik danmenyimpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujuipaling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadirdan sebagai bahan usulan penggantian Pimpinan MRP.

Page 130: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

120

Lampiran

Pasal 22(1) Usulan penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(3) diputuskan dalam Rapat Pleno yang dihadiri paling sedikit2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MRP.

(2) Keputusan MRP tentang usulan penggantian Pimpinan MRPsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan BeritaAcara Usulan Penggantian.

Pasal 23Keputusan MRP tentang usulan penggantian sebagaimana dimaksudpada Pasal 22 ayat (2) disampaikan kepada Menteri Dalam Negerimelalui Gubernur, guna peresmian penggantian.

Pasal 24Pengisian Pimpinan MRP yang diganti sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 dipilih dari anggota MRP.

BAB VPENGGANTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA MRP

Pasal 25(1) Penggantian antar waktu anggota MRP dilakukan untuk mengisi

kekosongan anggota MRP.(2) Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh

Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan daftarurut calon.

Pasal 261) Menteri Dalam Negeri mengesahkan calon anggota MRP

pengganti antar waktu selambat lambatnya 30 (tiga puluh) harisejak usulan diterima dari Gubernur.

Page 131: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

121

Lampiran

(2) Menteri Dalam Negeri dapat mendelegasikan pelantikananggota MRP pengganti antar waktu kepada Gubernur selakuwakil Pemerintah.

BAB VITATA TERTIB MRP

Pasal 27(1) Peraturan Tata Tertib merupakan landasan pelaksanaan hak dan

kewajiban MRP.(2) Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

meliputi kelengkapan MRP, pelaksanaan tugas dan wewenang,pelaksanaan hak dan kewajiban, dan rapat-rapat MRP.

(3) Peraturan Tata Tertib ditetapkan dengan Keputusan MRPberpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIIALAT KELENGKAPAN MRP

Pasal 28Alat Kelengkapan MRP terdiri dari:a. Pimpinan;b. Kelompok Kerja Kelompok Kerja; danc. Dewan Kehormatan.

Pasal 29

(1) Pimpinan MRP merupakan lembaga yang bersifat kolektifmencerminkan unsur adat, agama, dan perempuan, yang terdiriatas:a. satu orang Ketua;b. dua orang Wakil Ketua.

Page 132: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

122

Lampiran

(2) Pengesahan dan pelantikan Pimpinan MRP dilakukan olehGubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

(3) Tata cara pemilihan Pimpinan MRP diatur dalam PeraturanTata Tertib MRP.

Pasal 30(1) Kelompok Kerja merupakan alat kelengkapan MRP untuk

menangani bidang adat, perempuan dan agama.(2) Jumlah Kelompok Kerja MRP sebanyak 3 (tiga) Kelompok

Kerja.

Pasal 31Kelompok Kerja MRP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat(2) terdiri atas:a. Kelompok Kerja Adat;b. Kelompok Kerja Perempuan;c. Kelompok Kerja Keagamaan.

Pasal 32(1) Tugas Kelompok Kerja MRP sebagaimana dimaksud pada pasal

31 adalah:a. Kelompok Kerja Adat mempunyai tugas memberikan saran

dan pertimbangan dalam rangka perlindungan adat danbudaya asli;

b. Kelompok Kerja Perempuan mempunyai tugas melindungidan memberdayakan perempuan dalam rangka keadilandan kesetaraan gender;

c. Kelompok Kerja Keagamaan mempunyai tugas me-mantapkan kerukunan hidup antar umat beragama.

(2) Tugas Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Page 133: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

123

Lampiran

Pasal 33(1) Dewan Kehormatan merupakan alat kelengkapan MRP yang

bertugas dan berwenang melakukan pertimbangan danpenilaian terhadap anggota MRP yang memenuhi ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, hurufe, huruf f, huruf g, dan huruf h.

(2) Dewan Kehormatan MRP terdiri dari unsur pimpinan dananggota MRP yang mewakili unsur keagamaan, adat,perempuan yang berjumlah paling banyak 5 (lima) orang.

(3) Tata cara pembentukan Dewan Kehormatan MRP sebagaimanadimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB VIIILARANGAN DAN SANKSI

Pasal 34Anggota MRP dilarang:a. mengkhianati Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan RepublikIndonesia dan Pemerintah yang sah;

b. melakukan tindakan yang tercela dan tidak bermoral;c. memiliki jabatan rangkap sebagai Pegawai Negeri dan/atau

pejabat negara;d. melakukan tindakan melanggar hukum yang dapat berakibat

dicabut hak pilihnya;e. melakukan kegiatan dan/atau usaha yang biayanya berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi.

Pasal 35(1) Anggota MRP yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi pemberhentiansebagai anggota MRP.

Page 134: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

124

Lampiran

(2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dilakukan berdasarkan pertimbangan dan penilaian DewanKehormatan.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB IXPELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN

Bagian PertamaTugas dan Wewenang MRP

Pasal 36MRP mempunyai tugas dan wewenang:a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan

bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkanDPRP;

b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadaprancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-samadengan Gubernur;

c. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadaprencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintahmaupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlakudi wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;

d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduanmasyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan danmasyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orangasli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

e. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRDkabupaten/kota serta Bupati/ Walikota mengenai hal-hal yangterkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Page 135: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

125

Lampiran

Bagian KeduaTata cara Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan

terhadap Pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Pasal 37(1) MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap

pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yangdiajukan oleh DPRP.

(2) Pertimbangan dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) hanya menyangkut persyaratan pasangan bakal calonGubernur dan Wakil Gubernur adalah orang asli Papua.

(3) Hasil pertimbangan dan persetujuan MRP, diberitahukan secaratertulis kepada pimpinan DPRP paling lambat 7 (tujuh) harisejak tanggal pengajuan.

(4) Apabila pasangan bakal calon tidak mendapatkan persetujuanMRP karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimanadimaksud dalam ayat (2), DPRP diberi kesempatan untukmemperbaiki persyaratan pasangan bakal calon paling lambat7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan MRP.

(5) Pasangan bakal calon yang telah mendapatkan persetujuan MRPdisampaikan kepada DPRP.

(6) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari, MRP tidak memebrikanpersetujuan terhadap pasangan bakal calon yang diajukan DPRP,pasangan bakal calon tersebut sah untuk diajukan menjadipasangan calon.

Bagian KetigaTata cara Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan

terhadap Rancangan Perdasus

Page 136: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

126

Lampiran

Pasal 38(1) Rancangan Perdasus disampaikan oleh Pemerintah Provinsi

bersama DPRP kepada MRP untuk dilakukan pembahasan gunamendapat pertimbangan dan persetujuan.

(2) Pembahasan Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan oleh Kelompok Kerja paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya Rancangan Perdasus.

(3) Dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) MRP melakukan konsultasi denganPemerintah Provinsi dan DPRP.

(4) Dalam hal Rancangan Perdasus tidak mendapatkan pertimbang-an dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimanadimaksud pada ayat (1), Rancangan Perdasus dianggap telahmendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRP.

(5) Pemerintah Provinsi bersama DPRP menetapkan RancanganPerdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Perdasus.

Bagian KeempatTata cara Memberikan Pertimbangan dan Persetujuan

terhadap Kerja sama dengan Pihak Ketiga

Pasal 39(1) Rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga disampaikan

oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi bersama DPRPkepada MRP untuk mendapat pertimbangan khusus menyang-kut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

(2) Pembahasan rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketigasebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kelompokkerja yang membidangi untuk mendapatkan persetujuan rapatpleno MRP selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejakditerimanya rencana perjanjian.

Page 137: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

127

Lampiran

(3) Apabila diperlukan kelompok kerja dapat berkonsultasi kepadaPemerintah atau Pemerintah Provinsi mengenai rencanaperjanjian kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksudpada ayat (1).

(4) Dalam hal rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketigatidak mendapatkan pertimbangan dan persetujuan lebih dari30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2),rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga dianggaptelah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP.

(5) Perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga dari luar negeridilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang mengatur hubungan luar negeri.

Bagian KelimaTata cara Menerima Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan

Pasal 40(1) Masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan

masyarakat pada umumnya yang datang secara langsung ke MRPuntuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan diterima olehSekretariat MRP dan disalurkan kepada Pimpinan MRP dan/atau Kelompok Kerja yang membidanginya.

(2) Dalam menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) Pimpinan MRP meneruskan kepadaGubernur dan DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian KeenamTata cara Memberikan Pertimbangan terhadap

Perlindungan Hak-hak Orang Asli Papua

Page 138: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

128

Lampiran

Pasal 41(1) Kebijakan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkaitdengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, disampaikankepada MRP untuk mendapatkan pertimbangan.

(2) Pertimbangan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disampaikan secara tertulis paling lambat diberikan 14 (empatbelas) hari sejak diterima oleh MRP untuk mendapatkanperhatian Pemerintah Daerah.

BAB XPELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN MRP

Bagian PertamaHak Meminta Keterangan

Pasal 42(1) MRP dapat meminta keterangan Pemerintah Provinsi yang

berkaitan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.(2) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diajukan oleh paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) darianggota MRP yang mencerminkan unsur wakil adat, wakilperempuan dan wakil agama.

(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Pimpinan MRPdisampaikan pada rapat pleno MRP untuk memperolehkeputusan.

(4) Dalam rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (3), parapengusul diberi kesempatan menyampaikan penjelasan lisanatas usul permintaan tersebut.

(5) Apabila rapat pleno menyetujui usul permintaan keterangansebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pimpinan MRP

Page 139: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

129

Lampiran

menyampaikan permintaan keterangan secara tertulis kepadaPemerintah Provinsi.

(6) Pemerintah Provinsi memberikan keterangan tertulis kepadaPimpinan MRP.

(7) Anggota MRP dapat mengajukan pertanyaan atas keteranganPemerintah Provinsi dalam rapat kerja.

Bagian KeduaHak Meminta Peninjauan Kembali Perdasi

Pasal 43(1) MRP dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali

Perdasi atau Peraturan Gubernur yang bertentangan denganperlindungan hak-hak dasar orang asli Papua.

(2) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud padaayat (1) diajukan oleh paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah anggota MRP yang mencerminkan unsurwakil adat, wakil perempuan dan wakil agama dan mendapatpersetujuan rapat pleno MRP.

(3) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud padaayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Pemerintah Provinsidan DPRP.

(4) Permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud padaayat (3) ditanggapi secara tertulis oleh Pemerintah Provinsidan DPRP untuk dibahas dalam rapat kerja.

Bagian KetigaHak Mengajukan Rencana Anggaran Belanja MRP

Pasal 44(1) MRP mengajukan rencana anggaran belanja MRP kepada

DPRP.

Page 140: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

130

Lampiran

(2) Rencana anggaran MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibahas bersama antara DPRP dengan Gubernur untukditetapkan sebagai anggaran belanja MRP.

(3) Anggaran Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukanoleh MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

Bagian KeempatHak Menetapkan Tata Tertib MRP

Pasal 45(1) MRP menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP berdasarkan

Peraturan Pemerintah ini.(2) Peraturan Tata Tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memuat tentang:a. pengucapan/sumpah janji;b. pemilihan dan penetapan pimpinan;c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;d. penyelenggaraan sidang/rapat;e. pelaksanaan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak serta

larangan bagi anggota/lembaga;f. pengaduan dan tugas Dewan Kehormatan dalam proses

penggantian antar waktu;g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang serta

kewajiban alat-alat kelengkapan;h. pembuatan keputusan;i. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyara-

kat;j. pelaksanaan kesekretariatan;k. pengaturan protokoler dan kode etik.

Page 141: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

131

Lampiran

Bagian KelimaPelaksanaan Hak Anggota MRP

Pasal 46(1) Anggota MRP mempunyai hak mengajukan pertanyaan.(2) Hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis untukditanggapi dalam rapat-rapat MRP.

Pasal 47(1) Anggota MRP mempunyai hak menyampaikan usul dan

pendapat.(2) Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

disampaikan secara lisan maupun tertulis untuk dibahas dalamrapat-rapat MRP.

Pasal 48(1) Anggota MRP mempunyai hak imunitas atau hak kekebalan

hukum untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karenapernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapatMRP dengan Pemerintah Provinsi dan DPRP sesuai denganperaturan perundangan-undangan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlakudalam hal anggota yang bersangkutan melanggar ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dan mengumum-kan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untukdirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuanmengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua BabI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 142: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

132

Lampiran

Pasal 49Hak protokoler anggota MRP dipersamakan dengan anggota DPRPdan selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Bagian KeenamPelaksanaan Kewajiban MRP

Pasal 50(1) MRP dalam melaksanakan tugas dan wewenang, mempunyai

kewajiban:a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyatProvinsi Papua;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 serta mentaati segalaperaturan perundang-undangan;

c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat danbudaya asli Papua;

d. membina kerukunan kehidupan beragama;e. mendorong pemberdayaan perempuan.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakanoleh pimpinan dan anggota MRP dalam setiap kegiatan MRPdengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.

(3) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud padaayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB XIRAPAT-RAPAT MRP

Pasal 51Rapat-rapat MRP terdiri dari:a. Rapat Pleno;

Page 143: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

133

Lampiran

b. Rapat Kerja;c. Rapat Dengar Pendapat;d. Rapat Kelompok Kerja;e. Rapat Gabungan Kelompok Kerja.

Pasal 52(1) Rapat Pleno sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf a

merupakan rapat anggota yang dipimpin oleh pimpinan MRPdan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas danwewenang MRP.

(2) Rapat Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 huruf bmerupakan rapat antara alat kelengkapan MRP dengan pejabatPemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta DPRP danDPRD Kabupaten/Kota dan Lembaga Pemerintah lainnya diDaerah.

(3) Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud pada Pasal 51huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapanMRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakatdalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuaidengan kewenangan MRP.

(4) Rapat Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 51huruf d merupakan rapat anggota Kelompok Kerja yangdipimpin oleh pimpinan Kelompok Kerja sesuai bidang tugas.

(5) Rapat Gabungan Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud padaPasal 51 huruf e merupakan rapat bersama yang diadakan olehlebih dari satu Kelompok Kerja.

Pasal 53(1) Rapat Pleno dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali

dalam 6 (enam) bulan.

Page 144: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

134

Lampiran

(2) Rapat MRP sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) harusdihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlahanggota.

(3) Pengambilan keputusan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dinyatakan sah apabila disetujui oleh 2/3 (duapertiga) darijumlah yang hadir.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan rapat-rapat MRPdiatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP.

Pasal 54(1) Produk-produk MRP berbentuk keputusan MRP dan

Keputusan Pimpinan MRP.(2) Tata cara dan proses pengambilan keputusan ditetapkan dalam

Peraturan Tata Tertib MRP.

BAB XIISEKRETARIAT MRP

Pasal 55(1) Sekretariat MRP dipimpin oleh seorang sekretaris yang

bertugas membantu MRP dalam menyelenggarakan tugas dankewenangannya.

(2) Sekretaris MRP diangkat dari PNS yang memenuhi syarat olehGubernur.

(3) Sekretariat MRP secara operasional berada di bawah pimpinanMRP dan secara teknis administrasi berada di bawah SekretarisDaerah Provinsi.

Pasal 56Kedudukan, susunan organisasi dan tata kerja serta keuanganSekretariat MRP diatur dalam Perdasi.

Page 145: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

135

Lampiran

BAB XIIIKEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA

Bagian PertamaHak Keuangan MRP

Pasal 57Penghasilan bagi Pimpinan dan Anggota MRP terdiri dari:a. Uang Representasi;b. Uang Paket;c. Tunjangan Jabatan;d. Tunjangan Kesejahteraan.

Bagian KeduaUang Representasi

Pasal 58(1) Pimpinan dan Anggota MRP diberikan Uang Representasi.(2) Besarnya Uang Representasi bagi Ketua MRP, paling tinggi

50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok Gubernur.(3) Besarnya Uang Representasi Wakil Ketua paling tinggi 90%

(sembilan puluh perseratus) dari Uang Representasi KetuaMRP.

(4) Besarnya Uang Representasi Anggota MRP paling tinggi 80%(delapan puluh perseratus) dari Uang Representasi Ketua MRP.

(5) Selain uang representasi, kepada Pimpinan dan Anggota MRPdiberikan tunjangan keluarga dan tunjangan beras.

(6) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada huruf e besarnya samadengan tunjangan yang berlaku bagi DPRP.

Bagian KetigaUang Paket

Page 146: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

136

Lampiran

Pasal 59(1) Pimpinan dan anggota MRP diberikan Uang Paket.(2) Besarnya Uang Paket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Uang Representasi yangbersangkutan.

Bagian KeempatTunjangan Jabatan

Pasal 60(1) Kepada Pimpinan MRP diberikan Tunjangan Jabatan.(2) Kepada Pimpinan Kelompok Kerja diberikan Tunjangan

Jabatan.(3) Besarnya Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari UangRepresentasi yang bersangkutan.

(4) Besarnya Tunjangan Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) paling tinggi 30 % (tiga puluh perseratus) dari UangRepresentasi yang bersangkutan.

Bagian KelimaTunjangan Kesejahteraan

Pasal 61(1) Untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, kepada

Pimpinan dan anggota MRP diberikan Tunjangan Kesehatan.(2) Tunjangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan dalam bentuk jaminan asuransi.

Pasal 62Apabila Pimpinan atau anggota MRP meninggal dunia, kepada ahliwaris diberikan:

Page 147: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

137

Lampiran

a. uang duka wafat sebesar 3 (tiga) kali Uang Representasi atauapabila meninggal dunia dalam menjalankan tugas diberikanuang duka tewas sebesar 6 (enam) kali Uang Representasi;

b. bantuan biaya pengangkutan jenazah.

Pasal 63

(1) Ketua MRP disediakan rumah jabatan beserta perlengkapannyadan 1 (satu) unit kendaraan dinas.

(2) Wakil-wakil Ketua MRP disediakan masing-masing 1 (satu) unitkendaraan dinas.

(3) Apabila Pimpinan MRP berhenti atau berakhir masa baktinya,rumah jabatan beserta perlengkapan dan kendaraan dinasdiserahkan kembali dalam keadaan baik kepada PemerintahProvinsi.

Pasal 64Pimpinan dan Anggota MRP disediakan pakaian dinas sesuai dengankemampuan keuangan provinsi.

Bagian KeenamBiaya Kegiatan MRP

Pasal 65(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas MRP pada belanja

Sekretariat MRP disediakan:a. Belanja Pegawai;b. Belanja Barang dan Jasa;c. Belanja Perjalanan Dinas;d. Belanja Pemeliharaan;e. Belanja Modal.

Page 148: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

138

Lampiran

(2) Besarnya belanja MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan Provinsi dantidak melebihi belanja penunjang kegiatan DPRP.

Bagian KetujuhPenghargaan

Pasal 66(1) Pimpinan dan anggota MRP pada akhir keanggotaannya atau

pada waktu diberhentikan dengan hormat dari jabatannya ataumeninggal dunia, diberikan uang penghargaan, yaitu:a. bagi pimpinan MRP untuk tiap 1 (satu) tahun memangku

jabatan sejumlah 1 (satu) bulan uang representasi bersihpaling banyak 5 (lima) bulan uang representasi bersih;

b. bagi anggota MRP untuk tiap 1 (satu) tahun masakeanggotaannya sejumlah 1 (satu) bulan uang representasibersih paling banyak 5 (lima) bulan uang representasibersih;

c. masa memangku jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) kurang dari 1 (satu) tahun dibulatkan menjadi 1 (satu)tahun penuh.

(2) Dalam hal pimpinan dan anggota MRP meninggal dunia, uangpenghargaan tersebut pada ayat (1) diberikan kepada ahliwarisnya.

Pasal 67(1) Biaya yang timbul akibat pemberlakuan Peraturan Pemerintah

ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah Provinsi.

(2) MRP dilarang menerima bantuan keuangan di luar sumberkeuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahProvinsi.

Page 149: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

139

Lampiran

(3) Perdasi yang mengatur penyediaan anggaran untuk kegiatanMRP di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah inidapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 68Pengelolaan keuangan MRP dilaksanakan oleh Sekretariat MRP danpertanggungjawaban keuangan MRP berpedoman pada ketentuanperaturan perundang-undangan.

BAB XIVPENGAWASAN

Pasal 69(1) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas,

wewenang, hak, dan kewajiban MRP.(2) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam Perdasus.

BAB XVKETENTUAN LAIN-LAIN

Bagian PertamaTugas Lain MRP

Pasal 70Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36,MRP mempunyai tugas lain:a. memberikan peritimbangan dan persetujuan terhadap

pemekaran provinsi;b. menyampaikan usulan perubahan Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Page 150: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

140

Lampiran

Bagian KeduaTata cara Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan

terhadap Pemekaran Provinsi

Pasal 71(1) Rencana pemekaran provinsi disampaikan oleh Pemerintah

Provinsi bersama DPRP kepada MRP untuk mendapatpertimbangan.

(2) Pembahasan rencana pemekaran sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan oleh Kelompok Kerja/gabungan KelompokKerja untuk mendapatkan persetujuan rapat pleno MRPselambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanyarencana pemekaran.

(3) Apabila diperlukan Kelompok Kerja/gabungan KelompokKerja dapat meminta penjelasan kepada Pemerintah Provinsidan DPRP mengenai rencana pemekaran sebagaimanadimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal rencana pemekaran tidak mendapatkan per-timbangan dan persetujuan lebih dari 30 (tiga puluh) harisebagaimana dimaksud ayat (2), rencana pemekaran dianggaptelah mendapat pertimbangan dan persetujuan oleh MRP.

Bagian KetigaTata cara Penyampaian Usulan Perubahan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

Pasal 72(1) Usulan perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

dapat disampaikan oleh rakyat kepada MRP dan DPRP.(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan

melalui MRP, dibahas oleh MRP untuk diteruskan kepada DPRatau Pemerintah melalui Gubernur.

Page 151: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

141

Lampiran

(3) Usulan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatmenjadi bahan pertimbangan Pemerintah.

Bagian KeempatPembentukan MRP di Wilayah Pemekaran

Pasal 73MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagaiprovinsi induk bertugas dan bertanggung jawab untuk membantuPemerintah menyelesaikan masalah pemekaran wilayah yangdilakukan sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini denganmemperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undanganselambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 74(1) Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi

baru, dibentuk MRP yang berkedudukan di masing-masingibukota provinsi.

(2) Tata cara pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan,pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksudpada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam PeraturanPemerintah ini.

Pasal 75(1) MRP mempersiapkan dan bertanggung jawab terhadap

pembentukan MRP di provinsi-provinsi baru hasil pemekaran.(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

MRP bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua danDPRP sebagai provinsi induk.

BAB XVIKETENTUAN PENUTUP

Page 152: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

142

Lampiran

Pasal 76Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam LembaranNegara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 23 Desember 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttd.

Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONODiundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 Desember 2004

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,

ttd Dr. HAMID AWALUDDIN, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004NOMOR 165.

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan

Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands

Page 153: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

143

Lampiran

PENJELASAN

ATASPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 54 TAHUN 2004TENTANG

MAJELIS RAKYAT PAPUA

I. UMUMOtonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalahkewenangan khusus yang diakui dan diberikan bagi provinsi danrakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalamkerangka Negara Kesaturan Republik Indonesia. Kewenangan khususberarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsidan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan danmengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuksebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagiandari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakanpotensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasukmemberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papuamelalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan yangdiwujudkan melalui Majelis Rakyat Papua.

Majelis Rakyat Papua berperan serta dalam memberikanpertimbangan dan persetujuan dalam perumusan kebijakan daerah,dalam rangka kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakatPapua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua.

Sebagai lembaga representasi kultural maka pemilihan anggota MRPdilakukan melalui proses yang demokratis dan transparan padatingkat distrik, kabupaten/kota dan tingkat provinsi untuk

Page 154: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

144

Lampiran

memperoleh wakil-wakil dari masyarakat adat, masyarakat agamadan masyarakat perempuan.

Untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya, MRP memilikihak dan kewajiban yang perlu mendapatkan landasan operasionalsebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 21 Tahun2001, serta diberikan hak keuangan dan administrasi yang diaturdalam Peraturan Pemerintah ini.

Dalam rangka pengakuan dan penghormatan terhadap keragamanbudaya berdasarkan etnis di Papua, maka dibentuk MRP padaprovinsi-provinsi pemekaran yang dibentuk dengan memperhatikanperkembangan dan kemajuan serta kesiapan masyarakat di wilayahpemekaran.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelasPasal 2Cukup jelasPasal 3Cukup jelasPasal 4Cukup jelasPasal 5Cukup jelasPasal 6Cukup jelasPasal 7Cukup jelas

Page 155: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

145

Lampiran

Pasal 8Cukup jelasPasal 9Cukup jelasPasal 10Cukup jelasPasal 11Cukup jelasPasal 12Cukup jelasPasal 13Cukup jelasPasal 14Ayat (1)

Yang dimaksud dengan secara serentak di masing-masing wilayahpemilihan di seluruh provinsi adalah pelaksanaan pemungutansuara dilaksanakan pada hari yang sama di tingkat distrik dan ditingkat kabupaten/kota serta tingkat provinsi sesuai dengantahapan masing-masing.

Ayat (2)Cukup jelasAyat (3)Cukup jelasAyat (4)Cukup jelasPasal 15Cukup jelasPasal 16Cukup jelas

Page 156: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

146

Lampiran

Pasal 17Cukup jelasPasal 18Cukup jelasPasal 19Cukup jelasPasal 20Cukup jelasPasal 21Cukup jelasPasal 22Cukup jelasPasal 23Cukup jelasPasal 24Cukup jelasPasal 25Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)

Yang dimaksud dengan berdasarkan daftar urut calon adalahdaftar urutan berdasarkan perolehan jumlah suara terbanyakberikutnya dari calon wakil yang digantikan.

Pasal 26Cukup jelasPasal 27Cukup jelasPasal 28Cukup jelasPasal 29Cukup jelas

Page 157: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

147

Lampiran

Pasal 30Cukup jelasPasal 31Cukup jelasPasal 32Cukup jelasPasal 34Cukup jelasPasal 35Cukup jelasPasal 36Cukup jelasPasal 37Cukup jelasPasal 38Cukup jelasPasal 39Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)Cukup jelasAyat (3)

Yang dimaksud berkonsultasi kepada Pemerintah adalahberkonsultasi dengan instansi pemerintah yang meliputiDepartemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen danBadan Usaha Milik Negara yang terkait dengan rencanaperjanjian kerja sama dengan pihak ketiga.

Ayat (4)Cukup jelasAyat (5)Cukup jelas

Page 158: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

148

Lampiran

Pasal 40Cukup jelasPasal 41Cukup jelasPasal 42Cukup jelasPasal 43Cukup jelasPasal 44Cukup jelasPasal 45Cukup jelasPasal 46Cukup jelasPasal 47Cukup jelasPasal 48Cukup jelasPasal 49Cukup jelasPasal 50Cukup jelasPasal 51Cukup jelasPasal 52Cukup jelasPasal 53Cukup jelasPasal 54Cukup jelas

Page 159: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

149

Lampiran

Pasal 55Cukup jelasPasal 56Cukup jelasPasal 57Cukup jelasPasal 58Cukup jelasPasal 59Cukup jelasPasal 60Cukup jelasPasal 61Cukup jelasPasal 62Cukup jelasPasal 63Cukup jelasPasal 64Cukup jelasPasal 65Cukup jelasPasal 66Cukup jelasPasal 67Cukup jelasPasal 68Cukup jelasPasal 69Cukup jelas

Page 160: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

150

Lampiran

Pasal 70Cukup jelasPasal 71Cukup jelasPasal 72Cukup jelasPasal 73

Penyelesaian pemekaran wilayah yang dilakukan sebelumdikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah tanggung jawabPemerintah. MRP bersama Pemerintah Provinsi dan DPRPmemberikan bantuan sesuai dengan kewenangannya ber-dasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74Cukup jelasPasal 75Cukup jelasPasal 76Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANOMOR 4461

Page 161: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

151

Lampiran

a. bahwa Majelis Rakyat Papua sebagai lembagarepresentasi kultural orang asli Papuamempunyai peran yang sangat strategis untukmelindungi dan memberdayakan hak-hak orangasli Papua;

b. bahwa pemilihan anggota Majelis Rakyat Papuadilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsipdemokrasi;

c. bahwa dalam rangka pemilihan anggota MajelisRakyat Papua sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dan PeraturanPemerintah Nomor 54 Tahun 2004 perlumengatur tata cara pemilihan anggota MajelisRakyat Papua;

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

RANCANGANPERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

NOMOR 4 TAHUN 2005TENTANG

TATA CARA PEMILIHAN ANGGOTA MAJELIS RAKYATPAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAGUBERNUR PROVINSI PAPUA,

Menimbang :

PA P UA

K A R YA S W A D AYA

Page 162: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

152

Lampiran

Mengingat :

d. bahwa untuk maksud tersebut pada huruf a, bdan c perlu ditetapkan dengan PeraturanDaerah Provinsi Papua.

1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969tentang Pembentukan Propinsi Otonom IrianBarat dan Kabupaten-kabupaten Otonom diPropinsi Irian Barat (Lembaran Negara Tahun1969 Nomor 47 Tambahan Lembaga NegaraNomor 2907);

2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua(Lembaga Negara Tahun 2001 Nomor 135Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151) ;

3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004Nomor 53, Tambahan Lembaran NegaraNomor 4389);

4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara Tahun 2004 Nomor 125, TambahanLembaga Negara Nomor 4437) sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor38, Tambahan Lembaran Negara Nomor4493);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004tentang Majelis Rakyat Papua (Lembaran

Page 163: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

153

Lampiran

Negara Tahun 2004 Nomor 165 TambahanLembaran Negara Nomor 4461);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangka-tan, dan Pemberhentian Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah, (Lembaran NegaraTahun 2004 Nomor 22, Tambahan LembaranNegara Nomor 4480) sebagaimana telahdiubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor17 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005Nomor 39, Tambahan Lembaran NegaraNomor 4494).

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA

danGUBERNUR PROVINSI PAPUA

M E M U T U S K A N :

PERATURAN DAERAH TENTANG TATACARA PEMILIHAN ANGGOTA MAJE-LIS RAKYAT PAPUA.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:1. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi

khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Menetapkan :

Page 164: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

154

Lampiran

2. Gubernur ialah Gubernur Provinsi Papua;3. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disingkat

DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua;4. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua;5. Kabupaten/Kota penyelenggara pemilihan adalah Kabupaten/

Kota yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai daerah pemilihan;6. Bupati/Walikota ialah Bupati/Walikota se Papua;7. Bupati/Walikota penyelenggara pemilihan ialah Bupati/

Walikota yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai penanggungjawab pemilihan anggota MRP pada Daerah Pemilihan.

8. Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disingkat MRP adalahrepresentasi kultural orang asli Papua, yang memilikiwewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orangasli Papua dengan penghormatan terhadap adat dan budaya,pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidupberagama;

9. Distrik yang dahulu dikenal dengan kecamatan adalah wilayahkerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah kabupaten/kota;

10. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuanmasyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkanasal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistimpemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten/kota;

11. Daerah pemilihan untuk wakil adat dan wakil perempuan adalahwilayah penyelenggaraan pemilihan anggota MRP yang terdiriatas Distrik dan gabungan beberapa Kabupaten/Kota diProvinsi Papua;

12. Daerah pemilihan untuk wakil agama adalah wilayahpenyelenggaraan pemilihan anggota MRP di tingkat ProvinsiPapua;

Page 165: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

155

Lampiran

13. Pemilih masyarakat adat dan masyarakat perempuan adalahutusan kelompok masyarakat adat dan kelompok masyarakatperempuan dari kampung;

14. Pemilih masyarakat agama adalah utusan lembaga keagamaantingkat Provinsi Papua;

15. Panitia Pemilihan adalah Panitia penyelenggara pemilihananggota MRP yang berada di tingkat Distrik, tingkatKabupaten/Kota dan Provinsi yang anggotanya terdiri atasunsur pemerintah dan masyarakat;

16. Panitia Pengawas adalah Panitia yang bertugas mengawasipenyelenggaraan pemilihan anggota MRP yang berada ditingkat Distrik, tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi yanganggotanya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksanaan danmasyarakat;

17. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidupdalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada hukum adattertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara paraanggotanya;

18. Masyarakat agama adalah semua penduduk pemeluk agama diProvinsi Papua;

19. Masyarakat perempuan adalah penduduk berjenis kelaminperempuan di Provinsi Papua.

Pasal 2Orang asli Papua terdiri atas:a. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia, suku-suku asli

di Provinsi Papua;b. Orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh

masyarakat adat di Papua.

Page 166: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

156

Lampiran

BAB IIKEANGGOTAAN

Pasal 3(1) Anggota MRP terdiri atas orang asli Papua sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.(2) Anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah

42 (empatpuluh dua) orang terdiri atas unsure adat, agama,dan perempuan, yang masing-masing 14 (empat belas) orangdan dipilih oleh masyarakat adat, masyarakat agama, danmasyarakat perempuan.

(3) Pemilihan keanggotaan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan suku-suku asli Papua.

BAB IIIHAK MEMILIH DAN HAK DIPILIH

Pasal 4(1) Anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat

perempuan yang berdomisili di Provinsi Papua sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan berhak untuk memilih anggota MRP.

(2) Untuk dapat melaksanakan hak memilih sebagaimana dimaksudpada ayat (1), setiap pemilih harus memenuhi syarat-syarat:a. berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau

sudah pernah kawin; b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;c. nyata-nyata tidak sedang terganggu ingatannya;d. mempunyai satu tempat tinggal tetap.

Page 167: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

157

Lampiran

(3) Pemilih wakil adat dan wakil perempuan untuk tingkat distrikharus memperoleh mandat dari kelompok masyarakat adat dankelompok masyarakat perempuan.

(4) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan utusanyang dihasilkan dari musyawarah kampung yang dilakukan olehmasing-masing kelompok.

(5) Musyawarah kampung harus dilakukan paling lama 7 (tujuh)hari sejak pembentukan panitia pemilihan tingkat distrik.

(6) Pemilih wakil agama pada tingkat provinsi harus mendapatmandat dari lembaga keagamaan.

(7) Mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (6) hanyadiberikan kepada 1 (satu) orang untuk masing-masingkelompok masyarakat adat, kelompok masyarakat perempuandan kelompok masyarakat agama.

Pasal 5(1) Kelompok masyarakat adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (3) harus memenuhi syarat:a. memiliki struktur yang jelas dan berkedudukan di wilayah

masyarakat adat yang bersangkutan;b. aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat terhitung

sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir sebelum ditetapkan-nya Peraturan Daerah Provinsi ini;

(2) Kelompok masyarakat perempuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (3) harus memenuhi syarat:a. berkedudukan di kampung atau merupakan bagian dari

organisasi perempuan tingkat nasional tingkat provinsi atautingkat Kabupaten/Kota;

b. aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat perempuan diPapua sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir sebelumditetapkannya Peraturan Daerah ini.

Page 168: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

158

Lampiran

Pasal 6Setiap orang asli Papua yang memenuhi syarat dan bertempat tinggaldi daerah pemilihan dan atau di luar daerah pemilihan mempunyaihak untuk dipilih.

BAB IVPENYELENGGARA PEMILIHAN

Bagian PertamaPanitia Pemilihan

Pasal 7(1) Pemilihan anggota MRP diselenggarakan oleh suatu Panitia

Pemilihan.(2) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas :a. Panitia Pemilihan tingkat Distrik;b. Panitia Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota;c. Panitia Pemilihan tingkat Provinsi.

(3) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berjumlah 5 (lima) orang yang anggotanya terdiri atasunsur pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf adan b terdiri atas 1 (satu) orang dari unsur pemerintah dan 4(empat) orang dari unsur masyarakat.

(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf cterdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah dan 2 (dua)orang dari unsur masyarakat.

(6) Untuk membantu tugas administrasi Panitia Pemilihan dibentukSekretariat Panitia Pemilihan.

Page 169: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

159

Lampiran

(7) Sekretariat Panitia Pemilihan terdiri dari 1 (satu) orangsekretaris selaku pimpinan sekretariat, 1 (satu) orang bendahara,dan 3 (tiga) orang staf.

(8) Personil Sekretariat Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksudpada ayat (6) ditetapkan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.

Pasal 8(1) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat

(2) huruf a ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat denganmemperhatikan usulan dari DPRD.

(2) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(2) huruf b ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 7 dengan memperhatikan usulandari DPRD.

(3) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(2) huruf c ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikanusulan DPRP.

(4) Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf bberkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota yang ditetapkan olehGubernur sebagai tempat penyelenggaraan pemilihan.

Pasal 9

(1) Panitia Pemilihan tingkat Distrik, bertugas:a. mendaftarkan calon anggota MRP;b. mengkordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan

tahapan pelaksanaan pemilihan anggota MRP di tingkatDistrik;

c. menyampaikan calon terdaftar sebagaimana tersebut padahuruf a kepada Panitia Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota;

d. mengumumkan hasil penetapan calon anggota MRP;

Page 170: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

160

Lampiran

e. membantu pelaksanaan tugas Panitia Pemilihan tingkatKabupaten/Kota.

(2) Panitia Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota bertugas :a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP

untuk wakil adat dan wakil perempuan;b. mengkordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan

tahapan pelaksanaan pemilihan anggota MRP di tingkatKabupaten/Kota;

c. meneliti dan memverifikasi persyaratan calon anggotaMRP wakil adat dan wakil perempuan;

d. mengajukan hasil penelitian dan verifikasi calon untukditetapkan sebagai calon tetap oleh Panitia Pemilihantingkat Provinsi;

e. mengajukan hasil pemilihan anggota MRP untuk ditetapkanoleh Panitia Pemilihan tingkat Provinsi;

f. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.(3) Panitia Pemilihan tingkat Provinsi bertugas:

a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan anggota MRP;b. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendali-

kan semua tahapan pelaksanaan pemilihan anggota MRP;c. menetapkan waktu dan tanggal pelaksanaan tahapan

pemilihan anggota MRP;d. Meneliti dan memverifikasi persyaratan calon anggota

MRP wakil agamae. menetapkan calon anggota MRP dalam daftar calon tetap;f. menetapkan perimbangan jumlah wakil masing-masing

agama;g. mengajukan hasil pemilihan anggota MRP kepada Menteri

Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatpengesahan;

Page 171: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

161

Lampiran

h. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan.(4) Panitia Pemilihan berkewajiban:

a. memperlakukan calon anggota MRP secara adil dalampelaksanaan pemilihan;memelihara arsip dan dokumenpemilihan anggota MRP;

b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;c. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang

diterima dari APBD.

Pasal 10

Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)dibentuk dan melaksanakan tugas selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak ditetapkannya Peraturan Daerah ini dan berakhir1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Bagian KeduaPanitia Pengawas

Pasal 11(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilihan anggota MRP

dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan.(2) Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terdiri atas :a. Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Distrik;b. Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota;c. Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Provinsi.

(3) Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berjumlah 5 (lima) orang yang anggotanya terdiri dari1 (satu) orang unsur kepolisian, 1 (satu) orang unsur kejaksaan,dan 3 (tiga) orang unsur masyarakat.

Page 172: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

162

Lampiran

Pasal 12(1) Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(2) huruf a ditetapkan oleh dan bertanggungjawab kepadaBupati/Walikota setempat dengan memperhatikan usulan dariDPRD.

(2) Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat(2) huruf b ditetapkan oleh dan bertanggungjawab kepadaBupati/Walikota yang ditunjuk oleh Gubernur sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 7 dengan memperhatikan usulandari DPRD.

(3) Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat(2) huruf c ditetapkan oleh dan bertangungjawab kepadaGubernur dengan memperhatikan usulan dari DPRP.

(5) Panitia Pengawas‘ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf bberkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota yang ditetapkan olehGubernur sebagai tempat penyelenggaraan pemilihan.

Pasal 13

Panitia Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)dibentuk dan melaksanakan tugas selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak ditetapkannya Peraturan Daerah ini dan berakhir1 (satu) bulan setelah pelantikan anggota MRP.

Pasal 14Panitia Pengawas, bertugas:a. mengawasi semua tahapan pelaksanaan pemilihan;b. menerima laporan pelanggaran pelaksanaan pemilihan;c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan

pemilihan;d. meneruskan temuan yang berindikasi tindak pidana kepada

pihak yang berwenang.

Page 173: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

163

Lampiran

BAB VDAERAH PEMILIHAN

Pasal 15(1) Pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuan

dilakukan di 14 (empat belas) Daerah Pemilihan tingkatKabupaten/Kota dan seluruh distrik.

(2) Daerah Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota terdiri atas satu ataugabungan beberapa Kabupaten/Kota yang ditetapkanberdasarkan pertimbangan wilayah adat, sejarah administrasipemerintahan, dan kebudayaan.

(3) Daerah Pemilihan anggota MRP wakil agama adalah ProvinsiPapua.

(4) Pertimbangan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat(2) meliputi wilayah adat Doberai, Saireri, La Pago, Tabi, HaAnim, Bomberay dan Me Pago.

Pasal 16Daerah Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)terdiri atas:a. Daerah pemilihan I meliputi :

1. Kabupaten Raja Ampat;2. Kota Sorong;3. Kabupaten Sorong.

b. Daerah Pemilihan II meliputi :1. Kabupaten Sorong Selatan;2. Kabupaten Manokwari.

c. Daerah Pemilihan III meliputi ;1. Kabupaten Teluk Bintuni;2. Kabupaten Teluk Wondama.

d. Daerah Pemilihan IV meliputi:1. Kabupaten Supiori;

Page 174: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

164

Lampiran

2. Kabupaten Biak Numfor.e. Daerah Pemilihan V meliputi:

1. Kabupaten Yapen Waropen;2. Kabupaten Waropen.

f. Daerah Pemilihan VI meliputi:1. Kabupaten Jayawijaya;2. Kabupaten Tolikara.

g. Daerah Pemilihan VII meliputi:1. Kabupaten Yahukimo;2. Kabupaten Pegunungan Bintang.

h. Daerah Pemilihan VIII meliputi:1. Kota Jayapura;2. Kabupaten Keerom.

g. Daerah Pemilihan IX meliputi:1. Kabupaten Jayapura;2. Kabupaten Sarmi.

h. Daerah Pemilihan X meliputi: 1. Kabupaten Merauke; 2. Kabupaten Boven Digoel.i. Daerah Pemilihan XI meliputi: 1. Kabupaten Asmat; 2. Kabupaten Mappi.j. Daerah Pemilihan XII meliputi: 1. Kabupaten Fak-fak; 2. Kabupaten Kaimana.k. Daerah Pemilihan XIII meliputi: 1. Kabupaten Mimika; 2. Kabupaten Puncak Jaya.l. Daerah Pemilihan XIV meliputi: 1. Kabupaten Nabire;

2. Kabupaten Paniai.

Page 175: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

165

Lampiran

(4) Kabupaten/Kota tempat penyelenggaraan Pemilihanditetapkan dengan Keputusan Gubernur

BAB VIPENCALONAN

Bagian PertamaPersyaratan Calon

Pasal 17(1) Setiap orang yang dicalonkan sebagai anggota MRP harus

memenuhi persyaratan:a. orang asli Papua;b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia dan taat kepada Pancasila dan memiliki komitmen

yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

d. setia dan taat kepada UUD Negara Republik IndonesiaTahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, sertaPemerintah yang sah;

e. tidak pernah terlibat dalam tindakan makar terhadapNegara Kesatuan Republik Indonesia;

f. berumur serendah-rendahnya 30 (tiga puluh) tahun;g. sehat jasmani dan rohani;h. memiliki keteladanan moral dan menjadi panutan

masyarakat;i. memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi hak-hak

orang asli Papua;j. tidak berstatus sebagai anggota legislatif dan pengurus

partai politik;

Page 176: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

166

Lampiran

k. berdomisili di Provinsi Papua sekurang-kurangnya 10tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggalpengajuan calon anggota MRP;

l. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilanyang mempunyai kekuatan hukum tetap;

m. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,karena melakukan tindak pidana yang diancam dengapidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

n. Pegawai Negeri yang terpilih menjadi anggota MRP harusmelepaskan sementara jabatan dan status kepegawaiannya;

o. berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Dasar atausederajat untuk wakil adat, Sekolah Lanjutan TingkatPertama (SLTP) atau sederajat untuk wakil agama danperempuan;

p. untuk wakil adat harus diakui dan diterima oleh masyarakatadat;

q. untuk wakil agama harus mendapat rekomendasi darilembaga keagamaan yang bersangkutan;

r. untuk wakil perempuan harus aktif dan konsistenmemperjuangkan hak-hak perempuan dan diterima olehkomunitas perempuan;

s. mengundurkan diri dari jabatan kelembagaan apabilaterpilih.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,d,e,idan j dibuktikan dengan surat pernyataan calon yangbersangkutan.

Page 177: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

167

Lampiran

Bagian KeduaTata Cara Pencalonan

Pasal 18(1) Calon anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuan

melakukan pendaftaran pada Panitia Pemilihan tingkat Distrik.(2) Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu)

orang utusan masyarakat adat dan 1 (satu) orang masyarakatperempuan dari setiap kampung.

(3) Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikandengan Berita Acara hasil musyawarah yang ditandatangani olehmasing-masing pimpinan masyarakat adat dan pimpinanmasyarakat perempuan.

(4) Tenggang waktu pendaftaran calon anggota MRP sebagaimanadimaksud pada ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitungsejak pelaksanaan musyawarah kampung.

Pasal 19(1) Pengajuan calon anggota MRP untuk wakil agama dilakukan

oleh lembaga keagamaan Kristen, Katholik, dan Islam yangberkedudukan di Provinsi.

(2) Lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusmemenuhi syarat:a. berbadan hukum dan/atau diakui menurut perundang-

undangan ;b. aktif di bidang keagamaan sekurang-kurangnya 3 (tiga)

tahun terakhir sebelum ditetapkannya Peraturan Daerahini.

(3) Masyarakat agama yang terhimpun dalam setiap lembagakeagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapatmengajukan 1 (satu) orang calon.

Page 178: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

168

Lampiran

(4) Calon dari masing-masing lembaga keagamaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) paling banyak 14 (empat belas) orang.

(5) Pengajuan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3)disampaikan kepada Panitia Pemilihan tingkat Provinsi melaluisurat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan lembagakeagamaan yang bersangkutan.

(6) Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiridengan dokumen persyaratan calon.

(7) Tenggang waktu pendaftaran calon anggota MRP sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 5 (lima) hariterhitung sejak pengumuman pendaftaran calon.

(8) Pendaftaran calon anggota MRP sebagaimana dimaksud dalamPasal 16 ayat (1) dilaksanakan paling lama 14 (empat belas)hari sejak dibentuk Panitia Pemilihan.

Bagian KetigaPenetapan Calon

Pasal 20(1) Calon wakil adat dan wakil perempuan yang memenuhi syarat

ditetapkan sebagai calon tetap dalam sebuah daftar melaluikeputusan Panitia Pemilihan tingkat Kabupaten/Kota.

(2) Calon wakil agama yang memenuhi syarat ditetapkan sebagaicalon tetap dalam sebuah daftar melalui keputusan PanitiaPemilihan tingkat Provinsi.

BAB VIITATA CARA PEMILIHAN

Bagian PertamaTahapan Pemilihan

Page 179: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

169

Lampiran

Pasal 21(1) Pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuan

dilakukan dalam dua tahap.(2) Pemilihan tahap pertama dilakukan di tingkat Distrik(3) Pemilihan tahap kedua dilakukan di tingkat Kabupaten/ Kota.(4) Pemilihan anggota MRP untuk wakil agama dilakukan dalam

satu tahap di tingkat Provinsi.

Pasal 22(1) Pemilihan tahap pertama untuk wakil adat dan wakil perempuan

dilakukan oleh pemilih yang memenuhi syarat sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), (3) dan (4) di masing-masingDistrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).

(2) Pemilihan tahap pertama pada setiap Distrik sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh utusan dari masing-masing kampung untuk menghasilkan 1 (satu) orang calonwakil adat dan 1 (satu) orang calon wakil perempuan.

(3) Pemilihan tahap kedua untuk wakil adat dan wakil perempuandilakukan oleh dan dari calon anggota hasil pemilihansebagaimana dimaksud pada ayat (2) di masing-masing DaerahPemilihan tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksuddalam Pasal 15 ayat (1).

(4) Pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuansebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) dilakukanmelalui musyawarah untuk mufakat atau pemungutan suara.

(5) Dalam hal pelaksanaan musyawarah untuk mufakat padapemilihan tahap pertama tidak tercapai, dilakukan pemungutansuara dengan cara setiap utusan memilih 3 (tiga) orang daripara calon untuk masing-masing wakil adat dan wakilperempuan dan penetapan calon terpilih ditetapkanberdasarkan perolehan suara terbanyak.

Page 180: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

170

Lampiran

(6) Dalam hal pelaksanaan musyawarah untuk mufakat padapemilihan tahap kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3)tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara dengan cara setiapcalon terpilih memilih 3 (tiga) orang dari para calon danpenetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan perolehan suaraterbanyak.

Pasal 23(1) Pemilihan anggota MRP untuk wakil agama dilakukan oleh

pemilih yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (2) dan ayat (6).

(2) Pemilihan anggota MRP untuk wakil agama sebagaimanadimaksud pada ayat (1) menghasilkan 14 (empat belas) oranganggota MRP.

(3) Pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat atau pemungutansuara oleh masing-masing masyarakat agama.

(4) Dalam hal pelaksanaan musyawarah untuk mufakat tidaktercapai, dilakukan pemungutan suara.

(5) Komposisi jumlah anggota MRP untuk masing-masing wakilagama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan olehPanitia Pemilihan tingkat Provinsi atas usul lembaga keagamaanberdasarkan hasil musyawarah oleh pimpinan lembagakeagamaan di Provinsi Papua dengan memperhatikan jumlahpemeluk agama di Papua secara proporsional dan dimuatdalam Berita Acara.

(6) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakanpaling lama 14 (empat belas) hari, sejak terbentuknya PanitiaPemilihan.

Page 181: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

171

Lampiran

Pasal 24(1) Pemilihan anggota MRP tahap pertama untuk wakil adat dan

wakil perempuan dilaksanakan paling lama 14 (empat belas)hari sejak penetapan calon tetap anggota MRP.

(2) Pemilihan anggota MRP tahap kedua untuk wakil adat dan wakilperempuan dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari sejakpengumuman hasil pemilihan tahap pertama.

(3) Pemilihan anggota MRP untuk wakil agama dilaksanakan palinglama 14 (empat belas) hari sejak penetapan komposisi jumlahanggota wakil agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23ayat (5).

Bagian KeduaTahapan Penetapan Hasil Pemilihan

Pasal 25(1) Bupati/Walikota Penyelenggara Pemilihan menetapkan hasil

pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuanyang diajukan oleh Panitia Pemilihan anggota MRP tingkatKabupaten/Kota.

(2) Gubernur menetapkan hasil pemilihan anggota MRP untukwakil agama yang diajukan oleh Panitia Pemilihan anggota MRPtingkat Provinsi.

(3) Hasil pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dibuat dalam Daftar Urut Calon oleh Panitia Pemilihantingkat Kabupaten/Kota berdasarkan peringkat perolehansuara.

(4) Hasil pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dibuat dalam Daftar Urut Calon oleh Panitia Pemilihantingkat Provinsi berdasarkan peringkat perolehan suara.

Page 182: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

172

Lampiran

(5) Penetapan hasil pemilihan anggota MRP sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan (2) dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari,sejak selesainya pelaksanaan pemilihan anggota MRP.

(6) Penetapan hasil pemilihan anggota MRP untuk wakil adat danwakil perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukanoleh Bupati/Walikota Penyelenggara Pemilihan kepada MenteriDalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapat pengesahan.

(7) Penetapan hasil Pemilihan anggota MRP untuk wakil agamasebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada MenteriDalam Negeri oleh Gubernur untuk mendapat pengesahan.

(8) Pengesahan hasil pemilihan anggota MRP oleh Menteri DalamNegeri dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diajukan olehGubernur.

BAB VIIIPELANTIKAN

Bagian PertamaPelantikan Anggota MRP

Pasal 26(1) Pelantikan Anggota MRP dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri

di Ibukota Provinsi Papua.(2) Sebelum melaksanakan tugas dan wewenangnya anggota MRP

wajib mengucapkan sumpah/janji.(3) Tatacara pengambilan sumpah/janji dilaksanakan sesuai dengan

kebiasaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(4) Susunan kata-kata sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) adalah sebagai berikut :

Page 183: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

173

Lampiran

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji:bahwa saya sanggup melaksanakan tugas dan kewajiban sayaselaku Anggota Majelis Rakyat Papua dengan sebaik-baiknya,sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya;bahwa saya sanggup memegang teguh Pancasila dan menegakkanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;bahwa saya sanggup menegakkan kehidupan demokrasi sertasetia dan berbakti kepada Bangsa dan Negara Kesatuan RepublikIndonesia.”

BAB IXPERGANTIAN ANTAR WAKTU

Pasal 27(1) Penggantian antar waktu anggota MRP dilakukan untuk mengisi

kekosongan anggota MRP;(2) Penggantian antar waktu anggota MRP ditetapkan berdasarkan

Daftar Urut Calon.

Pasal 28Penggantian antar waktu anggota MRP diusulkan oleh Gubernurkepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapat pengesahan.

Pasal 29Pelantikan anggota MRP pengganti antar waktu dilakukan dengancara sebagaimana dimaksud dalam pasal 26.

Page 184: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

174

Lampiran

BAB XPEMBIAYAAN

Pasal 30Segala pembiayaan yang berkaitan dengan penyelenggara-anpemilihan anggota MRP dibebankan pada Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah Provinsi Papua.

BAB XIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 31(1) Petunjuk teknis pemilihan anggota MRP ditetapkan oleh Panitia

Pemilihan tingkat Provinsi dengan berpedoman pada PeraturanDaerah ini.

(2) Bentuk-bentuk formulir untuk penetapan calon, suratpernyataan calon, formulir pengajuan calon, formulir calonterdaftar, berita acara penetapan komposisi wakil agama,formulir penetapan hasil pemilihan, sebagaimana tercantumdalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandari Peraturan Daerah ini.

Pasal 32Peraturan Daerah Provinsi ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkanpengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalamLembaran Daerah Provinsi Papua.

Ditetapkan di Jayapurapada tanggal - Juli 2005

Page 185: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

175

Lampiran

GUBERNUR PROVINSI PAPUATTD

Dr. J.P. SOLOSSA, Drs., M.Si

Diundangkan di JayapuraPada tanggal -Juli 2005

Plh. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI PAPUATAHUN 2005 NOMOR 7

Untuk salinan yang sah sesuaiDengan aslinya

AN SEKRETARIS DAERAH PROVINSI PAPUAKEPALA BIRO HUKUM

W. TURNIP, SH., MM.

Page 186: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

176

Lampiran

PENJELASAN

ATASRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

NOMOR TAHUN 2005TENTANG

TATACARA PEMILIHAN ANGGOTA MAJELIS RAKYAT PAPUA

I. UMUM

Otonomi khusus berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun2001 adalah satu kebijakan bernilai strategis yang diberikan olehPemerintah Republik Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Papuadalam rangka peningkatan pelayanan umum, akselerasi pem-bangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papuaterutama orang asli Papua. Kebijakan bersifat khusus ini, sekaligusmerupakan komitmen pemerintah untuk mengatasi dan mengurangikesenjangan sosial dan pembangunan antara Provinsi Papua denganProvinsi-provinsi lainnya di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Hal ini memberikan peluang bagi orang asli Papua danmasyarakat di Provinsi Papua untuk berkiprah dan berperansertasecara aktif sebagai subyek utama dalam seluruh prosespenyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan danpenikmat hasil pembangunan.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dibangun dan dilandasipada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaanterhadap etika dan moral, hak-hak orang asli, hak asasi manusia,supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaankedudukan hak dan kewajiban sebagai warga negara bagi setiap orangasli Papua dan masyarakat di Provinsi Papua.

Page 187: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

177

Lampiran

Sebagai pengejawantahan dari prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai dasar tersebut maka undang-undang ini menghendakipembentukan lembaga yang disebut Majelis Rakyat Papua. MajelisRakyat Papua pada hakekatnya merupakan salah satu lembaga formalsebagai bagian dari suprastruktur politik di Provinsi. Majelis RakyatPapua berkedudukan sebagai lembaga representasi kultural orangasli Papua, yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangkaperlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskanpenghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaanperempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Sebagai lembaga representasi kultural, maka Majelis Rakyat Papuaberanggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakiladat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan. Oleh karenaMajelis Rakyat Papua secara fungsional merupakan lembagarepresentasi kultural orang asli Papua dan dalam kedudukannyapada tataran suprastruktur politik merupakan lembaga formal yangsah dalam pemerintahan, maka pembentukannya harus berdasarkanpada penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berintikan padaciri-ciri transparansi, akuntabilitas, peran serta masyarakat, danharus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka dalam pemilihan anggotaMajelis Rakyat Papua dianut prinsip bahwa pemilihan anggotaMajelis Rakyat Papua dilakukan oleh anggota masyarakat adat,masyarakat agama dan masyarakat perempuan. Untuk menjaminadanya proses dan mekanisme pemilihan anggota Majelis RakyatPapua yang dilakukan secara langsung, jujur, rahasia dan adil sertamenjunjung tinggi solidaritas di antara sesama orang asli Papuaserta menjaga integritas keutuhan bangsa dan Negara perlu

Page 188: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

178

Lampiran

diberikan landasan hukum yang jelas tentang tata cara pemilihananggota Majelis Rakyat Papua.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1Cukup jelasPasal 2Cukup jelasPasal 3Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)Cukup jelasAyat (3) :

Keterwakilan suku-suku asli Papua dimaksud dalam halpengisian anggota anggota MRP harus memperhatikan asaskeseimbangan dan pemerataan sehingga keanggotaan MRPtidak dimonopoli oleh suku tertentu.

Pasal 4Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)Huruf a sampai dCukup jelasAyat (3) :

mandat disini dimaksudkan amanat yang diberikan kelompokmasyarakat adat dan masyarakat perempuan kepada merekayang ditunjuk sebagai wakilnya.

Ayat (4)Cukup jelas

Page 189: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

179

Lampiran

Ayat (5) :setiap kelompok masyarakat adat dan kelompok masyarakatperempuan harus melakukan musyawarah untuk menghasilkanpaling banyak 1 (satu) orang pemilih dari unsur masyarakatadat dan 1 (satu) orang pemilih dari unsur masyarakatperempuan untuk setiap kampung.

Ayat (6)Cukup jelasAyat (7)Cukup jelasPasal 5Ayat (1)huruf a :

yang dimaksud dengan struktur adalah susunan atau tatanandalam masyarakat adat

huruf bCukup jelasAyat (2)Cukup jelasPasal 6Cukup jelasPasal 7Cukup jelasPasal 8Ayat 1Cukup jelasAyat 2 :

DPRD dimaksud di sini adalah DPRD dari Kabupaten/Kotapenyelenggara pemilihan

Ayat 3Cukup jelas

Page 190: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

180

Lampiran

Ayat 4Cukup jelasPasal 9Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)Huruf a dan bCukup jelasHuruf c :

verifikasi dimaksudkan pemeriksaan tentang kelengkapan dankeabsahan persyaratan calon dan keabsahan kelompokmasyarakat dan lembaga yang mengadakan calon. Untukkepentingan verifikasi tersebut Panitia Pemilihan melakukankoordinasi dengan instansi terkait.

Huruf d, e, dan fCukup jelasAyat (3)Cukup jelasAyat (4)Cukup jelasPasal 10Cukup jelasPasal 11Cukup jelasPasal 12Ayat (1)Cukup jelasAyat (2) :DPRD dimaksud di sini adalah DPRD dari Kabupaten/Kotapenyelenggara pemilihan

Page 191: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

181

Lampiran

Pasal 13Cukup jelasPasal 14Cukup jelasPasal 15Cukup jelasPasal 16Cukup jelasPasal 17Cukup jelasAyat (1)Huruf a s/d j: cukup jelasAyat (1)Huruf k :

penentuan 10 tahun ini tidak menutup hak dari mereka yangsedang mengikuti pendidikan di luar wilayah ProvinsiPapua

Ayat (1)Huruf l s/d sCukup jelasAyat (2)Cukup jelasPasal 18Cukup jelasPasal 19Cukup jelasPasal 20Cukup jelasPasal 21Cukup jelasPasal 22

Page 192: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

182

Lampiran

Cukup jelasPasal 23Ayat (1)Cukup jelasAyat (2)Cukup jelasAyat (3)Cukup jelasAyat (4)Cukup jelasAyat (5) :

Berita Acara memuat kesepakatan anatara para pemimpinkelembagaan agam Kristen, Katholik dan Islam.

Ayat (6)Cukup jelasPasal 24Cukup jelasPasal 25Cukup jelasPasal 26Cukup jelasPasal 27Cukup jelasPasal 28Cukup jelasPasal 29Cukup jelasPasal 30Cukup jelasPasal 31Cukup jelas

Page 193: ANALISIS SOSIO-YURIDIS DAN POLITIK IMPLEMENTASI … · Narasumber: Maruarar Siahaan, S.H. Tim Peneliti: Winarno Yudho, S.H., M.A. Dr. Andi M. Asrun, S.H.,M.H. Ahsin Tohari, S.H.,

183

Lampiran

Pasal 32Cukup jelas